NAGA BERACUN JILID 26

close

Keripik pisang paling enak

  "Engkau te ntu tahu bahwa aku tidak sengaja
membuntungi tanganmu, melainkan untuk mencegah engkau mati keracunan, dan sekarangpun aku bukan datang sengaja membantumu. Akan te tapi, kalau engkau merasa
sakit hati, kalau engkau tetap menganggap aku
bersalah, akupun rela menerima pembalasanmu,
Cin Cin. Aku.. ..demi Tuhan, aku merasa menyesal
sekali mengenai peristiwa itu, aku menyebabkan
engkau kehilangan tangan kiri. Aku menyesal
sekali dan engkau boleh menghukumku untuk
itu...." "Coa Thian Ki, engkau tentu tahu, hutang darah
bayar darah, hutang nyawa bayar nyawa. Engkau

berhutang tangan kepadaku, harus membayar
dengan tangan kirimu pula!" Gadis itu mengamangkan pedangnya, akan te tapi tangan
yang memegang pedang itu te rgetar dan wajahnya
nampak pucat. Thian Ki tersenyum sedih. Setelah kini dia
berhadapan dengan Cin Cin, dia semakin yakin
bahwa dia mencinta gadis ini! Dia rela mengorbankan apa saja demi kebahagiaan gadis
ini. Entah mengapa, ada sesuatu pada diri Cin Cin
yang amat menarik hatinya, mempesonakan,
menimbulkan rasa sayang, iba dan haru. Diapun
menjulurkan lengan kirinya ke depan, berkata
le mbut. "Silakan, Cin Cin. Kalau itu yang kau
kehe ndaki, ini tangan kiriku!" katanya dengan
sikap tenang dan suaranya yang le mbut itu
mengandung kes ungguhan dan kete gasan.
Sejenak Cin Cin memandang nanar ke arah
tangan yang dijulurkan itu, tidak percaya bahwa
pemuda itu begitu saja menyerahkan tangannya
untuk dibuntungi! Ia mengeluarkan suara aneh,
seperti isak te rtahan di kerongkongannya, lalu
diangkatnya pedangnya ke atas, dan kini ia
menatap wajah Thian Ki, seolah hendak bertanya
apakah pemuda itu benar-benar rela tangannya ia
buntungi dan ia melihat Thian Ki tersenyum rela.
Ia mencoba untuk mengerahkan tenaga dan
membacokkan pedangnya ke arah pergelangan
tangan kiri Thian Ki yang sudah dijulurkan. Akan
tetapi sebelum pedang itu menyambar turun, ia
mengeluh, gemetar pedangnya te rlepas dan tangan
kanannya memegang pundak kiri, dan Cin Cin
te rhuyung dan terkulai, tentu akan roboh kalau

saja Thian Ki tidak cepat menahan dan merangkul
punggungnya. "Cin Cin, kau kenapakah......?" Dengan khawatir
Thian Ki lalu membantu gadis itu rebah di atas
rumput. Cin Cin menyeringai menahan rasa nyeri
dan ia merintih dalam keadaan setengah sadar.
Melihat gadis itu menggeliat dan merintih, dan
tangan kanannya memegangi pundak kiri, Thian Ki
khawatir sekali. Apakah racun dari tubuhnya
dahulu masih juga menjalar naik dari le ngan"
Tanpa banyak membuang waktu lagi, dia lalu
merobek sedikit baju di bagian pundak kanan
gadis itu untuk memeriksanya. Dan di sana, di
depan tulang pundak, nampak ada titik hitam
kebiruan sebesar ibu jari!
Bukan, bukan karena racun tu buhnya, dia
berpikir. Pula, kalau yang bekerja itu racun dari
tubuhnya, te ntu tidak sampai selama ini gadis itu
bertahan hidup. Dia memeriksa lebih teliti dan
mengerti bahwa gadis itu telah terkena totokan jari
beracun yang cukup ganas.
"Cin Cin, engkau te rluka!" katanya, akan tetapi
Cin Cin tidak menjawab. Gadis itu telah pingsan.
Kebetulan malah, pikir Thian Ki. Kalau Cin Cin
dalam keadaan sadar, gadis yang masih marah dan
sakit hati kepadanya itu, tentu tidak mau dia obati!
Kini, dalam keadaan pingsan, gadis itu tentu tidak
tahu apa yang terjadi dan dia dapat cepat mencoba
untuk menghilangkan pengaruh totokan beracun
itu... Tentu ketika tadi berkelahi melawan Can
Hong San, gadis itu te lah terkena totokan Hong

San yang lihai dan menderita luka dalam
keracunan. Thian Ki membuka kancing baju Cin Cin,
dengan hati-hati menyingkap bagian pundak,
menjaga jangan sampai dia menyingkap bagian
dada sehingga titik hitam di depan tulang pundak
itu nampak nyata sekali pada kulit yang putih
kuning mulus itu. Lalu sambil duduk bersila di
dekat tubuh Cin Cin, dia mengerahkan sin-kang,
menempelkan telapak tangan kirinya di bawah titik
hitam, lalu jari tangan kanannya mengurut di
seputar titik yang semakin lama semakin membesar, namun warnan hitamnya menjadi
pucat. Kemudian dia menempelkan telapak tangan
kanan te pat di atas titik yang membesar itu, dan
mengerahkan te naga sin-kang utnuk menyedot
hawa beracun. Karena tubuhnya sendiri merupakan sumber racun, maka dengan mudah
racun dari Cin Cin dapat te rsedot keluar, seperti
air yang te rjun ke dalam te laga. Penambahan
sedikit hawa beracun dari pundak Cin Cin itu tidak
ada artinya bagi Thian Ki.
Cin Cin mengeluh dan membuka mata. Ia
berseru kaget dan bangkit sambil menggerakkan
tangan menampar ke arah muka Thian Ki yang
tidak mengelak. "Plakkk!!" Pipi kiri Thian Ki terkena tamparan
tangan Cin Cin, demikian kerasnya tamparan itu
sampai membuat Thian Ki te rpelanting dan ketika
dia bangkit berdiri, pipi kirinya membengkak
merah kebiruan! Dia melihat betapa Cin Cin sudah

mengancingkan lagi bajunya dan wajah gadis itu
merah sekali, matanya berapi-api.
"Jahanam busuk kau, Thian Ki! Tak kusangka
bahwa pute ra mendiang Paman Coa Siang Lee dan
Bibi Sim Lan Ci menjadi seorang berhati keji, kotor
dan hina seperti engkau! Aku dalam keadaan
pingsan dan engkau berani berbuat hina dan
kurang ajar kepadaku" Alangkah rendahnya....."
"Tenanglah, Cin Cin. Tenanglah karena kemarahan membuat engkau tidak mampu mempertimbangkan dengan baik. Aku sama sekali
tidak melakukan kesesatan, sama sekali tidak
bermaksud rendah dan keji, melainkan terpaksa
melakukan hal itu..........."
"Thian Ki! Dahulu ketika membuntungi tanganku, engkau memakai alasan bahwa aku
keracunan dan engkau te rpaksa membuntungi
tangan kiriku. Sekarang, alas an apalagi yang akan
kau kemukakan sehingga engkau te rpaksa membuka kancing bajuku dan meraba.....melakukan kekurangajaran seperti tadi?" "Dengarlah baik-baik. Engkau tadi hendak
membuntungi tangan kiriku sebagai hukuman,
lalu tiba-tiba engkau roboh dan memegangi
pundak kirimu, lalu pingsan, bukan" Nah, ketika
aku memeriksamu, te rnyata memang engkau
keracunan, di pundak kirimu. Aku te rpaksa
membuka kancing bajumu bagian atas untuk
dapat mengobatimu. Sekarang, racun itu telah
le nyap, dan sebagai upah pengobatanku, engkau
malah menamparku dan memaki, menuduh yang

bukan-bukan. Rabalah pundakmu, te ntu sudah
tidak terasa lagi kenyerian tadi."
Cin CIn menggunakan jari tangan kanannya
untuk meraba pundak kirinya. Tadi memang amat
nyeri di sana, akan tetapi sekarang sudah tidak
lagi. Ia meragu. Agaknya pemuda itu tidak
berbohong dan sekarang ia te ringat bahwa tadi
ketika ia berkelahi melawan Can Hong San, ia
memang te rkena totokan jari tangan kiri musuh
itu, yang mula-mula tidak te rasa terlalu nyeri,
akan te tapi tadi ketika ia hendak membuntungi
tangan kiri Thian Ki, tiba-tiba pundak itu te rasa
nyeri bukan main sampai menusuk ke jantung dan kepala. "Nah, sekarang engkau baru percaya, bukan.
Atau engkau masih tidak percaya" Kalau begitu
boleh kau lakukan apa saja untuk melampiaskan
dendammu kepadaku, Cin Cin. Kalau tamparan ini
masih belum cukup, boleh kau lakukan apa saja.
Nah, ini kedua tanganku yang tadi menyedot hawa
beracun dari pundakmu," Thian Ki menjulurkan
kedua tangannya ke arah Cin Cin.
Cin Cin memandang ke arah kedua tangan itu,
lalu mengangkat pandang matanya, menatap wajah
Thian Ki. Dua pasang mata bertemu dan bertautan
dan perlahan-lahan, kedua mata Cin Cin menjadi
basah. Lalu Cin Cin menundukkan mukanya dan
suaranya terdengar lirih berbisik ketika ia berkata,
"Maafkan aku......"
Wajah Thian Ki berseri. Mendengar gadis itu
minta maaf, berarti menyadari kesalahannya,
mendatangkan perasaan yang amat berbahagia di

dalam hatinya. Sikap gadi itu membuktikan bahwa
perkiraannya benar. Cin Cin, biar telah mempelajari ilmu dari guru
yang sesat, terbukti bahwa ilmu pedangnya,
bahkan pedangnya juga sama dengan ilmu pedang
dan pedang Can Hong San, namun te rnyata gadis
itu hanya mewarisi kegalakan dan kekerasan saja,
namun pada dasarnya masih memiliki kegagahan
dan pribadi luhur sehingga berani mengakui
kesalahan. "Tidak Cin Cin, e ngkau tidak bersalah dan tidak
ada yang dapat dimaafkan. Akulah yang bersalah,
dan aku minta maaf padamu. Karena kecerobohanku, engkau menderita, dan aku hanya
menimbulkan prasangka dan kesan buruk saja
kepadamu." "Thian Ki, aku memusuhi ayah tirimu, dan
sekarang, baru saja aku membalas pertolonganmu
dengan tamparan dan kata-kata keji. Kenapa
engkau masih bersikap baik kepadaku" Kenapa
engkau begitu baik kepadaku?" sepasang mata itu
kini mengamati wajah Thian Ki penuh selidik.
Thian Ki te rsenyum. "Aih, Cin Cin. Andaikata
engkau bukan Cin Cin pute ri mendiang paman
Kam Seng Hin, andaikata di antara kita tidak ada
hubungan apapun sejak kecil, aku tetap akan
menolongmu. Bukankah menolong siapa saja yang
te rancam bahaya merupakan kewajiban kita
sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu
silat?" "I buku pernah mengatakan bahwa mungkin
engkau menjadi anak beracun karena nenekmu,

yaitu mendiang Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu.
Benarkah engkau menjadi tok-tong (anak beracun)?" "I bumu memang bijaksana dan pandai, dugaannya te pat. Memang aku te lah dibuat
menjadi tok-tong oleh mendiang nenekku, diluar
pengetahuanku ketika aku masih kecil. Karena
itulah, ketika engkau mencengkeram pundakku,
tanpa dapat kucegah lagi, engkau keracunan pada
tangan kirimu. Ketika hal itu terjadi, aku sama
sekali tidak berdaya mencegahnya, Cin Cin."
"Hemm, sudahlah, jangan bicara lagi tentang hal
itu. Tadi kau mengatakan bahwa engkau membantuku melawan Can Hong San juga bukan
sengaja membantu, apa maksudmu?"
"Aku memang sedang mengejarnya. Dia merupakan seorang pelarian, karena tadi pasukan
keamanan Sin-yang sedang menyerbu perkumpulan Koai-liong-pang yang didirikan oleh
Can Hong San ini. Dia berhasil melarikan diri,
maka aku mengejarnya dan melihat dia berkelahi
denganmu di sini." De ngan singkat Thian Ki bercerita tentang
pengalamannya berte mu dengan Li Ai Yin dan
te ntang Hong San, didengarkan penuh perhatian
oleh Cin CIn. Gadis itu lalu memandang ke arah mayat Can
Hong San, dalam hati merasa puas karena tugas
yang diperintahkan subonya telah berhasil ia
laksanakan, yaitu membunuh Can Hong San
seperti yang dikehendaki ibunya. "Hemm, hatiku
puas sudah, tugas pertamaku sudah dapat

te rlaksana... " ia menole h ke arah Thian Ki.
"......hei, apa yang sedang kaulakukan itu?"
tanyanya melihat Thian Ki mempergunakan pedangnya untuk menggali tanah.
"Aku menggali tanah untuk mengubur je nazah
Can Hong San." "Hemm, orang sejahat itu!" cela Cin Cin.
"Dia ikut menjadi sebab kematian ayahku dan
hancurnya He k-houw-pang, dia bahkan membunuh ayahnya sendiri!"
Thian Ki menghela napas panjang. "Me mang,
ketika hidupnya dia telah tersesat, menjadi hamba
dari nafsu-nafsu rendah. Ayah kandungku juga
te was di tangannya dan aku
melihat dia melakukan banyak kejahatan. Akan tetapi itu
te rjadi ketika dia masih hidup. Se karang dia sudah
mati, mengubur mayat sendiripun tidak mampu.
Tidak sampai hatiku membiarkan mayatnya
te rlantar." Dia melanjutkan pekerjaaannya. Sejenak Cin Cin hanya menonton saja, akan tetapi
mendadak ia mengambil pedang yang tadi te rlepas
dari tangan Can Hong San, lalu membantu Thian
Ki menggali tanah dengan pedang itu!
Thian Ki diam saja, kalau bicara khawatir
menyinggung, akan te tapi diam-diam dia merasa
gembira sekali. Ini masih Cin Cin yang dahulu,
seorang anak yang pada dasarnya memiliki watak
yang baik. Dia masih ingat ketika berkunjung ke
He k-houw-pang dulu, Cin Cin adalah seorang anak
yang lincah je naka, periang, tabah dan pandai
bicara. Kalau sekarang ia nampak begitu dingin,
keras dan pendiam, tentu karena gemble ngan

gurunya, seorang datuk sesat, dan mungkin
ditambah lagi karena terbuntungnya tangan kirinya. Kasihan sekali! Aku akan mencoba untuk
membahagiakanmu, Cin Cin, bisik hatinya, mengembalikan seperti dahulu!
Setelah selesai menguburkan je nazah itu secara
sederhana, Cin Cin menyimpan pedang Koai-liongkiam milik Can Hong San. Akan ia kembalikan
kepada gurunya, katanya kepada Thian Ki. Mereka
lalu mengaso, duduk di bawah sebatang pohon
dimana te rdapat sumber air yang menjadikan
sungai kecil yang airnya je rnih, dimana tadi
mereka mencuci tangan dan muka setelah tangan
mereka berle potan tanah. Thian Ki semakin
te rharu melihat cara Cin Cin mencuci tangan
kanannya, menggosok-gosokkan jari tangan itu
kepada rumput dan ilalang di dekat sumber air.
Ingin sekali dia menolong membersihkan tangan
itu, akan te tapi dia tidak berani, takut kalau-kalau
hal itu akan membuat Cin Cin te rsinggung dan
te ringat akan kebuntungan tangan kirinya.
Mereka duduk berhadapan, duduk di atas akar
pohon yang menonjol dari permukaan tanah, saling
berhadapan. "Thian Ki, sekarang aku ingin mendengarkan
pengalamanmu sejak kita dipisahkan oleh penyerbuan ke Ta-bun-cung itu," kata Cin Cin
yang agaknya sudah dapat menghapus rasa benci
dan dendam kepada Thian Ki.
Thian Ki menceritakan semua pengalamannya,
mulai dari malam penyerbuan itu, dimana tanpa
sengaja dia telah menewaskan dua oran g penyerbu

dengan keadaan tubuhnya yang beracun, betapa
kemudian dia dan ibunya ditawan dan dilarikan
oleh Can Hong San dan Gan Lui, yang menjadi
pembantu Cian Bu Ong dan diserahkan kepada
bekas pangeran itu. Kemudian diceritakannya pula
dengan jelas untuk menghapus salah sangka gadis
itu terhadap ibunya, kenapa ibunya akhirnya
menjadi isteri Cian Bu Ong dan dia menjadi anak
tiri dan juga murid. Tentu saja dia tidak
menceritakan bahwa dia telah dite ntukan menjadi
calon suami Cian Kui Eng, saudara tiri dan juga
adik se perguruannya. Cin Cin mendengarkan dengan penuh perhatian
tanpa menyela, akan tetapi setelah Thian Ki selesai
bercerita, ia berkata penasaran, "Aku merasa heran
sekali kenapa bibi Sim Lan Ci yang dahulu
kuanggap sebagai seorang wanita bijaksana dan
gagah perkasa, mau menjadi isteri Cian Bu Ong,
padahal bukankah Cian Bu Ong yang menjadi
biang keladi kehancuran Hek-houw-pang dan
menewskan ayah kita?"
"Akupun tadinya merasa penasaran, akan tetapi
setelah mengetahui segalanya dengan jelas, aku
tidak dapat menyalahkan ibu. Ayah te lah meninggal dunia, dan ibu menjadi janda. Cian Bu
Ong adalah seorang yang gagah perkasa, berilmu
tinggi dan bijaksana. Memang tidak dapat disangkal bahwa dia yang menyuruh para pembantunya untuk menyerbu Hek-houw-pang,
akan tetapi hal itu ada alasannya yang amat kuat.
Dia adalah seorang pangeran Kerajaan Sui yang
digulingkan oleh Li Si Bin yang kemudian
mendirikan kerajaan Tang. Tentu saja dalam

pandangan Cian Bu Ong, kerajaan Tang adalah
kerajaan yang dibangun oleh



pemberontak kerajaan Sui. Karena itu, sudah jamak kalau ia
berusaha untuk mendirikan kembali kerajaan Sui
dan memusuhi kerajaan Tang. Kemudian dia
mendengar bahwa He k-houw-pang adalah sebuah
perkumpulan yang mendukung kerajaan Tang,
maka te ntu saja dia menganggap He k-houw-pang
sebagai musuhnya dan menyuruh para pembantunya melakukan penyerbuan. Dia bukan
orang jahat, Cin Cin. Dia hanya menjadi korban
dari perang, korban keadaan yang menjadikan dia
seperti itu. Nah, sekarnag kuharap engkau suka
menceritakan pengalamanmu sejak malam itu."
Cin Cin menghela napas. Wajahnya yang cantik
itu menjadi muram dan sampai beberapa saat
lamanya ia tidak bicara. Akan tetapi Thian Ki tidak
mendesak, hanya menanti dan akhirnya Cin Cin
menceritakan semua yang dialaminya. Ia menceritakan betapa ayahnya te was dan ibunya
le nyap dilarikan penyerbu. Kemudian betapa ia,
oleh kakeknya dikirim ke dusun Hong-cun untuk
menjadi murid Pendekar N aga Sakti Sungai Kuning
Si Han Beng, dan kepergiannya diantar oleh paman
gurunya, yaitu Lai Kun. Betapa di dalam perjalanan ia dijual oleh Lai Kun kepada seorang
mucikari dan betapa ia disiksa dan dipaksa untuk
belajar segala macam kesenian, dipersiapkan
untuk kelak menjadi seorang pelacur kalau sudah
dewasa. Betapa kemudian ia berhasil melarikan
diri dan dikejar tukang-tukang pukul, akan tetapi
ia ditolong ole h Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan dan
menjadi muridnya. ♤
"Begitulah, aku mempelajari segala macam ilmu
dari su-bo, kemudian su-bo memberi tugas
kepadaku, yaitu untuk mencari Can Hong San dan
membunuhnya, karena Can Hong San telah
membunuh ayahnya sendiri, Cui-beng Sai-kong
Can Slok, yang menjadi suheng dari su-bo. Dan
juga agar aku membunuh Cian Bu Ong, karena
bekas pangeran itu telah menghancurkan kehidupan subo dengan menyia-nyiakan dan
mengkhianati cinta mereka. Akan tetapi, usahaku
membunuh Cian Bu Ong gagal karena engkau
Thian Ki, dan usahaku membunuh Can Hong San
berhasil karena engkau pula. Inilah nasib...." gadis
itu termenung. Thian Ki menghela napas. Dia takkan pernah
bebas dari penyesalan kalau mengingat akan
buntungnya tangan Cin Cin karena dia itu.
"Dan engkau belum bertemu ibumu?"
Cin Cin mengerutkan alisnya dan cemberut.
"Sudah, dan itulah yang membuat hatiku
je ngkel, biarpun sekarang aku sudah mengerti
mengapa ibuku menikah lagi dengan dia!"
"I bumu menikah" De ngan siapakah?" Tanya
Thian Ki heran. Betapa sama nasib gadis ini
dengan nasibnya. Ibu mereka kehilangan suami
ketika Hek-houw-pang diserbu, dan kini ibu
mereka yang sudah menjadi janda te lah menikah
lagi! "Itulah yang tadinya membuat aku je ngkel.
Kalau ibumu menikah dengan Pangeran Cian Bu
Ong, maka ibuku menikah dengan pembantunya,

seorang di antara mereka yang dahulu menyerbu
He k-houw-pang!" "Ahh......!! Thian Ki benar-benar te rkejut mendengar ini. Ibu Cin Cin" Bibi Coa Liu Hwa yang
cantik dan le mah le mbut itu" Akan te tapi dia
tidask berani bertanya lagi, khawatir menyinggung.
"Setelah aku mendengar penuturan ibuku dan
ayah tiriku, aku tidak menyalahkan mereka,
bahkan aku bangga karena suami ibu sekarang
adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang
te rkenal, yaitu Lie Koan Tek." Lalu Cin Cin
menceritakan tentang pengalaman ibunya sehingga
menjadi isteri pendekar itu. Thian Ki menganggukangguk, merasa le ga karena ibu Cin Cin tidak
melakukan hal yang memalukan.
"Aku sudah mendengar akan nama besar ayah
tirimu itu, Cin Cin."
Keduanya diam agak lama, kemudian Cin Cin
menghela napas panjang dan berkata, "Aku heran
sekali, kenapa ibu kita menikah lagi" Aku sekarang
hanya mempunyai ibu seorang, akan tetapi ia telah
menikah dengan pria lain, dan aku merasa seperti
kehilangan ibuku. Ia mengecewakan hatiku,
padahal aku amat mencintanya. Apakah engkau
juga tidak berpikir begitu, Thian Ki?" Thian Ki diam
sejenak. Kalau dia mau jujur, memang ada
perasaan tidak enak itu. Tentu dia akan merasa
jauh le bih berbahagia kalau ibunya masih
bersanding dengan ayahnya, walau itu tidak
mungkin. Dia menarik napas panjang.
"Cin Cin, kalau kita selalu mementingkan
perasaan sendiri, kurasa dalam hidup ini kita akan

selalu menghadapi hal-hal yang mengecewakan
dan tidak menyenangkan, karena apa yang kita
senangi belum tentu disenangi orang lain, walau
oleh ibu kita sendiri sekalipun. Sebaliknya, apa
yang disenangi orang lain, termasuk ibu kita,
belum tentu kita senangi. Karena itu, kita harus
memiliki cinta kasih, Cin Cin. Dan cinta kasih
bukan berarti menuntut kesenangan hati kita
sendiri dari orang yang kita cinta. Bukankah
begitu?" Cin Cin diam saja. Ini merupakan hal baru
baginya. Semenjak ia dewasa, ia hanya mendengar
dan melihat segala tentang hidup ini dari gurunya,
dan pandangan gurunya lain sama sekali dari apa
yang diucapkan Thian Ki. Bagi gurunya, yang
te rpenting adalah perasaan sendiri, diri sendiri,
sehingga segala sepak terjang dalam hidup hanya
didasari kepentingan diri sendiri!
Apa yang diucapkan oleh Thian Ki, kalimat
te rakhir, yaitu bahwa cinta kasih bukan berarti
menuntut kesenangan hati kita sendiri dari orang
yang kita cinta, merupakan ucapan yang te ramat
penting untuk ditelaah oleh kita semua. Bukan
hanya menyangkut cinta kasih pada umumnya
yang dianggap hanya merupakan perasaan timbal
balik antar ins an berlawanan jenis, antara pria dan
wanita, melainkan juga mencakup cinta kasih
antara orang tua dan anak, timbal balik. Betapa
sering te rjadi konflik atau perte ntangan batin
antara orang tua dan anak, padahal kedua pihak
berani bersumpah saling mencinta.!

Kalau benar ada cinta kasih di antara orang tua
dan anak secara timbal balik bagaimana mungkin
sampai terjadi konflik batin antara mereka"
Konflik batin antara yang tua dan yang muda
menimbulkan suatu celah atau jurang pemisah
antara orang tua dengan anaknya sendiri. Yang tua
menganggap anak mereka bandel dan murtad,
mengecewakan dan tidak mentaati orang tua,
sedangkan yang muda menganggap orang tua
mereka itu kuno, kolot, terlalu mengekang, te rlalu
menggurui, menjadi penghalang kesenangan, dan
sebagainya. Maka te rjadilah konflik yang menghancurkan sendi-sendi cinta kasih di antara
mereka. Mengapa begitu" Kalau, kita singkirkan dulu
perasaan keakuan, mementingan diri sendiri, dan
menarik diri sebagai orang luar, bukan anak bukan
orang tua, lalu menje nguk is i hati kedua pihak,
mungkin akan nampak je las bagi kita mengapa
te rjadi konflik seperti itu. Konflik te rjadi karena
bentrokan kepentingan, bentrokan selera, bentrokan pandangan hidup. Kedua pihak, baik
orang tua maupun anak, lupa bahwa alam pikiran
yang tua dan yang muda berbeda jauh. Yang tua
lupa bahwa kebiasaan hidup ini mengalami
perubahan dan kukuh berpegang kepada nilai-nilai
yang sudah dianggap mapan, nilai-nilai lama,
tanpa memperdulikan adanya perubahan nilai.
Penilaian selalu berubah mengikuti perkembangan jaman. Orang tua selalu mengandalkan pengalaman sebagai senjata untuk
memamerkan kelebihannya kepada si anak, lupa

bahwa pengalaman itu adalah pengalaman dahulu
dan kalau dia tidak mau mengikuti perkembangan
jaman, dia bahkan akan ketinggalan dan sama
sekali tidak berpengalaman dalam hal-hal baru
yang te rjadi dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya, si anak juga lupa bahwa orang tuanya
adalah orang-orang yang pandangan hidupnya
te rikat masa lalu. Dari bentrokan ini timbullah konflik. Jarang
te rdapat orang tua yang tidak mengikatkan diri
kepada masa lalu, melainkan arif mengikuti
perkembangan jaman sehingga waspada te rhadap
perubahan nilai-nilai, seperti jarangnya anak yang
mau memaklumi keadaan orang tuanya, lupa
bahwa dengan cara mereka sendiri, orang tuanya
sebetulnya bermaksud baik bagi dirinya, hanya
caranya saja yang menimbulkan konflik.
Semua pertentangan itu akan le nyap kalau
orang tua mencinta dengan tulus, dalam arti kata
bukan mencinta dengan pamrih kepentingan dan
kesenangan hati sendiri. Mencinta berarti membahagiakan yang dicinta, bukan menuntut
sesuatu dari yang dicinta.! Cinta yang menuntut
balas, yang berpamrih, adalah cinta nafsu, yang
mempergunakan cinta demi mencapai kesenangan
hati sendiri, dan cinta macam ini pasti menimbulkan konflik batin. Cinta kepada anak
berarti memberi kebebasan kepada anak, seperti
membiarkan tunas tumbuh menjadi pohon, bebas
te rkena sinar matahari dan te rsiram hujan, dan
orang tua hanya mengamati, menjaga-tanpa mengatur, tanpa memaksakan kehendak. Orang
tua turun tangan .hanya kalau



melihat ♤
perkembangan pertumbuhan itu tidak benar atau
te rancam, seperti orang menjaga tanaman dan
membersihkannya dari ulat, memberi pupuk,
mencabut rumput liar, akan te tapi tidak mencampuri pertumbuhan itu sendiri. Cinta kasih
bukan berarti mengikat! Dilain pihak, anak-anak harus selalu menyadari
sepenuhnya bahwa dengan cara apapun, orang tua
tetap menyayang anak-anak, baik
cara itu dianggap benar atau keliru, dan dasar kesadaran
ini harus menjadi pengingat bahwa mereka
sepatutnya berte rima kasih dan tidak menyakiti
hati orang tuanya. Kalau kepada orang tua sendiri
tidak menyayang, bagaimana mungkin dapat
menyayang orang lain" Ibu adalah manusia yang
paling besar kasihnya te rhadap dirinya, sesudah
itu baru ayah. Kalau kepada ayah ibu tidak dapat
menaruh hati kasih sayang, maka cinta kasih
kepada orang lain tentu saja patut di ragukan.!
Memang tidak mudah bagi orang tua maupun
anaknya untuk mengatasi nafsu sendiri yang
menimbulkan kekecewaan, kemarahan sehingga si
orang tua tidak menyumpahi anaknya dan si anak
tidak menyumpahi orang tua. Dalam keadaan
dicengkeram nafsu amarah, manusia dapat melakukan apa saja. Namun, kesukaran itu pasti
akan mudah diatas i kalau kita menyerahkan diri
kepada Tuhan, kalau kita pasrah dan mohon
bimbingan kekuasaan Tuhan. Karena hanya kekuasaan Tuhan jualah yang akan mampu
menundukkan nafsu-nafsu daya rendah yang
menyesatkan kita. ♤
Sampai lama Cin Cin menunduk saja, kemudian
mengangkat muka menatap wajah Thian Ki yang
kebetulan juga memandangnya. Dua pasang mata
berte mu lagi untuk kesekian kalinya dan bertaut.
"Thian Ki, sekarang aku tidak lagi dendam
padamu, dan aku menyadari sepenuhnya bahwa
perbuatanmu membuntungi tanganku dahulu
te rpaksa kau lakukan dan aku sendiri yang
bersalah telah mencengkeram pundakmu, karena
aku tidak tahu bahwa tu buhmu beracun. Ini yang
namanya nasib, dan aku tidak menyalahkanmu
lagi." "Terima kasih, Cin Cin. Seolah-olah batu besar
yang sejak peristiwa itu menindih hatiku, kini
te rangkat, membuat dadaku lapang. Terima kasih!"
"Akan tetapi ada sebuah permintaanku dan
kuharap engkau tidak menolak, karena penolakanmu te ntu akan membuat aku tidak
dapat menerimamu sebagai sahabatku lagi, seperti
ketika dahulu di Hek-houw-pang."
"Permintaan apakah itu, Cin Cin" Aku pasti
akan memenuhinya!" kata Thian Ki gembira.
"Aku pasti akan mencari dan menantang Cian
Bu Ong, dan kuharap engkau tidak akan
mencampurinya lagi." Setelah berkata demikian,
Cin Cin menatap wajah pemuda itu dengan
pandang tajam menyelidik.
"Cin Cin, setelah mengetahui bahwa perbuatan
Cian Bu Ong itu hanya merupakan akibat perang,
engkau masih mendendam kepadanya karena
penyerbuan terhadap Hek-houw-pang itu?"

Cin Cin menggeleng kepala dengan tegas. "Tidak,
Thian Ki. Aku menyadari bahwa tidak ada
permusuhan pribadi antara dia dan He k-houwpang. Akan te tapi aku harus melaksanakan tugas
yang diberikan su-bo kepadaku. Sejak kecil aku
ditolong, dipelihara dan dididik su-bo, sudah
selayaknya kalau sekarang aku membalas budinya
dengan melaksanakan perintahnya. Aku akan
membunuh Cian Bu Ong untuk mentaati perintah
subo." Melihat kerut alis pemuda itu, Cin Cin
menambahkan, suaranya mengandung tantangan,
"Engkau tidak setuju dan hendak membela ayah
tiri dan gurumu?" "Tidak, Cin Cin. Aku hanya akan membela orang
yang le mah dan tidak bersalah. Akan tetapi dua
hal yang patut kaurenungkan dan kaupertimbangkan dengan baik sebelum bertindak
sejauh itu. Pertama, tingkat kepandaian Cian Bu
Ong amat tinggi dan engkau tidak akan dapat
menang, Cin Cin." "Aku tidak takut! Kalau aku tidak berhasil
melaksanakan tugas itu, biar aku mati di
tangannyapun aku tidak merasa penasaran!" kata
Cin Cin dengan nekat. "Aku percaya akan kegagahan dan keberanianmu, Cin Cin. Akan tetapi, kalau kita
sudah tahu bahwa kita tidak akan menang
melawan seorang musuh,, akan tetapi kita nekat
dan te was di tangannya, bukankah itu mati konyol
namanya" Sama dengan bunuh diri."
"Aku tidak peduli, Thian Ki. Aku rela dalam
menjalankan tugas mentaati perintah subo."

"Baiklah, sekarang hal yang ke dua. Urusan
antara su-bomu dan Cian Bu Ong adalah urusan
yang amat pribadi, urusan cinta kasih di antara
mereka. Dalam urusan cinta kasih antara seorang
pria dan seorang wanita, sebetulnya tidak boleh
dicampuri siapapun juga, karena itu adalah
urusan hati yang hanya dapat diselami oleh kedua
pihak yang bersangkutan. Rasanya janggal dan
tidak pantas kalau ada yang mencampuri, apalagi
yang mencampuri urusan cinta antara kedua orang
itu adalah murid sendiri. Coba renungkan baikbaik, Cin Cin, dan sadarilah bahwa aku mengemukakan kedua hal ini demi kebaikanmu,
bukan untuk membela Cian Bu Ong."
Cin Cin menunduk dan alis nya berkerut. Ia tahu
bahwa pencegahan yang dilakukan Thian Ki itu
adalah untuk menjaga agar ia tidak sampai te was
atau terluka oleh Cian Bu Ong yang memang harus
ia akui jauh le bih lihai darinya. Akan te tapi,
masalah ke dua yang diajukan Thian Ki itu yang
menarik hatinya. Menurut subo-nya, ia sakit hati
te rhadap Cian Bu Ong yang dahulu menjadi
kekasihnya, karena Cian Bu Ong menyia-nyiakan,
meninggalkannya. Dan perbuatan pangeran itu
adalah karena dia mengetahui akan keadaan subonya sebagai seorang tokoh sesat, dan terpaksa
dilakukan karena pangeran itu memiliki cita-cita
besar menjadi kaisar dan te ntu saja akan
mencemarkan nama baiknya kalau dia berhubungan dengan seorang wanita sesat. Subonya mendendam dan menghendaki kematian Cian
Bu Ong, akan te tapi kenapa subonya menyuruhnya" Padahal, subonya te ntu tahu

betapa lihainya Cian Bu Ong! Kalau subonya
merasa sakit hati, kenapa tidak turun tangan
sendiri sejak dulu" "Thian Ki, kalau menurut pendapatmu, bagaimana?" I a bertanya lirih, hatinya mulai terasa
bimbang. "Tentu tidak mungkin kalau aku kembali
kepada subo menyatakan ketidak-sanggupanku!"
"Cin Cin, engkau te lah dapat menunaikan tugas
yang diperintahkan subomu dengan baik, sudah
berhasil membunuh Can Hong San, bahkan
engkau sudah pula menemukan Cian Bu Ong dan
menyerangnya, walaupun engkau tidak berhasil.
Nah, engkau dapat melaporkan semua itu kepada
subomu. Aku akan menemanimu menghadap
subomu, dan aku yang mencoba membujuknya
agar ia menghadapi sendiri Cian Bu Ong."
"Ahh! Ia tentu akan marah sekali kepadaku, juga
kepadamu dan mungkin ia akan menyerangmu,
Thian Ki!" "Belum tentu, Cin Cin. Andaikata demikian, aku
dapat melindungi diriku. Aku dapat menduga
bahwa te ntu subomu itu masih mencinta Cian Bu
Ong. I nilah sebabnya mengapa ia tidak dapat turun
tangan sendiri untuk membunuh bekas kekasihnya itu, melainkan menanti sampai engkau
dewasa dan memiliki kepandaian. Mungkin dengan
penjelasanku, ia akan sadar dan tidak lagi
menyuruhmu membunuh Cian Bu Ong."
Kembali Cin Cin terdiam sampai agak lama,
hatinya bimbang, akan te tapi usul itupun amat
menarik hatinya. Pertama, iapun ingin sekali
melihat bagaimana nanti tanggapan subonya

te rhadap pemuda ini. Dan ke dua, ini yang
membuat jantungnya berdebar, pemuda ini hendak
menemaninya pulang, berarti, mereka akan melakukan perjalanan berdua! Entah bagaimana,
sejak tangannya buntung oleh Thian Ki, ia tidak
pernah mampu melupakan pemuda itu. Kadang ia
te ringat dengan hati penuh kebencian, penuh
dendam karena pemuda itu te lah membuntungi
tangannya. Akan te tapi ada kalanya, ia teringat
dengan perasaan kagum kepada pemuda itu, juga
perasaan setia-kawan dan senasib. Sekarang,
setelah pemuda itu membantunya sehingga ia
berhasil membunuh Can Hong San, Thian Ki
hendak menemaninya menemui subonya.
"Baiklah, Thian Ki. Akan tetapi kalau engkau
tidak berhasil membujuknya, kalau subo tetap
dengan perintahnya, terpaksa aku akan mencari
Cian Bu Ong dan mencoba untuk membunuhnya,
dan engkau jangan mencampurinya lagi. Juga
kuperingatkan bahwa subo amat benci kepada pria
sebagai akibat perbuatan Cian Bu Ong, maka
kalau ia bersikap tidak manis kepadamu, jangan
menyalahkan aku." Thian Ki memandang dengan wajah berseri.
Hatinya merasa gembira bukan main, bukan hanya
karena dia diperbolehkan melakukan perjalanan
bersama gadis itu, melainkan terutama sekali
karena dia diberi kesempatan untuk melakukan
sesuatu demi kebaikan gadis itu dan hal ini tentu
saja dapat mengobati penyesalannya te rhadap diri
sendiri yang mengakibatkan Cin Cin kehilangan
tangan kirinya. ♤




"Aku tidak biasa menyalahkan orang lain Cin
Cin. Aku lebih suka menyalahkan diriku sendiri
daripada menimpakan kesalahan kepada orang
lain." "Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat.
Perjalananan kita cukup jauh."
Thian Ki bertanya di mana Tung-hai Mo-li tinggal
dan ketika mendengar bahwa guru Cin Cin tinggal
di pantai timur, dia berkata, "Ah, kalau begitu,
perjalanan kita akan melewati dusun Hong cun di
te pi Huang-ho. Kita dapat singgah di rumah Paman
Si Han Beng, karena aku harus menemui paman Si
Han Beng berdua!" "Maksudmu Paman Si Han Beng Si Naga Sakti
Sungai Kuning?" tanya Cin Cin heran dan
te ringatlah ia betapa tadinya, kakeknya menyuruh
Lai Kun mengantarnya kepada pendekar itu untuk
menjadi muridnya. "Benar, siapa lagi kalau bukan dia?"
"Hem, kalau saja Paman Lai Kun tidak
berkhianat dan tidak menjualku di te ngah
perjalanan, agaknya sekarang aku telah menjadi
murid pendekar besar itu. Tapi, mau apakah kita
singgah ke sana, Thian Ki?" Perasaan hati Cin Cin
tidak nyaman juga mendengar mereka akan
singgah di rumah suami is teri pendekar yang
namanya terkenal di dunia persilatan itu.
"Cin Cin, Paman Si Han Beng adalah adik angkat
mendiang ayahku, maka dapat dianggap dia
keluarga kami sendiri, akan tetapi bukan itu yang
penting. Aku harus menghadap suami isteri

pendekar itu, karena hanya mereka berdua saja
yang akan mampu memberi petunjuk kepadaku
agar aku te rbebas dari cengkeraman racun di
tubuhku." Cln Cin membelalakkan matanya yang indah.
Semua perasaan penasaran dan tak senang kepada
Thian Ki agaknya sudah te rhapus dan ia sudah
pulih kembali seperti sebelum tangannya buntung.
"Aihh, engkau ini sungguh aneh, Thian Ki! Aku dan
semua orang te ntu akan senang sekali jika dapat
menjadi anak beracun sepertimu. Tidak akan
te rkalahkan oleh siapapun juga! Akan tetapi
engkau malah ingin membuang racun itu dari
tubuhmu. Bagaimana ini?"
Thian Ki te rsenyum dan apa yang dia pikirkan
saat itu keluar dari mulutnya, "Ah, engkau
mengingatkan aku kepada Kui Eng. Iapun ingin
menjadi beracun seperti aku!"
"Kui Eng" Siapa itu" Seorang gadis.....?"
"Engkau sudah pernah berte mu dengannya,
bahkan bertanding dengannya. Ia adalah adik
tiriku dan sumoi-ku."
"Ahh, pute ri Cian Bu Ong itu" Akan te tapi,
kukira bukan hanya aku dan ia yang ingin menjadi
beracun sepertimu. Setiap orang ahli silat akan
merasa bangga sekali kalau......"
"Ah, engkau hanya memperhitungkan enaknya
saja, tidak mau tahu tentang tidak enaknya. Cin
Cin. Bayangkan saja, dengan racun te rkutuk ini,
tanpa disengaja aku te lah membuat engkau
kehilangan tangan kirimu. Enakkah itu" Kalau

yang te rkena begitu orang jahat atau musuh,
masih mending, akan tetapi kalau orang sendiri"
Selain itu, dengan keadaan seperti aku ini, aku
tidak.. .tidak.........boleh menikah."
Kembali mata yang indah itu terbelalak, kini
te rkejut. "Ehh! Kenapa begitu?"
"Karena, kalau aku menikah......" Thian Ki agak
te rgagap karena bicara tentang pernikahan membuat dia enggan dan malu. ".....wanita yang
menikah dengan aku akan mati keracunan."
"Ahhh........!" Kini Cin Cin memandang kepada
Thian Ki dengan mata terbelalak, dan sinar
matanya yang tadinya te rkejut, perlahan-lahan
mengandung sinar iba. "Kalau begitu.......engkau
seperti kena kutuk...... "
"Begitulah, maka aku harus berusaha menghilangkan pengaruh racun ini dari tubuhku.
Mendiang nenek yang menjadikan aku anak
beracun juga tidak mampu melenyapkan racun ini,
dan menurut keterangannya, yang mampu hanya
orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi, seperti
Pek I Tojin guru Paman Si Han Beng dan He k Bin
Hwesio guru Bibi Bu Giok Cu. Bahkan menurut
mendiang nek, mungkin saja suami isteri pendekar
itu sendiripun sudah cukup untuk dapat melenyapkan racun dari tubuhku."
"Ah, kalau begitu, memang perlu sekali singgah
ke sana, Thian Ki! Engkau harus disembuhkan.
Mari kita berangkat, akupun ingin berte mu suami
isteri pendekar yang dipilih kakek untuk menjadi
guruku itu, dan aku ingin bicara dengan mereka
te ntang murid mereka."

Melihat gadis itu bangkit lalu melangkah pergi,
Thian Ki juga mengikutinya. Mereka berjalan
keluar dari jalan simpangan itu, menuju ke jalan
besar yang masih sunyi. "Cin Cin, kau tadi menyinggung te ntang murid
Huang-ho Sin-liong" Siapakah dia?"
"Thian Ki, ingatkah engkau kepada The Siong
Ki?" "The Siong Ki, siapakah itu" Aku tidak ingat
nama itu." "Dia te man kita bermain-main ketika engkau
dan orang tuamu datang berkunjun g ke Hek-houwpang dulu itu. Dia putera supek The Ci Kok...."
"Ahhh, anak yang jangkung dan yang........eh
telinganya kecil itu?"
Cin Cin tersenyum dan Thian Ki terpesona. Baru
sekarang dia melihat gadis ini tersenyum dan
seolah-olah matahari baru muncul dari balik awan
mendung yang te bal, mengusir semua kegelapan
dan kemuraman! "Benar dia, Thian Ki. Aih, betapa aku selalu
menggodanya dan mengatakan dia bertelinga tikus,
dan dia marah-marah." Gadis itu kini te rsenyum
le bar sehingga nampak sedikit deretan giginya yang
putih dan rapi, juga lekuk-lekuk di kedua pipinya
nampak, membuat wajah itu menjadi manis sekali.
"Jadi dia yang menjadi murid Paman Si Han
Beng" Ah, te ntu dia lihai sekali dan di mana
engkau bertemu dengan dia, Cin Cin?"

"Dia memang lihai, akan tetapi kiraku aku masih
mampu menandinginya. Kau tahu, dua kali aku
berte mu dengan dia, dan dua kali pula aku sempat
bertanding dengannya, walau hanya beberapa
jurus saja." Cin Cin lalu menceritakan tentang
perte muannya dengan Siong Ki di Hek-houw-pang.
Kemudian yang ke dua kalinya ketika ia membela
ibu kandung dan ayah tirinya yang hampir celaka
di tangan Siong Ki. 'Penyerangannya te rhadap ibuku itulah yang
membuat hatiku merasa penas aran dan aku akan
sampaikan kepada Huang-ho Sin-liong dan isterinya! Kalau dia berada di sana, aku akan
menegur langsung dan menantangnya!"
"Aih, Cin Cin. Bagaimanapun juga, antara
engkau dan dia masih ada hubungan persaudaraan lewat He k-houw-pang, kenapa urusan kecil dibesar-besarkan?"
"Urusan kecil" Kalau dia menyerang ayah tiriku
karena dia menganggap ayah tiriku dahulu
membantu Cian Bu Ong menyerbu Hek-houw-pang
yang mengakibatkan supek The Ci Kok tewas, hal
itu masih biasa dan aku tidak akan mencampurinya. Akan te tapi melihat ayah tiriku
dalam bahaya, te ntu ibuku membela dan Siong Ki
telah berani melukai pangkal le ngan kanan ibuku!
Kalau aku tidak muncul di saat itu, siapa tahu dia
akan membunuh i buku pula. He mm, kalau dia
berada di rumah Huang-ho Sin-liong, aku akan
beberkan semua ini dan kalau dia tidak mau
mengakui kesalahannya dan minta maaf, aku akan
menantangnya, membalaskan ibuku!"

Thian Ki menghela napas panjang. Dia tahu Cin
Cin menjadi seorang gadis yang keras karena
gemblengan hidup sejak kecil, yang te ramat pahit.
Akan te tapi pada dasarnya, ia seorang gadis yang
baik hati. Dan memang Siong Ki kete rlaluan kalau
berani melukai ibu gadis ini.
"Aku yakin bahwa Paman Si Han Beng dan
isterinya, suami isteri pendekar yang bijaksana itu
akan dapat mengambil tindakan kalau memang
murid mereka bersalah. Huang-ho Sin-liong te rkenal bukan saja karena kelihaiannya, akan
tetapi juga kegagahan dan kebijaksanannya." Dia
menghibur dan sebentar saja, wajah Cin Cin yang
tadinya keruh kini menjadi je rnih dan cerah
kembali. Mereka melanjutkan perjalanan dan
benar saja seperti dugaan dan harapan Thian Ki,
setelah melakukan perjalanan dua tiga hari saja,
gadis itu menjadi seorang kawan yang akrab,
lincah dan selalu bergembira.
-ooo0dw0ooo- Bukan han ya Pangeran Tua Li Siu Ti, yaitu
paman dari Pangeran Li Si Bin yang kini menjadi
Kaisar Tung Tai Cung menggantikan ayahnya saja
yang pernah memberontak sehingga dihukum mati
seluruh keluarganya, juga pada awal Kerajaan
Tang itu, te lah berulang kali te rjadi perebutan
kekuasaan di antara para pangeran dan keluarga
Kaisar. Pendiri Kerajaan Tang, sesungguhnya adalah
Pangeran Li Si Bin, walaupun sebagai kaisar
pertama, yang diangkat adalah ayahnya, yaitu Li

Goan, yang tadinya kepala daerah Shansi dan yang
berjuluk Kaisar Tang Kao Cu (618 - 627). Semenjak
Kerajaan Tang berdiri, sudah berulang kali terjadi
perebutan kekuasaan, namun semua kerusuhan
itu dapat dipadamkan ole h Pangeran Li Si Bin yang
sejak mudanya memang merupakan seorang yang
gagah perkasa, pandai ilmu silat dan ilmu perang
juga amat bijaksana. Ketika Pangeran Li Si Bin menjadi Kaisar Tang
Tai Cung menggantikan ayahnya, Kaisar Tang Tai
Cung (627 - 649) dengan penuh semangat
membangun Kerajaan Tang sehingga menjadi
semakin kuat dan makmur. Dia menjadi kaisar
dalam usia duapuluh enam tahun dan sepuluh
tahun kemudian, kerajaan Tang berkembang
menjadi Kerajaan yang kuat dan diakui oleh para
negara tetangga. Akan tetapi, setelah para pangeran pute ra Kaisar
Tang Tai Cun g mulai dewasa, kembali terjadi gejala
persaingan dan perebutan kekuasaan di antara
para pangeran itu! Hal ini membuat Kaisar Tang
Tai Cung menjadi pusing dan marah. Sudah ada
beberapa orang pangeran,



pute ra-pute ranya sendiri, terpaksa diasingkan ke perbatasan barat
dan utara, karena mereka saling bermusuhan
memperebutkan kedudukan sebagai pangeran
mahkota. Akhirnya, Kaisar memilih Pangeran Li
Hong yang berwatak pendiam, tidak pernah ikut
bersaing memperebutkan kedudukan, seorang
pangeran yang tampan, namun tidak cerdik dan
bahkan wataknya le mah. Selain itu, kelemahan
menyolok dari Pangeran Li Hong adalah wataknya
yang mata keranjang. Kaisar Tang Tai Cung tahu

akan hal ini, dan dia merasa prihatin sekali. Akan
tetapi tidak ada pilihan lain! Kalau dia mengangkat
seorang di antara pute ra-puteranya yang saling
bermusuhan karena memperebutkan kedudukan
menjadi pangeran mahkota, pasti akan timbul
perte ntangan dan bentrokan hebat, terjadi perpecahan di antara keluarganya sendiri. Dia
berusaha untuk menggemble ng pangeran mahkota
itu dengan mengundang guru-guru silat maupun
sastra. Akan tetapi, memang Pangeran Mahkota Li
Hong tidak berbakat, juga kurang semangat, maka
dalam kedua macam ilmu itupun dia sama sekali
tidak mendapatkan kemajuan.
Kwa Bi Lan, yang menjadi selir Kaisar Tang Tai
Cung semenjak kaisar masih Pangeran Li Si Bin,
melihat semua perkembangan ini. Ia sendiri sama
sekali tidak te rtarik akan urusan pemerintahan.
Kalau ia sampai mau menjadi selir pangeran yang
kini menjadi kaisar, hal itu sama sekali bukan
karena ia berambisi untuk memperoleh kedudukan
dan kemuliaan. Sama sekali tidak! Ia seorang
wanita yang berjiwa pendekar dan ketika ia sebagai
seorang janda muda tanpa anak menerima
pinangan Pangeran Li Si Bin adalah karena
memang te rtarik dan kagum kepada pangeran yang
perkasa itu. Akan tetapi, setelah pangeran itu
menjadi kaisar, sebagian besar waktu
dan perhatian Kaisar Tang Tai Cung dikerahkan untuk
urusan pemerintahan, untuk mengemudikan pemerintahan dan memakmurkan negara. Mulailah
Kwa Bi Lan mulai kesepian dan kehidupan di
dalam is tana itu dirasakannya menyiksa jiwanya
yang biasanya bertualang dan bebas. Apalagi

ketika Kaisar Tang Tai Cung te rgila-gila kepada
seorang dayang baru yang bernama Bu Couw Hwa,
kaisar itu tidak lagi pernah datang berkunjung
kepadanya, baik untuk bermalam di kamarnya
atau untuk berbincang-bincang.
Hong Lan atau Lan Lan, yang kini menjadi puteri
Istana dengan nama Li Hong Lan, dapat merasakan
kedukaan ibunya. Ia telah menjadi seorang gadis
berusia delapanbelas tahun yang lincah jenaka,
cantik jelita dan juga pandai ilmu silat, sastra dan
seni! Ia menjadi seorang pute ri yang dicinta oleh
semua penghuni istana, dari kaisar sampai kepada
dayang dan thai-kam (orang kebiri). Bahkan para
guru silat yang atas perintah kaisar mengajarkan
silat kepadanya juga amat sayang kepada murid
yang berbakat ini. Para pangeranpun, yang te ntu
saja tahu bahwa Hong Lan adalah seorang anak
bawaan Kwa Bi Lan dan bukan pute ri kandung
kaisar, juga menganggap Lan Lan sebagai adik
mereka sendiri dan bersikap menyayang kepadanya. Namun, semua ini tidak membuat Lan
Lan menjadi manja atau besar kepala. Ibunya
selalu menekankan watak yang sederhana dan
rendah hati, dan ibunya selalu mengingatkan agar
ia tidak menjadi seorang gadis sombong, dengan
menceritakan bahwa ibunya dahulu seorang gadis
dari rakyat biasa. Akan tetapi, Kwa Bi Lan tidak
pernah menceritakan bahwa Lan Lan bukan pute ri
kandung kaisar, walaupun ia tahu bahwa hal ini
kelak tidak akan dapat ditutupi lagi dan pasti
suatu hari Lan Lan akan mendengar sendiri bahwa
ia bukan anak kandung kaisar, melainkan ikut

ibunya yang menjadi selir kaisar setelah menjadi
janda. Biarlah ia kelak mengetahui bahwa ia bukan
anak kandung kaisar, akan te tapi ia tidak akan
pernah tahu bahwa ia bukan anak kandungku,
pikir Kwa Bi Lan dan kalau sudah memikirkan hal
ini, hatinya meraasa cemas dan khawatir. Bagaimanapun juga, Pendekar Naga Sakti Sungai
Kuning dan is rerinya adalah suami isteri pendekar
yang sakti, dan bukan tidak mungkin suatu waktu
mereka muncul menuntut kembalinya anak mereka itu. Pada suatu pagi, Hong Lan telah berada di
taman samping istana yang biasanya sunyi dan
berlatih silat pedang seorang diri di tempat latihan
yang dibangun di te ngah taman itu. Tempat itu
merupakan tempat te rbuka, beratap tanpa dinding,
dengan lantai dari batu putih mengkilap, sebuah
ruangan kosong yang hanya berisi beberapa buah
bangku. Tempat ini amat menyenangkan untuk
duduk berangin-angin sambil menikmati keindahan taman, juga amat tepat untuk berlatih
silat, tempat berteduh dari panas atau hujan.
Sungguh mengagumkan sekali melihat Hong Lan
berlatih silat pedang di tempat itu. Dara berusia
delapanbelas tahun ini memang cantik manis dan
karena suka berolah raga, maka tubuhnya padat
dan indah. Ketika ia bermain silat pedang,
gerakan-gerakannya selain lentur dan cepat, juga
indah seperti seorang penari yang ahli. Namun di
balik keindahan ini terkandung bahaya bagi
lawannya. Pedang itu kadang berdesing-desing
suaranya, kadang tidak bersuara seperti angin
lalu, adakalanya tidak nampak pedangnya, hanya

nampak bayangan putih bergulung-gulung, adakalanya pula nampak pedang seperti berubah
menjadi puluhan batang banyaknya. Puteri ini
memang hebat, sejak kecil sudah suka sekali
mempelajari ilmu silat, tekun dan berbakat
sehingga seluruh kepandaian silat yang dikuasai
ibunya, telah dikuasainya semua, bahkan ia masih
menerima pelajaran dari guru-guru silat istana
sehingga dalam usia delapan belas, ia bahkan lebih
lihai dibandingkan ibunya.
Bias anya, kalau berlatih silat di tempat itu, Hong
Lan dite mani ibunya, atau gurunya yang lain. Ia
tidak begitu suka bergaul rapat dengan saudarasaudara tirinya, yaitu para pangeran, melihat
betapa di antara para pangeran itu te rdapat
persaingan dan permusuhan karena memperebutkan kekuasaan. Ia tahu pula bahwa
hampir semua pangeran mempunyai jagoan
masing-masing, mempunyai pengikut masing- masing yang hendak membonceng pengaruh dan
kedudukan pangeran, masing-masing mengharapkan majikan mereka kelak menggantikan kedudukan kaisar sehingga mereka
akan memperole h bagian pula. Karena itu, Hong
Lan muak dengan keadaan itu dan iapun le bih
suka menyendiri. Hanya pangeran mahkota saja
yang dianggapnya benar-benar seperti kakaknya
sendiri, walau sikap kakak tirinya yang kadang
te rlalu mes ra dan te rlalu dekat itu membuatnya
risi dan rikuh juga. Namun, hanya Pangeran Li Hong, atau ketika
kecilnya disebut Li Ci, yang nampaknya te nangte nang saja dan tidak mau bermusuhan dengan

saudara-saudara tirinya untuk memperebutkan
kekuasaan. Diapun agaknya maklum bahwa
sebagai pangeran lebih muda, dia tidak akan
dipilih Akan tetapi kenyataannya, karena para
pangeran lain berlomba memperebutkan kedudukan, Kaisar Tang Tai Cung bahkan memilih
dia menjadi Pangeran Mahkota, calon penggantinya
kelak kalau dia sudah tiada! Akan te tapi,
pengangkatan inipun agaknya disambut dengan
acuh saja oleh Pangeran Li Ci atau Li Hong. Dia
le bih suka bermain-main dengan para dayang dan
pute ri, karena hanya kalau berdekatan dan bergaul
ramah, dengan wanita cantik sajalah hatinya dapat
merasa bahagia! Akan te tapi pagi hari itu, Hong Lan berlatih
seorang diri. Ibunya masih tidur. Ia tahu bahwa
te rjadi perubahan besar dalam sikap ibunya.
Dahulu, ibunya cekatan dan selalu bergembira,
akan te tapi akhir-akhir ini, ibunya le bih banyak
merenung dengan wajah murung. Bahkan di waktu
malam sering bergadang di dalam kamar, membaca
dan te rmenung saja, sehingga paginya agak
te rlambat bangun. Juga ibunya malas berlatih
silat. Ia tahu penyebabnya. Ayahnya, Kaisar Tang
Tai Cung, selama beberapa bulan ini seperti
melupakan ibunya, tidak pernah datang berkunjung untuk bermalam atau bercakap-cakap.
Itulah yang membuat, ibunya menjadi murung.
Dan Hong Lan juga tahu mengapa ayahnya tidak
pernah muncul. Ayahnya sedang te rgila-gila
kepada seorang dayang muda cantik, dan selain
itu, juga ayahnya sedang te rtarik akan ilmu gaib,
te rutama yang ada hubungannya dengan ilmu

membuat umur panjang! Ia mendengar bahwa
ayahnya mengadakan hubungan dengan seorang
tosu ahli ilmu gaib atau ilmu sihir, untuk
mempelajari ilmu membuat usia menjadi panjang,
bahkan kalau mungkin, dapat hidup selamanya
tidak dapat mati! Tiba-tiba Hong Lan melompat dan menyelinap ke
balik rumpun bunga yang berdaun le bat. Ia
mendekam di balik semak-semak ini untuk
bersembunyi, karena lapat-lapat ia mendengar
suara orang menuju ke situ. Pada saat itu ia tidak
ingin diganggu orang lain, maka iapun bersembunyi agar tidak ada yang melihatnya.
Ketika suara orang-orang itu semakin dekat,
te rnyata yang melangkah perlahan-lahan adalah
ayahnya, Kaisar Tang Tai Cung dan seorang tosu
yang bertubuh tinggi bermuka merah. Hong Lan
te rtarik dan hampir tidak bernapas, ia tahu bahwa




ayahnya adalah seorang yang lihai, dan ia
mendengar pula bahwa tosu inipun seorang sakti,
maka ia khawatir kalau sampai ia ketahuan. Dari
balik semak-semak, ia menghampiri mereka berdua. Ayahnya, Sribaginda Kaisar, sudah nampak tua,
padahal usianya belum ada limapuluh tahun.
Semua pertengkaran antara para pangeran membuat kaisar ini banyak menderita sedih dan
je ngkel, membuat kesehatannya mundur dan
garis -garis kepahitan menggores di wajahnya yang
tampan dan gagah. Tubuhnya masih nampak
kokoh dan gesit, akan tetapi ayahnya itu agaknya
sudah kehilangan gairah penuh semangat pada
pandang matanya yang kini nampak sayu. Hong

Lan sudah mendengar akan pengaruh seorang tosu
ahli sihir atas diri ayahnya, akan tetapi belum
pernah ia melihat orangnya. Kini, melihat seorang
tosu dengan jubah longgar dan ada gambar patkwa (s egi delapan) simbol Im-yang (Positip Negatip)
di dada, segera ia dapat menduga bahwa te ntu ini
tosu yang kabarnya berjuluk Im Yang Seng cu itu!
Seorang pria yang bertubuh tinggi te gap, le bih
tinggi sedikit daripada ayahnya, mukanya merah
dan kumis jenggotnya yang memutih itu jarang dan
pelipis wajahnya aneh, mulutnya terhias senyum
akan te tapi pandang matanya demikian dingin
tanpa perasaan! Mereka berdua melangkah perlahan berdampingan dan tidak nampak ada
pengawal seorangpun. Memang ayahnya tidak
pernah mengajak pengawal kalau berjalan-jalan di
dalam lingkungan is tana. Ayahnya adalah seorang
ahli silat yang tangguh, maka tidak membutuhkan
perlindungan pengawal. Ketika mereka tiba di
depan ruangan te rbuka itu, mereka berhenti dan
Kaisar memberi isyarat agar mereka mengaso dan
duduk di bangku yang paling depan.
Hong Lan berada di belakang mereka, di balik
semak-semak, tidak dapat melihat wajah mereka,
namun dapat mendengarkan percakapan mereka
dengan jelas. "To-tiang, berapa lama lagikah obat panjang usia
yang sedang kau buat itu" Kami sudah tidak sabar
menanti. Sudah dua bulan engkau membuatnya,
sampai sekarang belum juga selesai."
"Harap paduka bersabar, Sribaginda. Pembuatan
obat itu tidak mudah, harus makan waktu seratus

hari. Bersabarlah kurang le bih sebulan lagi dan
pinto pasti akan menyerahkan obat itu kepada
paduka. Tentu saja keberhasilan usaha manusia
te rgantung dari kehe ndak Langit dan Bumi, karena
hanya keselarasan Langit dan Bumi saja yang
dapat menghidupkan segala sesuatu. Yang wajib
kita lakukan, disamping usaha semampunya,
adalah menyerah kepada kekuasaan Sang Maha
Pencipta. Akan tetapi, yang merisaukan hati
hamba adalah hasil penelitian hamba te rhadap
bintang-bintang di langit malam tadi. Cuaca cerah,
langit bersih dan tidak te rganggu sinar bulan
sehingga bintang-bintang nampak jelas dan mereka
bicara banyak mengenai kerajaan paduka."
"Ahhh! Apa yang dikatakan bintang-bintang
te rhadap kerajaan kami, to-tiang" Hatiku selalu
risau kalau memikirkan keadaan kerajaan, melihat
betapa tidak ada pangeran yang kuanggap cukup
bijaksana dan memenuhi syarat untuk menjadi
penggantiku. Beberapa orang pute raku yang
kuanggap cukup kuat dan pandai, ternyata berhati
bengkok dan saling bermusuhan, sehingga te rpaksa kami membuangnya keluar kota raja.
Hanya Pangeran Li Ci saja yang memiliki watak
baik, akan tetapi dia seorang laki-laki yang lemah
dan kurang semangat. Terpaksa, karena hanya
itulah satu-satunya jalan, kami mengangkatnya
menjadi Pangeran Mahkota. Bagaimana menurut
perhitungan semalam to-tiang" Kami ingin sekali
mengetahui nasib kerajaan kami."
"Sian-cai........! Nasib memang telah digariskan,
namun segalanya tergantung dari usaha kita,
karena yang kita ketahui hanyalah hasil atau

gagalnya usaha kita. Jalannya nasib merupakan
rahasia bagi kita, dapat dijenguk, namun tetap
tidak dapat dimengerti. Menurut perhitungan hasil
semalam melalui bintang-bintang, Kerajaan Tang
masih dapat berjaya dan bertahan sampai ratusan
tahun, sedikitnya tigaratus tahun lagi."
Kaisar memandang tosu itu dengan wajah
berseri. "Bagus! Terima kasih kepada Bumi dan
Langit yang akan mempertahankan keturunan
kami sampai tigaratus tahun!"
"Siancai..........! Bagaimanapun juga, tidak ada
hari cerah tanpa mendung, tidak ada siang tanpa
malam, tidak ada kemujuran tanpa diselingi
kemalangan. Hidup memang harus diisi gelap dan
te rang, senang dan susah, dan demikian pula
dengan kerajaan paduka. Bahkan dalam waktu
satu keturunan saja, kekuasaan kerajaan akan
dipegang oleh orang lain marga, bukan marga Li
yang akan mengendalikan pemerintahan, melainkan marga Bu."
"Apa........"!?" Ini tidak mungkin! Aku akan
bertindak!" te riak kaisar dengan marah.
"Siancai, siancai........! Harap paduka suka
menenangkan hati. Kemarahan dan kekhawatiran
hanya akan menimbulkan penyakit dan mengganggu kesehatan paduka yang sudah mundur, karena paduka banyak memusingkan
soal para pangeran. Tentu saja paduka berhak
untuk bertindak, justeru manusia dituntut untuk
bertindak dan berikhtiar, akan te tapi hendaknya
paduka tidak lupa akan hokum alam dan tidak
bertindak menuruti nafsu saja."

Kaisar menahan kemarahan hatinya. Biar
kepada tosu ini sekalipun, dia harus merahasiakan, tindakan apa yang akan diambilnya, maka diapun membelokkan percakapan. "Bagaimana dengan pute ra mahkota"
Akan baikkah nasibnya dan mampukah dia
mengatur pemerintahan menggantikan kami?"
Tosu itu tersenyum. "Harap paduka jangan
khawatir. Menurut perhitungan bintang semalam,
bintang pute ra paduka itu cemerlang. Pangeran Li
Hong atau Li Ci kelak akan memerintah sampai
puluhan tahun dengan baik!"
"Aihh........ ! Luar biasa! Bagaimana mungkin
te rjadi hal yang sebaik itu, padahal kami selalu
meragukan kemampuannya" Dia le mah dan tidak
cerdas, juga kurang semangat!"
"Sribaginda, kecakapan seseorang masih tidak
begitu besar pengaruhnya te rhadap dirinya melebihi pengaruh nasib. Sang Pangeran bernasib
baik sehingga beliau akan selalu memperoleh
pendukung dan pembantu yang setia dan baik, dan
karena bantuan inilah yang membuat dia dapat
berkuasa sampai puluhan tahun lamanya, dan
negara akan menjadi makmur dan te nteram, juga
agama berkembang pesat. Agama Buddha akan
memegang peranan penting dalam pemerintahan
pute ra paduka." "Dan tadi kau katakan bahwa ada marga yang
Bu yang menguasai......"
"Harap paduka te nang saja. Kalaupun ada
marga yang memegang kendali pemerintahan,
bukan berarti bahwa marga Li te rsingkir. Siapa

tahu marga Bu malah yang menjadi pendamping
dan pembantu. Ini hanya Bumi dan Langit yang
tahu, dan Yang Maha Pengatur yang akan
mengatur semua itu. Usaha apapun yang kita
lakukan, tidak akan mampu mengubah ketentuan
yang telah digariskan, Yang Mulia."
"Hemm, aku khawatir sekali melihat kelemahan
Li Ci! Kalau saja aku diberi umur panjang, aku
akan dapat mencegah marga apapun juga
menguasai keturunanku! To-tiang, cepat selesaikan obat panjang umur itu. Aku ingin hidup
seribu tahun lagi agar dapat menjaga kekuasaan
keturunanku!" Mereka bangkit dan berjalan pergi
perlahan-lahan. Hong Lan tertegun di tempat persembunyiannya.
Diam-diam ia merasa ngeri, merasakan pergolakan
yang mempengaruhi suasana di istana. Perebutan
kekuasaan! Agaknya setiap orang di is tana telah
kejangkitan penyakit itu. Berlomba untuk meraih
kekuasaan, persaingan, permusuhan dan kebencian! Manusia saling bermusuhan
dan hal ini berlangsung terus, agaknya sejak manusia- manusia pertama diciptakan sampai sekarang!
Manusia saling bermusuhan, saling berlomba dan
berebut kekuasaan, berebutan harta. Mengapa
demikian" Semua ini adalah pengaruh iblis,
pengaruh setan yang hendak menguasai manusia.
Iblis mempergunakan daya-daya rendah yang ada
pada diri manusia untuk menyeret manusia agar
menyeleweng dari jalan hidup seperti yang
dikehendaki Tuhan Maha Pencipta.

Mungkin timbul pertanyaan: Apa dan bagaimana
yang dikehendaki Tuhan itu dan bagaimana kita
dapat menentukan bahwa itu adalah kehendak
Tuhan" Menjawab pertanyaan seperti ini hanya
mengandalkan pikiran adalah tidak mungkin, atau
jawaban itu hanya akan menimbulkan perdebatan
dan perte ntangan belaka. Untuk menjawab pertanyaan di atas, menimbulkan pertanyaan lain
te ntang ada dan tidaknya Tuhan! Inipun bukan
suatu pertanyaan untuk dijawab oleh otak kita.
Ada atau tidaknya Tuhan merupakan kepercayaan
atau ketidak percayaan saja, karena tidak mungkin




membuktikan keberadaan Tuhan melalui pancaindera. Namun kekuasaan Tuhan dapat dibuktikan. Seluruh jagad mayapada beserta
semua isinya ini, jelas ada, dapat dilihat, didengar
dan dicium. Kalau ada, tentu ada yang mengadakannya! Nah, Yang Mengadakan inilah
yang kita sebut Tuhan! Kekuasaan Tuhan nampak
jelas di mana-mana, bahkan dalam diri kita
sendiri. Dari setiap helai bulu di tubuh kita,
rambut dan kuku, semua itu tumbuh tanpa kita
tumbuhkan. Jadi, ADA yang menumbuhkan, dan
inilah kekuasaan Tuhan! Kemampuan lalat dan
burung te rbang di udara, kemampuan ikan hidup
di air, cacing di dalam tanah, semua itu karena
kekuasaan Tuhan yang mengaturnya. Dan kekuasaan itu kita namakan HIDUP atau kehidupan. Lalu, bagaimana kita dapat menentukan bahwa
semua itu merupakan kekuasaan Tuhan" Siapakah Tuhan" Pria atau wanita" Satu ataukah
banyak" Dimana te mpat
tinggalnya" Semua ♤
pertanyaan otak atau pikiran ini sama sekali tidak
te pat untuk dijawab. Nama bagi Yang Maha Kuasa
atau Maha Pencipta itu hanyalah sebutan yang kita
pakai saja menurut bahasa masing-masing. Kekuasaan Tuhan berada di manapun juga, dan
kekuasaanNya bekerja melalui sinar matahari,
udara, air, api, tanah sehingga memberi kehidupan. Pikiran tidak mungkin mengukur
kebesaran Tuhan! Tidak mungkin dapat membayangkan. Kita ini merupakan satu di antara
mahluk ciptaan Tuhan. Walaupun merupakan
mahluk yang paling le ngkap dan sempurna,
berikut hati dan pikiran, dilengkapi akal budi,
namun te tap saja serba terbatas. Mata kitapun
te rbatas, tidak dapat melihat benda yang le bih
le mbut daripada ukuran mata. Pendengaran,
penciuman, juga hati akal pikiran, semua terbatas.
Bagaimana mungkin yang serba te rbatas ini
mengukur YAN G TIDAK TERBATAS"
Pikiran ini hanyalah gudang yang is inya hanya
tumpukan pengalaman. Kita hanya dapat mengenal hal-hal atau sesuatu yang pernah kita
kenal, kita ketahui. Kalau kita disuruh mencari
seseorang, tentu pikiran mencari-cari dalam
gudang itu dan mencari-cari bayangan orang itu.
Kalau kita pernah bertemu dengannya, pernah
mengenalnya atau mengetahui bagaimana rupanya, siapa namanya, te ntu kita dapat mencarinya. Akan te tapi bagaimana kita dapat mencari
seseorang yang sama sekali tidak kita ketahui, tak
pernah kita kenal, baik rupanya, namanya atau
te mpat tinggalnya" Tidak mungkin, bukan" Baru

mencari orang yang tidak kita kenal saja, tidak
mungkin. Bagaimana pikiran ini, yang hanya
merupakan gudang benda-benda lapuk, dapat
menemukan atau mencari Tuhan" Yang akan kita
te mukan tentulah Tuhan yang sudah terbentuk
dalam pikiran kita, gambaran yang kita dapat
te ntang Tuhan, dan jelas bahwa yang kita temukan
itu hanyalah sebuah bayangan belaka dari anganangan kita sendiri. Baru membayangkan bentuk
udara, bentuk api, atau bentuk air saja sudah
tidak mungkin bagi kita. Yang dapat kita bayangkan adalah bentuk air dalam wadahnya,
bentuk api dalam nyalanya, bentuk udara dalam
te kanannya. Apalagi membayangkan bentuk Yang
Maha Pencipta, yang menciptakan semua itu!
Tidak mungkin! Disini letaknya peran dari iman. Tuhan hanya
dapat disentuh dengan iman! Dengan kesadaran
bahwa Tuhan itu Ada karena kekuasaannya ada
dan te rbukti. Dan kalau sudah begitu, keimanan
membawa kita kepada kepercayaan akan wahyu
Tuhan yang dilimpahkan kepada manusia melalui
manusia pula, manusia yang sudah dipilihnya,
untuk memimpin manusia agar menjauhi kejahatan dan melakukan kebajikan. Melakukan
kebaikan dalam kerukunan bersama antar manusia untuk mempertahankan keberadaan
manusia. Dan kebaikan inilah yang kita te rima
sebagai kehe ndak Tuhan! 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN