NAGA BERACUN JILID 29


 Mendengar pertanyaan itu, Si Han Beng dan Bu
Giok Cu saling pandang dan Si Han Beng memberi
is yarat dengan anggukan kepala kepada is terinya,
tanda bahwa dia setuju kalau isterinya menceritakan tentang keadaan pute ri mereka
kepada Thian Ki dan Cin Cin.
"Malapetaka telah menimpa keluarga kami,
Thian Ki dan Cin Cin. Sejak anak kami berusia dua
tahun, ia telah diculik orang dan sampai sekarang
kami belum pernah melihat anak kami itu."
Biarpun ia seorang wanita gagah perkasa, namun
menceritakan tentang pute rinya itu, mau tidak
mau Bu Giok Cu merasa berduka dan suaranya
te rdengar agak gemetar. Mendengar itu, Cin Cin menjadi penasaran
sekali. "Akan tetapi bagaimana mungkin hal itu
te rjadi, bibi" Paman dan bibi adalah suami isteri
yang berkepandaian tinggi! Siapa orangnya berani
main-main seperti itu, berani menculik pute ri
paman dan bibi" Katakan, siapa orangnya dan aku
akan membantu paman dan bibi mencari puteri
bibi itu sampai dapat!"
"Akupun siap untuk membantu paman dan bibi
mencari penculik itu!" kata Thian Ki.
"Penculiknya seorang wanita yang bernama Kwa
Bi Lan," kata Si Han Beng.
Cin Cin memandang heran. "Dan selama ini
paman dan bibi tidak pernah berhasil menemukan
kembali pute ri paman itu?"

Bu Giok Cu yang menjawab setelah menghela
napas panjang. "Kami berdua memang tidak
pernah mencarinya." "Tapi, kenapa, bibi" De ngan ilmu kepandaian
bibi yang tinggi, apalagi ada paman. Apa sukarnya
mencari penculik itu, membunuhnya dan merampas kembali pute ri bibi" Kenapa bibi dan
paman tidak pernah mencarinya?"
Thian Ki juga ikut menatap wajah suami is teri
itu bergantian dengan pandang mata penuh
kehe ranan dan pertanyaan.
Kembali suami isteri itu saling pandang,
kemudian Bu Giok Cu menghela napas panjang,
lalu berkata. "Baiklah, kalian berdua adalah
keluarga He k-houw-pang, bukan orang luar dan
biar akan kuceritakan apa yang te lah terjadi
belasan tahun yang lalu dan kenapa kami tidak
pernah mencari puteri kami."
Ia lalu menceritakan tentang Kwa Bi Lan yang
te rhitung su-moi dari suaminya. Kemudian Kwa Bi
Lan menjadi isteri gurunya sendiri, mendiang Sintiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki. Liu Bhok Ki
marah dan penas aran kepada Si Han Beng yang
mengecewakan hatinya, karena Si Han Beng yang
tadinya diharapkan menikah dengan Kwa Bi Lan
malah menikah dengan Bu Giok Cu tanpa memberi
tahu. Liu Bhok Ki berduka dan menjadi sakitsakitan sampai meninggalnya, dan Kwa Bi Lan
merasa sakit hati kepada Si Han Beng.
"Nah, untuk membalas sakit hatinya itulah, Kwa
Bi Lan datang dan menculik Hong Lan, anak kami.
Kami tidak berani mengejar, karena ia mengancam

bahwa kalau kami mengejar, ia akan membunuh
anak kami." Sampai di sini, nyonya itu tidak kuasa
lagi mencegah menetesnya beberapa butir air mata.
"Akan te tapi, tentu ada cara untuk merampas
kembali pute ri bibi." kata Thian Ki. "Apalagi
sekarang tentu ia telah menjadi seorang gadis yang
dewasa." "Jangan khawatir, paman dan bibi. Kalau Thian
Ki sudah mendapatkan kebebasan dari hawa
beracun di tubuhnya, kami berdua akan mencari
pute ri bibi sampai dapat dan kami tidak akan
berhenti mencari sebelum kami berhasil!" kata Cin
Cin penuh semangat. Thian Ki membenarkan dan
diapun menyanggupi untuk mencari dan mengajak
kembali Si Hong Lan kepada orang tuanya.
"Aku khawatir ia tidak akan lagi mengenal
kami," kata Bu Giok Cu. "Mudah-mudahan saja
Kwa Bi Lan dapat menjadi pengganti ibu yang baik.
Ia bukan seorang jahat, bahkan ia seorang
pendekar wanita yang tangguh, murid Siauw-limpai. ..." "Murid Siauw-lim-pai" Seperti ayah tiriku....."
kata Cin Cin. Si Han Beng mengangguk. "Me mang Kwa Bi Lan
adalah keponakan dari ayah tirimu yang bernama
Lie Koan Tek itu, Cin Cin."
"Ahh.......!" Gadis itu berteriak kaget.
"Kalau begitu, le bih mudah lagi! Aku akan
bertanya kepada ayah tiriku, tentu dia mengetahui
dimana adanya Kwa Bi Lan dan aku akan
mengambil pute ri bibi darinya!"

Bu Giok Cu te rsenyum. "Terima kasih, Cin Cin.
Biarpun sejak lama engkau menjadi murid Tunghai Mo-li, ternyata engkau tidak kehilangan watak
pendekar dari orang tuamu. Sukurlah, karena aku
sendiri dahulu juga menjadi murid seorang datuk
sesat, yaitu Ban-tok Mo-li mendiang nenek Thian
Ki. Akan tetapi, rasanya tidak begitu mudah bagi
kami untuk mendapatkan kembali anak kami,
karena sekarang tentu ia telah dewasa dan kalau ia
sudah menganggap Kwa Bi Lan sebagai ibunya, ia
tidak mengenal kami lagi."



"Akan tetapi hal itu dapat dijelaskan kepadanya,
bibi!" bantah Cin Cin.
"Sudahlah," kata Si Han Beng. "Hal itu tidak
perlu diributkan lagi. Kami memang amat rindu
kepada anak kami, akan te tapi kami sudah tidak
mengharapkan ia mengenal kami sebagai orang
tuanya. Kalau kami dapat melihat ia dalam
keadaan sehat dan selamat, juga berbahagia, kami
sudah ikut merasa berbahagia. Sekarang sebaiknya kalian berdua beristirahat. Kami berdua
akan samadhi dan menghimpun te naga sin-kang.
Malam nanti baru kami akan mencoba untuk
membantu Thian Ki mengusir hawa beracun dari
tubuhnya. Thian Ki, engkau tinggal di kamar tamu
di depan, dan Cin Cin di kamar anak kami yang
sampai sekarang masih kami pelihara baik-baik
dan kami persiapkan kalau-kalau anak kami itu
pulang." Thian Ki dan Cin Cin merasa te rharu sekali
mendengar ucapan pendekar itu karena dalam

ucapan itu te rkandung harapan dan kedukaan
yang mendalam, namun sengaja ditekan.
Setelah suami isteri itu memasuki kamar mereka
untuk bersamadhi, Thian Ki tinggal berdua saja
dengan Cin Cin. "Mari kita keluar, di samping
rumah melihat taman yang indah dan hawanya
sejuk," kata Thian Ki.
Tanpa menjawab Cin Cin mengikutinya. Mereka
memasuki taman. Suasana sunyi dan taman itu
memang menyejukkan badan dan hati. Thian Ki
mengajak Cin Cin duduk di bangku dalam taman.
Keduanya duduk dan berdiam diri sampai lama.
Akhirnya Cin Cin yang bicara, suaranya lirih.
"Thian Ki, kenapa engkau lakukan itu?"
"Lakukan apa?" Thian Ki mengangkat muka
menengok dan karena gadis itu pun sedang
memandangnya , maka dua pasang mata berte mu
dan bertaut. "Yang kau katakan kepada subo dan kepada
paman dan bibi tadi......"
"Ya.........?" Thian Ki mendukung.
".......bahwa engkau.......cinta padaku dan mengharapkan akan menjadi ... isterimu...." gadis
itu tidak kuasa menahan debaran hatinya yang
te gang dan malu, dan ia menundukkan mukanya.
Padahal, Cin Cin adalah seorang gadis yang
biasanya lincah jenaka, periang dan gembira lagi
pandai bicara, walaupun semenjak tangan kirinya
buntung, ia menjadi lebih pendiam. N amun hal ini
bukan karena buntungnya tangan, melainkan
karena Thian Ki yang menyebabkan buntung.

"Cin Cin, apakah ucapanku itu menyinggung
perasaan hatimu" Maafkan kalau aku menyinggungmu............"
''Bukan begitu maksudku, akan tetapi kenapa
engkau lakukan itu" Kenapa engkau mengucapkan
k ta-kata itu?" sepasang matayang je li dan tajam
sinarnya itu menatap wajah Thian Ki penuh
selidik. Akan te tapi Thian Ki menyambut tatapan
mata itu dengan tenang dan jujur.
"Kenapa, Cin Cin" Aku tidak mengerti mengapa
engkau masih bertanya kenapa."
"Thian Ki, berterus teranglah. Apakah engkau
mengatakan kepada subo bahwa engkau mencinta
ku, hanya untuk membela daku dari kemarahan
Subo" Kemudian engkau mengatakan kepada
paman dan bibi bahwa engkau mengharapkan aku
menjadi isterimu hanya agar mereka mau membebaskanmu dari hawa beracun?"
Sepasang mata Thian Ki terbelalak lebar, ia
te rkejut bukan main karena tidak menyangka
sama sekali bahwa ke sana arah pertanyaan Cin
Cin tadi. "Cin Cin! Seperti itukah buruknya
penilaianmu te rhadap diriku" Engkau......tidak
percayakah engkau kepadaku?"
"Thian Ki, aku hanya menghendaki kepastian.
Jawablah pertanyaanku tadi."
"Demi Tuhan, Cin Cin. Aku memang cinta
padamu! Aku memang mengharapkan engkau
menjadi isteriku! Atau, engkau menghendaki aku
bersumpah?" ♤
"Thian Ki, apakah perasaan cintamu itu te rdorong oleh perasaan iba dan menyesal karena
engkau telah nembuntungi tangan kiriku?" Kembali sepasang mata itu memandang penuh
selidik. Thian Ki merasa hatinya perih sekali.
"Cin Cin, kenapa engkau begitu te ga mengajukan pertanyaan seperti itu" Ingatan bahwa
tangan kirimu buntung karena aku selama
hidupku akan mendatangkan perasaan sesal di
hatiku. Akan tetapi bukan karena itu aku
mencintamu dan ingin berjodoh denganmu. Sebelum tangan kirimu buntungpun, ketika
pertama kali kita bertemu, aku sudah jatuh cinta
padamu. Justeru karena cintaku kepadamu maka
aku membuntungi tangan kirimu, untuk menyelamatkan nyawamu. Setelah tanganmu buntung perasaan duka dan sesal itu bahkan
memperdalam rasa cintaku. Cin
Cin, kalau e ngkau tidak menganggap aku te rlalu
hina dan rendah, aku......, sekali lagi kepadamu
kunyatakan bahwa aku cinta padamu dan bahwa
aku ingin sekali berjodoh denganmu, menjadi
suamimu dan kita hidup bersama selamanya, Cin
Cin." Sepasang mata yang je li itu kini menjadi basah,
dan ketika ia membuka mulut bicara, suaranya
te rdengar lirih dan gemetar. "Thian Ki, aku.....aku
yang hina dan rendah, aku tidak pantas menjadi
isterimu, aku......aku hanya seorang gadis
buntung......" "Hushhh........" Thian Ki meraih dan memegang
tangan kanan gadis itu, lalu menutupkan tangan

kirinya ke depan mulut Cin Cin, mencegah gadis
itu bicara lebih banyak. "Anak bodoh, engkau
adalah gadis paling hebat, paling cantik, dan paling
kucinta di dunia ini."
"Thian Ki.......!" Kini Cin Cin menangis sesenggukan di atas dada Thian Ki. Akan te tapi
hanya sebentar. Mereka berdua maklum bahwa di
taman itu, keadaan mereka akan mudah dilihat
orang lain. Juga Cin Cin menangis karena bahagia,
maka ia dapat menekan perasaannya dan kini
mereka duduk berdampingan. Tangan kiri Thian Ki
tak pernah melepaskan tangan kanan gadis itu
yang digenggamnya erat-e rat dan telapak tangan
mereka yang saling genggam itu menyalurkan
getaran kasih yang hangat dan mes ra, yang hanya
dapat dirasakan dan dimengerti ole h mereka
berdua. Mereka berdua hening sampai lama, hanya
saling pandang dan saling lirik. Biarpun matanya
masih basah, kini Cin Cin sudah tersenyum manis.
"Cin Cin, engkau masih hutang kepadaku dan
harus kau bayar sekarang juga, tidak boleh
ditunda-tunda lagi agar hatiku tidak menjadi
gelisah " Gadis itu membelalakkan matanya yang indah,
yang masih basah. "Hutang kepadamu" Aku
hutang" Hutang apa, Thian Ki?"
Thian Ki tersenyum. Betapa indahnya mata itu,
seperti telaga yang amat dalam penuh rahasia dan
bibir itu, betapa manisnya kalau sedang setengah
te rbuka karena keheranan itu.

"Cin Cin, aku sudah mengaku cinta dan ingin
memperisterimu, akan tetapi engkau sama sekali
belum menjawabku. Nah, itulah hutangmu kepadaku, bayarlah sekarang juga!"
Wajah itu menjadi merah sekali, merah sampai
ke lehernya, dan mata itu nampak gugup dan salah
tingkah, bibir itu gemetar seolah sukar mengeluarkan suara, dan Cin Cin yang biasanya
lincah jenaka, gembira dan tabah, kini nampak
seperti seorang gadis yang le mah, pemalu, dan
cengeng! "Aku......aku.... ah, Thian Ki, haruskah ..
.aku... ." Apakah......engkau tidak dapat
merasakan...........!?" Ia mencoba menghindari
jawaban yang dituntut Thian Ki itu.
"Ah, tidak bisa! Engkau harus menjawab, Cin
Cin. Akupun menghendaki kepastian. Bagaimana
kalau engkau sebenarnya tidak cinta padaku dan
tidak ingin menjadi isteriku, akan tetapi hanya
karena kasihan kepadaku dan sungkan untuk
menolak" Nah, kau tahu betapa pentingnya
jawabanmu bagiku" "Jangan.....jangan pandang aku seperti itu,
sukar bagiku untuk menjawab kalau engkau
memandangku........ "
Thian Ki tersenyum. "Aku harus memandangmu
agar dapat melihat apakah jawabanmu sejujurnya
atau hanya berbohong!"
"I hh! Engkau ... kejam sekali, engkau te ga
membuat aku menjadi salah tingkah begini...?"
Thian Ki menggenggam tangan gadis itu.
"Jawablah, Cin Cin. Aku bahkan berani mengaku

cinta di depan orang-orang lain. Sekarang, hanya
ada kita berdua, pengakuanmu han ya akan
kudengar sendiri." Cin Cin menyerah. Ia menundukkan mukanya
dan berkata lirih seperti hanya berbisik saja,
namun te rdengar amat merdunya dalam te linga
Thian Ki. "Thian Ki, sejak perte muan kita pertama,
akupun sudah jatuh cinta padamu. Aku cinta
padamu dan aku ingin menjadi isterimu......"
"Cin Cin....!" Kembali Thian Ki mendekapnya dan
sejenak mereka tenggelam ke dalam perasaan yang
menyatu. Tiba-tiba mereka saling melepaskan
rangkulan karena telinga mereka yang te rlatih
mendengar langkah orang. Cepat mereka

menengok dan mereka melihat seorang pemuda
berjalan menghampiri mereka. Kalau Thian Ki
memandang heran karena tidak mengenal pemuda
itu. Cin Cin bangkit dengan cepat dan matanya
menyinarkan kemarahan. Sebaliknya, pemuda
itupun nampak te rkejut bukan main ketika
mengenal Cin Cin. "Cin Cin......!" Pemuda itu berseru kaget.
"Bagus engkau datang, The Siong Ki. Aku
memang mencarimu untuk menantangmu! Engkau
telah berani melukai ibuku dan menyerang ayah
tiriku. Nah, mari kita selesaikan urusan kita di
sini!" Cin Cin menantang dan melangkah maju
menghampiri. Akan te tapi pemuda itu, Siong Ki memandang
bingung. Melihat di dalam taman ada seorang
pemuda dan seorang gadis duduk di bangku taman
dan berpelukan, dia yang baru saja datang menjadi

heran dan curiga, maka segera memasuki taman
untuk menegur. Tidak tahunya, gadis itu adalah
Cin Cin! Dia tidak ingin berkelahi dengan gadis
yang lihai itu, apalagi di situ terdapat suhu dan
subonya. Seperti kita ketahui, The Siong Ki yang
bekerja sama dengan Bi Tok Siocia Ouw Ling telah
gagal ketika membantu pemberontak dan pengkhianat, yaitu Pangeran Li Seng Cun. Mereka
bukan saja gagal membunuh kaisar, bahkan Ouw
Ling te was dalam usaha itu, dan Siong Ki berhasil
lolos dari istana dan melarikan diri, kembali ke
dusun Hong-cun, te mpat tinggal suhu dan
subonya. Sungguh tidak disangkanya sama sekali
akan berte mu dengan Cin Cin di taman gurunya
itu. "Cin Cin, maafkan aku. Memang tidak kusangkal
bahwa aku pernah menyerang ibumu dan ayah
tirimu. Akan tetapi semua itu terjadi karena aku
salah duga. Aku mengira bahwa Lie Koan Tek
itulah yang telah membunuh ayahku dalam
penyerbuan ke He k-houw-pang dahulu. Aku hanya
ingin membalas dendam atas kematian ayahku.
Aku sekarang menyadari bahwa bukan dia yang
membunuh ayahku, dan harap engkau suka
memaafkan aku." "Enak saja minta maaf! Engkau sudah melukai
ibuku dan minta maaf begitu saja" Kalau pada
waktu engkau menyerang mereka aku tidak
muncul dan mencegahmu, mungkin sekarang
engkau telah membunuh ibuku dan ayah tiriku!"
"Itu hanya merupakan salah sangka. Maafkan
aku, Cin Cin. Atau kalau engkau masih penasaran

dan hendak membalaskan luka ibumu, nah,
kauboleh lukai aku, aku tidak akan membalas.
Ingat, kita masih sama-sama keluarga He k-houwpang dan kita sama-sama menderita karena
penyerangan kepada Hek-houw-pang itu."
Melihat kekasihnya marah-marah dan sikap
pemuda itu yang kini dia kenal sebagai The Siong
Ki yang pernah dikenalnya belasan tahun yang lalu
ketika dia ikut ayah ibunya ke Hek-houw-pang
nampak mengalah dan minta maaf, Thian Ki segera
melerai. "Sudahlah, Cin Cin. Siong Ki benar, semua itu
te rjadi karena salah sangka, dan dia sudah minta
maaf." Melihat Thian Ki yang nampak a krab dengan Cin
Cin dan kini ikut pula bicara, bahkan menyebut
namanya begitu saja, timbul perasaan tidak senang
dalam hati Siong Ki. Timbul perasaan tinggi
hatinya dan dengan ketus dia bertanya. "Siapakah
engkau yang berani mencampuri urusan kami?"
Thian Ki merasa heran mendengar ucapan yang
bernada tinggi hati dan angkuh itu. Sungguh tidak
patut murid Naga Sakti Sungai Kuning bersikap
seperti itu, akan tetapi dia tersenyum dan
menghampiri Siong Ki. "Siong Ki, lupakah engkau
kepadaku" Aku senasib dengan engkau dan Cin
Cin, kehilangan ayah ketika Hek-houw-pang
diserbu. Aku Coa Thian Ki!"
Siong Ki mele barkan matanya. "Coa Thian Ki"
Kau pute ra Paman Coa Siang Lee itu?" Sekarang
Siong Ki bersikap ramah. ♤
"Siong Ki........!"
Pemuda itu terkejut dan wajahnya berubah
pucat mendengar suara suhunya. Dia menole h dan
cepat menjatuhkan diri di depan suhu dan
subonya yang te lah berada di situ. Suami isteri
pendekar itu telah mendengar suara mereka dan
keduanya memasuki taman. Melihat sikap Cin Cin
yang marah, Si Han Beng segera menegur
muridnya. "Siong Ki, apa yang telah kami dengar dari Cin
Cin itu" Engkau te lah menyerang pendekar Lie
Koan Tek dan juga ibu Cin Cin, bahkan telah
melukainya" Lupakah engkau akan pesan kami
ketika engkau pergi, tidak boleh memusuhi
pendekar itu sebelum melakukan penyelidikan
dengan seksama dan tidak boleh mendendam
kepada siapapun?" "Ampun, s uhu, dan subo, teecu telah melakukan
kesalahan karena terburu nafsu dan diamuk duka
dan dendam atas kematian ayah. Teecu telah
bersalah dan teecu siap menerima hukuman dari
suhu berdua." kata Siong Ki dengan nada sedih.
Tadi ketika Thian Ki melerai, hati Cin Cin sudah
mulai dingin dan ia dapat memaafkan Siong Ki.
Kini, melihat kedua orang guru pemuda ini
nampak marah, Cin Cin semakin merasa kasihan
kepada Siong Ki. Bagaimanapun juga, yang
diserang Siong Ki bukanlah ibunya, melainkan Lie
Koan Tek dan ibunya membela suami, maka
sampai te rluka. Dan penyerangan Siong Ki
te rhadap Lie Koan Tek tidak dapat te rlalu

disalahkan karena pemuda itu mengira bahwa
ayah tirinya yang membunuh ayah pemuda itu.
"Siong Ki, kembalikan pedangku!" terdengar Bu
Giok Cu berkata dan suaranya juga tidak ramah.
De ngan muka pucat Siong Ki mele paskan tali
sarung pedangnya dan menyerahkan pedang Sengkang-kiam (Pedang Baja Bintang) kepada subonya.
Bu Giok Cu tanpa berkata apa-apa, menerima
pedang itu dan mencabutnya dari
sarung, memeriksa pedang itu, kemudian memasukkannya
kembali dan memasangkan di punggungnya sendiri. "Hemm, pedangku kupinjamkan kepadamu sebagal bekal agar engkau dapat melaksanakan
tugasmu dengan baik. Lalu, apa hasilnya selama
engkau pergi ini" Hanya untuk menyerang dan
melukai ibu Cin Cin dan ayah tirinya" Itu saja?"
Tentu saja Siong Ki tidak berani menyinggung
te ntang pekerjaannya membantu pangeran yang
memberontak dan usahanya membunuh kaisar
namun gagal itu. Ia teringat akan tugas yang
diberikan gurunya kepadanya, yaitu mencari puteri
gurunya yang diculik orang belasan tahun yang
lalu. Bahkan ketika Si Hong Lan. puteri Suhunya
itu diculik oleh Kwa Bi Lan, dia yang semestinya
bertanggung jawab, karena ketika itu, dia yang
baru berusia enam tahun yang mengasuh Hong
Lan yang berusia dua tahun.
"Maaf. subo......"
"Lancang! Siapa memberi ijin engkau menyebut
subo kepadaku?" bentak Bu Giok Cu.

"Maaf...... maafkan saya. bibi....... saya sudah
berusaha semampu saya mencari jejak mereka,
akan tetapi belum berhasil."
"Sudahlah," kata Si
Han Beng. "Engkau beristirahatlah, atau boleh menemani Thian Ki dan
Cin Cin. Kami hendak melanjutkan bersamadhi di
kamar dan nanti kalian bertiga boleh makan
malam di ruangan makan, kami tidak ingin
diganggu sebelum hari menjadi gelap." Setelah
berkata demikian, Si Han Beng dan isterinya
meninggalkan taman dan masuk kembali ke dalam
rumah. Karena ia sendiri sedang merasa berbahagia dan
hatinya senang karena baru saja ia dan Thian Ki
sudah saling membuka rahasia hati masingmasing yang saling mencinta, maka hati Cin Cin
menjadi tak tega dan ia sudah dapat memaafkan
Siong Ki sepenuh hatinya. Apalagi melihat betapa
Siong Ki dimarahi oleh kedua orang gurunya,
iapun merasa kasihan. "Tentu engkau disuruh mencari pute ri paman Si
Han Beng yang diculik orang itu, bukan?" tanya
Cin Cin kepada Siong Ki. Pemuda itu menjatuhkan diri di atas bangku
taman dan menghela napas panjang berulangulang. Memang hatinya sedang kesal bukan main.
Usahanya di kota raja gagal, bahkan hampir saja
dia tidak dapat meloloskan diri dari is tana. Dan
diapun belum berhasil mendapatkan pute ri gurunya yang hilang itu. "Me mang nasibku yang buruk. Dahulu, adik
Hong Lan diculik oleh Kwa Bi Lan ketika sedang

kuajak bermain-main di taman ini. Aku baru
berusia enam tahun dan tak berdaya, ditotok oleh
Kwa Bi Lan. Dan sekarang, suhu menugaskan aku
untuk mencari puterinya, akan tetapi aku sama
sekali tidak berhasil menemukan jejak Kwa Bi Lan.
Sudah kutanyakan ke seluruh penjuru, kepada
para tokoh kangouw, namun tidak ada yang dapat
memberitahu dimana adanya Kwa Bi Lan, seolah ia
le nyap ditelan bumi bersama anak yang diculiknya." "Aku yang akan dapat menemukannya, Siong Ki.
Aku dan Thian Ki akan membantu paman dan bibi
menemukan kembali anak mereka," kata Cin Cin.
"Cin Cin, engkau tahu di mana adanya Kwa Bi
Lan yang menculik pute ri suhu?" tanya Siong Ki
heran. "Aku juga belum tahu, akan te tapi dapat
kutanyakan kepada ayah tiriku. Kiranya dia
mengetahui atau dapat menduga di mana adanya
wanita itu kerena Kwa Bi Lan adalah keponakan
ayah tiriku." "Ah, begitukah?" kata Siong Ki gembira "Kalau
begitu, aku yakin bahwa akhirnya engkau dan
Thian Ki yang akan mampu mengembalikan adik Si
Hong Lan kepada suhu!" Kini Siong Ki kelihatan
gembira sekali. Memang hatinya bergembira karena
le ga. Biarpun kedua orang gurunya tidak puas
dengan kegagalannya menemukan Hong Lan, akan
tetapi mereka tidaklah terlalu marah kepadanya.
Dan kini ternyata Cin Cin telah memaafkannya.
Tidak ada sesuatu yang dapat dia khawatirkan lagi.
Peristiwa di istana kerajaan itu tentu tidak akan

diketahui gurunya, dan dia kini te lah aman berada
di rumah gurunya. Karena gembira, maka dia lalu
mengajak Thian Ki dan Cin Cin bercakap-cakap,
saling menceritakan pengalaman masing-masing.
Akan te tapi tentu saja cerita mereka itu terbathas,
hanya yang seperlunya saja diceritakan. Siong Ki
te ntu saja menyimpan rahasia, sedangkan Cin Cin
yang bagaimanapun juga tidak sepenuhnya melupakan perbuatan Siong Ki, juga tidak mau
menceritakan semua keadaan dirinya. Demikian
pula dengan Thian Ki. Sikap Siong Ki yang tadi
te rdengar angkuh itu saja sudah membuat dia



tidak menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada
pemuda ini. Karena dia menghadapi pengobatan yang akan
dilakukan Si Han Beng dan Bu Giok Cu, Thian Ki
berpamit dari kedua orang itu untuk melakukan
samadhi di kamarnya, sebagai persiapan menerima
bantuan pengobatan dari suami isteri pendekar itu
dengan mengumpulkan hawa murni ke dalam
tubuhnya. Cin Cin yang memaklumi keadaan
kekasihnya dan mengharapkan Thian Ki sembuh
atau terbebas dari hawa beracun itu, menyetujui.
Iapun mengajak Siong Ki untuk bercakap-cakap di
dalam taman itu menanti lewatnya siang hari.
Siong Ki memang seorang yang pandai membawa
diri. Dia bersikap sopan dan ramah, bahkan akrab
sekali sehingga semakin menipis kesan buruk atas
diri pemuda itu dalam hati Cin Cin.
"Maafkan aku, Cin Cin, kalau pertanyaanku ini
menyinggung perasaanmu. Kalau engkau tidak
suka menjawab, anggap saja pertanyaanku ini

tidak pernah ada." Dia menghentikan kata-katanya
sambil memandang wajah gadis itu untuk memberi
kesempatan kepada Cin Cin mengambil keputusan.
Cln Cin mengerutkan alis nya. Pemuda aneh,
akan te tapi juga ia merasa te rtarik untuk
mengetahui pertanyaan apa gerangan yang akan
diajukan pemuda itu. "Katakanlah, aku tidak akan te rsinggung, asal
engkau tidak sengaja hendak menyinggung atau
menghinaku." "Cin Cin, aku ingat benar sekarang ketika kita
masih sama-sama menjadi sahabat,
bahkan saudara seperguruan di He k-houw-pang. Ketika
itu, aku ingat bahwa kedua tanganmu masih utuh.
Maaf kan aku.....tangan kirimu....."
Cin Cin tersenyum. Ia merasa heran sendiri
karena semenjak tangan kirinya buntung, setiap
kali ada orang menyinggung te ntang tangan itu, ia
merasa jengkel dan marah, bahkan banyak orang
sudah ia buntungi tangannya hanya karena orang
itu menyinggung te ntang cacatnya itu. Akan tetapi
sekarang, ia sama sekali tidak merasa tersinggung.
Ia tidak tahu bahwa hal itu te rjadi karena
pengakuan cinta dari Thian Ki tadi. Kebencian dan
kemarahannya karena tangannya buntung adalah
kebencian yang timbul karena kekecewaan bahwa
pemuda yang dicintanya yang melakukannya. Kini,
tangannya yang buntung sama sekali tidak
membuat ia menyesal lagi!
"Tangan kiriku ini, Siong Ki?" tanyanya sambil
te rsenyun dan ia mengangkat lengan kirinya yang
buntung sebatas pergelangan tangan. Ujung le ngan

itu terbungkus sutera putih. "Ah, tangan kiriku
dipenggal pedang se hingga buntung...... "
"Ahh! Siapa jahanam yang melakukannya. Cin
Cin" Aku akan membantumu membalas dendam
atas perbuatannya yang kejam itu!"
Senyum di bibir Cin Cin mengembang. "Tidak
perlu, Siong Ki, karena orang yang membuntungi
tangan kiriku adalah Thian Ki sendiri."
"Ehh" Bagaimana pula ini" Kenapa Thian Ki
membuntungi tangan kirimu, padahal kulihat..."
Dia menghentikan ucapannya karena merasa
te rlanjur bicara. "Kami memang saling mencinta dan telah
bersepakat untuk menjadi suami isteri, Siong Ki.
Pembuntungan tanganku ini telah terjadi beberapa
waktu yang lalu." "Tapi.....kenapa" Sungguh aneh kalau dia
mencintamu akan tetapi membuntungi tanganmu!"
"Justeru karena dia mencintaku maka dia
membuntungi tangan kiriku, Siong Ki. Karena
kalau dia tidak melakukan itu, te ntu sekarang aku
sudah tidak berada di dunia lagi, sudah mati."
"Ehh" Kenapa begitu" Apa yang te lah terjadi?"
Tentu saja Siong Ki menjadi semakin penasaran
dan heran. "Panjang ceritanya, Siong Ki," Kata Cin Cin.
"Ketika itu, aku memenuhi permintaan guruku
untuk membunuh guru dan ayah tiri Thian Ki ......
" "Maksudmu Cian Bu Ong?"

"Benar. Cian Bu Ong yang dimusuhi oleh
guruku. Thian Ki hendak melindungi ayah tirinya,
dan aku mencengkeram pundaknya, tidak tahu
bahwa dia seorang tok-jin (manusia beracun)
sehingga tangan kiriku yang mencengkeram itu
bahkan keracunan. Melihat itu Thian Ki cepat
membuntungi tangan kiriku karena kalau tidak,
racun akan menjalar naik dan nyawaku tidak akan
dapat diselamatkan lagi."
"Luar biasa sekali! Kalau tidak mendengar
sendiri darimu, bagaimana aku dapat percaya"
Engkau sudah dibuntungi tangan kirimu oleh
Thian Ki dan sekarang engkau bahkan memilihnya
menjadi calon suamimu!"
"Akan tetapi, dia melakukannya untuk menyelamatkan nyawaku, dan akulah yang mencengkeram pundaknya."
Siong Ki mengangguk-angguk. "Hemm, jadi
Thian Ki adalah seorang manusia beracun"
Mengerikan." "Dia dijadikan tok-tong oleh mendiang neneknya,
ketika dia masih kecil. Hal itu bukan kehendaknya
dan kini justeru dia datang mencari paman Si Han
Beng dan isterinya untuk minta pertolongan
mereka agar suka membantunya membebaskan
dirinya dari pengaruh hawa beracun itu." Cin Cin
membela kekasihnya. Siong Ki mengangguk-angguk. "Dan suhu sudah
menyanggupinya?" "Sudah, paman dan bibi akan berusaha mengobatinya malam nanti, sekarang paman dan

bibi sedang melakukan siu-lian (s amadhi) untuk
menghimpun kekuatan."
Siong Ki berdiam diri sampai lama, alisnya
berkerut. Betapa lihainya Coa Thian Ki. Tubuhnya
mengandung hawa beracun yang amat ampuh!
Bahkan Cin Cin yang demikian lihainya, setelah
mencengkeram Thian Ki, tangannya sendiri keracunan hebat dan kalau tidak dibuntungi, akan
te was! Kalau saja dia yang mempunyai tubuh
beracun seperti itu, alangkah senangnya! Tidak
akan ada yang mampu mengalahkannya, dan dia
akan dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia
ini. Akan tetapi, Thian Ki berusaha keras hendak
melenyapkan pengaruh hawa beracun itu, agar
tubuhnya tidak beracun lagi! Sungguh gila!
Melihat pemuda itu te rmangu dan te rmenung,
Cin Cin tersenyum. "Siong Ki, apa yang kau
pikirkan?" tanyanya.
"Sungguh aku merasa heran bukan main, Cin
Cin. Thian Ki dapat menjadi tok-tong itu sungguh
luar biasa sekali! Belum te ntu seorang anak dari
sejuta orang dapat seberuntung dia. Akan tetapi,
memiliki tubuh yang demikian lihainya, yang dapat
membuat dia menjadi seorang lawan yang sukar
dikalahkan dan amat berbahaya, sepatutnya dia
bahagia dan bangga. Akan tetapi kenapa dia malah
hendak membebaskan dirinya dari hawa beracun
di tubuhnya itu?" Setelah bercakap-cakap dengan Siong Ki, Cin
Cin merasa akrab kembali dengan pemuda yang di
waktu kecilnya adalah teman bermainnya itu,
maka iapun tidak ragu lagi untuk berte rus terang.

"Siong Ki, Thian Ki bukan seorang yang haus akan
kemenangan, tidak ingin menjadi jagoan yang
paling kuat di dunia persilatan. Dia ingin menjadi
manusia biasa, jatuh cinta dan dicinta, kemudian
menikah dan membentuk keluarga. Sedangkan
kalau tubuhnya masih beracun seperti sekarang
ini, dia tidak mungkin dapat menikah."
"Eh, kenapa begitu" Apa salahnya kalau dia
menikah?" "Kalau dia menikah, isterinya akan te was
keracunan," kata Cin Cin singkat. Hampir saja
Siong Ki mengeluarkan suara hatinya dalam katakata bahwa dia tidak akan perduli apakah wanita
yang diperis terinya akan tewas, dia bahkan akan
dapat berganti-ganti isteri, dengan tubuhnya yang
demikian ampuh, apapun akan dapat diraihnya!
Biarpun Siong Ki dapat menahan diri dan tidak
mengucapkan suara hatinya, namun Cin Cin yang
hendak membela kekasihnya, seolah dapat mendengar isi hati Siong Ki dan iapun berkata,
bukan tidak ada kebanggaan te rkandung dalam
suaranya. "Sebetulnya, tanpa diobatipun, Thian Ki
akan dapat membebaskan dirinya dari pengaruh
racun itu kalau ia sudah memperisteri banyak
wanita dan menewaskan mereka. Akan te tapi
Thian Ki bukanlah seorang yang jahat seperti itu.
Dia tidak ingin menyebabkan kematian siapapun,
apalagi kematian seorang wanita yang menjadi
isterinya. Dia akan berupaya agar tubuhnya bebas
dari pengaruh hawa beracun, barulah dia mau
menikah. Kalau usahanya itu gagal, dia le bih
senang selama hidupnya tidak menikah dan tidak
menewaskan siapapun yang tidak berdosa."

Siong Ki hanya mengangguk-angguk, a kan tetapi
di dalam hatinya dia mencela Thian Ki sebagai
seorang yang bodoh sekali. Cin Cin lalu meninggalkan pemuda itu untuk pergi mandi
karena hari telah sore. Siong Ki ditinggalkan
seorang diri dalam lamunannya. Betapa jauh
perbedaannya sekarang setelah dia kembali ke
rumah gurunya. Dahulu, sebelum dia pergi, dia
merasa bahwa tempat itu seperti te mpat tinggalnya
sendiri. Dia merasa betah dan senang tinggal di
situ, senang membantu kedua orang gurunya
bekerja di sawah ladang sebagai petani atau naik
perahu mencari ikan di sungai. Akan tetapi
sekarang, setelah mengalami banyak peristiwa
dalam perantauannya, dia merasa betapa tidak
menyenangkan hidup di dusun yang sunyi itu.
Tidak ada keramaian, tidak ada kemewahan, tidak
ada kesenangan sama sekali!
Terutama sekali setelah dia mengalami kemesraan dengan mendiang Bi Tok Siocia Ouw
Ling, kini dia merasa kehilangan sesuatu dalam
hidupnya. Bagaikan seseorang yang mulai ketagihan candu, dia merasa tidak sanggup hidup
bersunyi diri jauh dari seorang teman wanita!
Setiap kali dia membayangkan kemesraan
dengan Ouw Ling, timbul desakan gairah yang
membuat dia menderita sekali, bagaikan seorang
kelaparan dan mulailah timbul pikiran bermacammacam untuk dapat melampias kan dorongan
gairahnya yang berkobar. Hati akal pikiran
merupakan te mpat yang amat penting bagi nafsu,
karenanya nafsu bersarang di sana. Hati akal
pikiran kita sudah bergelimang dengan nafsu, oleh




karena itu apapun yang kita pikirkan, selalu
diboncengi nafsu yang selalu mendesak untuk
dipenuhi tujuannya, yaitu kesenangan. Segala
macam perasaan, senang susah, iri benci dengki
timbul melalui pikiran yang mengenang atau
membayangkan segala peristiwa yang lalu atau
yang akan datang. Batin tidak akan diguncang
gelombang perasaan itu kalau pikiran tidak
mengenang atau membayangkan. Segala macam
perasaan senang, susah, marah, benci dan
sebagainya itu tidak akan timbul ketika kita
sedang tidur atau pingsan, karena pikiran tidak
bekerja. Itulah sebabnya mengapa para arif
bijaksana sejak jaman dahulu mengatakan bahwa
musuh kita yang paling berbahaya adalah pikiran
sendiri, karena pikiran kita sendirilah sumber
segala kesengsaraan batin. Tak dapat disangkal.
Dari pikiran timbulnya se gala macam perasaan itu,
akan te tapi pikiran pula merupakan alat kita yang
te rpenting. Hati akal pikiran inilah yang membuat
kita menjadi manusia, berbeda dengan mahluk
lain. Kalau harimau mempertahankan hidupnya
dengan cakar dan taringnya, kita mempertahankan
hidup dengan hati akal pikiran kita.
Karena hati akal pikiran yang memegang
peranan utama dalam kehidupan kita. maka nafsu
menjadikan sebagai sarangnya. Kalau tadinya hati
akal pikiran disertakan kita untuk dipergunakan
memenuhi kebutuhan hidup kita, oleh nafsu
diubah menjadi alat untuk mengejar kesenangan.
Pengejaran kesenangan inilah yang menimbulkan
semua konflik, semua pertentangan, dimulai dari
perte ntangan dalam batin sendiri, lalu tercurah

keluar menjadi pertentangan antara manusia,
antara golongan, antara bangsa.
"Sungguh tolol Thian Ki!" Siong Ki memaki dalam
hatinya. Kalau saja dia yang menjadi tok-tong! Dan
ada jalan yang lebih menyenangkan untuk membebaskan diri dari pengaruh hawa beracun,
walaupun keinginan inipun gila, kenapa memilih
cara yang le bih sukar dan tidak menyenangkan"
Kalau dia, tentu akan memilih cara yang
menyenangkan itu, membuang hawa beracun itu
melalui kesenangan menggauli wanita. Berapa
banyaknya wanita yang akan te was menjadi
korban keracunan, apa salahnya" Bukan sengaja
membunuh, melainkan suatu cara pengobatan.
Siong Ki lalu memasuki kamarnya di samping.
Dia merasa berte rima kasih juga bahwa suhunya 
dan subonya tidak te rlalu memarahinya, bahkan
kamarnyapun masih te rawat bersih, juga tidak
diberikan kepada Thian Ki sebagai tamu yang
menempati kamar tamu di belakang, sedangkan
Cin Cin diberi kamar yang selalu dirawat akan
tetapi tidak pernah dipakai, yaitu kamar yang
dipersiapkan kalau-kalau pute ri suhunya pulang.!
-ooo0dw0ooo- Mereka semua makan malam bersama karena
ketika Si Han Beng dan Bu Giok Cu keluar dari
kamar, tiga orang muda itu belum makan, masih
menanti mereka. Wajah suami isteri pendekar itu
nampak kemerahan dan bercahaya, menunjukkan
bahwa saat itu tenaga sakti mereka terkumpul dan
mereka berada dalam keadaan yang amat kuat.

Mereka berlima makan malam tanpa banyak
cakap. Setelah selesai makan malam, kembali
suami isteri itu memasuki kamar mereka dan baru
beberapa jam kemudian mereka keluar dan
mengajak Thian Ki ke dalam ruangan kosong di
samping kiri rumah itu, sebuah ruangan yang juga
dipergunakan untuk berlatih silat. Ruangan itu
bersih dan udaranya segar karena terdapat banyak
je ndela dan pintu angin yang menembus ke taman.
Siong Ki pamit kepada gurunya untuk berkunjung kepada kenalan-kenalan di dusun itu,
dan Cin Cin ikut pula memasuki ruangan itu,
mempersiapkan diri kalau-kalau kedua suami
isteri itu dalam mengobati Thian Ki membutuhkan
bantuannya. Si Han Beng menyuruh Thian Ki duduk bersila
di atas lantai. Dia sendiri duduk di depan pemuda
itu dan isterinya duduk bersila pula di belakang
Thian Ki. "Thian Ki, apa saja yang telah kaupelajari dari
mendiang nenekmu untuk menguasai
hawa beracun dari tubuhmu itu. Ceritakan sejelasnya."
"Paman, sebelum nenek menggemble ngku selama hampir dua tahun, aku tidak dapat
menguasai hawa beracun yang liar, sehingga setiap
kali menggerakkan kaki tangan, te ntu hawa
beracun itu bekerja dan aku bahkan tidak berani
berlatih silat dengan sumoi karena takut kalaukalau hawa beracun bekerja
mencelakainya. Selama hampir dua tahun, mendiang nenek
melatihku cara untuk menguasai hawa beracun itu
dan akhirnya aku berhasil mengendalikannya.

Tanpa pengerahan sin-kang tertentu, hawa beracun itu tidak akan melukai orang. A kan tetapi,
paman, hal itu tidak berarti bahwa aku telah bebas
dari hawa beracun itu. Kalau ada yang menyerangku dengan tangan kosong,
secara otomatis, diluar kemampuanku untuk mencegahnya, hawa beracun itu bekerja, seperti
yang terjadi pada Cin Cin."
Si Han Beng mengangguk-angguk, lalu menyuruh pemuda itu membuka bajunya. Kini
Thian Ki bertelanjang dada. "Sekarang coba
kerahkan sin-kang yang dapat menggerakkan hawa
beracun pada tubuhmu."
Thian Ki mengerutkan alisnya. "Harap paman
dan bibi jangan menyentuh tubuhku, apalagi
menekan," pesannya. Suami isteri itu agak
menjauh, kemudian Thian Ki mengerahkan sinkangnya. Cin Cin te rbelalak melihat betapa dari
tubuh Thian Ki mengepul uap hitam dan tiba-tiba
ia merasa kepalanya pening. Melihat Si Han Beng
dan Bu Giok Cu menyalurkan sin-kang, Cin Cin
juga cepat mengerahkan tenaga menyalurkan sinkang untuk menolak pengaruh hawa beracun yang
seolah memenuhi ruangan itu.
"Cukup, Thian Ki." kata Si Han Beng.
Thian Ki menghentikan pengerahan sin-kangnya
dan uap hitam itupun makin menipis dan akhirnya
menghilang. "Berbahaya sekali!" Bu Giok Cu berseru sambi
memandang kagum. ♤
"Me ndiang nenekmu memang ahli racun yang
hebat dan ia telah berhasil membuat engkau
seperti yang dikehendakinya, Thian Ki. Aku te lah
melihat ilmu silatmu ketika engkau menandingi
Tung-hai Mo-li, dan aku percaya bahwa dengan
hawa beracun di tubuhmu itu, kalau engkau
menghendaki dan mempergunakannya, kiranya
tidak ada seorangpun tokoh persilatan yang akan
mampu mengalahkanmu. Bahkan mereka te rancam maut keracunan."
"Maaf, paman dan bibi. Aku tidak ingin menjadi
manusia beracun seperti itu. Aku ingin menjadi
manusia biasa, berkeluarga, mempunyai keturunan. Maka, aku mohon dengan sangat,
sudilah paman dan bibi menolongku."
"Kami akan berusaha, Thian Ki. Akan tetapi
kurasa tidak akan mudah, melihat betapa hebatnya hawa beracun di tubuhmu tadi. Sekarang, kami akan mencoba dulu dan ingin
mengetahui, racun macam bagaimana yang membuatmu menjadi tok-tong. Aku dan bibimu
akan mempergunakan sin-kang untuk menepukmu
dari depan dan belakang. Engkau kendalikan hawa
beracun itu dan pergunakan kekuatan itu untuk
menolak...... " "Tapi itu berbahaya sekali bagi paman dan bibi!
Tidak, aku tidak berani......"
"Thian Ki, jangan membantah pamanmu," kata
Bu Giok Cu dengan nada menegur. "Dan jangan
pandang rendah kepada kami. Kami akan menggunakan sin-kang melindungi diri dari hawa
beracun." ♤
"Benar, Thian Ki, asal engkau tidak mengerahkan seluruh hawa beracun itu, kami
tidak akan te rancam bahaya. Kami hanya ingin
menguji dan mengetahui kekuatannya, baru akan
dapat menentukan dengan cara bagaimana membantumu." "Baiklah, paman.....akan te tapi, harap paman
dan bibi berhati-hati. Kalau sampai paman dan
bibi keracunan, selama hidup aku tidak akan
dapat memaafkan diriku sendiri."
Mendengar ini, Cin Cin tidak tahan untuk
tinggal diam saja. Kekasihnya perlu didukung dan
dibesarkan hatinya. "Thian Ki, kenapa engkau
masih banyak ragu" Paman Si Han Beng dan bibi
Bu Giok Cu yang memerintahkan, engkau hanya
tinggal menurut saja. Kalau te rjadi apapun, siapa
yang akan menyalahkanmu" Juga, mereka adalah
sepasang pendekar yang berilmu tinggi, tidak dapat
disamakan dengan orang-orang yang pernah te was
oleh hawa beracun di tubuhmu."
Mendengar ucapan kekasihnya itu, agak berkurang kekhawatiran hati Thian Ki. "Baiklah,
paman dan bibi. Aku sudah siap."
Si Han Beng saling pandang dengan is terinya.
Memang mereka sudah membicarakan tentang
usaha penyembuhan itu dan sudah mengatur
sebelumnya sehingga kini keduanya sudah tahu
apa yang akan mereka lakukan. "Thian Ki,
sambutlah, kami menyerang kedua pundakmu
dengan tamparan ringan."
Suami is teri itu bergerak secara berbareng, Si
Han Beng yang berada di depan Thian Ki menepuk

pundak kirinya dengan tangan kanan sambil
mengerahkan sinkang yang berhawa dingin, sebaliknya isterinya, Bu Giok Cu, menampar
pundak kanan Thian Ki dengan tangan kanan
sambil mengerahkan sin-kang yang berhawa
panas. Gerakan mereka cepat dan dari telapak
tangan mereka sudah menyambar hawa yang
dingin dan panas ke arah kedua pundak Thian Ki.
Pemuda itu mengendalikan hawa beracun di
tubuhnya dan menyalurkannya ke pundak, namun
te ntu saja dia berhati-hati dan hanya mempergunakan sebagian kecil saja dari tenaganya
yang mematikan itu. "Plak! Plak!" Thian Ki merasa betapa pundak
kirinya te rgetar oleh hawa yang amat dingin,
sedangkan pundak kanannya diguncang hawa
panas. Ketika kedua tangan itu
menampar pundaknya, kedua tangan te rpental ole h tenaga
dari hawa beracun dan suami isteri itu cepat sudah
menarik kembali tangan mereka. Thian Ki melihat
betapa telapak tangan kanan Si Han Beng
berwarna Hitam! Tanpa menengokpun dia dapat
menduga bahwa te ntu tangan Bu Giok Cu sama
juga, keracunan. "Paman.......! Bibi.......!" serunya kaget.
Akan tetapi, ketika dia dalam keadaan duduk
bersila itu meloncat ke samping, berdiri dan
memandang kepada dua orang suami isteri yang
kini duduk bersila saling berhadapan karena tidak
lagi terhalang dirinya,



dia melihat mereka memejamkan mata dan membuat gerakan "Satu
Tangan Menyangga Langit" dan dari te lapak tangan

mereka itu mengepul uap hitam. Hanya beberapa
menit saja mereka mengerahkan sin-kang dan
semua warna hitam itu lenyap dari tangan mereka
tadi. Cin Cin memandang kagum bukan main, juga
Thian Ki tertegun dengan hati yang le ga bukan
main. Tadi dia sudah terkejut dan khawatir bukan
main melihat betapa tangan suami isteri pendekar
itu menjadi hitam setelah menepuk pundaknya.
Akan te tapi ternyata mereka memiliki kekuatan
sin-kang yang dahsyat, yang mampu mengusir
hawa beracun itu dari tangan mereka. Giranglah
hatinya dan dia merasa yakin bahwa suami isteri
inilah yang akan mampu menolongnya, membebaskan dirinya dari hawa beracun.
"Paman dan bibi sungguh hebat!" serunya dan
diapun bersila kembali di tengah antara suami
isteri itu. Akan te tapi suami isteri itu saling pandang dan
Si Han Beng menghela napas. "Thian Ki, mendiang
nenekmu yang telah membuat e ngkau menjadi toktong memang seorang yang amat lihai dalam hal
racun, dan tidak ada duanya di dunia kang-ouw.
Racun di tubuhmu amatlah hebatnya, bergerak
otomatis, mengimbangi keadaan sin-kang lawan
yang menyerangmu. Tadi aku mempergunakan sinkang berhawa dingin, sedangkan bibimu menggunakan sin-kang berhawa panas, akan
tetapi akibatnya sama saja, kami berdua keracunan. Kami akan berusaha, akan tetapi
jangan terlalu memastikan bahwa kami akan
berhasil sepenuhnya. Nah, sekarang kendurkan
semua urat syarafmu, sedikitpun jangan melawan

te naga kami. Kami akan membantumu mendorong
keluar hawa beracun dari tubuhmu."
"Baik, paman," kata Thian Ki dengan pasrah.
Kini suami isteri itu menjulurkan kedua tangan
dite mpelkan ke dada dan punggung Thian Ki.
Mereka mengerahkan tenaga sin-kang, perlahanlahan, makin lama semakin kuat. Thian Ki merasa
betapa hawa yang hangat menyusup ke dalam
tubuhnya. Perlahan-lahan, uap hitam mengepul
keluar dari tubuhnya, te rutama dari mulut dan
hidungnya. Dia merasa pening dan ada dorongan
untuk menentang, untuk melawan dua te naga
sakti yang menyusup ke dalam tubuhnya itu. Dia
maklum bahwa sekali dia menuruti dorongan ini,
suami isteri itu akan terancam bahaya maut. Oleh
karena itu, dia menekan dorongan itu yang
semakin kuat saja sehingga dia harus menggigit
giginya. Peluh membasahi seluruh tubuhnya yang
te rgetar hebat karena ada perang dalam dirinya
sendiri. Kesadarannya menuntut agar dia te tap
mengendurkan seluruh urat syaraf di tubuhnya,
meniadakan bentuk perlawanan sedikitpun, akan
tetapi dilain pihak, ada suatu keinginan kuat yang
mendorongnya untuk melakukan perlawanan. Dia
merasa kepalanya pening, tubuhnya sebentar
panas sebentar dingin. Cin Cin memandang dan te rtegun, penuh
kekaguman, juga penuh kekhawatiran te rhadap
kekasihnya dan kedua suami isteri itu. Ia maklum
bahwa cara pengobatan itu amat berbahaya, baik
bagi yang diobati maupun bagi yang mengobati.
Akan te tapi ia tidak berdaya mencampuri, dan
hanya dapat memandang dengan te rpukau, seperti

patung, bernapaspun ditahannya agar jangan
banyak menimbulkan suara. Akan te tapi diamdiam ia harus mengerahkan tenaganya pula karena
uap hitam yang keluar dari tubuh Thian Ki
membuatnya pening. Bahkan akhirnya ia tidak
tahan lagi dan keluar dari ruangan itu, hanya
menonton dari luar, dimana udaranya jernih.
Kurang le bih setengah jam suami isteri itu
mengerahkan sin-kang untuk membantu Thian Ki
te rbebas dari hawa beracun. Akhirnya Bu Giok Cu
mengeluh dan melepaskan kedua tangannya,
disusul oleh suaminya. Suami isteri itu masih
bersila, memejamkan mata dan nampak le mas.
Mereka kini duduk diam dan menghimpun hawa
murni. Bukan han ya suami is teri itu yang
kehabis an tenaga, juga Thian Ki nampak pucat dan
le mas, seluruh tubuhnya penuh keringat. Diapun
masih duduk bersila dan tidak ada lagi uap hitam
mengepul dari tubuhnya! Dia juga harus mengimpun hawa murni untuk memulihkan
te naganya yang bagaikan te rsedot keluar bersama
uap hitam tadi. Dia merasa le mah lunglai,
kepalanya tetap pening. Melihat tidak ada uap hitam lagi mengepul dari
tubuh Thian Ki, Cin Cin berani memasuki ruangan
itu dan mendekati mereka. Hatinya berdebar girang
karena ia mengira bahwa tentu kekasihnya
sekarang telah terbebas dari hawa beracun itu.
Iapun memandang dengan penuh kagum dan
juga te rharu kepada suami isteri yang gagah
perkasa itu. Mereka telah mempertaruhkan keselamatan sendiri, bahkan kini kehabisan tenaga

untuk menolong Thian Ki. Betapa mulia budi
suami iste ri pendekar itu.
Si Han Beng membuka matanya dan menghela
napas panjang. Agaknya helaan napas itu menyadarkan pula is terinya yang membuka mata.
Suami isteri itupun seperti Thian Ki, agak pucat
dan kelihatan lelah bukan main.
"Bukan main......!" Bu Giok Cu berkata sambil
menggeleng-geleng kepala kagum memandang kepada Thian Ki yang masih bersila di depannya,
membelakanginya. Thian Ki membuka matanya, kemudian menggeser duduknya ke belakang, menghadapi
suami isteri itu dan dia berlutut kepada mereka.
"Terima kasih paman dan bibi. Budi paman dan
bibi takkan kulupakan selama hidupku."
"Aih, Thian Ki, jangan perkata begitu." kata Si
Han Beng. "Kami bahkan merasa menyesal bahwa
kami te lah gagal membersihkan hawa beracun dari
tubuhmu, mungkin hanya beberapa bagian saja.
Hawa itu te rlampau kuat."
Thian Ki maklum karena dia juga merasa bahwa
hawa beracun di tubuhnya belum bersih, baru
sebagian saja yang terusir pergi. Mungkin hanya
mengurangi keampuhannya saja sehingga kalau
tubuhnya dipukul orang, si pemukul itu hanya
te rkena racun yang tidak begitu berbahaya lagi.
Namun, tetap saja tubuhnya masih mengandung
racun dan hal ini tidak memungkinkannya untuk
menikah. ♤
"Kurasa hawa beracun itu telah membuat
darahmu juga beracun, Thian Ki, harus ditemukan
obat untuk mencuci darahmu." kata Bu Giok Cu.
Karena pekerjaan itu amat melelahkan, menguras habis tenaga suami isteri itu dan Thian
Ki, maka mereka bertiga lalu kembali ke kamarmasing masing untuk beristirahat dan menghimpun hawa murni untuk memulihkan
te naga. Malam itu Cin Cin gelisah di dalam
kamarnya. Ia tak dapat tidur nyenyak karena
selalu te ringat akan kekasihnya, Coa Thian Ki. Ia
maklum bahwa kekasihnya itu belum te rbebas
sama sekali dari hawa beracun, seperti yang
didengarnya dari percakapan dengan suami isteri
tadi seusai pengobatan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Cin
sudah bangun, mencuci badan lalu memasuki
taman untuk mencari udara segar karena tubuhnya te rasa agak le su karena kurang tidur.
Ternyata ia mendapatkan Thian Ki sudah berada di
taman, berlatih silat! Pemuda itu nampak berlatih silat tangan kosong,
gerakannya gesit dan mantap sekali, pukulan
kedua tangannya mendatangkan angin. Memang
hebat ilmu tangan kosong pemuda ini. Dia telah
menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh bekas
pangeran Cian Bu Ong, juga dia telah mewarisi
ilmu-ilmu yang diajarkan oleh ibunya dan
neneknya. Kini dia memainkan ilmu silat tangan
kosong yang diajarkan gurunya atau ayah tirinya,
yaitu Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti).
Ge rakannya gagah sekali, kedua tangan dibuka,

jari-jari membentuk cakar naga. Agaknya te naga
Thian Ki sudah pulih kembali. Ketika pemuda itu
mengakhiri ilmu silatnya, dia mengangkat kedua
tangan yang membentuk cakar naga itu ke atas,
mengerahkan te naga saktinya dan kedua tangannya berubah kehitaman sampai sebatas
pergelangan dan ada uap hitam mengepul dari jari
jari tangannya. Dia menghentikan gerakannya,
kedua le ngannya te rgantung lemas dan lunglai
seolah kehabisan tenaga dan dia menundukkan
mukanya yang nampak kecewa.
"Thian Ki.....!" Cin Cin menghampiri.
Thian Ki yang agaknya berada dalam keadaan
berduka itu sadar dari lamunannya dan dia
mengangkat mukanya, dan sebentar saja wajahnya
telah berseri kembali. "Eh, sepagi ini engkau sudah bangun, Cin Cin?"
"Engkau malah sudah berlatih silat, Thian Ki.
Bagaimana dengan hawa beracun di tubuhmu?"
Cin Cin berpura-pura mengajukan pertanyaan ini,
padahal tadi ia melihat sendiri bahwa kedua
tangan itu masih berwarna hitam ketika Thian Ki
mengerahkan tenaga sin-kang.
Thian Ki tersenyum. "Berkat bantuan paman
dan bibi, sudah banyak berkurang hawa beracun
itu." "Thian Ki, kepadaku engkau tidak perlu menyembunyikan. Berterus-teranglah saja bahwa
hawa beracun itu belum hilang dan engkau belum
te rbebas, bukan" Aku semalam sudah mendengar





ucapan Paman Si Han Beng, juga tadi aku melihat
kedua tanganmu berubah hitam."
Thian Ki menghela napas lalu duduk di atas
bangku. Cin Cin juga duduk di sampingnya.
"Engkau benar, Cin Cin. Memang sudah banyak
hawa beracun yang keluar, akan tetapi itu bukan
berarti bahwa aku te lah bebas sama sekali.
Bias anya, kalau aku mengerahkan te naga seperti
tadi, mengendalikan hawa beracun itu ke arah
le ngan, tanganku menghitam dari jari tangan
sampai ke s iku. Sekarang masih menghitam, akan
tetapi hanya sampai di pergelangan tangan saja
dan ini berarti bahwa biarpun sudah berkurang,
akan tetapi belum bersih betul. Benar seperti yang
dikatakan bibi Bu Giok Cu, hawa beracun te lah
membuat darahku beracun, maka kalau hanya
dengan dorongan sin-kang saja, tidak mungkin
dapat dibersihkan. Darah yang beracun itu akan
menambah kekuatan hawa beracun lagi, maka
haruslah dite mukan obat yang dapat membersihkan darahku dari racun. Cin Cin,
kebetulan sekali kita dapat bicara berdua. Setelah
aku melihat keadaan diriku, kurasa belum
te rlambat bagimu untuk menjauhkan diri dariku,
Cin Cin." kalimat terakhir ini diucapkan dengan
suara gemetar. Cin Cin terbelalak memandang wajah pemuda
itu. "Thian Ki, apa maksud ucapanmu ini"
Jelaskan!" Ia nampak marah.
Sejenak mereka saling pandang dan Thian Ki
yang le bih dulu menundukkan pandang matanya.
"Cin Cin, agaknya keadaan diriku ini tidak dapat

dipulihkan, tidak dapat disembuhkan dan aku
akan menjadi orang beracun selamanya......"
"Aih, kenapa engkau mendadak menjadi begini
cengeng dan le mah, Thian Ki" Ini tidak pantas
bagimu. Engkau tidak boleh putus asa!" Kata Cin
Cin bersemangat. "Aku tidak putus asa, Cin Cin, aku akan te tap
berusaha sampai aku berhasil menemukan obatnya. Akan tetapi, aku tidak berhak mengikatmu, Cin Cin. Kita memang saling mencinta, akan tetapi dengan keadaanku seperti
ini, bagaimana mungkin" Aku tidak ingin melihat
engkau kelak kecewa dan sengsara karena aku
tidak berhasil sembuh. Maka, sebelum terlambat,
sebelum ikatan di antara kita semakin kuat,
sebaiknya kalau engkau meninggalkan aku.
Engkau berhak hidup berbahagia, dengan calon
jodoh lain yang normal, bukan manusia beracun
seperti aku." Sejenak Cin Cin mengamati wajah pemuda itu
dengan kaget, heran dan tidak percaya, kemudian
ia menangis. "Cin Cin, kenapa" Kenapa engkau menangis........?" Cin Cin mengusap air matanya, matanya
mencorong marah. "Thian Ki, engkau sungguh
kejam! Tega benar engkau menikam hatiku dengan
ucapanmu itu. Kaukira aku ini seorang wanita
macam apa, begitu dangkal cintanya, begitu palsu
dan mementingkan diri sendiri" Thian Ki, aku
mencintamu dengan setulus hatiku, apa dan
bagaimana keadaanmu, aku akan te tap ♤
mencintamu. Andaikata kita kelak tidak dapat
menikah, aku bersedia hidup sebagai sahabat
selamanya, dan aku akan tetap mencintamu.
Andaikata kelak kita menikah dan aku mati
keracunan, akupun tidak akan menyalahkanmu
dan aku rela, aku akan te tap mencintamu. Dan
engkau sekarang.........engkau menganjurkan agar
aku meninggalkanmu?" Gadis itu menangis lagi.
Thian Ki merasa te rharu dan juga berbahagia
sekali. Ternyata cinta gadis ini kepadanya
membesarkan hatinya. Diapun memegang tangan
kanan gadis itu dan berkata dengan sungguhsungguh. "Cin Cin, maafkan aku. Sungguh mati,
aku mengeluarkan kata-kata itu demi cintaku
kepadamu, karena aku tidak ingin melihat engkau
menderita. Biarlah aku sendiri yang menderita
akan te tapi jangan engkau, orang yang paling
kusayang di dunia ini, ikut pula menderita karena
keadaan tubuhku. Maafkan aku, Cin Cin, kini aku
semakin yakin bahwa dengan engkau disampingku, aku akan menghadapi apapun juga
dengan tabah. Biarlah kita hadapi bersama, suka
sama dinikmati, duka sama ditanggung."
Cin Cin menghentikan tangisnya dan ketika
Thian Ki merangkulnya, ia berbis ik di dekat telinga
pemuda itu. "Thian Ki, bagiku, penderitaan di
sampingmu merupakan suatu kebahagiaan, sebaliknya, kebahagiaan tanpa engkau akan
merupakan penderitaan."
Thian Ki semakin terharu. De ngan lembut dia
memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya
untuk dapat melihat wajahnya dan sambil menatap

wajah itu dengan sinar mata yang penuh kasih
sayang, diapun berkata lirih. "Cin Cin, demi Tuhan
cinta kasihmu yang begini tulus dan mendalam
tidak akan sia-sia, tidak akan sia-sia......... "
"Aku tahu, Thian Ki, kita saling mengetahui isi
hati masing-masing dan semoga Tuhan melindungi
kita. Sekarang, apa yang akan kita lakukan
selanjutnya?" "Aku ingin memenuhi pesan guruku, juga ayah
tiriku, yaitu mendapatkan pedang pusakanya yang
berada di gudang pusaka kerajaan. Aku harus
melakukan itu, dan harus berhasil, untuk membalas segala budi kebaikannya kepadaku dan
kepada ibuku. Setelah berhasil, aku akan memperkenalkan engkau kepada ibuku dan ayah
tiriku, dan mengakui kepada mereka bahwa
engkau adalah calon is teriku." Berkata sampai di
situ Thian Ki tertegun. Baru dia teringat bahwa
ayah tirinya telah menjodohkan dia dengan Cian
Kui Eng! Dan terkenang dia kepada sumoinya atau
juga adik tirinya itu bahwa Kui Eng juga
mencintanya, bukan sebagai adik kepada kakak,
melainkan sebagai seorang wanita kepada seorang
pria. Sejenak dia menjadi gelisah akan tetapi
segera terhapus kegelisahan itu begitu dia menatap
wajah kekasihnya. "Engkau kenapa, Thian Ki?" tanya Cin Cin yang
melihat perubahan sejenak tadi pada wajah
kekasihnya. "Tidak apa-apa, aku hanya te ringat bahwa aku
mempunyai sebuah tugas lagi yang harus ♤
kulakukan, demi membalas budi kebaikan paman
Si Han Beng dan bibi Bu Giok Cu."
"Aku tahu, mencari dan membawa kembali
pute ri nereka, bukan?" Cin Cin memotong, "aku
akan membantumu sekuat tenagaku, Thian Ki."
Pada saat itu, te rdengar suara ribut-ribut dari
depan rumah dan dis usul s uara beradunya senjata
tajam yang nyaring. Tentu saja Thian Ki dan Cin
Cin terkejut sekali dan mereka berloncatan dan
berlari keluar dari taman menuju ke pekarangan
luar. Dan di sana, mereka melihat dua orang
sedang berkelahi dengan seru dan mati-matian.
Setelah dekat, mereka mengenal Siong Ki yang
sedang berkelahi dengan seorang pemuda yang
bertubuh kecil, berwajah tampan sekali dan
gerakan pedangnya je las menunjukkan bahwa
orang ini memiliki dasar ilmu silat Siauw-lim-pai.
Namun, sekali pandang saja tahulah Cin Cin dan
Thian Ki, bahwa pemuda tampan itu tidak akan
dapat menandingi Siong Ki yang jauh le bih unggul
ilmu pedangnya, sehingga kini pemuda itu te rdesak
oleh sinar pedang yang dimainkan Siong Ki.
Namun, pemuda itu nampaknya bertekad untuk
menyerang mati-matian, sehingga Thian Ki khawatir kalau-kalau Siong Ki akan lupa diri dan
membunuh orang. "Tahan senjata......!!" te riaknya dan diapun
meloncat ke depan, ke tengah-tengah medan
pertandingan. Mendengar angin yang dahsyat
menyambar, pemuda itu te rkejut dan melompat
mundur. De mikian pula Siong Ki juga menahan

pedangnya ketika melihat munculnya Thian Ki dan
Cin Cin. "Sabarlah, Siong Ki dan engkau juga, sobat.
Kalau ada persoalan dapat dibicarakan dan
didamaikan. Kenapa kalian sepagi ini sudah saling
serang mati-matian seperti itu" Siong Ki, siapakah
sobat ini dan mengapa kalian bertanding matimatian?" tanya Thian Ki.
Siong Ki mengamati pemuda di depannya itu
dengan alis berkerut dan sinar mata marah dan
penas aran. "Orang sinting ini datang ingin bertemu
dengan suhu dan subo dengan nada suara yang
merendahkan, ketika kuberitahu bahwa suhu dan
subo masih tidur, tiba-tiba saja ia menyerangku
dan hendak membunuhku."
"Jahanam keparat, memang aku akan membunuhmu!" bentak pemuda itu dan dia sudah
hendak menyerang lagi. Dari cara dia bicara, dari
sikapnya, Thian Ki merasa bahwa pemuda ini
bukanlah orang kangouw biasa saja. Kata-katanya,
walaupun sedang marah dan merupakan makian,
tetap saja menggunakan kata-kata yang halus,
dengan pengucapan yang te ratur, seperti seorang
bangsawan! "Tahan dulu, sobat," katanya sambil memberi
hormat kepada pemuda itu dengan merangkapkan
kedua tangan depan dada. "Agaknya terjadi
kesalah pahaman di sini. Tahukah engkau siapa
pemuda ini?" Thian Ki menuding ke arah Siong Ki.
"Dia adalah The Siong Ki, murid dari paman Si Han
Beng yang berjuluk Huang-ho-Sin-liong (Naga Sakti
Sungai Kuning)..........."

"Kalau begitu, Huang-ho Sing-liong adalah
seorang jahat yang memiliki murid jahat!" pemuda
itu membentak marah.



"Orang gila!" Siong Ki sudah marah lagi, akan
tetapi sebelum dia melakukan sesuatu, te rdengar
suara dari dalam rumah. "Siapakah yang mengatakan bahwa kami jahat?"
Dan Si Han Beng bersama isterinya telah muncul
dari pintu depan. Suami is te ri ini masih nampak
agak pucat dan lemah, tanda bahwa mereka belum
dapat memulihkan tenaga yang malam tadi
te rkuras habis ketika mereka mencoba untuk
mengobati Thian Ki. "Apa yang te rjadi di sini?" tanya Bu Giok Cu
melihat muridnya berdiri dengan sebatang pedang
di tangan, berhadapan dengan seorang pemuda
tampan yang kelihatan marah-marah dan yang
juga memegang sebatang pedang di tangannya.
"Paman dan bibi, agaknya te rjadi kesalah
pahaman antara Siong Ki dan tamu ini," kata
Thian Ki. "Siong Ki, apa yang te rjadi?" tanya Si Han Beng
dengan suara te gas karena guru ini masih merasa
kecewa melihat muridnya pulang tanpa hasil
mencari pute rinya, bahkan te lah melukai ibu Cin
Cin. "Suhu, teecu sendiri tidak mengerti. Orang ini
tadi muncul di pekarangan dan te ecu segera
menemuinya dan menanyakan maksud kunjungannya. Dia hendak bertemu dengan suhu
dan subo, dan ucapannya terdengar kasar, bahkan

tidak menghormati suhu dan subo. Teecu menjawab bahwa suhu dan subo masih belum
bangun dari tidur dan menyuruh dia pergi agar
tidak mengganggu, karena sikap dan kata-katanya
yang tidak menghormat. Eh, tiba-tiba dia mencabut pedang dan menyerang teecu, bukan
sekedar menguji kepandaian, melainkan dengan
sungguh-sungguh akan membunuh te ecu."
Mendengar laporan muridnya itu, Si Han Beng
memandang penuh perhatian kepada tamunya,
dan Bu Giok Cu sudah tidak sabar lagi. "Orang
muda, engkau masih muda dan tampan, kenapa
begini pemarah" Setidaknya, jelaskan dulu kenapa
engkau hendak membunuhnya dan apa pula
keperluanmu mencari kami berdua."
Pemuda itu menatap wajah Si Han Beng dan Bu
Giok Cu bergantian, kemudian, dengan suara
mengandung kemarahan dia berkata, "Aku harus
membunuh jahanam busuk ini! Apalagi setelah
te rnyata dia ini murid Huang-ho Sing-liong Si Han
Beng, dia harus mati di tanganku! Kalau kalian
suami isteri hendak membelanya, boleh! Biar aku
mendapat kenyataan bahwa nama besar Huang-ho
Sin-liong hanyalah nama kosong belaka, dia bukan
seorang pendekar budiman yang bijaksana, melainkan seorang yang pengecut, tidak bertanggung-jawab, juga mempunyai murid yang
jahat, pengkhianat dan pemberontak


Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN