NAGA BERACUN JILID 20

 "Eng-moi..........!" Thian Ki sekali loncat telah
berada di dekat gadis itu dan menyentuh
pundaknya, "Kenapa engkau menangis......?" Suara
Thian Ki terdengar lembut penuh getaran kasih
sayang. "Koko . ... !" Kui Eng membalik dan merangkul.
Bagaikan tanggul pecah, tangisnya mengguguk dan
ia menempelkan mukanya di dada Thian Ki, kedua
le ngannya melingkari pinggang. Ia tidak mampu
mengeluarkan kata-kata, hanya menangis seperti
anak kecil.
Thian Ki membiarkan saja gadis itu menangis
sepuasnya, karena dia tahu bahwa tangis merupakan obat paling ampuh untuk melarutkan
segala macam rasa penasaran, kecewa ataupun
duka. Dia merasa betapa dia amat iba dan
menyayang gadis ini. Rasa ibanya le bih banyak
disebabkan karena dia melihat betapa gadis ini
amat mencintanya, namun dia sendiri belum yakin
apakah ada cinta seperti itu di hatinya terhadap
Kui Eng. Dia tidak merasakan desakan nafsu
berahi terhadap Kui Eng. Tidak ada hasrat untuk
mendekat, dan mencumbunya. Yang ada hanyalah
perasaan iba dan ingin menghiburnya agar tidak
berduka. "Tenanglah, Eng-moi. Kuatkan hatimu dan
hentikan tangismu." setelah tangis gadis itu agak
mereda, Thian Ki berbisik, membujuknya dan
tangannya mengelus rambut kepala yang



bersandar di dadanya itu. Bajunya di bagian dada
te rasa basah oleh air mata gadis itu.
"Koko.....aku......aku ingin ikut......" akhirnya
gadis itu dapat berbisik.
Hampir Thian Ki tertawa. Sungguh Kui Eng
masih separti kanak-kanak saja. Kanak kanak
yang manja, pikirnya. "Aih, Eng-moi. Hal itu tidak
mungkin kita lakukan. Suhu dan ibu te ntu akan
marah kepada kita." "Aku takut kehilangan engkau, koko.........aku
tidak akan dapat hidup tanpa engkau di sisiku..."
Thian Ki memejamkan matanya. Hatinya terharu
sekali. Demikian besarkah cinta hati Kui Eng

kepadanya" Dia merasa seperti berdosa kalau tidak
membalas cinta kasih yang demikian besarnya.
"Eng-moi, aku pergi bukan untuk selamanya.
Aku pergi untuk melaksanakan tugas yang
diberikan suhu kepadaku. Aku pergi mencari obat,
untuk menyembuhkan diriku. Engkau tinggallah di
rumah. Kalau aku pulang kelak, aku sudah
berhasil mendapatkan Liong-cu-kiam dan sudah
sembuh dari cengkeraman hawa beracun."
Teringat akan keadaan tubuh Thian Ki, Kui Eng
dapat menenangkan hatinya. Ia masih mendekap
tubuh pemuda itu, menengadah dan dengan air
mata masih membasahi pipi dan mata yang
kemerahan oleh tangis, ia menatap wajah pemuda
yang dicintainya itu. "Koko......aku akan menunggumu di rumah...
semoga engkau berhasil......" Kedua lengannya
melepaskan rangkulan di pinggang, dan iapun
melangkah mundur sampai tiga langkah. Thian Ki
memandang dengan perasaan iba dan sayang.
"Aku pergi, Eng-moi. Jagalah s ubu dan ibu baikbaik." Thian Ki lalu membalik dan melangkah
dengan cepatnya meninggalkan Kui Eng yang
masih berdiri seperti patung. Baru setelah bayangan Thian Ki le nyap di sebuah tikungan jauh
di depan, Kui Eng menghela napas panjang,
menghapus sisa air mata di pipinya, lalu pulang
dengan langkah gontai. Sepekan kemudian, setelah Thian Ki pergi, Cian
Bu Ong dan Sim Lan Ci berkemas untuk
melakukan perjalanan jauh. Melihat ayah ibunya
berkemas, Kui Eng tentu saja ingin ikut, namun

selalu dilarang oleh ayahnya. Bahkan ketika ia
merengek kepada Sim Lan Ci yang kini dipanggil
subo olehnya, wanita itu menghiburnya dengan
le mbut. "Kui Eng, kami pergi untuk mencarikan obat
bagi Thian Ki. Obat itu hanya te rdapat di
pegunungan Himalaya, yaitu Swe-hiat-ang-cio (Rumput Merah Pencuci Darah). Perjalanan ini
jauh sekali dan sulit, namun aku yakin ayahmu
dan aku akan mampu mendapatkan rumput merah
itu. Engkau jagalah di rumah, Kui Eng. Siapa tahu,
sebelum kami kembali, Thian Ki yang lebih dulu
pulang. Kalau engkau ikut pula dengan kami,
bagaimana kalau Thian Ki pulang?"
Akhirnya, karena bujukan ayahnya dan subonya, Kui Eng mau ditinggalkan walaupun ia
selalu cemberut. Suami isteri itupun berangkat
meninggalkan dusun, menuju
ke barat, ke pegunungan Himalaya untuk mencarikan obat
pemunah racun yang amat langka itu.
Akan te tapi, orang yang memiliki watak lincah
je naka dan penuh semangat seperti Kui Eng,
bagaimana mungkin tahan untuk hidup seorang
diri saja di rumah mereka" Apalagi seluruh
penghuni dusun itu kini menganggap ia sebagai
pengganti ayahnya dan selalu melapor kepadanya
kalau te rjadi hal-hal yang menyulitkan. Seolah ia
yang menggantikan ayahnya menjadi
kepala dusun! Hanya satu bulan saja ia dapat bertahan.
Setelah hatinya tidak dapat menahannya lagi, ia
mengumpulkan para pemuka dan sesepuh dusun
itu, meninggalkan pesan bahwa ia akan pergi

menyusul Thian Ki dan menyerahkan kepengurusan dusun itu kepada mereka. Juga ia
menyerahkan perawatan rumah keluarganya kepada para pelayan. Setelah itu, Kui Eng
meninggalkan dusun, menggendong sebuah buntalan pakaian dan bekal uang yang cukup. Ia
ingin mencari Thian Ki.!  "Suhu dan bibi, te cu (murid) te lah menerima
budi yang berlimpah dari ji-wi (anda berdua).
Sampai matipun teecu tidak akan melupakan budi
itu dan kalau teecu tidak sempat membalasnya,
teecu hanya berdoa semoga Tuhan yang akan
membalas budi kebaikan ji-wi kepada teecu."
Pemuda berusia duapuluh dua tahun itu
bertubuh tinggi te gap, wajahnya tampan dan dari
pakaian dan bentuk rambutnya, juga kuku jari
tangannya, dapat diketahui bahwa dia seorang
pemuda yang pandai menjaga diri, nampak rapi
dan anggun, walaupun pakaiannya te rbuat dari
kain yang sederhana. Terutama sepasang mata
pemuda itu yang membayangkan bahwa dia bukan
pemuda biasa. Sepasang matanya bersinar tajam
dan kadang mencorong seperti mata seekor naga
dalam dongeng, dan pembawaannya le mbut dan
sopan. Hanya ada satu hal yang membuat orang
berhati-hati menghadapinya, yaitu senyumnya.
Mulut yang bentuknya bagus itu selalu dibayangi
senyum yang sinis, seperti orang yang selalu
mengejek orang lain, selalu memandang rendah
orang lain.
Pemuda itu memang bukan pemuda biasa. Dia
adalah murid pendekar sakti Si Han Beng yang
berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai
Kuning). Dia bernama The Siong Ki, murid tunggal
pendekar besar itu. Seperti telah diceritakan di
bagian depan, The Siong Ki adalah putera
mendiang The Ci Kok, seorang anggota Hek houw
pang yang ikut te was ketika perkumpulan itu
diserbu oleh kaki tangan Pangeran Cian Bu Ong,
yang menganggap He k-houw-pang sebagai musuh,
karena perkumpulan itu membantu kerajaan baru
Tang. The Siong Ki kemudian pergi mencari Huangho Sin-liong Si Han Beng yang tinggal di dusun
Hong-cun tepi sungai Huang-ho dan menjadi murid
pendekar bes ar ini. Seperti kita ketahui, Si Han Beng dan is terinya,
Bu Giok Cu yang dalam hal ilmu kepandaiannya
sedikit di bawah tingkat suaminya, memiliki
seorang anak saja, yaitu Si Hong Lan. Akan te tapi
dalam usia dua tahun, anak mereka itu diculik dan
dilarikan oleh Kwa Bi Lan, janda mendiang Sintiauw Liu Bhok Ki dengan ancaman bahwa kalau
suami isteri itu mencari anak mereka, anak itu
akan dibunuhnya. Semenjak kehilangan anak mereka itulah, Si
Han Beng dan is terinya mencurahkan perhatian
mereka kepada The Siong Ki. Anak laki-laki yang
menjadi murid mereka ini memang seorang yang
pandai membawa diri, rajin dan taat sehingga
mereka menyayanginya. Bahkan kalau tadinya Bu
Giok Cu tidak mau mengajar silat kepadanya,
hanya Si Han Beng yang mengajarnya, karena
suami isteri itu tidak ingin murid ini kelak lebih

pandai daripada anak mereka, s etelah Si Hong Lan
diculik orang, maka Bu Giok Cu akhirnya juga
menurunkan beberapa ilmu pukulan yang khas
kepada murid suaminya itu. Hanya saja, mentaati
perintah gurunya pada saat dia diangkat murid,
Siong Ki sampai sekarang tidak berani menyebut
subo (ibu guru) kepada Bu Giok Cu, melainkan
menyebutnya bibi. Sebutan kepada suami iste ri itu
bukan suhu dan subo melainkan suhu dan bibi.
Siong Ki memang pandai membawa diri. Selalu
sopan, halus dan bukan saja dalam ilmu silat,
bahkan ketika diajar ilmu kesusasteraan, diapun
rajin dan berbakat sekali. Karena sikapnya yang
selalu baik itulah maka dua orang gurunya
semakin sayang kepadanya, dan diam-diam menaruh harapan agar kelak murid mereka itu
yang akan mampu mempertemukan mereka dengan anak mereka kembali.
Pagi hari itu, suami isteri pendekar itu
memanggil murid mereka menghadap dan mereka
menyatakan bahwa sudah tiba saatnya bagi Siong
Ki untuk te rjun ke dalam dunia ramai dan
memanfaatkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya dari kedua orang suami isteri itu.
Setelah mendengar pernyataan
kedua orang gurunya itu, Siong Ki sambil berlutut menyatakan
te rima kasihnya dengan kata-kata seperti tadi.
Mendengar ucapan murid mereka, suami isteri itu
saling pandang dan wajah mereka berseri. Pemuda
itu memang pandai menyenangkan hati mereka,
selalu bersikap sopan penurut dan juga halus
tutur sapanya.
"Siong Ki, antara guru dan murid tidak a da yang
dinamakan hutang budi. Sudah menjadi kewajibanku sebagai gurumu untu k mendidikmu
sebaik mungkin, dan sudah menjadi kewajibanmu
sebagai muridku untuk mentaati semua petunjuk
dan pesanku. Ingat, kami mengajarkan ilmu silat
kepadamu bukan dengan maksud agar engkau
menjadi kuat untuk membalas dendam. Apa yang
te rjadi menimpa keluarga He k-houw-pang adalah
akibat dari adanya perang saudara, te rgantinya
dinasti Kerajaan Sui menjadi Kerajaan Tang."
"Teecu mengerti, suhu. Sudah sering suhu dan
bibi menasihatkan teecu agar tidak memikirkan
lagi tentang akibat perang saudara yang mendatangkan malapetaka kepada keluarga He k
houw pang. Teecu tidak mendendam kepada
siapapun, akan tetapi bagaimana teecu dapat
mendiamkan saja kalau mendengar seorang tokoh
Siauw-lim-pai yang merupakan aliran persilatan
paling besar dan te rkenal mempunyai tokoh-tokoh
pendekar perkasa dan budiman, melakukan perbuatan jahat, membantu pemberontak menyerbu Hek-houw-pang dan menyebar maut
kepada orang-orang yang tidak berdosa?"
Suami isteri itu saling pandang. Mereka teringat
akan cerita murid mereka ketika pertama kali



datang kepada mereka. Anak itu menceritakan
te ntang malapetaka yang menimpa keluarga He khouw-pang, dan menceritakan pula pendengarannya bahwa yang melakukan penyerbuan dan pembunuhan di dusun Ta-buncung itu, antara lain adalah pendekar Siauw-limpai yang bernama Lie Koan Tek.

"Siong Ki, ketahuilah bahwa engkau harus dapat
membedakan antara orang yang sengaja berbuat
jahat dan melakukan pembunuhan karena demi
kepentingan pribadinya, seperti para perampok,
penindas dan sebagainya yang memang merupakan orang-orang jahat, dan orang yang
te rpaksa melakukah perte mpuran dan mungkin
pembunuhan yang te rjadi dalam perang. Kami
mengenal siapa pendekar Lie Koan Tek itu. Dia
seorang pendekar besar, dan kami tidak pernah
mendengar dia melakukan kejahatan, bahkan
selalu menentang kejahatan. Kalau dia sampai ikut
menyerbu dan mungkin saja membunuh ayahmu
yang melakukan perlawanan, hal itu terjadi dalam
perte mpuran yang te rkendali oleh pemberontakan,
oleh perang, bukan karena urusan pribadi. Kalau
dendam berlarut-larut dibiarkan merajalela dan
menguasai hati manusia, mungkin sekarang ini
tidak ada orang yang tidak mendendam kepada
orang atau bangsa lain. Dalam perang, sejak
dahulu, entah berapa juta orang yang tewas. Kalau
semua keturunan mereka mendendam, betapa
dunia ini akan penuh dengan dendam."
"Suhu, apakah kalau begitu membunuh banyak
orang dalam perang tidak merupakan dosa" Teecu
seringkali merasa heran mengapa kalau di waktu
perang, seseorang membunuhi banyak sekali orang
yang tidak dikenalnya sama sekali, yang tidak
mempunyai urusan pribadi dengan dia, orang itu
bahkan dipuji sebagai pahlawan yang gagah
perkasa. Sebaliknya di luar perang, kalau ada
orang membunuh orang lain, biar dengan alasan
yang kuat sekalipun, karena urusan pribadi, orang

itu dikutuk, ditangkap dan dijatuhi hukuman"
Berbedakah membunuh dalam perang dengan
membunuh di luar perang?"
Si Han Beng te rsenyum dan menganggukangguk, ia sendiri dahulu sudah sering memikirkan hal ini dan berbincang dengan banyak
orang cerdik pandai dan bijaksana mengenai
perang. "Pembunuhan adalah tetap pembunuhan, dalam
bentuk apapun dan dalam keadaan apapun, Siong
Ki. Perang antar golongan, antar bangsa hanya
merupakan pembesaran, perluasan dan perkembangan daripada perang dalam diri pribadi
dan antar manusia. Urusan pribadi berkembang
menjadi urusan golongan, urusan antar bangsa
dan selanjutnya. Manusia dikuasai nafsu dan
nafsu dengan liciknya, dengan berbagai tipu
muslihat, membuat manusia mengejar tujuan
dengan menghalalkan segala cara. Perang merupakan suatu cara untuk mencapai sesuatu.
Ada yang berperang untuk meluaskan daerah
kekuasaan, perang untuk memaksakan kehe ndak
demi keuntungan negaranya, perang untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri,
perang untuk membela diri dari serangan musuh,
dan masih banyak lagi. Namun, semua alasan itu
mengakibatkan malapetaka yang amat menyedihkan, yaitu membuat manusia menjadi
buas, saling bunuh. Dalam perang, seorang
perajurit hanya mengenal dua hal, dibunuh atau
membunuh. Tentu saja setiap orang tidak ingin
dibunuh, walaupun untuk itu harus membunuh!
Dan itu sudah menjadi tugas seorang perajurit

atau seorang yang berpihak pada suatu golongan
atau pemerintahan. Nah, jelas sekali perbedaan
sifatnya dari pembunuhan karena urusan pribadi,
bukan" Pembunuhan dalam perang melibatkan
seluruh pemerintahan dan negara, maka tidak ada
hukumannya. Kalau si pembunuh dihukum, te ntu
pemerintahnya yang dihukum, karena pemerintah
yang menyuruh dia berperang dan membunuh,
padahal yang membuat dan melaksanakan hukum
adalah pemerintah sendiri. Sedangkan membunuh
di luar perang, berarti karena urusan pribadi dan
melanggar hukum pemerintah."
Siong Ki mengangguk-angguk mengerti. "Harap
suhu dan bibi jangan khawatir. Teecu tidak
mendendam kepada Lie Koan Tek, melainkan
hanya penas aran mengapa seorang pendekar
diperalat oleh pemberontak. Teecu akan melakukan penyelidikan. Kalau memang benar dia
bukan orang jahat, dan seorang pendekar, tentu
teecu tidak akan mengganggunya. Akan te tapi
kalau dia penjahat, sudah menjadi kewajiban teecu
untuk membasminya." Si Han Beng tersenyum. "Bukan hanya Lie Koan
Tek seorang yang harus kaute ntang, melainkan
semua bentuk kejahatan. Akan tetapi jangan
mencari musuh, jangan te rlalu usil. Tidak mungkin
engkau seorang diri hendak membasmi semua
kejahatan, karena di dunia ini, jauh lebih banyak
te rdapat orang jahat dari pada yang baik.
Kejahatan memang sudah menjadi sebagian dari
keadaan manusia. Engkau sudah banyak mendengar tentang itu dari kami, Siong Ki. Mudahmudahan saja engkau akan menjadi seorang

pendekar yang tidak akan memalukan kami
sebagai gurumu." "Teecu akan selalu mengingat semua petunjuk
dan nasehat suhu dan bibi," kata Siong Ki.
"Siong Ki, ada satu hal yang kami ingin engkau
melakukannya untuk kami," kata Bu Giok Cu tibatiba. Siong Ki mengangkat muka memandang wajah
isteri suhunya itu. Wajahnya berseri dan pandang
matanya penuh s emangat. Dia akan merasa girang
sekali kalau dapat melakukan sesuatu untuk guru
dan bibinya. "Teecu akan melakukan segalanya untuk suhu
dan bibi, biarpun untu k itu te ecu harus
mempertaruhkan nyawa teecu!"
"Kami ingin engkau mencari dan menemukan
kembali adikmu Lan Lan!" kata wanita itu dan
pandang matanya berubah menjadi sayu.
"Bibi, hal itu tidak pernah te ecu lupakan! Sejak
sumoi (adik seperguruan) Hong Lan diculik, teecu
selalu ingat kepadanya dan sebetulnya, sejak dulu
teecu sudah mempunyai te kad untuk mencarinya
sampai dapat dan mengajaknya kembali kepada
suhu dan bibi!" suara pemuda itu penuh semangat,
sehingga menggembirakan hati suami isteri itu.
"Teecu tidak akan pernah melupakan wanita
penculik bernama Kwa Bi Lan itu!"
"Siong Ki, engkau hanya kami tugaskan mencari
Lan Lan, bukan untuk memusuhi Kwa Bi Lan.
Ingat, engkau tidak boleh memusuhinya."

"Maaf, suhu. Akan tetapi sikap suhu dan bibi
sungguh amat aneh. Sudah je las bahwa Kwa Bi
Lan mendatangkan kedukaan dalam kehidupan
suhu berdua. Ia sudah menculik adik Lan Lan
sejak ia berusia dua tahun sampai sekarang. Akan
tetapi, suhu dan bibi yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi tidak pernah melakukan pengejaran dan pencarian, dan sekarang, setelah
teecu hendak mencarinya, suhu memesan agar
teecu tidak memusuhi penculik itu. Bukankah ia
sudah melakukan hal yang amat jahat, suhu?"
"Hemm, engkau tidak tahu, Siong Ki. Kwa Bi Lan
itu adalah murid Siaw-lim-pai pula, dan ia adalah
isteri guruku yang pertama. Ia masih keponakan
dari pendekar Siauw-lim-pai Lie Koan Tek yang kau
sebut-sebut tadi. Ia seorang pendekar wanita yang
gagah perkasa, sama sekali bukan penjahat. Kalau
ia membawa pergi Lan Lan, hal itu ia lakukan
bukan karena ia jahat, melainkan persoalan
pribadi antara ia dan aku yang tidak perlu
diketahui orang lain. Nah, sekarang berjanjilah
bahwa engkau akan mencari Lan Lan sampai dapat
kaute mukan, kemudian mengusahakan agar ia
dapat kauajak pulang, tanpa mengganggu dan
memusuhi Kwa Bi Lan."
Siong Ki menundukkan mukanya. "Baiklah,
suhu dan bibi, teecu berjanji akan menemukan
sumoi Hong Lan dan mengajaknya pulang tanpa
memusuhi Kwa Bi Lan. Sebelum itu, teecu hendak
berkunjung dulu ke Ta-bun-cung. mengunjungi
keluarga He k-houw-pang dan bersembahyang di
makam ibu dan ayah."

"Me mang seharusnya begitu," kata Si Han Beng.
"Engkaupun harus tahu bahwa He k-houw-pang
adalah perkumpulan orang gagah. Ole h karena itu,
mengingat bahwa mendiang ayahmu adalah murid
dan tokoh He k-houw-pang pula, maka sudah
sepantasnya kalau e ngkaupun ikut membantu dan
mendorong kemajuan He k-houw-pang agar nama
keluarga Hek-houw-pang terangkat."
"Siong Ki, kau bawalah pedangku Seng-kangkiam (Pedang Baja Bintang) ini. Pedangku ini
sudah membuat banyak jas a ketika aku masih
merantau di dunia kang-ouw. Bawalah pedangku
ini untuk membantumu mencari Lan Lan sampai
dapat dan kelak kembalikan pedang ini kepadaku
bersama Lan Lan," kata Bu Giok Cu sambil
menyerahkan sebatang pedang dengan sarung dan
gagang yang terukir indah.
Siong Ki terkejut dan girang. Tentu saja dia
mengenal pedang isteri gurunya itu. Sebatang
pedang pusaka yang amat ampuh walaupun
pedang itu tidak tajam. Pedang itu tumpul karena
sukar untuk menajamkan baja yang berasal dari
bintang itu. Namun, segala macam senjata dari
logam apapun tidak ada yang mampu menandingi
baja bintang itu dalam hal kekuatannya. Dia
menerima pedang itu dengan sikap menghormat.
Kemudian, setelah menerima banyak nasehat
dari Si Han Beng dan Bu Giok Cu, membawa pula
bekal uang dan pakaian dalam buntalan kain
kuning, berangkatlah Siong Ki meninggalkan
dusun Hong-cun.
Siong Ki yang enambelas tahun yang lalu datang
sebagai anak berusia enam tahun yang berpakaian




compang-camping, kini meninggalkan dusun itu
sebagai seorang pemuda tinggi te gap dan tampan
gagah, berpakaian sederhana namun rapi, melangkah dengan te gap meninggalkan te mpat di
mana selama belas an tahun dia dibesarkan. Di
sepanjang jalan, setiap orang yang dijumpainya
menyapanya dengan hormat dan dibalas dengan
ramah oleh pemuda itu. Semua penghuni dusun
itu sudah mendengar belaka bahwa pemuda yang
mereka kagumi itu kini meninggalkan dusun
untuk pergi merantau.  Dusun Ta-bun-cung kini menjadi dusun yang
besar dan ramai seperti sebuah kota saja. Hal ini
berkat kemajuan yang dicapai He k-houw-pang di
bawah pimpinan Lai Kun. Hek houw-pang telah
mempunyai perusahaan pengawal barang yang
bergerak dari kota-kota yang berdekatan ke
seluruh kota, baik yang berjarak dekat maupun
jauh. Dan berkat adanya surat penghargaan dari
Kaisar, maka boleh dibilang pengawalan mereka
tidak pernah ada yang berani mengganggu. Kini
dusun itu menjadi ramai karena didatangi banyak
pedagang yang hendak mengirim barang melalui
pengawalan He k-houw-pang. Sebagai pangkalan
pengiriman barang, maka dusun itu kini membangun, banyak sudah didirikan rumah
penginapan dan rumah makan, disamping toko
toko sehingga dusun yang tadinya sunyi itu kini
menjadi sebuah kota. Lai Kun adalah seorang murid He k-houw-pang
yang beruntung. Ketika te rjadi malapetaka menimpa Hek-houw-pang, dia sendiri belum
berkeluarga dan diapun dapat meloloskan diri
tidak menjadi korban serbuan anak buah Pangeran
Cian Bu Ong. Kini, setelah dia diangkat menjadi
ketua He k-houw-pang dan berhasil membuat
perkumpulan itu maju pesat, diapun tidak melupakan keluarga pimpinan He k-houw-pang
yang telah terbasmi pemberontak. Dia membangun
tanah kuburan menjadi indah dan bersih, dan
diapun te rkenal dermawan, siap menolong warga
dusun yang sedang ditimpa kesulitan hidup,
sehingga bukan saja Hek-houw-pang yang te rkenal
maju, juga nama Lai Kun sebagai ketuanya
menjadi harum dan dihormati orang.
Pada suatu sore, di tanah kuburan yang sunyi
itu nampak seorang gadis bersimpuh di depan
sebuah makam. Gadis itu tidak menangis, hanya
duduk bersimpuh seperti dalam samadhi, sampai
le bih dari sejam lamanya. Ia seorang gadis yang
amat cantik, dan tubuhnya diselimuti jubah luar
yang lebar dan panjang, menutupi leher dan kedua
pundaknya, sehingga kedua tangannya tidak
nampak. Hanya wajahnya saja yang nampak, kulit
mukanya putih mulus kemerahan dilatar belakangi
rambut hitam dan jubah yang kebiruan. Sebuah
buntalan dengan kain hijau terletak di dekatnya.
Dari buntalan ini saja mudah diduga bahwa ia
te ntulah bukan penduduk Ta-bun-cung, melainkan

pendatang dari yang membawa bekal pakaian
dalam buntalan itu. Setelah senja tiba dan matahari sudah condong
jauh ke barat, gadis itu bergerak bangkit dan
berbisik di depan makam itu. "Ayah, te nangkan
dirimu, ayah, aku akan mencari ibu sampai
dapat......" Lalu ia meninggalkan makam, menjinjing buntalan kain hijau dan memasuki
jalan raya yang ramai di dusun Ta-bun-cung itu.
Tak lama kemudian, nampak gadis itu sudah
duduk di dalam sebuah rumah makan besar yang
berada di te pi jalan raya. Lampu-lampu gantung
sudah dinyalakan dan ruangan rumah makan itu
cukup te rang. Juga ruangan itu luas, te rdapat
belasan meja dikelilingi bangku. Namun, hari
masih terlalu sore untuk makan malam dan sudah
te rlalu sore untuk makan siang sehingga tidak
banyak dikunjungi tamu. Hanya ada tiga meja yang
dihadapi tamu, meja pertama adalah meja gadis itu
yang berada di paling ujung sebelah dalam, lalu
meja ke dua dihadapi dua orang laki-laki setengah
tua yang nampaknya adalah pedagang-pedagang
pendatang dari luar kota, sedangkan meja ke tiga
dihadapi empat orang laki-laki muda berusia
antara duapuluh lima sampai tigapuluh tahun.
Mereka berempat itu sudah berada di sana ketika
gadis bermantel biru itu masuk, dan sejak gadis itu
masuk, tingkah empat orang muda itu menjadi
berbeda. Agaknya sudah menjadi sifat atau watak semua
kaum pria di seluruh dunia ini. Setiap kali ada
serombongan pria berkumpul, lalu muncul wanita,

apalagi kalau wanita itu cantik, maka terjadilah
perubahan yang aneh pada rombongan pria itu.
Kalau kita mengamati tanpa melibatkan diri
sebagai orang luar, maka kita akan melihat
perubahan yang aneh dan lucu. Pandang mata,
gerak-gerik, bahkan suara serombongan pria itu
akan berbeda sama sekali dengan ketika tadi
mereka bercakap-cakap se belum ada wanita cantik
yang muncul. Begitu ada wanita muncul, maka
gerak-gerik, pandang mata dan suara mereka itu
menjadi tidak wajar lagi, dibuat-buat atau setidaktidaknya ada suatu lagak te rte ntu yang mungkin
tidak mereka sadari sendiri. Tanpa mereka sengaja,
pandang mata mereka selalu melirik ke arah si
wanita seperti tertarik ole h sembrani, senyum
mereka semakin sering dan suara mereka meninggi
menuntut perhatian. Kalau kita meneliti keadaan
setiap mahkluk jantan, melihat lagak setiap jantan
kalau melihat betina, maka rasa aneh itu akan
le nyap. Agaknya memang begitulah pembawaan
sifat jantan kalau melihat betina. Sebaliknya,
walaupun le bih halus dan tidak kentara, ada
perasaan timbal balik bagi si betina kalau
diperhatikan pria. Sang jantan terdorong untuk
menggoda dan memuji, sang betina condong untuk
ingin digoda dan dipuji, asalkan sifatnya sopan dan
tidak kurang ajar. Bahkan pria yang wataknya alim
sekalipun, tak dapat te rbebas sama sekali dan
biarpun dengan sikap yang alim, dia menentang
gejolak perasaannya sendiri, tetap saja sang mata
ingin melirik dan sang mulut ingin te rsenyum
segagah-gagahnya!
Empat orang pemuda itu agaknya memiliki
keberanian yang lebih, atau juga memang mereka
itu te rbiasa mengganggu wanita dengan cara yang
tidak sopan. Dan lingkunganpun mempengaruhi
pembawaan setiap pria. Kalau seorang di antara
empat pemuda itu berada di situ s eorang diri saja,
kiranya belum te ntu dia akan berani menganggu,
atau andaikata dia tertarikpun tentu akan
membatasi diri dengan kerling dan senyun
memikat saja. Akan te tapi, sekali seorang pemuda
berkumpul dengan kawan-kawannya, keberaniannya akan meningkat berlipat ganda.
Semakin banyak jumlah kawan, s emakin beranilah
dan agaknya keberanian mereka digabungkan dan
dipergunakan oleh mereka!
"Aduh, bukan main cantiknya!"
"Hemmn, kulit mukanya begitu putih, halus
mulus, apalagi bagian badan yang lain!"
"Kalau aku, yang paling hebat adalah matanya.
Seperti sepasang bintang kejora!"
"Tidak, hidungnya le bih hebat. Lihat, kecil
mancung dan lucu!" "Salah semua. Lihat bibirnya! Merah segar tanpa
gincu. Betapa nikmatnya kalau diciumi."
Bermacam-macam ucapan empat orang pemuda
itu. Jelas ditujukan kepada gadis itu karena secara
te rang-terangan dan menantang mereka memandang ke arah gadis itu. Sikap dan tingkah
laku mereka, ucapan mereka, sempat membuat
dua orang tamu setengah tua yang duduk di

ruangan itu geleng-geleng kepala, akan tetapi
mereka tidak berani mencampuri.
Tentu saja gadis itu tahu akan itu semua. Akan
tetapi sikapnya dingin saja, acuh dan seola'h-olah
tidak melihat dan tidak mendengar sesuatu.
Bahkan pandang matanya biasa saja, tetap tenang
ketika pelayan menghampirinya untuk menerima
pesanan makanan. Iapun hanya memesan nasi dan
dua macam sayuran, tidak memesan
arak melainkan minuman ringan dari buah. Setelah
pelayan menerima pesanan dan pergi, iapun duduk
diam seperti melamun, kedua tangan te tap
bersembunyi di dalam jubah luar dan buntalan
kain hijau itu kini terletak di atas meja.
Kalau hanya ada seorang saja di antara para
pemuda itu yang berakal sehat, tentu sikap diam
dari gadis itu membuat mereka mundur. Seorang
laki-laki yang sendirian, kalaupun berani mengganggu wanita, kalau didiamkan saja dan
tidak ditanggapi, diapun akan mundur. Akan
tetapi, empat orang pemuda itu agaknya malah
semakin penasaran. Mereka adalah pemudapemuda yang ganteng dan kaya, biasanya hampir
tidak pernah ada wanita yang tidak merasa bangga
kalau mereka puji dan dekati. Akan tetapi gadis
yang satu ini demikian dingin dan menganggap
mereka seperti empat ekor lalat saja!
Sikap ini sungguh membuat mereka penas aran
sekali. Kalau gadis itu memperlihatkan sikap
marah atau malu, atau memaki mereka dengan
kata-kata, dengan pandang mata melotot, dengan
cemberut, hal itu sudah akan memuaskan hati

mereka, merupakan hasil kenakalan mereka. Akan
tetapi didiamkan saja seperti itu, dilirikpun tidak,
membuat mereka merasa diri kecil tak berarti.
"Hai, jangan-jangan si cantik ini tuli!"
"Atau mungkin juga gagu."
"Aduh sayang sekali kalau begitu. Cantik-cantik
gagu dan tuli." "Aih, gagu dan tuli juga tidak apa-apa, malah
asyik tidak usah banyak bicara."
Mereka mengganggu te rus dan sama sekali tidak
diperdulikan gadis itu sampai makanan yang
dipesan gadis itu tiba. Pelayan menaruh semua
pesanan ke atas meja dan mempersilakan gadis itu
makan dengan sikap sopan seperti biasa, karena
semua pelayan di situ diharuskan bersikap sopan
kepada semua langganan dengan ancaman dipecat
kalau berlaku tidak patut.
Gadis itu mengangguk, dan tanpa memperdulikan empat orang pemuda yang te rus
menggodanya dengan pandang mata dan katakata, ia mengeluarkan kedua le ngannya dari balik
jubah untuk mulai makan. Empat orang pemuda itu te rbelalak ketika
melihat betapa lengan kiri gadis cantik itu buntung




sebatas pergelangan. Lengan kiri itu tidak
mempunyai tangan dan ujung le ngan itu dibalut
kain putih yang bersih, nampak tersembul sedikit
dari le ngan baju! "Wah, tangannya buntung!"

"Aduh sayang........begitu cantik manis tangan
kirinya buntung!" "Wah, kalau ia tuli, gagu dan buntung, cacatnya
te rlalu banyak!" "Aihhh, ia tetap cantik manis, dan dengan satu
tanganpun ia akan dapat membelaiku!"
Gadis itu memang buntung tangan kirinya, ia
adalah Kam Cin atau Cin Cin, gadis murid Tunghai Mo-li Bhok Sui Lan. Seperti telah diceritakan di
bagian depan, gadis ini mendapat tugas dari
gurunya untuk mencari dan membunuh Cian Bu
Ong. Ia memang telah dapat menemukan musuh
besar gurunya itu, namun ia gagal membunuh
Cian Bu Ong, bahkan ia dikalahkan. Ketika Thian
Ki mencampuri, ia menyerang Thian Ki dan
mencengkeram pundak Thian Ki dengan tangan
kirinya. Ternyata cengkeraraman ini bahkan membuat tangan kirinya keracunan hebat dan
Thian Ki lalu membabat putus tangannya itu. Rasa
nyeri di le ngannya tidaklah sehebat rasa nyeri di
hatinya. Ia dikalahkan Cian Bu Ong, dikalahkan
Thian Ki bahkan kehilangan tangan kiri yang
menjadi buntung. Sakit sekali rasa hatinya dan ia
merasa malu untuk pulang menemui gurunya,
malu untuk menceritakan kekalahannya. Tidak, ia
tidak akan merengek kepada gurunya.
Dia harus membuat persiapan sendiri, untuk
menuntut balas, sekali ini bukan hanya untuk
menuntut dendam gurunya, melainkan dirinya
sendiri pula. Ia akan menantang Cian Bu Ong
sebagai wakil gurunya, dan akan menantang Thian
Ki untuk diri sendiri. Demikianlah, dengan le ngan

buntung dan hati terluka, gadis itu pergi ke dusun
Ta-bun-cung, bukan hanya untuk bersembahyang
di depan kuburan ayahnya, a kan tetapi juga untuk
mendengar tentang ibunya, untuk berkunjung
kepada semua warga Hek-houw-pang dan terutama
sekali untuk pergi mencari keterangan tentang
paman gurunya, Lai Kun. Ia masih.mempunyai
perhitungan besar dengan paman gurunya yang
pernah menipunya dan menjualnya kepada rumah
pelacuran di kota Ji-goan itu! Inilah sebabnya
mengapa pada sore hari ini Cin Cin muncul di
tanah kuburan dusun Ta-bun-cung, kemudian
makan di rumah makan itu sebelum berkunjung
ke Hek-houw-pang. Ia merasa kagum dan te rheran-heran melihat dusunnya yang dulu sepi
itu kini menjadi sebuah kota yang ramai.
Tadi ketika menghadapi empat orang pemuda
yang menggodanya, ia tidak perduli dan diam saja.
Akan te tapi, kini mereka menyinggung te ntang
buntungnya tangan kirinya! Mereka telah menyentuh kehormatan dirinya! Cin Cin meletakkan sumpitnya dan menoleh ke arah kiri,
ke arah meja dimana empat orang pemuda itu
masih tertawa-tawa memandang dan menggodanya. Melihat gadis cantik itu menoleh dan memandang kepada mereka, empat orang itu
semakin gembira dan memberi tanda dengan
kedipan mata ke arah Cin Cin, lagak mereka
kurang ajar sekali. "Kalian jahanam-jahanam kecil! Pergilah dan
jangan menggangguku atau te rpaksa aku akan

menghajar kalian!" kata Cin Cin dengan suara
dingin dan sikap tenang, namun sepasang matanya
mencorong. Dimaki dengan suara keras oleh gadis buntung
itu, tentu saja empat orang pemuda itu menjadi
marah. Dua orang tamu dan juga para pelayan
mendengar betapa mereka dimaki, dan hal ini
sungguh merendahkan nama mereka.
Si hidung bengkok yang agaknya menjadi
pimpinan mereka, segera bangkit berdiri dan
menyeringai. "Heh-heh, nona buntung tapi manis.
Jangan bicara sembarangan. Kami adalah para
anggota He k-houw-pang yang te rkenal di seluruh
penjuru dunia. Kami bahkan musuh para jahanam
yang jahat!" Pemuda ke dua yang berkumis tipis menyeringai
pula. "Nona manis, kami hanya ingin bersahabat
denganmu. Mari kita bersenang-senang, nona.
Kami akan menyuguhkan makanan enak dan
engkau akan minta apa saja, tentu kami penuhi
asal engkau bersikap manis kepada kami, ha-haha! Tiga orang te mannya juga te rtawa karena
mereka semua sudah setengah mabok.
Mendengar bahwa mereka anak buah Hek-houwpang, Cin Cin menjadi semakin marah. "Empat
orang bajingan kecil macam kalian ini mengaku
anggota He k-houw-pang" Kalian tidak pantas
menjadi murid Hek-houw-pang, pantasnya menjadi
anggota gerombolan penjahat kecil! Pergilah sebelum habis kesabaranku!"
Empat orang itupun menjadi marah karena
malu. Mendengar makian yang dilontarkan gadis

itu kepada mereka. Mereka segera bangkit dan
menghampiri meja Cin Cin, mengurung meja itu
dengan mulut menyeringai dan bau arak. Si hidung
bengkok berkata sambil mendekatkan mukanya
pada wajah gadis itu. "Engkau berani menghina kami murid-murid
He k-houw-pang! Kalau engkau tidak minta maaf
dan memberi ciuman kepada kami masing-masing
satu kali, engkau tidak bole h pergi dari tempat ini!"
"Jahanam, sudah kuperingatkan kalian!" Cin Cin
membentak dan tanpa bangkit berdiri, tangannya
yang kanan bergerak dan tu buhnya dicondongkan
ke arah mereka. Cepat sekali tangan itu bergerak
empat kali dan terdengar suara tamparan keras
yang membuat empat orang itu te rpelanting
dengan pipi membengkak merah!
Tentu saja mereka menjadi semakin marah dan
penas aran. Mereka adalah jagoan-jagoan Hekhouw- pang, dan begitu mudahnya mereka kena
ditampar sampai te rpelanting. Mereka berempat
adalah anggota-anggota baru dari He k-houw-pang,
maka tidak saling mengenal dengan Cin Cin,
apalagi karena Cin Cin baru berusia lima tahun
ketika meninggalkan dusun itu. Dengan marah
sekali mereka mencabut sebatang pis au belati yang
selalu te rselip di pinggang mereka. Melihat ini,
pengurus rumah makan segera menghampiri dan
memberi hormat. "Harap saudara sekalian jangan membikin ribut
di rumah makan kami dan suka memaafkan nona
ini. Atau kalau hendak berkelahi, harap keluar dari
sini......"
"Apa kau bilang" Engkau hendak mencampuri
dan membela perempuan jahat ini" Ia tentu
seorang penjahat yang sengaja hendak mengacau
di sini. Kami harus menangkapnya dan menyeretnya ke Hek-houw-pang untuk diperiksa
oleh pimpinan kami!" bentak si hidung bengkok.
Kemudian dia memandang kepada Cin Cin dan
membentak marah. "Bocah sombong, cepat engkau
menyerah untuk kami tangkap sebelum kami
te rpaksa mempergunakan senjata dan melukaimu!"
"Kita buntungi saja tangan kanannya agar ia
tidak suka menampari orang lagi!" kata orang ke
dua, disambut geraman setuju oleh yang lain.
Mereka mendesak maju dengan sikap mengancam
dan muka beringas. Pengurus rumah makan
menjadi ketakutan dan diapun mundur, berkelompok dengan pelayan yang memandang
dengan hati tegang dan takut kalau-kalau gadis
tamu itu akan kehilang tangan yang tinggal satu
itu. Cin Cin bangkit berdiri. Nampak tubuh yang
langsing dan kini baru pertama kalinya mulutnya
te rsenyum, senyum sinis sekali. Bangkit semangatnya yang tadinya hampir padam karena
kegagalannya membalas dendam, bahkan ia
kehilangan kirinya dan kini bangkit kegembiraannya hendak memberi hajaran kepada
empat orang tak tahu diri ini.
"Bagus, kalau kalian ingin merasakan bagaimana kalau kehilangan sebelah tangan,
majulah!"
Ditantang demikian, empat orang itu marah dan
merekapun menyerang dengan pisau mereka.
Nampak empat sinar berkilauan ketika empat
orang pemuda itu menggerakkan pisau. Mereka
seperti hendak berebut dulu untuk membuntungi
tangan kanan gadis yang telah menghina mereka di
te mpat umum. Bayangan Cin Cin berkelebatan di antara
sambaran empat batang pisau dan tiba-tiba saja ia
berhasil merampas sebatang pisau, kemudian
dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, pisaunya menyambar-nyambar tanpa dapat ditangkis atau dielakkan empat orang pemuda itu.
Mereka berteriak keras satu demi satu dan
te rhuyung ke belakang, tangan kanan memegangi
le ngan kiri yang telah buntung pada pergelangan
tangan itu! Darah bercucuran dan empat buah
tangan menggeletak di atas lantai! Empat orang itu
mengaduh-aduh dan mereka yang melihat peristiwa itu merasa ngeri. Ternyata dalam waktu
yang amat singkat, gadis itu telah membuntungi
tangan kiri empat orang pemuda itu.
"Nah, tidak cepat pergi" Apakah kalian minta
dibuntungi le her kalian?" bentak Cin Cin sambil
melempar pisau rampasannya ke atas meja dan
menancap sampai ke gagangnya di meja bekas
meja mereka itu.



Empat orang pemuda itu kini menjadi ketakutan
dan kesakitan. Baru sekarang mereka menyadari
bahwa mereka berhadapan dengan gadis buntung
yang memiliki ilmu kepandaian he bat bukan main.

Mereka telah kehilangan tangan kiri dan tentu
saja mereka menjadi berduka dan marah sekali.
Mereka lalu lari keluar untuk melapor kepada
pimpinan mereka agar membalaskan dendam
mereka kepada gadis itu. Cin Cin berseru."Heei,
jangan lupa bawa tangan kalian yang kotor ini!" Ia
menendang empat kali dan empat buah tangan itu
melayang keluar ke arah empat orang pemuda
yang berlari keluar. Bahkan dua tangan di
antaranya te pat mengenai kepala dua orang
pemuda. Mereka cepat memungut empat buah
tangan itu, tidak tahu tangan siapa yang mereka
pungut, lalu melarikan diri tanpa berani menoleh
lagi. "Heei, pelayan! Bersihkan lantai itu!" kata Cin
Cin kepada para pelayan dan ketika para pelayan
membersihkan lantai dari darah, gadis itupun
melanjutkan makan minum dengan sikap te nang,
seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu di tempat
itu. Ia bahkan mengeluarkan sebuah benda kering
menghitam dari saku jubahnya, memandang benda
itu dan te rsenyum mengangguk-angguk. "Jangan
khawatir, akan banyak te manmu. Setiap orang
yang berani kurang ajar kepadaku, akan kubuntungi tangan kirinya agar engkau tidak
merasa kesepian lagi." Setelah berkata demikian,
Cin Cin mengantungi kembali benda itu, yang
te rnyata adalah tangan yang sudah kering
menghitam. Tangan kirinya! Kini ia makan minum
dengan wajah berseri sehingga nampak semakin
cantik. Agaknya peris tiwa tadi membuat Cin Cin
lupa akan keadaan tangan kirinya yang buntung,
seperti seorang yang tadinya merasa sengsara

karena kehilangan suatu benda yang amat disayangnya, kini menjadi terhibur melihat banyak
orang kehilangan seperti dirinya.
Dua orang setengah tua yang tadi juga makan di
situ, masih duduk te rtegun menghadapi meja
mereka. Mereka telah menyaksikan peristiwa
hebat.! Karena tegang sekali, mereka tadi seperti
te rpukau tak mampu meninggalkan meja mereka,
seperti dipaksa untuk menjadi penonton. Juga
pengurus rumah makan dan tujuh orang pelayannya. Mereka tadi juga berkelompok dan
menyaksikan dengan je las apa yang te lah terjadi.
Ada pula beberapa orang yang berada di depan
rumah makan menjadi penonton, yaitu beberapa
orang yang tadinya hendak makan dan tidak jadi
masuk melihat keributan di dalam, dan beberapa
orang lagi yang kebetulan le wat dan te rtarik oleh
keributan itu. Setelah empat orang pemuda itu pergi membawa
tangan buntung mereka, para penonton itu
berbisik-bisik membicarakan peristiwa hebat itu.
Mereka semua merasa heran, kagum dan juga
khawatir. Tentu ada ekornya peris tiwa hebat itu
dan mereka semua enggan meninggalkan te mpat
itu, ingin sekali melihat apa yang akan te rjadi
selanjutnya sebagai akibat dari perkelahian tadi.
Cin Cin yang tidak perduli dan te nang seperti
tak pernah te rjadi sesuatu, telah selesai makan
dan ia menengok, lalu memberi isyarat memanggil
pelayan. Segera pengurus rumah makan sendiri
yang datang dite mani seorang pelayan. Pengurus

rumah makan itu te rbongkok-bongkok dengan
sikap hormat dan takut-takut.
"Berapa yang harus kubayar?" tanya Cin Cin
sambil lalu, tidak memperdulikan sikap kedua
orang itu yang terlalu menghormat.
Pengurus rumah makan itu tersenyum dan
membungkuk-bungkuk, menggerakkan tangan menolak. "Tidak usah, nona. Tidak perlu nona
membayar.." Cin Cin mengerutkan alisnya. "Aku sudah
makan dan minum, dan harus kubayar. Apa kau
kira aku tidak mempunyai uang dan tidak mampu
membayar?" Pengurus rumah makan itu te rkejut dan
wajahnya yang tadinya merah itu berubah pucat
dan ia cepat menggerakkan tangan menyangkal.
"Tidak...tidak sama sekali, nona. Saya yakin bahwa
nona mampu membayar, akan te tapi......Kami
senang sekali nona sudi makan minum di sini.
Kami merasa terhormat dan tidak usah nona
membayar harga makanan yang tidak berapa
banyak itu." Sepasang mata itu berkilat. "Aku tidak pernah
mengemis makanan. Hayo katakan berapa aku
harus membayar, atau aku dapat menjadi marah!"
Ge metar kedua lutut pengurus rumah makan itu
dan cepat-cepat dia menyebutkan jumlah yang
menjadi harga makanan. Sambil te rsenyum Cin
Cin mengeluarkan uang sejumlah itu dan membayarnya. Ketika ia he ndak keluar dari tempat
itu, menyambar buntalan hijaunya dan
menjinjingnya dengan memasukkan le ngan kiri
yang buntung ke dalam ikatan buntalan yang
longgar. Akan te tapi, baru saja ia melangkah dua
tindak, tiba-tiba ia berhenti karena dari luar
muncul seorang laki-laki berusia limapuluhan
tahun diikuti empat orang pemuda yang ia
buntungi tangan kirinya tadi. Lengan buntung para
pemuda itu kini te lah dibalut dan biarpun wajah
mereka masih pucat, namun agaknya mereka telah
diobati dan tidak terlalu menderita lagi.
Cin Cin mengangkat muka memandang laki-laki
itu. Ia segera mengenalnya. Pria itu adalah seorang
sute (adik seperguruan) dari mendiang ayahnya.
Ayahnya, mendiang Kam Seng Hin, dahulu adalah
ketua He k-houw-pang, dibantu banyak saudara
seperguruan. Ketika terjadi penyerbuan musuh
yang menewaskan banyak murid He k-houw-pang
agaknya Thio Pa ini tidak ikut te was. Biar usianya
sudah kurang le bih limapuluh tahun, namun Cin
Cin masih mengenal wajahnya. Ketika ia pergi
enambelas tahun yang lalu, wajah Thio Pa ini
sudah seperti itu, hanya yang agak berubah warna
rambutnya saja. Dahulu hitam dan kini bercampur
uban. Akan tetapi melihat Thio Pa memandang
kepadanya dengan alis berkerut dan wajah bengis,
mata bersinar-sinar dan sedikitpun tidak nampak
mengenalnya, Cin Cin juga tidak memperlihatkan
tanda bahwa ia mengenal orang itu. Ingin ia
melihat bagaimana sikap Thio Pa, seorang yang
dahulu ia kenal sebagai seorang yang gagah dan
jujur. "I nikah gadis kejam itu?" te rdengar dia bertanya
kepada empat orang pemuda tadi, tanpa menoleh

karena pandang matanya mengamati Cin Cin
penuh perhatian, seolah merasa heran sekali
bagaimana seorang gadis seperti ini mampu
membuntungi tangan empat orang pemuda anggota Hek-houw-pang tadi.
"Benar, suhu.! Inilah iblis betina itu!" serempak
empat orang pemuda itu berseru.
Thio Pa melangkah maju menghampiri Cin Cin
yang berdiri dengan sikap te nang. Mereka kini
berhadapan dalam jarak dua meter. "Nona, engkau
masih begini muda, akan te tapi mengapa begitu
kejam" Engkau membuntungi tangan kiri empat
orang muri dku, membuat mereka cacat seumur
hidup. Kenapa engkau melakukan kekejaman itu,
nona?" Cin Cin tersenyum mengejek, kiranya empat
orang pemuda itu murid paman Thio Pa, pikirnya.
Tentu mereka telah memutar balikkan kenyataan
dalam laporan mereka kepada guru mereka.
"Me ngapa" He mm, mengapa tidak kau tanya
sendiri saja kepada empat orang muridmu yang
baik ini" Tidak kubuntungi le her mereka saja
sudah te rlalu untung bagi mereka. Empat orang
muridmu ini agaknya tidak pernah kau ajar,
mereka amat kurang ajar dan menggangguku!"
Thio Pa menoleh kepada empat orang muridnya
dengan alis berkerut dan suaranya terdengar galak
ketika dia bertanya, "Benarkah itu" Kalian telah
mengganggunya?" "Tidak benar, suhu!" kata si hidung bengkok.
"Teecu berempat hanya ingin belajar kenal, tapi ia

marah-marah dan menyerang kami!" Tiga orang
saudaranya membenarkan ucapan si hidung
bengkok itu. "I a malah menghina Hek-houw-pang, suhu!"
kata murid ke dua. "Suhu, ia tentu tokoh sesat yang ingin membalas
kepada He k-houw-pang dan sengaja mengacau di
sini!" kata yang lain.
"Sudahlah." kata Cin Cin. "Kukatakan bahwa
mereka patut dihajar. Aku sudah membuntungi
tangan mereka sebagai hajaran, habis engkau mau
apa?" ia sengaja menantang untuk melihat apa
yang akan dilakukan Thio Pa.
"Nona, kami dari Hek-houw-pang selamanya
tidak pernah melakukan kejahatan. Kami bahkan
selalu menentang kejahatan! Kalau empat orang
murid kami ini ingin berkenalan dengan nona, hal
ini sudahlah wajar karena mereka adalah orangorang muda dan nona adalah seorang wajah baru
di sini. Andaikata nona tidak senang diajak
berkenalan, nona bole h menolak, akan tetapi
kenapa begitu kejam membuntungi tangan mereka?" "Hem, guru kencing berdiri, murid kencing
berlari! Engkau te ntu saja membela muridmuridmu yang jahat dan tidak sopan. Sudahlah,
kalau engkau hendak membela murid-muridmu
dan ingin dibuntungi tangan kirimu, majulah!"
Namun Thio Pa masih menahan diri. "Nona,
waktu ini ketua kami sedang mengadakan pesta
ulang tahun dan mengundang banyak sahabat di

dunia persilatan. Kami tidak ingin membuat
keributan. Kami hanya ingin mengetahui apa yang
te rjadi dan kalau memang kami bersalah, kami
siap untuk mengakui kesalahan. Karena itu kami
mengharap nona juga bersikap jujur dan bertanggung jawab. Nona mengatakan bahwa
murid-murid kami yang bersalah, akan tetapi
mana bukti dan saksinya" Yang ada, nona telah
membuntungi tangan mereka, itu merupakan bukti
kekejaman nona." "Kami yang menjadi



saksinya!" tiba-tiba te rdengar seruan dua orang tamu restoran yang
sejak tadi duduk di meja mereka. Kini mereka
bangkit berdiri. Mendengar ini, Thio Pa cepat
menghampiri mereka. "Siapakah ji-wi (anda berdua) dan bagaimana jiwi berani menjadi saksi?"
"Kami adalah pedagang yang kebetulan makan di
sini dan kami tadi melihat semua apa yang te lah
te rjadi. Sebelum nona ini masuk, di sana sudah
duduk empat orang pemuda itu yang minumminum arak sampai setengah mabok. Lalu nona
itu masuk, memesan makanan. Akan tetapi, empat
orang pemuda itu mulai menggoda dan mengganggunya dengan kata-kata yang tidak
sopan dan kurang ajar. Ketika gadis itu menegur,
empat orang pemuda itu lalu menghampiri
mejanya dan semakin kurang ajar. Kami melihat
betapa empat orang pemuda itu ditampar oleh
nona itu. Mereka menjadi semakin marah, masingmasing mencabut pisau dan mengepung nona itu,
lalu menyerang. Nona itu membela diri dan

akibatnya, empat orang pemuda itu buntung
tangannya." Mendengar ini, Thio Pa mengerutkan alisnya dan
memutar tubuh memandang kepada empat orang
muridnya. "Benarkah apa yang dikatakan tamu
ini?" "Bohong, suhu! Mereka itu bohong! Mungkin
mereka adalah sekutu iblis betina itu." Empat
orang pemuda itu dengan tegas menyangkal.
Thio Pa kini menengok ke arah sekelompok
pengurus dan pelayan rumah
makan, lalu menggapai ke arah mereka. Biarpun takut-takut,
seorang pengurus dan tujuh orang pelayan itu
menghampiri. "Apakah kalian semua tadi melihat
apa yang telah terjadi di sini?" tanya Thio Pa.
Delapan orang itu mengangguk dan si pengutus
rumah makan mewakili anak buahnya menjawab.
"Kami semua melihat dengan jelas, Thio-enghiong
orang gagah Thio." "Bagus! Nah, kalau begitu ceritakan, benarkah
apa yang dikatakan dua orang pedagang tamu
tadi" Jangan takut kepada siapapun, akan te tapi
bersikaplah jujur dan tidak berpihak."
De ngan suara yang te gas pengurus rumah
makan yang juga merasa tidak senang dengan
sikap empat orang pemuda tadi, menjawab.
"Semua yang diceritakan tadi benar, Thio enghiong.
Kami sendiripun tadi merasa heran mengapa ada
murid He k-houw-pang yang bersikap seperti itu.
Mereka mengganggu dan mereka yang menyerang
nona ini, nona ini hanya membela diri."

Sepasang mata Thio Pa terbalalak dan mukanya
berubah merah sekali. Dia memutar tubuh
menghadapi empat orang muridnya, merasa malu
dan marah bukan main. "Keparat kalian! Apa yang dapat kalian katakan
sekarang?" bentaknya, suaranya menggelegar saking marahnya. Empat orang pemuda itu yang
kini merasa tidak mungkin dapat menyangkal lagi
menjatuhkan diri berlutut dan si hidung bengkok
mewakili saudara-saudaranya, merengek minta
ampun. "Suhu. ampunkan te ecu berempat.......teecu
berempat.......dalam keadaan mabok dan.."
"Cukup! Mulai saat ini, kalian bukan muridku
lagi. Mulai detik ini kalian bukan anggota He khouw-pang lagi. Kalian dipecat dan harus pergi
meninggalkan Ta-bun-cung! Awas, kalau kalian
memperlihatkan diri di dusun ini, aku sendiri yang
akan membunuh kalian!" Setelah berkata demikian, tubuhnya bergerak, kakinya menendang
empat kali dan tubuh empat orang pemuda itu
te rlempar keluar dari rumah makan itu. Mereka
tidak berani membantah, cepat merangkak pergi
dan selanjutnya membawa barang-barang mereka
keluar dari dusun Ta-bun-cung pada hari itu juga,
tidak berani lagi muncul di sana.
Melihat sepak terjang Thio Pa, diam-diam Cin
Cin merasa girang bukan main. Akan te tapi dengan
te nang ia hanya berdiri memandang tanpa
memperlihatkan perasaan girangnya ketika Thio Pa
menghadapinya dan tokoh Hek-houw-pang itu
memberi hormat kepadanya.

"Nona, semua sudah jelas sekarang. Pihak kami
yang bersalah dan aku mewakili He k-houw-pang
mohon maaf kepada nona atas sikap yang tidak
benar dari bekas murid-murid kami tadi."
Cin Cin menggerakkan tangan kanannya keluar
dari balik jubah. "Sudahlah, aku merasa girang
bahwa He k-houw-pang mempunyai seorang tokoh
sepertimu." Ia lalu melangkah keluar dari te mpat
tu, tanpa memperdulikan lagi kepada Thio Pa yang
juga tidak berani berkata apa-apa lagi karena
orang inipun merasa malu atas sikapnya yang tadi
bengis membela empat orang muridnya yang te lah
menodai nama baik Hek-houw-pang.
Cin Cin lalu pergi mencari kamar di rumah
penginapan. Mendengar bahwa besok Hek-houwpang a kan mengadakan pesta, ia menunda niatnya
untuk berkunjung malam ini. Sebaiknya datang
besok pada saat diadakan pesta agar ia dapat
berte mu dengan seluruh keluarga Hek-houw-pang
dan yang te rpenting, ia akan mencari Lai Kun,
paman gurunya juga yang pernah mengantarnya
ke Hong-cun akan tetapi di tengah perjalanan telah
menjualnya kepada sebuah rumah pelacuran!
He k-houw-pang memang sedang mengadakan
pesta pada keesokan harinya. Rumah perkumpulan yang mempunyai gedung besar dan
megah sebagai hadiah dari pemerintah, dihias dan
sejak pagi para anggota Hek-houw-pang sudah
ramai menyambut datangnya para tamu yang
berbondong-bondong datang dari luar dusun. Para
anggota He k-houw-pang berpakaian gagah, dengan
gambar harimau hitam kecil di dada, yang

merupakan pakaian seragam resmi dan diharuskan pemakaiannya dalam kesempatan itu.
Namun, di dalam hati, mereka itu mengalami
ketegangan karena berita te ntang empat orang
murid He k-houw-pang yang dalam keadaan mabok
mengganggu seorang gadis pendekar yang berkunjung ke dusun itu sehingga mereka
berempat kehilangan tangan kiri, kemudian betapa
mereka yang kebetulan menjadi murid-murid Thio
Pa, ketika melapor kepada guru mereka, tidak
dibela bahkan dite ndang dan diusir dari Hekhouw-pang. tidak diakui sebagai murid dan
anggota He k-houw-pang, bahkan dilarang untuk
muncul di dusun mereka! Sungguh merupakan
peristiwa yang amat mengejutkan hati mereka,
menyadarkan mereka kembali bahwa bagaimanapun juga, para tokoh He k-houw-pang
masih memegang tata tertib dengan ketat dan
keras. Banyak macam orang berdatangan sebagai
tamu, sebagian besar te ntu saja para tokoh
persilatan, wakil-wakil dari partai persilatan,
perguruan silat, para perusahaan pengiriman
barang yang memiliki jagoan-jagoan. Juga hadir
pula para pejabat dari kota-kota yang berdekatan,
karena para pejabat tahu belaka bahwa Hek-houwpang merupakan perkumpulan yang sudah berjas a
te rhadap pemerintah, sehingga Kaisar sendiri
berkenan memberi hadiah. Juga para pedagang
besar yang menjadi langganan Hek-houw-pang
datang pula untuk mengucapkan selamat hari
ulang tahun dan tentu saja mereka membawa
bingkis an-bingkis an yang berharga.

Lai Kun yang menjadi ketua He k-houw-pang
menyambut para tamu dengan sikap gembira. Dia
yang dulu bertubuh kurus kini le bih tegap,
nampak gagah dengan pakaian rapi dan sikap yang
anggun berwibawa, sikap seorang ketua perkumpulan besar yang disegani kawan ditakuti
lawan. Di atas kursinya yang dihias indah, dia
duduk diapit para saudara seperguruannya te rmasuk Thio Pa, dan keluarga mereka duduk di
belakang mereka. Dibantu para sutenya, Lai Kun
menyambut setiap orang tamu yang datang
memberi hormat dan mengucapkan selamat atas
ulang tahun He k-houw-pang, dan beberapa orang
murid sibuk menerima bingkis an dan ada yang
menuliskannya di atas daftar yang dipersiapkan.
Ketika seorang pemuda berusia duapuluh dua
tahun yang bertubuh tinggi te gap, berwajah
tampan gagah dengan pakaian sederhana, sikap
halus dan sopan, datang memberi hormat kepada
Lai Kun, ketua ini dan para sutenya menyambut
dengan pandang mata penuh perhatian karena
mereka tidak mengenal pemuda ini.
"Lai-susiok...!" Ketika pemuda itu menyebut
ketua He k-houw-pang seperti itu, semua orang
memandang heran. "Sobat muda, siapakah engkau dan mengapa
menyebutku susiok (paman guru)" Ras anya kami
tidak mengenalmu." Lai Kun menoleh kepada.para
sutenya dan merekapun menggeleng kepala,
sebagai tanda bahwa mereka tidak mengenal
pemuda gagah itu.
Pemuda itu tersenyum dan wajahnya nampak
le mbut walaupun senyumnya seperti mengejek.
"Lai-susiok dan para paman lain tidak mengenalku. Tidak aneh karena memang kita telah
saling berpisah selama enambelas tahun. Para
paman yang terhormat, aku adalah The Siong Ki!"
Nama inipun belum membongkar ingatan
mereka dan Siong Ki cepat menambahkan.
"Me ndiang ayah adalah The Ci Kok."
"Ahhh..........!"
Kini semua orang teringat, bahkan beberapa orang pemuda sebaya Siong Ki
berlompatan ke depan dan merangkul Siong Ki
karena mereka kini mengenal pemuda itu sebagai
sahabat bermain sebelum terjadi malapetaka
menimpa keluarga Hek-houw-pang.
Lai Kun sendiri juga te rsenyum girang dan




merangkul Siong Ki. "Aih, kiranya engkau pute ra
suheng (kakak seperguruan) The Ci Kok! Tentu
saja kami semua lupa. Engkau yang dahulu masih
kecil kini telah menjadi seorang pemuda dewasa
yang gagah dan tampan!"
Tentu saja hujan pertanyaan menimpa Siong Ki
dari seluruh keluarga pimpinan He k-houw-pang,
akan te tapi karena para tamu masih berdatangan,
mereka tidak leluasa bicara dan akhirnya Lai Kun
mengatakan bahwa Siong Ki dipersilakan duduk
dulu dan nanti saja kalau pesta sudah selesai,
mereka akan bicara saling menceritakan pengalaman. Sebagai anggota keluarga pimpinan He k-houwpang, Siong Ki mendapat kehormatan duduk di

belakang deretan para pimpinan, yaitu te mpat
duduk keluarga para tokoh He k-houw-pang.
Ketika mengalirnya para tamu sudah mulai
berkurang, tiba-tiba muncul seorang gadis yang
bukan lain adalah Cin Cin! Melihat gadis yang
kedua le ngannya te rtutup jubah le bar itu, Thio Pa
te rkejut dan dia menyentuh lengan Lai Kun sambil
berbisik. "Itulah gadis yang kuceritakan semalam." Lai
Kun dan para tokoh He k-houw-pang yang lain
mendengar bisikan ini dan te ntu saja mereka
memandang penuh perhatian. Gadis yang masih
muda dan cantik ini kemarin sore telah menyebabkan empat orang murid He k-houw-pang
menjadi buntung le ngan kirinya, bahkan dipecat
dari keanggotaan Hek-houw-pang! Kiranya gadis 
inipun seorang tamu! Akan tetapi gadis itu tidak memberi hormat
kepada ketua He k-houw-pang seperti yang dilakukan para tamu lain, bahkan ia berdiri te gak
di depan Lai-pangcu (ketua Lai) sambil memandang
tajam, lalu ia menyingkap jubah luarnya sehing
nampak kedua le ngannya. Lai Kun dan para tokoh
He k-houw-pang te rtegun melihat lengan kiri yang
buntung sebatas pergelangan itu. Lai Kun yang
tadinya merasa pernah mengenal gadis ini, ketika
melihat tangan yang buntung itu, segera merasa
yakin bahwa dia tidak pernah mengenalnya. Belum
pernah dia mengenal seorang gadis yang bunting
tangan kirinya. Karena melihat gadis itu berdiri
diam saja, Lai Kun mengalah dan dia yang bangkit

berdiri dan mengangkat kedua tangan ke depan
dada. "Selamat datang di Hek-houw-pang, nona. Kalau
boleh kami mengetahui, siapakah nama nona dan
nona mewakili partai atau perkumpulan mana"
Harap memperkenalkan diri agar kami semua
mengenal nona." Akan tetapi Cin Cin sama sekali tidak membalas
penghormatan itu sehingga hal ini tentu saja
membuat para tokoh Hek-houw-pang mengerutkan
alis. Betapa sombongnya gadis ini. Pangcu mereka
sudah mengalah dan lebih dahulu memberi hormat
akan te tapi gadis itu tidak mau membalas
penghormatannya. Betapa tinggi hati!
"Aku datang dari jauh dan te lah lama mendengar
nama besar Hek-houw-pang, maka kebetulan
sekarang le wat di sini dan mendengar He k houwpang mengadakan pesta ulang tahun. Aku ingin
sekali berte mu dengan ketua Hek-houw-pang!"
Lai Kun memandang heran. "Akulah ketua He k
houw-pang, nona.Namaku Lai Kun. Mengapa nona
mencari ketua Hek-houw-pang?"
"Aku datang membawa hadiah yang amat
berharga untuk ketua He k-houw-pang. Akan tetapi
mengingat akan nama besar Hek-houw-pang, aku
ingin sekali berkenalan lebih dahulu dengan
kelihaian ketuanya, baru aku akan memperkenalkan diri dan menyerahkan hadiah
sumbanganku." Mendengar ini, Lai Kun yang sudah bersabar
sejak tadi itu terpaksa mengerutkan alisnya.

"Nona, kami sudah mendengar akan kesalahan
sikap bekas murid kami sebanyak empat orang
te rhadap nona. Akan tetapi nona telah menghajar
mereka dan sute kami Thio Pa sudah pula
menghukum mereka dan mengusir mereka. Harap
nona suka memandang He k-houw-pang dan
menghabis kan urusan itu, mengingat bahwa yang
bersalah sudah menerima hukuman mereka."
'Tidak, pangcu. Walaupun tidak ada peris tiwa
itu, tetap saja aku ingin mengenal kelihaian ketua
He k-houw-pang. Aku hanya ingin menguji kepandaian, bukan hendak membunuhmu, apakah
engkau takut?" Ini merupakan tantangan sekaligus penghinaan
yang gawat.! Ketua He k-houw-pang dikatakan
takut melawan seorang gadis yang buntung tangan
kirinya! Apalagi tantangan itu hanya untuk
menguji kepandaian, bukan perkelahian matimatian! Untuk menutupi kemarahannya, Lai Kun te rtawa. "Ha-ha-ha, kalau nona bermaksud meramaikan pesta kami, kenapa tidak nona sendiri
saja memperlihatkan ilmu silatmu untuk menambah kegembiraan?" 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN