NAGA BERACUN JILID 30


 Bu Giok Cu menjadi marah sekali. "Bocah
sombong kau.......!" Akan tetapi suaminya sudah
menyentuh lengannya menyabarkan. Suami isteri
itu sama sekali tidak tahu betapa wajah Siong Ki
berubah mendengar tuduhan bahwa dia jahat,
pengkhianat dan pemberontak itu. Orang ini telah
mengetahui rahasianya, pikirnya terkejut sekali.
"Engkau yang jahat! Engkau bohong dan
melakukan fitnah! Dia berbohong, suhu dan subo!"
kata Siong Ki. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi
Thian Ki memperhatikan, sehingga Thian Ki
melihat pula betapa wajah Siong Ki tadi berubah
agak pucat dan nampak kaget dan gelisah.
Si Han Beng sendiri cukup waspada untuk
melihat sesuatu yang ganjil dan tidak beres dalam
pemunculan pemuda itu, dalam tuduhan- tuduhannya terhadap muridnya.
"Nanti dulu, sobat muda!" kata Si Han Beng dan
suaranya berwibawa, sinar matanya mencorong
memandang wajah tampan itu. "Engkau menuduh
muridku jahat, pengkhianat dan pemberontak. Apa
alas anmu menuduhnya sekeji itu. Tanpa alasan
dan bukti yang kuat, bagaimana kami dapat
percaya bahwa murid kami melakukan seperti yang
kautuduhkan itu?" "Alasannya" Buktinya" He m, tanyakan saja
kepada muridmu yang brengsek itu, Huang-ho Sinliong. Atau engkau juga te lah mengajarkan

kepadanya bagaimana untuk menjadi pengecut,
tidak berani bertanggung jawab?"
"Jahanam, engkau menabur fitnah yang bukanbukan kepadaku!" Siong Ki menggertak karena
tanpa ada buktinya, tak mungkin ada orang yang
mengetahui bahwa dia pernah berusaha membunuh kaisar di is tananya, bahwa dia adalah
kaki tangan Pangeran Li Seng Cun yang memberontak. "Fitnah" Hemm, kiranya engkau memang seorang pengecut besar. Aku sendiri yang mencegahmu dan Bi Tok Siocia Ouw Ling
menyerbu kamar kaisar dan hendak membunuh
Sribaginda Kaisar. Bahkan ibuku juga te was di
tanganmu, karena tusukan pedangmu. Mana
pedangmu yang tumpul itu, itulah buktinya!"
Wajah suami isteri pendekar itu berubah
mendengar ucapan ini. Murid mereka bekerja sama
dengan wanita iblis Bi Tok Siocia menyerang
kaisar!" Juga Siong Ki te rkejut bukan main dan
wajahnya menjadi pucat s ekali. Sekarang dia ingat
bahwa ada dua oran g wanita yang menghalangi dia
dan Ouw Ling ketika menyerang kaisar, dan
seorang di antara dua wanita itu adalah orang yang
kini berdiri di depannya, menyamar sebagai
seorang pemuda.! "Bohong kau......... !!" Siong Ki membentak
nyaring dan diapun sudah menerjang ke depan,
membacokkan pedangnya ke arah pemuda itu. Kini
dia tidak se perti tadi yang hanya membela diri, kini
dia menyerang untuk membunuh, maka dia
mencerahkan seluruh tenaganya dan pedang itu

menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu. Si
Han Beng dan Bu Giok Cu masih lemah, tenaga
mereka masih belum pulih, maka mereka tidak
berdaya mencegah. Sedangkan Thian Ki dan Cin
Cin masih bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Pemuda tampan itu menggerakkan pedangnya
menangkis . "Tranggg.........!!" Pedang di tangan pemuda itu
te rpental jauh, terlepas dari pegangannya dan
ujung kaki Siong Ki sudah menendang dan
membuatnya roboh te rjengkang. Orang ini harus
mati, pikir Siong Ki karena rahasia tentang dirinya
akan dibuka. Kalau hal itu terjadi, bukan saja dia
akan berhadapan dengan kedua orang gurunya,
bahkan dengan pasukan keamanan pemerintah
yang tentu sedang memburunya!
"Siong Ki, jangan..........!!" bentak Bu Giok Cu
ketika melihat murid itu menerjang lagi untuk
memberi serangan mematikan kepada tubuh
pemuda yang sudah te rjengkang itu. Akan tetapi,
nyonya yang menghadang ini terdorong oleh tangan
kiri Siong Ki dan Bu Giok Cu te rhuyung ke
belakang. Si Han Beng yang juga tahu bahwa dia
sendiri tidak mempunyai tenaga, cepat berseru.
"Thian Ki cegah dia!"
Thian Ki maklum apa yang harus dia lakukan,
sekali melompat dia sudah menghadang dan dia
mendorong dengan kedua tangannya ke arah Siong
Ki. Bukan dengan te naga dari hawa beracun,
melainkan dengan tenaga sinkangnya.
"Wuuuuuttt......dessss!" Siong Ki berseru kaget
dan terhuyung ke belakang.

"Siong Ki, perlahan dulu. Paman dan bibi
melarangmu membunuhnya!" kata Thian Ki.
Sementara itu, pemuda tampan tadi te rjengkang
ke dekat Si Han Beng dan pendekar ini hendak
membantunya bangun, melihat pemuda itu terkena
te ndangan dan menyeringai kesakitan. Akan tetapi
pemuda itu menepiskan tangannya yang hendak
membantunya bangkit. "Hemm, aku sudah kalah. Huang-ho Sin-liong Si
Han Beng dan Bu Giok Cu, kalian sepasang
pendekar besar yang namanya te rkenal di seluruh
dunia kangouw. Kalian bunuhlah aku agar
sebelum mati aku dapat menyaksikan sendiri,
betapa kalian yang bernama besar ini tiada lain
hanyalah dua orang pengecut besar, tidak bertanggung jawab, bahkan kini membantu murid
kalian yang pemberontak.!"
"Sobat, berulang kali engkau memaki kami
pengecut tidak bertanggung jawab! Apa maksudmu?" Si Han Beng merasa penasaran sekali
dan ingin mengetahui. "Bagus, engkau masih berpura-pura, Huan g-ho
Sin-liong" Engkau dan is te rimu membiarkan anak
kalian diculik orang, tak pernah
berusaha merebutnya kembali, bukankah itu merupakan
sikap pengecut yang tak bertanggung jawab" Orang
macam apa itu" Dan sekarang, kalian mempunyai
murid yang jahat dan pengkhianat, membantu
pemberontakan Pangeran Li Seng Cun dan nyaris
membunuh kaisar, sehingga ibuku yang melindungi kaisar tewas oleh pedang murid kalian
yang bagus ini!" ♧
"Jahanam kau........!!" Siong Ki mengeluarkan
te riakan seperti binatang buas yang marah sekali
dan dia sudah menerjang maju, tidak memperdulikan suhu dan subonya. Akan tetapi
sejak tadi Thian Ki



waspada dan selalu memperhatikan gerak-gerik Siong Ki, maka begitu
melihat pemuda itu meloncat dan menerjang,
diapun bergerak ke depan menyambut. Melihat ini,
Cin Cin juga melompat ke depan dengan
pedangnya menyambar pedang Siong Ki pada saat
Thian Ki mendorongnya dengan te naga sinkangnya. "Trangg" Pedang di tangan Siong Ki terpental.
Sebetulnya, kalau saja dia tidak didorong oleh
Thian Ki yang membuat tubuhnya terhuyung, tidak
semudah itu pedangnya dapat te rpental oleh
pukulan pedang Cin Cin. "Cin Cin, mundurlah," kata Thian Ki dan dia
menghampiri Siong Ki dengan sikap tenang dan
sabar. "Siong Ki, ingat, segala persoalan dapat
dibicarakan. Engkau tidak boleh menentang
kehe ndak gurumu. Mari kita bicara baik-baik........"
"Dia bohong! Bocah sinting itu bohong! Suhu
dan subo tidak semestinya percaya omongan
seorang tukang fitnah macam dia!" te riak Siong Ki
marah. Sementara itu, Si Han Beng dan Bu Giok Cu
menjadi pucat wajah mereka mendengar kata-kata
pemuda itu. Mereka terbelalak, bahkan Bu Giok Cu
menekan dadanya dan terhuyung ke belakang,
seolah-olah ucapan pemuda itu menusuk ♧
jantungnya.! Si Han Beng juga te rbelalak memandang kepada pemuda itu.
"Siapa......siapa.....ibumu........?"
"I buku bernama Kwa Bi Lan, wanita yang jauh
le bih baik terhadap diriku daripada orang tuaku
sendiri, walaupun ia te lah menculik diriku dari
tangan ayah dan ibu kandungku yang tidak berani
bertanggung jawab, yang membiarkan saja aku
diculik orang......" Dan kini "pemuda" itu menangis
te rsedu-sedu. "Lan Lan......!!" Bu Giok Cu menjerit.
"Hong Lan........!" Si Han Beng juga berte riak.
De ngan bercucuran air mata, suami isteri
pendekar itu mengembangkan kedua le ngan
hendak merangkul pemuda itu. Akan te tapi
pemuda itu yang bukan lain adalah Hong Lan yang
menyamar pria, meloncat ke belakang. "Tidak........tidak ... sebelum kalian menjelaskan
kenapa kalian tidak merebut aku kembali dari
tangan penculik, jangan sentuh aku .........!"
Menyaksikan peristiwa hebat ini, Thian Ki dan
Cin Cin terbelalak, kaget dan heran, dan terharu.
Akan tetapi yang paling kaget adalah The Siong Ki.
Seperti disambar petir rasanya ketika ia melihat
kenyataan bahwa pemuda itu adalah seorang
gadis , dan pute ri suhunya yang selama belasan
tahun ini hilang! Dan justeru pute ri suhunya itu
yang mengetahui rahasianya. Celaka, pikirnya dan
dengan wajah pucat dia mengambil keputusan
nekat. Kalau dia tidak cepat bertindak, tentu gadis

itu akan membongkar segalanya dan dia tidak
mendapatkan alasan lagi untuk menyangkal.
"Jahanam bohong kau!!" bentaknya dan kini
dengan tangan kosong, dia sudah menerjang ke
arah Hong Lan yang kebetulan meloncat ke
belakang tadi dan berada dekat dengannya. Dia
meloncat bagaikan seekor harimau menerkam dan
kedua tangannya berubah merah! Ternyata dalam
kemarahan dan kenekatannya, pemuda ini telah
menggunakan ilmu Silat Hui-tiauw Sin-kun (Silat
Sakti Rajawali Terbang) dan mengerahkan tenaga
Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) ke dalam
kedua tangannya yang mencengkeram. Se betulnya,
ilmu Ang-tok-ciang ini adalah ilmu sesat dari
mendiang Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu yang pernah
menjadi guru Bu Giok Cu dan telah mengajarkan
ilmu sesat itu kepadanya. Bu Giok Cu sendiri,
mengajarkan Ang-tok-ciang kepada Siong Ki bukan
untuk dikuasai, melainkan untuk menambah
pengetahuan murid suaminya itu agar mengenal
ilmu sesat dari golongan hitam dan dapat menjaga
diri. Tidak tahunya, diam-diam Siong Ki melatih
dirinya dengan ilmu pukulan beracun itu dan kini
dia sengaja menggunakan ilmu itu agar sekali
cengkeram dapat membunuh Hong Lan. Dan dia
telah menguasai ilmu silat Rajawali Terbang
dengan baik, maka gerakannya itu hebat bukan
main, bagaikan seekor rajawali, dia menyambar
turun menyerang Hong Lan yang sedang lengah
karena marah dan bersedih, sedang menangis.
Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan
Hong Lan itu, di mana ayah ibunya yang sakti
tidak berdaya karena mereka telah kehilangan

te naga untuk mengobati Thian Ki dan belum pulih,
te rdengar suara mele ngking nyaring dan tubuh
Thian Ki sudah meloncat ke atas, menghadang
serangan Siong Ki yang dahsyat sekali itu. Akan
tetapi, karena tadinya Thian Ki tidak menyangka
Siong Ki akan menyerang secara tiba-tiba kepada
Hong Lan, dia agak terlambat sehingga tidak dapat
menangkis atau membalas serangan itu, melainkan
hanya membuat tubuhnya sebagai penghalang
agar Siong Ki tidak dapat menyerang Hong Lan.
Melihat tubuh Thian Ki menghalang di udara,
Siong Ki menjadi marah bukan main. Semua
kekecewaan, kemarahan, dan ketakutan tertumpah
keluar kepada Thian Ki. Maka dengan gerengan
buas, kedua tangan yang merah itu mencengkeram
ke leher Thian Ki untuk mencekiknya! Kalau saja
yang kena cengkeram itu leher Thian Ki, agaknya
sukarlah baginya untuk menyelamatkan nyawanya. Akan te tapi, dalam keadaan tersudut
itu, Thian Ki masih mampu menarik lehernya ke
belakang sehingga cengkeraman itu mengenai
pundak dan bahunya. "Thian Ki.........!!" Cin Cin berseru dengan wajah
pucat dan dengan pedang di tangan ia siap
membantu kekasihnya. Matanya terbelalak melihat
betapa kini kedua orang pemuda itu te rbanting
jatuh dan kedua tangan merah Siong Ki itu masih
mencengkeram pundak dan bahu Thian Ki. Jarijari tangan itu bagaikan cakar harimau, te lah
menancap dan masuk ke dalam kulit pundak dan
bahu, dan nampak Thian Ki menyeringai kesakitan. ♧
Tubuh mereka bergulingan di atas tanah, namun
tetap saja cengkeraman kedua tangan itu te rus
menempel di tubuh Thian Ki. Cin Cin mengejar dan
siap untuk menyerang Siong Ki.
Akan te tapi, dua orang pemuda itu berhenti
bergulingan dan Thian Ki bangkit sambil mengerang kesakitan, sementara itu, Siong Ki
menggeletak tak dapat bergerak lagi. Kedua
tangan, bahkan juga mukanya, berubah menghitam dan te rnyata dia telah te was keracunan! Kiranya ilmu pukulan beracun Angtok-ciang yang dipergunakan mencengkeram itu
bahkan memperkuat hawa beracun di tubuh Thian
Ki, dan hal ini tidaklah aneh karena Ang-tok-ciang
adalah ilmu yang dirangkai oleh mendiang Ban-tok
Mo-li, jadi masih satu sumber dengan racun yang
mengeram di tubuh Thian Ki. Oleh karena itu,
biarpun hawa beracun di tubuh Thian Ki sudah
berkurang, namun dengan masuknya racun Angtok-ciang melalui cengkeraman Siong Ki, hawa
beracun itu bertambah kuat. Thian Ki tidak
mengerahkan hawa beracun itu, akan tetapi ketika
tubuhnya dimasuki racun Ang-tok-ciang, dengan
sendirinya hawa beracun di tubuhnya bangkit dan
menyambut, sehingga Siong Ki keracunan sedemikian hebatnya, sehingga dalam waktu
beberapa detik saja hawa beracun telah merenggut
nyawanya dan membuat mukanya menjadi hitam.
"Thian Ki........!" Cin Cin menghampiri kekasihnya dan Thian Ki te rsenyum, memandang
ke arah pundak kiri dan bahu kanann ya yang luka
berdarah, lalu menoleh ke arah tubuh Siong Ki,

menghela napas dan berkata. "Aku tidak apa-apa,
Cin Cin, tapi dia......"
"Bukan salahmu, Thian Ki. Murid durhaka yang
telah menyimpang dari jalan kebenaran telah
menerima hukumannya," kata Si Han Beng.
Sementara itu, Bu Giok Cu dengan air mata
masih bercucuran mendekati Hong Lan. "Kau....kau.... Hong Lan anakku....?"
Gadis berpakaian pria itupun menangis, akan
tetapi kembali ia melangkah mundur ketika ibu
kandungnya mendekatinya. "Nanti dulu, aku ingin
mendengar dulu kenapa seorang ayah dan ibu
kandung membiarkan saja anaknya diculik orang.
Kenapa ayah ibu kandung tidak menyayang
anaknya, bahkan si penculik amat sayang seperti
ibu sendiri. Kenapa?"
"Hong Lan, anakku. Marilah kita masuk ke
dalam rumah dan kami akan menceritakan
kepadamu...." kata Si Han Beng.
"Tidak!" jawab Hong Lan tegas. "Sebelum
mendengar sebabnya, aku tidak akan masuk ke
rumah kalian. Aku tentu akan membenci kalian
dan tidak akan mau mengakui ayah ibu yang
membiarkan anaknya diculik orang tanpa mencarinya. Aku harus mendengar dulu apa
sebabnya, baru akan kupertimbangkan apakah
kalian pantas menjadi ayah ibuku atau tidak."
Si Han Beng menghampiri isterinya. "Kau....
ceritakanlah ..." katanya kepada is terinya. Akan
tetapi Bu Giok Cu hanya menangis. Ibu ini merasa
hatinya seperti diremas-remas, akan tetapi iapun

tidak dapat menyalahkan puterinya. Ia dapat
merasakan betapa sakit rasa hati puterinya itu
setelah mengetahui bahwa ayah ibunya sama
sekali tidak pernah mencari ia yang sejak kecil
diculik dan dilarikan orang.
Melihat keadaan mereka, Thian Ki berkedip pada




Cin Cin lalu berkata kepada Si Han Beng dan Bu
Giok Cu, "Paman dan bibi, sebaiknya kalau Cin Cin
dan aku le bih dulu membawa je nazah Siong Ki ke
dalam dan mengurusnya bersama para pembantu,
sedangkan paman dan bibi bicara di sini."
Si Han Beng mengangguk dan merasa kagum
akan kebijaksanaan pemuda itu. Tadipun, kalau
tidak ada Thian Ki yang mengorbankan diri,
mungkin puteri mereka telah tewas di tangan Siong
Ki! Thian Ki, dibantu oleh Cin Cin, lalu mengangkat je nazah Siong Ki ke dalam rumah,
meninggalkan suami isteri itu bertiga saja dengan
Hong Lan. Hong Lan masih berdiri dengan kedua pipi basah
air mata, akan tetapi sikapnya tegak dan
menentang, pandang matanya penuh rasa penas aran, sehingga setiap kali bertemu pandang
dengan pute rinya, Bu Giok Cu kembali tak dapat
menahan tangisnya. Diam-diam Si Han Beng
memperhatikan puterinya dan dia melihat bahwa
ada suatu ketinggian hati seperti sikap seorang
bangsawan tinggi pada puterinya. Pandang mata
itu, seperti pandang mata seorang puteri!
"Hong Lan, kami berdua memaklumi sikapmu
ini. Memang kalau dipandang sepintas lalu, kami
seperti bukan orang tua yang baik dan menyayang

anak. Akan tetapi engkau perlu mengetahui sebabsebabnya. Nah, dengarlah baik-baik. Enambelas
tahun yang lalu atau lebih, ketika itu engkau baru
berusia dua tahun dan diajak bermain-main oleh
Siong Ki, murid kami tadi, engkau diculik orang
dan Siong Ki ditotok sehingga tidak dapat bergerak.
Penculik itu adalah Kwa Bi Lan, masih te rhitung
sumoiku sendiri." Si Han Beng lalu menceritakan
te ntang hubungannya dengan Kwa Bi
Lan, mengapa Kwa Bi Lan menaruh sakit hati kepadanya. "Kwa Bi Lan telah menjadi isteri suhu Sin-tiauw
Liu Bhok Ki, juga gurunya sendiri. Setelah suhu
Liu Bhok Ki meninggal dunia, Kwa Bi Lan
mendendam kepadaku karena ia menganggap
bahwa akulah penyebab kematian suhu." Si Han
Beng menghela napas panjang. Sebetulnya, riwayat
itu tidak akan diceritakan kepada siapapun juga
dan akan dibawanya sampai mati, akan te tapi
sekali ini dia harus menceritakan segalanya
dengan gamblang kepada pute rinya, kalau dia
menghendaki pute rinya itu kembali kepadanya.
Sinar mata Hong Lan masih tetap keras dan penuh
rasa penas aran, akan tetapi ia tidak memotong
cerita pendekar itu. "Sebetulnya, dahulu sebelum aku berte mu
dengan ibumu ini, suhu menghendaki agar aku
berjodoh dengan Kwa Bi Lan. Akan tetapi aku
berte mu dengan ibumu dan kami menikah.
Agaknya suhu marah sekali dan Kwa Bi Lan
kecewa. Kemudian, Kwa Bi Lan menjadi isteri suhu
yang sudah puluhan tahun menduda. Setelah
suhu meninggal dunia, Bi Lan pergi mencari kami

ke sini. Ia marah-marah dan mengatakan bahwa
suhu meninggal dunia karena
kecewa dan menyesal kepadaku, yaitu karena aku tidak
menurut kehendak suhu dan menikah dengan
ibumu. Ketika ia datang berkunjung, engkau baru
berusia dua tahun. Akupun merasa menyesal
sekali dan berduka atas kematian suhu. Nah,
biarpun Kwa Bi Lan meninggalkan kami dengan
baik-baik, te rnyata diam-diam ia masih mendendam dan ia membawamu lari untuk
membalas dendamnya itu."
"Akan te tapi kalian yang berilmu tinggi kenapa
tidak mengejar dan merebutku kembali?" Hong Lan
masih penasaran karena juste ru kenyataan inilah
yang membuat ia merasa penasaran sekali.
"Anakku, jangan engkau menyalahkan ayahmu.
Ketika Kwa Bi Lan menculikmu, ia meninggalkan
tulisan di atas tanah bahwa kalau kami melakukan
pengejaran dan berusaha merebutmu, ia akan
membunuhmu. Kami tidak berdaya......"
"Kami mengetahui bahwa Kwa Bi Lan bukan
seorang jahat. Akan tetapi, dendam sakit hati
dapat membuat seseorang menjadi mata gelap.
Kami tidak berani melakukan pengejaran karena
takut kalau-kalau ia melaksanakan ancamannya.
Justeru karena yakin ia bukan orang jahat itulah
yang membuat kami te rpaksa merelakan engkau
dibawa pergi, dengan harapan sekali waktu ia akan
sadar dan mengembalikanmu kepada kami. Dan
kami didik Siong Ki agar setelah dewasa dia dapat
pergi mencarimu. Dia tidak akan dikenali Kwa Bi

Lan. Bahkan baru-baru ini kami menyuruh dia
pergi untuk mencarimu."
Pandang mata Hong Lan mulai berubah lunak.
Ia mulai mengerti mengapa ayah dan ibu
kandungnya tidak melakukan pengejaran untuk
merampas ia kembali dari tangan penculiknya. Ia
kini mengerti. Kwa Bi Lan pernah mencinta ayah
kandungnya dan karena tidak dibalas cintanya,
bahkan ayah kandungnya yang sudah dijodohkan
dengannya itu memilih gadis lain menjadi isterinya,
maka Kwa Bi Lan mendendam. Apalagi setelah
suaminya, yaitu gurunya sendiri, meninggal dunia
karena kecewa terhadap Si Han Beng, dendam Kwa
Bi Lan makin mendalam. Kemudian, agaknya
setelah hilang dendamnya, Kwa Bi Lan sudah
te rlanjur menyayangnya sebagai puteri sendiri,
maka tidak mau mengembalikannya. Bahkan Kwa
Bi Lan agaknya akan merahasiakan terus keadaan
dirinya itu kalau saja tidak menghadapi ajalnya.
"Hong Lan, anakku. Aku ibumu, aku yang
mengandungmu dalam perut selama sembilan
bulan, aku yang melahirkanmu dengan taruhan
nyawa, bagaimana mungkin aku tidak sayang
padamu, ana kku" Semenjak engkau dilarikan Bi
Lan, setiap malam aku menangis, aku bersembahyang, mohon kepada Tuhan agar engkau diberi keselamatan dan kesehatan. Kemudian, akhir-akhir ini, membayangkan engkau
telah dewasa, aku bersembahyang setiap akan
tidur, mohon agar engkau diberi kebahagiaan........aku. . . aku tak pernah hentinya
menyayangmu, Hong Lan......."

Bagaikan air bah yang le pas dari bendungan,
Hong Lan menjerit dan menubruk Bu Giok Cu.
"I bu ........!" Me reka berdekapan sambil menangis
berciuman dan Bu Giok Cu menengadah, memandang langit dengan air mata bercucuran
akan te tapi mulut te rsenyum te bar, bibirnya
gemetar mengucapkan terima kasih kepada Tuhan.
"Terima kasih......te rima kasih. Tuhan ...aku
telah menemukan kembali anakku........Hong Lan........ah, Hong Lan anakku......." Dan ibu yang
te rlalu bahagia ini tak dapat menahan lagi dirinya
yang memang sudah kehabisan tenaga sin-kang, ia
le mas dan pingsan dalam rangkulan Hong Lan.
"I bu.......! Ibuuu............ !" Hong.Lan menengok
ke arah Si Han Beng yang masih berdiri sambil
mengusap air matanya sendiri dengan punggung
tangan. "Ayah.......! Ini ibu bagaimana.........?"
Si Han Beng menghampiri dan memegang
pergelangan tangan isterinya. "I bumu te rguncang
perasaannya, mari kita bawa ia masuk, Hong Lan."
"Ayah........!" Hong Lan membiarkan Si Han Beng
memondong isterinya, dan Hong Lan memegangi
le ngan ayahnya, ikut masuk ke dalam rumah
dimana ia dilahirkan. Tak lama kemudian mereka semua telah duduk
di ruangan dalam rumah itu. Jenazah Siong Ki
telah dikebumikan dengan bantuan para tetangga
secara sederhana. Hong Lan yang sudah bertukar
pakaian wanita, ikut pula berkabung karena iapun
te rharu mendengar cerita ayah ibunya betapa dulu,

ketika ia masih kecil Siong Ki yang mengasuhnya,
menggendongnya dan mengajaknya bermain-main.
"Hong Lan, sekarang ceritakan te ntarg dirimu,
sejak engkau dibawa pergi oleh Kwa Bi Lan, tanya
Bu Giok Cu sambil memegangi tangan pute rinya
yang duduk di sebelahnya. Setelah kini berpakaian
wanita, Hong Lan nampak cantik jelita, mirip sekali
dengan ibunya. Di ruangan itu duduk pula Cin Cin
dan Thian Ki yang luka-luka di pundak dan
bahunya te lah diobati. Hong Lan telah diperkenalkan kepada Thian Ki dan Cin Cin, dan ia
merasa kagum sekali mendengar bahwa Thian Ki
adalah pute ra kakak angkat ayahnya dan memiliki
kepandaian yang lihai sekali. Bahkan tadipun
kalau tidak ada Thian Ki, mungkin ia telah tewas di
tangan Siong Ki. Juga ia kagum kepada Cin Cin
yang cantik manis, dan ikut gembira mendengar
bahwa kedua orang itu telah bersepakat untuk
menjadi suami isteri. "Ceritanya panjang, ibu," kata Hong Lan dan
ketika ia memandang ibunya, terpancar sinar kasih
sayang dalam matanya yang membuat Bu Giok Cu
te rharu sekali. Lalu ia menceritakan pengalamannya ketika menjadi puteri Kwa Bi Lan.
Diceritakannya betapa kemudian Kwa Bi Lan
berte mu dengan Pangeran Li Si Bin dan ditarik
menjadi pengawal pribadi pangeran mahkota itu.
Betapa kemudian mereka saling jatuh cinta dan
Kwa Bi Lan menjadi isteri atau s elir Pangeran Li Si
Bin sampai sekarang. "Aihh, kalau begitu Kwa Bi Lan menjadi selir
Kaisar dan bagaimana dengan engkau?" tanya Bu

Giok Cu, kagum mendengar riwayat perjalanan
hidup Kwa Bi Lan yang aneh itu.
"Karena ia selalu menganggap aku sebagai
anaknya, maka dengan sendirinya akupun diakui
oleh Sribaginda Kaisar sebagai puterinya."
"Hebat.....!" Cin Cin yang sudah bergaul akrab
dengan Hong Lan berseru sambil memandang
kagum. "Kalau begitu engkau .... eh. paduka....
adalah seorang pute ri istana, puteri Sribaginda
Kaisar?" Cin Cin tidak main-main, melainkan
bersungguh-sungguh.



Hong Lan memandang kepada Cin Cin dan
te rsenyum anggun, maklum bahwa gadis yang
buntung tangan kirinya itu tidak mengeje k atau
main-main, melainkan bersungguh-sungguh.
"Me mang benar, selama belasan tahun ini aku
dikenal sebagai Puteri Li Hong Lan, pute ri kaisar
yang oleh Sribaginda disayang dan dianggap pute ri
sendiri, walaupun beliau tahu bahwa aku bukan
pute rinya, bahkan tahu pula bahwa aku bukan
pute ri mendiang ibu Kwa Bi Lan. Akan tetapi,
setelah aku mengetahui bahwa aku bukan puteri
kaisar, bukan pula puteri ibu Kwa Bi Lan, aku lalu
berpamit meninggalkan istana dan Sribaginda
memberi ijin dan restu. Sekarang, aku bukan lagi
pute ri kaisar, enci Cin, melainkan Si Hong Lan
biasa saja puteri ayah dan ibuku."
"Ahh, kalau begitu, doaku selama ini setiap
malam kepada Tuhan dikabulkan!" seru Bu Giok
Cu. "Anakku bukan saja sehat dan selamat,
bahkan diangkat derajatnya menjadi puteri istana,
pute ri kaisar!" ♧
"Akupun ikut bangga dan bersyukur, Hong Lan,
te ntu selama ini engkau hidup mulia, terhormat,
dan bahagia. Apalagi Kwa Bi Lan dan Sribaginda
kaisar menyayangmu."
Hong Lan menghela napas panjang. "Perkiraan
orang luar te rhadap kehidupan pute ri istana
sungguh jauh berbeda dengan kenyataannya,
ayah." Tanpa canggung-canggung lagi bekas pute ri
istana itu menyebut ayah dan ibu kepada orang
tuanya, sebutan yang baru pertama kali ini ia
ucapkan te rhadap orang tua kandungnya. "Me mang ketika masih kecil, aku berbahagia
karena hidup te rhormat, segalanya te rcukupi,
berenang kemewahan, hidup dibangunan yang
megah dan indah, mengenakan pakaian indah dan
perhiasan serba mahal, makanan yang dihidangkan serba le zat. Akan tetapi semua itu
akhirnya membosankan, apalagi setelah aku mulai
mengerti, ayah. Di istana itu terdapat banyak
sekali persaingan, permusuhan, kepalsuan dan
perebutan kekuasaan. Ayahanda,.... eh, maksudku
Sribaginda Kaisar dikelilingi penjilat-penjllat, para
thai-kam yang mencari muka, para selir yang
te rlalu banyak dan saling berlomba mengambil hati
kaisar, para pejabat yang saling bersaing untuk
menarik perhatian kaisar. Pendeknya, ibu.....
maksudku Bibi Kwa Bi Lan dan aku mulailah
merasa tidak berbahagia. Sudah lama
aku mendambakan kebebasan di luar istana, akan
tetapi sebagai puteri kaisar, te ntu saja Sribaginda
tidak mengijinkan. Untung bahwa Sribaginda
sendiri adalah seorang ahli silat yang lihai, maka
beliau memperbolehkan aku belajar ilmu silat.

Akhir-akhir ini, bibi Kwa Bi Lan sering makan hati
karena ia benar-benar mencinta kaisar, akan tetapi
perhatian kaisar te rlalu te rpecah dan sibuk
sehingga kadang-kadang kaisar seperti lupa
kepada bibi Kwa Bi Lan."
Si Han Beng mengangguk-angguk. "Aku dapat
membayangkan semua itu. Memang tak dapat
disangkal bahwa tidak ada kesenangan tanpa
kesusahan. Apa yang tadinya menyenangkan,
dapat menjadi membosankan bahkan menyusahkan. Seorang hartawan lambat laun
tidak lagi dapat merasakan kenikmatan hartanya,
melainkan menderita karena hartanya, takut
berkurang, takut le nyap, takut ditinggalkan. Aku
dapat mengerti, Hong Lan."
"Lalu bagaimana terjadinya pemberontakan yang
melibatkan Siong Ki itu" Kami ingin sekali
mendengarnya," kata Bu Giok Cu.
Sebelum melanjutkan kisahnya, Hong Lan
minum dulu air te h dari cangkir di atas meja.
Semua orang memandang kagum. Tanpa disadarinya, agaknya bekas puteri istana ini masih
belum terbebas dari kebiasaan kehidupan di dalam
istana, ketika ia mengambil cangkir, ketika
mengangkatnya ke bibir, ketika meneguk air teh,
semua dilakukan dengan gerakan lengan, tangan
dan jari yang seolah-olah menari, begitu teratur
dan lembut! Hong Lan sendiri tidak menyadari ini.
"Yang melakukan pemberontakan adalah Paman...eh. Pangeran Li Seng Cun, adik dari
Sribaginda Kaisar sendiri. Dia merencanakan
pemberontakan dengan jalan membunuh ♧
Sribaginda dan dia menyuruh The Siong Ki dan Bi
Tok Siocia yang melakukan usaha pembunuhan
itu. Untung aku mengetahui rencana itu ketika
kaki tangan mereka, seorang dayang dan seorang
thai-kam, mengadakan pembicaraan dan aku
memberitahu kepada Bibi Kwa Bi Lan. Kami
mengatur siasat melakukan penjagaan dengan
teliti pada malam yang dite ntukan. Kemudian
muncullah dua orang berkedok kain hitam
menyerbu kamar Sribaginda Kais ar. Kami melawan
mereka akan te tapi ternyata mereka lihai bukan
main. Bibi Kwa Bi Lan bahkan terluka ole h pedang
di tangan The Siong Ki, akan tetapi dalam keadaan
te rluka, ia masih terus mengejar Bi Tok Siocia yang
memasuki kamar Kaisar. Karena para pengawal
berdatangan, The Siong Ki yang dapat kusingkap
topengnya dengan pedangku, sehingga aku mengenal wajahnya, melarikan diri. Aku tidak
mengejar, melainkan membantu ibu di dalam
kamar, di mana Bi Tok Siocia telah dikeroyok oleh
bibi Kwa Bi Lan dan oleh Sribaginda sendiri. Aku
membantu mereka dan akhirnya Bi Tok Siocia
te was oleh pedang bibi Bi Lan. Akan te tapi bibi
Kwa Bi Lan juga roboh karena luka itu dan
sebelum tewas itulah ia membuka rahasia diriku,
bahwa aku bukan pute ri kaisar, bukan pula
pute rinya dan menyuruh aku bertanya kepada
Kaisar siapa orang tua kandungku. Kemudian,
Sribaginda Kaisar yang memberitahu bahwa aku
adalah pute ri ayah dan ibu, akan te tapi beliau
tidak dapat menjelaskan kenapa aku diculik Bibi
Kwa Bi Lan dan mengapa pula ayah dan ibuku
yang dikabarkan sebagai pendekar-pendekar sakti
tidak mencari dan merebutku kembali. Hal ini

membuat aku merasa penas aran dan sakit hati
sekali, maka aku lalu berpamit dari Sribaginda
kaisar dan datang ke sini dengan maksud untuk
menegur dan mencela ayah dan ibu karena hatiku
sakit sekali. Akan tetapi, tanpa kuduga di sini aku
berte mu dengan The Siong Ki yang mengaku murid
ayah dan ibu. Tentu saja aku menjadi semakin
kecewa karena ternyata penjahat yang hendak
membunuh Sribaginda kaisar itu adalah murid
ayah, karena itulah maka aku bersikap seperti
tadi. Harap ayah dan ibu suka memaafkan aku
yang kurang ajar dan tidak berbakti."
Bu Giok Cu merangkulnya. "Engkaulah yang
sepantasnya memaafkan kami, anakku. Semua
sudah berlalu, disesalpun tiada gunanya. Kami
sendiri sungguh tidak mengira bahwa Siong Ki
dapat te rsesat seperti itu. Ketika dahulu dia berada
di sini, dia merupakan anak yang baik, rajin
bekerja dan taat. Siapa kira, setelah berada di luar
dia mau saja diperalat pemberontak."
Si Han Beng menggeleng-geleng kepalanya.
"Agaknya dia memang seorang yang le mah,
sehingga mudah saja dipengaruhi orang lain. Aku
yakin bahwa dia te ntu dipengaruhi oleh Bi Tok
Siocia. Aku sudah mendengar tentang puteri datuk
sesat Ouw Kok Sian itu. Sudahlah, tidak baik
membicarakan orang-orang yang sudah meninggal
dunia. Se moga Tuhan memperingan hukuman atas
dosa-dosa mereka." Kini Hong Lan memandang kepada Thian Ki.
Sejak peristiwa perkelahian yang menyebabkan
te wasnya Siong Ki itu, ingin sekali ia bertanya,

akan te tapi kesempatan belum ada karena le bih
penting membicarakan te ntang dirinya dan orang
tuanya yang baru berte mu. Kini kesempatan itu
te rbuka setelah semua riwayat diceritakan.
"Ayah dan ibu, aku merasa heran sekali
bagaimana The Siong Ki dapat tewas secara
mengerikan" Padahal, aku melihat dia yang
menyerang dan mencengkeram pundak dan bahu
toa-ko Coa Thian-Ki ini." Dara ini menyebut Thian
Ki toa-ko(kakak) setelah diperkenalkan dan tahu
bahwa Thian Ki adalah pute ra kakak angkat ayah
kandungnya. "Se dangkan toako hanya te rluka saja.
Ilmu hebat apakah yang dikuasai Coa-toako ini?"
"Bukan ilmu hebat, melainkan sebuah kutukan,
siauw-moi," kata Thian Ki sambil menarik napas
panjang. "Ehh! Kutukan bagaimana?" Hong Lan kini
sudah menemukan kembali kelincahannya karena
ia merasa berbahagia dapat bersatu kembali
dengan ayahbundanya, dan iapun berte mu dengan
Thian Ki dan Cin Cin yang segera dapat menarik
perhatiannya dan te lah menjadi akrab dengan
mereka. "Ketahuilah, Hong Lan. Kakakmu Thian Ki ini
adalah seorang tok-tong, anak beracun yang
sekarang te ntu saja menjadi manusia beracun. Di
dalam tubuhnya terdapat hawa beracun yang a mat
dahsyat, sehingga banyak sudah orang-orang yang
lihai, baiknya mereka itu orang-orang jahat, yang
te was ketika menyerangnya, sejak dia masih kecil,"
kata Bu Giok Cu. ♧
"Adik Hong Lan, kau lihat tangan kiriku. Inipun
akibat hawa beracun di tubuh Thian Ki," kata Cin
Cin tertawa. Akhirnya, Hong Lan pasti sekali waktu
akan bertanya juga te ntang tangannya, pikirnya.
Tiada salahnya sekarang saja menceritakan untuk
mengusir perasaan tidak enak, seolah merupakan
senda-gurau. "Wahhh.......! Tunanganmu sendiri yang membuat tanganmu buntung" Bagaimana pula
ini?" Hong Lan bertanya heran dan kehe ranannya
demikian sungguh-sungguh, membuat ia nampak
manis seperti seorang anak kecil. Semua orang
te rsenyum melihat sikapnya.
"Ketika itu, kami juga berkelahi dan belum
bertunangan. Aku mencengkeram pundaknya dan
tanganku menjadi hitam keracunan. Dan untuk
menyelamatkan nyawaku, te rpaksa Thian Ki membuntungi tangan kiriku dengan pedang. Kalau
dia tidak melakukannya, te ntu aku sudah te was
seperti halnya Siong Ki padi tadi."
"Bukan main! Kalian saling berkelahi sampai
seorang di antara kalian buntung tangan kirinya,
kemudian kalian bertunangan. Tentu cinta di hati
kalian benar-benar murni!" kata pula Hong Lan
dan ucapan ini saja menunjukkan bahwa gadis
bekas puteri bangsawan istana ini memang
berwatak lincah jenaka. "Akan tetapi, dengan
memiliki tubuh beracun seperti itu, berarti Coa
toako menjadi seorang pendekar yang hebat dan




sukar dikalahkan. Kenapa tadi toako mengatakan

bahwa kelebihan itu merupakan sebuah kutukan"
Aku tidak mengerti."
Wajah Thian Ki menjadi muram. "Aku bahkan
datang menemui ayah ibumu untuk mohon
pertolongan mereka mengobatiku agar aku dapat
te rbebas dari hawa beracun ini, siauw moi. Dan
malam tadi mereka telah melakukannya."
"Itulah sebabnya mengapa tadi paman dan bibi
tidak dapat melindungimu dari Siong Ki, adik Hong
Lan. Mereka semalam telah menghabis kan tenaga
sin-kang untuk mencoba mengobati Thian Ki," kata
Cin Cin. Kini barulah Hong Lan mengerti. Tadi iapun
memang merasa heran melihat betapa ayah ibunya
yang dikenal sebagai sepasang pendekar sakti,
seperti tak berdaya ketika dirinya diancam oleh
serangan maut Siong Ki, murid mereka sendiri.
Kiranya ayah ibunya te lah kehabis an tenaga
karena semalam mengobati Thian Ki.
"Ayah, Ibu, maafkan kalau aku menyangka yang
bukan-bukan," katanya dan pandang matanya
demikian le mbut sehingga suami isteri itu
mendekati dan merangkulnya penuh kasih sayang.
"Kami memang telah berusaha, akan tetapi
hanya mampu mengusir sebagian saja dari hawa
beracun di tubuhnya. Kami tidak berhasil membebaskannya. Hawa beracun itu dahsyat
bukan main," kata Si Han Beng.
"Akan tetapi, kenapa sih e ngkau berkeras untuk
melenyapkan hawa beracun itu dari tubuhmu,
toako" Bukankah hal itu bahkan menguntungkan

sekali" Apakah barangkali racun itu membahayakan keselamatan dirimu sendiri?" Hong
Lan bertanya heran. Thian Ki menghela napas dan melirik kepada
kekasihnya, Cin Cin yang menundukkan mukanya
mendengar pertanyaan bekas pute ri kaisar itu.
"Me mbahayakan diriku sih tidak, hanya........."
Dia tidak mampu melanjutkan karena merasa
sungkan untuk bicara tentang itu.
"Hanya kenapa, toako?" Hong Lan mendesak.
Bu Giok Cu yang mengerti akan kesungkanan
Thian Ki berkata, "Hong Lan, kalau hawa beracun
itu tidak dapat dienyahkan dari dalam tubuhnya,
maka selamanya dia tidak dapat menikah. Wanita
yang menjadi isterinya tentu akan mati keracunan." "Aihh..........!" Hong Lan berseru kaget dan kini ia
memandang kepada Thian Ki dan Cin Cin dengan
sinar mata mengandung iba. "Kalau ayah dan ibu
gagal, lalu apakah tidak ada jalan lain untuk
menyembuhkan Coa-toako?"
Ayahnya menghela napas. "Racun itu amat
hebat, ditanamkan di tubuhnya sejak dia masih
kecil sekali, sehingga hawa beracun itu telah
menyusup ke dalam jalan darahnya, sehingga
darahnya juga mengandung racun. Berbahaya
sekali! Agaknya hanya kesaktian kedua orang
sukongmu (kakek gurumu) yang akan mampu
mengusir hawa beracun itu dengan sin-kang
mereka. Akan te tapi, kedua orang kakek gurumu
itu, Pek I Tojin dan Hek Bin Hwesio, telah lama

menghilang dari dunia persilatan dan tak seorangpun tahu di mana mereka berada. Mungkin
mereka berdua kini berada di pegunungan Himalaya sebagai pertapa-pertapa. Atau kalau
mungkin te rdapat obat penawar racun yang paling
langka di dunia ini dapat ditemukan..."
"Ayah! Pernah ayahanda.....eh, Sribaginda Kais ar
bercerita kepadaku te ntang obat penawar segala
racun yang kini menjadi milik istana, menjadi satu
di antara benda pusaka. Bahkan menurut
Sribaginda Kaisar, tidak ada keracunan yang tidak
dapat dipunahkan oleh obat itu. Katanya obat itu
te rbuat dari katak merah pemakan ular berbisa.
Sribaginda mendapatkannya dari seorang sakti
yang bernama Im Yang Seng-cu, yang kini menjadi
penasihat dan sahabat Sribaginda Kais ar."
Suami is teri itu saling pandang. Sebagai dua
orang kang-ouw yang berpengalaman, mereka
pernah mendengar te ntang katak merah, seekor
binatang langka dan ajaib yang kabarnya menjadi
pemakan ular berbisa dan katak itu sendiri
mengandung bisa yang demikian kuat, sehingga
merabanya saja dapat membunuh seorang manusia, akan te tapi racunnya itu dapat pula
memunahkan segala macam racun di dunia ini.
"Kami telah mendengar tentang katak ajaib itu,.
Hong Lan. Akan te tapi, obat itu menjadi pusaka
istana......" kata Bu Giok Cu.
"Mungkin obat itu dapat menyembuhkan Thian
Ki. Akan tetapi bagaimana......?" tanya pula Si Han
Beng. ♧
Hong Lan sudah meloncat kegirangan. "Wah,
mudah saja, ayah dan ibu. Telah kuceritakan tadi
bahwa ayahanda.....eh, Sribaginda Kaisar amat
sayang kepadaku dan beliau menganggap aku
sebagai pute rinya sendiri. Bahkan ketika aku
memohon diri untuk meninggalkan istana dan
mencari ayah dan ibu, beliau menawarkan untuk
memberi hadiah kepadaku, dan apa saja yang
kuminta akan beliau berikan. Akan te tapi aku
hanya minta diberi tahu siapa ayah dan ibu
kandungku. Nah, kalau aku yang minta obat itu,
aku yakin beliau pasti akan memberikan kepadaku." "Tapi engkau baru saja tiba, bagaimana mungkin
aku dapat membiarkan engkau pergi lagi?" Bu Giok
Cu memprotes. "Aku dapat memberi surat kepada Sribaginda
Kaisar, ibu. Aku mempunyai cap te rse ndiri dan
beliau akan mengenal tanda tangan dan capku
itu." "Bagus! Kalau begitu, tulislah surat itu dan biar
Thian Ki sendiri yang pergi ke kota raja dan
menghadap Sribaginda, menyerahkan suratnya
dan mene rima obat itu," kata Si Han Beng gembira.
"Baik, akan segera kulakukan ayah!" kata Hong
Lan gembira karena mendapat kesempatan untuk
membantu Thian Ki, pemuda yang te rnyata
merupakan kakak angkatnya, bahkan yang baru
saja telah menyelamatkan nyawanya.
"Nanti dulu, siauw-moi!" kata Thian Ki dan
semua orang melihat betapa pemuda itu menjadi
muram wajahnya, tidak seperti yang lain, yang

merasa gembira mendengar te ntang obat yang
dapat memberi harapan menyembuhkan Thian Ki.
"Eh, kenapa, toako?"
"Siauw-moi, paman dan bibi, te rima kasih atas
kebaikan kalian, dan juga Lan-moi yang ingin
memintakan obat ke istana untuk menolongku.
Akan te tapi, harap maafkan saja, aku ...tidak
mungkin dapat menerima pemberian dari Sribaginda Kais ar."
Tentu saja semua orang merasa heran, bahkan
te rmasuk Cin Cin yang memandang kekasihnya
dengan sinar mata penuh pertanyaan. "Thian Ki,
kau sungguh aneh sekali. Kenapa engkau tidak
mau menerima pemberian dari Sribaginda Kaisar
?" tanya Si Han Beng.
"Maaf, paman, sebetulnya hal ini merupakan
rahasiaku, akan tetapi karena kalau aku tidak
membuat pengakuan tentu akan menimbulkan
dugaan yang bukan-bukan, biarlah aku akan
berte rus terang. Paman dan bibi adalah orangorang yang kuhormati, juga adik Hong Lan seperti
adikku sendiri yang kusayang, maka biar aku
berte rus terang. Aku mempunyai sebuah tugas dari
suhu, yaitu agar aku mengambilkan pedang
pusaka yang dulu milik suhu, akan tetapi sekarang
telah terjatuh ke tangan pemerintah kerajaan dan
pedang pusaka itu kini menjadi pusaka istana
kerajaan. Maka, aku te rpaksa harus pergi ke
kotaraja dan berusaha untuk mencuri pedang
pusaka istana, bagaimana mungkin aku menerima
pemberian dari Sribaginda Kaisar" Aku merasa
malu untuk menerimanya, paman."

Semua orang te rdiam dan memandang kepada
Thian Ki penuh kagum. Sukar dicari orang yang
memiliki kejujuran seperti dia. Hong Lan yang lebih
dulu bicara dan bertanya. "Toako, apakah nama
pedang pusaka milik gurumu yang kini menjadi
pusaka istana itu?" "Pedang itu disebut Liong-cu-kiam (Pedang
Mestika Naga)." "Ah, aku tahu pedang itu! Bahkan pernah aku
meminjamnya untuk berlatih silat pedang. Jadi
itukah pedang pusaka milik suhumu" Siapa sih
suhumu itu, toako?" "Suhuku adalah juga ayah tiriku, dahulu dialah
Pangeran Cian Bu Ong."
Hong Lan te rbelalak. "Ahhh......! Pemberontak
itu?" "Lan Lan, jangan katakan begitu," kata Bu Giok
Cu memperingatkan. "Kenapa, ibu" Bukankah benar bahwa Pangeran
Cian Bu Ong, saudara dari mendiang Kaisar Yang
Ti dari dinasti Sui, pernah memimpin pemberontakan dan sudah ditumpas oleh pasukan
pemerintah?" Si Han Beng mengerutkan alis nya, khawatir
kalau Thian Ki te rsinggung. Akan te tapi, pemuda
itu bahkan te rsenyum menatap wajah adik
misannya. "Engkau memang benar, siauw-moi.
Bagi engkau yang sejak kecil menjadi puteri Kaisar
Kerajaan Tang, tentu saja mendengar dan menganggap bahwa Cian Bu Ong seorang pemberontak. Akan tetapi coba bayangkan bahwa

engkau seorang pute ri kerajaan Sui, pasti engkau
akan menganggap dia seorang patriot dan pejuang
yang mempertahankan kerajaannya, dan bahkan
Sribaginda kaisar yang sekaranglah yang kau
anggap pemberontak. Tidakkah begitu?"




Hong Lan tertegun. Ia seorang gadis yang
te rpelajar dan cerdik, di istana selain ilmu silat
juga mempelajari ilmu sastra dan sudah membaca
banyak kitab sehingga ia maklum apa yang
dimaksudkan Thian Ki. Iapun mengangguk dan
menghela napas panjang. "Kerajaan memang
merupakan medan perte ntangan dan menjadi
sumber perebutan kekuasaan. Yang menang
dipuja-puja, yang kalah dimaki-maki. Engkau
benar, toako dan maafkan ucapanku tadi. Jadi,
Liong-cu-kiam itu dahulu milik gurumu" Kalau
begitu, kiranya sudah sepantasnya kalau dia
menginginkannya kembali kepadanya. N ah, engkau
tidak perlu mencurinya, toako, sungguhpun dengan kepandaianmu, aku yakin engkau akan
berhasil mencurinya."
"Kalau tidak mencuri, lalu bagaimana....."
"Jangan khawatir. Aku bukan han ya akan minta
obat bagimu dari Sribaginda Kaisar, akan tetapi
juga minta Liong-cu kiam itu. Aku yakin, ayahanda
... ah, sudah terbias a aku menyebut beliau
ayahanda. Jadi selalu saja keliru......"
"Tidak apa engkau menyebut beliau begitu, Lan
Lan. Kami ikut bangga bahwa Sribaginda Kaisar
mau menganggap anak kami sebagai pute rinya,"
kata Si Han Beng serius. ♧
'Aku yakin beliau akan memberikan obat dan
pedang itu kepadamu, toako. Tunggu, akan
kubuatkan surat itu." Gadis itu lalu berlari
memasuki kamarnya. De mikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali Thian Ki dan Cin Cin sudah berangkat
meninggalkan dusun Hong-cun, diantar oleh ayah
ibu dan anak itu sampai ke luar dusun. Thian Ki
dan kekasihnya, Cin Cin, melakukan perjalanan
menuju ke kota raja dengan hati lapang dan penuh
harapan, karena Thian Ki membawa surat dari
Hong Lan yang ditujukan kepada Kais ar sendiri.!
Sementara itu, Hong Lan yang baru saja berte mu
dengan orang tua kandungnya, menikmati kebahagiaan hidup bersama mereka di dusun yang
te nte ram itu, jauh dari kemewahan istana, jauh
pula dari semua persaingan dan permusuhan.
Terasa olehnya betapa tenang dan penuh damai
kehidupan di rumah orang tuanya di dusun itu,
dan kalau mengingat akan kehidupan di istana,
te rasa betapa panas dan tegangnya kehidupan dan
lingkungan keluarga di is tana itu. Apalagi ia kini
digemble ng oleh ayah ibunya dengan ilmu silat
tinggi, membuat Hong Lan merasa berbahagia
sekali. -ooo0dw0ooo- Gadis penunggang kuda yang memasuki pintu
gerbang kota raja itu memang cantik je lita dan
menarik perhatian orang, terutama bagi para pria.
Kudanya juga merupakan kuda pilihan, tinggi
besar dan te ntu amat mahal harganya. Gadis itu

sendiri usianya sekitar duapuluh tahun, tubuhnya
semampai dengan pinggang yang ramping sekali.
Rambutnya agak keriting, digelung ke atas dan
diikat sutera merah. Pakaiannya dari sutera halus
menunjukkan bahwa ia seorang gadis yang kaya.
Sepasang matanya bersinar-sinar. Biarpun ia
cantik menarik, akan tetapi sinar matanya itu,
ditambah sebatang pedang yang berada
di punggung, membuat orang tidak berani sembarangan mengganggunya.
Biarpun peris tiwa pemberontakan Pangeran Li
Seng Cun te lah lewat beberapa bulan lamanya,
namun akibatnya masih nampak, terutama di
pintu gerbang kota raja. Kini, pintu gerbang itu
dijaga ketat ole h belasan orang perajurit, dan
setiap orang yang keluar masuk diamati dengan
seksama. Terutama sekali mereka yang nampak
asing dan bukan penghuni kota raja, diamati dan
kalau perlu dihentikan dan diperiksa dengan teliti.
"Berhenti!" Empat orang penjaga telah berdiri
menghadang di depan kuda gadis itu, memalangkan tombaknya sehingga kuda itu
te rkejut dan meringkik, mengangkat kedua kaki
depan ke atas. Orang-orang yang berlalu lalang
memandang khawatir, takut kalau-kalau gadis
cantik itu akan terjatuh dari atas punggung
kudanya. Akan te tapi gadis itu masih berdiri tegak
dan menarik kendali untuk menenangkan kudanya, dan ia memandang tajam kepada empat
orang penjaga itu. ♧
"Kalian mau apa menghadang perjalananku?"
tanya gadis itu, suaranya merdu akan tetapi tajam
dan marah. "Nona, turunlah. Kami ditugaskan untuk memeriksa setiap orang asing yang masuk ke sini
dan mencurigakan, dan kami curi ga te rhadap
nona. Turunlah agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan!" kata seorang berpakaian
perwira yang baru keluar dari dalam gardu
penjagaan. Orang ini bertubuh pendek bulat, perutnya
gendut dan usianya sekitar tigapuluh tahun, di
pinggangnya tergantung golok besar.
Karena maklum bahwa ia berada di kota raja
maka gadis itu yang bukan lain adalah Cian Kui
Eng, melompat turun dari atas punggung kudanya
lalu menuntun kudanya mengikuti perwira itu
menuju ke gardu penjagaan. Atas perintah perwira
itu dengan tenang dan sabar Kui Eng mengikatkan
kendali kuda di depan gardu penjagaan, kemudian
sambil menggendong buntalan pakaiannya, ia
mengikuti perwira gendut itu memasuki gardu. Ia
dipersilakan duduk di bangku, menghadapi meja
dan di seberang meja itu duduklah si perwira yang
memandang kepadanya dengan mata yang liar,
seperti hendak melahap tubuhnya. Kui Eng melihat
beberapa orang perajurit di luar gardu menjenguk
masuk dan mereka itu menyeringai dan cekikikan
kurang ajar. Kui Eng menyabarkan hatinya. Ia meninggalkan
rumah karena merasa tidak betah tinggal di
rumah, karena seminggu setelah Thian Ki pergi,

ayah dan ibunya juga pergi ke Himalaya untuk
mencari Swe-hiat-ang-cio (Rumput Merah Pencuci
Darah) untuk mengobati Thian Ki. Di rumah
sendiri ia tidak tahan dan iapun pergi menyusul
Thian Ki ke kota raja. Akan tetapi, karena baru
sekarang ia mendapat kesempatan untuk merantau seorang diri, perjalanan itu dilakukan
Kui Eng secara lambat dan ia berhenti di setiap
te mpat yang dianggap menyenangkan. Pernah ia
melakukan perjalanan ketika mengikuti orang
tuanya dan Thian Ki pergi berkunjung ke kuil
te mpat tinggal Lo-Nikouw. Akan te tapi perjalanan
bersama keluarga itu tidak begitu menggembirakan
seperti kalau melakukan perjalanan seorang diri, di
mana ia dapat menentukan apa saja yang akan
dilakukannya, merasa bebas.
Perjalanan sampai ke kota raja itu makan waktu
berbulan-bulan karena Kui Eng suka singgah di
mana-mana, bahkan ketika tiba di sebuah telaga
besar yang indah, ia tinggal di situ hampir sebulan
lamanya. Banyak pengalaman dijumpainya, banyak pula gangguan, akan te tapi dengan mudah
ia dapat mengatasi semua gangguan itu mengandalkan ilmu silatnya yang kini telah
mencapai tingkat tinggi sekali. Kalau hanya tokohtokoh kang-ouw biasa saja, jangan harap akan
mampu menandingi pute ri bekas Pangeran Cian
Bu Ong ini! Ditambah pula dia lincah, tabah dan
cerdik. Karena banyak mendapat gangguan dari
para pria di dalam perjalanan, maka sikap para
penjaga di pintu gerbang kota raja itu tidak
membuat ia serasa heran atau terlalu marah. Ia
tahu bahwa sebagian besar pria memang kurang

ajar dan kalau melihat wanita cantik lalu timbul
kegenitan mereka! "Nah, aku sudah berada di sini. Apa yang
hendak kauperiksa?" tanya Kui Eng, agak je ngkel
juga melihat perwira itu hanya menggerayangi
tubuhnya dengan pandang matanya yang berminyak itu. "Oh, heh-heh......" perwira gendut itu tersenyum
menyeringai memperlihatkan deretan gigi yang
malang melintang dan kacau berwarna hitam
kekuningan. "Nona, kami harus memeriksa buntalan pakaianmu itu. Kami tidak ingin ada
pemberontak yang menyelundup ke dalam kota
raja. Semua pemberontak harus dibasmi!" katakata te rakhir ini dikeluarkan dengan penuh
semangat. Kui Eng te rsenyum mengejek. "Periksalah, aku
bukan pemberontak, aku seorang pelancong yang
ingin melihat kota raja."
"Sebelum aku memeriksa buntalanmu, lebih
dulu aku harus mencatat siapa nama nona dan
tinggal di mana, datang dari mana dan hendak
kemana." "Namaku Cian Kui Eng," kata gadis itu singkat.
"Berapa usia nona tahun ini?"
"Apa perlunya menanyakan usia segala!" bentak
Kui Eng. "Ah, harus itu!" kata si perwira gendut. "Untuk
melengkapi pendaftaran mereka yang dicurigai!
Kami hanya melaksanakan perintah atas an."

Kui Eng menghela napas, menyabarkan dan
menenangkan hatinya. "Duapuluh tahun," jawabnya singkat dan perwira itu menuliskan
nama Kui Eng dan usianya di dalam buku
pendaftaran. Caranya menulis kanpun bergaya,
penuh aksi seolah dia seorang sastrawan sedang
menuliskan sajak indah! "Tempat tinggal?"
"Di dusun Ke-cung, kaki bukit Kim-san lembah
Huang-ho." Kembali



perwira itu menuliskan alamat. Kemudian dia mengangkat mukanya dan menyeringai lagi. "Sudah bersuami?"
Wajah Kui Eng menjadi merah padam. "Huh,
apa-apaan ini bertanya sudah bersuami atau
belum" Tidak ada hubungannya sama sekali
dengan pemeriksaan!"
"Aih-aih, jangan marah dulu, nona. Kami tidak
ingin ada pembunuh yang menyelundup ke kota
raja seperti wanita yang berniat membunuh
Sribaginda itu. Untung ketahuan dan ia sudah
te rbunuh. Kami harus teliti memeriksa setiap
orang yang mencurigakan, laki-laki
maupun wanita. Nah, sekarang jawab sejujurnya, apakah
engkau sudah bersuami dan kalau sudah, siapa
nama suamimu dan sekarang dia berada di mana"
Kenapa nona melakukan perjalanan seorang diri?"
"Aku belum bersuami!" jawab Kui Eng, kini agak
ketus. "Hemm, sungguh aneh. Seorang gadis duapuluh
tahun, cantik jelita seperti nona, berharta pula

melihat pakaian dan kuda nona, masih belum
bersuami" Sungguh sayang...... "
"Cukup! Aku tidak ingin mendengar pendapatmu!" bentak Kui Eng. "Cepat selesaikan
pemeriksaan ini, aku sudah tidak sabar lagi!"
"Heh-heh, baik-baik nona. Sekarang aku he ndak
memeriksa buntalanmu ini." Dia meraih buntalan
di atas meja yang tadi diletakkan oleh Kui Eng dan
membuka buntalan itu. Dia mengaduk-aduk
pakaian Kui Eng dan beberapa kali berkata lirih.
"Hemm, harum.... harum wangi........" sehingga
wajah gadis itu menjadi kemerahan. Kemudian, dia
menemukan peti hitam kecil dan membukanya.
Matanya te rbelalak ketika dia melihat perhiasan
emas permata yang serba berkilauan dan amat
berharga, yang menjadi bekal perjalanan Kui Eng.
"Wah, nona membawa harta begini banyak! Dari
mana nona mendapatkan harta ini?" tanyanya liril
dan matanya dipicingkan. "Apa perdulimu" Ini adalah perhiasan milikku
sendiri. Tidak bolehkah orang memiliki perhiasan
dan membawa ke manapun ia kehendaki?"
"Tentu saja, kalau sudah jelas miliknya. Akan
tetapi nona kami curigai, karena itu, kami tahan
dulu dan sekarang, kami harus memeriksa pakaian
di tubuh nona, siapa tahu nona masih menyembunyikan sesuatu di balik baju nona!"
Berkata demikian, perwira gendut itu bangkit,
memutari meja dan kedua tangannya dijulurkan ke
depan, siap untuk menggerayangi tubuh Kui Eng
dengan alasan hendak menggele dahnya.

"Plakk-plakk!" Kui Eng menggerakkan tangan
menangkis dan perwira itu mengeluh dan te rhuyung ke belakang, mengaduh kesakitan
karena kedua le ngannya yang ditangkis oleh
tangan yang mungil itu seolah-olah akan patahpatah tulangnya. Tentu saja dia menjadi marah.
"Ah, ternyata engkau memang benar pemberontak!" berkata demikian, perwira itu kini
menerjang dan menubruk dengan kedua le ngan
te rbuka seperti seekor beruang hendak menerkam
mangsanya. Kui Eng juga sudah marah. Perhiasan dan
kudanya hendak dirampas, dan tubuhnya hendak
digerayangi. Ia lupa diri, lupa bahwa ia berada di
gardu penjagaan pintu gerbang kota raja, lupa
bahwa kalau ia mengamuk, mungkin ia akan
ditangkap sebagai pemberontak. Kemarahan membuat ia lupa segala dan melihat perwira
gendut itu menerkamnya secara kurang ajar, iapun
menggerakkan kedua tangannya, dengan jari
tangan terbuka, kedua tangan itu bergerak cepat
sekali. "Krek-krek-prakkk!" Perwira itu te rjengkang dan
mengaduh-aduh dengan suara lucu karena mulutnya berdarah, giginya rontok semua dan
kedua tulang lengannya patah.
"Auh.....ahhh......pemberontak......ah.......aduuhh
........tangkap.............!!" teriaknya, mengaduh-aduh
dan bangkit berdiri mengejar Kui Eng yang
melangkah keluar, lengannya di ayun-ayun akan
tetapi tak dapat diangkat karena nyeri, dan
mulutnya berdarah. Melihat keadaan perwira itu,

para penjaga cepat mengepung Kui Eng yang
sudah memanggul buntalan pakaiannya di pundak. Mereka maklum bahwa gadis itu telah
menghajar perwira mereka, maka tanpa dikomando
lagi, belasan orang perajurit penjaga sudah
mengepung dan berlomba untuk menangkap gadis
cantik itu. De ngan tangan kiri memanggul buntalan, tangan
kanan memegang cambuk kuda. Kui Eng menghadapi pengepungan belasan orang perajurit
penjaga itu dengan sikap tenang, akan tetapi
sepasang matanya yang indah jeli itu mencorong
marah. Tubuhn ya tidak bergerak sedikitpun, kepalanya
tidak menoleh ke kanan atau kiri, hanya matanya
saja yang bergerak, mengerling ke kanan kiri
seperti mata seorang penari yang lincah. Begitu
para pengepungnya, belasan orang itu, mulai
bergerak, te rdengar suara cambuknya meledakle dak. Akan tetapi cambuk kuda itu kini bukan
untuk melecuti kuda, melainkan melayang dan
menyambar-nyambar ke arah kepala belasan orang
itu. Segera terdengar suara para pengeroyok itu
mengaduh-aduh dan banyak di antara mereka
yang mukanya berdarah dan babak celur disayat
ujung cambuk. Tentu saja belasan orang penjaga itu menjadi
te rkejut dan marah sekali. Terutama pemimpin
regu itu, dengan suara pelo karena giginya rontok
semua dia berteriak-te riak. "Bunuh pemberontak
itu! Bunuh iblis betina itu!" Dan semua penjaga

sudah mencabut s enjata masing-masing. Ada yang
memegang golok, pedang atau tombak.
"Tar-tar-tarrr.......!!" Cambuk itu mele dak-ledak
dan banyak senjata tajam dan runcing beterbangan
te rlepas dari tangan yang menggenggamnya.
Melihat para pengeroyok yang belum roboh
mundur dan memandang je rih. Kui Eng bertolak
pinggang. "Hemm, kalian ini perajurit pemerintah,
ataukah perampok-perampok?"
Pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan
seorang penunggang kuda datang menguak para
penonton yang sudah semakin banyak berdiri di
dekat pintu gerbang. Dengan sigapnya, penunggang kuda itu melompat turun dari atas
punggung kuda dan menerobos masuk kepungan
belasan orang perajurit yang sudah mulai kecil
nyalinya menghadapi Kui Eng itu.
"Heii, apa yang te lah terjadi di sini!" bentak
menunggang kuda itu. Melihat penunggang kuda yang baru tiba,
komandan regu yang giginya rontok itu menjadi
te rkejut dan semua anak buahnya nampak
ketakutan. "Maaf..........pangeran.....ini.....eh,
gadis ini seorang pemberontak!" kata komandan regu
dengan suara pelo. Penunggang kuda itu menengok
ke arah Kui Eng pada saat gadis itupun menengok
dan memandang kepadanya. Dua pasang mata
berte mu dan memandang penuh perhatian. Kui
Eng melihat bahwa penunggang kuda yang disebut
pangeran itu adalah seorang pria muda, berusia

kurang le bih duapuluhlima tahun, akan tetapi
wajahnya bersih, cerah dan penuh senyum,
te rutama sepasang matanya yang bersinar-sinar
penuh semangat hidup. Wajah itu tampan dan
menyenangkan karena nampak tidak angkuh
seperti kebanyakan para bangsawan, dan biarpun
pakaian pangeran itu seperti pakaian seorang
te rpelajar, longgar dan rapi, namun sebatang
pedang yang berada di punggungnya menunjukkan
bahwa pangeran ini juga suka akan ilmu silat.
Mendengar ucapan komandan regu itu, sang
pangeran yang bertubuh tinggi te gap itu mengerutkan alisnya dan diapun bertanya kepada
Kui Eng. "Nona benarkah apa yang dikatakan
komandan regu tadi bahwa engkau seorang
pemberontak?" Kui Eng meruncingkan mulutnya berjebi, gerakan yang biasa ia lakukan tanpa disadari
kalau ia marah, dan gerakan mulut ini membuat ia
nampak manis menggemaskan. "Engkau seorang
pengeran" Sudah sepatutnya kalau engkau malu
mempunyai seregu perajurit seperti mereka itu.
Aku seorang pemberontak" Aku datang memasuki
kota raja sebagai seorang pelancong dan apa yang
mereka lakukan" Si kerbau gendut itu hendak
merampas perhiasanku, juga merampas kudaku.
Bukan itu saja dengan dalih melakukan penggele dahan, dia hendak menggerayangi tubuhku! Dia tidak kubunuhpun masih te rlalu
ringan baginya!" Wajah tampan itu berubah merah sekali dan Kui
Eng sudah siap untuk menyambut kemarahan
pangeran itu kepadanya. Akan tetapi ternyata





kemarahan itu tidak ditujukan kepadanya. Mata
yang tadinya membayangkan keramahan dan
senyuman itu tiba-tiba kini mencorong penuh
wibawa ketika dia menoleh dan menghadapi seregu
penjaga yang menjadi ketakutan.
"Katakan, benarkah apa yang dituduhkan nona
ini" Jawab yang betul!" bentaknya kepada
komandan regu. Orang gendut itu menjadi pucat
dan matanya te rbelalak, dia menggoyang tangan
kanan yang patah tulangnya itu, lalu menggeleng
kepala. "Tldak.....tidak, pangeran.....!"
"Hemm, kalau tidak, lalu mengapa nona ini
menghajar kalian" Katakan,
apa sebabnya?" bentak pula pangeran itu, mendesak.
"Hamba......hamba tidak tahu.....ia pemberontak
........ tahu-tahu ia mengamuk...." jawaban ini tentu
saja ngawur saking takutnya.
"Hemm, aku belum gila, kalau tanpa hujan
tanpa angin datang-datang aku menghajar kalian!"
kata Kui Eng. "Hayo jawab yang benar, jangan bohong!" bentak
pangeran itu. "Nona ini benar, tanpa sebab tidak
mungkin ia menghajar kalian! Aku akan suruh
siksa dulu kalian semua?"
Komandan regu itu dan anak buahnya segera
menjatuhkan diri berlutut. Mereka nampak ketakutan sekali karena pangeran ini terkenal
dengan kekerasannya kalau menghadapi anak
buah yang bersalah. ♧
"Ampun, pangeran ..... kami ...... kami mencurigainya dan hendak menahan untuk sementara barang-barangnya, dan hendak menggeledahnya, akan te tapi tiba-tiba ia mengamuk ..... " Kui Eng mengeluarkan kotak kecilnya dan
membuka di depan pangeran itu. Nampak
perhiasannya berkilauan. "Nah, inilah yang akan
mereka sita, juga kudaku di sana itu, kemudian si
gendut babi ini mencoba untuk menggerayangi
tubuhku. Salahkah aku kalau menghajarnya" Dia
lalu mengerahkan anak buahn ya untuk mengeroyokku." "Keparat!" Pangeran itu membentak dan tubuh
belasan orang itu menggigil ketakutan. Ketika ada
seorang perwira lewat dan memberi hormat kepada
pangeran itu, sang pangeran berkata, "Cepat
panggil seregu penjaga pengganti dan jebloskan
mereka ini ke dalam tahanan. Laporkan kepada
panglima agar dia menemuiku. Orang-orang jahat
ini harus dihukum berat untuk menjadi contoh
para perajurit lainnya!"
Belas an orang yang berlutut itu minta-minta
ampun, akan te tapi pangeran itu tidak menghiraukan mereka lagi. Dia membungkuk
kepada Kui Eng, "Nona, maafkanlah kami. Memang
kami kurang te rtib, sehingga ada anak buah yang
menyeleweng seperti mereka. Akan tetapi, kami
pasti akan menghukum mereka. Nah, sekarang
nona boleh melanjutkan perjalanan tanpa gangguan." ♧
Kui Eng diam-diam merasa kagum bukan main.
Ayahnya juga seorang bekas pangeran, dan
ayahnya juga berwatak keras. Akan te tapi, ayahnya
tidak selembut pangeran ini. Ayahnya masih
memandang rendah orang-orang bawahan, akan
tetapi pangeran ini sikapnya demikian sopan dan
le mbut, walaupun wibawanya je las nampak ketika
dia memarahi seregu penjaga itu. Iapun memberi
hormat dengan mengangkat kedua tangan depan
dada. "Pangeran, terima kasih atas kebaikanmu,
dan maafkan sikapku yang kasar tadi."
Pangeran itu mengangguk, dan mengikuti Kui
Eng dengan pandang matanya ketika gadis itu
menuntun kudanya yang bagus, memasuki pintu
gerbang. Kui Eng tidak tahu betapa pangeran itu
mengikutinya dengan pandang mata penuh kekaguman. Pangeran itu memang te rkenal sebagai seorang
pangeran yang le mbut hati dan ramah, tidak
congkak, namun dia dapat bersikap keras terhadap
anak buah atau para prajurit yang melakukan
penyelewengan. Diapun terkenal sebagai seorang
pangeran yang memiliki ilmu silat tinggi, namun
dia menolak ketika pamannya, yaitu Kaisar Tang
Tai Cung, memberi kedudukan kepadanya. Pangeran ini bernama Pangeran Li Cu Kiat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN