NAGA BERACUN JILID 33


"Kami berdua ingin menghadap Sribaginda




kaisar," kata Thian Ki dengan sikap sederhana.
Ucapan ini memancing tawa dan senyum para
perajurlt pengawal. Begitu mudahnya pemuda ini
mengatakan hendak menghadap kaisar, seolah
menghadap kaisar sama dengan menghadap
seorang lurah saja! "Maaf, tidak begitu mudah untuk dapat
diperkenankan menghadap Srlbaginda, sobat,"
kata komandan itu. "Ji-wl harus lebih dahulu
mendaftarkan diri, menulis nama dan alamat, dan
juga menuliskan maksud permohonan menghadap
beliau." Thian Ki dapat mengerti peraturan ini, akan
tetapi Cin Cin agak cemberut. Untung bahwa
komandan jaga itu dan anak buahnya bersikap
sopan. Coba mereka itu bersikap congkak atau
berani kurang ajar, tentu dara ini sudah menghajar
mereka. Jengkel ia melihat betapa keinginan
menghadap kais ar saja dipersulit.
"Kami berdua datang membawa surat dari Puteri
Sri baginda yang bernama Hong Lan, apakah itu
belum cukup untuk membole hkan kami menghadap Sribaginda sekarang juga?"
Mendengar disebutnya nama Hong Lan, komandan itu bersikap lebih ramah lagi. "Ah, tentu
saja, nona. Tentu saja boleh menghadap Sri
baginda, akan tapi kami harus mematuhi peraturan, kalau tidak, kalau kami membiarkan
saja ji-wi masuk tanpa didaftar, tanpa di laporkan
le bih dahulu, tentu kami yang akan menerima
hukuman berat!" ♤
"Sudahlah, Cin-moi. Perwira ini benar. Mari,
ciangkun, kami akan mendaftarkan diri," kata
Thian Ki dan mereka berdua lalu memasuki gardu,
dipersilakan duduk dan disodori buku di mana
mereka harus mendaftarkan diri. Thian Ki yang
le bih dahulu menuliskan namanya dan begitu
komandan itu melihat nama Coa Thian Ki ditulis di
sana. dia terkejut.. "Ah, kiranya tai-hiap yang bernama Coa Thian
Ki?" "Benar, kenapakah?" tanya Thian Ki.
"Sungguh kebetulan sekali! Saya beruntung
sekali hari ini bertugas jaga di sini sehingga tanpa
bersusah payah dapat dapat menemukan tai-hiap!
Sudah berhari-hari Pangeran Li Cu Kiat mengerahkan banyak penyelidik untuk mencari
tai-hiap, siapa kira hari ini saya yang dapat
menemukan tai-hiap secara begini mudah!" Komandan jaga itu nampak gembira bukan main
karena dia tentu akan menerima hadiah besar dari
Pangeran Li Cu Kiat. "Pangeran Li Cu Kiat" Kenapa beliau mencaricariku?" tanya Thian Ki heran karena dia belum
mengenal siapa Pangeran Li Cu Kiat itu.
"Pangeran Li Cu Kiat memesan agar kalau dapat
berte mu taihiap, memberitahu bahwa sumoi dari
taihiap sekarang sedang sakit parah dan berada di
Istana pangeran itu, agar taihiap suka cepat
datang berkunjung ke sana."
Tentu saja Thian Ki merasa heran dan juga
te rkejut mendengar berita ini. Akan tetapi dia

masih meragukan berita itu, karena bagaimana
mungkin sumoinya yang dia tinggalkan di rumah
ayah tirinya itu kini dapat berada di kota raja dan
dalam keadaan sakit"
"Siapakah sumoiku itu"' Dia menyelidik.
"Kalau tidak salah, namanya Nona Cian Kui
Eng," kata komandan itu.
"Ah, kalau begitu benar!" kata Cin Cin dengan
hati khawatir. "Kita harus segera ke sana!"
"Marilah, Ji-wi kami antar ke istana Pangeran Li
Cu Kiat," kata komandan jaga itu.
Karena agaknya masih te rlalu pagi untuk dapat
menghadap Sribaginda Kaisar, maka Thian Ki
mengangguk dan mereka berdua lalu diantar oleh
komandan itu pergi ke istana Pangeran Li Cu Kiat.
Ketika komandan itu melapor kedalam, segera
Pangeran Li Cu Kiat sendiri te rgopoh keluar.
Melihat pangeran yang tampan dan anggun itu
menyambut mereka dengan sikap ramah dan sama
sekali tidak memperlihatkan keangkuhan, Thian Ki
dan Cin Cin merasa kagum.
"Saudara yang bernama Coa Thian Ki, suheng
dari Nona Cian Kui Eng?" tanya pangeran itu
dengan lembut, namun sinar matanya memandang
penuh selidik, juga dia memandang kepada Cin Cin
degan sinar mata penuh pertanyaan. Dia harus
yakin dulu bahwa pemuda yang nampak sederhana
ini benar-suheng dari Kui Eng yang amat lihai.
"Benar, Pangeran. Saya bernama Coa Thian Ki
dan nona ini adalah nona Kam Cin. Benarkah

bahwa sumoi Cian Kui Eng berada di sini dan
sedang menderita sakit" Sakit apakah, Pangeran
dan bolehkah kami bertemu dengan sumoi?"
"Mari, silakan. Nona Cian Kui Eng te rserang
penyakit yang aneh dan tidak wajar."
Mendengar kete rangan itu, te ntu s aja hati Thian
Ki merasa tidak enak dan khawatir sekali. Mereka
lalu di antar oleh Pangeran Li Cu Kiat menuju
sebuah kamar. Kamar itu besar dan indah, dan Kui Eng rebah
telentang di atas pembaringan dari kayu berukir
yang indah. Segalanya indah dan bersih di kamar
itu, akan tetapi Kui Eng rebah dengan le su dan
muka pucat.. Ketika pangeran dan dua orang
tamunya memasuki kamar, Nenek Song dan
Nyonya Li Seng Tek bangkit dari tempat duduk
mereka. Mereka tadi duduk di dekat pembaringan,
agaknya menjaga gadis yang sakit itu. Diam-diam
Thian Ki merasa heran. Mengapa keluarga
pangeran itu nampaknya amat akrab dan amat
sayang kepada Kui Eng " Dia memberi hormat
kepada nenek dan wanita setengah tua itu ketika
sang pangeran memperkenalkan mereka sebagai
Ibu dan neneknya. Tiba-tiba nenek itu menggerakkah tongkatnya
yang berbentuk kepala naga dan ujung tongkat itu
sudah mengancam di atas kepala Thian Ki,
membuat pemuda itu merasa heran.
"Benarkah engkau yang bernama Coa Thian Ki?"
Nenek itu bertanya, suaranya masih nyaring dan
galak. ♤
"Benar sekali, nyonya."
"Jangan panggil aku nyonya, sebut saja nenek
kalau engkau benar suheng dari Kui Eng!" bentak
nenek itu. "Akan tetapi awas, kalau engkau
berbohong dan engkau te rnyata bukan suhengnya
yang ia cari, tongkatku ini akan menghancurkan
kepalamu!" Cin Cin adalah gadis yang pada dasarnya memiliki watak lincah jenaka dan periang, juga
tabah dan pandai bicara. Kini, melihat watak
nenek itu, ia tidak dapat menahan senyumnya.
Hal ini dapat dilihat si nenek dan tiba-tiba
tongkatnya menyambar dan sudah beralih tempat,
mengancam kepala gadis bertangan kiri buntung
itu. "Dan kau..... siapakah engkau?"
"Nama saya Kam Cin dan biasa disebut Cin Cin,
nenek yang baik." "Dan kenapa kau senyum-senyum seperti bocah
nakal itu ?" bentak pula nenek Song dan matanya
yang tua itu masih mencorong tajam.
Cin Cin masih senyum-senyum, " Nenek yang
baik, saya sungguh kagum melihatmu, sudah
begini tua namun masih penuh semangat! Ingin
saya seperti nenek kalau s aya sudah tua kelak."
Sejenak mata tua itu terbelalak dan saling
pandang dengan Cin Cin, kemudian senyum Cin
Cin menular dan nenek itupun te rtawa te rkekehkekeh dengan riangnya. ♤
He h-heh-heh-heh-heh! Bagus, engkau anak baik, Cin Cin! Cu Kiat, aku hampir yakin bahwa
dua orang ini memang orang baik-baik, heh-heh!"
kata-kata ini disusul turunnya tongkatnya dan
iapun duduk kembali ke atas kursinya.
"Sumoi....," Thian Ki menghampiri pembaringan
dan membungkuk untuk memeriksa keadaan
sumoinya. Dia meraba nadi pergelangan tangan
Kui Eng dan setelah memperhatikan beberapa
lama, dia memandang kepada Cin Cin penuh
pertanyaan. Gadis ini pun menghampiri dan tanpa
diminta, iapun memeriksa dada Kui Eng dengan
rabaan ujung jarinya. "Bagaimana pendapatmu, Cin-moi?" tanya Thian
Ki. "Hemm, ia tidak apa-apa, Koko. Ia tidak.......
tidak sakit........." kata Cin Cin dan Thian Ki
mengangguk membenarkan. "Heh-heh, tentu saja Kui Eng tidak sakit, akan
tetapi lihat saja nanti kalau ia kumat," kata N enek
Song. "Kumat" Thian Ki dan Cin Cin berseru, kaget
dan heran. Dan pada saat itu, terdengar Kui Eng
mengeluh. Thian Ki dan Cin Cin cepat memandang
dan gadis itu mengerutkan alisnya, seperti bangun
dari tidurnya akan te tapi belum buka mata dan
mengigau dengan kata-kata yang tidak je las,
tubuhnya menggeliat-geliat seperti orang yang
kesakitan hebat. Ketika Thian Ki meraba dahinya, dia terkejut.
Dahi yang tadi tidak apa-apa itu kini panas sekali.

"Cin-moi, cepat, kita bantu ia dengan sin-kang!"
kata Thian Ki. Tanpa ragu lagi Cin Cin dan Thian
Ki naik ke atas pembaringan bersila di kanan kiri
Kui Eng dan menempelkan telapak tangan
mereka, tangan Thian Ki di kedua pundak, dan
tangan Cin Cin di dada. Hanya sebentar saja kedua
orang muda yang memiliki sin-kang amat kuat ini
menyalurkan te naga dan Kui Eng tidak mengeluh
lagi pernapasannya pulih dan ia seperti dalam
tidur bias a. Thian Ki dan Cin Cin melompat turun dari atas
pembaringan, dan Kui Eng te rbangun dari
tidurnya. Mula-mula te rbelalak ketika melihat
suhengnya karena berbagai perasaan mengaduk
hatinya di saat ia melihat Thian Ki. Ada rasa heran,
gembira, te rharu dan juga duka mengingat akan
keadaan dirinya dan tanpa disadarinya, kedua
matanya menjadi basah. Melihat ini, Thian Ki
menyentuh pundak sumoinya.
"Sumoi, jangan berkeciI hati aku akan berusaha
sekuat tenaga untuk menyembuhkanmu."
Kini pandang mata Kui Eng berte mu dengan Cin
Cin dan kembali ia terbelalak, akan tetapi sekali ini
pandang matanya penuh rasa kaget dan marah. I a
berusaha untuk bangkit duduk, akan te tapi ia
rebah kembali. Setelah berhari-hari ia diserang
perasaan nyeri yang hebat, dan seringkali pingsan,
tubuhnya menjadi lemah dan kepalanya pening
setiap kali hendak bangkit.
Kui Eng tetap memandang kepada Cin Cin
dengan sinar mata bernyala. Cin Cin tersenyum,

"Adik Kui Eng, sebaiknya engkau beristirahat saja,
tubuhmu masih lemah."
"Biarpun tubuhku le mah, aku tidak takut untuk
melawanmu, engkau iblis betina yang hendak
membunuh ayahku!" Ucapan Kui Eng te ntu saja amat mengejutkan
Pangeran Li Cu Kiat, ibunya dan neneknya. Thian
Ki menjadi salah tingkah dan te rsipu, akan tetapi
Cin Cin bersikap tenang-te nang saja.
"Eng-moi, apa maksud ucapanmu tadi" Nona
Kam Cin ini hendak membunuh ayahmu" Apa
artinya semua ini?" tanya Pangeran Li Cu Kiat dan
dia sudah siap untuk menghadapi kemungkinan,
sedangkan Nenek Song juga sudah bangkit berdiri,
dan melintangkan Tongkat Naga tangannya.
"Ahh, apakah mataku sudah terlalu tua sehingga
aku salah menilai orang?" te riak nenek itu dan
tongkatnya diamang-amangkan dengan penuh
ancaman ke arah Cin Cin. Thian Ki. menghela napas panjang dan berkata,
"Harap paduka memaafkan kami,
Pangeran. Sesungguhnya semua ini merupakan urusan
pribadi antara sumoi s aya dan juga Cin-moi. Kalau
kami bertiga diperkenankan untuk bicara bertiga
saja, untuk membereskan urusan pribadi ini ......"
"Urusan pribadi bagaimana?" Nenek Song
membentak dengan suara lantang.
"Urusan yang menyangkut diri Kui Eng adalah
urusan keluarga kami pula, apapun yang akan
dibicarakan, harus kami dengar!"

Ketika Thian Ki memandang heran, pangeran
itu berkata, "Apa yang dikatakan nenekku benar,
Coa-toako. Kami semua menganggap Eng-moi
sebagai anggota keluarga sendiri dan kami ingin
mengetahui semua urusannya, tentu saja kalau ia
sendiri menyetujui." Pangeran itu menoleh ke arah
Kui Eng dengan sinar mata bertanya. Biarpun
tubuhnya le mah, namun kecerdikan Kui Eng tidak
berkurang, ia menghadapi urusan yang amat
penting bagi dirinya, yaitu betapa Pangeran Li Cu
Kiat amat mencintainya dan te lah melimpahkan
banyak budi kebaikan dan kecintaan kepadanya.
Namun, hatinya masih mele kat kepada Thian Ki
dan sekaranglah saatnya ia harus membiarkan
pangeran itu mengetahui segalanya, yaitu bahwa ia
mencinta suhengnya dan oleh ayahnya bahkan
telah direncanakan menjadi jodoh Coa Thian Ki.
Juga ia harus tahu te ntang hubungan Thian Ki
dengan Kam Cin yang dianggapnya musuh besar
yang pernah he ndak membunuh ayahnya itu. Kini,
mendengar percakapan mereka dan melihat betapa
Pangeran Li Cu Kiat memandang kepadanya
dengan sinar mata bertanya, iapun berkata kepada
Thian Ki. "Suheng, aku setuju kalau keluarga Pangeran Li
Cu Kiat ikut mendengarkan urusan pribadiku.
Nah, sekarang katakanlah kenapa engkau kini
agaknya malah membela ia yang dahulu hendak
membunuh ayahku, atau juga guru dan ayah
tirimu sendiri. Kenapa?"
Thian Ki juga mengerti bahwa sekarang dia tidak
dapat merahasiakan hubungannya dengan Cin
Cin. Bagaimanapun juga, orang pertama yang

harus mengetahui adalah Kui Eng! Dia harus
memutuskan tali perjodohannya dengan Kui Eng.
Dia tidak mencinta gadis itu sebagai seorang
kekasih, bahkan rasanya tidak mungkin dia dapat
mencinta gadis yang sejak kecil disayangnya
seperti adik sendiri itu sebagai seorang pria
mencinta seorang wanita. Dan apa salahnya kalau
dia mengakui cintanya kepada Cin Cin di depan
keluarga pangeran ini" Orang sedunia boleh saja
mengetahuinya. "Baiklah, sumoi, aku akan berterus te rang saja
agar engkau mengetahui segalanya. Engkau te ntu
masih mengenal Cin-moi, eh. adik Kam Cin ini,
bukan?" "Tentu saja! Ia adalah murid Tung-hai Mo-li yang
pernah hendak membunuh ayahku!" jawab Kui
Eng marah, dan mukanya yang biasanya pucat itu
kini agak kemerahan karena marah.
''Dan engkau tentu sudah mendegar dahulu itu
bahwa usaha yang dilakukan adik Kam Cin
bukan saja gagal membunuh ayah kita, sebaliknya
ia malah kehilangan tangan kirinya karena
te rpaksa aku membuntungi tangan itu untuk
menyelamatkan nyawanya, bukan?"
"Aku sudah mendengar dan aku merasa
menyesal kenapa hanya tangannya yang kaubuntungi, bukan lehernyal"
"Heh-heh, benar sekali omonganmu, Kui Eng!
Orang yang sudah begitu jahat untuk membunuh
ayahmu, sudah sepatutnya kalau dibuntungi
le hernya!" tiba-tiba Nenek Song berkata dan

Pangeran Li Cu Kiat mengerutkan alisnya dan
cepat dia mengingatkan neneknya.
"Harap nenek ingat bahwa keluarga kita hanya
berhak mendengarkan, akan te tapi tidak mencampuri urusan yang kita tidak tahu seluk
beluknya itu. Coa-toako, lanjutkan percakapan
kaIian." Thian Ki tidak memperdulikan ucapan nenek itu,
dan Cin Cin juga hanya tersenyum. Gadis ini telah
berubah banyak sekali. Setelah ia mendapatkan
cintanya dengan Thian Ki, ia merasa hidupnya
penuh kebahagiaan dan penuh kedamaian, dan ia
mempercayakan selamanya kepada kekasihnya itu.
Coba dahulu ia mendengar ucapan seperti yang
dikeluarkan Kui Eng dan Nenek Song, te ntu ia
sudah naik darah dan menantang mereka.
"Sumoi, ketahuilah bahwa adik Kam Cin hanya
menaati perintah gurunya. Ia tidak mempunyai
permusuhan pribadi dengan ayah kita, dan kini ia
telah menyadari bahwa gurunya itu yang bersalah,
bukan ayah kita." "Hemm, dan karena ia te lah menyadari, maka
engkau berbaik dengannya dan membelanya,
suheng?" "Bukan hanya karena itu, sumoi melainkan,
te rus te rang saja karena sebenarnya kaulah orang
pertama yang berhak mengetahuinya, kami, yaitu
aku dan adik Kam Cin, kami saling mencinta dan
sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama
selamanya sebagai suami isteri."

Sepasang mata Kui Eng te rbelalak. "Kau.....
kalian..... saling mencinta.......?" katanya lirih dan
te rgagap. "...... tapi aku ..... kita .....bagaimana
dengan perjodohan antara kita yang ditentukan
ayah?" Thian Ki merasa sungkan dan tidak enak sekali
karena percakapan pribadi itu didengarkan keluarga pangeran itu. Akan tetapi, dari sikap
pangeran itu dan ibu serta neneknya terhadap Kui
Eng, dia dapat menduga bahwa pangeran itu
agaknya jatuh cinta kepada Kui Eng dan
keluarganya menyetujuinya. Sementara itu, mendengar ucapan Kui Eng sebagai pertanyaan
yang diajukan kepada Thian Ki, Pangeran Li Cu
Kiat mengerutkan alisnya, demikian pula ibunya
dan neneknya saling pandang
dengan alis



berkerut. Mereka terkejut dan juga kecewa
mendengar bahwa Kui Eng telah dijodohkan
dengan suhengnya. Kini pangeran itu mengerti
mengapa Kui Eng belum dapat menjawab ketika
dia menyatakan cintanya. Kiranya gadis itu telah
mempunyai tunangan, yaitu suhengnya sendiri dan
kini suhengnya itu menyatakan cinta pada gadis
lain! "Sumoi. biarlah engkau mendengar baik-baik
dan disaksikan oleh keluarga yang te rhormat ini,"
kata Thian Ki dengan lembut namun dengan penuh
ketegasan. "Kita berdua bukan saja suheng dan
sumoi, juga kita adalah saudara tiri. Sejak kecil
kita berkumpul dan bergaul sehingga aku selalu
mencintamu seperti adikku sendiri. Engkaupun
menyayangku sebagai kakakmu. Bagaimana mungkin kita dapat mencinta sebagai suami isteri"

Aku saling mencinta dengan adik Kam Cin ini,
sumoi. Aku merasa bahwa sebaiknya kalau aku
berte rus terang saja kepadamu, karena pernikahan
tanpi cinta yang dipaksakan, akan menghancurkan
kehidupan kita berdua. Aku menyayangmu sebagi
adik sendiri, sumoi, dan engkau te ntu dapat
merasakan dan mengerti benar. Nah, aku sudah
mengeluarkan isi hatiku, mudah-mudahan saja
engkau akan mampu mempertimbangkan dan
mengerti." Suasana menjadi hening sejenak, setelah Thian
Ki berhenti bicara. Keluarga pangeran itu adalah
keluarga bangsawan yang menjunjung tinggi
kegagahan, maka mendengar ucapan Thian Ki
yang jujur dan tegas itu, mereka merasa kagum.
Kui Eng sendiri terkejut, akan tetapi tidak merasa
heran karena sekarang iapun dapat merasakan
kebenaran ucapan Thian Ki. Mereka memang
saling menyayang sejak kecil, dan kesayangan
mereka satu sama lain adalah kesayangan antara
saudara. Sekarang baru ia dapat merasakannya.
Yang membuat ia bengong adalah melihat kenyataan yang amat aneh itu. Thian Ki dan Kam
Cin saling mencinta setelah Thian Ki membuntungi
tangan kiri gadis itu!. Kalau mereka saling
mendendam, hal itu adalah wajar saja. Akan tetapi
saling mencinta" Suheng, aku dapat menghargai keterus- te ranganmu ini. Akan tetapi, kenapa engkau tidak
membantah dan menerima saja ketika ayah
mengusulkan perjodohan di antara kita?"

"Sumoi, bagaimana mungkin aku berani menolaknya begitu saja" Aku tidak ingin mengecewakan hatinya, dan sebagai murid, juga
sebagai anak tiri, aku harus mematuhinya.
Maksudku, aku diam saja dan perlahan-lahan,
akan kuberi tahu. Sekarang, aku bahkan mohon
kepadamu agar engkau membantu aku memberi
tahu kepada ayah kita."
"Dan bagaimana pula engkau dapat saling
mencinta dengan enci Kam Cin yang te lah
kaubuntungi tangan kirinya ini" Enci Kam Cin,
sepatutnya engkai membenci dan mendendam
kepada suheng, akan tetapi kenapa......7"
Cin Cin te rsenyum manis. "Adi Kui Eng, dia.
membuntungi tangan kiriku bukan karena membenci, melainkan karena hendak menyelamatkan nyawaku, dan aku kehilangan
tangan ini karena ulahku sendiri, karena salahku
sendiri mungkin ini merupakan hukuman bagiku
karena aku hendak membunuh ayahmu yang tidak
mempunyai kesalahan apapun terhadap diriku."
Tiba-tiba Kui Eng mengeluh dan sakitnya
kambuh. Matanya te rpejam dan tubuhnya menggeliat-geliat. Melihat ini cepat Thian Ki
memberi isyarat kepada Cin Cin dan seperti tadi,
mereka menempelkan telapak tangan ke pundak
dan dada Kui Eng dan sebentar saja, keadaan Kui
Eng sudah pulih kembali dan iapun sudah te nang
kembali. Akan te tapi, gadis itu menjadi semakin
le mah dan nampaknya tidur.
"I bu. nenek, aku tidak mungkin dapat mendiamkan saja! Aku akan mencari tosu itu!"

tiba-tiba Pangeran Li Cu Kiat membentak marah
dan dia sudah mencabut pedangnya.
"Cu Kiat. sudah kukatakan bahwa tanpa bukti,
tidak boleh engkau bertindak. Ingat, dia adalah
sahabat Kaisar! Dan sungguh tidak baik kalau
engkau menggunakan kekerasan tanpa adanya
bukti. Bukankah Kaisar pernah menegurmu
karena sikapmu yang kasar te rhadap tosu itu"
Nah, itu membuktikan bahwa tosu. itu mempunyai
pengaruh terhadap kais ar," kata Nenek Song.
Mendengar ini. Thian Ki segera berkata, "Mohon
maaf. akan te tapi siapakah tosu siluman yang
dimaksudkan pangeran" Dan apakah dia mempunyai hubungan dengan sakitnya sumoi?"
"Tosu dukun le pus itu yang membuat Kui Eng
sakit dengan ilmu hitamnya!" Nenek Song berseru
sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya di atas
lantai karena marah. Sepasang mata Cin Cin mencorong marah. "Biar
kami yang pergi menghajarnya. Pangeran. Tolong
beritahukan di mana kami dapat mencarinya."
"Benar. Pangeran. Kami berdua yang akan
menghentikan kejahatannya demi menyelamatkan
sumoi." kata pula Thian Ki .
"Bagus!" Nenek Song berseru "Kalau kalian dapat
membasmi tosu dukun le pus itu, barulah kami
percaya akan kesungguhan hati kalian terhadap
Kui Eng!" Mereka lalu memberitahu kepada Thian
Ki dan Cin Cin bahwa tosu yang dimaksudkan
berjuluk Im Yang Sengcu dan tinggal di kuil istana

yang berada di bukit buatan di lingkungan
belakang Istana. "Akan tetapi harap Coa-twako berhati-hati." kata
Pangeran Li Cu Kiat. "Im Yang Sengcu itu lihai
sekali, juga dia memiliki murid-murid yang lihai."
"I mu silatnya sih tidak berapa hebat, akan tetapi
ilmu hitamnya amat jahat. Kalian harus berhatihati," kata pula Nenek Song.
Thian Ki memberi hormat kepada tiga orang itu
dan berkata dengan sikap dan suara serius kepada
Pangeran Li Cu Kiat, "Pangeran, harap jaga sumoi
baik-baik." Mendengar ini. Nenek Song berseru, "Kaukira
siapa yang menjaganya siang malam dengan setia"
Cucuku ini sampai berhari-hari kurang makan
kurang tidur karena menjaga Kui Eng yang sakit!"
Thian Ki saling pandang dengan Cin Cin,
kemudian dia kembali menatap wajah pangeran itu
dan berkata lirih "Terima kasih. Pangeran.
Percayalah paduka tidak salah pilih." Setelah
berkata demikian, Thian Ki mengajak Cin Cin
meninggalkan gedung itu dan mereka segera pergi
menuju ke pintu gerbang istana. Ketika kepala jaga
melihat mereka dan menerima surat kete rangan
dari Pangeran Li Cu Kiat bahwa Thian Ki dan Cin
Cin adalah utusannya untuk mengunjungi kuil dan
menemui Im Yang Sengcu, kepala jaga itu tidak
berani melarang dan dia bahkan menunjukkan di
mana le tak kuil di bukit buatan itu. Tanpa
mengalami rintangan, kedua orang muda itu dapat
memasuki pomple k istana dan langsung saja

mengambil jalan melalui pekarangan dan taman
menuju ke kuil. Kuil Itu nampak sunyi dan dengan kepandaiannya yang tinggi. Thian Ki dan Cin Cin
dapat menyelinap ke arah belakang kuil. Beberapa
orang murid dan anak buah Im Yang Sengcu yang
nampak di sekitar kuil tidak dapat melihat gerakan
dua orang yang amat cepat itu dan yang nampak
hanya bayangan berkele bat.
Di Pondok kecil belakang kuil, tempat yang
biasanya dipergunakan untuk bersamadhi, bertapa
atau menyendiri itu lm Yang Sengcu berada
seorang diri. Se mua pintu dan jendela pondok kecil
itu tertutup. Dia sedang bersila di depan meja
sembahyang dan ada asap mengepul dari seikat
dupa yang membara. Asap itu membubung ke atas
dengan lurus akan tetapi asap itu bergoyanggoyang seolah mahluk hidup yang sedang menderita kesakitan. Berulang kali tosu itu
mengeluarkan suara membaca mantram dan
kedua tangan yang tadinya bersilang depan dada,
kadang di dorongkan ke arah asap itu.
Dia merasa penas aran sekali. Kenapa dia selalu
gagal dalam pengerahan tenaga ilmu hitamnya
untuk membunuh gadis yang dimusuhinya itu"
Setumpuk pakaian wanita berada di atas meja
sembahyang itu. Itulah pakaian Kui Eng yang
diambilnya dari kamar losmen dan pakaian bekas
dipakai gadis itu, yang belum se mpat dicuci, itulah
yang dijadikan je mbatan untuk menyerang gadis
itu dengan ilmu hitam. Dia telah berhasil membuat
gadis itu terserang penyakit aneh, namun dia

selalu gagal untuk membunuh mangsanya. Dia
merasa penasaran bukan main. Baru sekali ini dia
gagal ! De ngan hati yang penuh dendam dan penas aran, Im Yang Sengcu lalu mengeIuarkan
sehelai kertas yang biasa dipakai untuk membuat
hu (s urat jimat) lalu sambil berkemak-kemik
membaca doa dia menuliskan tiga buah huruf di
kertas itu, yaitu tiga huruf nama Cia Kui Eng!
Kemudian, dia menusuk kertas itu dengan
pedangnya, lalu mengangkat pedang yang sudah
menusuk kertas itu ke atas dan mengeluarkan
suara yang te rdengar menggetar penuh kekuatan
sihir. "Cian Kui Eng, engkau telah berada dalam
kekuasaanku dan sekarang engkau akan kubakar,




te rbakar habislah seluruh perasaanmu, hangus
seluruh jasmanimu!" Dan dia menjulurkan pedang
yang ujungnya menusuk kertas itu ke arah lilin
besar di meja sembahyang. Tiba-tiba te rdengar
suara berdesing dan sebuah benda kecil hitam
menghantam pedang itu. "Tringgg.....!!" Pedang di tangan Im Yang Sengcu
te rgetar hebat dan kertas yang tadi tertusuk di
ujung pedang itupun te rlepas dan melayang. Sesosok bayangan hitam berkele bat dan menyambar.
Im Yang Sengcu terkejut dan bangkit berdiri,
melihat dua orang telah berada di dalam pondoknya. Seorang pemuda sederhana yang telah
memegang surat hu dengan nama Cian Kui Eng
yang ditulis nya tadi, dan seorang gadis yang
buntung tangan kirinya sebatas pergelangan.

"Siapakah kalian" Berani mati memasuki pondok pinto tanpa ijin!" bentaknya sambil
menudingkan pedangnya, diam-diam mengerahkan
kekuatan sihirnya, memandang dengan mata
mencorong, berkemak-kemik lalu membentak,
"Hayo kalian berdua berlutut! Berlutut kataku!!"
Thian Ki memegang tangan kanan Cin Cin
dengan tangan kirinya, mengerahkan sin-kang dan
seperti biasa, otomatis didasari penyerahan kepada
kekuasaan Tuhan. Biarpun kedua orang ini
merasakan getaran aneh yang seolah hendak
memaksa mereka berlutut, namun kekuatan
getaran itu seperti angin lalu saja dan tidak
meninggalkan bekas. Diam-diam Im Yang Sengcu te rkejut bukan
main. Dua orang muda ini bukan han ya dapat
memasuki pondoknya tanpa diketahui
anak buahnya dan bukan han ya dapat merampas hu di
ujung pedangnya, juga kekuatan sihirnya tidak
mempan te rhadap mereka! Thian Ki membaca nama di atas kertas hu itu,
lalu memandang kepada tosu itu dengan sinar
mata tajam lalu menjawab, "Manusia sejahat iblis
yang berpakaian seperti tosu, tentu engkau yang
disebut Im Yang Sengcu! Engkau te lah mempergunakan ilmu iblis untuk menyerang
sumoiku Cian Kui Eng. Perkenalkanlah, aku Coa
Thian Ki dan aku datang untuk membasmi
pekerjaanmu yang terkutuk ini!"
"Koko, serahkan saja dukun iblis ini kepadaku!
Aku ingin sekali memenggal batang lehernya!"

Diam-diam lm Yang Sengcu te rkejut dan gentar.
Baru melawan Cian Kui Eng saja dia merasa
kewalahan, apa lagi kini muncul suhengnya dan
juga gadis yang tangan kirinya buntung ini jelas
memiliki ilmu kepandaian tinggi! Maklum bahwa
ilmu sihirnya tidak mempan terhadap dua orang
itu, tiba-tiba saja pedangnya berkelebat ke arah
meja sembahyang dan te rdengar le dakan keras
disusul terbakarnya meja sembahyang itu dan
bayangan Im Yang'Sengcu berkelebat lenyap di
balik meja. Dia telah melarikan diri keluar dari
pondok melalui pintu di belakang meja.
"Cin-moi, cepat keluar!" bentak Thian Ki dan
keduanya lalu menerobos keluar dari pintu
pondok. Ternyata lm Yang Sengcu telah berada di
luar pondok dan dia te lah mengerahkan limabelas
orang murid dan anak buahnya yang semua telah
memegang senjata! Begitu melihat Thian Ki dan
Cin Cin muncul dari pintu pondok, lm Yang
Sengcu menudingkan pedangnya dan berte riak
dengan suara lantang kepada para murid dan anak
buahnya. "Tangkap mata-mata pemberontak itu! Kalau
melawan, bunuh mereka!"
Limabelas orang itu mengepung. Dengan sikap
te nang Thian Ki berkata kepada lm Yang Sengcu,
"I m Yang Sengcu kami bukan mata-mata pemberontak, akan tetapi sesungguhnya engkaulah yang menjadi jadi racun di is tana,
engkau dukun le pus yang jahat, murid iblis yang
hanya mendatangkan kekacauan!"

"Tangkap! Bunuh!!" lm Yang Sengcu berte riakte riak dan 1imabelas orang itupun mengepung
semakin ketat sambil berteriak-teriak. Akan tetapi
pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
"Hentikan semua ini!!'.'
Mendengar suara itu, lm Yang Sengcu dan anak
buahnya te rkejut, menengok dan para anak buah
tosu itu segera menjatuhkan diri berlutut, dan tosu
itu sendiri memberi hormat dengan menjura
dalam-dalam. Kiranya yang muncul adalah Kaisar
Tang Tai Cung sendiri! Kaisar yang nampak gagah
perkasa ini ternyata datang berkunjung ke kuil itu
seorang diri saja tanpa pengawal dan mendengar
ribut-ribut di belakang kuil, dia segera berlari
menghampiri dan melihat dua orang muda
dikepung oleh murid dan ana k buah Im Yang
Sengcu. Tentu saja kaisar merasa terheran-heran
dan membentak mereka agar menghentikan
keributan itu. Thian Ki dan Cin Cin juga terkejut, apa lagi
ketika semua orang meneriakkan penghormatan
kepada kaisar dan mereka tahu bahwa yang
muncul adalah Kais ar sendiri. Keduanya juga cepat
memberi hormat dengan berlutut.
Sejenak Kaisar Tang Tai Cung menyapu semua
orang dengan pandang matanya. Alisnya berkerut
tanda kecewa. Tosu yang dikaguminya dan
dianggap sebagai seorang sahabatnya itu ternyata
melakukan perbuatan yang dianggapnya curang
dan memalukan. Mengerahkan limabelas orang
anak buah mengepung seorang pemuda sederhana
dan seorang gadis yang buntung tangan kirinya!

Padahal dia percaya bahwa Im Yang Sengcu adalah
seorang tosu yang sakti. "To-tiang, apa yang te rjadi disini, dan mengapa
tadi kami melihat engkau mengerahkan semua
orang ini untuk mengepung pemuda dan gadis
ini?" tanya Kaisar dengan suara mengandung
penas aran. "Ampunkan hamba, Sribaginda," kata Im Yang
Sengcu dengan sikap hormat "Dua orang muda ini
adalah mata-mata pemberontak. Buktinya, mereka
memasuki pondok samadhi hamba dan menyerang
hamba. Karena mereka itu memiliki kepandaian
dan berbahaya, maka hamba mengerahkan muridmurid untuk mengepung dan menangkap mereka."
Kaisar Tang Tai Cung mengerutkan alis nya dan
mengamati Thian Ki dan Cin Cin. Sungguh aneh
kalau ada dua orang mata-mata pemberontak
begitu berani, pagi-pagi sudah berani memasuki
lingkungan is tana. Rasanya tidak mungkin. Kalau
mata-mata pemberontak yang memiliki niat buruk,
te ntu masuknya seperti maling di malam hari,
tidak secara te rbuka seperti mereka berdua itu.
Apalagi melihat mereka berdua itu berlutut dengan
sikap tenang dan berani, sedikitpun tidak nampak
ketakutan seperti layaknya mata-mata pemberontak kalau tertangkap basah.
"Orang muda. siapakah kalian?" Tanya Sri
baginda Kais ar sambil mengamati Thian Ki dan Cin
Cin penuh perhatian. "Hamba bernama Coa Thian Ki, Yang Mulia."
"Hamba bernama Kam Cin, Yang Mulia."

"Me ngapa kalian berdua berani menyelundup ke
sini dan benarkah kalian menyerang lm Yang
Sengcu tanpa sebab?"
"Sebelum hamba memberi kete rangan, perkenankan dulu hamba menyerahkan surat ini,
karena sesungguhnya, hamba berdua datang ke
kota raja dengan maksud menghadap paduka dan
menyerahkan surat ini." Thian Ki mengeluarkan
surat dari Hong Lan. Melihat ini, Im Yang Sengcu khawatir dan
cepat-cepat dia mendekat "Sri baginda, harap
jangan menerima benda itu. Biarkan hamba yang
menerimanya dan memeriksanya lebih dulu, siapa
tahu dia hendak mencelakai paduka!"
"To-tiang," kata Kaisar dengan suara yang
nadanya tidak senang. "Begitu lemahkah kami
sehingga orang mampu mencelakai kami semudah
itu" Sejak kapan to-tiang menganggap kami
sebagai orang yang tak berdaya?"
"Ampun, Sri baginda, hamba hanya mengkhawatirkan keselamatan paduka," kata tosu
itu dengan muka kemerahan apa lagi melihat
Thian Ki dan Cin Cin tersenyum mengejek
kepadanya. Kaisar Tang Tai Cung menerima surat itu dan
seketika wajahnya berseri gembira ketika dia
melihat bahwa surat itu datang dari Hong Lan.
pute ri angkatnya yang disayangnya. Dia mengenal
tulisan Hong Lan. "Aha, kiranya kali merupakan
sahabat-sahabat baik pute ri dan kini menjadi
utusannya?" katanya girang dan dia cepat
membaca tulis an pute rinya. Mula-mula alisnya

berkerut membaca bahwa pute rinya mohon agar
dia suka menyerahkan dua macam benda yang
amat berharga kepada Coa Thian Ki, akan tetapi
ketika dia membaca penjelasannya. wajahnya
berseri kembali dan habis membaca, dia memandang kepada Thian Ki dengan kagum.
Puterinya menceritakan dalam tulisannya bahwa
Coa Thian Ki adalah seorang pendekar yang sakti,
yang bahkan menjadi seorang manusia beracun
tubuhnya sehingga semua orang yang memukulnya akan.mati keracunan, dan Hong Lan
mohon agar diberi obat penawar katak merah
kepada pemuda itu. Juga pute rinya minta agar
Liong-cu-kiam diserahkan kepada Thian Ki yang
te rnyata murid dari bekas Pangeran Cian Bu Ong
yang tentu saja dia kenal kelihaiannya!
Setelah membaca surat itu, Kaisar Tang Tai
Cung mengelus jenggotnya, biarpun dia seorang
kaisar, akan tetapi dia berjiwa pendekar dan dia
tahu bahwa Pangeran Cian Bu Ong bukan
penjahat, bukan pula pemberontak biasa, melainkan seorang tokoh Kerajaan Sui yang
berusaha menegakkan kembali Kerajaan Sui yang
sudah jatuh. Karena pedang



Liong-cu-kiam merupakan pusaka pribadi bekas pangeran itu,
maka sudah sewajarnya kalau kini dia mengembalikannya, apa lagi kalau diingat bahwa
bekas musuh itu kini tidak lagi berusaha untuk
memusuhi Kerajaan Tang. "Coa Thian Ki dan Kam Cin, kami te lah
membaca surat pute ri kami. Akan tetapi, kami
ingin le bih dulu mengetahui mengapa kalian

masuk ke kuil ini dan benarkah kalian menyerang
Im Yang Sengcu?" Thian Ki lalu menceritakan kepada Kaisar apa
yang te lah didengarnya dari Pangeran Li Cu Kiat.
Dia menceritakan betapa sumoinya yang bernama
Cian Kui Eng, pute ri suhunya, juga adik tirinya,
ketika memasuki kota raja, di ganggu oleh kepala
jaga di pintu gerbang. Adiknya itu melawan
sehingga kepala jaga itu dihajar dan ketika adiknya
dikeroyok, muncul Pangeran Li Cu Kiat yang
melerainya. Setelah mendengar te ntang duduknya
perkara, pangeran lalu bertindak, melaporkan
sikap kepala jaga itu kepada panglima sehingga dia
dihukum. Betapa kemudian, ketika adiknya bermalam di rumah penginapan, muncul kakak
dari kepala jaga itu hendak membunuh Kui Eng.
Akan te tapi, Kui Eng mampu menangkis , bahkan
kemudian Kui Eng mengejar pembunuh itu.
"Pembunuh itu lari dan kemudian muncul lm
Yang Sengcu yang ternyata adalah guru pembunuh
itu, Yang Mulia, Demikianlah, Cian Kui Eng
dikeroyok ole h Im Yang Sengcu dan anak buahnya.
Ia melarikan diri dan secara kebetulan bersembunyi di dalam istana Pangeran Li Cu Kiat
dan dilindungi oleh keluarga itu."
Sribaglnda melirik ke arah Im Yang Sengcu yang
mendengarkan dengan alis berkerut akan tetapi
tidak berani menyangkal, hanya menyusun akal
bagaimana harus menghadapi keadaan yang
memojokkan itu. "Teruskan ceritamu." kala Sri baginda Kaisar
kepada Thian Ki . ♤
Thian Ki bercerita betapa dia dan Cin Cin
memasuki kota raja pagi itu dan tadinya mereka
hendak langsung menghadap Kaisar menyerahkan
surat. Akan tetapi dari penjaga di pintu gerbang
istana dia mendengar bahwa dia dicari oleh
adiknya yang sedang sakit dan berada di is tana
Pangeran Li Cu Kiat. Dia dan Cin Cin segera pergi
kesana dan mendapatkan adiknya memang sedang
sakit parah. "Cian Kui Eng bukan sakit biasa, Yang Mulia,
melainkan sakit karena pengaruh ilmu hitam.
Hamba mendengar dari Nyonya Song bahwa yang
melakukan penyerangan dengan ilmu hitam mungkin sekali adalah Im Yang Sengcu. Hamba
dan nona Kam Cin segera melakukan penyelidikan
dan masuk ke sini......"
"Dan mereka menyerang hamba, Sri baginda!" Im
Yang Sengcu memotong. Kaisar memberi isyarat agar dia diam. lalu
memandang Thian Ki dan berkata dengan suara
memerintah. "Lanjutkan ceritamu!"
"Hamba berdua melihat di daiam pondok itu lm
Yang Sengcu sedang melakukan penyerangan
dengan ilmu sihirnya terhadap Cian Kui Eng. Dia
menggunakan kertas hu yang ditulisi nama adik
hamba itu dan hendak dibakarnya, hamba berhasil
menghalangi dan merampasnya, inilah kertas hu
itu. Yang Mulia." Thian Ki membeberkan kertas hu
bertuliskan nama Kui Eng dan menyerahkannya
kepada Sribaginda yang melihatnya dengan alis
berkerut. ♤
"Hamba melihat pula pakaian adik Kui Eng di
atas meja sembahyang, maka hamba tidak
meragukan lagi bahwa memang tosu jahat ini yang
telah menggunakan ilmu hitam hendak mencelakai
adik hamba. Dia lalu menggunakan sihir, membakar meja sembahyang dan lari ke luar.
Ketika hamba dan adik Kam Cin mengejar ke luar
pondok, te rnyata dia telah mengerahkan anak
buahnya mengepung hamba berdua."
"To-tiang, benarkah apa yang diceritakan pemuda ini?" Sribaginda Kaisar menghadapi Im
Yang Sengcu. "Tidak benar, Sribaginda! Dia berbohong dan
hendak melemparkan fitnah kepada pinto!" bantah
tosu itu dengan suara marah dan matanya
mencorong memandang kepada Thian Ki dan Cin
Cin. "To-tiang, tulisan siapakah itu?" Sribaginda
Kaisar menunjuk ke arah kertas hu yang masih
te rbentang. "Tidak hamba sangkal, itu memang tulis an
hamba dan memang pinto berniat menghukum
gadis itu. Yang tidak benar adalah sebab-sebab
permusuhan ini, Sri baginda. Permusuhan antara
murid pinto yang bernama Phoa Gu dan nona Cian
Ku Eng merupakan urusan pribadi yang pinto
tidak ingin mencampurinya pula. Akan te tapi
melihat murid pinto dikejar-kejar oleh gadis itu,
te ntu saja pinto melerai. Dan pinto menjadi curiga
melihat gadis itu memiliki nama keturunar Cian,
mengingatkan hamba akan keluarga kaisar Kerajaan Sui. Pinto curiga bahwa ia tentulah

seorang mata-mata pemberontak, maka pinto
hendak menawannya, dan memeriksa teliti. Akan
tetapi ia melarikan diri dan dilindungi oleh keluarga Pangeran Li Cu Kiat. N ah, karena tidak ada
jalan untuk menangkap gadis mata-mata pemberontak itu, maka pinto menggunakan ilmu
sihir untuk dapat membunuhnya. Semua ini pinto
lakukan demi keselamatan kerajaan paduka, Sri
baginda." Tosu itu tidak tahu betapa semalam Kaisar
dilayani selirnya terkasih. Bu Mei Ling. Dalam
kesempatan yang amat baik itu, ketika Kaisar
dibuai kemesraan yang dilimpahkan selir itu
kepadanya, merasakan betapa besar kasih sayang
Bu Mei Ling kepadanya, selir itu dengan hati-hati
dan halus, telah membuka kesadaran Kaisar akan
bahaya besar yang datang dari lm Yang Sengcu.
De ngan amat lembut dan cerdik sehingga tidak
mengejutkan, Bu Mei Ling menuntun Kaisar ke
dalam pemikiran yang membuat dia diam-diam
menaruh curiga kepada lm Yang Sengcu. Segala
perbuatan tosu itu yang lalu, dicatat dengan amat
cermat oleh Bu Mei Ling dan malam itu, semua
perbuatannya yang bersifat palsu dan buruk,
diungkapkan. Bahkan yang te rakhir, betapa Im
Yang Sengcu seolah hendak menjauhkan keakraban hubungan keluarga kaisar ketika
melaporkan tentang sikap Pangeran Li Cu Kiat
kepada Kaisar, mengatakan bahwa pangeran
menghina Im Yang Sengcu. De ngan cerdik Bu Mei
Ling mengingatkan kais ar betapa setianya keluarga
pangeran itu, tidak pernah mencampuri urusan
persaingan kekuasaan, bahkan keluarga yang

gagah perkasa itu dikenal sebagai keluarga yang
selalu menjunjung dan membela kebenaran dan
keadilan. Oleh karena pengaruh semalam masih
kuat melekat di hatinya, maka pagi itu Kaisar
datang ke kuil untuk sekali lagi memperhatikan
sikap dan tingkah tosu yang mulai mencurigakan
hatinya itu. Dan ternyatai dia melihat tosu itu
hendak melakukan kecurangan kepada orangorang muda. Bahkan lebih dari itu, dia mendengar
bahwa Im Yang Sengcu mempergunakan ilmu
hitam untuk membunuh pute ri bekas Pangeran
Cian Bu Ong yang dia kagumi kegagahannya.
Sekarang, tosu itu berdalih bahwa dia melakukan
perbuatan pengecut yang hanya patut dilakukan
oleh golongan hitam yang sesat itu adalah untuk
menjaga keselamatan Kerajaan! Diam-diam, kegagahan di hati kaisar pendekar itu te rsinggung
dan diapun mengambiI suatu keputusan tegas.
"Kiranya sudah cukup kami mendengar keterangan ke dua pihak. Coa Thi-Ki, engkau
sudah yakin bahwa Im Yang Sengcu telah
melakukan kejahatan terhadap adikmu Cian Kui
Eng dan engkau berniat hendak menghukumnya?"
"Hamba sudah yakin. Yang Mulia. dan bukan
semata karena dia berbuat jahat te rhadap adik
hamba saja maka hamba menentangnya, melainkan karena sudah menjadi kewajiban hamba
untuk menentang kejahatan yang dilakukan oleh
siapapun te rhadap siapapun," jawab Thian Ki
penuh semangat. Kaisar mengangguk dan diam-diam merasa
kagum. Dia sendiri juga bersikap seperti pemuda

ini ketika dia masih muda dan malang melintang di
dunia kang-ouw. Lalu dia menghadapi Im Yang
Sengcu. "lm Yang Sengcu, apakah engkaupun sudah
yakin bahwa pemuda ini seorang mata-mata
pemberontak yang harus ditangkap atau dibunuh?" De ngan cepat lm Yang Sengcu merangkap kedua
tangan depan dada. "Ooo, pinto yakin sekali,
Sribaginda. Menurut perhitungan pinto, kalau
kedua orang muda ini tidak dibasmi sekarang
kelak mereka akan menjadi ancaman besar bagi
kejayaan kerajaan paduka! Karena itu, perkenankan hamba menangkap mereka dan ......"
"Nanti dulu, to-tiang. Rupanya ada perbedaan
pendapat yang amat besar di antara Coa Thian Ki
ini dan engkau. Kita semua adalah orang-orang
yang menghargai kegagahan dan kami jijik dengan
kepalsuan dan kecurangan. Oleh karena itu,
sekarang juga kami memutuskan agar di antara
kalian berdua membuktikan kebenaran masingmasing dengan pertandingan satu lawan satu yang




adil. Kami tidak menghendaki kecurangan dan
pengeroyokan. Beranikah engkau kalau kami
perintahkan bertanding melawan Im Yang Sengcu
untuk mempertahankan kebenaranmu. Coa Thian
Ki?" Thian Ki tersenyum tenang. "Tentu saja hamba
berani membela kebenaran dan keadilan dengan
taruhan nyawa hamba, Yang Mulia."
"Dan engkau bagaimana, Im Yang Sengcu.
Beranikah engkau bertanding satu lawan satu

dengan pemuda ini" Atau kami akan mendengar
sesuatu yang mustahil, yaitu bahwa Im Yang
Sengcu takut melawan seorang pemuda yang tak
te rkenal" Agaknya kaisar sengaja mengeluarkan
ucapan seperti ini untuk mendesak atau memojokkan tosu itu sehingga tidak dapat menolak
lagi. "Tentu.... tentu saja.... pinto berani!" Tosu itu
berkata dengan gagap, akan te tapi karena diapun
bukan seorang le mah, bahkan memiliki ilmu silat
yang lihai dan ilmu sihir yang kuat, maka
kepercayaan kepada diri sendiri bangkit kembali.
Pada saat itu, terdengar Cin Cin berkata dengan
suara lantang. "Yang Mulia, perkenankan hamba yang menghadapi tosu siluman itu untuk membalaskan
apa yang telah dia lakukan terhadap adik Cia... Kui
Eng." Mendengar ini, Kaisar Tang Cung memandang
kagum dan heran. Sebagai seorang bekas pendekar, tentu saja dia mengetahui bahwa bukan
hanya kaum pria yang dapat menguasai ilmu silat
tinggi, juga banyak wanita yang perkasa Akan
tetapi gadis muda ini buntug tangan kirinya,
bagaimana ia berani menantang seorang tangguh
seperti Im Yang Sengcu"
Mendengar ucapan Cin Cin, Im Yang Sengcu
te ntu saja tidak ingin le paskan kesempatan baik
ini. "Baik, pinto menerima tantangan nona ini untuk
bertanding!" ♤
Mendengar ini, perasaan tidak senang terhadap
tosu itu makin menjadi, dalam hati Kaisar. Sikap
Im Yang Sengcu yang cepat-cepat menyambut
tantangan gadis bertangan buntung itu s aja sudah
jelas memperlihatkan wataknya yang curang dan
licik. Kais ar Tang Tai Cung tersenyum dingin.
"Totiang, tantangan Coa Thian Ki belum juga
kausambut, bagaimana engkau sekarang hendak
menyambut tantangan nona ini?"
lm Yang Sengcu tidak dapat menjawab dan
mukanya berubah merah. Thian Ki segera berkata
kepada kaisar. "Ampun, Yang Mulia. Biar hamba
yang mewa kili pula tantangan yang diucapkan
oleh adik Kam Cin ini"
Kaisar te rsenyum. "Ha-ha, kalian berdua ini
aneh, seolah bersaing hendak menandingi I m Yang
Sengcu, dan agaknya ingin saling mewakili.
Bagaimana kami dapat mempertimbangkan apakah kalian berhak untuk saling mewakili?"
"Tentu saja hamba berdua berhak, Yang Mulia,
karena hamba berdua adalah calon suami is teri,"
kata Thian Ki dengan sejujurnya karena dia tidak
ingin sekasihnya menghadapi tosu yang amat
berbahaya itu. Kaisar Tang Tai Cung mengangguk-an gguk dan
kekagumannya meningkat. Dua orang pendekar
muda ini bukan saja gagah perkasa dan berani,
akan te tapi juga jujur dan diam-diam dia merasa
girang karena pute rinya ternyata tidak keliru
memilih sahabat. "Bagus, kalau begitu, terserah
kepada kalian berdua untuk menentukan siapa di

antara kalian yang akan bertanding melawan Im
Yang Sengcu." "Koko, kenapa engkau hendak mewakili aku
menghadapi tosu iblis ini" Apakah engkau masih
belum percaya akan kemampuanku?"
"Bukan begitu, Cin-moi, akan tetapi tosu ini
curang dan licik, biar aku saja yarg melawannya,"
bantah Thian Ki . "Dengan adanya engkau di sini, apakah aku
perlu takut akan kecurangannya" Pula, kita sudah
mendengar akan kebijaksanaan Sribaginda Kaisar
yang gagah perkasa, aku yakin beliau tida akan
mengijinkan orang berbuat curang di hadapan
beliau. Koko, setidaknya, berilah kesempatan
kepadaku untuk memperlihatkan bahwa aku
bersungguh-sungguh hendak membela adik Kui
Eng untuk menghapus semua kesalah-pahaman
yang lalu." Thian Ki dapat memaklumi apa yang terkandung
di dalam hati kekasihnya. Cin Cin merasa tidak
enak kepada Kui Eng, bukan saja karena dahulu
pernah ia hendak membunuh ayah kandung gadis
itu, juga sekarang, tanpa disengaja dan disadarinya, ia telah merampas pula Thian Ki
darinya! Maka, Thian Ki hanya mengangguk
menyetujui, pula karena dia yakin akan kemampuan Cin Cin yang pasti akan mampu
menandingi tosu itu. Cin Cin benar. Dia berada di
situ dan kaisar te rkenal sebagai seorang yang
menjunjung kegagahan, sehingga tidak ada kesempatan bagi Im Yang Sengcu untuk berbuat
curang mengandalkan ilmu hitamnya.

Kaisar Tang Tai Cung sendiri ragu-ragu dan
sangsi apakah gadis yang tangan kirinya buntung
itu akan mampu menandingi lm Yang Sengcu,
maka dia lalu berkata, "Nona muda, sudah
kaupertimbangkan baik-baik keinginanmu menantang Im Yang Sengcu" Ingat, pertandingan
ini haruslah jujur dan tidak boleh keroyokan, juga
kalau sampai ada yang te was atau te rluka parah
dalam pertandingan ini, tidak boleh menuntut atau
menyalahkan siapapun."
"Hamba mengerti, Sribaginda Yang Mulia, dan
hamba siap menanggung segala akibatnya," jawab
Cin Cin dengan gagah. "Bagus, kalau begitu, kalian berdua mulailah
dan kami yang akan menjadi saksi dalam
pertandingan ini!" De ngan hati te gang namun sikapnya tenang saja
Thian Ki mundur dan berdiri di pinggir. Juga para
anak buah lm Yang Sengcu tidak ada yang berani
mendekat. Kaisar Tang Tai Cung memberi is yarat
dengan tangan ke atas dan muncullah belasan
orang perajurit pengawal pribadinya. Kaisar ini
maklumi bahwa biarpun dia melakukan perjalanan
seorang diri dan tidak memerintahkan pasukan
pengawal untuk mengiringkannya, namun pasukan pengawal pribadinya selalu siap tidak
jauh darinya sehingga sewaktu-waktu dia membutuhkan mereka, maka hanya dengan
mengangkat tangan ke atas, mereka akan bermunculan! Kaisar itu lalu memerintahkan agar
para perajurit pengawal itu mengambilkan sebuah

kursi untuknya dan menjaga tempat itu agar
jangan diganggu orang luar.
Setelah Kaisar duduk menjadi penonton, Cin Cin
dan Im Yang Sengcu sudah berdiri saling
berhadapan. Wajah Im Yang Sengcu nampak agak
pucat, namun Cin Cin nampak tenang-tenang saja.
Melihat betapa lawannya tidak membawa senjata
apapun, Im Yang Sengcu yang diam-diam merasa
je rih itu melihat keuntungan baik baginya dan
sekali kedua tangannya bergerak, tangan kirinya
sudah membawa sebuah kebutan, sedangkan
tangan kanannya memegang sebatang pedang yang
berkilauan. Melihat ini, Thian Ki lalu berkata
lantang. "Cin-moi, terimalah pedang ini !" dan begitu dia
menggerakkan tangannya, sinar hitam menyambar
ke arah Cin Cin yang mengangkat tangan
kanannya dan ia sudah menerima sebatang pedang
hitam yang tadi terbang meluncur ke arahnya.
Sebatang pedang hitam yang mengeluarkan sinar
hitam yang aneh dan mengerikan. Itulah Cui-mo
He k-kiam (Pedang hitam Pengejar Iblis), pedang
pusaka milik Thian Ki yang dia terima dari ibunya.
Melihat pedang hitam itu, lm Yang Sengcu semakin
gentar, akan tetapi dia menutupi dengan bentakan
nyaring dan dia sudah mulai bergerak menyerang
dengan pedangnya, disusul serangan kebutan di
tangan kiri. Cin Cin maklum bahwa dia menghadapi lawan
tangguh, maka iapun segera mengeluarkan ilmu
pedangnya yang te lah mengangkat nama gurunya
menjadi seorang di antara para datuk persilatan

yaitu Koai-1iong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga
Siluman)! Apa lagi kini ia mempergunakan Cui-mo
He k-kiam, maka te rdengarlah suara mengaungngaung seolah-olah pedangnya te lah berubah
menjadi seekor naga hitam yang buas. Menghadapi
serangan yang demikian ganasnya, Im Yang
Sengcu segera memutar sepasang senjatanya,
namun te tap saja gulungan hitam itu te rlampau
kuat baginya dan dia segera terdesak hebat!
Melihat ini Kaisar Tang Tai Cung te rkejut dan
kagum bukan main. Kini mengertilah dia mengapa
Thian Ki tenang-tenang saja membiarkan calon
isterinya menandingi tosu itu. Kiranya gadis
buntung tangan kirinya itu memang benar-benar
amat lihai. Setelah lewat tigapuluh jurus, nampak
jelas bahwa Im Yang Seng tidak akan menang Dia
hanya berlompatan ke sana sini, main mundur dan
sibuk sekali memutar kebutan dan pedangnya
untuk melindungi dirinya. Bulu kebutannya telah
te rbabat putus sebagian dan ketika Cin Cin
mengeluarkan bentakan nyaring, pedang hitam
berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan dari
dalam gulungan sinar itu mencuat kilat hitam
menyambar le her, Im Yang Sengcu melempar
tubuh ke samping, namun tetap saja pundaknya
te robek pedang. Dia te rhuyung dan agaknya dia
akan roboh tak lama Iagi.
Tiba-tiba te rdengar le dakan dan tampak asap
hitam mengepul tebal. Thian Ki cepat melompat
dekat Kaisar untuk melindunginya dan berbisik.
"Yang Mulia, sebaiknya mundur, asap itu beracun!"
Kaisar Tang Tai Cung mengerutkan alisnya, tak




senang melihat tosu itu menggunakan senjata

rahasia seperti itu, dan diapun mundur diikuti
para pengawalnya. Thian Ki tidak khawatir
walaupun dia s iap siaga melindungi kekasihnya.
Dan memang Cin Cin tidak perlu dikhawatirkan.
Asap itu adalah asap yang akan mencelakai orang
kalau sampai te rhis ap atau te rsedot. Dan Im Yang
Sengcu menggunakan senjata pele dak itupun
karena sudah tidak melihat jalan lain untuk
menyelamatkan dirinja sehingga dia sendiri mempergunakan obat penawar. Dia tidak tahu
bahwa gadis yang menjadi lawannya itu adalah
seorang ahli bermain dalam air sehingga daya
tahan Cin Cin dalam menghentikan pernapasan
jauh lebih kuat dari pada orang lain. Gadis ini
mampu bertahan sampai puluhan menit di dalam
asap dengan menahan napas dan kini Cin Cin
mengurung dan mendesak lawannya di dalam
gumpalan asap hitam itu. Im Yang Sengcu tidak
dapat melarikan diri keluar dari gumpalan asap
dan mereka berdua bertanding seru di dalam
gumpalan asap beracun itu. lm Yang Sengcu
menjadi semakin panik melihat betapa gadis tu
tidak roboh oleh asap beracunnya, sedangkan dia
sendiri sudah hampir tidak kuat menahan nafas
le bih lama lagi. Dadanya serasa hampir meledak
dan menggembung karena dia menahan pernapasannya. Karena siksaan dari dalam ini,
gerakannya menjadi lambat dan sebuah tendangan
kaki Cin Cin mengenai perutnya.
"Dess ..... hukkk ...!" Terpaksa Im Yang Sengcu
menghisap udara bercampur asap hitam dan
diapun te rhuyung lalu roboh. Pedang dan kebutannya te rle mpar. Melihat lawannya sudah

roboh, Cin Cin juga cepat melompat keluar dari
gumpalan asap dan berlari mendekati Thian Ki,
lalu mulai menghirup udara segar dengan
perasaan le ga. Tanpa kata ia mengembalikan
pedang hitam itu kepada kekasihnya.
Di antara gumpalan asap tadi Thian Ki dan
Kaisar masih dapat mengikuti pertandingan itu
dan mereka melihat Im Yang Sengcu roboh. Kaisar
semakin kagum. "Engkau hebat, nona," kata Kaisar kepada Cin
Cin. "Katakan, siapakah gurumu?"
De ngan sejujurnya Cin Cin menjawab. "Hamba
pernah menjadi murid Tung hai Mo-1i Bhok Sui
Lan, Yang Mulia." Kaisar terbelalak. "Ahhh! Datuk di pantai timur
itu" Pantas saja kalau begitu, dan sekarang kami
mengerti mengapa engkau malah mendapat kemenangan setelah Im Yang Sengcu menggunakan asap beracun. Engkau seperti juga
gurumu, ahli bermain dalam air, bukan" Dan
karena itu engkau kuat sekali menahan napas."
Cin Cin mengangguk. "Benar sekali apa yang
Paduka katakan,. Yang Mulia."
Setelah asap membubung ke atas dan tidak
nampak lagi. Kaisar sendiri menghampiri tubuh
Im Yang Sengcu yang menggeletak. Mukanya
membiru tanda keracunan dan ketika Kaisar
meraba nadinya. dia menghela napas.
"Dia tewas karena ulahnya sendiri!".

Thian Ki juga mendekat dan meraba leher tosu
yang rebah mati itu. Diapun yakin bahwa Im Yang
Sengcu telah tewas, bukan karena tendangan Cin
Cin tadi melainkan karena keracunan asap
beracunnya sendiri. Ternyata senjata makan tuan,
karena tidak menyangka bahwa lawannya kuat
sekali menahan napas, maka dialah yang menjadi
korban asap beracunnya. Kaisar lalu memerintahkan para murid dan anak
buah Im Yang Sengcu untuk mengangkat dan
merawat je nasah lm Yang Sengcu sebagaimana
mestinya. Para anak buah itu dengan sikap hormat
lalu mengangkat jenasah itu dan dibawa masuk ke
kuil. "Mari kalian ikut dengan kami ke istana
sehubungan dengan surat pute ri kami Hong Lan
itu," kata Kaisar kepada Thian Ki dan Cin Cin. Dua
orang muda ini merasa gembira sekali. Mereka
mengikuti rombongan kaisar memasuki Istana dan
di ruangan besar, mereka berdua dite rima
menghadap kaisar yang segera mengutus pejabat
yang berwenang mengambilkan dua macam pusaka is tana yang diminta pute rinya, yaitu obat
penawar racun katak merah, dan pedang pusaka
Liong-cu-kiam. Kepada mereka, setelah menyerahkan dua
macam pusaka itu, kaisar memesan agar disampaikan kepada Hong Lan bahwa dia merasa
rindu kepada pute ri angkatnya itu dan mengharapkan pute rinya suka berkunjung ke
istana bersama ayah ibunya. Setelah menghaturkan te rima kasih, Thian Ki dan Cin Cin

berpamit meninggalkan istana
dan langsung mereka pergi ke gedung tempat tinggal Pangeran Li
Cu Kiat. o)0o-dw-o0(o "Suheng..... ahhh.. suheng......" Kui Eng merintih
dan mengigau dengan kata-kata yang tidak jelas.
"Eng-moi, suhengmu sedang pergi untuk menghajar tosu iblis itu. Aku berada di sini, Engmo'l....." kata Pangeran Li Cu Kiat dengan hati
seperti diremas rasanya. Dia sejak tadi berjaga
dekat situ, akan te tapi gadis yang di jaganya,
dalam keadaan setengah sadar, memanggil-manggil
pemuda lain! Kini dia tahu mengapa Kui Eng ragu
menerima cintanya. Kiranya gadis ini sudah
ditunangkan dengan suhengnya sendiri oleh
ayahnya, akan tetapi ternyata bahwa suhengnya
itu tidak mencintanya, dan agaknya Kui Eng
mencinta suhengnya itu. Kui Eng membuka mata, seperti mencari-cari
laiu pandang matanya berte mu dengan wajah
pangeran itu. "Ahhh, paduka, pangeran......"
"Hushh...., engkau masih
saja memanggil pangeran kepadaku, Eng-moi. Engkau mencari
suhengmu, Coa Thian Ki?" Dia memaksa bibirnya
te rsenyum seolah pertanyaan itu tidak menunjukkan perasaan yang tertusuk.
"Di mana mereka, pangeran....eh..... Kiat-koko"
Di mana suheng dan juga enci Kam Cin"
Bukankah tadi mereka berada di sini atau
mimpikah aku?" ♤
"Me reka memang datang dan bahkan tadi
membantumu melawan pengaruh jahat yang
membuatmu sakit, Eng-moi. Dan sekarang mereka
berdua pergi untuk memberi hajaran kepada tosu
keparat yang membuatmu sakit itu."
Kui Eng te ringat akan semua peristiwa tadi,
te ntang percakapannya dengan Thian Ki, tentang
pengakuan Thian Ki bahwa Thian Ki saling
mencinta dengan Kam Cin, bahwa Thian Ki hanya
mencinta ia sebagai sumoi, sebagai adik dan
bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk menjadi
suami isteri. Teringat akan semua itu, ditambah
ingatan bahwa semua percakapan itu didengarkan
olel Pangeran Li Cu Kiat dan ibu serta neneknya,
Kui Eng tak dapat menahan diri lagi, ia menangis!
Pangeran Li Cu Kiat memandang penuh iba,
tidak berani mengganggu, membiarkan saja gadis
itu menangis karena dia tahu bahwa itulah
pelepasan terbalik bagi gadis itu. Setelah tangisnya
mereda, Kui Eng mengangkat muka yang agak
pucat dan matanya yang kemerahan memandang
wajah sang pangeran. "Pangeran..... Kiat-koko...... paduka .....engkau
te ntu amat kecewa mengetahui semua keadaanku....." Kini pangeran itu baru berani mengulurkan
tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat.
"Sama sekali tidak kecewa, Eng-moi. Bahkan aku
bergembira. Engkau dan suhengmu dan nona Kam
Cin itu adalah pendekar-pendekar sejati yang jujur
dan suka berte rus te rang. Aku kini mengerti
semuanya, aku mengerti mengapa engkau tidak

dapat mengambil keputusan, ragu untuk menerima cintaku. Kiranya engkau telah dijodohkan dengan suhengmu sendiri. Dan suhengmu begitu jujurnya! Dia mengakui bahwa
dia menyayangmu sebaqai kakak, akan te tapi dia
mencinta seorang gadis lain yang menjadi calon
isterinya, yaitu nona Kam Cin. Dan nona itupun
mencintainya walaupun tangannya dibuntungi ole h
suhengmu. Sungguh luar.biasa! Semuanya luar
biasa dan mengagumkan hatiku. Eng moi, kurasa..... dan kuharap......benar seperti yang
dikatakan suhengmu bahwa cintamu te rhadap
suhengmu itu sebenarnya juga merupakan kesayangan seorang adik terhadap kakaknya.
Kuharap saja cintamu yang sesungguhnya akan
kau jatuhkan kepadaku....." Suara itu demikian




le mbut dan mengharukan hati Kui Eng. I a memang
kagum dan suka kepada pangeran ini dan
andaikata ia tadinya tidak berpikir bahwa ia adalah
calon isteri suhengnya, kiranya tidak akan sukar
menerima dan membalas cinta kasih seorang
pemuda seperti pangeran itu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN