NAGA BERACUN JILID 32

 


 "Hamba sedang mengumpulkan bahan bahannya, Sri baginda. Sekarang sudah hampir
le ngkap. Kalau sudah lengkap, selain memberitahukan semua bahan dan cara pembuatannya, juga hamba akan mendemonstrasikan cara pembuatannya kepada
paduka agar te rbukti bahwa hamba bukan hanya
bohong semata. Sebagai murid keturunan Tujuh
Manusia De wa Hutan Bambu, yang menjadi
pendiri dan guru besar golongan kami sejak
empatratus tahun lebih yang lalu, pantang bagi
hamba untuk berbohong. Paduka te ntu percaya
kepada hamba, bukan?"
Kaisar Tang Tai Cung te rtawa. "Tentu saja,
totiang. Kalau tidak percaya bagaimana mungkin

kita dapat berbincang- bincang di sini seperti dua
orang sahabat?" "Terima kasih. Yang Mulia," kata Im Yang
Sengcu "Maafkan pertanyaan hamba ini. Hamba
sudah melihat melalui perbintangan bahwa ada
bayangan huruf Bu mengancam kerajaan paduka,
akan tetapi mengapa paduka belum juga bertindak
kalau paduka percaya kepada hamba."
Wajah kaisar itu berubah agak kemerahan dan
dia menghela napas panjang "Me mang pelaksanaannya sengaja kami tunda, totiang. Di
antara para pejabat kami, banyak yang bermarga
Bu, rasanya berat hati ini kalau harus menghukum
mereka tanpa dosa. Kami menghendaki keyakinan
le bih dahulu. Dan terutama sekali, Bu Mei Ling
menjadi selir yang setia, bagaimana kami dapat
menghukum seorang selir yang baru saja berjas a
menyelamatkan nyawa kami?"
Im Yang Sengcu menghela napas, "Paduka masih
kurang yakin dengan keterangan hamba" Kalau
begitu, sebaiknyi kalau paduka menyaksikannya
sendiri. Hamba mohon disediakan meja sembahyang dan semua perlengkapannya."
Sri baginda Kaisar nampak gembira sekali dan
dia segera bertepuk tangan memberi tanda
memanggil pengawal. Atas perintah kaisar, sebentar saja di pondok itu telah berdiri meja
sembahyang dengan semua perle ngkapannya.
Kaisar Tang Tai Cung sudah beberapa kali
menyaksikan dan membuktikan sendiri ilmu yang
dikuasai tosu sahabatnya itu dan dia memang
sudah mempercayanya. Hanya karena dia merasa

berat melaksanakan hukuman tanpa dosa te rhadap seluruh marga Bu maka dia merasa tidak
yakin. Im Yang Sengcu segera melakukan upacara
sembahyang yang aneh. Dia mengeluarkan manteram yang te rdengar aneh dan tidak dimengerti oleh kaisar, akan tetapi doa mantramnya itu mendatangkan getaran yang amat
kuat sehingga kaisar sendiri harus cepat mengerahkan sin-kang untuk melindungi dirinya.
Seikat hio yang dipegang kedua angan Im Yang
Sengcu, tiba-tiba mengeluarkan asap tebal sekali.
"Yang Mulia, harap perhatikan dan lihat baik-baik
huruf apa yang akan nampak sebagai bukti bahwa
ada marga te rtentu yang mengancam kerajaan
paduka!" te rdengar suara tosu itu dan suaranya
te rdengar aneh, parau dan lapat-lapat seolah tosu
itu berada di tempat yang jauh sekali. Kaisar
memandang ke arah asap bergulung-gulung itu
penuh perhatian dan perlahan-lahan, asap itu
benar-benar membentuk sebuah huruf yang besar
dan je las, huruf BU! Dan huruf dari asap itu
perlahan-lahan bergerak ke arah kaisar, seolah
seekor binatang atau mahluk buas yang hendak
menyerangnya. Wajah Kais ar Tang Tai Cung
berubah agak pucat. Dia seorang pendekar yang
berilmu tinggi. Jarang ada orang mampu menandinginya, akan te tapi kini dihampiri huruf
BU dari asap hitam itu sungguh merupakan hal
yang amat menyeramkan. Kaisar Tang Tai Cung
lalu mengerahkan tenaga sin-kang dan bangkit lalu
mendorong ke arah gumpalan asap itu sambil
berte riak mele ngking. Dari kedua telapak ♡
tangannya menyambar hawa yang dahsyat ke arah
huruf BU dari asap itu dan asap itupun
membuyar, bentuk hurufnya te rpecah-pecah dan
tidak berbentuk lagi. "Siancai......!"
Im Yang Seng-cu berseru. "Demikianlah seharusnya yang paduka lakukan,
yaitu memukul hancur marga Bu sebelum mereka
benar-benar meru[akan ancaman bagi paduka!"
Kaisar mengangguk-angguk, wajahnya masih
agak pucat. "Engkau benar, Totiang. Biarpun
nampaknya kejam, akan tetapi hal ini perlu kami
lakukan demi keselamatan Kerajaan Tang!" KembaIi kaisar memanggil pengawal dan memerintakan agar pada saat itu juga pengawal
memanggil Panglima Ciu, kepala pasukan keamanan kota raja. Akan tetapi, sebelum perintah
itu dilaksanakan, Im Yang Sengcu cepat berkata
mengingatkan. "Maaf, Yang Mulia. Hamba kira urusan ini
sebaiknya dilaksanakan saat ini juga sebelum
beritanya bocor dan mereka melarikan diri.
Tidakkah le bih te pat kalau paduka menuliskan
perintah itu dan agar surat perintah itu ditaksanakan sekarang juga oleh panglima?"
Kaisar Tang Tai Cung mengangguk-angguk, lalu
dia membuat surat perintah yang ditujukan




kepada Panglima Ciu agar malam itu juga panglima
membawa pasukan dan menangkapi lalu menghukum mati semua orang yang bermarga Bu,
tidak perduli laki-laki maupun perempuan tua
renta maupun masih bayi! Pengawal cepat membawa surat perintah itu dan mengantarnya

kepada Panglima Ciu yang terkejut setengah mati
menerima perintah itu. Akan te tapi, dia hanya
seorang bawahan yang ha rus patuh kepada kaisar.
Maka, te rjadilah pembantaian! yang amat mengerikan di malam hari itu. Malam celaka yang
sekaligus merupakan le mbaran hitam dari riwayat
Kaisar Tang Tai Cung yang dikenal sebagai seorang
kaisar yang adil dan bijaksana. Perbuatan malam
hari itu dikutuk rakyat dan te rcatat dalam sejarah
sebagi kelaliman seorang kaisar yang sewenangwenang membunuhi orang-orang tak berdosa,
perbuatan yang amat kejam! Kaisar Tang Tai Cung
sendiri terpukul he bal oleh perbuatan ini. Semalam
suntuk dia tidak dapat pulas . Jiwa kependekarannya berontak terhadap diri sendiri.
Namun apa artinya kesadaran pikiran kalau
berhadapan dengan meraja- lelanya nafsu"
Nafsu mementingkan diri sendiri membuat
manusia menjadi lupa daratan, hanya mementingkan diri dan dalam mengejar kepentingan dan keinginan diri, maka segala cara
akan ditempuhnya! Kalau kesadaran timbul bahwa
perbuatannya itu tidak benar dan jahat, lalu nafsu
yang sudah mencengkeram pikiran menggunakan
siasatnya yang teramat licik sehingga batin bahkan
mencari cara untuk membela perbuatan yang
dikendalikan nafsu itu. Pikiran akan membela
dengan segala cara pula. Seperti Kaisar Tang Tai
Cung Ketika kesadarannya timbul dan membuat
dia menyesali perbuatannya, batin yang sudah
diperalat nafsu segera menghiburnya dan membela
perbuatannya, membis ikkan bahwa dia melakukan
semua itu karena te rpaksa, karena kerajaannya

te rancam, karena dia harus menyelamatkan Kerajaan Tang, harus menyelamatkan keluarganya,
harus mencegah terjadinya pemberontakan yang
akan mengorbankan rakyat banyak, dan selanjutnya lagi. Nafsu melalui pikiran akan
berdaya upaya agar keburukan perbuatannya itu
te rtutup dan tidak nampak buruk lagi! De mikianlah kerjanya nafsu yang te ramat cerdik
mempermainkan kita. Pagi-pagi sekali, selir baru kaisar, yaitu Bu Mei
Ling atau Bu Houw mendapat berita dari Jithaikam, yaitu sida-sida yang menjadi-orang
kepercayaannya akan peris tiwa pembantaian orang-orang bermarga Bu. Wajah Bu Mei Ling
menjadi pucat sekali dan iapun bergegas menghadap Kaisar Tang Tai Cung yang nampak
lesu dan lelah karena semalam suntuk tidak dapat
tidur barang sekejap matapun.
Begitu diperkenankan masuk menghadap kaisar
yang masih duduk di tepi pembaringan, selir cantik
itu lari sambiI menangis dan menjatuhkan diri
berlutut di depan kedua kaki kaisar.
"Yang Mulia........" Bu Mei Ling te risak. "Apakah
dosa marga Bu maka paduka menjatuhkan
hukuman mati kepada mereka semua?".
Kaisar menghela napas panjang, pertanyaan
itu seperti ujung belati menusuk perasaannya yang
sudah gelisah, bimbang dan menyesal. "Mei Ling,
aku melakukan itu untuk menyelamatkan kerajaan.. Marga Bu adalah marga pemberontak
yang akan menggulingkan kerajaan.

"Ampun, Yang Mulia. Kalau ada yang te rbukti
bersalah dan memberontak, tentu-sudah sepantasnya kalau dihukum berat. Akan tetapi,
mungkinkah seluruh keluarga yang bermarga Bu
mememberontak" Dari kanak-kanak sampai kakek
nenek" Yang Mulia......"
"Sudahlah, cukup" Kaisar Tang Tai Cung
menutupi kedua telinganya degan te lapak tangan.
"Jangan bicarakan lagi urusan itu!"
Selir itu tetap berlutut dan menghapus air
matanya. Ketika ia melihat betapa kaisar sudah
menurunkan kedua tangannya dan nampak
berduka sekali iapun berkata, "Yang Mulia, hamba
adalah adalah Bu Mei Ling, hamba juga dari marga
Bu. Kalau paduka menganggap bahwa hamba
hendak pula memberontak, hamba siap menerima
hukuman. Akan te tapi hamba tidak mau dibunuh
oleh orang lain. Hamba mohon agar dibunuh oleh
tangan paduka sendiri. Yang Mulia, hamba Bu Mei
Ling siap menerima kematian dibawah tangan
paduka!" Selir itu menengadahkan mukanya
kepada kaisar, memandang dengan penuh kesedihan, siap menanti datangan pukulan maut.
Sejenak Kais ar' Tang Tai Cung menatap wajah
itu dan matanya mencorong lalu perlahan-lahan
dia mengangkat tangan kanannya ke atas, siap
memukul, "Engkau ..... engkau wanita she Bu........
engkau akan merampas tahta kerajaan dari anakanakku....."Akan te tapi, ketika Bu Mei Ling
memejamkan mata, siap menanti maut, tangan itu
tak kunjung turun. Ia mendengar sedu sedan dan
ketika ia membuka matanya, ia melihat kaisar

menutupi mukanya dengan kedua tangan dan
te rsedu seperti orang menangis.
"Yang Mulia.....!" Bu Mei Ling bangkit dan
merangkul. "Mei Ling......!!" Kaisar mendekapnya dan sekali
ini kaisar benar-benar menangis di dadanya. "Mei
Ling, aku hanya ingin menyelamatkan kerajaan.
Aku bukan orang yang kejam, bukan kaisar
lalim...." Karena penyesalan yang mendalam,
karena duka, kaisar menemukan hiburan dalam
diri dan pelayanan Bu Mei Ling. Selir ini memang
merasa kagum sekali kepada kaisar, bahkan ada
juga api cinta membara dalam dadanya karena
Kaisar Tang Tai Cung adalah seorang pria yang
jantan dan perkasa, yang biasanya bersikap adil
dan bijaksana. Kini, ia merasa kasihan sekali dan
perasaan ini mendatangkan kemesraan yang pada
saat itu amat dibutuhkan kaisar yang sedang risau
itu. Setelah Bu Mei Ling mengingatkan kais ar bahwa
saat persidangan para mente ri akan dimulai,
barulah Kaisar Tang Tai Cung dengan bermalasmalasan bangkit dari pembaringan dan berganti
pakaian dilayani oleh Mei Ling. Keadaan kaisar
tidaklah serisau tadi. Seorang thai-kam mengetuk daun pintu mohon
melapor kais ar. Kais ar memberi isyarat dan Bu Mei
Ling membuka daun pintu. Thaikam itu sambil
berlutut melapor bahwa Im Yang Seng-cu mohon
menghadap. Kaisar menyuruh thai-kam mempersilakan tosu itu memasuki ruangan depan
kamar, dan diapun keluar dari kamar memasuki

ruangan diikuti Bu Mei Ling yang merasa hatinya
te gang mendengar munculnya tosu itu karena ia
sudah mendengar dari Ji-thaikam bahwa pembantaian terhadap orang-orang bermarga Bu
adalah atas nasihat tosu itu.
Im Yang Sengcu cepat memberi hormat dengan
membungkuk kepada kaisar. ketika kaisar muncul
bersama Bu Mei Ling. Hati kaisar yang tadinya
risau dan agak terhibur oleh Mei Ling, kini menjadi
le bih tenang ketika dia bertemu Im Yang Sengcu
yang menghaturkan selamat pagi dan wajahnya
nampak berse ri. "Hamba menghaturkan selamat. Sribaginda.
Pembasmian rumput beracun te lah dilaksanakan
dongan baik malam tadi."
"Mudah-mudahan saja bahaya yang mengancam
kerajaan telah terhindar, totiang," kata kaisar.
"Ampunkan hamba, Sribaginda. Kalau boleh
hamba bicara te rus te rang demi keamanan dan
keselamatan kerajaan paduka....." Dia berhenti dan
melirik ke arah Bu Mei Ling yang hanya berdiri
mendengarkan saja. "Tentu saja boleh, katakan, totiang," kata kaisar,
alisnya berkerut dan hatinya merasa tidak enak.
"Sri baginda, membasmi rumput liar beracun
haruslah dilakukan sampai bersih, tidak boleh
te rtinggal sebatangpun, karena kalau yang sebatang itu dibiarkan tumbuh, tak lama kemudian tentu akan berkembang biak lagi."
Jelaslah bagi Kaisar Tang Tai Cung siapa yang
dimaksudkan oleh tosu itu karena kini tosu itu

langsung saja memandang ke arah Bu Mei Ling.
Diapun menjawab dengan sikap te nang, "Totiang
rumput yang satu ini akarnya tumbuh di dalam
hatiku. Bagaimana mungkin aku mencabutnya
tanpa melukai dan merusak hatiku sendiri" Kami
ingin minta pendapatmu bagaimana baiknya asal
jangan dis uruh mencabutnya, totiang."
Tosu itu tersenyum dan mengangguk-angguk,
lalu melangkah hilir mudik di depan kaisar, akan
tetapi matanya sering mengerling ke arah Bu Mei




Ling. Selir ini mengerti akan maksud percakapan
itu dan iapun menanti dengan jantung berdebar,
bukan hanya karena tegang, melainkan terutama
sekali karena kemarahan yang ditahan-tahan.
"Ah, hamba te lah mendapatkannya, Sribaginda!
Jawaban yang te pat te lah hamba dengar dari
bisikan batin hamba. Selama paduka masih
menjadi kaisar, seorang wanita tidak akan dapat
melakukan suatu bahaya dan setelah paduka tidak
lagi berkenan memegang tahta kerajaan, maka
seorang wanita takkan mampu lagi berbuat
sesuatu yang merugikan kalau ia te lah menjadi
seorang nikouw (biarawati). Keputusan ini diumumkan dan disahkan sehingga kelak tidak
ada seorangpun yang akan berani mengubahnya."
Mendengar kata-kata itu. Kais ar Tang Tai Cung
te rtawa gembira, dan Bu Mei Ling sebaliknya
memandang kepada tosu itu dengan mata
te rbelalak penuh kebencian. Kemudian, ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar dan
berkata, "Yang Mulia, mohon pengampunan dan
jangan hendaknya hamba kelak dijadikan seorang

biarawati. Hamba lebih senang kalau hamba mati
di tangan paduka." "Aih, nona Bu Mei Ling. Yang Mula telah
memberi ampun kepadamu dan membiarkan
engkau hidup, kenapa tidak cepat menghaturkan
te rima kasih?" Im Yang Seng-cu mencela.
Kaisar Tang Tai Cung mengangkat bangun
selirnya. "Im Yang Sengcu berkata benar, Mei Ling.
Selama aku menjadi kaisar, engkau akan tetap
menjadi selirku te rsayang. Kalau aku sudah tidak
njadi kaisar, apa salahnya engkau menjadi
biarawati dan setiap saat bersembahyang untuk
aku?" Bu Mei Ling bangkit berdiri dan menghadapi Im
Yang Sengcu. "Totiang, yang jelas aku mengetahui
bahwa karena engkau maka banyak orang tak
berdosa terbunuh. Aku akan berse mbahyang setiap
saat agar Tuhan Yang Maha Kuasa menghukummu
sesuai dengan dosa-dosamu!" Ucapan ini le mbut
namun berupa kutukan dan diam-diam tosu itu
bergidik, akan te tapi dia menutup kengerian
hatinya dengan tawa menyeringai.
Pada saat itu, seorang thai-kam melapor bahwa
persidangan telah lengkap dihadiri para mente ri
dan pangeran. "Marilah kita ke ruangan persidangan, dan engkau juga ikut, Mei Ling. Aku
akan mengumumkan te ntang keputusanku atas
dirimu. De ngan keputusan ini tak seorangpun
dapat mengganggumu lagi."
"Nanti dulu, Sribaginda. Hamba khawatir kalaukalau ada kekuasaan gelap yang akan mengancam

paduka, oleh karena itu, hamba harus menuliskan
hu (s urat jimat) untuk melindungi paduka."
Kaisar te rsenyum dan mengangguk. Tosu itu
mengeluarkan kertas dan alat tulis yang agaknya
telah disediakan di dalam saku jubahnya yang
le bar, kemudian menuliskan atau melukiskan
huruf jimat di atas sehelai kertas. Setelah selesai,
dia menempelkan hu atau jimat itu di atas pintu
kamar kaisar. Kaisar dan Bu Mei Ling memandang
dan melihat huruf jimat itu, sebuah huruf aneh
yang ditulis dengan tinta hitam di atas kertas
kuning yang bentuknya seperti ini :
"Hamba akan buatkan sebanyak mungkin hu
seperti ini, Sribaginda, agar dite mpel di seluruh
pintu di istana. Dengan adanya hu ini, maka tidak
ada kekuatan gelap yang bagaimanapun berani
memasuki istana." Kaisar mengangguk dan te rsenyum. Dia sudah
sering kali menyaksikan keampuan tosu ini maka
dia percaya sepenuhnya, akan tetapi Bu Mei Ling
di diam-diam merasa menyesal menyaksikan
betapa kaisar yang dihormati, dicinta dan dikaguminya itu te rnyata adalah seorang yang
bodoh dan percaya akan tahyul.
Dalam persidangan itu, Kaisar Tang Tai Cung
menerima protes dan teguran para menteri tua
mengenai pembantaian yang dilakukan semalam,
karena di antara para pembesar terdapat pula yang
bermarga Bu dan mereka semua telah dibunuh.
Namun, dengan adanya Im Yang Sengcu di
sampingnya, kaisar tidak gentar menghadapi
protes itu, bahkan kaisar lalu memberi penjelasan

bahwa semua itu dilakukan demi keselamatan
kerajaan Tang yang te rancam oleh marga Bu.
Kemudian, kaisar juga menjatuhkan keputusannya
te rhadap selirnya, Bu Mei Ling, karena selirnya itu
juga bermarga Bu, bahwa kalau dia sudah tidal lagi
menjadi kaisar, selirnya itu harus menjadi
biarawati di kuil istana. Dengan demikian, maka
semua kemungkinan te rjadinya ancaman marga
Bu itu dapat dihindarkan.
Bu Mei Ling menerima keputusan itu dengan
pasrah, la tidak memusingkan urusan masa depan.
Yang te rpenting, sekarang ia masih menjadi
kekasih kaisar, dan itu s aja sudah cukup baginya.
Diam-diam, wanita yang cerdik ini juga memperhitungkan bahwa boleh mengandaIkan
Pangeran Mahkota yang masih mencintainya.
Kelak, kalau Kaisar Tang Tai Cung tidak lagi
menjadi kaisar, berarti Pangeran Li Ci atau Li Hong
yang menjadi kaisar dan tentu kaisar baru itu
tidak akan membiarkan kekasihnya tersiksa di
dalam kuil sebagai seorang biarawati!
Ketika kaisar dan Im Yang Sengcu berada
berdua saja, Im Yang Sengcu memberi tahu kepada
kaisar bahwa ada lagi seorang wanita bermarga Bu
yang dianggap amat berbahaya dan wanita itu
sudah sepatutnya kalau dilenyapkan dari muka
bumi ini, kalau kaisar menghendaki Kerajaan Tang
benar-benar aman dari ancaman marga Bu.
"Totiang, bukankah Bu Mei Ling sudah te rbelenggu dengan keputusan kami, dan iapun
hanya seorang wanita lemah. Apa yang dapat ia

lakukan" Sekarang ia hidup di sampingku, dan
kelak ia menjadi biarawati."
"Bukan selir paduka yang hamba maksudkan.
Wanita ini jauh le bih berbahaya karena ia
memiliki ilmu silat yang amat tinggi, bahkan di
dunia kang-ouw, jaran g ada jagoan yang akan
mampu menandingi dan mengalahkannya. lapun|
bermarga Bu dan kalau ia yang melakukan atau
memimpin gerakan itu, benar benar kerajaan
paduka terancam." Kaisar Tang Tai Cung membusungkan dadanya.
"Hemm, siapakah ada wanita she Bu yang
demikian lihainya" Kurasa tidak ada pendekar
wanita yang akan mampu menandingi aku!"
"Sribaginda, ia bernama Bu Giok Cu dan
kelihaiannya dalam ilmu silat, biar hamba sendiri
bukanlah tandingannya."
"Bu Giok Cu" Siapa ia dan di mana tinggaInya?"
"la tinggal di dusun Hong-cun di te pi sungai
Huang-ho, ia adalah isteri dari Huang-ho Singliong Si Han Beng." "Ahh.....!!" Kaisar benar-benar te rkejut mendengar ini. "Isteri.......Naga Sakti Kuning" Tapi,
tapi ......." Kaisar Tang Tai Cung nampak te rtegun
dan bingung. Dia te ringat akan mendiang Kwa Bi
Lan, selirnya yang menjadi kekasihnya sejak dia
belum menjadi kaisar, selir terkasih dan juga amat
setia yang te lah mengorbankan nyawa demi
membelanya ketika dia diserang ole h dua orang
pembunuh. Dan dia te ringat kepada Hong Lan,
yang sejak kecil dianggap sebagai pute rinya

sendiri, pada hal Hong Lan itu adalah Si Hong Lan,
pute ri Naga Sakti Sungai Kuning! Dan kini, Im
Yang Sengcu memberi tahu bahwa ibu kandung Si
Hong Lan bernama Bu Giok Cu, seorang wanita
bermarga Bu yang diramalkan kelak akan
menjatuhkan Kerajaan Tang!
"Wanita itu berbahaya sekali Sribaginda. la
bermarga Bu, berilmu tinggi dan suaminya juga
seorang yang amat lihai. Apa lagi kalau diingat
bahwa Bu Giok Cu itu te ntu tidak akan tinggal
diam mendengar paduka membasmi orang-orang
bermarga Bu. Oleh karen tu, dengan mengingat
bahwa membasmi rumput liar beracun haruslah
tidak tanggung-tanggung, maka akan bijaksanalah
kalau paduka memerintahkan panglima untuk
menangkap dan membunuh Bu Giok Cu itu. Kalau
suaminya membela, diapun harus dienyahkan!"
Kaisar bangkit berdiri dan sambiI menggendong
kedua tangan dia mondar-mandir di pondok dalam
taman itu, alisnya berkerut dan berulang kali dia
menggeleng kepala, Im Yang Sengcu membiarkan
saja dia dalam keadaan seperti itu sampai
beberapa saat, kemudian dia berkata, "Harap
paduka mengampuni hamba kalau hamba bicara
keliru." Kaisar duduk kembali dan mengepal tangan
kanan yang dia letakkan di atas meja. "Tidak,
totiang. Engkau tidak keliru karena engkau hanya
memikirkan keselamatan kerajaan. Akan te tapi
bagaimana mungkin melakukan itu" Kau tahu Bu
Giok Cu. isteri Naga Sakti Sungai Kuning itu
adalah ibu kandung dari puteriku Hong Lan!"

Im Yang Sengcu terbelalak. "Ahhh ." Apa .... apa
maksud paduka...?" Terpaksa kaisar membuka rahasia Hong Lan
karena dia sudah terlanjur mengatakannya. pula
dia amat percaya kepada tosu ini "Kau tahu. Si
Hong Lan yang sejak kecil kuanggap sebagai
pute riku itu, sebetulnya bukan pute ri kandungku.
juga bukan anak kandung mendiang Kwa Bi Lan
selirku, melainkan anak kandung Naga Sakti
Sungai Kuning dan isterinya!" Lalu dengan singkat
kaisar menceritakan tentang Hong Lan yang diculik
dan dilarikan Kwa Bi Lan dari tangan kedua orang
tua kandungnya. "Ain, sungguh tidak te rduga......." Im Yang
Sengcu menggumam. "... dan sekarang Yang Mulia
Puteri....." "Hong Lan sudah tahu akan keadaan dirinya dan
kini ia pergi untuk mencari ayah bundanya. Nah,
bagaimana mungkin aku mengirim pasukan untuk
membasmi keluarga Hong Lan yang kusayangi
sebagai pute riku sendiri?"
Kembali Im Yang Seng-cu mondar-mandir dan
alisnya berkerut. Sungguh tidak disangkanya sama
sekali bahwa ada hal yang demikian kebetulan.
Kiranya pute ri Hong Lan adalah pute ri kandung
Naga Sakti Sungai Kuning! Padahal, sudah lama
sekali dia menaruh dendam kepada suami is teri
pendekar itu. Dia ingin mempergunakan



kesempatan baik ini untuk membalas dendam
kepada mereka yang dahulu, ketika masih muda
pernah membasmi banyak rekannya di dunia
kangouw. ♡
Akhirnya dia berhenti melangkah dan menghadapi Sri baginda Kaisar. "Hamba telah
mendapatkan jalan yang terbaik bagi paduka.
Karena mereka adalah orang tua Puteri Hong Lan,
maka tidak ada janggalnya kalau paduka mengundang mereka datang ke Istana bersama
pute ri mereka. Dalam pertemuan kekeluargaan itu
paduka dapat memancing dan bertanya kepada
Naga Sakti Sungai Kuning te ntang ramalan
perbintangan yang je las menyatakan bahwa marga
Bu, dan seorang wanita pula, merupakan ancaman
besar bagi Kerajaan Tang. Nah, karena isterinya
seorang wanita she Bu, maka paduka lihat saja
bagaimana tanggapan pendekar itu. Dan kalau
mereka sudah berada di sini, hamba akan
mendapatkan akal untuk menghadapi mereka."
Sri baginda kaisar mengerutkan alisnya. Dia
adalah seorang yang gagah perkasa, bahkan ketika
mudanya dia juga seorang pendekar yang membela
keadilan dan kebenaran. Namun, setelah kini
menjadi kaisar, berenang di dalam kemuliaan dan
kekuasaan, yang te rpenting dalam hidupnya
adalah mempertahankan kekuasaannya itu! Kekuasaannya sebagai kaisar menjamin kemenangan, kebenaran, kemuliaan, kemewahan
dan segala macam kesenangan baginya, apapun
yang dikehendakinya dapat te rlaksana! Nafsu
kesenangan sudah mencengkeramnya sampai
mendarah daging, dan mempertahankan kesenangan ini merupakan te kad hidupnya.
Bahkan, dia ingin mengabadikan kekuasaannya
sehingga dia bersusah payah ingin mendapatkan
obat yang dapat membuat dia hidup seribu tahun.

atau selamanya! Kalaupun ini gagal, dia menghendaki agar kekuasaan itu dapat diwaris i
dan dilanjutkan anak cucunya maka te ntu saja
dia tidak rela mendengar bahwa ada kekuatan
baru, yaitu seorang wanita bermarga Bu, yang
kelak akan mengambil alih kekuasaan itu. Kalau
saja tidak demi mempertahankan kekuasaannya
itu, tentu dia akan berpikir seribu kali untuk
mengganggu sepasang suami isteri pendekar besar
seperti Naga Sakti Sungai Kuning dan isterinya.
"Baik, akan kami kirim utusan ke sana
mengundang mereka. Akan te tapi bagaimana
dengan obat panjang usia itu, totiang" Sudah
jadikah?" "Kurang sedikit lagi, Sribaginda. Harua sempurna benar baru hasilnya akan pasti dan
baik. Akan te tapi, unyuk cara pembuatan emas,
sudah hamba persiapkan dan sekarang juga dapat
paduka pelajeri." "Bagusi Kami ingin sekali mempelajarinya!" kata
Kaisar Tang Tai Cung. Dia membayangkan bahwa
sekali ilmu membuat emas itu telah dikuasainya,
maka negaranya akan menjadi negara terkuat di
dunia ini. Dia akan dapat membuat emas
sebanyaknya dan dengan "senjata" berupa emas
ini, siapakah yang akan mampu melawannya"
Segala apapun dapat dibeli dan dikuasai di dunia
ini dengan logam mulia itu!
"Kalau begitu, Sr baginda, sebaiknya agar dijaga
jangan sampai ada orang lain yang dapat melihat
atau mendengarkan percakapan kita ini, dan lebih
te pat lagi kalau paduka sendiri yang mencatat

semua bahan dan cara pembuatan emas. Kelak,
setelah paduka mempelajarinya dan sudah hafal,
baru kita mencoba untuk mempraktekkannya dan
membuatnya." De ngan wajah berseri dan sinar mata mencorong, Kaisar Tang Tai Cung lalu meneriaki
pengawal dan mcmerintahkan agar taman itu
dijaga dan tidak boleh ada seorangpun memasuki
taman, apa lagi mendekati pondok dengan ancaman hukuman mati. Kemudian, dia mempersiapkan kertas dan alat tulis, dan dengan
hati te gang penuh gairah dia sudah duduk dan
siap menulis. Im Yang Sencu nampak duduk
bersila dan memejamkan mata di atas dipan di
depan kaisar, seolah dia sedang bersamadhi dan
menghimpun kekuatan. Kemudian, dengan suara
lirih namun jelas, Im Yang Sengcu mengeluarkan
kata-kata yang dicatat dengan seksama oleh Kaisar
Tang Tai Cung. "Rahasia ini ditulis oleh Manusia Dewa Ko Hung
dengan nama Poa Bu Cu, dan agar dilakukan
dengan penuh ketaatan agar berhasil membuat
emas. Bahan-bahannya dan cara pembuatannya
adalah seperti berikut, harap dicatat baik-balk."
Im Yang Sengcu lalu mengeluarka kata-kata
aneh seperti membaca mantram yang tidak
dimengerti oleh Kais ar Tang Tai Cung yang menjadi
tidak sabar. Akan te tapi, tosu itu lalu bicara lagi
dengan bahasa yang jelas.
"Pergunakan sebuah kuali (periuk) besi bergaris
te ngah satu kaki dua inci dan tingginya juga satu
kaki dua inci, dan sebuah kuali besi kecil dengan

garis te ngah dan tinggi enam inci. Ambil satu kati
tanah Iiat merah yang lembut, satu kati (kurang
le bih satu ons) sendawa, satu kati gamping, satu
kati tepung besi dari Tai-couw (di propinsi Shansi),
setengah kati belerang, dan satu kati es. Tumbuk
semua ini menjadi satu sampai halus dan aduk
sampai rata. Kemudian, olesi bagian dalam dari
kuali besi kecil sampai setebal sepersepuluh inci
dengan satu kati air raksa, setengah kati cinnabar
(raksa kristal merah) dan setengah kati liang-fel."
"Apa itu liang-fei?" tanya kaisar yang menunda
tulisannya. "Liang-fei dibuat dengan cara memanaskan
sepuluh kati timah dalam sebuah kuali besi di atas
perapian, sampai keluar tiga ons air raksa dari
timah yang mencair, dan ciduk ini dengan aebuah
senduk besi. Itulah yang dinamakan liang-fei."
"Hemm, begitukah" Lanjutkan, totiang," kata
kaisar penuh perhatian. "Kemudian aduklah semua bahan tadi sampai
rahsanya tidak nampak. Lalu masukkan campuran
ini ke dalam kuali besi yang kecil, dan taburi
dengan gamping lalu tutup dengan penutup besi
dan letakkan kuali ke dalam kuali bes ar dan bakar
di atas api. Timah yang mencair itu akan
te nggelam ke dalam kuali besar. Kemudian dari
kuali yang kecil, ambillah bagian atas campuran
yang mencair itu setebal setengah inci bagian atas,
dan panaskan ini di atas api besar selama tiga hari
tiga malam. Ini akan menghasilkan apa yang sebut
bubuk merah. Kemudian ambil timah yang
sepuluh kati itu dan panaskan selama duapuluh

hari s iang malam, lalu pindahkan ke dalam sebuah
kuali te mbaga dan tambahkan bubuk merah tadi
ke dalam timah yang mencair. Aduklah dengan
sebuah senduk berukuran hati rnanusia yaitu satu
inci persegi dan campuran-timah dan bubuk
merah itu seketika akan berubah.menjadi emas!"
Setelah selesai menuliskan semua itu, berulangulang Kaisar Tang Tai Cung membacanya dan
alisnya berkerut. "Totiang, benarkah sepuluh kati timah itu akan
berubah menjadi emas?"
Im Yang Sengcu membuka matanya dan nampak
lelah sekali. Akan tetapi mendengar pertanyaan
kaisar.itu, dia mengerutkan alisnya. "Sribaginda,
syarat utama untuk membuat emas seperti yang
digambar oleh Manusia Dewa Ko Hung bergelar Pao
Bu Cu adalah kepercayaan. Kita harus percaya
agar kalau kita mencoba membuatnya, tidak akan
mengalami kegagalan."
"Kalau begitu, kita harus secepatnya mencoba
resep ini, totiang."
"Harap paduka suka bersabar dulu Sribaginda.
Hamba sedang memusatkan-perhatian hamba
kepada pembuatan obat panjang usia itu. Apa
artinya segunung emas kalau usia kita tidak
panjang?" "Ah, engkau benar, totiang! Memang, sebaiknya
engkau cepat selesaikan pembuatan obat itu."
"Hamba membutuhkan ketenangan untuk penyelesaiannya, Sri baginda. Akan tetapi akhirakhir ini terlalu banyak persoalan yang ♡
mengganggu ketenangan hamba. Bahkan belum
lama ini.:.....Pangeran Li Cu Kiat.......ahh, hamba
tidak berani...." Tosu itu berdiam diri dan
menundukkan mukanya yang nampak muram.
"Ehh" Ada apakah dengan keponaanku Li Cu
Kiat, totiang" Apa yang hendak kaukatakan
te ntang dia" katakan saja, dan jangan takut."
"Baiklah, Sribaginda. Hamba akan menceritakan
sejujurnya, akan te tapi bukan maksud hamba
untuk mengadu. Beberapa hari yang lalu, ketika
.seorang wanita muda yang mencurigakan naik ke
bukit pondok hamba, Ia bentrok dengan murid
hamba dan melukai murid hamba itu. Ketika
hamba keluar la melarikan diri. Karena merasa
curiga, hamba mengajak murid-murid hamba
untuk melakukan pengejaran. Dan melihat ia
menghilang di dekat gedung Pangeran Li Cu Kiat,
ham-merasa khawatir sekali. Hamba teringat akan
wanita jahat yang pernah mencoba untuk membunuh paduka. Maka, hamba lalu mohon
menghadap keluarga Pangeran Li Cu Kiat untuk
memperingatkan tentang lenyapnya gadis lihai itu
di dekat gedung mereka, demi keamanan mereka.
Akan te tapi.... ahh, hamba tidak



berani mengatakan, takut kalau dlsangka hamba mengadu, Sribaginda."
"Totiang, katakanlah. Kalau memang ada yang
bersalah, kami wajib untuk memberi te guran. Apa
yang dilakukan ole h Cu Kiat kepadamu?"
"Pangeran Li Cu Kiat mengeluarkan kata-kata
menghina, Sribaginda, te rutama sekali Nyonya

Song..... hamba dimaki sebagai dukun le pus,
peramal dan tukang sihir....."
"Hemm, anak itu perlu ditegur !" kata kaisar.
"Harap paduka jangan marah, pangeran itu
hanya perlu diberi tahu agar lain kali jangan
menghina orang tua lagi."
De ngan alasan hendak menyempurnakan pembuatan obat panjang usia, Yang Sengcu
mengundurkan diri. Kai Tang Tai Cung te rmenung
memegangi catatan pembuatan emas. Akhirnya,
malam itu juga ia memanggil komandan pengawaI
dan menyuruh dia menyampaikan perintahnya
kepada panglima untuk mengiim seregu pasukan
mengundang Huang-Sin-liong Si Han Beng dan
isterinya juga Si Hong Lan untuk menghadap ke
istana. Juga dia memerintahkan seorang utusan
untuk besok pagi-pagi memanggil pangeran Li Cu
Kiat datang menghadap. o)0o-dw-o0(o Pada keesokan harinya, Pangeran Li Cu Kiat
yang dipanggil kaisar, datang menghadap dan
dite gur tentang sikapnya yang kurang hormat
te rhadap Im Yang Sengcu.
"Cu Kiat, engkau te ntu mengetahui bahwa Im
Yang Sengcu merupakan seorang pendeta dan
sahabat kami yang sudah banyak berjas a. Kenapa
engkau yang muda berani bersikap tidak hormat
kepanya" Bukankah dia malam-malam datang
kepadamu untuk menjaga keamanan keluarga
ibumu agar jangan sampai terancam oleh seorang

wanita yang dicurigai?" demikian antara lain Kaisar
Tang Tai Cung menegur keponakannya.
"Mohon ampun, Pamanda Kaisar yang mulia.
Sesungguhnya, sikap hamba dan nenek hamba
hanya merupakan akibat s aja dari pada sebab yang
ditimbulkan oleh Im Yang Sengcu sendiri. Dia
mencurigai keluarga kami menyembunyikan gadis
itu. Karena itu, nenek dan hamba mengeluarkan
kata-kata teguran kepadanya."
Kaisar mengangguk-angguk. "Hemm, kalau begitu hanya te rjadi kesalah pahaman saja.
Engkau harus dapat mempertimbangkan bahwa
dalam keadaan mengejar penjahat, tentu saja Im
Yang Seng-Cu mencurigai siapa saja, dan sebagai
orang muda, lain kali seyogianya kalau engkau
bersikap hormat te rhadap orang tua agar kami
sebagai pamanmu tidak ikut merasa rikuh.
Mengerti?" "Pesan dan perintah Pamanda akan hamba
taati," kata Li Cu Kiat, diam-diam merasa
mendongkol sekali kepada tosu itu yang agaknya
telah mengadu pada kaisar.
Setelah pulang ke rumahnya sendiri dengan hati
je ngkel, Li Cu Kiat melihat Kui Eng berada di
taman dan diapun segera memasuki taman. Kui
Eng cepat bangkit dari bangku yang didudukinya
ketika melihat pangeran itu pulang. Tadi ia merasa
khawatir mendengar bahwa pemuda itu dipanggil
kaisar karena ia menduga bahwa panggilan itu
te ntu ada hubungannya dengan peristiwa ketika ia
dikejar Im Yang Sengcu sampai ke gedung keluarga
itu. ♡
"Engkau sudah pulang, pangeran" Lalu bagaimana kabarnya" Benarkah ke khwatiranku
bahwa panggilan itu ada hubungannya dengan
diriku?" "Duduklah, nona, dan kuminta agar engkau
tidak lagi memanggilku pangeran. Engkau sendiri
pun pute ri pangeran, kita sederajat kalau memang
engkau membedakan tingkat dan derajat. Dan
kami sekeluarga telah te rlibat dengan dirimu
sedemikian rupa sehingga engkau kami anggap
seperti keluarga sendiri. Bagaimana kalau kita
berkakak adik saja" Kau memanggil aku kakak
dan aku memanggilmu adik?"
Kui Eng te rse nyum. Sejak pertemuan pertama
kali, ia memang sudah merasa kagum dan suka
sekali kepada pangeran yang le mbut hati dan
manis budi ini, juga gagah perkasa. "Baiklah,
twako . N ah, ceritakan, apa yang terjadi denganmu
di Istana?" Mereka duduk di bangku taman itu, sejenak
saling pandang dan Cu Kiat menghela napas
panjang. Betapa anggunnya gadis ini, pikirnya.
Selama hidupnya, biar berulang kali didorongdorong ibunya dan neneknya, belum pernah dia
bergaul dengan wanita, apa lagi jatuh cinta. Akan
tetapi sekali Ini, dia benar-benar telah jatuh cinta!
Dia siap melakukan pengorbanan apa saja untuk
gadis yang duduk di depannya ini.
"Eng-moi ....." sebutan ini terasa ringan di
bibirnya karena sejak perte muan itu, setiap
malam seringkali dia menggunakan sebutan itu,
dalam renungan maupun di dalam mimpi. "Paman

Kaisar hanya menegurku karena aku te lah
bersikap kasar terhadap Im Yang Sengcu."
"Apakah kaisar bertanya tentang diriku?"
"Tidak, Eng-moi. Pamanda Kaisar percaya kepadaku dan tidak mencurigaiku, dia hanya
menegurku karena pengaduan Im Yang Sengcu."
Lalu dia mencerikan pertemuannya dengan kais ar.
Kui Eng menghela napas panjang "Aihhh,
pangeran...... eh, twako....sungguh aku merasa
tidak enak sekali. Engkau te lah begitu baik
kepadaku, juga ibumu dan nenekmu, kalian telah
begitu baik menerimaku. Bagaimana mungkin
sekarang aku membiarkan diriku mendatangkan
hal-hal yang tidak enak bagimu" Engkau sudah
dite gur kaisar, engkau di curigai Im Yang Sengcu,
mungkin keluargamu akan menghadapi ancaman
yang le bih gawat lagi kalau aku te tap berada di
sini. Karena itu, twako, sebaiknya kalau aku pergi
saja meninggalkan gedung ini agar keluargamu
te rbebas dari pada kesulitan-kesulitan,..."
"Eng-moi......!"
Tiba-tiba pangeran itu menjulurkan tangan dan memegang tangan kanan
Kui Eng dengan kedua tangannya. Gadis itu
te rkejut, mukanya berubah merah akan tetapi ia
tidak melepaskan tangannya yang te rgenggam
karena tidak ingin menyinggung perasaan pangeran itu. "Eng-moi, kenapa engkau berkata
demikian" Kami......aku......rela melakukan semua
ini untukmu, bahan aku siap mengorbankan
nyawaku demi untuk membela dan melindungimu..........."

"Twako, apa yang kaukatakan ini" Sadarlah....!"
kata Kui Eng, perlahan menarlk tangannya
melepaskan dari genggaman tangan pangeran itu
dengan lembut.. Li Cu Kiat nampak te rsipu. "Maaf ........ ah,
maafkan aku, Eng-moi, aku tadi terseret perasaan.
Akan tetapi aku bersungguh-sungguh. Jangan
engkau tinggalkan te mpat ini begitu saja, bahaya
akan mengancammu di mana-mana. Tidak Engmoi, engkau tidak boleh pergi. Aku tidak akan
pernah dapat memaafkan diriku sendiri kalau
sampai engkau te rtimpa bencana. Tinggallah dulu
di sini sampai suasana menjadi aman bagimu.
Kini, Im Yang Sengcu sudah berhasil mengadu
kepada Pamanda Kaisar, maka kita harus lebih
berhati-hati. Engkau tinggallah dulu di sini untuk
sementara, dan aku akan mengerahkan semua
pembantu dan te manku untuk mencari suhengmu.
Kalau dia sudah berada di kota raja aku yakin kita
akan dapat menemukannya. Kalau sudah tiba
saatnya engkau harus keluar dari kota raja, aku
yang akan mengaturnya agar engkau dapat keluar
dengan selamat dan tidak diketahui Im Yang
Sengcu dan anak buahnya."
Karena dibujuk dengan alasan yang kuat,
akhirnya Kul Eng mengalah, "Baiklah, twako. Akan
tetapi, sungguh aku merasa semakin banyak
menerima limpahan budi yang bertumpuk-tumpuk
darimu. Twako, kita baru saja bertemu dan
kenalan, kenapa engkau, ibumu dan nenekmu
begini baik terhadap diriku?" gadis itu mengangkat
muka menatap wajah pangeran itu yang juga
menatapnya. Dua pasang mata itu berpandangan

dan bertaut, kemudian melihat
betapa ada pancaran kasih sayang yang demikian jelas keluar
dari sepasang mata pangeran itu, Kui Eng
menundukkan mukanya yang terasa panas.
"Eng-moi, maafkan aku kalau aku berte rus
te rang dan mungkin menyinggung perasaanmu.
Entah mengapa, baru sekali ini selama hidupku
aku mengalami perasaan seperti yang kualami
sejak aku berte mu denganmu. Seolah selama ini
aku sudah mengenalmu, seolah selama ini
engkaulah orang yang selalu kunanti muncul
dalam kehidupanku, Eng-moi, te rus terang saja,
aku mencintamu, dan aku tidak ingin berpisah
darimu untuk lamanya. Eng-moi, maafkan aku,
akan tetapi, sudikah engkau menerima cintaku?"
Wajah itu menjadi kemerahan pada saat itu,
te rbayanglah wajah Thian Ki di depan matanya.
Kui Eng menunduk. "Twako, kita baru saja saling
jumpa dan berkenalan dalam beberapa hari......
rasanya masih terlalu pagi untuk bicara te ntang
itu. Aku ...... aku tidak tahu......."
"Maafkan aku, Eng-moi. Memang aku yang
te rgesa-gesa, karena aku khawatir sekali mendengar niatmu untuk pergi meninggalkan aku.
Aku ingin engkau tahu lebih dulu sebelum pergi
te ntang isi hatiku. Nah, sekarang le galah hatiku
karena sudah kucurahkan is i hatiku Sekarang,
bagaimana, Eng-moi, maukah engkau untuk
sementara bersembunyi dulu di sini sambil
menanti hasil usahaku mencari suhengmu?"
Kui Eng mengangguk. Memang iapur tahu
bahwa tanpa bantuan pangeran ini, tidak akan

mudah pergi dari kota raja dan kalau sampai Im
Yang Sengcu melihatnya, te ntu ia akan te rancam
bahaya besar. Dari balik pintu belakang, N yonya Li dan Nenek
Song mengintai dan mereka berdua te rsenyum
gembira melihat Pangeran Li Cu Kiat duduk berdua
di atas bangku dalam taman bersama Kui Eng dan
mereka nampak begitu akrab, "mudah-mudahan
cucuku menemukan jodohnya....." bisik Nenek
Song dan pute rinya hanya tersenyum.
Sementara itu, Kui Eng merasa cukup bicara
dengan Pangeran Li Cu Kiat dan ia bangkit berdiri
hendak kembali ke dalam rumah. Akan tetapi ia




tiba-tiba mengeluh dan menggunakan kedua
tangan memegangi kepalanya. Kepala itu terasa
nyeri bukan main, seperti ditusuki jarum dari
dalam. "Ehh.....! Engkau kenapa, Eng-moi......?" Pangeran Li Cu Kiat terkejut dan cepat menghampiri. Tubuh Kui Eng te rhuyung dan te ntu ia sudah
jatuh kalau tidak cepat dirangkul Li Cu Kiat.
"Aduh..... aughh ...kepalaku-... tertusuk-tusuk
rasanya... aduhhh.....aduhhh.....!"
Kui Eng menekan kepala dengan kedua tangannya "Engmoi., apa yang terjadi, Kenapa kepalamu....?" Li Cu
Kiat menjadi bingung dan khawatir sekali.
Nenek Song dan N yonya Li juga melihat peristiwa
itu dan mereka berdua cepat berlari menghampiri.
"Apa yang te rjadi" Kenapa Kui Eng?" tanya Nynya
Li dan iapun ikut merangkul gadis itu yang masih
menggeliat-geliat kesakitan.

"Kalian mundur! Kui Eng, dengar baik-baik!
Cepat engkau bersila mengerahkan sin-kangmu
sekuat tenaga!! tiba-tiba Nenek Song berkata
setelah dia memegang pergelangan tangan gadis
itu. "Engkau tidak sakit, akan tetapi ada pengaruh
hitam yang menguasai dirimu!"
Mendengar suara nenek itu, Kui Eng te ringat.
Tadi ia kaget bukan main dan menjadi panik
karena kepalanya seperti ditusuk-tusuk dari dalam
sehingga ia tidak tahu harus berbuat apa. Akan
tetapi begitu mendengar ucapan nenek itu, iapun
te ringat, dan dengan menahan rasa nyeri yang
hebat, diapun cepat duduk bersila di atas rumput
dan mengerahkan seluruh kekuatan sin-kangnya
untuk menolak pengaruh asing dan aneh yang
membuat kepalanya seperti ditusuk-tusuk dari
dalam itu. Setelah mengerahkan sin-kangnya, rasa
nyeri itu berkurang banyak, walaupun masih
te rasa tidak enak dan pening. Akan tetapi, lewat
beberapa menit kemudian, rasa nyeri semakin
berkurang dan akhirnya le nyap. la menarik napas
panjang dan bangkit, lalu dengan agak pening ia
membiarkan dirinya dituntun Li Cu Kiat dan
duduk kembali ke atas bangku tadi.
Setelah gadis itu nampak normal kembali, Cu
Kiat bertanya lembut. "Eng Moi, apa yang telah
te rjadi" Kenapa engkau mendadak kesakitan
seperti itu?" "Cu Kiat, apakah engkau tidak dapat menduga"
Kui Eng te lah diserang secara gelap, diserang
dengan ilmu hitam, dengan sihir."

Pangeran, itu terbelalak, lalu mengepal tinju.
"Jahanam busuk! Siapa ladi kalau bukan Im Yang
Sengcu yang melakukan ini?" bentaknya marah.
"Aku harus membuat perhitungan dengan dia!
Berani dia menyerang Eng-moi dengan ilmu
hitam!" "Cu Kiat, te nanglah," kata nya halus. "Jangan
bertindak sembrono. Kita tidak mungkin dapat
menuduhnya tanpa adanya bukti. Sebaliknya dia
akan menuduhmu menjatuhkan fitnah kepadanya
dan tanpa bukti, engkau akan kalah."
"I bumu benar, Cu Kiat. Memang akupun
menduga bahwa Im Yang Sengcu. yang melakukan
hal ini, akan tetapi, tanpa bukti, kita tidak
berdaya. Se mentara ini, agaknya sin-kang di tubuh
Kui Eng cukup kuat untuk menyelamatkan
dirinya. Akan te tapi kita harus mencari seorang
ahli untuk menolak serangan ilmu hitam itu."
"Aih, aku hanya membikin repot keluarga yang
mulia ini saja," keluh Kui Eng, "aku percaya, kalau
suheng berada di sini, dia pasti akan dapat
menolak pengaruh iblis itu."
"Mari kita masuk ke dalam dan kita atur
bagaimana baiknya," kata Nenek Song. Mereka
semua masuk dan semenjak itu setiap hari Kui
Eng mendapat serangan dalam kepalanya sampai
beberapa kali. Biar pun dengan sin-kangnya ia
mampu bertahan dan menolak, namun tetap saja
ia menderita sekali dan hampir tidak dapat turun
dari pembaringan karena kepalanya te rasa berat
dan pening. Setiap kali serangan datang di dalam
kepalanya seperti ditusuk-tusuk jarum dan ia

hanya mampu menolak serangan itu dengan sinkangnya, akan te tapi hal itu amat melelahkan
dirinya dan membuat ia rebah seperti dalam
keadaan sakit berat. Bahkan beberapa kali ia
roboh pingsan dan setelah pingsan, serangan
itupun le nyap, akan tetapi datang lagi kalau ia
siuman. Beberapa orang ahli te lah diundang oleh
keluarga itu, akan tetapi agaknya para hwes io dan
tosu yang dimintai tolong, tidak mempunyai te naga
cukup kuat untuk menolak serangan ilmu hitam
itu. Pangeran Li Cu Kiat menjaga Kui Eng siang
malam, bahkan tidur di lantai bawah pembaringan
gadis itu. Biarpun nenek dan ibunya membujuk
agar dia beristirahat, dia menolak dan tetap
menjaga Kui Eng dengan penuh
perhatian melayani semua kebutuhan gadis itu membuat' Kui
Eng kalau sadar merasa te rharu bukan main.
Sementara itu, Pangeran Li Cu Kiat juga mengerahkan tenaga bantuan dari para komandan
yang dikenalnya baik, untuk menyebar orang dan
mencari. seorang pemuda bernama Coa Thian Ki
dengan ciri-ciri seperti yang digambarkan oleh Kui
Eng kepadanya. o)0o-dw-o0(o Berita tentang pembantaian semua orang bermarga Bu di kota raja dan sekitarnya, terbawa
angin dengan cepatnya sehingga berita itu sampai
pula ke Hong-cun, dusun tempat tinggal Huang-ho
Sin-liong Si Han Beng dan isterinya. Bu Giok Cu.
Suami isterl ini sudah lama mengasingkan diri dan
tidak mencampuri urusan di dunia kangouw, akan

tetapi ketika mereka mendengar berita itu, mereka
te rkejut juga, terutama sekali karena isteri
pendekar itupun bermarga Bu!
Tanggapan Hong Lan lebih hebat lagi. Mendengar berita itu, iapun menangis tersedusedu. Suami isteri itu saling pandang dan Giok Cu
merangkul pute rinya dengan penuh kasih sayang.
"Lan Lan, kenapa engkau menangis mendengar
berita mengerikan itu?"
"I bu, betapa hatiku tidak akan sedih mendengar
pembantaian orang-orang yang tidak berdosa itu.
Aku tahu, semua ini tentu ulah Im Yang Sengcu,
tosu ahli sihir itu. Aku tidak percaya a yah sekejam
itu. Ayahanda kaisar adalah seorang laki-laki
gagah perkasa yang berwatak pendekar, menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Bagaimana mungkin dia melakukan kekejaman itu
kalau bukan karena ulah Im Yang Sengcu! Aku
harus ke kota raja, aku akan mengingatkan
ayahanda kaisar agar jangan menuruti bujukan
tosu siluman itu!" "Hong Lan, tenanglah dulu dan kita harus
mempertimbangkan baik-baik kehe ndakmu itu.
Ingat, Hong Lan, sekarang kedudukanmu tidak lagi
seperti dulu ketika engkau masih menjadi puteri
kaisar. Bagaimana engkau akan kuat menentang
pengaruh tosu itu yang telah menjadi penasihat
kaisar seperti yang pernah kauceritakan kepada
kami" Dan ada suatu hal yang amat gawat sekali
yang harus kau pertimbangkan baik-baik sebelum
mengambil keputusan pergi ke kota raja."

Melihat suara ayahnya demikian serius, Hong
Lan memandang ayahnya! "Sesuatu apakah yang
begitu gawat, ayah?"
"Engkau lupa bahwa ibumu adalah seorang
bermarga Bu juga." "Ahh....." Hong Lan te rbelalak, baru te ringat
bahwa ibu kandungnya bernama Bu Giok Cu.
"Kalau begitu, aku bahkan harus cepat ke sana
menemui kaisar, ayah. Tindakannya ini benarbenar akan menghancurkan nama baiknya, dan ia
merasa berkewajiban untuk mengingatkannya,
te rutama sekali mengingatkan beliau akan bahayanya menurut bujukan seorang iblis seperti
Im Yang Sengcu." 'Kalau engkau berkeras hendak ke kotaraja,
kami tidak akan melepasmu begitu saja. Kami
akan menemanimu dan kita bertiga bersama pergi
ke s ana," kata Si Han Beng.
"Akan te tapi, ayah!" Hong Lan memprotes . "Ibu
bermarga Bu, bagaimana mungkin ibu ikut ke
sana" Itu berbahaya sekali !"
"Lan Lan, engkau sendiri hendak ke s ana. Kalau
engkau memiliki keberatan untuk pergi ke sana,
apa lagi ibu! Aku tidak takut akan ancaman, dari
manapun juga datangnya," kata Bu Giok Cu.
"I bumu benar, Hong Lan. Orang yang tidak
merasa bersalah tidak perlu takut. Pula, kalau
engkau khawatir, kita dapat memasuki kota raja
dengan menyamar, ibumu ini memiliki ilmu
penyamaran yang hebat."

"Benarkah itu, ibu?" Hong Lan sudah mendapatkan kembali kegembiraannya. Memang
anak ini memiliki dasar lincah gembira.
"Kaulihat ibumu ini!" kata Bu Giok Cu dan iapun
membalikkan tubuh membelakangi puterinya,
hanya dalam beberapa menit dan ketika ia
membalikkan lagi tubuhnya menghadapi Hong Lan
gadis itu menahan jeritnya saking kaget dan
herannya. Ibunya telah berubah menjadi wanita
yang wajahnya berbeda sama sekali!
"I hh...., ibu! Engkau harus mengajarkan ilmu
menyamar ini kepadaku kata Hong Lan sambil
te rtawa dan merangkul ibunya.
Pada saat itu, nampak seorang laki setengah
tua, tetangga mereka berlari-larian mengetuk pintu
depan rumah pendekar itu. Ketika mereka bertiga
ke luar, laki-laki itu dengan napas terengah-engah
berkata, "Si-taihiap. Ada serombongan pasukan
kerajaan memasuki dusun kita dan bertanya-tanya
te ntang rumah taihiap. Mereka sedang menuju ke
sini" Setelah mengatakan laporan ini, tetangga itu
lalu pergi menyembunyikan diri dengan ketakutan.
Keluarga pendekar itu te rkejut mendengar ada
seregu perajurit kerajaan mencari mereka, akan
tetapi mereka masih bersikap tenang. "Sebaiknya
kalian berdua berkemas dan dengarkan perca
kapanku dengan pimpinan regu. Kalau aku
mengatakan bahwa kalian tidak berada di rumah,
cepat pergi tinggalkan rumah dari pintu belakang




dan tunggu aku diluar dusun, di hutan kecil tepi
sungai tempat biasa mengail ikan."

Ibu dan anak itu tidak perlu mendapat
penjelasan lagi. Mereka segera memasuki kamar
dan berkemas. Ketika rombongan pasukan kerajaan itu memasuki pekarangan rumah, mereka
telah siap dengan buntalan pakaian di punggung
dan mereka berdua mengintai dari dalam.
De ngan sikap te nang Si Han Beng menyambut
rombongan perajurit itu. Mereka te rdiri dari dua
losin orang, menunggang kuda dan kini mereka
semua meloncat dari punggung kuda, berdiri rapi
dan membiarkan komandan mereka, seorang
perwira tinggi, melangkah maju menghadapi Si
Han Beng "Si Han Beng katanya dengan suara
lantang dan berwibawa. "Sambutlah perintah dari
Sribaginda Kais ar!"
Mendengar ini dan melihat perwira itu mengeluarkan segulung surat perintah kaisar, Han
Beng te rkejut diapun berlutut sebagaimana layaknya seorang rakyat menyambut perintah
kaisarnya. "Hamba Si Han Beng mendengarkan perintah
Sribaginda Kais ar!" katanya.
Perwira itu lalu membentangkan gulungan surat
perintah, membacanya dengan suara lantang.
"Kami mengundang Huang-ho Sin-liong Si Han
Beng dan is terinya, Bu Giok Cu, dan pute ri
mereka. Si Hong Lan, agar se cepat mungkin datang
berkunjung ke istana. Tertanda Kais ar Tang Tai
Cung." Komandan itu menggulung kembali
surat perintah dan menyerahkannya kepada Si Han Beng
yang menerimanya dengan kedua tangan, sambil

berkata, "Kami harap agar Si-taihiap suka bersiap
sekarang karena kami mendapat perintah untuk
mengajak tai-hiap bertiga se karang juga berangkat
ke kota raja." Si Han Beng bangkit berdiri setelah
gulungan surat itu dite rimanya. Kini yang dia
hadapi hanyalah seorang perwira tinggi, seorang
utusan karena cara penyambutan perintah kaisar
secara res mi telah dilakukannya. "Harap ciangkun
kembali lebih dahulu ke kota raja. Kami akan
segera menyusul," katanya.
"Ah, hal itu tidak mungkin kami lakukan,
taihiap!" Kami telah menerima perintah atasan
kami bahwa kami harus mengajak taihiap sekarang juga ke kota raja, maksud kami, tai-hiap
bertiga isteri dan puteri."
Han Beng mengerutkan alisnya dan mandang
tajam wajah perwira itu. Seorang panglima muda
yang usianya sekitar empatpuluh tahun dan
nampak gagah perkasa. "Ciangkun, Sribaginda
mengundang kami, akan te tapi kenapa ciangkun
seperti hendak memaksa kami ?"
"Tai-hiap, kami hanya melaksanakan perintah
atasan. Taihiap bertiga memang diundang ke
istana, akan tetapi harus sekarang bersama kami."
"Hemm, kalau kami tidak mau berangkat
sekarang bersamamu?"
"Maaf, terpaksa kami akan melaksanakan perintah, yaitu kalau tidak dapat mengajak taihiap
bertiga sebagai tamu undangan, kami harus
membawa taihiap bertiga sebagai tawanan!"

"Begitukah perintah Sribaginda" Tidak kubaca
dalam surat undangan ini."
"I ni merupakan perintah atasan kami!" panglima
itu berkeras. "Aku hanya menaati perintah Sri baginda Kais ar,
bukan panglima yang manapun juga." Kata Si Han
Beng dengan suara lantang dengan maksud agar
te rdengar ole h isteri dan anaknya. "Pula tidak
mungkin kami berangkat sekarang karena is teri
dan puteriku tidak berada di rumah saat ini!"
Ucapan ini tentu saja merupakan isyarat bagi Bu
Giok Cu dan Si Hong Lan untuk cepat meninggalkan rumah melalui pintu belakang.
Panglima itu mengerutkan alisnya memandang
kepada pendekar itu dengan sinar mata tajam
penuh selidik. "Si Han Beng, kami minta agar engkau tidak
berbohong kepada kami. Tadi kami sudah mendapat keterangan bahwa engkau sekeluarga
berada di rumah, bagaimana sekarang tiba-tiba
saja isteri dan putrimu tidak berada di rumah?"
Dia lalu memerintahkan dua losin anak buahnya,
"Geledah rumah Ini dan cari mereka!"
Para perajurit itu berserabutan masuk ke dalam
rumah itu dan melakukan penggele dahan. Si Han
Beng hanya menonton saja dari luar rumah dan
menahan kesabarannya. Tentu saja dua losin orang perajurit itu tidak
dapat menemukan Bn Giok Cu dan Si Hong Lan
dan mereka keluar lagi, melapor kepada panglima

itu bahwa yang mereka cari tidak dapat ditemukan
di dalam rumah itu. "Si Han Beng, apakah engkau hendak memberontak" Berani e ngkau membantah perintah
Sri baginda Kaisar" Engkau menyembunyikan
anak isterimu!" Bentak panglima itu.
Kini Si Han Beng tidak dapat menahan lagi
kemarahannya. "Ciangkun, aku percaya bahwa Sri
baginda Kaisar sendiri tidak akan berani bersikap
seperti ini kepadaku. Engkau hanya seorang
perwira, berani begini sombong mele bihi Sribaginda. Engkau patut dihajar!"
Mendengar ucapan ini, panglima itu menjadi
semakin marah dan dia memerintahkan anak
buahnya dengan suara lantang. "Tangkap pemberontak ini!" Dua losin anak buahnya itu serentak maju
mengepung, akan te tapi sekali menggerakkan kaki
tangannya. Si Han Beng membuat empat orang
perajurit terle mpar dan diapun sekali meloncat sudah berada di depan panglima itu. Sang panglima
yang sombong itu s udah menggerakkan pedangnya
untuk menyambut Han Beng dengan tusukan ke
arah dada. Si Han Beng membiarkan pedang itu
dekat, lalu tubuhnya miring dan sewaktu pedang
meluncur di sisi tubuhnya, tangannya bergerak ke
samping dan sekali tangkap, dia te lah memegang
pergelangan tangan yang membawa pedang dan
te rus diputar ke belakang. Karena lengan panglima
itu kini tertelikung ke belakang dan te rus didorong,
maka te ntu saja terasa nyeri hampir patah dan
pedangnya terlepas. ♡
"Pergilah!" bentak Si Han Beng dan panglima itu
te rdorong ke depan dan jatuh tertelungkup
sehingga hidungnya berdarah. Akan tetapi, panglima itu agaknya masih mengandalkan keduduk- dan pasukannya. "Tangkap pemberontak itu! Bunuh!" perintahnya
kepada anak buahnya sambil merangkak bangun.
"Hemm, agaknya engkau yang menjadi kaki
tangan pemberontak!" Han Beng berseru dengan
gemas dan sekali kakinya terayun, dagu panglima
itu telah ditendangnya dan kini panglima itupun
te rpental dan jatuh pingsan. Han Beng 1alu
mengamuk dan enam orang perajurit yang berani
mencoba untuk mengeroyoknya, dirobohkan
dengan tamparan dan te ndangan. Sisanya menjadi
je rih dan hanya berdiri saja, tidak berani
menyerang. Han Beng tidak memperdulikan mereka, lalu
menutup semua daun pintu menyerahkan rumahnya kepada dua orang pembantu, dan
diapun pergi membawa buntalan pakaiannya,
menyusul isteri dan pute rinya. Tidak ada seorangpun dari para perajurit yang berani
mengejarnya. Bu Giok Cu dan Si Hong Lan sudah menanti
Han Beng di hutan kecil tepi sungai. Dengan
singkat Han Beng menceritakan apa yang te rjadi
dan isterinya ikut merasa tak senang.
"Sungguh aneh," kata Hong Lan. "Ayahanda
Kaisar adalah seorang yang pandai menghargai
orang gagah dan kalau beliau mengundang kita,
kenapa komandan pasukan yang menjadi utusan

itu bersikap kasar dan sombong" Ini aneh sekali,
dan biar nanti akan ku laporkan kepada ayahanda
kaisar." Han Beng lalu menyamar pula. Setelah terjadi
peristiwa keributan dengan pasukan itu, berarti
ada seseorang, mungkin atasan komandan pasukan itu, yang tidak senang kepada dia
sekeluarga, dan kalau mereka bertiga masuk
secara berterang di kotaraja, mungkin saja di sana
ada bahaya besar mengancam mereka. Keluarga
pendekar ini lalu melakukan perjalanan cepat
menuju kotaraja. o)0o-dw-o0(o Coa Thian Ki dan Kam Cin tiba di kota raja.
Mereka sengaja memasuki kota raja di waktu pagi
dan malam tadi mereka bermalam di sebuah
dusun di luar kota raja, dan begitu masuk kota
raja, merekapun langsung saja menuju ke istana
kaisar. Di gardu penjagaan depan lapangan luas
yang merupakan pekarangan istana, mereka
dihadang sepasukan pengawaI.
Seorang komandan yang bersikap ramah dan
hormat melihat sikap pemuda dan gadis itu yang
membayangkan kegagahan, segera bertanya, "Ada
keperluan apakah ji-wi (kalian berdua) hendak
memasuki daerah istana?"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN