NAGA BERACUN JILID 23

close

Keripik pisang teh ro'ah

 
 "Cin Cin, aku mendengar bahwa engkau diantar
oleh sute Lai Kun untuk berguru kepada pendekar
sakti Si Han Beng. Tentu saja hatiku lega dan

setuju sekali. Akan tetapi, beberapa bulan yang
lalu, aku dan suamiku berkunjung ke Ta-buncung, te rnyata Lai Kun te lah menjadi ketua Hekhouw-pang dan menurut dia, engkau hilang di
daerah Lok-yang ini. Tentu saja aku merasa sedih
dan kami berdua segera mencari dan menyelidiki
jejakmu di daerah ini. Untung kami mendengar
te ntang peristiwa di Ji-goan, betapa seorang gadis
membasmi rumah pelesir dan kami curiga, lalu
kami mencari ke Lok yang dan berte mu denganmu
di jalan. Kami lalu membayangimu, melihat engkau
diganggu orang-orang di rumah makan itu."
Cin Cin menundukkan mukanya. Kini ia
mengerti semuanya dan ia sudah mempertimbangkan keadaan ibunya. Ibunya tidak
dapat disalahkan, bahkan beruntung ibunya dapat
berjodoh dengan seorang pendekar seperti Lie Koan
Tek. Mengingat akan sikapnya ketika berte mu
dengan ibunya, betapa ia bersikap kasar dan
marah, ia merasa menyesal sekali dan hatinya
te rtusuk keharuan, membuat kedua matanya
basah. Melihat gadis itu hanya menunduk, Liu Hwa
mendekati. "Cin Cin........kau......kau...,
suka memaafkan ibumu.......?"
Cin Cin mengangkat mukanya. Wajahnya dan
kedua matanya basah air mata yang kini menetes
turun. "I bu............!"
"Cin Cin anakku..............!"

Dua orang wanita itu saling tubruk dan
berangkulan, bertangisan. Lie Koan Tek te rsenyum
akan te tapi dia menggunakan punggung tangan
untuk menghapus dua titik air mata, air mata
kebahagiaan karena tadinya dia khawatir sekali
kalau Cin Cin tetap tidak mengakui ibunya dan hal
itu pasti akan menghancurkan hati is terinya dan
akan menyiksanya selama hidup.
Ibu dan anak itu bertangisan dan semua
kekerasan yang dibentuk ole h gurunya selama
belasan tahun mencair dalam hati Cin Cin dan
iapun menangis sampai mengguguk di pangkuan
ibunya. Seluruh kerinduan yang bertumpuk selama ini tercurah keluar melalui tangis mereka
dan di dalam tangis ini pula Cin Cin telah
memaafkan semua rasa penasaran hatinya te rhadap ibunya selama ini. Setelah tangis mereka
mereda, Liu Hwa merangkul le her pute rinya,
menciuminya, meraba seluruh anggota tubuh
pute rinya, dari rambut sampai ke kakinya. Ketika
ia meraba lengan kirinya, ibu itu terisak.
"Cin Cin.......anakku, tangan kirimu......aih,
kenapa sampai begini, anakku" Apa yang te rjadi
dengan tanganmu?" Ia menciumi ujung lengan kiri
yang buntung dan dibalut kain putih itu.
De ngan suara seperti anak kecil manja melapor
kepada ibunya, Cin Cin berkata lirih diseling is ak,
"I bu.....tanganku dibuntungi oleh Thian Ki....."
"Thian Ki.....?" Kau maksudkan, Coa Thian Ki
pute ra Coa Siang Lee.."
Gadis itu mengangguk dan menyandarkan
mukanya di dada ibunya, menangis.

"Tapi.....mengapa?"
Lie Koan Tek berkata dengan suaranya yang
te nang dan sabar. "Kurasa, sebaiknya kalau Cin
Cin menceritakan pengalamannya semenjak meninggalkan Ta-bun-cung kepada ibunya."
Cin Cin kini sudah dapat menguasai hatinya.
Kedua matanya merah dan ia memandang kepada
Lie Koan Tek. "Paman......eh, bolehkah aku
menyebut ayah.....?"
Lie Koan Tek tertawa, tawanya bebas dan keras
tanda kelegaan hatinya. "Ha-ha-ha-ha, tentu saja,
Cin Cin. Memang aku ini ayahmu, pengganti ayah
kandungmu yang telah tewas."
"Maafkan sikapku tadi, ayah."
"Tentu saja, Cin Cin. Sikapmu tadi tidak dapat
kusalahkan, sudahlah sekarang sebaiknya kau
ceritakan semua pengalamanmu, setelah engkau
tadi mendengar ceritaku dan cerita ibumu."
Cin Cin duduk di atas akar, dekat ibunya dan
menggunakan saputangan menghapus air mata
dari wajahnya. "Atas perintah mendiang kakek
Coa, aku diantar oleh susiok Lai Kun untuk
menjadi murid paman Si Han Beng di Hong-cun.
Akan te tapi, ketika kami tiba di kota Ji-goan,
paman Lai Kun bertindak curang dan keji. Aku
dijualnya kepada seorang mucikari, pemilik rumah
pelesir Ang-hwa." "Jahanam Lai Kun.........!!" Ibunya berseru dan
mengepal tinju. "Kalau aku tahu hal itu, ketika aku
berhadapan dengannya, te ntu sudah kucekik
le hernya..!" ♤
"Tenanglah, ibu. Paman Lai Kun sekarang sudah
te was." Ibunya memandang kepadanya. "Kau...... kau
membunuhnya?" Cin Cin tersenyum dan menggele ng kepala. "Aku
datang berkunjung ke sana dan melihat dia
menjadi ketua Hek-houw-pang. Aku hanya membongkar rahasianya, menceritakan kepada
semua orang apa yang dia lakukan te rhadap
diriku, dan dia merasa malu lalu membunuh diri
sendiri." "Aahhh.........kasihan isteri dan anak-anaknya,"
kata Liu Hwa. "Lalu bagaimana
kelanjutan ceritamu, Cin Cin?"

Cin Cin menceritakan pengalamannya ketika
dipaksa tinggal di rumah pelesir Ang-hwa, betapa
ia berusaha melarikan diri ketika ia dijual kepada
seorang bangsawan, betapa ia dikejar-kejar tukang-tukang pukul, kemudian ditolong oleh
seorang wanita sakti yang mengambilnya sebagai
murid. "Siapakah wanita sakti yang menjadi gurumu
itu?" tanya ibunya. "Subo adalah Tung-hai Mo-li
Bhok Sui Lan." "Ahhhh!" Lie Koan Tek berseru kagum. "I a
seorang tokoh kangouw yang amat lihai, datuk dari
timur!" "Selama belasan tahun aku tekun berlatih ilmu
silat dari subo. Kemudian, subo menyuruh aku
turun gunung karena menganggap pelajaranku
sudah tamat dan aku mendapat tugas untuk

mencari dua orang musuh subo dan membunuhnya. Aku lalu mencari musuh pertama
suboku, yaitu Pangeran Cian Bu Ong."
"Ahh.........!" Lie Koan Tek berseru kaget. Juga
isterinya te rkejut karena Liu Hwa sudah mendengar dari suaminya bahwa pangeran Kerajaan Sui yang dahulu menyuruh serbu He khouw-pang adalah Cian Bu Ong.!
"Kenapa, ibu" Ayah" Kenapa kalian kaget
mendengar nama Cian Bu Ong?"
"I ngatkah engkau akan ceritaku tadi bahwa aku
dan beberapa orang yang lihai dibebaskan dari
hukuman dan diharuskan membantu seorang
pangeran, bahkan pangeran itu menyuruh kami
menyerbu He k-houw-pang" Pangeran itu adalah
Cian Bu Ong!" "Hemm, sungguh kebetulan sekali. Kalau begitu,
Cian Bu Ong juga musuh He k-houw-pang, musuh
kita, ibu." "Akan tetapi dia sakti sekali, Cin Cin. Berhasilkah engkau membunuhnya?" Lie Koan Tek
bertanya, penuh kagum. Kalau Cin Cin mampu
mengalahkan Cian Bu Ong, berarti puteri tirinya
ini memang luar biasa lihainya. Akan te tapi Cin
Cin menggeleng kepalanya.
"Dia memang lihai, akan te tapi agaknya merasa
bersalah te rhadap subo, maka dia sengaja mengalah. Agaknya aku pasti akan dapat membunuhnya kalau saja tidak dihalangi oleh
Thian Ki." Ketika mengucapkan nama itu, wajah
Cin Cin mengeras dan matanya berkilat.

"Apa katamu" Thian Ki, putera Coa Siang Lee
dan Sim Lan Ci itu malah membela Cian Bu Ong
musuh besar kita, juga musuh besarnya sendiri!"
kata Liu Hwa terheran-heran.
"Bahkan le bih dari itu, ibu. Thian Ki telah
menjadi putera Cian Bu Ong, dan ibunya te lah
menjadi isteri bekas pangeran itu."
"Wahhhh......?" Aneh sekali! Sungguh luar biasa
sekali!" seru Liu Hwa, s ukar membayangkan hal itu
dapat te rjadi. Kalau ia menjadi isteri Lie Koan Tek,
biarpun pendekar Siauw-lim-pai ini pernah membantu Cian Bu Ong, adalah karena ternyata
bahwa Lie Koan Tek bukan penjahat dan tidak
membunuhi orang-orang He k-houw-pang, bahkan
menolongnya. Akan te tapi Pangeran Cian Bu Ong"
Dia yang menyuruh anak buahnya menghancurkan He k-houw-pang sehingga akibatnya menewaskan pula Coa Siang Lee, dan
isteri Siang Lee itu malah menjadi isteri pangeran
itu" "Dan Coa Thian Ki yang membela Pangeran Cian
Bu Ong membuntungi tangan kirimu, Cin Cin?"
tanya Lie Koan Tek yang juga merasa terheranheran. Cin Cin menggeleng kepalanya dan alis nya
berkerut ketika ia menunduk dan memandang
kepada ujung le ngan kirinya. "Dia mencegah aku
membunuh Cian Bu Ong, sehingga te rjadi perkelahian antara dia dan aku. Thian Ki yang
menjadi anak tiri dan murid Cian Bu Ong, lihai
bukan main. Akan te tapi aku berhasil mencengkeram pundaknya dengan tangan kiriku.

Seketika, tangan kiriku keracunan hebat sampai
menjadi hitam dan Thian Ki menggunakan
pedangnya untuk membuntungi tanganku sebatas
pergelangan. Katanya.......kalau tidak dia buntungi
tanganku, racun akan menjalar naik dan aku akan
te was tanpa ada obat yang dapat menyembuhkannya." "Ahhh, mengerikan!" kata Lie Koan
Tek. "Bagaimana mungkin engkau mencengkeram pundaknya malah engkau yang keracunan?"
"Ayah, Thian Ki adalah seorang tok-tong (anak
beracun), hal ini kuketahui kemudian. Di tubuhnya mengeram racun yang amat hebat
sehingga siapa saja yang memukul atau mencengkeramnya akan keracunan sendiri tanpa
ada obat yang mampu menyembuhkannya."
"Aku ingat sekarang!" kata Liu Hwa. "Ibunya,
Sim Lan Ci, adalah puteri Ban-tok Mo-li, ahli racun
yang tiada duanya di dunia persilatan. Tentu
neneknya itulah yang membuat Thian Ki jadi
seorang tok-tong." "Bukan main anak itu," kata Lie Koan Tek
te rmenung. "Sudah menjadi tok-tong, menjadi
anak tiri dan murid Cian Bu Ong, te ntu dia
menjadi seorang yang amat hebat. Baru memukulnya saja sudah mendatangkan bahaya
maut bagi yang memukulnya! Akan sulit mencari
orang yang akan mampu menandingi pemuda itu."
"Jangan-jangan dia akan menjadi seorang
penjahat. Akan berbahaya sekali kalau begitu.
Mendiang ayahnya, Coa Siang Lee, adalah seorang

pendekar dan ibunya, biarpun pute ri Ban-tok Moli, namun bukan seorang wanita jahat."
"Hemm, setelah menjadi seorang tok-tong, sadar
akan kekuataan dalam tubuhnya, dan menjadi
murid Cian Bu Ong yang sakti dan kejam, memang
ada kecondongan bagi pemuda itu untuk menjadi
jahat. Yang jelas, Cin Cin telah menjadi korban
anak beracun itu, dan kehilangan tangan kirinya."
Liu Hwa mengamati wajah puterinya dan Cin Cin
menunduk, menarik napas panjang. "Cin Cin,
apakah engkau mendendam kepada Thian Ki?"
Gadis itu kembali menghela napas panjang dan
menggeleng kepalanya. "Sesungguhnya ibu, ketika
aku kehilangan tangan kiri, aku menjadi berduka
sekali dan merasa sakit hati. Akan tetapi, aku
merasa yakin bahwa Thian Ki bukanlah orang
jahat. Justru dia membuntungi tangan kiriku
untuk menyelamatkan nyawaku, dan dia melakukannya secara te rpaksa sekali. Bahkan
tangan kiriku keracunan bukan karena dia
menyerangku, melainkan karena aku yang mencengkeram pundaknya. Aku tidak dapat
menyalahkan dia, ibu. Akan te tapi, bagaimanapun
juga, aku menjadi buntung karena dia, disengaja
atau tidak, maka selalu ada dendam te rkandung
dalam hatiku. Sekali waktu, entah kapan, aku
akan membalas semua ini, dan mudah-mudahan
aku akan dapat membuntungi tangan kirinya, baru
akan puas rasa hatiku dan tidak akan merasa
penas aran lagi." Diam-diam Liu Hwa merasa ngeri. Hampir ia
tidak dapat mengenal puterinya yang dahulu

merupakan seorang anak yang periang dan berhati
le mbut. Sekarang, ada sesuatu yang membuatnya
merasa ngeri. Pute rinya itu kini berwatak keras
dan terdapat sesuatu yang dingin.
Lie Koan Tek menarik napas panjang. "Me ndengarkan penuturanmu, akupun merasa
ragu apakah benar Thian Ki menjadi seorang
pemuda yang kejam dan jahat. Kalau memang
engkau menganggap dia tidak bersalah, tidak
semestinya kalau engkau mendendam kepadanya,
Cin Cin. Seorang gagah tidak pernah mendendam,
hanya menentang yang jahat, siapapun dia. Kalau
Thian Ki ternyata jahat, sudah sepatutnya kalau
engkau menentangnya, akan tetapi kalau ternyata
tidak, maka tidak baik kalau engkau mendendam
kepadanya." "Apa yang dikatakan ayahmu benar, Cin Cin.
Engkau te ntu masih ingat bahwa ayah kandungmu
adalah ketua Hek-houw-pang yang selalu membela


kebenaran dan keadilan, juga keluarga ibumu
adalah keluarga Coa yang turun te murun menjadi
pimpinan He k-houw-pang. Bahkan ayah tirimu ini
adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang
te rkenal selalu menentang ketidak-adilan. Engkau
keturunan keluarga pendekar, anakku, oleh karena
itu, setelah kini memiliki ilmu kepandaian tinggi,
sudah sepatutnya kalau engkau bersikap dan
bertindak sebagai seorang pendekar wanita sejati."
Cin Cin menghela napa panjang. "Ibu, biarpun
subo adalah seorang datuk yang berwatak aneh
dan keras, namun karena sejak kecil aku sudah
menerima pendidikan dari ibu dan ayah, maka

didikan subo tidak akan mampu membelokkan
watak pendekar dari hati dan pikiranku. Akan
tetapi aku berhutang budi, bahkan berhutang
nyawa kepada subo. Kalau aku tidak membalas
budinya, bukankah aku sama saja dengan seorang
yang tak mengenal budi, seorang yang rendah
budi?" "Tentu saja, Cin Cin. Sudah sewajarnya, bahkan
sudah menjadi kewajibanmu untuk membalas budi
kepada subo-mu!" kata Lie Koan Tek dan ibunya
juga mengangguk. "Nah, karena memenuhi permintaan su-bo,
maka aku mati-matian mencari Cian Bu Ong dan
berusaha membunuhnya. Akan te tapi, Thian Ki
membela ayah tlrinya yang juga menjadi gurunya
dan menghalangi usahaku untuk memenuhi tugas
yang diberikan subo kepadaku, yaitu membunuh
Cian Bu Ong. Akibat dari perbuatan Thian Ki,
walaupun tidak dia sengaja, aku kehilangan
tangan kiriku. Ayah dan ibu, tidakkah sudah
sepatutnya kalau aku kelak membalas kepada
Thian Ki" Dan akupun akan berusaha memenuhi
permintaan subo, sekali lagi aku akan berusaha
menbunuh Cian Bu Ong!"
"Akan tetapi itu berbahaya sekali, anakku.
Engkau tahu sendiri betapa lihainya bekas
pangeran itu! Apa lagi muridnya, Thian Ki pasti
akan selalu membelanya!"
"Aku tidak takut, ibu. Dan selain itu, masih ada
sebuah tugasku lagi yang diperintahkan subo,
yaitu membunuh seorang lain yang menjadi musuh
subo." ♤
"Ah, betapa berat tugasmu, disuruh membunuh
orang-orang pandai. Siapa lagi yang dimusuhi oleh
subomu itu, Cin Cin?"
"Orang ke dua yang harus kucari dan kubunuh
bernama Can Hong San........."
"Ahh! Dia..........?"" Lie Koan Tek berseru kaget,
juga Liu Hwa terkejut mendengar disebutnya nama
itu. "Ayah, ibu, kalian sudah mengenal nama itu?"
"Me ngenal" Tentu saja!" kata Lie Koan Trek
heran. "Can Hong San adalah seorang di antara
mereka yang dikeluarkan dari penjara oleh Cian Bu
Ong, dan kemudian menjadi pembantunya pula.
Dialah seorang di antara kami yang menyerbu Hekhouw-pang, dan dialah yang melakukan banyak
pembunuhan di antara keluarga Hek-houw-pang."
"Bahkan dia hampir saja mencelakai aku, kalau
saja tidak muncul ayahmu ini yang menolongku
dari tangannya," kata Liu Hwa.
"Bagus! Kalau begitu, sungguh kebetulan sekali
subo menyuruh aku membunuhnya. Dia jelas
orang yang jahat!" kata Cin Cin penuh semangat.
"Dapatkah ayah dan ibu memberitahu, di mana
aku dapat mencari Can Hong San?"
Lie Koan Tek menghela napas panjang. "Aah, Cin
Cin, bagaimanapun juga, subomu itu sungguh tega
memberi tugas yang demikian berat kepadamu.
Seorang Cian Bu Ong saja sudah merupakan lawan
yang amat berat dan sukar untuk dibunuh, dan
engkau masih harus menghadapi Can Hong San.

Dia lihai bukan main! Dia adalah putera mendiang
Cui-beng Sai-kong. Dia lihai, jahat dan licik sekali.
Bahkan mungkin dia le bih berbahaya dibandingkan Cian Bu Ong yang setidaknya
memiliki keaangkuhan dan kegagahan. Kami
sendiri tidak tahu di mana dia sekarang berada.
Tidak akan mudah mencari orang yang licik se perti
iblis itu." "Akan tetapi, kenapa gurumu memusuhi kedua
orang itu, Cin Cin" Sepanjang pendengaranku.
Tung-hai Mo-li adalah seorang datuk besar di
wilayah timur. Bagaimana ia memusuhi orangorang yang dapat dibilang segolongan, walaupun
Cian Bu Ong berasal dari keluarga kerajaan?"
"Riwayat subo dengan Cian Bu Ong amat
menyedihkan, ibu. Mereka ketika muda saling
mencinta dan akan menjadi suami isteri, akan
tetapi tiba-tiba Cian Bu Ong memutuskan cinta
ketika mengetahui bahwa subo datang dari
keluarga golongan hitam. Hal ini menghancurkan
perasaan hati subo sehingga sejak itu, sampai
sekarang, subo tidak mau menikah, bahkan tidak
mau berdekatan dengan pria. Itulah dendam subo
kepada Cian Bu Ong. Adapun mengenai Can Hong
San, orang itu dahulu membunuh suheng dari
subo. Hanya itu yang kuketahui. Aku tidak banyak
bertanya dan hanya akan mentaati pesan subo
yang sudah melimpahkan budi kepadaku."
Suami isteri itu saling pandang. Mereka tidak
dapat menyalahkan Cin Cin, bahkan mereka
merasa bangga karena Cin Cin te rnyata seorang
murid yang se tia membela gurunya sehingga dalam

melaksanakan tugas yang diperintahkannya, ia
sampai kehilangan tangan kiri. Dan inipun tidak
membuatnya mundur, dan ia masih bertekad
untuk mencari dan membunuh kedua orang
musuh gurunya itu! "Mari kita pulang dulu, Cin Cin. Aku amat
merindukanmu dan rasanya tidak akan ada
habisnya kita bicara. Nanti setelah berada di
rumah, kita bicarakan te ntang tugasmu itu dan
ayahmu yang mempunyai banyak hubungan di
dunia kang-ouw, te ntu akan dapat membantumu
mencari tahu di mana adanya Can Hong San itu."
Cin Cin menyetujui. Iapun sejak dahulu amat
merindukan ibunya, dan mengingat akan sikapnya
ketika bertemu ibunya dan ayah tirinya, ia merasa
malu sendiri dan ia harus dapat menyenangkan
hati ibunya untuk menebus sikapnya yang
menyakiti hati itu. Berangkatlah mereka bertiga
meninggalkan tempat itu. -ooo0dw0ooo- De ngan alis berkerut dan wajah muram, The
Siong Ki memasuki kota Lok-yang. Biarpun kota ini
amat indah dan ramai, namun hati Siong Ki tidak
bergembira. Dia masih teringat akan kegagalannya
membunuh Lie Koan Tek karena munculnya Cin
Cin. Tak dis angkanya bahwa Cin Cin kini demikian
lihainya. Dia yang telah digemble ng oleh Naga Sakti
Sungai Kuning Si Han Beng dan iste rinya, agaknya
tidak akan mudah dapat mengalahkan gadis yang
tangan kirinya buntung itu! Kalau menghadapi Cin
Cin sendiri saja belum tentu dia menang, apalagi

kalau dia dikeroyok oleh Cin Cin, ibunya dan Lie
Koan Tek. Hatinya mengkal, akan te tapi dia menghibur
sendiri. Bukankah suhu dan subonya berpesan
agar dia tidak mendendam kepada Lie Koan Tek"
Juga, melihat sikap Lie Koan Tek dan jawabannya,
dia dapat percaya bahwa Lie Koan Tek bukan
pembunuh ayahnya, walaupun ikut menyerbu
He k-houw-pang. Biarlah, sekali ini dia boleh
melepaskan Lie Koan Tek. Lain kali kalau
kebetulan dia bertemu lagi dengan pendekar
Siauw-lim-pai itu, dia akan menantangnya lagi.
Tidak perlu sampai membunuhnya, asal sudah
mengalahkannya saja dia sudah puas.
Sekarang dia harus mulai dengan tugas yang
diberikan gurunya kepadanya, yaitu mencari puteri
gurunya yang bernama Sie Hong Lan dan yang
diculik oleh seorang wanita bernama Kwa Bi Lan.
Dia merasa heran sekali kepada suhu dan
subonya. Ada seorang wanita menculik pute ri
mereka, anak tunggal mereka, dan memisahkan
mereka dari anak mereka selama enambelas tahun,
dan mereka berdua tidak mendendam kepada si
penculik! Bahkan memesan kepadanya agar tidak
memusuhi Kwa Bi Lan itu, cukup menemukan
kembali Sie Hong Lan! Kenapa suho dan subonya
yang demikian gagah perkasa itu menjadi orangorang demikian le mah" Dia sendiri berpendapat
lain. Penculik itu pantas diberi hajaran!
Siong Ki memasuki sebuah rumah makan dan
setelah makan kenyang dan minum arak, kemurungannya mereda dan kegembiraannya

timbul kembali. Sudah beberapa bulan dia
meninggalkan rumah gurunya dan selama ini,
tidak banyak yang dia lakukan. Mengunjungi
makam ayahnya di dusun Ta-bun-cung, berte mu
dengan para pimpinan dan anggota He k-houwpang, melihat betapa Lai Kun membunuh diri dan
menolak ketika dia he ndak diangkat menjadi ketua
He k-houw-pang. Kemudian pertemuannya dengan
Lie Koan Tek dan bekas isteri ketua Hek-houwpang, ibu Cin Cin, bertanding dan hampir
mengalahkan mereka ketika muncul Cin Cin yang
membuat dia te rpaksa melarikan diri. Tidak
banyak! Dan tidak ada yang dapat membuat
gurunya terse nyum bangga.
Beberapa orang pengemis yang tadinya berkeliaran ke depan toko-toko dan mengacungkan
tangan meminta sumbangan dari mereka yang
berlalu lalang, kini berdiri di depan rumah makan.
Seperti biasa, mereka mengharapkan dermaan
para tamu rumnah makan, dan ada yang mengharapkan sis a makanan yang tidak dimakan
habis para tamu dan sisa itu biasanya ole h pelayan
rumah makan dibagi-bagikan kepada mereka.
Bermacam-macam cara pengemis untuk mendapatkan hasil, menarik perhatian dan rasa
iba orang lain sehingga orang-orang itu akan
mengulurkan bantuan dan memberi sedekah
kepada mereka. Ada yang dengan suara merengekrengek merintih menceritakan bahwa mereka
kelaparan dan sejak kemarin belum makan. Ada
yang entah dari mana, dapat meminjam seorang
anak kecil yang digendongnya, dan ada pula yang
demikian kejamnya, entah anak sendiri atau anak

pinjaman, mencubit anak itu, sehingga anak itu
menangis dan ia mengatakan bahwa anak itu
kelaparan. Ada pula yang tiba-tiba saja menjadi
pincang, menjadi buta dan sebagainya! Semua itu
adalah usaha untuk menarik perhatian dan belas
kasihan, baik dengan sungguh-sungguh, atau
hanya pura-pura belaka. Bahkan ada lagi yang
menggunakan cara yang le bih buruk, yaitu bukan
memancing belas kasihan, melainkan memancing
kejijikan para tamu. Mereka ini sengaja memakai
pakaian kotor dan berbau busuk, bahkan ada yang
sengaja membuka dan memperlihatkan luka
memborok, semua ini sengaja dilakukan untuk
menimbulkan rasa jijik sehingga para tamu cepatcepat memberi sedekah agar orang yang menjijikkan itu segera pergi!
Ketika tiga orang pengemis lain datang ke depan


rumah makan, semua pengemis dengan bermacam
gaya itupun cepat-cepat pergi dengan sikap
ketakutan. Seorang di antara tiga orang pengemis
ini menghardik, "Jembel-jembel busuk, hayo pergi,
atau kuremukkan tulang-tulang kaki kalian!"
Sungguh lucu. Tiga orang itu berpakaian sebagai
pengemis pula, tambal-tambalan dengan dasar
warna hitam. Mereka sendiri pengemis, akan tetapi
mereka memaki pengemis lain sebagai je mbelje mbel busuk! Akan tetapi memang ada perbedaan
menyolok. Tiga orang ini adalah laki-laki yang
usianya antara tigapuluh sampai empatpuluh
tahun, bertubuh sehat, bahkan nampak kokoh
kuat! Dan pakaian merekapun sama, yaitu
dasarnya hitam akan te tapi te rdapat tambalan di
sana-sini. Mudah dilihat bahwa tambalan itu

bukan untuk menambal bagian yang ro bek, karena
pakaian hitam itu te rbuat dari kain yang masih
baik dan kuat. Tambal-tambalan itu memang
disengaja dibuat sebagai tanda bahwa mereka
adalah golongan pengemis. Inilah tiga orang di
antara para pengemis yang mempunyai perkumpulan! Mereka adalah para anggota sebuah
kai-pang (perkumpulan pengemis) terkenal di Lokyang dan sekitarnya, yaitu He k I Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Perkumpulan
ini berpengaruh sekali karena mereka memiliki
anggota yang le bih dari tigaratus orang jumlahnya,
suka melakukan pengeroyokan dan para anggotanya juga rata-rata menguasai ilmu silat.
Biarpun namanya pengemis, namun mereka itu
seringkali mengandalkan kekerasan memaksakan
kehe ndak dan kalau sudah begitu, mereka itu lebih
pantas disebut perampok dari pada pengemis !
Siong Ki masih minum arak dan hatinya mulai
mendapatkan kembali kegembiraannya. Dia membawa benal uang cukup banyak dari gurunya,
sehingga dapat memesan makanan apa saja yang
disukainya. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi
seorang wanita memasuki rumah makan itu
seorang diri. Wanita ini cantik dan genit. Melihat
wajah dan bentuk tubuhnya, te ntu semua orang
mengira bahwa usianya kurang le bih duapuluh
lima tahun saja. Mukanya lonjong dengan kulit
yang putih mulus, matanya jeli dan mulutnya
selalu dihias senyuman genit, tubuhnya ramping
dengan pinggul besar. Wanita ini bukan lain adalah
Bi Tok Siocia. Seorang wanita petualang yang lihai,
yang sebetulnya sudah berusia empatpuluh tahun,

akan te tapi karena pandainya bersolek, ditambah
lagi pengetahuannya te ntang racun dan obatobatan, ia masih kelihatan muda dan cantik
menarik. Kita pernah bertemu Bi Tok Siocia ketika Cin Cin
mengamuk di rumah pelesir Ang-hwa, di kota Jigoan. Rumah pelesir Ang-hwa yang dipimpin oleh
Cia Ma itu pernah dikuasai oleh Bi Tok Sio-cia ini,
yang mempergunakan kepandaian dan juga anak
buahnya, untuk menculik dan membujuk gadis gadis dusun untuk dijadikan pelacur. Kedatangan
Cin Cin yang mengobrak-abrik rumah pelesir ini
akhirnya memaksa Bi Tok Siocia melarikan diri
dan banyak anak buahnya menjadi korban
kemarahan Cin Cin, dibuntungi sebelah tangan
mereka.! Bi Tok Siocia mengalah dan lari, bukan
hanya karena ilmu kepandaian Cin Cin yang hebat
membuatnya merasa jerih, akan tetapi karena ia
tahu bahwa Cin Cin murid Tung-hai Mo-li, ia tidak
berani memusuhi murid datuk timur yang disegani
ayah angkatnya itu. Ayah angkatnya adalah Ouw
Kok Siang, majikan bukit Liong-san.
Setelah meninggalkan rumah pelesir Ang-hwa di
Ji-goan, Bi Tok Siocia (Nona Beracun Cantik) Ouw
Ling pergi ke Lok-yang. Petualangannya di Ji-goan
sudah berakhir dan kini ia mencari pengalamanan
baru, sesuai dengan wataknya yang selalu haus
akan petualangan. Ketika memasuki rumah makan
itu, duduk dan memesan makanan, pandang
matanya melihat Siong Ki dan ia segera merasa
te rtarik sekali. Bi-tok Siocia memang seorang
wanita yang selalu haus akan pria yang tampan,
seorang yang mata keranjang dan cabul. Dan Siong

Ki memang seorang pemuda yang memiliki daya
tarik cukup besar. Tubuhn ya tinggi
te gap, wajahnya tampan dengan matanya yang bersinar
tajam dan mulut yang selalu tersenyum sinis.
Dagunya te bal membayangkan kekuatan, dan
tubuh yang tinggi tegap itupun nampak kokoh. Bitok Siocia Ouw Ling yang baru saja mengalami
kegagalan dan kekecewaan di Ji-goan, kini haus
akan hiburan dan ia mulai mengincar pemuda
tampan yang duduk seorang diri itu dengan penuh
perhatian. Bukan han ya suara saja yang mengandung
getaran yang bergelombang dan dapat ditangkap
oleh orang lain dari jarak jauh, juga pandang mata
mengandung getaran kuat bagi orang yang
memiliki kepekaan. Kalau kita memandang seseorang dari samping atau belakang dengan
penuh perhatian dan te rus-menerus, suatu saat
orang yang kita pandang itu akan menoleh ke arah
kita tanpa dia sadari sendiri, dan itulah akibat dari
getaran yang terkirim melalui pandang mata kita
dan akhimya te rtangkap oleh orang yang kita
pandang, walaupun di bawah sadar dan membuat
dia menengok. Siong Ki adalah seorang yang
banyak berlatih samadhi dan sin-kang dan ia
memang selalu berlatih untuk mempertajam
kepekaannya. Kini ada orang memandang kepadanya penuh perhatian, tentu saja sejak tadi
dia telah dapat menangkap dan diapun pernah
mengerling ke kanan dan melihat bahwa di sana
duduk seorang wanita cantik yang mengamatinya
dari jauh. Akan tetapi, dia tidak menanggapi. Oleh
gurunya, dia dididik agar bersikap sopan dan

pandai membawa diri sebagai seorang pendekar
sejati, juga seorang yang banyak membaca dan
mengenal kesusilaan dan kebudayaan.
Tiga orang pengemis anggota Hek I Kai-pang
yang tadi telah mengusir para pengemis lain, kini
mengamati ke dalam rumah makan dan ketika
mereka itu melihat bahwa di rumah makan itu
duduk belasan orang tamu, seorang di antara
mereka memberi isyarat dan merekapun masuk ke
dalam rumah makan. Para pelayan yang melihat
ini, tidak ada yang berani melarang walaupun
mereka mengerutkan alis dan merasa tidak
senang. Tentu saja menyebalkan sekali kalau ada
tiga orang pengemis begitu saja memasuki rumah
makan, bukan untuk membeli makanan melainkan
untuk mengemis kepada para tamu.
Dan para tamu agaknya adalah orang-orang Lokyang. Mereka mengenal anggota pengemis Hek I
kai-pang, maka tanpa banyak bantah lagi, mereka
dengan suka rela mengeluarkan uang dari saku
baju dan memberi derma kepada tiga orang
pengemis itu yang mengacungkan sebuah kaleng
bundar. Tak seorangpun di antara para tamu
menolak, dan bukan pula uang receh kecil yang
dimasukkan ke dalam kaleng itu.
Sejak mereka memasuki rumah makan, Siong Ki
telah melihat mereka. Dia merasa penasaran dan
heran sekali mengapa ada tiga orang berpakaian
pengemis memasuki rumah makan dan kehe ranannya meningkat ketika tiga orang pengemis itu menerima uang dari para tamu
seperti petugas-petugas pemungut pajak saja,

sama sekali bukan seperti orang minta-minta. Dan
melihat betapa sikap mereka itu keren, dengan alis
berkerut dan mata melotot, diapun mengerti bahwa
mereka tentulah jagoan-jagoan berpakaian pengemis yang suka memaksakan kehe ndak, dan
para tamu itu takut membuat keributan maka
memberi uang tanpa banyak cakap lagi.
Akhirnya, setelah berkeliling, hanya tinggal
Siong Ki dan Bi-tok Sio-cia saja yang belum mereka
datangi. Kini mereka tiba di meja Siong Ki dan
seperti yang telah mereka lakukan pada para tamu
di meja lain, seorang di antara mereka datang
memegang kaleng itu menyodorkan kalengnya ke
arah Siong Ki, sedangkan dua orang yang lain
memandang kepada Siong Ki dengan alis berkerut
dan mata melotot! Siong Ki balas memandang
mereka bertiga. Dia sudah berhenti makan, dan
dengan sikap yang tidak mengerti, dia lalu
bertanya, suaranya tenang dan halus.
"Kalian ini mau apa?" Siong Ki mengerling ke
arah wanita tadi dan melihat bahwa wanita itu
memandang kepadanya dan wanita itu seperti
te rsenyum geli. Pengemis yang memegang kale ng, menggerakkan
kalengnya sehingga terdengar bunyi uang berkerincingan di dalam kaleng itu. Seorang
pengemis yang melotot dan berhidung besar,
berkata dengan suara keras. "Hemm, engkau tentu
bukan orang sini. Sobat, kami minta sumbangan."
Orang ke dua yang matanya sipit sekali hamper
te rpejam, menyeringai ketika berkata. "Karena

engkau tamu dari luar kota, harus memberikan
dua kali lipat!" Siong Ki tidak ingin melihat keributan di situ,
maka diapun mengambil sebuah uang receh kecil
dan memasukkannya ke dalam kaleng sambil
berkata. "Nah, ini sedekah dariku, harap cepat
pergi dan jangan menggangguku!"
Si pemegang kaleng menurunkan kalengnya dan
melihat isinya. Ketika melihat uang receh kecil itu,
dia cemberut, lalu mengambil uang itu, dijepit di
antara jari telunjuk dan jari te ngah, kemudian dia
berkata galak, "Sobat, jangan main-main dengan
kami! Kami adalah tiga orang anggota He k I Kaipang. De ngan memberi recehan kecil, engkau
menghina kami!" Orang yang mulutnya le bar ini
menggerakkan tangan yang menje pit uang recehan
dan uang itupun meluncur ke atas meja Siong Ki
dan menancap sampai hampir seluruhnya ke
dalam papan meja! "Hayo berikan dua potong uang perak!" kata si
hidung bes ar dengan sikap mengancam.
"Masih untung teman kami tidak melempar uang
recehan kecil itu ke dalam kepalamu!" kata pula si
mata sipit. Siong Ki masih tersenyum, akan te tapi

senyumnya mengejek dan dingin, sedangkan sinar
matanya mulai mencorong marah. Dengan gerakan
seenaknya, dia mengusap permukaan meja dan
kedua jari tangannya telah berhasil mencabut uang
recehan yang menancap ke atas meja. Dia
mengangkat uang tembaga itu ke atas dan berkata,
"Agaknya kuberi sepotong uang, kalian menjadi

tidak puas karena bingung untuk membagi. Nah,
kubagi tiga untuk kalian masing-masing sepotong!"
Berkata demikian, Siong Ki menggunakan jari
tangannya untuk mematah-matahkan mata uang
itu menjadi tiga potong, seolah-olah uang tembaga
itu hanya terbuat dari daun kering saja.
Melihat ini, tiga orang pengemis itu te rbelalak.
Akan tetapi mereka adalah orang-orang kasar yang
biasanya mau menang sendiri, apalagi mengandalkan kepandaian dan kekuatan mereka
yang suka mengeroyok, maka menghadapi pertunjukan kekuatan itu, mereka bahkan menjadi
marah. "Bagus! Engkau ingin memamerkan sedikit
kepandaianmu kepada kami" Jangan salahkan
kami kalau kami mempergunakan kekerasan!" kata
si hidung besar dan mereka bertiga bersiap untuk
melakukan pengeroyokan. Pada saat itu, terdengar suara tawa merdu dari
samping, disusul suara wanita. "Hi-hik, agaknya
He k I Kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis
Baju Hitam) tidak becus mengurus anak buahnya,
hingga kini anak buah He k I Kaipang bukan lagi
para pengemis , melainkan para perampok yang tak
tahu malu! Cih, sungguh memualkan perutku!"
Tentu saja tiga orang pengemis itu menjadi
marah sekali. Kemarahan mereka kepada Siong Ki
le nyap karena ada orang lain yang mengucapkan
penghinaan hebat kepada mereka, bahkan kepada
perkumpulan dan ketua mereka. Cepat mereka
memutar tubuh menghadapi wanita yang mengeluarkan kata-kata tadi, sedangkan Siong Ki

tahu bahwa mengeje k itu adalah wanita cantik
yang sejak tadi memperhatikan dia. Diapun
menengok dan memandang dan dia merasa
khawatir. Wanita itu cantik je lita dan tidak
kelihatan seperti wanita kang-ouw yang berilmu,
bagaimana berani bersikap menghina tiga orang
pengemis itu. Diam-diam diapun bersiap untuk
melindungi kalau-kalau wanita itu te rancam
bahaya. Si hidung besar memandang kepada wanita itu
dan diapun merasa heran. Wanita itu cantik jelita,
berani sekali menghina dia dan dua orang
te mannya! "Apa kau bilang tadi?" bentaknya,
karena dia masih belum percaya kalau wanita
cantik ini yang tadi menghina mereka.
Wanita itu, yang belum selesai makan, menggunakan sumpitnya menjepit sepotong sayur
hijau dan memasukkan ke mulutnya, mengunyahnya dengan gerakan mulut yang manis
sebelum menjawab. Nampaknya tenang sekali.
"Aih, kalian belum mendengar apa yang
kukatakan tadi" Sayang......." ia lalu menuding
mereka satu demi satu, "hidungmu saja besar, dan
yang itu matanya te rlalu sipit, dan yang ke tiga
perutnya saja yang le bar, akan te tapi agaknya
telinga kalian bertiga terlalu sempit dan agak tuli
sehingga tidak mendengar apa yang kukatakan
tadi. Nah, dengar baik-baik, aku mengatakan
bahwa kalian ini hanyalah pencoleng-pencoleng
kecil yang mengenakan pakaian pengemis, dan
bahwa kalian bertiga tidak tahu malu, mengotorkan tempat ini dan bahwa ketua kalian

tidak becus mengajar kalian! Nah, sudah dengar
sekarang?" Kemarahan tiga orang anggota He k I Kai-pang
berkobar, akan te tapi pada saat itu pemilik rumah
makan te rgopoh-gopoh lari menghampiri dan
diapun memberi hormat kepada tiga orang pengemis itu dengan membungkuk dalam. "Harap
sam-wi (anda bertiga) mengingat hubungan baik
antara kami dengan ketua sam-wi dan tidak
mengadakan perkelahian di sini sehingga akan
merusak tempat kami. Mendengar ucapan itu, tiga orang pengemis
saling pandang, dan si hidung besar memberi
is yarat kepada dua orang kawannya untuk pergi.
"Kami akan menunggumu di luar untuk membuat
perhitungan!" katanya dengan nada mengancam
kepada wanita cantik itu. Mereka lalu melangkah
dengan wajah kemerahan karena amarah yang
ditahan-tahan. Sikap dan ucapan pemilik rumah
makan tadi menunjukkan bahwa dia tentu seorang
penderma yang mengenal baik ketua mereka, maka
kalau sampai mereka berkelahi dan merusak
perabot rumah makan kemudian si pemilik rumah
makan melaporkan, te ntu mereka akan mendapat
te guran dan hukuman. Siong Ki merasa heran. Bagaimana wanita itu
seberani itu menghina tiga orang pengemis tadi
yang sudah jelas merupakan orang-orang kasar
dan jahat" Dia merasa tidak enak. Bagaimanapun
juga tiga orang pengemis itu tadi menghina dia,
wanita itu mencampuri untuk membelanya. Kalau
sampai nanti wanita itu diganggu, bagaimana ia

dapat mendiamkan saja" Biarpun dia sudah selesai
makan, dia tidak segera membayar harga makanan
dan pergi, melainkan menanti sampai wanita itu
selesai makan dan membayar, diapun membayar
dan setelah wanita itu bangkit dan keluar, baru dia
keluar pula dari rumah makan itu. Wanita itu
hanya mengerling dan te rsenyum saja kepadanya,
tanpa mengeluarkan kata-kata. Siong Ki semakin
heran dan juga kagum. Dari dalam rumah makan
saja sudah nampak betapa tiga orang pengemis
tadi menanti di luar rumah makan dan banyak
orang bergerombol di sana, tanda bahwa banyak
yang hendak jadi penonton, atau mungkin tiga
orang pengemis itu mengumbar suara mengatakan
bahwa mereka hendak menghajar seorang wanita
yang berani menghina mereka, sehingga banyak
orang ingin menonton. Akan te tapi, wanita itu
sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan
te rsenyum-senyum manis. Setelah wanita itu tiba di luar, suasana menjadi
ramai dan te gang, dan Siong Ki menyelinap di
antara para penonton, siap untuk melindungi
wanita itu. Akan tetapi, wanita itu dengan langkah
yang te nang dan berani, menghampiri tiga orang
pengemis yang sudah menanti di situ dengan sikap
bengis, sedangkan para penonton sudah mengatur
jarak agar tidak terlalu dekat dengan mereka.
"Aih, kalian masih berada di sini menantiku"
Bagus, memang kalian ini harus berlutut minta
ampun dulu kepadaku, baru boleh pergi!" kata
wanita itu dan Siong Ki diam-diam mengeluh.
Wanita ini ternyata seorang yang amat berani
menghina orang sehingga mendekati sombong!

Sama dengan mencari penyakit! Andaikata ia
seorang laki-laki, tentu Siong Ki tidak akan mau
memperdulikannya lagi dan biar saja manusia
sombong itu berkelahi melawan tiga orang pengemis sombong. Akan tetapi ia seorang wanita
dan dia harus membelanya.
Sikap memandang rendah dan ucapan meremehkan dari wanita itu membuat tiga orang
pengemis tak mampu menahan kesabaran mereka
lagi. Si mulut le bar sudah melangkah maju dengan
kedua tangan dikepal. "Perempuan sombong,
kurontokkan gigimu!" bentaknya sambil menyerang
dengan tamparan ke arah mulut wanita itu. Akan
tetapi, dengan sekali gerakan saja, wanita itu
menarik tubuh atas ke belakang sehingga tamparan itu mengenai angin, dan iapun te rsenyum le bar memperlihatkan deretan giginya
yang rapi dan putih. "Hemm, sayang gigiku yang rapi ini kaurontokkan. Kalau gigimu yang je lek dan kotor
itu, patut dirontokkan." Tiba-tiba saja, kaki wanita
itu sudah bergerak cepat seperti kilat menyambar
dan diangkat tinggi ke atas.
"Krakkk..........!!" Mulut itu dihantam sepatu dan
rontoklah beberapa buah gigi si mulut lebar dan
bibirnya pecah-pecah berdarah. Dia te rjengkang
dan mengusap darah dari mulutnya. Sedangkan
para penonton menjadi terkejut dan kagum. Juga
Siong Ki diam-diam mencela diri sendiri yang
kurang waspada, memandang rendah wanita
cantik itu yang te rnyata sama sekali tidak
membutuhkan perlindungan darinya, kalau hanya

menghadapi gangguan pengemis mulut besar itu
saja. Akan te tapi kini pengemis yang roboh itu sudah
meloncat bangun dan mencabut sebatang golok
yang tadinya diselipkan di ikat pinggang. Dua
orang pengemis lainnya juga sudah mencabut
golok mereka dan kini tiga orang itu menghadapi
wanita cantik itu dari depan, kanan dan kiri.
Melihat ini, kembali Siong Ki merasa khawatir dan
dia sudah melangkah maju ke depan.
"Hemm, kalian ini tiga orang laki-laki mengancam wanita dengan senjata tajam" Sungguh tidak adil, dan sungguh curang,

menunjukkan bahwa kalian memang hanya
pengecut-pengecut besar yang beraninya hanya
main keroyokan!" Melihat majunya Siong Ki, Bi Tok Siocia
te rsenyum manis. Tadi dalam rumah makan ia
sudah melihat betapa pemuda tampan gagah yang
menarik perhatiannya itu mematah-matahkan
sekeping uang dengan mudah, tanda bahwa dia
bukan seorang pemuda biasa. Dan kini, tepat
seperti dugaannya, pemuda itu maju membelanya.
Tentu saja hatinya semakin kagum dan tertarik.
Si hidung besar segera memutar goloknya dan
membentak Siong Ki. "Engkau berani mencampuri
berarti sudah bosan hidup!" Diapun sudah
menyerang dengan goloknya, akan te tapi dengan
mudah Siong Ki mengelak. Si Mulut lebar yang kini
menjadi si mulut ompong karena giginya rontok,
dibantu oleh si mata sipit, sudah menyerang
dengan golok mereka, mengeroyok Bi Tok Siocia!

Siong Ki ingin cepat-cepat menjatuhkan si
hidung besar agar dia dapat membantu wanita itu.
Maka ketika untuk ke empat kalinya golok
menyambar, dia tidak mengelak seperti tadi,
melainkan dia bahkan mendahului dengan langkah
ke depan, tangannya bergerak menyambut dengan
pukulan ke arah pergelangan tangan yang
memegang golok, dari samping sedangkan tangan
kirinya mendorong dengan te lapak tangan te rbuka
ke arah dada lawan. Si hidung besar tidak mengira bahwa lawan
berani menyambut serangannya seperti itu, dan
ketika lengannya terkena pukulan tangan kiri
lawan, seketika lengan itu menjadi lumpuh dan
goloknya te rpental, dan di detik lain, dadanya
te rkena hantaman dengan tangan terbuka. Diapun
te rjengkang dan te rbanting roboh, ketika bangkit
duduk, dia memegangi dadanya karena dada itu
te rasa sesak, sukar bernapas.
Ketika Siong Ki membalik hendak membantu
wanita tadi, diapun te rte gun. Bukan main wanita
itu. Dengan tangan kosong saja, wanita itu bukan
hanya mampu menandingi dua orang pengeroyoknya, bahkan kini nampak ia menghajar
mereka dengan tendangan-tendangan kakinya.
Dua orang itu dibuat seperti dua buah bola saja,
dite ndangi jatuh bangun dan akhirnya mereka
tidak mampu melawan lagi, muka mereka
bengkak-bengkak dan berdarah karena beberapa
kali disambar sepatu wanita itu!
Hanya si mata sipit yang masih dapat berdiri
dan te rengah-engah, namun dia memaksa diri

memandang wanita itu yang berdiri s ambil bertolak
pinggang dan te rse nyum kepadanya. Lalu dia
bertanya, "Kami mengaku kalah. Siapakah namamu, nona?" Wanita itu tersenyum mengeje k dan mengerling
kepada Siong Ki yang masih memandang kagum.
"Kalian hendak mengadu kepada ketua kalian"
Boleh, boleh! Katakan saja bahwa Nona Ouw yang
menghajarmu. Nah, pergilah kalian bertiga sebelum berubah pikiranku dan kalian tidak akan
dapat kuampuni lagi."
Tiga orang pengemis itu pergi dengan kepala
tunduk, dan Bi Tok Siocia segera menghampiri
Siong Ki dan mengangkat kedua tangan ke depan
dada, dengan sikap ramah dan manis iapun
memberi hormat yang segera dibalas oleh Siong Ki.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Tai-hiap."
katanya dengan suara merdu.
Disebut tai-hiap (pendekar besar), Siong Ki
te rsenyum. "Harap nona tidak menyebut tai-hiap
kepadaku. Engkau sendiri memiliki kepandaian
yang hebat, nona. Aku merasa malu telah salah
duga sehingga lancang mencampuri urusan itu.
Padahal aku tahu sekarang bahwa nona sama
sekali tidak memerlukan bantuanku."
"Ah, engkau tidak mengerti, tai-hiap. Aku
memang membutuhkan pertolonganmu, membutuhkan bantuanmu. Engkau tidak mengenal siapa Hek I Kai-pang. Mari kita bicara di
te mpat sunyi, akan kuceritakan kepadamu, di sini
banyak orang dan tidak leluasa."

Siong Ki mengangguk. Memang dia belum
mengenal macam apa He k I Kaipang itu, dan
mengapa pula wanita yang lihai ini mengatakan
bahwa ia membutuhkan bantuannya. Mereka lalu
meninggalkan tempat itu. "Kalau engkau tidak berkeberatan, kita dapat
bicara di ruangan dalam rumah penginapan di
mana aku bermalam, tai-hiap." kata Ouw Ling.
Karena tidak mengenal tempat lain agar mereka
dapat bicara, Siong Ki hanya mengangguk. Ketika
melakukan perjalanan menuju ke rumah penginapan yang besar itu, Bi-tok Siocia Ouw Ling
berbisik, "Seperti sudah kuduga, kita dibayangi
orang. Mereka te ntulah para anggota He k I Kaipang. Biarlah, kita pura-pura tidak tahu saja."
Siong Ki melirik dan benar saja. Ada empat lima
orang yang membayangi mereka secara berpencar,
bercampur dengan orang-orang yang berlalu lalang
di ke dua tepi jalan raya itu.
Setelah mereka memasuki rumah penginapan,
Ouw Ling mengajak Siong Ki bicara di ruangan
dalam, sebuah ruangan yang memang disediakan
untuk para tamu. Ruangan ini cukup luas dan
kebetulan pada saat itu tidak terdapat tamu lain.
"Nah, di sini kita dapat bicara dengan leluasa,"
kata wanita itu. "Akan te tapi sebelum itu, Apakah
tidak sudah tiba waktunya kita saling berkenalan"
Namaku Ouw Ling dan aku berasal dari Liong-san
(Bukit Naga)." Siong Ki menjawab, "Namaku The Siong Ki dan
aku berasal dari dusun Ta-bun-cung."

Karena ia belum tahu pemuda itu te rmasuk
golongan apa, maka Ouw Ling tidak bertanya lebih
mendalam. Ia sendiri belum berani mengakui
bahwa ia adalah pute ri angkat Ouw Kok Sian,
datuk bes ar dan majikan Liong-san.
"Nah, sekarang kita telah berkenalan, Thetaihiap............."
"Harap nona jangan menyebut tai-hiap kepadaku, rasanya janggal dan tidak enak."
Ouw Ling te rse nyum manis. "Baiklah, setelah
kita berkenalan, dan melihat bahwa engkau le bih
muda dariku, bagaimana kalau aku menyebutmu
siauwte (adik) saja dan engkau menyebut aku cici
(kakak perempuan)?" Siong Ki tersenyum, "Bagaimana engkau tahu
bahwa aku le bih muda darimu, karena melihat
keadaan dirimu, belum te ntu kalau aku le bih
muda." Siong Ki te ntu saja dapat menduga bahwa
wanita itu lebih tua darinya, akan te tapi dia
memang pandai membawa diri dan pandai menyenangkan hati orang. Ucapannya itu walaupun hanya sekedarnya namun je las telah
membuat wajah Ouw Ling berseri saking girangnya. Wanita mana yang tidak akan berseri
wajahnya kalau dikatakan bahwa ia nampak jauh
le bih muda dari pada usia yang sebenarnya!
"Aku yakin bahwa aku le bih tua darimu,
siauwte, walau hanya beberapa tahun mungkin.
Akan te tapi itu tidak penting sekali, bukan" Kalau
boleh aku mengetahui, engkau dari mana dan
hendak kemana" Apakah engkau mempunyai
keperluan khusus datang ke Lok-yang ini?"

Siong Ki menggeleng kepala. "Tidak mempunyai
keperluan khusus, aku baru saja memasuki Lokyang dalam perjalananku merantau dan mencari
pengalaman hidup. Baru pagi tadi aku datang ke
sini dan kebetulan terlibat peristiwa dalam rumah
makan tadi." "Aih, kalau begitu, kenapa tidak menginap saja
di rumah penginapan ini, The-siauwte" Di sini
te mpatnya bersih dan cukup murah. Dan tahukah
kau, kita mempunyai banyak persamaan. Aku
sendiripun sedang merantau, atau katakanlah
berpesiar mencari pengalaman hidup dan meluaskan pengetahuan. Kalau engkau suka, kita
dapat menjadi teman seperjalanan!" Ucapan itu
dikeluarkan secara wajar sehingga Siong Ki tidak
merasakan suatu kelainan, walaupun penawaran
seperti itu dari seorang wanita kepada seorang pria
sebetulnya tidaklah pada tempatnya.
"Soal itu mudah, Ouw-cici, sekarang aku ingin
mendengar tentang Hek I Kaipang."
"Hek I Kaipang adalah perkumpulan pengemis di
Lok-yang dan sekitarnya yang te rkenal. Ketuanya
berjuluk Hek I Sin-kai (Pengemis Sakti Baju Hitam)
yang te rkenal lihai. Pengaruhnya besar sekali
karena selain ketuanya sakti, juga anak buihnya
yang berjumlah ratusan orang rata-rata memiliki
ilmu silat yang cukup tangguh. Jangankan orangorang biasa, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw tidak
berani main-main te rhadap mereka, dan para
pejabat daerahpun mempunyai hubungan baik
dengan para pimpinannya."

"Hemm, pantas saja anak buahnya bersikap
demikian ugal-ugalan. Kekuasaan itu agaknya
membuat mereka menjadi sewenang-wenang," kata
Siong Ki. "Akan tetapi, kalau engkau sudah tahu
keadaannya seperti itu, mengapa tadi engkau
sengaja memancing keributan dengan mereka,
enci?" Wanita itu tersenyum dan mengamati wajah
Siong Ki dengan pandang mata begitu mes ra dan
manis, membuat pemuda itu merasa mukanya
menjadi panas dan tersipu.
"Tadinya aku tidak ingin berurusan dengat
mereka. Akan tetapi melihat mereka mengganggumu dan melihat engkau memiliki
kepandaian ketika engkau mematahkan sekeping
uang itu, timbul keberanianku untuk menentang
mereka. Memang sudah lama aku mendengar akan
kesewenang-wenangan mereka, dan aku ingin tahu
sampai di mana kelihaian ketuanya. Karena itulah,
aku mohon bantuanmu, siauwte, karena aku yakin
bahwa urusannya tidak hanya sampai di sini saja.
Tadi engkau melihat sendiri bahwa kita dibayangi
orang, te ntu tak lama lagi ketuanya akan


menghubungi kita dan aku memerlukan bantuanmu untuk menghadapi mereka. Tentu saja
kalau engkau suka dan berani."
Siong Ki adalah murid Naga Sakti Sungai
Kuning, tentu s aja telah menguasai ilmu silat yang
tinggi, juga dia diberi pelajaran kebudayaan dan
sastra, akan te tapi dia baru saja keluar dari
perguruan dan sama sekali tidak mempunyai
pengalaman menghadapi akal dan tipu muslihat

orang-orang kang-ouw yang licin dan cerdik. Maka,
diapun tidak merasa bahwa ia sedang dibujuk
secara cerdik sekali oleh wanita yang te rgila-gila
kepadanya itu. Kalau saja Ouw Ling tidak
mengeluarkan ucapan kalimat terakhir itu, tentu
dia akan meragu, karena dia merasa tidak
mempunyai urusan dengan He k I Kai-pang. Akan
tetapi, wanita itu seolah menantangnya ketika
mengatakan bahwa ia membutuhkan bantuannya
untuk menghadapi He k I Kai-pang, kalau dia
berani! Kata-kata kalau dia berani inilah yang
mencambuknya dan seolah memaksanya untuk
tidak dapat menolak uluran tangan wanita itu.
"Ouw-cici, tentu saja aku berani dan kalau
memang pihak He k I Kaipang hendak memperpanjang urusan di rumah makan tadi, aku
te ntu akan membantumu."
"Kalau begitu, sebaiknya sekarang juga aku
memesankan sebuah kamar untu kmu, siauw-te!"
kata wanita itu dengan sikap gembira dan iapun
memanggil seorang pelayan rumah penginapan.
Ketika pelayan itu datang, ia memesan sebuah
kamar lagi untuk Siong Ki dan dengan sikap
seperti tidak sengaja, ia minta sebuah kamar yang
berdekatan dengan kamarnya untuk pemuda itu.
Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di luar
rumah penginapan dan seorang pelayan berlari
datang memasuki ruangan itu. "Nona. ada orangorang dari He k I Kai-pang datang mencari
nona......." Jelas bahwa pelayan itu nampak
ketakutan. ♤
Ouw Ling te rsenyum tenang dan menoleh
kepada Siong Ki. "N ah, te pat seperti dugaanku.
The-siauwte, sebaiknya kau simpan dulu buntalan
pakaianmu ke dalam kamarmu, baru kita menemui
mereka." Siong Ki menyetujui, menyimpan buntalan
pakaiannya dalam kamar yang sudah dipersiapkan
untuknya, kemudian dia keluar lagi sambil
membawa pedang Seng-kong-kiam yang digantung
di pungungnya. Ternyata Ouw Ling sudah menantinya, dan wanita ini pun agaknya sudah
siap siaga. Sepasang goloknya juga te rselip di
belakang punggung sehingga ia nampak cantik dan
gagah sekali. "Bagus, engkau sudah membawa pedangmu,
siauwte. Kita harus siap-siaga, siapa tahu kita
akan te rpaksa menggunakan senjata menghadapi
mereka." Keduanya lalu keluar dan depan rumah
penginapan itu nampak le ngang. Para tamu dan
para pelayan rumah penginapan itu sudah menjauhkan diri bersembunyi, agaknya tidak ingin
te rlibat. Di pekarangan rumah penginapan itu
nampak belasan orang berpakaian serba hitam
yang bertambal-tambalan, dipimpin oleh seorang
laki-laki berusia empatpuluh tahun yang bertubuh
tinggi besar dan yang bersikap garang. Akan tetapi,
ketika mereka semua melihat munculnya Ouw Ling
dan Siong Ki mereka bersikap hormat, bahkan si
tinggi besar yang garang itu cepat melangkah ke
depan dan mengangkat kedua tangan ke depan
dada ke arah Ouw Ling dan suaranya te rdengar
lantang namun hormat. ♤
"Apakah kami berhadapan dengan Bi Tok Siocia
dari Liong-san?" Ouw Ling te rsenyum mengejek. "Kalau benar
kalian mau apa" Mau memperpanjang urusan di
rumah makan itu" Mau mengeroyokku" Majulah
dan sekali ini, aku tidak akan bersikap le mah,
akan kupenggal le her kalian semua!" kata Ouw
Ling dan sikapnya ini membuat Siong Ki bergidik.
Kiranya wanita itu dapat pula bersikap keras dan
keji kalau perlu. Akan tetapi, memang para
pengemi palsu ini patut dihajar, pikirnya.
Dihardik seperti itu, sekali ini para pengemis itu
sama sekali tidak kelihatan marah, bahkan
kelihatan gentar. Kembali si tinggi besar memberi
hormat. "Harap Siocia sudi memaafkan tiga orang
anak buah kami yang seperti buta tidak mengenal
bahwa nona adalah Bi Tok Siocia dari Liong-san.
Mendengar peristiwa tadi, pangcu (ketua) kami
marah sekali dan tiga orang itu te lah menerima
hukuman. Pangcu adalah sahabat baik dari
Majikan Liong-san, maka sekarang pangcu mengutus kami untuk mengundang nona ke
te mpat kami, di mana pangcu akan menyambut
sendiri untuk mohon maaf kepada Siocia."
Luar biasa sekali, pikir Siong Ki. Setelah
mendengar nama julukan Ouw Ling, yaitu Bi Tok
Sio-cia, para pengemis itu menjadi ketakutan,
bahkan ketuanya sendiri yang mengundangnya
untuk memohon maaf.! Dia tidak tahu siapakah
Majikan Liong-san dan belum pernah mendengar
nama julukan Ouw Ling. Gurunya tidak pernah
bercerita te ntang majikan Liong-san, walaupun ada

beberapa orang datuk kang-ouw yang dia dengar
dari keterangan suhunya. Ouw Ling menoleh kepadanya. "Bagaimana,
siauwte" Hek I Kai-pang mengundang kami,
perlukah kami menerima undangan itu dan datang
ke s arang Hek I Kai-pang untuk menemuinya?"
Siong Ki te rsenyum girang. Bagaimanapun jug,
wanita ini amat menghargainya dan telah mengangkatnya dalam pandangan para anggota
He k I Kaipang. Dia bertanya. "Apakah engkau
mengenal pangcu itu, enci?"
"Aku hanya pernah mendengar namanya. Ayahku yang mengenalnya. Sebetulnya, aku tidak
senang diundang seperti ini. Kenapa bukan dia
saja yang datang ke s ini kalau hendak minta maaf"
Akan tetapi, mengingat dia teman ayahku, dan aku
di pihak yang le bih muda, sebaiknya kalau kita
pergi ke sana, hendak kulihat apa yang hendak dia
katakan." "Kalau begitu, baik, kita pergi saja," kata Siong
Ki. Para anggota He k I Kaipang merasa heran
melihat wanita itu hendak pergi bersama pemuda
yang tidak mereka kenal, akan te tapi mereka
mendengar bahwa tadi pemuda itu yang menimbulkan keributan dengan anak buah He k I
Kaipang. Karena yang mengajak pemuda itu adalah
Bi Tok Sio-cia, merekapun tidak ada yang berani
membantah. Si tinggi besar itu segera berkata.
"Siocia, pangcu te lah mengirim sebuah kereta
untuk menje mput sio-cia." Dia memberi isyarat
dan sebuah kereta kecil ditarik dua ekor kuda

memasuki pekarangan itu dari luar. Kereta itu
cukup bagus, seperti kereta milik seorang pembesar saja! Bukan main, pikir Siong Ki.
Pengemis mempunyai kereta berkuda dua untuk
menjemput tamu! De ngan sikap angkuh Bi Tok Siocia naik ke
dalam kereta bersama Siong Ki dan kusir kereta
lalu menjalankan kudanya, diikuti oleh belasan
orang anggota He k I Kaipang. Setelah kereta dan
para pengiringnya meninggalkan pekarangan itu,
barulah para tamu dan pelayan rumah penginapan
berani keluar dan peris tiwa itu tentu saja menjadi
percakapan orang. Baru mereka tahu bahwa
wanita cantik yang hanya dikenal sebagai Ouw
Siocia di rumah penginapan itu adalah seorang
wanita yang dijemput kereta oleh ketua Hek I
Kaipang, berarti tentu saja bukan wanita sembarangan. Apalagi setelah berita tentang peristiwa perkelahian di depan rumah makan itu
te rsiar, semua orang memberitakan bahwa Ouw
Siocia adalah seorang wanita perkasa.
Kereta itu keluar dari Lok-yang, menuju sebuah
bukit kecil. Sarang He k I Kaipang berada di le reng
bukit ini, dan di sepanjang jalan mendaki bukit,
nampak para anggota He k I Kaipang berdiri di tepi
jalan. Diam-diam Siong Ki harus mengakui bahwa
perkumpulan pengemis itu memang kuat, mempunyai banyak ana k buah yang agaknya
te ratur seperti pasukan saja.
Kalau tadinya Siong Ki mengkhawatirkan adanya
perangkap yang diatur oleh ketua perkumpulan
itu, kini dia melihat bahwa kekhawatirannya itu

keliru. Agaknya nama besar Bi Tok Siocia sudah
cukup menjadi jaminan, sehingga timbul keinginan
tahu siapa sebenarnya wanita ini dan sampai di
mana kelihaiannya, maka namanya sempat membuat pimpinan He k I Kaipang yang demikian
besarnya menyambutnya dengan sikap hormat.
He k I Sin-kai sendiri keluar menyambut ketika
kereta berhenti di depan sebuah bangunan yang
sama sekali tidak pantas menjadi rumah pengemis!
Perkampungan itupun tidak ada tanda-tandanya
menjadi perkampungan pengemis. Bangunanbangunannya dari te mbok. Agaknya hanya pakaian
mereka saja yang berbau pengemis, karena penuh
tambalan. Apalagi bangunan di te ngah, di depan
mana kereta berhenti, merupakan bangunan yang
megah. Kakek yang menyambut mereka itu bertubuh
tinggi kurus, berusia limapuluh tahun lebih.
Mukanya kuning sehingga melihat tubuh tinggi
kurus itu, dia lebih mirip seorang yang

berpenyakitan, yang tidak sehat. Dia membawa
sebatang tongkat mengkilap berwarna hitam, dan
pakaiannya yang serba hitam itu terbuat dari
sutera yang halus dan mahal! Sepatunya juga
hitam mengkilat. Berbeda dengan pakaian anak
buahnya, tidak nampak sedikit tambalanpun di
bajunya. Dia le bih mirip seorang hartawan
berpakaian sutera hitam daripada ketua pengemis.
Begitu Bi Tok Siocia turun dari kereta, Hek I Sinkai menyambutnya dengan te rtawa bergelak. "Haha-ha, engkaukah Bi Tok Siocia" Sungguh pantas

engkau menjadi pute ri Ouw Kok Sian, karrna
engkau te rnyata memiliki keberanian yang bes ar.!"
"Paman tentulah Hek I Sinkai Ma Siu, pendiri
He k I Kaipang" Pernah aku mendengar nama
paman dari ayah," kata Ouw Ling.
"Ha-ha-ha, sudah bertahun-tahun aku tidak
berte mu dengan ayahmu. Dan inikah pemuda yang
membikin ribut di rumah makan itu" Siapakah ini,
nona Ouw" Sahabatmu, ataukah tunanganmu?"
Kalau orang lain ditanya te ntang tunangan
mungkin akan marah. Akan te tapi tidak demikian
dengan Ouw Ling. Ia malah tersenyum senang.
"Dia bernama The Siong Ki, seorang sahabatku
yang baru, paman. Bukan dia yang membikin ribut
di rumah makan, melainkan tiga orang anak
buahmu yang tak tahu diri. Aku yang menjadi
saksi bahwa anak buahmu yang bersalah."
Ketua itu menggerakkan tangan dengan tidak
sabar. "Aku tahu........aku tahu......dan aku telah
menghukum mereka. Engkau dapat melihatnya
sendiri nanti. Nah, Ouw Siocia, dan engkau Thesicu (orang gagah The), silakan masuk. Kalian
menjadi tamu-tamu kehormatan kami hari ini."
Lega karena mendapat sambutan yang demikian
hormat dan pihak kai-pang itu sama sekali tidak
memperlihatkan sikap bermusuh, Siong Ki bersama Ouw Ling memasuki rumah besar itu dan
mereka dipersilakan masuk ke ruangan tamu yang
besar, di mana te rnyata telah dipersiapkan meja
besar untuk pesta makan minum! Meja itu besar,
akan te tapi karena hanya sebuah dan berada di
ruangan tamu yang luas, maka tampak kecil.

He k I Sin-kai Na Siu mempersilakan mereka
berdua duduk menghadapi meja besar. Dia sendiri
menemani mereka. Agaknya, ketua ini benar-benar
menghormati kedua orang tamunya. Buktinya,
tidak ada di antara pembantu-pembantunya yang
ikut duduk menghadapi meja itu. Setelah dua
orang tamunya duduk, pangcu itu berte puk
tangan. Seorang penjaga memasuki ruangan dan
He k I Sin-kai mengeluarkan perintah. "Seret tiga
orang anggota yang membikin malu tadi masuk!"
Penjaga pergi dan tak lama kemudian, dikawal
oleh tiga orang anggota kai-pang, masuklah tiga
orang itu. Mereka terhuyung-huyung dan Siong Ki
melihat betapa tiga orang pengemis yang mengganggunya di rumah makan tadi, dalam
keadaan menyedihkan, te rsungkur dan berlutut.
Pakaian mereka koyak-koyak dan berle potan
darah, dan te rutama sekali di bagian punggung.
Dia mengerti bahwa tiga orang itu telah menerima
hukuman cambuk yang membuat kulit punggung
mereka pecah-pecah berdarah.
"Nah, inilah mereka, nona Ouw. Sekarang
te rserah kepada nona dan sicu, apa yang harus
kami lakukan dengan mereka" Membunuh mereka
atau mengampuni mereka?" tanya ketua perkumpulan pengemis itu. Mendengar ini, tiga
orang pengemis yang sekarang sudah kehilangan
kegarangan mereka itu berlutut menghadap ke
arah dua orang muda itu dan si hidung besar
mewakili kedua orang temannya, berkata dengan
suara gemetar. "Nona, kami mohon ampun........"

Bi Tok Siocia te rsenyum mengejek. Khawatir
kalau wanita itu minta agar mereka dibunuh,
Siong Ki cepat berkata, "Mereka sudah menerima
hukuman. Sudahlah, pangcu, urusan ini tidak
perlu diperpanjang lagi."
Mendengar ini, Bi Tok Siocia tersenyum lebar,
lalu mengangguk-angguk. "Pangcu, The-siauw-te
sudah mengambil keputusan dan akupun setuju."
"Terima kasih, nona, terima kasih, sicu!" Tiga
orang itu berulang-ulang mengucapkan te rima
kasih. "Bawa mereka keluar dan suruh hidangkan
makan minum!" kata ketua Hek I Kai-pang kepada
tiga orang pengawal. Mereka semua keluar dan tak
lama kemudian, gadis -gadis manis datang membawa hidangan. Kembali Siong Ki te rtegun.
Namanya saja pengemis, akan tetapi kini mampu
mengadakan pesta dengan masakan-masakan yang
mahal. Anggur dan arak yang baik, dan dilayani
oleh lima orang gadis cantik yang sama sekali
bukan je mbel. Ini le bih tepat dinamakan pesta
yang diadakan seorang bangsawan atau hartawan,
bukan pemimpin orang jembel!
Setelah makan dan minum dengan gembira. He k
I Sin-kai menyuruh pelayan membersihkan meja,
kemudian dia berkata, "Ouw Siocia dan The-sicu,
kami merasa gembira sekali berte mu dengan
orang-orang muda yang lihai seperti kalian. Apalagi
mengingat bahwa Ouw-siocia adalah pute ri sahabat kami, dan karena The-sicu sahabat Ouwsiocia, berarti sahabat kami pula.. Kalian lihat
bahwa kami selalu suka bersahabat dengan orang♤
orang lihai di dunia kang-ouw. Ouw-siocia, sudah
bertahun-tahun aku tidak bertemu sahabat Ouw
Kok Sian. Setiap kali kami saling jumpa, kami pasti
membicarakan ilmu silat dan latihan bersama.
Sekarang, karena engkau merupakan pute rinya,
maka biarlah kuanggap engkau mewakili ayahmu
dan aku ingin sekali melihat sampai di mana kini
kemajuan ilmu silat dari majikan Liong-san. Haha-ha-ha!" Sikap tuan rumah itu wajar dan ramah,
sama sekali bukan merupakan tantangan untuk
berkelahi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN