NAGA BERACUN JILID 31



Dia tidak ingin memegang jabatan atau
kedudukan karena dia melihat betapa kedudukan

diperebutkan mati-matian oleh keluarga kaisar.
Dia sendiri adalah keponakan kaisar, pute ra
mendiang Pangeran Li Seng Tek, kakak dari Kaisar
Tang Tai Cung (Li Si Bin), dan sampai
meninggalnyapun mendiang ayahnya tidak pernah
ikut dalam perebutan kekuasaan Justeru karena
tidak ingin terlibat dalam perebutan, maka dia
dimusuhi oleh mereka yang berusaha merebut
kedudukan kaisar dan Pangeran Li Seng Tek te was
keracunan tanpa ada yang mengetahui siapa yang
meracuninya. Peristiwa ini membuat Li Cu Kiat
semakin tidak senang dengan dudukan dan dia
le bih suka menjadi seorang yang bebas dari
tugas yang mengikat, namun dia selalu bertindak
kalau ada pejabat atau perajurit yang melakukan
penyelewengan. Karena dia tidak congkak, lihai
dan tidak memperebutkan kedudukan, tidak haus
balas jasa, maka semua pejabat di kota raja
maupun di daerah, segan dan takut kepadanya.
Kaisar Tang Tai Cung yang mengenal baik watak
ponakannya, amat suka kepadanya dan percaya
akan segala laporannya, maka biarpun tidak
nenduduki jabatan. Pangeran Li Cu Kiat mempunyai kekuasaan besar, ditakuti oleh para
petugas. Itulah sebabnya maka
dia berani memanggil panglima untuk dite gur mengenai
perbuatan regu penjaga tadi,
Kui Eng berjalan menuntun kudanya. Karena
jalan raya di kota raja itu mulai ramai dengan
orang berlalu-lalang, maka ia tidak menunggangi
kudanya, melainkan dituntun dan ia berjalan-jalan
mengagumi keadaan kota raja yang ramai dan di
kiri jalan raya terdapat banyak toko. rumah

makan, dan ada pula beberapa buah rumah
penginapan yang cukup besar. Karena ia tidak
ingin tinggal di ruman penginapan yang te rlalu
ramai, Kui Eng lalu menuntun kudanya ke sudut
kota dan berhenti didepan sebuah rumah penginapan yang berdiri agak menyendiri di sudut
kota. Rumah penginapan itu nampak tidak te rlalu
bising, dan memiliki pekarangan yang besar.
Bahkan di sebelah kirinya te rdapat sebuah rumah
makan yang agaknya menjadi satu dengan rumah
penginapan itu. Ketika la menuntun kudanya memasuki pekarangan, seorang pelayan te rgopoh menyambutnya, "Selamat pagi, nona. Apakah
nona mencari kamar yang bersih dan baik?"
Kui Eng mengangguk. "Sediakan sebuah kamar
yang bersih, beri makan dan minum kuda ini dan
rawat baik-baik, kemudian suruh pelayan menyediakan air hangat untuk mandi."
"Baik, nona." Pelayan Itu menerima kendali kuda
dari Kui Eng, berte riak memanggil te mannya dan
mempersilakan Kui Eng mengikuti pelayan yang
datang berlarian untuk diantar ke kamarnya dan
dilayani semua kebutuhannya.
Setelah mandi dan berganti pakaian, merasa
segar tubuhnya, Kui Eng lalu meninggalkan
kamarnya. Ia menaruh buntalan pakaiannya di
kamar, akan tetapi membawa kotak perhiasannya
karena ia tidak ingin kehilangan bekal itu, juga
membawa pedangnya dan iapun pergi ke rumah
makan di s ebelah. •
Kui Eng tidak tahu betapa seorang laki-laki
berusia kurang le bih empatpuluh tahun mengamatinya dari luar rumah penginapan ketika
ia keluar dari pekarangan rumah penginapan itu
dan memasuki rumah makan. Laki-laki yang
tubuhnya pendek te gap itu kini juga memasuki
rumah makan dan duduk di sudut, dari mana dia
dapat memandang ke arah Kui Eng dari belakang.
Gadis itu tanpa menduga sesuatu, duduk menghadapi meja dan memesan makanan dan air
te h. Kemudian ia makan minum dengan santai dan
te nang, tidak tahu betapa laki-laki tadi minum
arak dan selalu memperhatikannya walaupun
dengan sikap yang tidak menyolok
Sehabis makan, Kui Ing meninggalkan rumah
makan dan pergi berjalan-jalan. Ia tidak tahu ke
mana harus mencari Thian Ki. Ia hanya tahu
bahwa Thian Ki disuruh ayahnya untuk mencari


°

dan merampas kembali pedang Liong-cu kiam,
akan te tapi di samping tugas ini, juga Thian Ki
pergi mengunjungi Huang-ho Sin-liong Si Han
Beng di dusun Tang-cun untu k minta pertolongan
pendekar itu mengusir hawa beracun dari tubuhnya. Ia tidak tahu apakah sekarang Thian Ki
telah tiba di kota raja ataukah belum. Karena ia
sekarang te lah tiba di Kota raja, kenapa ia tidak
membantu kakak tiri atau juga suhengnya itu
untuk merampas kembali pedang Liong-cu-kiam
milik ayahnya" De ngan demikian , ia akan
meringankan tugas Thian Ki
Ia berjalan-jalan dan mengagumi kota raja. Ada
keharuan mendalam di lubuk hatinya. Kota raja ini
juga merupakan te mpat kelahirannya" Dan •
ayahnya pernah menceritakan dan menggambarkan keadaan kota raja ini, bahkan
memberi tahu di mana letak istana yang dahulu
ditinggali ayahnya ketika menjadi pangeran.
Mengingat betapa ayahnya dahulu seorang pangeran di kota raja ini. dan ketika ia masih kecil,
iapun tinggal di sini, semacam keharuan menyelinap di hatinya. Ia tidak dapat mengingat
te mpat ini karena ketika te rjadi perang, ketika
ayahnya membawa ia dan ibunya pergi mengungsi,
usianya baru kurang dari dua tahun.
Akan te tapi, ayahnya pernah membuat gambaran te ntang kota raja dan kini ia pergi
menuju istana yang dahulu pernah menjadi
te mpat tinggal ayanya, pernah menjadi tempat ia
te rlahir! Jantungnya berdebar te gang ketika ia tiba di
jalan raya depan rumah gedung itu. Sebuah
gedung yang besar dan megah. Jantungnya te rasa
te rasa seperti diremas ketika ia teringat kepada
ayahnya. Ayahn ya dahulu seorang pangeran dan
tinggal di dalam is tana ini! Dan sekarang Ayahnya
tinggal di dusun sebagai seorang petani! Ibunya,
dan keluarga lain te rbunuh. Kehidupan keluarga
ayahnya hancur le bur. Ingin sekali ia memasuki
istana itu, melihat-lihat di sebelah dalamnya,
melihat kamar ibunya di mana ia dahulu
dilahirkan! Akan tetapi, bagaimana mungkin"
Tempat itu kini tentu ditempati seorang pembesar
lainnya dan di depan rumah itu te rdapat sebuah
gardu penjagaan di mana terdapat lima orang
perajurit penjaga. T'entu tempat tinggal orang
penting. Memasukinya tidak mungkin, karena ia

te ntu akan dihalangi oleh petugas jaga. Akan tetapi
malam nanti, ia dapat melaksanakan niatnya. Ia
dapat menggunakan kepandaiannya untuk menyelinap masuk, sebagi pencuri akan tetapi
bukan untuk mencuri sesuatu. Ia hanya ingin
masuk ke istana itu, melihat-lihat di sebelah
dalamnya, melihat bekas kamar ibunya. Itu saja!.
Kui Eng berdiri di luar pekarangan is tana itu
sampai lama, tidak tahu betapa laki-laki pendek
te gap itu mengikutinya sejak dari rumah makan
tadi. Kini Kui Eng berjalan lagi dan menuju ke
gedung is tana yang terkurung pagar te mbok yang
tinggi dan te rjaga kuat. Memasuki daerah
te rlarang ini merupakan pekerjaan yang lebih sulit
lagi. Kalau Thian Ki akan mengambil Liong-cu
kiam dari gedung pusaka, dia harus dapat
melewati pagar te mbok dan para penjaga dan
setelah tiba di lingkungan istana, baru dapat
mencari gedung pusaka yang te ntu te rjaga ketat
pula. Kui Eng menghela napas. Betapa sukarnya
dan betapa bahayanya melaksanakan tugas
merampas Liong-cu-kiam itu. Bagaimanapun juga,
ia ingin membantu Thian Ki, melaksanakan
perintah ayahnya. Ia tidak akan bertindak te rgesa-gesa dan tanpa
perhitungan. Ia akan menyelidiki dulu keadaan
para penjaga, bagaimana pula sistim penjagaan itu
agar setelah mengenal keadaan ia akan dapat
memasuki lingkungan is tana dan mencari pedang
pusaka milik ayahnya di gedung pusaka. Setelah
puas berjalan-jalan mengelilingi kota raja menjelang sore Kui Eng kembali ke rumah
penginapan untuk beristirahat. Ia tidak tahu

bahwa laki-laki pendek tegap tadipun te rnyata
menyewa sebuah kamar te pat di sebelah kamarnya! Malam itu bulan purnama muncul dengan
indahnya. Langit bersih sehingga bulan dapat
menerangi seluruh permukaan bumi, mendatangkan suasana yang amat indah dan
sejuk. Kui Eng keluar dari kamarnya dan setelah
makan malam, ia kembali berjalan-jalan menikmati
keindahan malam di kota raja. Tidak lupa ia
kembali melewati bekas istana ayahnya, kemudian
juga melewati pintu gerbang komple ks istana.
Karena malam itu indah, maka sebagian besar
penduduk kota raja berada di luar rumah, tidak
ingin melewatkan keindahan malam bulan purnama sia-sia belaka De ngan hati gembira Kui Eng akhirnya kembali
ke rumah penginapan dan memasuki kamarnya. I a
merasa lelah juga setelah sehari semalam berjalanjalan, dan segera merebahkan diri di atas
pembaringan. Sesosok bayangan yang berkelebat di luar
je ndelanya, walaupun hanya sekejap mata, cukup
membuat Kui Eng merasa curiga. Ia te ringat akan
pengalamannya di pintu gerbang kota raja pagi
tadi, maka begitu melihat bayangan berkelebat di
luar je ndela kamarnya, iapun menjadi waspada.
De ngan hati-hati dipakainya kembali sepatunya,
dibereskannya rambut dan pakaiannya Kalau
bayangan tadi hanya seorang yang berjalan di luar
pintu kamarnya, te ntu ia tidak akan curiga
karena te mpat itu merupakan rumah penginapan

umum di mana banyak tamu bermalam dan te ntu
ada saja orang yang le wat di depan kamarnya.
Akan te tapi, gerak bayangan itu demikian cepat
dan hal ini saja menunjukkan bahwa yang tadi
le wat di luar jendelanya bukan orang berjalan,
melainkan orang yang bergerak cepat dan tidak
te rdengarnya langkah kakinya membuktikan bahwa bayangan itu adalah seorang yang berkepandaian tinggi. Setelah mengambil pedangnya dari atas meja,
tidak lupa mengikatkan kotak perhiasan di
pinggangnya, Kui Eng meniup padam lilin di atas
meja, lalu duduk di pembaringan, Ia mengerahkan
te naga sin-kangnya, mencurahkan perhatian pada
pendengarannya dan tahulah ia bahwa di luar
je ndelanya terdapat seseorang. Hai ini ia ketahui
dari pernapasan orang itu yang dapat ia tangkap
melalui pendengarannya. Beberapa kali Kui Eng menguap dan sengaja
mengeluarkan suara agar te rdengar dari luar,
kemudian perlahan-lahan ia mengeluarkan suara
pernapasan berat seperti orang yang mulai te rti
dur. Sete ngah jam kemudian, ia bahkan mengeluarkan dengkur halus.
Pancingannya berhasil. Terdengar suara jendela
berkeretek dan daun jendela ttupcn te rbuka dari
luar. Sesosok bayangan meloncat bagaikan seekor
kucing ke dalam kamarnya. Semua ini dapat
dilihatnya karena dari luar kamarnya te rdapat
sinar lampu gantung yang membentuk bayangan
orang itu. Orang itu menghampiri pembaringannya

dengan golok di tangan dan dia mengayun golok
membacok ke arah dirinya yang tidur telentang!
Trangggg .................!!"
Bayangan itu te rkejut bukan main ketika
goloknya ditangkis oleh gadis yang disangkanya
sudah pulas itu. Dia meloncat k? belakang, lalu
meloncat keluar kamar melalui jendela yang
te rbuka. Kui Cng tentu saja tidak mau melepaskannya, tanpa mengeluarkan suara gaduh
agar tidak menarik perhatian orang dalam rumah
penginapan, iapun melompat dan melakukan
pengejaran. Orang itu sudah melompat ke dalam
taman di samping rumah penginapan, dan Kui
Eng mengejarnya. Kalau saja malam Itu tidak te rang bulan, akan
sukarlah bagi Kui Eng untuk mengejar orang itu.
Akan te tapi karena bulan terang, gadis perkasa ini
dengan mudah dapat melihat bayangan orang dan
iapun mengejar dengan cepat sekali. Orang itu
agaknya hafal benar dengan keadaan kota raja, lari
memasuki lorong-lorong sempit. Malam sudah
larut dan suasana sudah sepi.
Kui Eng te rus membayangi orang itu yang
melarikan diri ke ujung kota raja, di mana
te rdapat sebuah bukit kecil dan setelah menyeberangi sebuah je mbatan, bayangan itu lari
mendaki bukit kecil. "Keparat, pengecut, hendak lari ke mana kau?"
Kui Eng mengerahkan te naganya dan sebentar saja
telah dapat menyusulnya. Mereka kini berhadapan
karena yang dikejarnya berhenti dan dengan golok
besar di tangan menghadapi Kui Eng. Di bawah

sinar bulan purnama, Kui Eng dapat melihat
bahwa orang pendek tegap itu berusia kurang lebih
empatpuluh tahun, wajahnya bengis dan tubuhnya
kokoh.

°

"Siapa engkau dan apa maksudmu memasuki
kamarku dan hendak membunuhku?" bentak Kui
Eng marah karena tadi je las bahwa orang ini
hendak membunuhnya. Laki-laki pendek itu tersenyum. "Engkau seorang pemberontak atau mata-mata musuh yang
berbahaya, karena itu aku harus membunuhmu!"
katanya tanpa memberi penjelasan lagi dia sudah
menyerang dengan goloknya. Gerakannya cepat
dan kuat dan golok besar yang berat iti
menyambardengan desir angin dan mengeluarkan
suara berdesing. Namun, dengan mudah Kui Eng
mengelak, lalu membalas dengan tusukan pedangnya. Orang itu mengeluarkan seruan kaget
karena dalam segebrakan saja, pedang gadis itu
hampir saja memasuki lambungnya! Dia tadi
dengan kaget melempar tubuh kebelakang dan
setelah dia meloncat bangun lagi, dia menjadi agak
pucat karena maklum bahwa yang dihadapinya
adalah seorang gadis yang benar-benar amat lihai!
Tidak aneh kalau adi knya, komandan regu penjaga
pintu gerbang berikut belasan orang anak buahnya
dihajar oleh gadis ini! Tadi, mendengar peristiwa di
pintu gerbang yang mengakibatkan adiknya bukan
saja dihajar seorang gadis akan te tapi juga atas
perintah Pangeran Li Cu Kiat adiknya berikut
regunya dijatuhi hukuman dia menjadi marah
sekali. Marah terhadap gadis itu yang dianggap
telah mencelakai adiknya. Maka diapun mencari

gadis itu untuk membalas dendam, membunuhnya
dan merampas harta yang dibawanya. Akan tetapi,
siapa kira, dia berte mu batunya.
"Haiiittt.......!!"
Dengan nekat diapun menggerakkan golok besarnya, menyerang kalang
kabut. Namun, tingkat kepandaiannya masih jauh
le bih rendah kalau dibandingkan tingkat kepandaian Kui Eng. Gadis ini telah menguasai
ilmu-ilmu ayahnya dan telah menjadi seorang gadis
yang amat lihai. Dalam waktu belasan jurus saja,
si pendek telah te rluka pangkal le ngan kirinya dan
juga paha kanannya. Kui Fng memang sengaja
tidak hendak membunuhnya karena ia ingin sekali
mengetahui siapa orang ini dan mengapa pula
memusuhinya, padahal ia tidak mengenal orang itu
sama sekali. Ia hanya ingin merobohkannya dan
memaksanya mengaku. Akan te tapi, orang pendek itu tiba-tiba saja
membalikkan tubuhnya dan melanjutkan larinya
sambil terpincang-pincang, menuju ke atas bukit.
Kui Eng mengejar dan membayanginya. Kalau
menghendaki, te ntu dengan mudah ia dapat
menyusul dan merobohkannya. Akan te tapi ia
hanya membayangi karena ia merasa yakin bahwa
orang ini mungkin hanya nenjadi pesuruh saja,
ada orang lain yang menyuruhnya untuk membunuhnya dan agaknya ia berada di puncak
bukit ke mana orang itu hendak melarikan diri.
Hatinya merasa tegang ketika melihat sebuah
pondok di puncak bukit itu. Pondok sunyi akan
tetapi terawat, menunjukkan bahwa memang benar
disitu terdapat penghuninya dan orang yang

dikejarnya berlari memasuki pekarangan rumah
itul "Suhu, toloooooooongggg......!." Si pendek itu
berseru ketika tiba di pekarangan rumah. Mendengar ini, Kui Eng cepat meloncat dan tiba di
depan orang itu, maklum bahwa pondok itu adalah
te mpat tinggal guru penyerangnya.
Ketika Kui Eng hendak menggerakkan pedang
menyerang. dari belakangnya te rasa olehnya angin
menyambar. Ia te rkejut dan menarik kembali
pedangnya lalu melompat ke samoing untuk
menghindarkan diri. Ternyata di sana telah berdiri
seorang laki-laki berpakaian tosu, berusia kurang
le bih enamuluh tahun, bertubuh tinggi kekar
mukanya merah, memiliki kumis dan jenggot
putih yang tipis dan di dada jubahnya te rdapat
lukisan pat-kwa (segi delapan) dengan tanda imyang dite ngahnya. Tosu itu menarik kembali ujung
le ngan bajunya yang lebar yang tadi dia pergunakan untuk menyerang Kui Eng.
"Nona, perlahan dulu, jangan sembarangan
membunuh orang!" kata tosu itu, suaranya lembut
dan sikapnya berwibawa, wajahnya dingin namun
senyumnya menyelimuti kedinginan wajahnya sehingga nampak ramah. Kui Eng mencibir. "Hemm, musang berkedok
domba!" ejeknya. "Engkau menasihati orang agar
jangan sembarangan membunuh, akan te tapi
engkau menyuruh muridmu berusaha untuk
membunuhku secara pengecut!"
"Siancai.......!!" Tosu itu berseru dan melipat
kedua le ngan di depan dada. "Apa maksudmu

nona" Pinto (saya) tidak menyuruh siapapun
membunuh orang. Pinto adalah Im Yang Sengcu,
sahabatnya Kaisar. Sribaginda Kaisar saja percaya
kepada pinto, bagaimana mungkin pinto menyuruh
membunuh orang?" Kembali Kui Eng tersenyum mengejek. "Totiang,
tidak perlu lagi berpura-pura. De ngar baik-baik.
Tadi, aku tidur di dalam kamarku di rumah
penginapan dan muridmu ini mencokel jendela,
melompat masuk dan menyerangku dengan goloknya. Apa lagi artinya itu kalau bukan hendak
membunuhku. Masihkah engkau sebagai gurunya
masih berpu-pura lagi" Tentu engkau yang
menyuruhnya, dan aku yang ingin tahu mengapa
kalian hendak membunuhku yang tidak kalian
kenal sama sekali?" Tosu itu memang Im Yang Seng-cu, tosu yang
menjadi sahabat Kais ar Tang Tai Cung. Kaisar pula
yang memberi ijin kepadanya untuk menguasai
bukit di sudut kota itu dan di situ didirikan
pondok untuk dia melakukan samadhi. Orang
pendek itu adalah seorang di antara muridmuridnya atau pengikutnya, juga kaki tangannya,
yang bernama Phoa Gu. Phoa Gu ini kebetulan
sekali kakak dari komandan regu yang pagi tadi
dihajar oleh Kui Eng. Dia Ingin membalas dendam
dan hal ini adalah kehendaknya sendiri dan di luar
tahunya Yang Seng-cu, oleh karena itu mendengar
tuduhan Kui Eng. dia mengerutkan alis nya dan
kini dia memandang kepada murid atau anak
buahnya itu. •

"Phoa Gu, apa artinya ini" Benarkah engkau 

hendak membunuh nona ini?" Kini Im Yang Sengcu baru melihat hetapa muridnya itu telah
mengalami luka-luka berdarah pada pundak atau
pangkal lengan dan pahanya.
"Suhu, memang benar teecu (murid) ingin
membunuhnya akan te tapi iblis betina ini ternjata
lihai sekali." "Phoa Gu. kenapa engkau hendak membunuhnya?" Suara lm Yang Seng-cu terdengar
marah. "Suhu. ia seorang iblis betina yang kejam. Bukan
saja ia telah menyiksa adik teecu yang bernama
Phoa Ci. akan tetapi la pula yang melapor kepada
Pangeran Li Cu Kiat sehingga adik teecu bersama
semua regunya mendapat hukuman berat. Teecu
hendak membalas dendam kepadanya dan harap
suhu membela teecu."
"Aih-aih, sekarang aku mengerti!" Kui Eng
berseru dan wataknya yang keras dan berani
membuat ia tidak perduli bahwa orang itu berada
bersama gurunya. "Kiranya engkau adalah kakak
dari babi gendut kurang ajar itu" Memang aku
telah menghajarnya dan aku pula yang menyebabkan dia dlhukum oleh atas annya. Aku
masih bersikap murah karena adikmu itu sesungguhnya pantas kalau kubunuh!"
"Coba lihat dan dengar, suhu! Perempuan ini
te rlalu kejam dan sombong. Kalau tidak dibunuh,
ia akan menimbulkan kekacauan di kota raja.
Bahkan ia telah berhasil merayu Pangeran Li Cu
Kiat sehingga pangeran itu membelanya, membuat

ia menjadi semakin sombong! Mungkin wanita ini
yang oleh suhu disebut-sebut sebagai siluman
yang kelak akan menguasai istana."
"Hei, jahanam busuk, tutup mulutmu yang
menyebar fitnah busuk! Engkaulah yang patut
dibasmi!" bentak Kui Eng dan kini ia sudah
bergerak menyerang dengan tangan kosong kepada
si pendek bernama Phoa Gu itu. Phoa yang
mendadak bangkit semangatnya karena di situ
te rdapat suhunya, menyambut serangan Kui Eng
dengan sambaran golok besarnya. Akan te tapi
sekali ini, Kui Eng tidak berniat untuk mengampuninya, la sudah tahu mengapa si
pendek ini hendak membunuhnya tadi, maka
melihat golok menyambar, ia miringkan tubuh dan
sekali tangannya bergerak, te rdengar suara "krek"
dan tulang le ngan kanan Phoa Gu patah oleh
sabetan tangannya yang dimiringkan.
"Aduhhh..........J" Golok itu terlepas dan Phoa
Gu menyeringai kesakitan sambil memegan lengan
kanan yang patah tulangnya dengan tangan kiri.
Kui Eng sudah mengambil keputusan untuk
membunuh saja Phoa Gu yang curang dan palsu
itu. Ia melangkah maju dan tangannya menampar
ke arah kepala orang itu.
"Dukkk!!" Tangan Kui Eng berte mu dengan
ujung le ngan baju yang mengandung te naga kuat
sehingga Kui Eng te rkejut dan memandang kepada
tosu yang menangkisnya dengan mata mencorong.
"Hemm. kiranya benar pepatah yang mengatakan bahwa guru kencing berdiri, murid
kencing berlari!. Kalau gurunya sesat, tentu

muridnya menjadi jahat. Totiang maju membantu
murid yang menyeleweng, berarti totiang juga
bukan orang baik." "Siancai......, mulutmu sungguh lancang, nona,
dan engkau masih muda akan tetapi engkau
sombong sekali. Katakanlah murid pinto bersalah,
akan tetapi pinto yang berhak menghukumnya.
Bagaimana mungkin pinto membiarkan saja orang
lain hendak membunuh murid pinto di depan
hidung pinto sendiri" Sudahlah, nona. Kita
habiskan urusan sampai di sini saja. Pinto tidak
ingin bermusuhan dengan seorang gadis yang
masih kekanak-kanakan sepertimu. Silakan pergi
menuruni bukit ini."
"Enak saja engkau bicara, totiang!" Kui Eng
mjadl marah dan penas aran sekali. "Tanpa
kesalahan apapun, ketika memasuki pintu gerbang
kota raja, babi gendut adik kerbau ini menghinaku, hendak merampok harta dan kudaku, bahkan kurang ajar sekali hendak
menggerayangi tubuhku. Aku menghajarnya, berikut anak buahnya, kemudian muncul pangeran yang menghukumnya Salahkah aku
dalam urusan itu" Kemudian, kerbau ini memasuki kamarku seperti maling, menggunakan
goloknya membacok aku yang sedang tidur.
Untung aku dapat menangkis nya dan mengejarnya
sampai ke sini. Salahkah aku kalau sekarang aku
hendak membalas dan membunuhnya" Dan
engkau membelanya, melindunginya!"
Im Yang Sengcu juga menjadi marah ju ga. Dia
seorang yang te rpandang, bahkan Kaisar Tang Tai

Cung menghargainya sebagai seorang sahabat dan
penasihat. Semua orang di is tana, bahkan di kota
raja menghormatinya Akan tetapi gadis ini bersikap
demikian tinggi hati, tidak menghormatinya sama
sekali, bahkan mengeluarkan kata-kata keras dan
mencelanya! "Nona. pinto Im Yang Sengcu adalah sahabat
dan penas ihat Kaisar! Engkau berani bersikap
seperti ini terhadap pinto" Kalau pinto tidak
mengalah, sebagal seorang tingkatan lebih tua
te hadap seorang gadis muda, apa kaukira sekarang
engkau masih dapat bernapas" Siapakah engkau
ini yang begini sombong?"
"Totiang, urusan antara manusia tidak dite ntukan oleh kedudukannya, melainkan oleh
benar dan salah. Totiang boleh jadi berkedudukan
tinggi, siapa perduli akan hal itu" Yang penting
adalah benar atau salah, bukan kedudukan tinggi
atau rendah. Namaku adalah Cian Kui Eng, dan
bagiku, siapapun dia kalau bersalah tentu akan
kute ntang, tidak perduli pangkatnya!"
"Siancai .......... engkau she Cian" Hemmm,
mengingatkan pinto akan keluarga Kerajaan Sui
yang te lah lenyap. Menurut perbintangan, istana
kerajaan Tang terancam oleh wanita dari marga
Cian keturunan keluarga Kerajaan Sui. Hemm,
nona Cian Kiri Eng, te rpaksa pinto harus
menahanmu. Kalau kelak menurut pemeriksaan,
engkau tidak bersalah, pasti kami bebaskan.
Kemunculanmu di kota raja mendatangkan keributan, memang engkau patut dicurigai."

"Tosu jahat! Engkau membela muridmu dan
hendak menangkap aku?" bentak Kui Eng.
"Engkau seorang pendeta, membela pembunuh dan
perampok?" "Pinto tidak membela siapa-siapa, akan tetapi
demi keamanan kerajaan, pinto harus menangkap
engkau dan menyelidiki dulu, apa maksudmu
datang ke kota raja ini."
"Tosu busuk!" bentak Kui Eng dan iapun
menerjang tosu itu. Im Yang Seng-cu mengelak
karena maklum bahwa pukulan gadis itu sama
sekali tidak boleh dipandang ringan. Justeru
kelihaian gadis itu yang diketahuinya ketika dia
tadi menangkis serangan Kui Eng kepada muridnya, yang membuat dia menjadi curiga.
Bukan semata membela muridnya kalau dia kini
ingin menangkap Kui Eng melainkan kecurigaan
itulah. Baru saja ada orang-orang berusaha
membunuh Kaisar, maka kehadiran seorang gadis
yang begini lihai di kota raja, apa lagi yang berani
menghajar para penjaga pintu gerbang, memang
patut dicurigai. "Wuuuttt .....plakkk" ketika dia membalas
serangan gadis itu dengan sambaran ujung le ngan
bajunya yang mengirim totokan ke arah dada, Kui
Eng menangkis dan keduanya te rdorong ke
belakang. Im Yang Seng-cu terkejut bukan main,
dan Kui Eng juga menjadi semakin penasaran
melihat kehebatan lawan, iapun maju lagi dan
menyerang dengan ilmu silat Sin-liong-ciang-hoat
(Silat Naga Sakti) yang merupakan ilmu andalan
ayahnya. Memang hebat sekali ilmu silat ini.

Ge rakannya bagaikan seekor naga bermain-main di
angkasa. Im Yang Sengcu juga seorang yang lihai
sekali, banyak pengalamannya. Kini, melihat ilmu
silat gadis itu, diam-diam dia te rkejut. Ilmu silat
yang amat dahsyat, pikirnya. Karena merasa
bahwa kalau hanya mengandalkan ilmu silatnya
sendiri, akan sukar baginya untuk mengalahkan
gadis itu, maka begitu melihat para pembantu yang
juga menjadi muridnya berdatangan dari dalam
dan mengepung gadis itu, dia tidak melarang
mereka, bahkan Im Yang Seng-cu yang ingin
menangkap gadis yang baginya amat mencurigakan itu lalu mulai mengeluarkan suara
bernyanyi! Itu merupakan tanda bagi para muridnya yang kemudian sambil mengepung dan
bergerak mengeliling gadis yang masih saling
serang dengan Im Yang Seng-cu untuk mulai
bernyanyi pula. Suara nyanyian mereka aneh
karena suara mereka tidak senada, namun lagunya
sama. Lagu sama yang dinyanyikan oleh sembilan


°

orang yang nada suaranya berbeda-beda itu
mendatangkan kepeningan hebat di kepala Kui
Eng. Dia te rkejut sekali, berusaha mengerahkan
sin-kang untuk melawan pengaruh nyanyian aneh
itu. Namun hanya menolong sedikit dan gerakan
tangannya mulai kacau. Kui Eng terkena tamparan
ujung le ngan baju lawan, dan untung sin-kangnya
kuat sehingga totokan dengan lengan baju itu tidak
membuatnya roboh, hanya te rgetar sedikit. Ia
te rhuyung dan cepat ia meloncat ke belakang
sambil mencabut pedangnya! Kui Eng mengamuk,
memutar pedangnya dan para murid Im Yang
Seng-cu menjadi jerih dan mundur. Kesempatan

ini dipergunakan oleh Kui Eng untuk melarikan
diri dari puncak buktt itu
"Kejar! Tangkap.......!!" Im Yang Seng-cu berseru
dan bersama anak buahnya, dia melakukan
pengejaran. Sambil melakukan pengejaran, sembilan orang itu tetap bernyanyi. Nyanyian ini
bukan sembarang nyanyian, melainkan nyanyian
yang mengandung kekuatan sihir dan suara inilah
yang menyiksa Kui Fng. Kalau ia tidak memiliki
sin-kang yang kuat, te ntu ia sudah roboh karena
pusing oleh suara nyanyian itu, Suara itu seolah
te rus mengejarnya, seolah mereka berada dekat
sekali di belakangnya. Padahal, mereka itu tidak
dapat te rlalu dekat menyusulnya karena dalam hal
ilmu meringankan tubuh, para murid Im Yang
Seng-cu jauh ketinggalan dibandingkan Kui Eng.
Mungkin Im Yang Seng-cu sendiri akan dapat
menyusul Kui Eng. akan te tapi tosu ini maklum
akan kelihaian Kui Eng sehingga dia tidak berani
sembarangan menyusul seorang diri saja tanpa
bantuan para muridnya. Kui Eng merasa bingung, la sudah tiba di kaki
bukit kecil itu akan te tapi mereka masih te rus
mengejamya. Kembali ke rumah penginapan tiada
gunanya karena ia tahu bahwa tosu itu memiliki
pengaruh besar. Menurut pengakuannya, dia
adalah panasihat dan sahabat kaisar, tentu
kekuasaannya besar. Akan tetapi ke mana ia harus
melarikan diri" Keluar dari kota raja pada malam
hari begini tidak mungkin, te ntu menimbulkan
kecurigaan dan ia akan dikeroyok oleh para
penjaga. •
Entah bagaimana, kakinya membawanya lari
menuju ke istana bekas tempat tinggal ayahnya!
Ketika berada di belakang pagar tembok rumah itu,
ia melompat dan untung baginya bahwa te rnyata
rumah itu hanya dijaga di bagian depan saja, tidak
ada penjaga meronda di sekelilingnya, la tiba di
taman bunga yang gelap dan sunyi, lalu ia cepat
menyelinap di antara pohon bunga, menghampiri
rumah besar itu. Teringatlah ia bahwa memang
mempunyai niat untuk mengunjungi bekas rumah
ayah ibunya ini dan menengok kamar ibunya di
mana ia dilahirkan! Kebetulan sekali la berlari dan
bersembunyi di situ. Akan te tapi ia harus berhatihati karena siapa tahu, penghuni istana itu juga
akan memusuhinya. Ketika ia herindap-indap menyelinap ke bagian
belakang istana, ia melihat penerangan menyorot
keluar dari sebuah kamar. Agaknya penghuni
kamar itu belum tidur dan lampu yang te rang dari
dalam kamar itu menyorot keluar melalui celahcelah jendela. Ia menghampiri jendela
dan mengintip. Jantungnya berdebar te gang, akan
tetapi juga lega ketika melihat bahwa yang duduk
membaca kitab di dalam kamar itu adalah seorang
pemuda tampan yang bukan lain adalah pangeran
yang pagi te lah mrmbelanya ketika ia dikepung
penjaga di pintu gerbang! Ah, kiranya pangeran itu
yang kini penghuni bekas istana ayahnya!.
Tiba-tiba pangeran itu menoleh ke arah jendela
dan Kui Eng cepat menyelinap ke samping agar
jangan nampak bayangannya. Namun, sedikit
kelihatan di luar je ndela itu sudah cukup bagi
pangeran Li Cu Kiat yang lihai untuk mengetahui

bahwa di luar je ndelanya terdapat orang yang
mengintainya. "Siapa itu di luar jendela?" tegurnya halus.
"Kalau engkau musuh, tidak mungkin karena aku
tidak pernah mempunyai musuh. Kalau engkau
pencurl, engkau salah masuk karena rumah ini
biarpun besar, tidak mempunyai barang berharga
untuk dicuri. Kalau engkau sahabat, masuklah.
Plntu kamarku tidak dikunci dan aku siap
menerima kunjungan seorang sahabat setiap saat."
Mendengar urapan itu, Kui Eng berpikir, yakin
bahwa pangeran ini bukan orang jahat, bahkan
bukan orang sembarangan, gagah dan adil. Dan
dia seorang pangeran. Kalau ia membutuhkan
bantuan, kiranya hanya pangeran ini yang akan
membantunya karena te ntu kekuasaannya tidak
kalah dibandingkan kekuasaan Im Yang Seng-cu.
Tidak ada salahnya untuk mencobanya, karena ia
tak tahu siapa lagi yang akan mampu menolong
dari ancaman tosu yang lihai itu Maka, dengan
jantung berdebar penuh ketegangan, ia lalu
menghampiri pintu kamar itu dan perlahan-lahan
mendorong daun pintunya te rbuka, Ia melihat
pangeran itu masih duduk seperti tadi membaca
kitab dengan punggung membelakangi pintu. Kui
Eng memandang kagum. Betapa te nangnya! Betapa tabahnya! dan penuh kepercayaan kepada
diri sendiri. "Maafkan aku, pangeran."
Pangeran Li Cu Kiat tersentak kaget dan bangkit
berdiri sambil memutar tubuhnya. Matanya te rbelalak dan bersinar-sinar, wajahnya berseri

ketika dia mengenal siapa yang membuka pintu
dan menegurnya. Sungguh sama sekali tidak
pernah disangkanya bahwa bayangan yang nampak di luar jendela adalah gadis yang pagi tadi
menimbulkan kekagumannya di pintu gerbang
kota raja. Kalau yang muncul itu seorang raksasa
misalnya, dia tidak akan sekaget itu, namun
kejutan ini bukan tidak menyenangkan hatinya.
Dia dapat segera mengatasi kekagetannya dan
te rsenyum ramah. "Aih, kiranya engkau, nona" Selamat malam
dan silakan duduk. Angin apakah gerangan yang
meniupmu malam-malam begini datang berkunjung melalui je ndela?"
Wajah Kui Eng menjadi kemerahan. Tentu saja
ia merasa salah tingkah karena te rsipu dan rikuh
sekali. Seorang gadis berkunjung ke kamar seorang
pemuda, malam-malam tanpa diundang seperti
maling. Bayangkan itu! "Sekali lagi maaf. Pangeran. Saya ..... aku.....
te rpaksa melakukan ini ..... aku .......dikejarkejar......." Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat, Kui Eng
cepat membalikkan tubuh dan siap siaga menghadapi serangan. Akan tetapi ia te rbelalak
melihat bahwa yang berkelebat masuk itu seorang
nenek tua renta yang memegang sebatang tongkat
kepala naga. Nenek itu tentu sudah hampir
delapanpuluh tahun usianya, akan te tapi melihat
gerakannya ketika memasuki kamar itu, jelas
dapat diduga bahwa nenek ini memiliki kepandaian
tinggi. •
"Cu Kiat, apa yang te rjadi" Siapa nona ini. Tadi
aku melihat bayangan berkelebat di taman bunga,
kiranya nona ini yang masuk?" Nenek itu
mengerutkan alisnya dan kelihatan tidak senang
kali, memandang kepada pangeran itu dengan
pandang mata bengis. "Nenek......aku..... aku......" Pangeran itu sendiri
nampak gugup melihat munculnya nenek galak itu
begitu tiba-tiba, padahal dia yakin bahwa neneknya amat sayang kepadanya, bahkan neneknya inilah yang memanjakannya dan neneknya pula yang mengajarkan ilmu silat
kepadanya. Neneknya adalah seorang wanita yang
sakti. Dahulu ketika mudanya ia adalah seorang
pendekar wanita yang disegani orang. Bahkan
Kaisar Tang Tai Cung yang lihai itupun hormat dan
segan kepada bibinya ini.
Melihat sikap pangeran itu yang ketakutan, Kui
Eng segera berkata. "Nenek, semua ini bukan
kesalahan pangeran. Ia tidak tahu apa-apa, akulah
yang masuk ke sini tanpa ijin...... "
"Huh! Kalau begitu, tentu engkau bukan orang
baik-baik!" Berkata demikian, nenek itu menggerakkan tongkatnya ke arah kepala Kui Eng.
Serangan itu sedemikian cepat dan kuatnya
sehingga mengejutkan hati Kui Eng, namun
dengan sigapnya ia dapat meloncat ke samping dan
menghindarkan diri dari hantaman tongkat berkepala naga itu. Akan tetapi, biarpun hantamannya luput, tongkat itu seperti hidup saja
telah membalik dan menotok ke arah dada Kui
Eng. Kembali gadis ini menghindar cepat sambil

menyabetkan tangannya menangkis . Tongkat itu
te rpental, akan tetapi kembali melayang balik dan
kini menyambar dengan sapuan pada kedua kaki
Kui Eng. Gadis itu meloncat ke atas.
"Nenek, tahan dulu . .. !" Pangeran Li Cu Kiat
meloncat ke depan dan menghalangi neneknya
menyerang terus. "Minggir kau. Cu Kiat! Ia mampu menghindarkan diri dengan mudahnya dari rangkaian jurusku Naga Menyusup Tiga Langit,
berarti ia seorang penjahat yang amat lihai dan
berbahaya!" kata nenek itu sambil melintangkan
tongkatnya di depan dada dan memasang kudakuda yang kokoh kuat.

°

"Sabarlah, nek, harap nenek bersabar dan
dengarkan dulu keteranganku. Nona ini memang
lihai sekali, akan te tapi ia sama sekali bukan
penjahat!" Nenek itu mengerutkan alisnya "Bukan penjahat" Lalu kenapa malam-malam begini
masuk ke sini tanpa ijin seperti pencuri."
"Tadi ia telah minta maaf dan sedang menceritakan mengapa ia datang malam-malam
begini. Karena terpaksa, katanya dikejar-kejar,
akan tetapi belum selesai bercerita, keburu nenek
muncul dan marah-marah. Sebaiknya kalau kita
dengark penjelasannya, nek. Duduklah, nek. dan
kau juga nona." Pangeran itu lalu menutupkan
daun pintu kamarnya yang besar dan luas.
"Baik. aku dengarkan. Akan te tapi penjelasanmu itu haruslah benar, kalau bohong,

awas kau! Keluarga kami memang tidak suka
bermusuhan dengan siapapun, akan itu bukan
berarti bahwa kami takut menghadapi orang jahat!"
Nenek itu mengomel. Kui Eng tidak marah, bahkan
ia memandang kagum kepada nenek itu. Sudah
begitu tua namun masih gagah, dan sikapnya yang
keras itu tiada bedanya dengan sikap ayahnya.
Keras kepala, berani namun juga jujur dan tidak
suka mengakui kelemahan sendiri!
"Nah, sekarang ceritakan, nona. kenapa engkau
malam-malam begini datang ke sini?" tanya Pa ran
Li Cu Kiat dengan sikap yang lembut.
"Seperti kukatakan tadi. Pangeran, aku terpaksa
melakukan ini. Harap maafkan kelancanganku ini.
Kalau tidak terpaksa sekali, aku tidak berani ... ah,
sudahlah, aku bukan seorang cengeng yang suka
merengek-rengek meminta ampun. Aku sedang
dikejar-kejar ole h Im Yang Sengcu dan beberapa
orang anak buahnya."
Nenek dan cucunya itu terkejut, saling pandang,
kemudian mereka memandang wajah gadis itu
dengan penuh keheranan. "Si dukun le pus itu?" nenek itu berseru dan
sebutan ini saja sudah menunjukkan bahwa nenek
ini tidak suka kepada Im Yang Sengcu. "Mau
tukang sihir itu mengejar-ngejarmu?"
"Dia hendak menangkapku."
"Akan te tapi kenapa dukun le pus itu hendak
menangkapmu?" nenek itu mengejar.

"Nek, sebaiknya kita membiarkan nona ini
bercerita dari awal agar semuanya te rjawab," kata
pangeran itu dan neneknya mengangguk tak sabar.
"Pangeran, semua ini masih ada hubungann
dengan peris tiwa pagi tadi di pintu gerbang". Kui
Eng memulai dan nenek itu sudah menyambarnya
lagi. "Peristiwa apa pagi tadi di pintu gerbang?"
Kui Eng tanu bahwa watak nenek yang keras ini
tidak daoat dibantah lagi dan ia harus menceritakan semuanya dengan je las. "Pagi tadi,
aku menunggang kuda memasuki pintu gerbang
kota raja," Kui Eng mulai bercerita. "Tiba-tiba
komandan regu yang se perti babi dan belasan anak
buahnya menghadangku. Aku diajak masuk gardu
penjaga dan di situ, si babi hendak merampas
barang-barang perhiasanku dan merampas pula
kudaku. Bukan itu saja, dia hendak menggerayangi
tubuhku dengan alas an hendak menggeledah
karena mencurigai aku......"
"Jahanam keparat! Komandan regu macam itu
harus dihajar sampat rontok semua giginya!" teriak
nenek itu. "Sudah kulakukan itu nek," kata Kui Eng.
"Apa .....?" Nenek itu te rbelalak.
Kui Eng te rsenyum. "Sudah kulakukan itu,
sudah kuhajar dia dan kurontokkan semua
giginya. juga kupatahkan kedua tulang le ngannya
dan semua anak buannya kuhajar dengan cambuk
kuda......." •
"Bagus! He h-heh-heh-heh, bagus sekali!" Nenek
bersorak gembira. "Dalam keributan itu. muncul pangeran.....ini
dan dia menangkap si babi dan semua anak
buahnya dan menyuruh hukum mereka."
"Bagus! Ini baru cucu nenek namanya!" nenek
itu memuji dan mengetuk-ngetukkan tongkatnya
atas lantai. "Harap kaulanjutkan, nona." kata Pangeran Li
Cu Kiat Kui Eng lalu menceritakan tentang peristiwa
tadi, munculnya seorang bernama Phoa Gu yang
hendak membunuhnya dengan golok dengan
mencokel jendela kamarnya.
"Aku berhasil menangkis serangannya dan dia
melarikan diri. Kubayangi dia karena aku ingin
tahu siapa yang menyuruhnya. Dia lari ke bukit itu
dan tiba di depan tempat tinggal Im Yang Seng-cu.
Ketika aku hendak membunuh Phoa Gu, Im Yang
Sengcu mencegah dan ternyata Phoa Gu itu adalah
muridnya ....." "Wah. dukun le pus tukang sihir itu! Sejak
semula aku memang sudah tldak suka dan tidak
percaya padanya. Akan te tapi, Sribaginda agaknya
telah kena disihir sehingga mempercayai dukun
le pus itu. Membuatkan obat panjang umur sampai
seribu tahun" Phuah, omong kosong. Jadi, dia
yang menyuruh muridnya untuk membunuhmu?"
"Agaknya bukan dia. Dari pembicaraan mereka,
aku mengetahui bahwa Phoa Gu itu adalah kakak
si komandan regu yang sengaja hendak membalas

dendam kepadaku, bukan disuruh oleh gurunya.
Biarpun demikian, Im Yang Sengcu tetap melindungi muridnya itu, bahkan kemudian berkeras hendak menangkap aku dengan alasan
bahwa dia mencurigai aku sebagai mata-mata
musuh atau pemberontak. Kami bertanding.
Setelah dia tidak mampu mengalahkan aku, lalu
dia mengerahkan anak buahnya dan menggunakan
nyanyian sihir. Aku tidak tahan mendengar suara
itu dan terpaksa melarikan diri dan mereka
mengejar-ngejarku. Itulah sebabnya aku nekat
masuk ke sini dan menyembunyikan diri."
"I m Yang Sengcu tidak mampu mengalahkanmu, nona" Bukan main, kalau begitu
engkau adalah seorang gadis yang lihai sekali !"
seru Pangeran Li Cu Kiat kagum.
"Hem. engkau memang seorang gadis pemberani.
Siapa namamu?" Nenek Itu bertanya. Sebelum Kui
Eng menjawab te rdengar langkah kaki te rgesa
menghampiri ruangan itu. Pangeran Li Cu Kiat
memberi is yarat kepada Kui Eng untu k berdiam
diri dan diapun menghampiri pintu yang tertutup.
"Siapa di luar?" tanyanya.
"Pangeran, maafkan kalau hamba mengganggu".
kata suara seorang penjaga yang biasa bertugas
jaga di luar gedung bersama te man-temannya.
"Totiang Im Yang Seng-cu datang dan ingin
menghadap paduka. Dia dan rombongannya
hamba persilakan menunggu di ruangan tamu."
Pangeran itu memandang neneknya, lalu berkata. "Baik, katakan aku akan menerimanya
dan suruh dia menunggu sebentar."

"Baik, pangeran," kata penjaga itu yang segera
pergi keluar kembali. Terdengar langkah kaki le mbut menghampiri
ruangan itu dan Pangeran Li Cu Kiat yang sudah
hafal akan langkah itu, bergumam, "I bu datang."
Dia lalu membukakan pintu sebelum terketuk dan
masuklah seorang wanita cantik yang berusia
mendekati lima puluh tahun dengan sikap anggun.
Wanita cantik itu tidak heran melihat ibunya
berada dikamar pute ranya, akan te tapi ia te rbelalak memandang kepada gadis cantik yang
berada di kamar pula. "Cu Kiat. apa artinya Ini" Siapa gadis ini?"
Nenek itu berkata kepada cucunya, "Cu Kiat
pergilah menemui dukun le pus itu. Aku yang akan
menerangkan kepada ibumu, dan aku nanti
menyusul" Cu Kiat mengangguk, kemudian diapun keluar
dari dalam kamar itu, langsung menuju ke
ruangan tamu. Nenek itu dengan singkat bercerita
kepada pute rinya tentang Kui Eng dan seperti juga
pute ranya dan ibunya, wanita itu segera memperlihat sikap melindungi dan membela Kui
Eng. "Tosu itu memang kurang ajar. Karena mendapat angin dari adinda Kaisar, dia menjadi
besar kepala. Aku memang selalu curiga bahwa dia
te ntu akan berusaha untuk memperbesar kekuasaannya di is tana. Sebaiknya kalau ibu
menemani Cu Kiat, biar aku yang membawa nona
ini bersembunyi di kamarku."

Nenek itu mengangguk, kemudian iapun keluar
dari kamar cucunya. Ketukan tongkatnya berdetak-detak ketika ia menuju ke ruangan tamu
yang berada di bagian depan gedung itu.
Melihat munculnya Pangeran Li Cu Kiat, Im
Yang Sengcu lalu bangkit dari te mpat duduknya
dan memberi hormat dengan merangkapkan kedua
tangan depan dada. te rsenyum ramah dan berkata
dengan suara sopan. "Harap paduka suka memaafkan pinto, pangeran, kalau pinto mengganggu waktu paduka malam-malam begini


°

karena pinto mempunyai keperluan penting sekali
untuk dibicarakan dengan paduka."
Pangeran Li Cu Kiat membalas penghormatan
itu. memandang ke arah belasan orang anak buah
tosu itu yang juga membungkuk dengan hormat,
lalu dia berkata dengan suara yang mengandung
te guran "Totiang, untuk menghadap dan bicara
dengan aku perlukah totiang membawa anak buah
sebanyak ini?" Pangeran Itu memandang kepada
belasan orang pengikut Im Yang Sengcu dan
melanjutkan, "Atau barangkali belasan orang
inipun mempunyai keperluan penting untuk dibicarakan dengan aku?"
Melibat sikap dan mendengar suara yang nada
penuh teguran itu, Im Yang Sengcu lalu memberi
is yarat kepada anak buahnya dan berkata, "Kalian
menunggu di luar saja!" Belasan orang itu memberi
hormat kepada Pangeran Li Cu Kiat lalu keluar dari
ruangan itu. "Nah, sekarang ceritakan, keperluan penting
apakah itu yang hendak totiang bicarakan dengan

aku" Setahuku, selama ini kami sekeluarga tidak
mempunyai urusan dengan totiang."
"Slancai, harap paduka pangeran suka memaafkan kalau pinto mengganggu. Sesungguhnya, demi keamanan dan keselamatan
paduka sekeluargalah maka pinto memberanikan
diri datang menghadap malam-malam begini.
Ketahuilah bahwa pinto dan para murid sedang
mengejar seorang wanita jahat, seorang yang kami
curigai sebagal mata-mata musuh atau pemberontak." Pangeran Li Cu Kiat mengerutkan alisnya.
"Totiang, apa hubungann ya totiang mengejar
penjahat dengan keluarga kami?"
"Kami mengejar penjahat itu dari bukit kami dan
ia melarikan diri lalu masuk ke dalam pekarangan
istana paduka ini, dan lenyap disini"
"Hemm, totiang!" Li Cu Kiat berkata penasaran.
"Apakah totiang hendak mengatakan bahwa
penjahat itu tinggal di istana kami?"
"Ah, mana pinto berani menuduh seperti itu"
Pinto hanya mengatakan bahwa ia lari dan
menghilang di sini. Karena khawatir ia mengganggu keselamatan keluarga paduka, maka
pinto memberanikan diri menghadap untuk memberi tahu kepada paduka."
Pada saat itu terdengar bunyi ketukan tongkat
nenek pangeran itu dan orangnya muncul dari
pintu dalam. Melihat nenek ini, Im Yang Seng-cu
cepat bangkit berdiri dan memberi hormat. Baru
dua kali dia pernah berte mu dengan nenek itu dan

dia tahu bahwa Kaisar sendiri menghormati
bibinya ini, maka diapun selalu menghormati
nenek yang agaknya meremehkan dirinya itu.
"Song-twanio (Nyonya Besar Song)" Selamat
malam. Maafkanlah pinto mengganggu ketenangan
istana twanio malam Ini."
Nenek Itu mendekat, memandang penuh perhatian lalu berkata. "Aih. kiranya dukun le pus
ahli sihir Im Yang Sengcu yang datang. Apakah
engkau hendak meramalkan nasib cucuku" Cu
Kiat, serahkan saja nasib keluarga kita kepada
Tuhan dan jangan mempercayai omongan segala
macam tukang ramal dan tukang sulap!"
Mendengar ucapan yang nadanya mengejek dan
merendahkan dirinya itu, wajah I m Yang Seng-cu
menjadi merah dan hatinya mendongkol bukan
main. Kalau tidak ingat bahwa nenek ini adalah
bibi Kaisar dan selain itu juga lihai, tentu sudah
didampratnya nenek itu. "Twanio, kedatangan pinto ke sini dengan
maksud baik, untuk menjaoa keamanan dan
keselamatan keluarga twanio. Hendaknya diketahui bahwa pinto mengejar seorang penjahat
dan ia lari masuk dalam istana twanio ini."
"Apa katamu", Penjahat masuk ke rumah kami"
Cu Kiat, kebohongan apa ini yang dikatakannya?"
"Nek, totiang ini mengatakan bahwa ia mengejar
seorang gadis yang katanya merupakan seorang
mata-mata musuh atau pemberontak."

"I m Yang Seng-cu, jaga mulutmu baik-baik!"
Nenek itu marah dan mengamangkan tongkatnya.
"Kau mau bilang bahwa kami memberontak?"
"Ah, tidak sama sekali, twanio"' Im Yang Sengcu berseru kaqet. "Pinto hanya mengatakan bahwa
pinto telah mengejar seorang gadis dan ia telah
melarikan diri. Ketika pinto mengejarnya untuk
menangkap dan menyeretnya ke pengadilan, ia
melarikan diri dan meloncati pagar tembok istana
ini. Karena khawatir ia melakukan kejahatan dan
mengganggu keluarga twanio, maka pinto memberanikan diri menghadap untuk memberi
tahu." "Engkau mengejar-ngejar seorang gadis dan
tidak mampu menangkapnya" Aneh! Dan bagaimana pula engkau mengatakan bahwa gadis
itu jahat" Apa saja yang telah ia lakukan?" tanya
pula Nyonya Song, nenek itu. Nyonya Song ini
dahulunya seorang pendekar wanita. Puterinya
menikah dengan Pangeran Li Seng Tek kakak
Pangeran Li Si Bin yang kini menjadi kaisar dan
mempunyai seorang anak laki-laki, yaitu Pangeran
Li Cu Kiat. "Gadis itu mencurigakan sekali, dan kejam,
twanio," kata Im Yang Seng-cu.
"la telah mengamuk dan melukai banyak perajurit, bahkan
hampir saja ia membunuh murid pinto ......."
"Ah, kiranya engkau mengejar-ngejar gadis yang
dikeroyok oleh para penjaga pintu gerbang tadi
pagi, totiang?" Li Cu Kiat berseru. "Kalau begitu,
engkau keliru besar. Akulah yang menyebabkan
para penjaga itu dihukum, karena mereka

bertindak sebagai perampok, bukan sebagai perajurit kerajaan."
"Hemm, kalau muridmu membela regu yang
bertindak seperti perampok, berarti muridmu itu
juga jahat, dan kalau sekarang engkau membela
muridmu itu, sungguh membuat kami curiga
bahwa engkau bukanlah orang baik-baik, Im Yang
Seng-cu!" kata pula si nenek.
Mendengar ini, Im Yang Sengcu bangkit berdiri
dan matanya mencorong marah. Berani sekail
nenek dan cucunya ini menghinanya! "Pangeran
dan Twanio, tidak ada gunan ya lagi kita berdebat,
kalau benar ji-wi (kalian) tidak menyembunyikan
gadis pemberontak itu, buktikan dan biarkan
pinto dan para murid pinto melakukan pencarian
dan penggele dahan di dalam rumah ini!"
"Dukkk!!" Tongkat nenek itu dihentakkan di atas
lantai sehingga lantai itu berlubang. "Keparat kau
dukun le pus! Coba, hendak kami lihat apakah
engkau berani melakukan penggele dahan di rumah
kami! Kupukui kepalamu sampai lumat!"
Pangeran Li Cu Kiat juga berdiri menghadapl
tosu itu. "Im Yang Seng-cu siapapun te rmasuk
engkau tidak boleh bertindak sewenang-wenang
te rhadap kami! Hanya Sribaginda Kaisar saja yang
boleh memerintahkan penggeledahan."
"Ananda Kaisar sekalipun akan berpikir dua kali
untuk menghinaku!" nenek Song berte riak "Dan
engkau, dukun le pus, tukang sulap dan sihir ini
berlagak di depanku" Hayo pergi kau, atau
kukemplang kepalamu sampai hancur berentakan!" •
De ngan muka sebentar merah sebentar pucat,
Im Yang Sengcu menahan kemarahan hatinya.
"Baik, akan pinto laporkan kepada Sribaginda
Kaisar bahwa rumah ini melindungi seorang
pemberontak!" katanya sebelum pergi.
"Laporkan, dan kami akan melaporkan bahwa
kau melindungi regu yang menyeleweng dan
bertindak sebagai perampok! Ingin kami lihat,
engkau atau kami yang akan didengarkan oleh
Pamanda Kaisar" kata Pangeran Li Cu kiat marah.
Im Yang Sengcu berdiri dengan muka merah dan
mata mencorong. Hampir saja dia tidak dapat nhan
kemarahannya. Ingin rasanya menerjang dan
membunuh orang-orang yang berani memandang
rendah dan menghinanya itu. Akan tetapi dia
maklum bahwa kalau dia melakukan hal itu. maka
bencana besar akan menimpanya. Belum tentu dia
akan mampu mengalahkan nenek dan cucunya
itu. Andaikata dapat mengalahkan dan membunuh
merekapun dia akan memikul tanggung-jawab
besar terhadap Kaisar. Dengan marah diapun
membalikkan tubuhnya pergi dari situ tanpa pamit
lagi. Di luar.dia memberi isyarat kepada para
muridnya untuk pergi. Di sebelah dalam rumah gedung itu. Kini Kui
Eng duduk berhadapan dengan mereka bertiga,
Pangeran Li Cu Kiat, ibunya, dan neneknya.
Setelah mendengar bahwa Im Yang Sengcu telah
dapat diusir pergi, gadis itu cepat mengangkat
kedua tangan di depan dada. "Terima kasih banyak
atas pertolongan sam-wi (kalian bertiga) Tanpa

pertolongan itu, mungkin aku sudah te rtawan
mereka." "Hem, gadis muda. Engkau sungguh pemberani,
mengingatkan aku akan masa mudaku dahulu.
Engkau berani memasuki kota raja, melawan regu
penjaga, bahkan berani menentang Im Yang
Sengcu, dan berani pula memasuki rumah kami
untuk berse mbunyi. Siapakah engkau sebenarnya"
Dan mengapa engkau datang ke kota raja?" N enek
Song bettanya dan bersama puteri dan cucunya, ia
memandang tajam penuh selidik.
Kui Eng menghela napas panjang. Tidak pantas
kalau ia merahasiakan dirinya terhadap keluarga
yang te lah menyelamatkannya ini. Mungkin akibatnya akan tidak menguntungkan baginya
kalau ia mengaku, akan te tapi ia tidak akan
bersikap pengecut, yang hanya karena ingin
mengamankan diri sendiri harus bersikap pengecut
dan tidak jujur terhadap para penolongnya.
"N amaku Cian Kui Eng....."
"Marga Cian ......?""' Nenek Song berseru kaget
dan te ringat akan ukiran huruf CIAN di dinding


°

bagian depan istana itu. Nah, mulai sudah, pikir Kui Eng. Sudah
kepalang, ia harus melangkah te rus. "Benar, aku
bermarga Cian, aku lahir di dalam gedung ini dan
ayahku adalah bekas Pangeran Cian Bu Ong."
"Ahhh.......!!" Seruan ini keluar dari tiga mulut
itu dan mereka bertiga memandang wajah Kui Eng
dengan mata terbelalak kaget.

"Jadi kalau begitu ..... engkau ini benar-benar
pemberontak ..... atau anak pemberontak" Cian Bu
Ong adalah seorang pemberontak!" kata Nyonya
Janda Li Seng Tek, ibu Cu Kiat.
Kui Eng memandang nyonya itu dengan sikap
te nang namun sinar matanya mengandung penas aran, "Maaf, bibi. Andaikata Kerajaan Tang
ini dijatuhkan orang luar, kemudian Pangeran Li
Cu Kiat putera bibi ini. melakukan perlawanan
untuk merebut dan mendirikan lagi Kerajaan Tang
yang jatuh, tentu kerajaan baru akan menudingnya sebagai seorang pemberontak. Akan
tetapi, demi keadilan, benarkah dia seorang
pemberontak" De mikian pula dengan ayahku.
Ketika Kerajaan Sui jatuh, ayah bangkit dan
berusaha untuk mendirikan kembali kerajaan itu.
Jahatkah perbuatan ayah itu" Bagi Kerajaan Tang,
mungkin dia dianggap perusuh dan pemberontak,
akan te tapi bagi Kerajaan Sui, ayah dianggap
sebagai seorang patriot pejuang sejati!"
Pangeran Li Cu Kiat memandang kagum kepada
gadis itu. Gadis yang hebat, pikirnya. Dan
ucapannya itu mengandung kebenaran mutlak. Dia
sendiri muak dengan perebutan kekuasaan, di
istana. "Akan tetapi, bagaimanapun juga, berarti ayahmu itu memusuhi kami keluarga Tang!" seru
ibunya. "Dan kau...... kau pute rinya, tentu engkau
memusuhi pula kami ....."
Kui Eng menggeleng kepalanya. "Sama sekali
tidak, bibi. Ayah telah menyadari bahwa Kerajaan
Sui telah jatuh dan musna, bahwa memang sudah

ditakdirkan bahwa tanah air dan bangsa dipimpin
oleh kerajaan baru, yaitu Kerajaan Tang. Ayah
telah menerima kenyataan ini dan buktinya,
sampai kini ayah tidak pernah membuat gerakan
lagi. Aku sendiri masih seorang anak kecil berusia
dua tahun ketika pergantian kekuasaan terjadi,
dan aku sama sekali tidak mencampuri urusan
itu." "Aih, jadi engkau ini pute ri Cian Bu Ong" Aku
masih ingat. Ketika aku masih berkecimpung di
dunia persilatan, Cian Bu Ong merupakan seorang
pendekar muda yang gagah perkasa, di samping
kedudukann ya sebagai seorang pangeran dan
panglima. Jadi dia sekarang telah dapat menerima
kenyataan yang ditakdirkan Tuhan" Bagus sekali!
Di mana dia sekarang?" tanya nenek Song.
"Ayah bersama ibu kini pergi merantau ke
Himalaya," jawab .Kui Eng.
"Nona, kami gembira sekali mendengar bahwa
engkau dan ayahmu tidak memusuhi keluarga
Kaisar Tang. Akan te tapi, kalau boleh kami
mengetahui, apakah engkau mempunyai kepentingan khusus berkunjung ke kota raja ini"
Barangkali kami dapat membantumu?"
Tentu saja.Kui Eng tidak mau mengaku bahwa
ia hendak membantu Thian Ki untuk mencari dan
merampas Liong-cu-kiam dari gudang pusaka
kerajaan, "Aku sedang mencari suhengku."
"Ah, suhengmu juga berada di kota raja"
Siapakah namanya7 Siapa tahu aku akan dapat
membantumu mencarinya," kata Cu Kiat. Melihat
sikap dan perhatian puteranya terhadap gadis itu

nyonya Li dan nenek Song saling pandang dan
te rsenyum. Sudah lama mereka berdua membujuk
Li Cu Kiat untuk segera menikah, akan tetapi
pangeran yang usianya sudah duapuluh lima
tahun ini sellu menolak dengan mengatakan bahwa
dia belum tertarik kepada wanita. Dan sekarang,
melihat sikapnya. jelas bagi kedua orang wanita itu
bahwa Pangeran Li Cu Kiat agaknya jatuh hati,
atau setidaknya amat kagum dan te rtarik kepada
Cian Kui Eng. "Suheng bernama Coa Thian Ki. Aku sendiri
tidak tahu apakah dia s ekarang berada di kota raja
ataukah tidak, akan te tapi ketika pergi, dia
merencanakan untuk berkunjung ke kota raja.
Karena ayah dan ibu juga pergi merantau ke barat,
aku merasa kesepian di rumah sendiri lalu pergi
menyusul dan mencari suheng di sini. Tidak
kusangka bahwa di pintu gerbang aku diganggu
oleh para penjaga sehingga urusannya menjadi
berkepanjangan sehingga merepotkan pula kepada
keluarga di sini." "Tidak sama sekali, nona. Kami adalah keluarga
yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan
keadilan. Kami sama sekali tidak merasa repot
dengan adanya peris tiwa yang menyangkut dirimu," kata Cu Kiat.
"Benar sekali, Kui Eng. Kami membelamu karena
engkau benar dan untuk sementara ini, sebaiknya
kalau engkau bersembunyi dulu di sini. Aku yakin
Im Yang Seng-cu tidak akan tinggal diam dan terus
mencarimu," kata Li Hu-Jin (Nyonya Li)

"Dan selama tinggal di sini, jangan takut kalau
dukun le pus itu berani datang mengganggumu,
akan kukemplang kepalanya dengan tongkatku ".
kata pula nenek Song penuh semangat.
Kui Eng berterima kasih sekali. Tak disangkanya
bahwa penghuni baru bekas rumah keluarga
ayahnya merupakan keluarga bangsawan tinggi
yang begini baik terhadap dirinya.
"Terima kasih atas kebaikan bibi sekeluarga,"
katanya kepada Nyonya Li. "Akan tetapi, aku
sudah menyewa kamar di rumah penginapan ujung
kota, dan pakaianku juga masih tertinggal di sana."
"Jangan khawatir, nona. Aku akan menyuruh
seseorang mengambilnya. Kalau engkau mengambilnya sendiri, aku khawatir Im Yang
Sengcu dan anak buahn ya sudah menantimu di
sana." "Benar, Kui Eng. Untuk sementara ini, engkau
sebaiknya bersembunyi dulu di sini dan jangan
keluar. Biar Cu Kiat yang mencarikan suheng mu,"
kata N yonya Li. "Aih, kenapa sih mesti takut kepada dukun
le pus itu" Kalau engkau ingin mengambil sendiri
pakaianmu di rumah penginapan, mari kute mani,
Kui Eng, dan hendak kulihat dukun le pus itu akan
berani berbuat apa!"' Nenek Song berkata dengan
penas aran. "Ah, aku tidak berani merepotkan dan membuat
lelah nenek." kata Kui Eng.
"Jangan, nek. Sebaiknya kita tinggal diam dan
melihat perkembangannya, tidak perlu membuat

ribut dengan Im Yang Sengcu. Aku akan menyuruh
orang sekarang juga mengambil pakaian nona
Cian Kui Eng." Akan te tapi, orang suruhan Pangeran Li Cu Kiat
itu kembali dan mengabarkan bahwa buntalan
pakaian Kui Eng telah dirampas oleh Im Yang Seng
dan pemilik rumah penginapan tentu saja tidak
berani menentang kehendak tosu sahahat kaisar
itu.. Nyonya Li segera menyuruh buatkan pakaian
untuk Kui Eng. Ketika gadis ini hendak mengganti
dengan uang, ibu pangeran itu menolak dengan
ramah. Tentu saja Kui Eng merasa semakin
te rharu dan hutang budi kepada keluarga bangsawan yang amat baik dan ramah kepadanya
itu. Bahkan nenek Song yang keras hati itupun
bersikap amat dan baik kepadanya. Terutama
sekali Pangeran Cu Kiat. Sikapnya demikian penuh
perhatian dan ramah, juga dari pandang mata
pangeran itu KuiEng dengan hati berdebar dapat
melihat sikap yang amat mes ra. Mudah saja
menduga bahwa pangeran itu telah jatuh cinta
kepadanya! oodowoo Biarpun usianya baru empat puluh tahun le bih,
namun Kaisar Tang Tai Cung sudah nampak le bih
tua dari pada usianya yang sebenarnya. Dia
kelihatan seperti orang yang berusia lima puluh
tahun saja. Hal ini tidaklah mengherankan kalau
diingat betapa sejak muda sekali, dia adalah
pejuang yang gigih, yang menghadapi banyak
sekali masalah, bahkan te rancam banyak bahaya

maut. Kemudian, setelah berhasil menumbangkan
Kerajaan Sui dan mengangkat ayahnya, mendiang
Kaisar Tang Kao Cu menjadi Kaisar pertama dari
Kerajaan Tang, kembali sebagai Pangeran Li Si Bin
dia menghadapi banyak cobaan. Perebutan kekuasaan antara saudara-saudaranya, pemberontakan dan pengkhianatan, silih berganti
mengganggu kerajaan baru itu dan semuanya
mengandalkan dia seorang untuk membersihkannya. Setelah dia menjadi Kaisar
Tang Tai Cung(627 - 649), diapun masih selalu
dirundung malang. Kalau dulu yang berebutan
kekuasaan adalah para saudaranya, kini para
pute ranya mulai melanjutkan perebutan kekuasaan di antara keluarga kaisar itu. Terpaksa
dia bahkan menghukum pute ra-pute ranya sendiri
yang memperebutkan kedudukan pangeran mahkota! Semua cobaan inilah yang membuat
Kaisar Tang Tai Cung nampak tua. Pada hal, dia
adalah seorang laki-laki perkasa yang memiliki,
ilmu silat dan ilmu perang hebat dan jarang
bandingannya. Malam itu. Kaisar Tang Tai Cung menerima
sahabat dan panasihatnya. yaitu Im Yang Seng-cu
dan mereka berdua minum arak di dalam taman,di
sebuan pondok indah di taman itu. Mereka
berhadapan menghadapi meja yang penuh makanan dan anggur, dan di depan mereka
te rbentang kolam ikan yang bes ar di mana tumbuh
banyak bunga te ratai merah dan ikan beraneka
warna berenang di permukaan air. Indah sekali!
Lampu-lampu dengan kap lampu warna-warni
menambah keindahan kolam itu.


°


"Bagaimana, totiang, sudah berhasilkah engkau
dengan pembuatan obat panjang usia yang
kupesan itu?" Sribaginda Kaisar Tang Tai Cung
bertanya setelah mereka minum beberapa cawan
anggur. "Dan bagaimana pula dengan janjimu
untuk mengajarkan aku cara membuat emas?"
Tosu itu mengangguk-angguk dan mengelus
je nggotnya yang tipis dan putih semua sambil
te rsenyum. "Jangan khawatir, Sribaginda Hamba
dang membuat obat panjang usia itu sesuai
dengan ilmu rahasia yang dahulu diajarkan oleh
Tujuh Manusia Dewa Hutan Bambu. Akan te tapi,
pembuatan emas itu membutuhkan kesabaran dan
kematangan Sribaginda. Kalau saatnya sudah tiba
dan obat itu sudah sempurna, tentu akan hamba
serahkan kepada paduka, dan sekali paduka
menggunakan obat itu maka seperti yang ditulis
oleh Manusia Dewa Hutan Bambu, maka rambut
putih akan menjadi hitam, gigi ompong akan
tumbuh kembali, kekuatan tubuh akan kembali
besar. Yang menggunakan obat itu tidak akan
pernah tua, yang sudah tua akan menjadi muda
kembali dan dia akan hidup abadi dan tidak
pernah mati." Sepasang mata Kaisar Tang Tai Sung bersinarsinar penuh harapan. "Totiang, janji itu te rlalu
muluk! Benar-benarkah ada obat yang khasiatnya
sehebat itu?" Im Yang Sengcu mengerutkan alisnya. "Sribaginda. syarat terpenting bagi seorang manusia untuk membuat obat itu manjur adalah
kepercayaan! Obat seperti itulah yang •
dipergunakan para dewa dan malaikat sehingga
mereka tidak pernah tua, tidak pernah mati.
Bersabarlah dan tentu hamba akan menghaturkan
kepada paduka setelah obat itu selesai hamba
sempurnakan. Hamba harus berpuasa dan bersamadhi selama beberapa pekan lagi supaya
obat itu dapat sempurna."
"Ah, terima kasih, totiang. Budi totiang besar
sekali dan kami akan memberi anugerah apa saja
yang totiang kehe ndaki. Dan bagaimana dengan
janji totiang untuk mengajarkan cara pembuatan
emas itu"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN