NAGA BERACUN JILID 19
Karena itu, berbahagialah orang yang dapat
menikmati apa yang telah dimilikinya. Tidak
te rseret nafsu daya rendah yang tiada putusnya
menarik kita untuk selalu mengejar sesuatu yang
belum kita miliki, membuat kita menjadi angkara
murka dan tidak pernah merasa puas dengan apa
yang ada. Kalau sudah begini, hiduppun merupakan penderitaan, kekecewaan, kebosanan,
yang takkan berhenti. Orang yang kaya raya, yang
sebelum kaya membayangkan betapa akan bahagianya setelah dia dapat menjadi kaya, mulai
menderita karena kekayaannya. Bermacam masalah yang meresahkan, membingungkan dan
menyedihkan timbul karena adanya kekayaan yang
berlimpah. Orang yang berpendidikan tinggi, yang berpengetahuanpun tidak sebahagia seperti yang
dibayangkan ketika dia sedang mengejar ilmu
pengetahuan itu. Dia seperti terhimpit oleh ilmu
pengetahuannya sendiri. Demikian pula orang yang
berkedudukan. Tadinya kedudukan dianggap sebagai sarana utama untuk mencapai kebahagiaan, akan tetapi setelah kedudukan
diperolehnya, justeru kedudukannya itulah yang
menjadi penghalang bagi kebahagiaannya. Kita
te rbelenggu oleh apa yang kita kejar, karena kita
diperhamba oleh apa yang kita kejar sendiri.
Bu Couw Hwa segera merasakan kepahitan oleh
kenyataan bahwa jalan hidupnya tidaklah semulus
seperti yang ia citakan. Ia hanya mendapatkan
sedikit perubahan dari peris tiwa dalam kamar
mandi itu. Ia dipindahkan dari kedudukan pembersih kamar mandi menjadi dayang sebelah
dalam. Akan te tapi, kenaikan kedudukan ini tidak
ada artinya baginya. Kini hanya diketahui semua
penghuni bagian pute ri itu bahwa ia adalah
seorang di antara dayang yang pernah mendapat
"kehormatan" melayani kaisar! Itu saja. Hanya
beberapa kali saja ia dipanggil untuk melayani
kaisar di tempat tidurnya. Setelah itu, Kaisar Tang
Tai Cung seolah melupakannya! Dan yang lebih
menggelisahkan hatinya, selama beberapa kali
melayani kaisar itu, ia tidak berhasil mengandung.
Akan te tapi, Bu Couw Hwa adalah seorang
wanita yang sejak kecil memiliki hati yang keras
dan semangat yang besar. Ia tidak pernah turun
semangat, bahkan segala kegagalan dianggapnya
sebagai pupuk bagi semangatnya untuk mencapai
apa yang dicitakannya. Kalau perlu, ia berani
menempuh segala cara dan jalan demi tercapainya
cita-citanya. Setelah melihat betapa Kaisar Tang Tai Cung
yang pembosan itu acuh saja te rhadap dirinya,
iapun mencari sasaran lain. Banyak memang pria
yang dapat dijadikan sasaran olehnya. Para
pengawal atau komandan pengawal, bahkan pejabat-pejabat tinggi yang dekat dengan kaisar
dan sering bertemu dengannya. Namun, ia
bukanlah seorang wanita yang mudah puas. Citacitanya setinggi langit. Segala macam pria yang
berkedudukan tinggi itu tidak ada artinya baginya.
Ia harus mencapai puncaknya! Orang ke dua
setelah Kaisar Tang Tai Cung yang dianggapnya
akan mampu mengangkatnya ke te mpat tertinggi,
adalah Pangeran Li Hong, putera mahkota!
Pangeran ini berusia duapuluh tahun, tentu saja
jauh lebih menarik daripada ayahnya, Kaisar Tang
Tai Cung yang sudah berusia empatpuluh tahun.
Kembali Bu Couw Hwa mengatur siasat. Sebagai
seorang dayang yang dipercaya membersihkan
kamar-kamar, te ntu saja banyak kesempatan
baginya untu k menyambar barang-barang berharga yang berserakan dan tidak pernah diteliti
oleh para permais uri dan selir. Mudah saja bagi Bu
Couw Hwa untuk mencuri barang-barang perhiasan berharga dan benda-benda ini ia
pergunakan untuk mendekati para thai-kam.
De ngan menyogok sana sini akhirnya para thaikam dapat mengatur suatu pertemuan yang
seolah-olah tidak disengaja antara ia dan Pangeran
Mahkota Li Hong di dalam taman.
Pada suatu malam te rang bulan, ketika Pangeran Mahkota Li Hong sedang berjalan-jalan
seorang diri di taman besar istana, hanya ditemani
dua orang thai-kam kepercayaan, tiba-tiba ia
mendengar suara yang-kim (s iter) yang nyaring.
Lalu suara itu disusul kemerduan suara seorang
wanita yang bernyanyi. Mendengar ini, Pangeran Li
Hong menghentikan langkahnya dan mendengarkan. Nyanyian itu amat terkenal, nyanyian rakyat yang menceritakan tentang seekor
burung merak yang merindukan seekor burung
dewata, betapa sang merak merasa rendah diri dan
buruk dibandingkan sang burung dewata, namun
betapa rindunya untuk berdekatan dengan raja
burung itu. Entah karena is i nyanyian itu atau merdunya
suara dan yang-kim atau karena malam te rang
bulan di taman mendengar nyanyian itu merupakan perpaduan yang amat indah, namun
pangeran yang masih muda itu merasa tertarik dan
kagum se kali. "Siapa yang bernyanyi itu?" tanyanya sambil
memandang ke arah sebuah pondok kecil mungil
yang berada di dalam taman, darimana suara itu
te rdengar. Tentu saja dua orang thai-kam itu tahu siapa
pemilik suara itu, karena merekalah yang mengatur perte muan ini, akan tetapi mereka tidak
mau mengaku dan mengatakan bahwa mungkin
seorang dua oran g dayang yang sedang bertugas di
situ membersihkan pondok yang menjadi te mpat
peristirahatan para puteri.
"Akan te tapi itu hanya dugaan hamba saja
pangeran," kata pula orang kedua, "s etahu kami
tidak ada dayang is tana yang memiliki suara
semerdu itu dan keahlian memainkan yang-kim
seindah itu." Tentu saja hati sang pangeran menjadi semakin
te rtarik, maka ketika dua orang thai-kam itu
mengajak dia untuk mengintai melalui belakang
pondok, diapun tersenyum dan mengikuti mereka.
Semua ini memang sudah diatur oleh Bu Couw
Hwa dan dua orang thai-kam itu. Ketika sang
pangeran bersama dua orang thai-kam mengintai
melalui pondok belakang, mereka melihat seorang
gadis cantik jelita sedang duduk seorang diri
memainkan yang-kim karena nyanyian itu telah
selesai. Gadis itu cantik manis dan jari-jari tangannya
yang le ntik bergerak menari-nari dengan indahnya
di atas yang-kim, mukanya agak diangkat seolah
gadis itu sedang memandang bulan di langit
dengan mata yang redup sayu, dengan mulut yang
setengah terbuka. Bukan main indahnya penglihatan itu. Melihat seorang gadis cantik jelita
bermain yang-kim, di taman bunga dalam te rang
bulan, sungguh suatu keindahan seperti yang
te rkandung dalam sajak yang indah. Hati sang
pangeran seketika terpikat. Suasana itu mendatangkan ketentraman dan kelembutan yang
penuh damai, menimbulkan gairah romantika yang
syahdu dan darah mudanya bergejolak.
Melihat bahwa gadis itu mengenakan pakaian
seperti seorang dayang, maka keberanian sang
pangeran meningkat. Kalau wanita itu seorang selir
ayahnya, te ntu saja dia tidak akan berani
menggodanya. Akan te tapi seorang dayang hanyalah seorang pelayan, walaupun banyak selir
berasal dari dayang. Bersama dua orang thai-kam
yang di percayanya itu, diapun memasuki pondok
itu dari pintu belakang dan menghampiri gadis
yang masih memainkan yang-kim lirih-lirih sambil
melamun. "Nona, suaramu indah sekali." Pangeran Li Hong
memuji setelah berada dekat di belakang gadis itu.
De ngan permainan sandiwara yang baik sekali,
gadis itu mele paskan yang-kimnya saking kaget,
memutar tubuhnya, te rbelalak dan membuka
mulut secara manis sekali, mengangkat kedua
tangan ke atas, lupa bahwa baju depannya
setengah terbuka sehingga nampak sebagian
dadanya yang mulus dan putih, lalu menjatuhkan
diri berlutut. "Yang mulia Pangeran......, hamba.... hamba
mohon maaf......hamba tidak tahu akan kehadiran
paduka.... hamba siap menerima hukuman mati.."
katanya dengan suara yang merdu dan seperti
orang yang ketakutan, suaranya berdesah dan
berbisik. Pangeran Li Hong tertawa, semakin kagum
karena setelah berada dekat, dia melihat bahwa
gadis ini memang cantik sekali dan keharuman
khas keluar dari tubuhnya. Padahal gadis ini baru
selesai bekerja agaknya, setelah membersihkan
pondok itu dan beris tirahat, tentu tidak mempersiapkan diri, tidak mempersolek diri.
Bajunyapun setengah te rbuka dan rambutnya
kusut. Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa
kekusutan pada diri Bu Couw Hwa itu adalah
kekusutan "teratur".
"Ha-ha-ha, nona, jangan takut. Engkau tidak
bersalah apa-apa, aku tadi hanya te rtarik oleh
suaramu yang merdu dan permainan yang-kimmu
yang indah. Aku ingin mendengar le bih banyak.
Mainkanlah yang-kim itu dan bernyanyilah untukku." "Aiih, ampunkan hamba, pangeran. Bagaima
hamba berani memperdengarkan suara hamba
yang parau dan permainan yang-kim hamba yang
ngawur" Hamba hanya seorang dayang......."
"Jangan merendahkan dirimu, eh, siapa namamu?" Bukan main girangnya rasa hati Bu Couw Hwa.
Perhatian dari pangeran itu menunjukkan bahwa
siasatnya mulai berhasil. Umpannya mulai disambar kakap! "Nama hamba Bu Couw Hwa, pangeran."
"Bagus, Couw Hwa, atau kusebut saja engkau
Hwa Hwa!" Pangeran itu tertawa lagi, girang karena
wajah gadis itu demikian cerah dan ramah
sehingga menimbulkan suasana yang gembira. Dia
lalu memerintahkan kedua orang thai-kam. "Cepat
ambilkan arak dan makanan, aku ingin makan
malam di sini. Hwa Hwa, maukah engkau
melayaniku makan malam di s ini?"
"Mau" Aiiih, pangeran. Hamba merasa seperti
kejatuhan bintang, mendapat kehormatan besar
sekali. Tentu saja hamba suka sekali. Biar hamba
bersihkan dulu meja dan dan hamba ganti dengan
kain penutup yang baru!" Dengan gerakan lincah,
le nggang yang membuat pinggulnya yang bulat
besar seperti menari-nari, gadis itu mengerjakan
persiapan untuk makan malam sang pangeran.
Setiap gerak geriknya diikuti pandang mata
pangeran muda itu yang menjadi semakin te rpesona. "Aku harus dapat menaikkan harga diriku,"
demikian sambil membersihkan dan merapikan
meja, gadis itu berpikir. "Kalau kujual murah,
te ntu akhirnya sebentar saja dia akan lupa
padaku." Bu Couw Hwa memang cerdik luar biasa. Ia
mempergunakan siasat memikat pangeran mahkota bukan sekedar merupakan petualangan
cinta belaka. Sama sekali tidak! Ia memiliki tujuan
yang le bih inggi lagi, mempunyai cita-cita yang
muluk. Usahanya te rhadap Kaisar gagal setengah
jalan, maka kini ia menempuh jalan lain, melalui
Pangeran Mahkota! Tak lama kemudian, pangeran itu makan minum
di dalam kamar, dilayani Bu Couw Hwa, kemudian
gadis itupun beberapa kali memainkan yang-kim
dan bernyanyi, bahkan mengajak pangeran itu
bercakap-cakap tentang seni suara dan seni sastra,
karena iapun pandai membuat sajak atau syair
berpasangan yang mengandung makna dalam.
Mendengar bahwa usia gadis itu baru menjelang
tujuhbelas tahun, sang pangeran menjadi semakin
kagum. Akan te tapi ketika dia mulai
memperlihatkan gejolak berahinya, dengan le mbut
Bu Couw Hwa menolaknya. Dengan halus dan
le mbut.! Tentu saja sang pangeran menjadi
sama sekali tidak membuatnya marah, bahkan
membuat berahinya semakin berkobar seperti api
disiram minyak. Wanita muda itu tetap bersikap manis, bersikap
amat menyayang dan hormat sehingga sang
pangeran merasa dimanja. De ngan sikapnya, Bu
Couw Hwa jelas menyatakan perasaan hatinya
yang jatuh cinta kepada junjungan itu. Kerling
matanya, senyumnya, gerakan tubuhnya, suaranya, semua jelas membayangkan bahwa ia
mencinta sang pangeran. Akan tetapi kalau
pangeran itu hendak menyentuhnya, ia dengan
halus dan sopan menjauhkan diri dan pandang
matanya nampak sayu dan sedih.! Ia seperti jinakjinak merpati yang membuat pangeran menjadi
semakin terpikat. Akhirnya setelah jelas bahwa wanita itu tidak
bersedia melayaninya bercinta, sang pangeran
meninggalkan te mpat itu, diantar senyum dan
kerling penuh kasih ole h Bu Couw Hwa. Dalam
perjalanan kembali ke tempat tinggalnya sendiri
itulah sang pangeran menyatakan keheranannya.
"I a begitu dekat, akan te tapi begitu jauh," ratap
pangeran itu kepada dua orang kepercayaannya.
"I a seperti menantang, akan tetapi selalu menghindar. Ia jelas mencintaku, akan te tapi tak
ingin kujamah. Mengapa begitu, seolah ia menyiksaku?"
Dua orang thai-kam itu saling lirik dan
te rsenyum, diam-diam kagum sekali kepada gadis
itu. Seorang wanita muda yang luar biasa, seperti
minuman arak yang amat baik, le mbut memabokkan, akan te tapi tidak te rasa oleh yang
mabok. Tepat seperti yang telah diatur oleh Bu
Couw Hwa yang te lah menyogok mereka dengan
banyak benda berharga, mereka lalu berkata
bahwa dayang itu pernah menjadi dayang kesayangan Kaisar, bahkan telah beberapa kali
mendapat kehormatan melayani kaisar.
"Mungkin karena ia tidak ingin membuat paduka
melakukan kesalahan, maka ia sengaja menahan
diri dan menghindar, yany mulia," kata mereka.
"Ahh......begitukah" Sungguh ia seorang wanita
yang baik dan le mbut hati, setia dan juga tidak
ingin melihat aku melakukan kesalahan. Akan
tetapi ia hanya seorang dayang, belum diangkat
menjadi selir ayahanda kaisar, bukan?"
"Demikianlah, yang mulia. Ia masih belum
menjadi selir yang sah."
"Kalau begitu, ia masih seorang dayang, dan
bukan suatu pelanggaran dosa kalau terjadi
hubungan antara kami," pangeran yang sudah
te rgila-gila itu membela diri.
"Me mang sesungguhnya demikian, pangeran.
Apa lagi yang mulia Sribaginda te rlalu sibuk
sehingga hampir melupakannya, karena itulah
maka ia tadi menyanyikan lagu kerinduan. Paduka
dapat menduga, siapa yang disebut sebagai burung
Hong yang dirindukannya?"
"Siapa lagi kalau bukan Sribaginda?"
Dua orang thai-kam itu tersenyum. "Yang mulia
Pangeran, ia menjadi kekasih Sribaginda hanya
selama beberapa kali saja dan menurut keterangannya hal itupun te rjadi selagi Sribaginda
dalam keadaan te rlalu banyak minum anggur,
sehingga pertama kalinya terjadi di kamar mandi di
mana Bu Couw Hwa bertugas membersihkan
kamar mandi. Tidak, bukan Yang Mulia Sribaginda Kaisar yang
dimaksudkan sebagai burung Hong yang dirindukannya dalam nyanyian tadi, melainkan
paduka." "Ehh" Bagaimana engkau bisa tahu?" pangeran
itu bertanya, curiga. "Yang Mulia, pernah ketika bertemu dengan
hamba, ia mengatakan bahwa betapa bahagianya
hamba menjadi pelayan paduka, selalu dekat
dengan paduka. Nah, bukankah itu suatu bukti
bahwa diam-diam ia memuja paduka" Pula,
bukankah nama burung itu sama dengan nama
paduka?" Bukan main girangnya hati Pangeran Li Hong
mendengar ini. Dan selanjutnya, atas bantuan dua
orang thai-kam itu yang mengharapkan banyak
hadiah, diaturlah pertemuan-pertemuan selanjutnya antara Pangeran Li Hong dan Bu Couw
Hwa. Bu Cou w Hwa cerdik luar biasa. Ia bersikap
jatuh cinta dan te rgila-gila kepada sang pangeran.
Akan te tapi, ia mohon agar hubungan itu
dirahasiakan, katanya untuk menjaga agar jangan
sampai kaisar mendengar dan akan menyalahkan
mereka. Juga dari kedua thai-kam itu ia menerima
ramuan obat untuk mencegah agar dalam hubungannya dengan sang pangeran, ia tidak
sampai hamil. Ia memikat dan mengikat cinta
kasih sang pangeran, dan untuk itu ia bersikap
cerdik sekali. Ia sengaja menjual mahal, sengaja tidak selalu
memenuhi permintaan sang pangeran untuk
mengadakan perte muan, dengan berbagai alasan
yang masuk akal. Hal ini ia lakukan untuk
membuat sang pangeran tetap rindu kepadanya.
Setelah semalam melayani dengan seluruh kemampuannya untuk membuat sang pangeran
mabok kepayang, ia s elalu menjauhkan diri sampai
berminggu-minggu. Hal ini membuat Pangeran Li
Hong yang masih muda itu benar-benar menjadi
te rgila-gila. Bu Couw Hwa mulai membuat ikatan-ikatan,
seperti seekor laba-laba menjaring seekor belalang,
dengan benang-benang halus lembut namun kokoh
kuat sehingga sang belalang tidak merasa bahwa ia
masuk ke dalam perangkap!
-ooo0dw0ooo- "Sudahlah, Thian Ki. Engkau tidak salah. Gadis
itu yang mencari gara-gara sendiri. Kalau ia tidak
berniat membunuhmu dan mencengkeram pundakmu, te ntu ia tidak akan keracunan dan
kalau engkau membuntungi pergelangan tangannya, hal itu kaulakukan justru untuk
menyelamatkan nyawanya dari kematian. Kenapa
engkau menyesali diri seperti ini, berhari-hari tidak
mau makan minum sampai tubuhmu menjadi
kurus kering, wajahmu pucat dan engkau seperti
seorang yang kehilangan semangatnya?" tegur
ibunya, Sim Lan Ci yang te lah mendengar semua
te ntang pertandingan antara suaminya dan Kam
Cin, kemudian tentang Kam Cin menyerang
pute ranya sehingga gadis itu keracunan dan
pergelangan tangannya dibuntungi pute ranya untuk menyelamatkan nyawa gadis itu.
Thian Ki tidak menjawab, hanya menundukkan
mukanya. Sejak peristiwa itu, dia tidak pernah
dapat melupakan bayangan Cin Cin dengan tangan
kirinya yang buntung, tak dapat melupakan betapa
dia yang membuntungi tangan gadis itu, dan selalu
wajah Cin Cin ketika memandang kepadanya
untuk yang te rakhir kali membayanginya sampai
ke dalam mimpi. Hal ini membuat dia merasa
menyesal bukan main. Apalagi kalau dia teringat
ketika pernah bersama ayah bundanya menjadi
tamu di rumah Cin Cin. Kedukaan ini membuat dia
lupa makan lupa tidur. "Selain engkau tidak bersalah, Cin Cin itu jahat
bukan main, koko! Kenapa orang seperti itu koko
ingat terus" Ia telah menghina kita, ia telah berniat
membunuh ayah, bahkan membunuhmu. Apakan
engkau takut kalau ia mendendam kepadamu
karena engkau membuntungi tangannya" Jangan
takut, aku akan membantumu membasminya
kalau ia berani mencoba untuk membalas
dendam!" kata Kui Eng dengan hati panas. Entah
bagaimana ia sendiri tidak tahu, setelah ia
mengetahui bahwa ia bukan anak kandung Sim
Lan Ci, tidak mempunyai hubungan keluarga atau
darah dengan Thian Ki, pandangannya te rhadap
pemuda itu berubah sama sekali. Sejak kecil ia
memang amat sayang kepada kakaknya ini, akan
tetapi sekarang, setelah mengetahui bahwa Thian
Ki bukan apa-apa melainkan orang lain, kesayangannya sebagai adik te rhadap kakak
kandung berubah menjadi cinta kasih seorang
wanita terhadap pria! Maka, melihat Thian Ki
begitu murung dan berduka karena seorang gadis
lain, apa lagi gadis itu musuh besar ayah
kandungnya, ia merasa cemburu dan marah.
Thian Ki memandang adiknya sejenak, lalu
menunduk lagi dan menghela napas panjang, dia
tidak menjawab. Dia menyadari bahwa dia tidak
bersalah tentang buntungnya tangan Cin Cin,
namun betapapun juga, buntungnya tangan itu
adalah karena dia. Gadis itu keracunan karena
tubuhnya beracun dan biarpun dia menyelamatkan
nyawa gadis itu dengan membuntungi tangannya,
tetap saja dialah yang membuntungi tangan itu!
Dan dia tidak mungkin dapat melupakan sinar
mata dan tarikan wajah Cin Cin ketika gadis itu
memandang kepada le ngannya yang buntung
dengan mata terbelalak dan mulut ternganga!
"Thian Ki, aku merasa kecewa dan malu melihat
sikapmu ini!" tiba-tiba terdengar suara Cian Bu
Ong yang menggele gar dan penuh kewibawaan.
"Sikapmu ini hanya pantas dimiliki seorang lakilaki yang lemah dan cengeng! Segalanya sudah
te rjadi dan sebagai laki-laki yang gagah engkau
harus berani menghadapi kenyataan, harus berani
bertanggung-jawab atas semua
yang te lah kaulakukan! Engkau tidak pantas disebut orang
gagah kalau bersikap seperti ini, memalukan saja.
Pada hal, sekarang engkau te lah selesai belajar dan
sudah tiba saatnya engkau te rjun ke dunia
persilatan sebagai seorang pendekar, sebagai
seorang gagah agar tidak sia-sia semua pelajaran
yang telah kaupelajari selama ini. Agar tidak sia-sia
engkau hidup sebagai seorang manusia di dunia
ini." Ucapan Cian Bu Ong itu seperti sengat lebah,
seperti siraman air dingin, membuat Thian Ki
te rsadar. Dia mengangkat mukanya yang pucat
dan memandang kepada ayah tirinya, juga
gurunya, dan diapun menjatuhkan diri berlutut di
depan ayah tirinya dan ibunya, kedua matanya
basah, akan tetapi dia tidak menangis.
"Ayah, ibu, maafkan aku yang le mah ini. Semua
kata-kata ayah, ibu dan adik Kui Eng benar.
Sekarang aku menyadari bahwa sikapku ini
sungguh sikap seorang pengecut yang hendak
melarikan diri dari kenyataan hidup. Maafkan
aku." Ibunya, Sim Lan Ci, memaklumi apa yang
te rdapat di hati puteranya, maka iapun merangkul
pute ranya dengan hati terharu. Sejak kecil, ia
sendiri dan mendiang suaminya, Coa Siang Lee,
yang mendidik anak ini agar menjauhkan diri dari
segala kekerasan, sengaja tidak mengajarkan ilmu
silat bahkan menanamkan dalam hatinya agar
menjauhi kekerasan.
Akan tetapi ia dijadikan seorang tok tong (anak
beracun) oleh mendiang neneknya yang bermaksud
agar sang cucu kelak menjadi seorang jagoan tanpa
tanding! Karena sudah terlanjur memiliki tubuh
beracun, sehingga di luar kehendaknya beberapa
orang tokoh dunia persilatan te was ketika mencoba
untuk membunuh dan menyerangnya, maka
kemudian setelah menjadi putera tiri Cian Bu Ong,
Thian Ki belajar ilmu silat tinggi. Namun, ia tahu
bahwa di dasar hati Thian Ki masih te rdapat
kelembutan itu. Dia tidak ingin melukai orang, apa
lagi membunuhnya. Dan kini, secara terpaksa dia
membuntungi tangan Cin Cin, seorang gadis yang
pernah akrab dengannya ketika masih sama-sama
kecil. "Sudahlah, anakku. Bangkitlah dan jangan lagi
membiarkan dirimu te nggelam dalam penyesalan
dan kedukaan. Ayahmu benar. Engkau seorang
laki-laki yang seharusnya bersikap gagah dan
jantan," kata ibu ini.
Thian Ki bangkit dan duduk kembali. Ketika dia
mengangkat muka memandang ayah tirinya,
ibunya dan Kui Eng, matanya sudah mengeluarkan
sinar, tidak lagi muram dan layu seperti sebelumnya. "Yang terpenting adalah pengamatan diri, Thian
Ki. Carilah dalam dirimu sendiri dan lihat
kenyataan apa yang te lah terjadi. Kalau dalam
peristiwa itu engkau merasa bahwa engkau telah
melakukan kesalahan, maka engkau harus berte kad untuk mengubah kesalahan itu dan tidak
mengulanginya kelak. Sebaliknya, kalau engkau
tidak merasa melakukan suatu kesalahan, jangan
engkau takut menghadapi segala akibatnya. Dalam
peristiwa yang telah terjadi itu, aku tidak melihat
kesalahan dalam tindakanmu Akan te tapi andaikata akibatnya tidak menguntungkan, andaikata gadis itu mendendam kepadamu,
engkau harus berani menghadapi kenyataan itu
dengan modal utama, yaitu keyakinan bahwa
engkau tidak melakukan kesalahan. Itu saja!"
Thian Ki mengangguk-angguk. Terbayang semua
peristiwa itu. Mula-mula dia turun tangan untuk
mencegah Cin Cin membunuh ayah tirinya, yang
tadinya sudah mengalah terhadap gadis itu. Tentu
saja perbuatannya ini tidak salah karena tidak
mengandung niat buruk di hatinya ketika dia
menyelamatkan ayahnya. Akan tetapi Cin Cin
bahkan menyerangnya. Diapun hanya membela
diri, sama sekali tidak bermaksud untuk melukai
gadis itu. Akan tetapi kenyataannya menjadi lain
dari yang dia kehe ndaki. Gadis itu mencengkeram
pundaknya, dan di luar kesadarannya, tanpa
disengaja karena otomatis hawa beracun di
tubuhnya bergerak tak te rkendali untuk melindungi pundak yang dicengkeram, tangan Cin
Cin keracunan. Racun itu akan menjalar dan
menewaskan Cin Cin, tanpa ada obat yang akan
mampu menolongnya. Oleh karena itu, dia cepat
membuntungi tangan beracun itu demi keselamatan nyawa Cin Cin. Memang tidak ada
kebencian mendorong semua perbuatannya itu.
Hanya nasib yang menentukan demikian. Sudah
digariskan. Sudah menjadi kehendak Tuhan. Dia
harus berani menghadapi segala akibatnya.
Dia teringat akan sikap ayah tirinya. Ayah
tirinya menghadapi pula akibat dari perbuatannya
ketika muda, yaitu mengenai urusan pribadinya
dengan Tung-hai Mo-li Bhok Sui lan. Dan kini ayah
tirinya menanggung akibatnya. Akan te tapi dengan
sikap yang gagah, tidak ingin melibatkan keluarganya. Semua akibat ditanggungnya sendiri,
tanpa memperlihatkan penyesalan atau kecengengan. Sesal dan duka hanya mendatangkan kekeruhan pikiran dan hati, sama
sekali tidak ada manfaatnya, sama sekali tidak
akan dapat mengubah keadaan. Dia bahkan harus
bertindak te gas untuk meluruskan yang bengkok,
menjernihkan yang keruh. Dia harus dapat
menemukan Cin Cin dan memberi penjelasan.
Sukur kalau gadis itu dapat melihat kenyataan,
kalau tidakpun dia harus berani menghadapi apa
saja yang akan menjadi akibat dari peris tiwa itu.
Memang segala sesuatu Tuhan yang menentukan
akan tetapi dia harus berikhtiar, harus berusaha
ke arah kebaikan dan melalui jalan kebenaran.
"Terima kasih, ayah. Kini aku mengerti benar
dan harap ayah suka memberi tahu apa yang
harus kulakukan selanjutnya."
Wajah bekas pangeran itu berseri. Thian Ki
memang bukan keturunannya, bukan darah
dagingnya, namun dia merasa sayang kepada anak
ini, menaruh harapan besar dalam diri anak ini.
"Engkau sudah selesai belajar, Thian Ki. Pada saat
ini, semua ilmuku sudah kuberikan kepadamu.
Dalam hal ilmu silat, engkau sudah setingkat
denganku, hanya mungkin kalah pengalaman s aja.
Akan te tapi kekalahan itu dapat kau tutup dengan
keadaan dirimu yang mengandung hawa beracun.
Kalau kita berkelahi benar-benar, aku sendiri tidak
akan mampu mengalahkanmu. Nah, sekarang
untuk apa engkau yang sudah dewasa ini
menghabis kan waktu sia-sia saja di tempat ini"
Terjunlah ke dunia kang-ouw, perlihatkan dirimu
sebagai seorang manusia yang berguna, bagi diri
sendiri, bagi orang lain, bagi masyarakat, bagi
rakyat." "Jadilah seorang pendekar yang berbudi baik,
anakku. Kau bela yang le mah te rtindas, kau
te ntang yang kuat dan jahat, akan tetapi ingat,
jangan sekali-kali engkau te rlibat dalam urusan
pemerintah, jangan te rlibat dalam urusan pemberontakan," kata ibunya yang mengerling ke
arah suaminya. Cian Bu Ong tidak merasa tersinggung, bahkan
te rsenyum le bar dan menghela napas dalamdalam. "I bumu benar, Thian Ki. Dahulu aku
dikuasai nafsu yang membuat aku bercita-cita
te rlalu muluk, tidak mau melihat kenyataan bahwa
Kerajaan Sui telah runtuh dan Kerajaan Tang telah
bangkit dan lahir menjadi penggantinya. Tidak ada
yang kekal di dunia ini. Kerajaan demi Kerajaan
bangkit dan jatuh, seperti juga manusia, satu demi
satu lahir dan mati. Tidak mungkin menentang
garis yang sudah ditentukan oleh Thian (Tuhan).
Usahaku melakukan pemberontakan terhadap
Kerajaan baru Tang hanya mendatangkan malapetaka bagi keluargaku, bagi aku sendiri dan
banyak orang lain. Biarlah keadaanku itu menjadi
contoh bagimu."
"Thian Ki, engkau te ntu masih ingat akan pesan
nenekmu, bukan" Nah, jangan lupa, dalam
perantauanmu mencari pengalaman, pergilah engkau ke dusun Hong-cun di tepi Sungai Kuning,
te mui kakak-angkat mendiang ayah kandungmu,
yaitu Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai
Kuning) Si Han Beng dan isterinya yang bernama
Bu Giok Cu. Dari merekalah engkau akan dapat
memperoleh keterangan di mana adanya Pek I
Tojin dan He k Bin Hwesio, dua orang yang akan
mampu membebaskanmu dari hawa beracun di
tubuhmu. Atau mungkin juga suami isteri itu akan
mau dan mampu menolongmu."
"Baik, ibu, akan kuperhatikan pesan ibu."
"Nah, sebaiknya engkau berkemas dan siap
untuk segera berangkat meluaskan pengalamanmu, Thian Ki," kata pula ayah tirinya.
"Aku akan ikut pergi merantau bersama kakak
Thian Ki!" tiba-tiba Kui Eng berkata.
Suami is teri itu saling pandang dan Sim Lan Ci
cepat berkata. "Aih, tidak mungkin engkau
melakukan perjalanan bersama Thian Ki, Kui Eng!"
Kui Eng mengangkat muka memandang wajah
ibu tirinya, lalu wajah ayahnya dan melihat betapa
ayahnya menggele ng kepala. Kui Eng mengerutkan
alisnya, cemberut dan berkata, "Hemm, aku
mengerti apa yang dipikirkan ayah dan ibu! Aku
sudah berusia duapuluh tahun dan aku mengerti
bahwa tidak pantas bagi seorang gadis melakukan
perjalanan berdua saja dengan seorang pemuda,
apalagi kalau mereka itu bukan saudara
sekandung. Akan te tapi, ayah dan ibu. Bukankah
sejak kecil aku sudah menganggap koko sebagai
kakak kandungku sendiri" Semua orangpun.menganggap kami berdua kakak beradik,
maka apa salahnya melakukan perjalanan berdua?" Sim Lan Ci yang merasa bahwa gadis itu bukan
pute ri kandungnya, merasa tidak berdaya dan
iapun hanya memandang kepada suaminya,
menyerahkan keputusannya kepada suaminya.
Cian Bu On menggele ng kepalanya dan suaranya
te gas ketika akhirnya dia berkata, "Kui Eng,
engkau tidak boleh pergi mengikuti kakakmu. Dia
hendak meluaskan pengalamannya dan te rutama
sekali, hendak mencari penawar hawa beracun di
tubuhnya. Apalagi, dengan adanya rencana kami,
ayah ibumu, maka makin tidak boleh kalian'melakukan perjalanan berdua."
Kui Eng masih mengerutkan alisnya. "Aih, ayah
sungguh aneh. Rencana apa yang menyebabkan
aku tidak boleh pergi bersama koko?"
Suami isteri itu kembali saling pandang. Mereka
berdua sudah sepakat untuk menjodohkan kedua
orang anak mereka itu. Hanya ada hal yang
membuat mereka sangsi dan sampai sekarang,
setelah Thian Ki berusia duapuluh s atu tahun dan
Kui Eng berusia duapuluh tahun, mereka belum
dapat memberi tahu mereka, karena keadaan
Thian Ki. Dalam keadaan bertubuh seperti itu,
penuh dengan hawa beracun, mereka tahu bahwa
Thian Ki tidak boleh mendekati wanita. Siapapun
yang berhubungan sebagai suami isteri dengan dia,
pasti akan tewas! Kini, Kui Eng sudah dewasa
benar, bagaimanapun juga, gadis itu dan juga
Thian Ki harus diberitahu. Bagi Kui Eng, agar gadis
itu tahu bahwa ia sudah mempunyai calon suami,
dan bagi Thian Ki, hal itu tentu akan menjadi
pendorong agar dia cepat mencari orang yang
dapat membersihkan hawa beracun dari tubuhnya.
Setelah saling pandang dengan is terinya dan
mendapat isyarat persetujuannya, Cian Bu Ong
dengan suara mantap berkata, "Rencana kami
adalah untuk menjodohkan kalian menjadi suami
isteri." He ning sejenak, kehe ningan yang mencekam
karena kedua orang muda itu terkejut bukan main
mendengar keputusan yang keluar dari mulut Cian
Bu Ong itu. Terlalu tiba-tiba datangnya, merupakan kejutan yang tak pernah mereka duga.
Bagi Kui Eng, merupakan kejutan yang menyusup
ke jantung dan tulang sumsumnya, karena diamdiam ia memang sudah jatuh cinta sebagai seorang
wanita terhadap seorang pria kepada pemuda yang
selama ini ia anggap sebagai kakak kandungnya
itu. Akan tetapi, karena iapun sama sekali tidak
menyangka bahwa ayah dan ibunya merencanakan
perjodohan itu, iapun terkejut dan sejenak ia
te rtegun, lalu wajahnya yang manis itu berubah
menjadi merah sekali. Tanpa dapat ditahan lagi, ia
menoleh memandang kepada Thian
Ki dan kebetulan pemuda itupun menoleh kepadanya.
Sejenak dua pasang mata berte mu pandang dan
segalanya nampak berobah dalam pandang mata
mereka setelah mendengar keputusan itu. Kui Eng
tidak dapat menahan lagi dan menunduk dengan
wajah makin memerah sampai ke lehernya,
sedangkan Thian Ki juga menundukkan mukanya
yang menjadi merah. "Aiih, ayah..........!" Kui Eng yang menjadi salah
tingkah itu merasa tidak kuat untuk berada disitu
le bih lama saking malunya. Sambil mengeluarkan
suara yang te rdengar seperti setengah tawa dan
setengah isak, iapun melompat pergi meninggalkan
ruangan itu, memasuki kamarnya sendiri.
Tinggal Thian Ki yang masih duduk menundukkan mukanya di depan ayah dan
ibunya, seperti orang bingung dan tidak tahu
harus berkata apa. "Thian Ki, bagaimana pendapatmu dengan
keputusan ayahmu?" tiba-tiba ibunya bertanya
untuk menuntun kembali pemuda itu ke dalam
ketenangan! Thian Ki mengangkat muka memandang ibunya,
lalu ayahnya, kemudian dia menghela napas
panjang. Selama ini, belum pernah masuk dalam
gagasannya te ntang diri Kui Eng, apalagi sebagai
calon isteri. Bahkan belum pernah dia memikirkan
wanita, tahu bahwa dia sama sekali tidak boleh
berdekatan dengan wanita. Mendengar bahwa dia
ditunangkan dengan Kui Eng membuat dia te rkejut
dan heran, juga bingung mengapa ayah ibunya
mengambil keputusan seperti itu. Dia memang
sayang kepada Kui Eng, amat sayang kepadanya.
Namun, kasih sayangnya itu adalah kasih sayang
seorang kakak kepada adiknya. Dia sudah tahu
bahwa Kui Eng bukan adik tiri, bukan pula adik
sendiri, melainkan orang lain, tidak ada hubungan
darah sama sekali, akan tetapi karena mereka
berdua bergaul sejak kecil, maka dia sudah
te rlanjur mencinta Kui Eng sebagai adiknya.
"I bu, bagaimana mungkin ini" Tubuhku...... "
"Tubuhmu dapat dibersihkan dari racun asal
engkau dapat memperole h pertolongan pamanmu
Naga Sakti Sungai Kuning, Thian Ki," ibunya
memotong. "Tentu saja pernikahanmu dengan Kui
Eng baru akan kami rayakan dan res mikan setelah
engkau te rbebas dari hawa beracun itu."
"Aku sendiri akan ikut berusaha mencarikan
obat bagimu, Thian Ki. Aku mendengar bahwa di
daerah perbatasan sebelah barat, di pegunungan
Himalaya terdapat semacam rumput merah yang
dinamakan Swe-hiat-ang-cio (Rumput Merah Pencuci Darah) dan yang dapat membersihkan
tubuh dari segala macam pengaruh racun. Aku
akan mencarinya di sana, sedangkan engkau
mencari dan mengunjungi Naga Sakti Sungai
Kuning." "Akan tetapi, ayah dan ibu. Bukan hanya itu
yang yang menjadi pikiranku. Semua orang te lah
menganggap bahwa aku dan Eng-moi adalah
kakak beradik, bagaimana mungkin kami berjodoh" Apa nanti pendapat dan anggapan
orang-orang kalau mendengar hal itu!"
Cian Bu Ong te rtawa bergelak dan memandang
kepada is terinya. "Ha-ha-ha, betapa sama benar
bantahanmu itu dengan bantahan ibumu. Lama
kami memperbincangkan hal ini dan pendapat
ibumu sama pula dengan apa yang kau katakan
tadi. Akan tetapi akhirnya ibumu menyadari.
Kuharap engkau akan dapat menyadari pula,
Thian Ki. Kehidupan kita adalah milik kita pribadi,
tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain.
Hidup kita tidak dapat kita gantungkan kepada
pendapat orang lain, Thian Ki."
"Maaf, ayah. Memang benar demikian, akan
tetapi mungkinkah kita hidup tanpa memperdulikan anggapan umum" Kita hidup di
masyarakat, ayah, bagaimana mungkin kita mengabaikan pendapat dan peraturan umum.
Kalau umum menganggap aku dan Eng-moi kakak
beradik, lalu mereka mendengar bahwa kami
menjadi suami isteri, bukankah hal itu akan aib
yang menodai nama baik keluarga kita semua?"
"Ha-ha-ha, terlampau picik pandangan itu,
Thian Ki. Pendapat dan hukum yang berlaku pada
masyarakat tentu saja berdasarkan kenyataan, jadi
kenyataan inilah yang harus kita pegang. Bagaimana kenyataannya antara engkau dan
adikmu" Kalian bukan saudara, tidak ada
hubungan darah sama sekali. Itulah kenyataannya!
Kalau umum berpendapat lain,
itu adalah kesalahan mereka sendiri. Apakah kalau umum
berpendapat keliru, kitapun harus ikut-ikutan dan
menganggap benar saja kekeliruan mereka itu"
Tidak, Thian Ki. Yang te rpenting bagi kita adalah
bahwa kita harus memiliki pendirian. Kalau kita
memang benar, dan hal ini tidak dapat kita
berbohong kepada diri sendiri, maka kita tidak
perlu takut akan pendapat umum. Andaikata
seluruh dunia menudingmu sebagai pencuri, hal
itu adalah masalah mereka asalkan engkau tidak
pernah mencuri. Sebaliknya, andaikata tak seorangpun mengetahui bahwa engkau mencuri,
namun itu menjadi masalahmu kalau engkau
benar-benar melakukan pencurian. Mengertikah
engkau, Thian Ki?" "Aku mengerti, ayah. Akan tetapi, pendapat
umum te ntang kami ini bukan fitnah, melainkan
timbul karena selama ini aku dan Eng-moi bergaul
sebagai kakak beradik. Jadi kalau mereka
menganggap kami kakak beradik, itu bukan
kesalahan mereka." Kembali Cian Bu Ong te rtawa. "Hal itu mudah
saja diubah. Mulai sekarang, engkau jangan
menyebut ayah kepadaku, melainkan suhu (guru).
Dan sebaliknya, Kui Eng menyebut ibumu bukan
lagi ibu, melainkan subo (Ibu guru). Kenyataannya
memang demikian, bukan" Engkau adalah muridku, dan Kui Eng juga banyak menerima
pelajaran dari subonya. Dan mulai sekarang,
umum akan kami beritahu bahwa kalian bukan
kakak beradik. Nah, beres, bukan?"
Thian Ki tidak dapat membantah lagi. Memang
ayahnya atau suhunya itu benar. Yang penting
adalah kenyataannya, bukan dugaan atau sangkaan orang, Betapapun juga, dia masih nanar.
Kui Eng menjadi tunangannya dan kelak menjadi
isterinya" Sukar sekali membayangkan hal ini
te rjadi dan mulai detik itu, te rjadi perubahan besar
dalam pandangannya terhadap Kui Eng.
"Sekarang berkemaslah, Thian Ki. Engkau harus
pergi mengunjungi pamanmu Si Han Beng di Hongcun. Makin cepat engkau te rbebas dari racun itu
semakin baik," kata ibunya.
"Kapan engkau akan berangkat?" tanya ayahnya
atau yang mulai sekarang harus dia sebut sebagai
gurunya. "Teecu akan berangkat secepatnya, besok pagipagi, suhu." kata Thian Ki tanpa ragu menyebut
guru kepada orang yang selama ini disebutnya
sebagai ayah. Cian Bu Ong te rtawa girang. Sebutan ini
menunjukkan betapa taatnya pemuda ini, juga
menandakan bahwa pemuda ini menerima usul dia
dan isterinya. "Bagus, aku girang sekali, Thian Ki. Engkaulah
muridku yang amat membesarkan hatiku."
"Terima kasih, suhu."
"Mari aku membantumu berkemas, Thian Ki,"
kata ibunya. Ibu dan ana k itu lalu memasuki
kamar Thian Ki, mempersiapkan keberangkatan
pemuda itu untuk merantau. Selain mempersiapkan buntalan pakaian dan uang
secukupnya, juga ibu itu membekali banyak
nasihat kepada pute ranya, menceritakan tentang
para tokoh dunia kangouw, te ntang peraturan
orang-orang kangouw dan memesan agar dia
berhati-hati. "Engkau harus berhati-hati dan
waspada te rhadap tiga macam orang, ana kku.
Mereka kelihatan sebagai orang-orang yang le mah,
namun kalau mereka sudah berkepandaian,
mereka merupakan lawan-lawan yang amat berbahaya. Mereka adalah para pengemis, para
pendeta dan para sastrawan, baik pria maupun
wanita. Jangan sekali-kali memandang rendah
kepada orang-orang yang nampaknya le mah.
Orang-orang yang bertubuh kokoh kuat biasanya
mengandalkan kekuatan mereka dan lawan macam
ini mudah ditanggulangi. Akan te tapi orang-orang
yang kelihatan le mah tadi dapat mengalahkan
kekuatan otot dan tulang." De mikian antara lain
ibu itu berpesan kepada puteranya.
"Saya masih ingat akan semua pesan ibu dan
suhu, ibu. Harap ibu jangan khawatir karena
ibupun tahu bahwa aku tidak suka bermusuhan."
"Kalau engkau berhasil bertemu dengan pamanmu Si Han Beng dan bibimu Bu Giok Cu,
sampaikan salam ibumu dan engkau boleh
menceritakan semua keadaan ibumu semenjak
ditinggal mati ayahmu. Mereka adalah pendekarpendekar yang gagah perkasa dan budiman dan
dari mereka engkau akan dapat menerima banyak
petunjuk." Sejak memasuki kamarnya, Kui Eng tidak
pernah kelihatan lagi oleh Thian Ki, seolah gadis
itu sengaja menghindar darinya. Hal ini meresahkan hati Thian Ki. Dia merasa seolah
dialah yang menjadi sebab gadis itu merasa
canggung dan malu. Bagaimanapun juga, tidak
mungkin dia dapat pergi sebelum berpamit kepada
gadis yang disayangnya sejak mereka masih
kanak-kanak itu. Kalau dia membayangkan kembali semua itu, ketika mereka masih kanakkanak, ketika mereka bermain bersama, berlatih
silat bersama, bahkan ketika Kui Eng suka marah
dan manja, dan dia selalu mengalah sebagai
seorang kakak yang menyayang, menjaga dan
melindunginya, memang sukar sekali membayangkan kelak mereka menjadi suami iste ri!
Bahkan ketika keluarga itu makan malam, Kui
Eng tidak muncul dan menurut ibunya, Kui Eng
merasa lelah dan makan di dalam kamarnya
dilayani pembantu dan tidak meninggalkan kamarnya. Cian Bu Ong hanya te rtawa senang
mendengar ini karena sikap Kui Eng itu dianggapnya bahwa gadis itu malu-malu kepada
Thian Ki dan sikap malu-malu seorang gadis
kepada calon suaminya diartikan bahwa Kui Eng
tidak menolak dan suka menjadi calon isteri Thian
Ki. Akan te tapi Thian Ki sendiri merasa khawatir
walaupun hal ini tidak diucapkannya.
Sim Lan Ci tahu akan isi hati puteranya
walaupun pemuda itu tidak mengucapkan sesuatu.
Maka, pada malam hari itu, ia mengetuk pintu
kamar pute ranya. Ketika Thian Ki membuka daun
pintu dan melihat ibunya yang datang berkunjung,
dia hendak bicara, akan tetapi Sim Lan Ci memberi
is yarat agar pute ranya tidak mengeluarkan suara,
lalu la berbisik, "Kalau engkau ingin menemui Kui
Eng dan berpamit, cepat pergilah ke kebun
belakang." Setelah berbisik demikian, ibu ini
kembali ke kamarnya. Kebun belakang itu sunyi, namun cuaca amat
indahnya karena bulan sudah berada di atas
kepala dan langit bersih. Sinar bulan yang le mbut
menyapu permukaan bumi dan bermain-main
pada daun-daun pohon, mendatangkan perpaduan
yang manis antara cahaya lembut dan bayangbayang kelabu. Kui Eng duduk di atas bangku
panjang, melamun dan menengadah memandangi
bulan yang dite mani beberapa buah bintang yang
suram di sana-sini. "Eng-moi......." Thian Ki yang menghampiri dari
belakang itu kini berdiri sekitar empat mete r dari
te mpat gadis itu duduk, memanggil lirih agar
degup jantungnya yang menggetarkan suaranya
tidak kentara. Kui Eng tidak merasa kaget dan ia menoleh,
berkata lirih, "Koko........?" lalu menundukkan
mukanya. Thian Ki merasa aneh. Biasanya, Kui Eng adalah
seorang gadis yang lincah, je naka, berani dan
galak. Akan te tapi sekarang menjadi begitu jinak
dan malu-malu" Diapun membayangkan gadis itu
seperti biasanya, seperti adiknya dan dengan hati
ringan dia mendekati, lalu duduk di ujung bangku
seperti biasa kalau mereka duduk di situ bersamasama. "Eng-moi, engkau kenapakah'" Thian Ki bertanya. "Engkau tidak enak badan dan lelah?"
Kui Eng mengerling dari bawah karena mukanya
masih menunduk, jari-jari tangannya utak-atik
memilin ujung bajunya. "Siapa bilang?"
"I bu," kata Thian Ki.
"Dan engkau besok akan pergi pagi-pagi, koko?"
"Benar, siapa bilang?"
"I bu.....eh, maksudku subo, ibumu........" kata
gadis itu maka tahulah Thian Ki bahwa ibunya
telah memberitahukan segalanya, juga bahwa
mulai saat itu Kui Eng harus menyebut subo
kepada ibunya. "Dan ia pula yang memberitahu
bahwa engkau nampak gelis ah dan ingin sekali
berte mu denganku. Benarkah?" Kini Kui Eng
mengangkat muka memandang. Dua pasang mata
berte mu dan keduanya merasa aneh sekali, seperti
saling berhadapan dengan seorang yang asing dan
baru pertama kali dijumpai dan dikenal.
"Benar, Eng-moi."
"Kenapa" Mau apa engkau ingin berte mu
denganku?" "Kui Eng, bagaimana aku dapat pergi sebelum
pamit darimu Eng-moi, kenapa sejak ayah........ eh,
suhu mengumumkan perjodohan kita, engkau lalu
bersembunyi dan tidak mau berte mu denganku"
Eng-moi, aku akan merasa susah sekali kalau
persoalan itu membuat engkau marah dan tidak
suka kepadaku." "Aku tidak marah, juga bukan tidak suka
kepadamu." "Lalu kenapa engkau seperti menjauhkan diri
sejak tadi, Eng-moi. Dan kalau ibu tidak memberi
tahu, agaknya engkau tidak akan keluar. Ibu pula
yang memberi tahu bahwa engkau berada di sini
maka aku datang menemuimu."
Kui Eng kembali menunduk dan di bawah sinar
bulan yang le mbut kuning kehijauan, nampak
perubahan pada warna muka gadis itu.
"Kenapa, Eng-moi?" Thian Ki mendesak.
Pertanyaan ini dijawab dengan pertanyaan pula
oleh Kui Eng." Koko, katakanlah apakah engkau
sayang kepadaku?" Kalau saja pertanyaan ini diajukan Kui Eng
kemarin, tentu Thian Ki akan menyambutnya
dengan tawa dan menggoda. Sekarang, te rdengarnya demikian aneh pertanyaan itu.! Akan
tetapi, Thian Ki menenangkan hatinya yang
te rguncang dan berdebar, lalu tersenyum. "Tentu
saja, Eng-moi. Aku sangat sayang kepadamu."
"Engkau sayang kepadaku setelah apa yang
dikatakan oleh ayah tadi?" Kini gadis itu kembali
mengangkat muka dan sinar matanya seperti
hendak menembus keremangan cuaca dan menembus dada Thian Ki menjenguk isi hatinya.
"Tentu saja, Eng-moi. Bagiku, menjadi calon
jodohmu atau bukan, aku tetap sayang kepadamu.
Di dunia ini hanya ada tiga orang yang kusayang,
yaitu ibuku, suhu, dan engkaulah."
"Dan Cin Cin?" tiba-tiba gadis itu bertanya.
Thian Ki terkeiut dan juga heran. "Cin Cin" Ah,
kau maksudkan Kam Cin itu" Aku hanya kasihan
kepadanya, Eng-moi. Kenapa engkau sebut dia?"
"Aku hanya bertanya."
"Tidak, aku tidak menyayang orang lain seperti
sayangku kepada kalian bertiga."
"Sayangmu kepadaku masih seperti yang sudah
sudah?" "Tentu."
"Seperti sayangnya seorang kakak kepada
adiknya." "Eh, ya, tentu......."
"Dan engkau tidak cinta padaku?"
Kalau saja Thian Ki bercermin pada saat itu dan
melihat wajahnya sendiri, te ntu dia akan melihat
betapa wajahnya nampak bodoh dan tolol saat itu.
Matanya te rbuka le bar dan kosong, mulutnya
te rnganga dan wajahnya seperti wajah seorang
anak kecil yang ditanya tentang soal hitungan yang
sulit. "Ehh........ohh......apa sih bedanya antara sayang
dan cinta" Aku jadi bingung, Eng-moi."
Kui Eng mengerutkan alisnya dan wajahnya
nampak kecewa sekali. Mulutnya cemberut. Ia
sendiri tidak mengerti, karena iapun tidak
mempunyai pengalaman. Hanya terasa benar oleh
kewanitaannya bahwa besar sekali bedanya antara
kedua perasaan dalam hatinya terhadap Thian Ki
sebelum dan sesudah ia mendengar bahwa
pemuda itu bukanlah kakak kandungnya, bahkan
bukan pula kakak tirinya, melainkan orang lain
yang tidak ada hubungan darah sama sekali.
Sejak itulah ia memandang Thian Ki dengan
mata dan hati yang berubah, dan kesayangannya
sebagai adikpun berubah pula. Kalau tadinya ia
membayangkan Thian Ki sebagai seorang kakak
yang baik dan dapat diandalkan, sesudah itu ia
selalu membayangkan Thian Ki dengan jantung
berdebar, mulai ia memperhatikan dan
menemukan ketampanan dan kejantanan dalam
diri pemuda itu.! Cinta kasih asmara memang aneh. Jelas jauh
bedanya antara cinta antara kakak beradik dengan
cinta antara seorang wanita dan seorang pria.
Cinta antara pria dan wanita adalah cinta asmara,
cinta yang mengandung berahi satu kepada yang
lain, berbeda dengan cinta seorang adik wanita
te rhadap kakak prianya yang jauh dari perasaan
berahi. Hal ini memang sudah merupakan pembawaan, merupakan anugerah dari Tuhan
yang disertakan kepada setiap orang manusia, pria
maupun wanita. N afsu atau gairah berahi memang
ada pada setiap orang, bahkan pada setiap
mahluk, karena nafsu berahi itu mutlak penting
bagi kelangsungan hidup setiap mahluk itu sendiri.
Nafsu berahi yang mendorong dua mahluk
berlainan jenis untuk saling te rtarik, saling
mendekati, kemudian,saling mencinta. Nafsu berahi mendorong seorang pria dan seorang wanita
untuk bersatu sehingga dari persatuan ini te rlahir
keturunan dan perkembangan-biakan pun tidak
akan terputus. Tidak demikian dengan cinta antara pria dari
wanita yang menjadi saudara kandung. Kalaupun
timbul gairah berahi di antara keduanya, maka
jelas bahwa hal itu tidaklah wajar bagi manusia,
tidak semestinya dan kalau dilanggar te ntu akan
menimbulkan akibat-akibat yang tidak baik. N afsu,
dalam bentuk apapun juga, kalau sudah menguasai manusia, tentu akan menyeret manusia
ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak wajar
dan tidak benar. Di samping semua daya rendah
yang menimbulkan nafsu, pada manusia disertakan pula akal budi. Akal budi inilah yang
membuat kita dapat mengerti mana yang benar
mana yang salah, mana yang baik mana yang
buruk. Akal budi ini yang membuat manusia
menjadi mahluk yang paling tinggi derajatnya di
antara segala mahluk di dunia ini, juga menjadi
mahluk yang paling kuat dan paling kuasa. Tanpa
akal budi, manusia akan menjadi mahluk yang
paling le mah, kita tidak akan menang melawan
seekor kucing sekalipun, karena kucing masih
memiliki taring dan kuku tajam. Apalagi melawan
binatang yang le bih kuat dan le bih besar. Kitapun
tanpa akal budi akan mudah sakit dan mati karena
kita tidak akan mempunyai te mpat dan pakaian
untuk berlindung. Akal budi bekerja sama dengan
nafsu daya rendah yang menjadi pendorongnya,
memungkinkan kita membuat s egala macam benda
keperluan hidup kita di dunia ini, memungkinkan
kita menikmati hidup ini. Akal budi pula yang
membuat kita dapat membedakan segala sesuatu,
mempertimbangkan segala sesuatu, dan akal budi
yang melahirkan Ilmu-Ilmu, peradaban, kebudayaan dan lain sebagainya yang menjadi isi
kehidupan manusia. "Kalau engkau cinta padaku, koko, engkau tentu
tidak akan meninggalkan aku, engkau tentu tidak
akan suka berpisah dariku," kata Kui Eng dengan
suara lirih. "Itukah sebabnya mengapa engkau murung dan
ingin ikut pergi denganku?" tanya Thian Ki.
Kui Eng mengangguk. "Sejak aku mendengar
bahwa di antara kita tidak ada hubungan darah
sama sekali, aku.....aku tidak ingin berpisah
darimu, koko. Dan itu pula yang membuat aku.......
merasa benci kepada Cin Cin. Aku tidak ingin
engkau mengasihi gadis lain, memikirkan gadis
lain, melindungi gadis lain. Aku hanya ingin
engkau untukku seorang.............. "
Thian Ki tertegun. Itukah cinta" Dia tidak
mengerti. Dia belum merasakan hal yang seperti
dirasakan oleh Kui Eng te rhadap dirinya. Belum
te rasa olehnya keinginan agar Kui Eng tak pernah
berpisah darinya, atau agar Kui Eng menjadi
miliknya, hanya untuk dia seorang. Barangkali
belum bersemi apa yang dinamakan cinta itu di
hatinya terhadap Kui Eng. Atau barangkali dia
yang bodoh. Bagaimanapun juga, dia harus dapat
menjawab dan memberi alasan, karena pandang
mata Kui Eng te tap menuntut agar dia menjawab,
apakah dia juga mencinta Kui Eng seperti yang
dirasakan gadis itu kepadanya.
"Eng-moi, engkau te ntu tahu bahwa aku pergi
untuk meluaskan pengetahuan dan menambah
pengalaman. Juga aku perlu sekali mencari adik
angkat mendiang ayahku, yaitu Naga Sakti Sungai
Kuning, paman Si Han Beng, untuk minta tolong
agar hawa beracun di tubuhku dapat dipunahkan.
Engkau te ntu sudah tahu pula bahwa selama hawa
beracun ini tidak lenyap dari tubuhku, aku tidak
bolen menikah. Oleh karena itu, sebelum keadaanku ini te rtolong, aku sama sekali tidak
dapat memikirkan tentang perjodohan."
Kui Eng mengangguk, lalu menundukkan
mukanya, menyembunyikan kekecewaan dan kesedihan yang membayang di mukanya. "Aku
mengerti, koko. Jadi, engkau akan pergi" Kapan
engkau akan pergi?" "Aku sudah berkemas, siap berangkat, besok
pagi-pagi." "Besok pagi-pagi" Ahh......!" Kui Eng te rkejut.
"Aku akan merasa kesepian sekali, koko. Ketika
engkau kami tinggalkan di rumah nenekmu dahulu
itu dan kita saling berpisah hampir dua tahun, aku
merasa tersiksa setengah mati. Dan sekarang,
engkau yang akan meninggalkan aku, dan aku
tidak boleh ikut denganmu......" Suara gadis itu
menjadi gemetar seperti akan menangis.
"Eng moi, aku tidak akan lama pergi. Setelah
berhasil, aku pasti akan segera kembali."
"Engkau tidak akan melupakan aku, bukan"
Engkau berjanji tidak akan melupakan aku?"
Thian Ki tersenyum dan memegang pundak
gadis itu, seperti yang sudah-sudah kalau dia
menghibur gadis ini. "Jangan khawatir, aku tidak
akan pernah melupakanmu."
Kui Eng te risak, bangkit lalu berlari meninggalkan Thian Ki yang masih sempat
mendengar ia te risak. Sampai lama pemuda ini
duduk di atas bangku, berulang kali menghela
napas panjang. Kini dia yakin bahwa Kui Eng
mencintanya, dan mengharapkan kelak menjadi
isterinya! Dia merasa bangga dan senang, akan
tetapi juga bingung dan ragu. Dia merasa senang
dan bangga dicinta seorang gadis hebat seperti Kui
Eng, akan tetapi adakah perasaan cinta yang sama
dalam hatinya terhadap Kui Eng" Dia sudah
te rlanjur menyayangnya seperti seorang adik!
-ooo0dw0ooo- Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Ki
sudah berpamit kepada ibunya dan suhunya.
Kedua orang tua itupun pagi-pagi sekali sudah
bangun, karena mereka hendak melihat Thian Ki
pergi. Thian KI menggendong sebuah buntalan yang
cukup besar, terisi pakaian dan uang, di punggungnya. Pemuda ini tidak pernah membawa
senjata walaupun dia telah mempelajari cara
menggunakan delapanbelas macam senjata dengan
mahir. Suhu dan ibunya duduk di beranda ketika
pemuda itu berpamit. Dia menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki kedua orang tua itu, mohon
diri dan mohon doa restu.
De ngan kedua mata basah, Sim Lan Ci mengelus
kepala pute ranya. Kini baru ia menyadari bahwa
pute ranya telah menjadi seorang pemuda dewasa,
telah menjadi seorang pria yang gagah dan yang
siap untuk terjun ke dalam dunia ramai seorang
diri, siap untuk mandiri dan sudah dibekali
kepandaian yang hebat. Dia tidak merasa khawatir.
Puteranya kini menjadi seorang yang amat lihai,
jauh le bih lihai dibandingkan ia sendiri, atau
mendiang ayah pemuda itu. Mungkin kini telah
memillki kepandaian setingkat dengan gurunya.
"Thian Ki, doa restuku selalu menyertaimu.
Engkau berhati-hatilah, nak. Jangan sekali-kali
engkau takabur. Walaupun engkau kini te lah
menguasai banyak ilmu silat yang cukup untuk
membela diri, namun ingatlah selalu bahwa di
dunia ini terdapat banyak sekali orang jahat yang
selain amat lihai, juga suka mempergunakan sias at
yang curang dan licik. Jangan menonjolkan diri
dan mencari permusuhan. Aku doakan semoga
engkau dapat berte mu dengan pamanmu Si Han
Beng. Syukurlah kalau dia dapat mengobatimu
sampai engkau te rbebas dari racun, karena kalau
engkau te rpaksa harus mencari Pek I Tojin atau
He k Bin Hwesio pekerjaan itu sungguh amar
sukar. Ke dua orang sakti itu bagaikan dewa, sukar
dicari bayangannya. Dan jangan lupa singgah di
dusun Ta-bun-cung mengunjungi keluarga Coa
yang memimpin He k-houw-pang, menengok keadaan keluarga mendiang ayah kandungmu."
"Baik, ibu. Semua nasihat dan pesan ibu akan
kulaksanakan," jawab Thian Ki.
"Semua pesan ibumu memang harus kautaati,
Thian Ki. Engkau te ntu masih ingat akan nama
nama dan keadaan para tokoh di dunia persilatan
seperti yang pernah kuceritakan kepadamu," kata
Cian Bu Ong. "Engkau boleh merantau untuk
meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan, akan tetapi ada satu hal yang aku
ingin engkau lakukan untukku."
Selama menjadi putera tiri dan murid bekas
pangeran itu, belum pernah Cian Bu Ong
menyuruh Thian Ki melaksanakan suatu tugas
te rtentu, maka kini mendengar ini, Thian Ki
merasa girang sekali. "Katakanlah, suhu. Apakah
yang harus kulakukan untuk suhu?" biarpun
masih agak merasa janggal dan kaku, Thian Ki
mulai memanggil bekas pangeran itu dengan
sebutan suhu, tidak lagi ayah seperti yang sudah,
memenuhi permintaan Cian Bu Ong yang menjodohkannya dengan Cian Kui Eng.
"Hanya ada satu pekerjaan yang ingin kulihat
engkau melakukannya untukku, akan te tapi
pekerjaan ini cukup berbahaya, Thian Ki. Ketahuilah, dahulu ketika aku masih menjadi
seorang pangeran, aku mempunyai banyak pusaka. Akan te tapi di antara semua pusaka itu,
yang paling kusayangi adalah sebatang pedang
yang disebut Liong-cu-kiam (Pedang Mustika
Naga). Ketika terjadi perang dan kota raja diserbu,
semua benda pusaka milikku itu terampas musuh.
Aku te lah mendengar bahwa pedangku Liong-cukiam itu kini berada di gudang pusaka is tana
kaisar, menjadi satu di antara benda-benda pusaka
rampasan. Nah, aku minta agar engkau singgah di
kota raja, mencoba untuk mengambil kembali
pedangku Liong-cu-kiam itu dari gudang pusaka di
kota raja." "Aih, akan tetapi itu berbahaya sekali!" kata Sim
Lan Ci cemas. Suaminya tersenyum. Kalau saja bukan isterinya
te rcinta yang mengatakan demikian, mungkin
bekas pangeran ini akan marah. Seruan itu sama
saja dengan memandang rendah muridnya, anak
tirinya bahkan calon mantunya!
"Thian Ki bukan kanak-kana k lagi dan aku yakin
dia akan mampu melakukannya. Kalau saja aku
sendiri tidak dikenal ole h banyak orang di kota
raja, agaknya te ntu aku sendiri yang akan
mengambil benda pusakaku itu."
"Suhu, aku akan melaksanakan pesan suhu itu.
Ibu, harap jangan khawatir. Aku akan berhati hati
sekali karena aku tahu bahwa di kota raja, apalagi
di gudang pusaka, te ntu penjagaannya kuat
sekali." Setelah menerima pesan dan nasehat kedua
orang tua itu, Thian ki berangkat. Kedua orang tua
itupun berpesan wanti-wanti agar perantauannya
ini paling lama dua tahun, dia harus pulang.
Sebetulnya, hati Thian Ki agak berat untuk
berangkat karena dia belum melihat Kui Eng
keluar menemuinya. Kenapa gadis itu tidak keluar
dan melihat dia berangkat" Apakah Kui Eng marah
kepadanya karena dia hendak pergi meninggalkannya" Untuk bertanya kepada ibunya
atau gurunya te ntu saja dia merasa malu, karena
kini Kui Eng bukan lagi sebagai adiknya, melainkan tunangannya, calon iste rinya.
Ketika dengan hati agak berat dia meninggalkan
dusun dan keluar dari pintu gerbang dusun itu,
hari masih pagi sekali dan cuaca masih agak
remang, hawanya dingin dan suasana masih amat
sunyi karena para penduduk dusun belum
berangkat ke sawah ladang mereka. Tiba-tiba
wajahnya berseri ketika ia
melihat sesosok bayangan berdiri menghadang perjalanannya, di
luar dusun itu.
"Eng-moi.........!!" dia berseru sambil melangkah
cepat menghampiri gadis itu yang berdiri di tengah
jalan. "Eng-moi, pantas saja sejak tadi aku tidak
melihat engkau muncul dari kamarmu. Kiranya
engkau malah s udah berada di sini!"
Gadis itu te rsenyum. Memang manis sekali Kui
Eng. Sepagi itu, biarpun belum mandi, belum
bersolek, rambutnya masih kusut, demikian pula
pakaiannya belum diganti yang baru, namun
kecantikannya nampak le bih asli, tanpa bedak
tanpa gincu. "Koko, apakah engkau mengharapkan aku
keluar menemuimu?" "Tentu saja. Bukankah aku akan pergi" Hatiku
merasa tidak enak sekali tadi, terpaksa meninggalkan rumah sebelum sempat berpamit
denganmu yang kukira masih tidur."
Hati Kui Eng merasa gembira bukan main. "Koko
Thian Ki, tahukah engkau bahwa malam tadi aku
tidak pernah tidur barang sekejappun" Dan tadi,
le wat tengah malam, aku sudah turun dari
pembaringan dan diam-diam aku sibuk di dapur."
"Lewat tengah malam sibuk di dapur" Untuk
apa?" tanya Thian Ki heran.
"Untuk membuat ini!" katanya dan gadis itu
memperlihatkan bungkusan-bungkusan kepada
Thian Ki, wajahnya tersipu namun berse ri gembira.
"Aku menyembelih ayam dan menggorengnya,
memasaknya seperti kesukaanmu, dan memanggang roti......untuk bekalmu di jalan, koko.
Turunkanlah buntalanmu itu agar kumasukkan
bungkusan ini ke dalam buntalanmu."
De ngan hati terharu Thian Ki menurunkan
buntalan pakaiannya dan menyerahkannya kepada
Kui Eng. Gadis itu membuka buntalan, menaruh
bungkusan makanan ke dalam buntalan dan tibatiba ia berkata dengan suara yang sedih. "Koko,
engkau akan pergi merantau seorang diri. Bagaimana kalau pakaianmu kotor dan robekrobek" Siapa yang akan mencuci pakaianmu dan
menjahit yang robek" Aih, kalau aku boleh pergi
bersamamu, te ntu aku yang akan mencuci
pakaianmu, memasakkan makanan untukmu, dan
menjahit pakaianmu yang robek."
Thian Ki menerima kembali buntalan pakaiannya dan menalikan di punggungnya seperti
tadi. Tercium olehnya bau masakan daging ayam
yang sedap, dan te rasa betapa bungkusan
makanan yang kini berada dalam buntalan di
punggungnya itu masih hangat.
"Eng-moi, engkau baik sekali. Terima kasih atas
kebaikanmu ini, Eng-moi. Aku pergi takkan lama.
Ibu dan suhu memesan agar paling lama a ku pergi
dua tahun, harus sudah pulang."
"Dua tahun" Aih, lama amat, koko! Aku.....lalu
aku bagaimana............?"
Mendengar suara gadis itu tergetar seperti
hendak menangis, Thian Ki yang tidak ingin
diantar tangis segera berkata sambil tersenyum.
"Aih adik yang manis, mana kelincahanmu yang
biasa" Engkau biasanya lincah jenaka dan tidak
cengeng............"
"Akupun tidak cengeng!" Kui Eng berkata dan
membalikkan tubuh, berdiri membelakangi Thian
Ki. "Koko, engkau berangkatlah, pergilah!"
"Eng-moi, jagalah ibu dan suhu baik-baik
selama aku tidak berada di rumah. Nah, Eng-moi,
aku pergi sekarang. Selamat tinggal."
Kui Eng tidak menjawab, bahkan tidak lagi
menengok. Karena mengira bahwa gadis itu tidak
mau melihat dia pergi, Thian Ki melangkah
meninggalkannya. Akan te tapi baru lima langkah,
dia berhenti dan membalikkan tubuhnya. Dia
mendengar tangis tertahan dan ketika dia menengok, dia melihat gadis itu menangis,
mencoba untuk tidak bersuara, akan te tapi kedua
pundaknya bergoyang-goyang, kepalanya menunduk dan kedua tangannya menutupi mukanya
menikmati apa yang telah dimilikinya. Tidak
te rseret nafsu daya rendah yang tiada putusnya
menarik kita untuk selalu mengejar sesuatu yang
belum kita miliki, membuat kita menjadi angkara
murka dan tidak pernah merasa puas dengan apa
yang ada. Kalau sudah begini, hiduppun merupakan penderitaan, kekecewaan, kebosanan,
yang takkan berhenti. Orang yang kaya raya, yang
sebelum kaya membayangkan betapa akan bahagianya setelah dia dapat menjadi kaya, mulai
menderita karena kekayaannya. Bermacam masalah yang meresahkan, membingungkan dan
menyedihkan timbul karena adanya kekayaan yang
berlimpah. Orang yang berpendidikan tinggi, yang berpengetahuanpun tidak sebahagia seperti yang
dibayangkan ketika dia sedang mengejar ilmu
pengetahuan itu. Dia seperti terhimpit oleh ilmu
pengetahuannya sendiri. Demikian pula orang yang
berkedudukan. Tadinya kedudukan dianggap sebagai sarana utama untuk mencapai kebahagiaan, akan tetapi setelah kedudukan
diperolehnya, justeru kedudukannya itulah yang
menjadi penghalang bagi kebahagiaannya. Kita
te rbelenggu oleh apa yang kita kejar, karena kita
diperhamba oleh apa yang kita kejar sendiri.
Bu Couw Hwa segera merasakan kepahitan oleh
kenyataan bahwa jalan hidupnya tidaklah semulus
seperti yang ia citakan. Ia hanya mendapatkan
sedikit perubahan dari peris tiwa dalam kamar
mandi itu. Ia dipindahkan dari kedudukan pembersih kamar mandi menjadi dayang sebelah
dalam. Akan te tapi, kenaikan kedudukan ini tidak
ada artinya baginya. Kini hanya diketahui semua
penghuni bagian pute ri itu bahwa ia adalah
seorang di antara dayang yang pernah mendapat
"kehormatan" melayani kaisar! Itu saja. Hanya
beberapa kali saja ia dipanggil untuk melayani
kaisar di tempat tidurnya. Setelah itu, Kaisar Tang
Tai Cung seolah melupakannya! Dan yang lebih
menggelisahkan hatinya, selama beberapa kali
melayani kaisar itu, ia tidak berhasil mengandung.
Akan te tapi, Bu Couw Hwa adalah seorang
wanita yang sejak kecil memiliki hati yang keras
dan semangat yang besar. Ia tidak pernah turun
semangat, bahkan segala kegagalan dianggapnya
sebagai pupuk bagi semangatnya untuk mencapai
apa yang dicitakannya. Kalau perlu, ia berani
menempuh segala cara dan jalan demi tercapainya
cita-citanya. Setelah melihat betapa Kaisar Tang Tai Cung
yang pembosan itu acuh saja te rhadap dirinya,
iapun mencari sasaran lain. Banyak memang pria
yang dapat dijadikan sasaran olehnya. Para
pengawal atau komandan pengawal, bahkan pejabat-pejabat tinggi yang dekat dengan kaisar
dan sering bertemu dengannya. Namun, ia
bukanlah seorang wanita yang mudah puas. Citacitanya setinggi langit. Segala macam pria yang
berkedudukan tinggi itu tidak ada artinya baginya.
Ia harus mencapai puncaknya! Orang ke dua
setelah Kaisar Tang Tai Cung yang dianggapnya
akan mampu mengangkatnya ke te mpat tertinggi,
adalah Pangeran Li Hong, putera mahkota!
Pangeran ini berusia duapuluh tahun, tentu saja
jauh lebih menarik daripada ayahnya, Kaisar Tang
Tai Cung yang sudah berusia empatpuluh tahun.
Kembali Bu Couw Hwa mengatur siasat. Sebagai
seorang dayang yang dipercaya membersihkan
kamar-kamar, te ntu saja banyak kesempatan
baginya untu k menyambar barang-barang berharga yang berserakan dan tidak pernah diteliti
oleh para permais uri dan selir. Mudah saja bagi Bu
Couw Hwa untuk mencuri barang-barang perhiasan berharga dan benda-benda ini ia
pergunakan untuk mendekati para thai-kam.
De ngan menyogok sana sini akhirnya para thaikam dapat mengatur suatu pertemuan yang
seolah-olah tidak disengaja antara ia dan Pangeran
Mahkota Li Hong di dalam taman.
Pada suatu malam te rang bulan, ketika Pangeran Mahkota Li Hong sedang berjalan-jalan
seorang diri di taman besar istana, hanya ditemani
dua orang thai-kam kepercayaan, tiba-tiba ia
mendengar suara yang-kim (s iter) yang nyaring.
Lalu suara itu disusul kemerduan suara seorang
wanita yang bernyanyi. Mendengar ini, Pangeran Li
Hong menghentikan langkahnya dan mendengarkan. Nyanyian itu amat terkenal, nyanyian rakyat yang menceritakan tentang seekor
burung merak yang merindukan seekor burung
dewata, betapa sang merak merasa rendah diri dan
buruk dibandingkan sang burung dewata, namun
betapa rindunya untuk berdekatan dengan raja
burung itu. Entah karena is i nyanyian itu atau merdunya
suara dan yang-kim atau karena malam te rang
bulan di taman mendengar nyanyian itu merupakan perpaduan yang amat indah, namun
pangeran yang masih muda itu merasa tertarik dan
kagum se kali. "Siapa yang bernyanyi itu?" tanyanya sambil
memandang ke arah sebuah pondok kecil mungil
yang berada di dalam taman, darimana suara itu
te rdengar. Tentu saja dua orang thai-kam itu tahu siapa
pemilik suara itu, karena merekalah yang mengatur perte muan ini, akan tetapi mereka tidak
mau mengaku dan mengatakan bahwa mungkin
seorang dua oran g dayang yang sedang bertugas di
situ membersihkan pondok yang menjadi te mpat
peristirahatan para puteri.
"Akan te tapi itu hanya dugaan hamba saja
pangeran," kata pula orang kedua, "s etahu kami
tidak ada dayang is tana yang memiliki suara
semerdu itu dan keahlian memainkan yang-kim
seindah itu." Tentu saja hati sang pangeran menjadi semakin
te rtarik, maka ketika dua orang thai-kam itu
mengajak dia untuk mengintai melalui belakang
pondok, diapun tersenyum dan mengikuti mereka.
Semua ini memang sudah diatur oleh Bu Couw
Hwa dan dua orang thai-kam itu. Ketika sang
pangeran bersama dua orang thai-kam mengintai
melalui pondok belakang, mereka melihat seorang
gadis cantik jelita sedang duduk seorang diri
memainkan yang-kim karena nyanyian itu telah
selesai. Gadis itu cantik manis dan jari-jari tangannya
yang le ntik bergerak menari-nari dengan indahnya
di atas yang-kim, mukanya agak diangkat seolah
gadis itu sedang memandang bulan di langit
dengan mata yang redup sayu, dengan mulut yang
setengah terbuka. Bukan main indahnya penglihatan itu. Melihat seorang gadis cantik jelita
bermain yang-kim, di taman bunga dalam te rang
bulan, sungguh suatu keindahan seperti yang
te rkandung dalam sajak yang indah. Hati sang
pangeran seketika terpikat. Suasana itu mendatangkan ketentraman dan kelembutan yang
penuh damai, menimbulkan gairah romantika yang
syahdu dan darah mudanya bergejolak.
Melihat bahwa gadis itu mengenakan pakaian
seperti seorang dayang, maka keberanian sang
pangeran meningkat. Kalau wanita itu seorang selir
ayahnya, te ntu saja dia tidak akan berani
menggodanya. Akan te tapi seorang dayang hanyalah seorang pelayan, walaupun banyak selir
berasal dari dayang. Bersama dua orang thai-kam
yang di percayanya itu, diapun memasuki pondok
itu dari pintu belakang dan menghampiri gadis
yang masih memainkan yang-kim lirih-lirih sambil
melamun. "Nona, suaramu indah sekali." Pangeran Li Hong
memuji setelah berada dekat di belakang gadis itu.
De ngan permainan sandiwara yang baik sekali,
gadis itu mele paskan yang-kimnya saking kaget,
memutar tubuhnya, te rbelalak dan membuka
mulut secara manis sekali, mengangkat kedua
tangan ke atas, lupa bahwa baju depannya
setengah terbuka sehingga nampak sebagian
dadanya yang mulus dan putih, lalu menjatuhkan
diri berlutut. "Yang mulia Pangeran......, hamba.... hamba
mohon maaf......hamba tidak tahu akan kehadiran
paduka.... hamba siap menerima hukuman mati.."
katanya dengan suara yang merdu dan seperti
orang yang ketakutan, suaranya berdesah dan
berbisik. Pangeran Li Hong tertawa, semakin kagum
karena setelah berada dekat, dia melihat bahwa
gadis ini memang cantik sekali dan keharuman
khas keluar dari tubuhnya. Padahal gadis ini baru
selesai bekerja agaknya, setelah membersihkan
pondok itu dan beris tirahat, tentu tidak mempersiapkan diri, tidak mempersolek diri.
Bajunyapun setengah te rbuka dan rambutnya
kusut. Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa
kekusutan pada diri Bu Couw Hwa itu adalah
kekusutan "teratur".
"Ha-ha-ha, nona, jangan takut. Engkau tidak
bersalah apa-apa, aku tadi hanya te rtarik oleh
suaramu yang merdu dan permainan yang-kimmu
yang indah. Aku ingin mendengar le bih banyak.
Mainkanlah yang-kim itu dan bernyanyilah untukku." "Aiih, ampunkan hamba, pangeran. Bagaima
hamba berani memperdengarkan suara hamba
yang parau dan permainan yang-kim hamba yang
ngawur" Hamba hanya seorang dayang......."
"Jangan merendahkan dirimu, eh, siapa namamu?" Bukan main girangnya rasa hati Bu Couw Hwa.
Perhatian dari pangeran itu menunjukkan bahwa
siasatnya mulai berhasil. Umpannya mulai disambar kakap! "Nama hamba Bu Couw Hwa, pangeran."
"Bagus, Couw Hwa, atau kusebut saja engkau
Hwa Hwa!" Pangeran itu tertawa lagi, girang karena
wajah gadis itu demikian cerah dan ramah
sehingga menimbulkan suasana yang gembira. Dia
lalu memerintahkan kedua orang thai-kam. "Cepat
ambilkan arak dan makanan, aku ingin makan
malam di sini. Hwa Hwa, maukah engkau
melayaniku makan malam di s ini?"
"Mau" Aiiih, pangeran. Hamba merasa seperti
kejatuhan bintang, mendapat kehormatan besar
sekali. Tentu saja hamba suka sekali. Biar hamba
bersihkan dulu meja dan dan hamba ganti dengan
kain penutup yang baru!" Dengan gerakan lincah,
le nggang yang membuat pinggulnya yang bulat
besar seperti menari-nari, gadis itu mengerjakan
persiapan untuk makan malam sang pangeran.
Setiap gerak geriknya diikuti pandang mata
pangeran muda itu yang menjadi semakin te rpesona. "Aku harus dapat menaikkan harga diriku,"
demikian sambil membersihkan dan merapikan
meja, gadis itu berpikir. "Kalau kujual murah,
te ntu akhirnya sebentar saja dia akan lupa
padaku." Bu Couw Hwa memang cerdik luar biasa. Ia
mempergunakan siasat memikat pangeran mahkota bukan sekedar merupakan petualangan
cinta belaka. Sama sekali tidak! Ia memiliki tujuan
yang le bih inggi lagi, mempunyai cita-cita yang
muluk. Usahanya te rhadap Kaisar gagal setengah
jalan, maka kini ia menempuh jalan lain, melalui
Pangeran Mahkota! Tak lama kemudian, pangeran itu makan minum
di dalam kamar, dilayani Bu Couw Hwa, kemudian
gadis itupun beberapa kali memainkan yang-kim
dan bernyanyi, bahkan mengajak pangeran itu
bercakap-cakap tentang seni suara dan seni sastra,
karena iapun pandai membuat sajak atau syair
berpasangan yang mengandung makna dalam.
Mendengar bahwa usia gadis itu baru menjelang
tujuhbelas tahun, sang pangeran menjadi semakin
kagum. Akan te tapi ketika dia mulai
memperlihatkan gejolak berahinya, dengan le mbut
Bu Couw Hwa menolaknya. Dengan halus dan
le mbut.! Tentu saja sang pangeran menjadi
penas aran bukan main. Penolakan yang halus itu
sama sekali tidak membuatnya marah, bahkan
membuat berahinya semakin berkobar seperti api
disiram minyak. Wanita muda itu tetap bersikap manis, bersikap
amat menyayang dan hormat sehingga sang
pangeran merasa dimanja. De ngan sikapnya, Bu
Couw Hwa jelas menyatakan perasaan hatinya
yang jatuh cinta kepada junjungan itu. Kerling
matanya, senyumnya, gerakan tubuhnya, suaranya, semua jelas membayangkan bahwa ia
mencinta sang pangeran. Akan tetapi kalau
pangeran itu hendak menyentuhnya, ia dengan
halus dan sopan menjauhkan diri dan pandang
matanya nampak sayu dan sedih.! Ia seperti jinakjinak merpati yang membuat pangeran menjadi
semakin terpikat. Akhirnya setelah jelas bahwa wanita itu tidak
bersedia melayaninya bercinta, sang pangeran
meninggalkan te mpat itu, diantar senyum dan
kerling penuh kasih ole h Bu Couw Hwa. Dalam
perjalanan kembali ke tempat tinggalnya sendiri
itulah sang pangeran menyatakan keheranannya.
"I a begitu dekat, akan te tapi begitu jauh," ratap
pangeran itu kepada dua orang kepercayaannya.
"I a seperti menantang, akan tetapi selalu menghindar. Ia jelas mencintaku, akan te tapi tak
ingin kujamah. Mengapa begitu, seolah ia menyiksaku?"
Dua orang thai-kam itu saling lirik dan
te rsenyum, diam-diam kagum sekali kepada gadis
itu. Seorang wanita muda yang luar biasa, seperti
minuman arak yang amat baik, le mbut memabokkan, akan te tapi tidak te rasa oleh yang
mabok. Tepat seperti yang telah diatur oleh Bu
Couw Hwa yang te lah menyogok mereka dengan
banyak benda berharga, mereka lalu berkata
bahwa dayang itu pernah menjadi dayang kesayangan Kaisar, bahkan telah beberapa kali
mendapat kehormatan melayani kaisar.
"Mungkin karena ia tidak ingin membuat paduka
melakukan kesalahan, maka ia sengaja menahan
diri dan menghindar, yany mulia," kata mereka.
"Ahh......begitukah" Sungguh ia seorang wanita
yang baik dan le mbut hati, setia dan juga tidak
ingin melihat aku melakukan kesalahan. Akan
tetapi ia hanya seorang dayang, belum diangkat
menjadi selir ayahanda kaisar, bukan?"
"Demikianlah, yang mulia. Ia masih belum
menjadi selir yang sah."
"Kalau begitu, ia masih seorang dayang, dan
bukan suatu pelanggaran dosa kalau terjadi
hubungan antara kami," pangeran yang sudah
te rgila-gila itu membela diri.
"Me mang sesungguhnya demikian, pangeran.
Apa lagi yang mulia Sribaginda te rlalu sibuk
sehingga hampir melupakannya, karena itulah
maka ia tadi menyanyikan lagu kerinduan. Paduka
dapat menduga, siapa yang disebut sebagai burung
Hong yang dirindukannya?"
"Siapa lagi kalau bukan Sribaginda?"
Dua orang thai-kam itu tersenyum. "Yang mulia
Pangeran, ia menjadi kekasih Sribaginda hanya
selama beberapa kali saja dan menurut keterangannya hal itupun te rjadi selagi Sribaginda
dalam keadaan te rlalu banyak minum anggur,
sehingga pertama kalinya terjadi di kamar mandi di
mana Bu Couw Hwa bertugas membersihkan
kamar mandi. Tidak, bukan Yang Mulia Sribaginda Kaisar yang
dimaksudkan sebagai burung Hong yang dirindukannya dalam nyanyian tadi, melainkan
paduka." "Ehh" Bagaimana engkau bisa tahu?" pangeran
itu bertanya, curiga. "Yang Mulia, pernah ketika bertemu dengan
hamba, ia mengatakan bahwa betapa bahagianya
hamba menjadi pelayan paduka, selalu dekat
dengan paduka. Nah, bukankah itu suatu bukti
bahwa diam-diam ia memuja paduka" Pula,
bukankah nama burung itu sama dengan nama
paduka?" Bukan main girangnya hati Pangeran Li Hong
mendengar ini. Dan selanjutnya, atas bantuan dua
orang thai-kam itu yang mengharapkan banyak
hadiah, diaturlah pertemuan-pertemuan selanjutnya antara Pangeran Li Hong dan Bu Couw
Hwa. Bu Cou w Hwa cerdik luar biasa. Ia bersikap
jatuh cinta dan te rgila-gila kepada sang pangeran.
Akan te tapi, ia mohon agar hubungan itu
dirahasiakan, katanya untuk menjaga agar jangan
sampai kaisar mendengar dan akan menyalahkan
mereka. Juga dari kedua thai-kam itu ia menerima
ramuan obat untuk mencegah agar dalam hubungannya dengan sang pangeran, ia tidak
sampai hamil. Ia memikat dan mengikat cinta
kasih sang pangeran, dan untuk itu ia bersikap
cerdik sekali. Ia sengaja menjual mahal, sengaja tidak selalu
memenuhi permintaan sang pangeran untuk
mengadakan perte muan, dengan berbagai alasan
yang masuk akal. Hal ini ia lakukan untuk
membuat sang pangeran tetap rindu kepadanya.
Setelah semalam melayani dengan seluruh kemampuannya untuk membuat sang pangeran
mabok kepayang, ia s elalu menjauhkan diri sampai
berminggu-minggu. Hal ini membuat Pangeran Li
Hong yang masih muda itu benar-benar menjadi
te rgila-gila. Bu Couw Hwa mulai membuat ikatan-ikatan,
seperti seekor laba-laba menjaring seekor belalang,
dengan benang-benang halus lembut namun kokoh
kuat sehingga sang belalang tidak merasa bahwa ia
masuk ke dalam perangkap!
-ooo0dw0ooo- "Sudahlah, Thian Ki. Engkau tidak salah. Gadis
itu yang mencari gara-gara sendiri. Kalau ia tidak
berniat membunuhmu dan mencengkeram pundakmu, te ntu ia tidak akan keracunan dan
kalau engkau membuntungi pergelangan tangannya, hal itu kaulakukan justru untuk
menyelamatkan nyawanya dari kematian. Kenapa
engkau menyesali diri seperti ini, berhari-hari tidak
mau makan minum sampai tubuhmu menjadi
kurus kering, wajahmu pucat dan engkau seperti
seorang yang kehilangan semangatnya?" tegur
ibunya, Sim Lan Ci yang te lah mendengar semua
te ntang pertandingan antara suaminya dan Kam
Cin, kemudian tentang Kam Cin menyerang
pute ranya sehingga gadis itu keracunan dan
pergelangan tangannya dibuntungi pute ranya untuk menyelamatkan nyawa gadis itu.
Thian Ki tidak menjawab, hanya menundukkan
mukanya. Sejak peristiwa itu, dia tidak pernah
dapat melupakan bayangan Cin Cin dengan tangan
kirinya yang buntung, tak dapat melupakan betapa
dia yang membuntungi tangan gadis itu, dan selalu
wajah Cin Cin ketika memandang kepadanya
untuk yang te rakhir kali membayanginya sampai
ke dalam mimpi. Hal ini membuat dia merasa
menyesal bukan main. Apalagi kalau dia teringat
ketika pernah bersama ayah bundanya menjadi
tamu di rumah Cin Cin. Kedukaan ini membuat dia
lupa makan lupa tidur. "Selain engkau tidak bersalah, Cin Cin itu jahat
bukan main, koko! Kenapa orang seperti itu koko
ingat terus" Ia telah menghina kita, ia telah berniat
membunuh ayah, bahkan membunuhmu. Apakan
engkau takut kalau ia mendendam kepadamu
karena engkau membuntungi tangannya" Jangan
takut, aku akan membantumu membasminya
kalau ia berani mencoba untuk membalas
dendam!" kata Kui Eng dengan hati panas. Entah
bagaimana ia sendiri tidak tahu, setelah ia
mengetahui bahwa ia bukan anak kandung Sim
Lan Ci, tidak mempunyai hubungan keluarga atau
darah dengan Thian Ki, pandangannya te rhadap
pemuda itu berubah sama sekali. Sejak kecil ia
memang amat sayang kepada kakaknya ini, akan
tetapi sekarang, setelah mengetahui bahwa Thian
Ki bukan apa-apa melainkan orang lain, kesayangannya sebagai adik te rhadap kakak
kandung berubah menjadi cinta kasih seorang
wanita terhadap pria! Maka, melihat Thian Ki
begitu murung dan berduka karena seorang gadis
lain, apa lagi gadis itu musuh besar ayah
kandungnya, ia merasa cemburu dan marah.
Thian Ki memandang adiknya sejenak, lalu
menunduk lagi dan menghela napas panjang, dia
tidak menjawab. Dia menyadari bahwa dia tidak
bersalah tentang buntungnya tangan Cin Cin,
namun betapapun juga, buntungnya tangan itu
adalah karena dia. Gadis itu keracunan karena
tubuhnya beracun dan biarpun dia menyelamatkan
nyawa gadis itu dengan membuntungi tangannya,
tetap saja dialah yang membuntungi tangan itu!
Dan dia tidak mungkin dapat melupakan sinar
mata dan tarikan wajah Cin Cin ketika gadis itu
memandang kepada le ngannya yang buntung
dengan mata terbelalak dan mulut ternganga!
"Thian Ki, aku merasa kecewa dan malu melihat
sikapmu ini!" tiba-tiba terdengar suara Cian Bu
Ong yang menggele gar dan penuh kewibawaan.
"Sikapmu ini hanya pantas dimiliki seorang lakilaki yang lemah dan cengeng! Segalanya sudah
te rjadi dan sebagai laki-laki yang gagah engkau
harus berani menghadapi kenyataan, harus berani
bertanggung-jawab atas semua
yang te lah kaulakukan! Engkau tidak pantas disebut orang
gagah kalau bersikap seperti ini, memalukan saja.
Pada hal, sekarang engkau te lah selesai belajar dan
sudah tiba saatnya engkau te rjun ke dunia
persilatan sebagai seorang pendekar, sebagai
seorang gagah agar tidak sia-sia semua pelajaran
yang telah kaupelajari selama ini. Agar tidak sia-sia
engkau hidup sebagai seorang manusia di dunia
ini." Ucapan Cian Bu Ong itu seperti sengat lebah,
seperti siraman air dingin, membuat Thian Ki
te rsadar. Dia mengangkat mukanya yang pucat
dan memandang kepada ayah tirinya, juga
gurunya, dan diapun menjatuhkan diri berlutut di
depan ayah tirinya dan ibunya, kedua matanya
basah, akan tetapi dia tidak menangis.
"Ayah, ibu, maafkan aku yang le mah ini. Semua
kata-kata ayah, ibu dan adik Kui Eng benar.
Sekarang aku menyadari bahwa sikapku ini
sungguh sikap seorang pengecut yang hendak
melarikan diri dari kenyataan hidup. Maafkan
aku." Ibunya, Sim Lan Ci, memaklumi apa yang
te rdapat di hati puteranya, maka iapun merangkul
pute ranya dengan hati terharu. Sejak kecil, ia
sendiri dan mendiang suaminya, Coa Siang Lee,
yang mendidik anak ini agar menjauhkan diri dari
segala kekerasan, sengaja tidak mengajarkan ilmu
silat bahkan menanamkan dalam hatinya agar
menjauhi kekerasan.
Akan tetapi ia dijadikan seorang tok tong (anak
beracun) oleh mendiang neneknya yang bermaksud
agar sang cucu kelak menjadi seorang jagoan tanpa
tanding! Karena sudah terlanjur memiliki tubuh
beracun, sehingga di luar kehendaknya beberapa
orang tokoh dunia persilatan te was ketika mencoba
untuk membunuh dan menyerangnya, maka
kemudian setelah menjadi putera tiri Cian Bu Ong,
Thian Ki belajar ilmu silat tinggi. Namun, ia tahu
bahwa di dasar hati Thian Ki masih te rdapat
kelembutan itu. Dia tidak ingin melukai orang, apa
lagi membunuhnya. Dan kini, secara terpaksa dia
membuntungi tangan Cin Cin, seorang gadis yang
pernah akrab dengannya ketika masih sama-sama
kecil. "Sudahlah, anakku. Bangkitlah dan jangan lagi
membiarkan dirimu te nggelam dalam penyesalan
dan kedukaan. Ayahmu benar. Engkau seorang
laki-laki yang seharusnya bersikap gagah dan
jantan," kata ibu ini.
Thian Ki bangkit dan duduk kembali. Ketika dia
mengangkat muka memandang ayah tirinya,
ibunya dan Kui Eng, matanya sudah mengeluarkan
sinar, tidak lagi muram dan layu seperti sebelumnya. "Yang terpenting adalah pengamatan diri, Thian
Ki. Carilah dalam dirimu sendiri dan lihat
kenyataan apa yang te lah terjadi. Kalau dalam
peristiwa itu engkau merasa bahwa engkau telah
melakukan kesalahan, maka engkau harus berte kad untuk mengubah kesalahan itu dan tidak
mengulanginya kelak. Sebaliknya, kalau engkau
tidak merasa melakukan suatu kesalahan, jangan
engkau takut menghadapi segala akibatnya. Dalam
peristiwa yang telah terjadi itu, aku tidak melihat
kesalahan dalam tindakanmu Akan te tapi andaikata akibatnya tidak menguntungkan, andaikata gadis itu mendendam kepadamu,
engkau harus berani menghadapi kenyataan itu
dengan modal utama, yaitu keyakinan bahwa
engkau tidak melakukan kesalahan. Itu saja!"
Thian Ki mengangguk-angguk. Terbayang semua
peristiwa itu. Mula-mula dia turun tangan untuk
mencegah Cin Cin membunuh ayah tirinya, yang
tadinya sudah mengalah terhadap gadis itu. Tentu
saja perbuatannya ini tidak salah karena tidak
mengandung niat buruk di hatinya ketika dia
menyelamatkan ayahnya. Akan tetapi Cin Cin
bahkan menyerangnya. Diapun hanya membela
diri, sama sekali tidak bermaksud untuk melukai
gadis itu. Akan tetapi kenyataannya menjadi lain
dari yang dia kehe ndaki. Gadis itu mencengkeram
pundaknya, dan di luar kesadarannya, tanpa
disengaja karena otomatis hawa beracun di
tubuhnya bergerak tak te rkendali untuk melindungi pundak yang dicengkeram, tangan Cin
Cin keracunan. Racun itu akan menjalar dan
menewaskan Cin Cin, tanpa ada obat yang akan
mampu menolongnya. Oleh karena itu, dia cepat
membuntungi tangan beracun itu demi keselamatan nyawa Cin Cin. Memang tidak ada
kebencian mendorong semua perbuatannya itu.
Hanya nasib yang menentukan demikian. Sudah
digariskan. Sudah menjadi kehendak Tuhan. Dia
harus berani menghadapi segala akibatnya.
Dia teringat akan sikap ayah tirinya. Ayah
tirinya menghadapi pula akibat dari perbuatannya
ketika muda, yaitu mengenai urusan pribadinya
dengan Tung-hai Mo-li Bhok Sui lan. Dan kini ayah
tirinya menanggung akibatnya. Akan te tapi dengan
sikap yang gagah, tidak ingin melibatkan keluarganya. Semua akibat ditanggungnya sendiri,
tanpa memperlihatkan penyesalan atau kecengengan. Sesal dan duka hanya mendatangkan kekeruhan pikiran dan hati, sama
sekali tidak ada manfaatnya, sama sekali tidak
akan dapat mengubah keadaan. Dia bahkan harus
bertindak te gas untuk meluruskan yang bengkok,
menjernihkan yang keruh. Dia harus dapat
menemukan Cin Cin dan memberi penjelasan.
Sukur kalau gadis itu dapat melihat kenyataan,
kalau tidakpun dia harus berani menghadapi apa
saja yang akan menjadi akibat dari peris tiwa itu.
Memang segala sesuatu Tuhan yang menentukan
akan tetapi dia harus berikhtiar, harus berusaha
ke arah kebaikan dan melalui jalan kebenaran.
"Terima kasih, ayah. Kini aku mengerti benar
dan harap ayah suka memberi tahu apa yang
harus kulakukan selanjutnya."
Wajah bekas pangeran itu berseri. Thian Ki
memang bukan keturunannya, bukan darah
dagingnya, namun dia merasa sayang kepada anak
ini, menaruh harapan besar dalam diri anak ini.
"Engkau sudah selesai belajar, Thian Ki. Pada saat
ini, semua ilmuku sudah kuberikan kepadamu.
Dalam hal ilmu silat, engkau sudah setingkat
denganku, hanya mungkin kalah pengalaman s aja.
Akan te tapi kekalahan itu dapat kau tutup dengan
keadaan dirimu yang mengandung hawa beracun.
Kalau kita berkelahi benar-benar, aku sendiri tidak
akan mampu mengalahkanmu. Nah, sekarang
untuk apa engkau yang sudah dewasa ini
menghabis kan waktu sia-sia saja di tempat ini"
Terjunlah ke dunia kang-ouw, perlihatkan dirimu
sebagai seorang manusia yang berguna, bagi diri
sendiri, bagi orang lain, bagi masyarakat, bagi
rakyat." "Jadilah seorang pendekar yang berbudi baik,
anakku. Kau bela yang le mah te rtindas, kau
te ntang yang kuat dan jahat, akan tetapi ingat,
jangan sekali-kali engkau te rlibat dalam urusan
pemerintah, jangan te rlibat dalam urusan pemberontakan," kata ibunya yang mengerling ke
arah suaminya. Cian Bu Ong tidak merasa tersinggung, bahkan
te rsenyum le bar dan menghela napas dalamdalam. "I bumu benar, Thian Ki. Dahulu aku
dikuasai nafsu yang membuat aku bercita-cita
te rlalu muluk, tidak mau melihat kenyataan bahwa
Kerajaan Sui telah runtuh dan Kerajaan Tang telah
bangkit dan lahir menjadi penggantinya. Tidak ada
yang kekal di dunia ini. Kerajaan demi Kerajaan
bangkit dan jatuh, seperti juga manusia, satu demi
satu lahir dan mati. Tidak mungkin menentang
garis yang sudah ditentukan oleh Thian (Tuhan).
Usahaku melakukan pemberontakan terhadap
Kerajaan baru Tang hanya mendatangkan malapetaka bagi keluargaku, bagi aku sendiri dan
banyak orang lain. Biarlah keadaanku itu menjadi
contoh bagimu."
"Thian Ki, engkau te ntu masih ingat akan pesan
nenekmu, bukan" Nah, jangan lupa, dalam
perantauanmu mencari pengalaman, pergilah engkau ke dusun Hong-cun di tepi Sungai Kuning,
te mui kakak-angkat mendiang ayah kandungmu,
yaitu Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai
Kuning) Si Han Beng dan isterinya yang bernama
Bu Giok Cu. Dari merekalah engkau akan dapat
memperoleh keterangan di mana adanya Pek I
Tojin dan He k Bin Hwesio, dua orang yang akan
mampu membebaskanmu dari hawa beracun di
tubuhmu. Atau mungkin juga suami isteri itu akan
mau dan mampu menolongmu."
"Baik, ibu, akan kuperhatikan pesan ibu."
"Nah, sebaiknya engkau berkemas dan siap
untuk segera berangkat meluaskan pengalamanmu, Thian Ki," kata pula ayah tirinya.
"Aku akan ikut pergi merantau bersama kakak
Thian Ki!" tiba-tiba Kui Eng berkata.
Suami is teri itu saling pandang dan Sim Lan Ci
cepat berkata. "Aih, tidak mungkin engkau
melakukan perjalanan bersama Thian Ki, Kui Eng!"
Kui Eng mengangkat muka memandang wajah
ibu tirinya, lalu wajah ayahnya dan melihat betapa
ayahnya menggele ng kepala. Kui Eng mengerutkan
alisnya, cemberut dan berkata, "Hemm, aku
mengerti apa yang dipikirkan ayah dan ibu! Aku
sudah berusia duapuluh tahun dan aku mengerti
bahwa tidak pantas bagi seorang gadis melakukan
perjalanan berdua saja dengan seorang pemuda,
apalagi kalau mereka itu bukan saudara
sekandung. Akan te tapi, ayah dan ibu. Bukankah
sejak kecil aku sudah menganggap koko sebagai
kakak kandungku sendiri" Semua orangpun.menganggap kami berdua kakak beradik,
maka apa salahnya melakukan perjalanan berdua?" Sim Lan Ci yang merasa bahwa gadis itu bukan
pute ri kandungnya, merasa tidak berdaya dan
iapun hanya memandang kepada suaminya,
menyerahkan keputusannya kepada suaminya.
Cian Bu On menggele ng kepalanya dan suaranya
te gas ketika akhirnya dia berkata, "Kui Eng,
engkau tidak boleh pergi mengikuti kakakmu. Dia
hendak meluaskan pengalamannya dan te rutama
sekali, hendak mencari penawar hawa beracun di
tubuhnya. Apalagi, dengan adanya rencana kami,
ayah ibumu, maka makin tidak boleh kalian'melakukan perjalanan berdua."
Kui Eng masih mengerutkan alisnya. "Aih, ayah
sungguh aneh. Rencana apa yang menyebabkan
aku tidak boleh pergi bersama koko?"
Suami isteri itu kembali saling pandang. Mereka
berdua sudah sepakat untuk menjodohkan kedua
orang anak mereka itu. Hanya ada hal yang
membuat mereka sangsi dan sampai sekarang,
setelah Thian Ki berusia duapuluh s atu tahun dan
Kui Eng berusia duapuluh tahun, mereka belum
dapat memberi tahu mereka, karena keadaan
Thian Ki. Dalam keadaan bertubuh seperti itu,
penuh dengan hawa beracun, mereka tahu bahwa
Thian Ki tidak boleh mendekati wanita. Siapapun
yang berhubungan sebagai suami isteri dengan dia,
pasti akan tewas! Kini, Kui Eng sudah dewasa
benar, bagaimanapun juga, gadis itu dan juga
Thian Ki harus diberitahu. Bagi Kui Eng, agar gadis
itu tahu bahwa ia sudah mempunyai calon suami,
dan bagi Thian Ki, hal itu tentu akan menjadi
pendorong agar dia cepat mencari orang yang
dapat membersihkan hawa beracun dari tubuhnya.
Setelah saling pandang dengan is terinya dan
mendapat isyarat persetujuannya, Cian Bu Ong
dengan suara mantap berkata, "Rencana kami
adalah untuk menjodohkan kalian menjadi suami
isteri." He ning sejenak, kehe ningan yang mencekam
karena kedua orang muda itu terkejut bukan main
mendengar keputusan yang keluar dari mulut Cian
Bu Ong itu. Terlalu tiba-tiba datangnya, merupakan kejutan yang tak pernah mereka duga.
Bagi Kui Eng, merupakan kejutan yang menyusup
ke jantung dan tulang sumsumnya, karena diamdiam ia memang sudah jatuh cinta sebagai seorang
wanita terhadap seorang pria kepada pemuda yang
selama ini ia anggap sebagai kakak kandungnya
itu. Akan tetapi, karena iapun sama sekali tidak
menyangka bahwa ayah dan ibunya merencanakan
perjodohan itu, iapun terkejut dan sejenak ia
te rtegun, lalu wajahnya yang manis itu berubah
menjadi merah sekali. Tanpa dapat ditahan lagi, ia
menoleh memandang kepada Thian
Ki dan kebetulan pemuda itupun menoleh kepadanya.
Sejenak dua pasang mata berte mu pandang dan
segalanya nampak berobah dalam pandang mata
mereka setelah mendengar keputusan itu. Kui Eng
tidak dapat menahan lagi dan menunduk dengan
wajah makin memerah sampai ke lehernya,
sedangkan Thian Ki juga menundukkan mukanya
yang menjadi merah. "Aiih, ayah..........!" Kui Eng yang menjadi salah
tingkah itu merasa tidak kuat untuk berada disitu
le bih lama saking malunya. Sambil mengeluarkan
suara yang te rdengar seperti setengah tawa dan
setengah isak, iapun melompat pergi meninggalkan
ruangan itu, memasuki kamarnya sendiri.
Tinggal Thian Ki yang masih duduk menundukkan mukanya di depan ayah dan
ibunya, seperti orang bingung dan tidak tahu
harus berkata apa. "Thian Ki, bagaimana pendapatmu dengan
keputusan ayahmu?" tiba-tiba ibunya bertanya
untuk menuntun kembali pemuda itu ke dalam
ketenangan! Thian Ki mengangkat muka memandang ibunya,
lalu ayahnya, kemudian dia menghela napas
panjang. Selama ini, belum pernah masuk dalam
gagasannya te ntang diri Kui Eng, apalagi sebagai
calon isteri. Bahkan belum pernah dia memikirkan
wanita, tahu bahwa dia sama sekali tidak boleh
berdekatan dengan wanita. Mendengar bahwa dia
ditunangkan dengan Kui Eng membuat dia te rkejut
dan heran, juga bingung mengapa ayah ibunya
mengambil keputusan seperti itu. Dia memang
sayang kepada Kui Eng, amat sayang kepadanya.
Namun, kasih sayangnya itu adalah kasih sayang
seorang kakak kepada adiknya. Dia sudah tahu
bahwa Kui Eng bukan adik tiri, bukan pula adik
sendiri, melainkan orang lain, tidak ada hubungan
darah sama sekali, akan tetapi karena mereka
berdua bergaul sejak kecil, maka dia sudah
te rlanjur mencinta Kui Eng sebagai adiknya.
"I bu, bagaimana mungkin ini" Tubuhku...... "
"Tubuhmu dapat dibersihkan dari racun asal
engkau dapat memperole h pertolongan pamanmu
Naga Sakti Sungai Kuning, Thian Ki," ibunya
memotong. "Tentu saja pernikahanmu dengan Kui
Eng baru akan kami rayakan dan res mikan setelah
engkau te rbebas dari hawa beracun itu."
"Aku sendiri akan ikut berusaha mencarikan
obat bagimu, Thian Ki. Aku mendengar bahwa di
daerah perbatasan sebelah barat, di pegunungan
Himalaya terdapat semacam rumput merah yang
dinamakan Swe-hiat-ang-cio (Rumput Merah Pencuci Darah) dan yang dapat membersihkan
tubuh dari segala macam pengaruh racun. Aku
akan mencarinya di sana, sedangkan engkau
mencari dan mengunjungi Naga Sakti Sungai
Kuning." "Akan tetapi, ayah dan ibu. Bukan hanya itu
yang yang menjadi pikiranku. Semua orang te lah
menganggap bahwa aku dan Eng-moi adalah
kakak beradik, bagaimana mungkin kami berjodoh" Apa nanti pendapat dan anggapan
orang-orang kalau mendengar hal itu!"
Cian Bu Ong te rtawa bergelak dan memandang
kepada is terinya. "Ha-ha-ha, betapa sama benar
bantahanmu itu dengan bantahan ibumu. Lama
kami memperbincangkan hal ini dan pendapat
ibumu sama pula dengan apa yang kau katakan
tadi. Akan tetapi akhirnya ibumu menyadari.
Kuharap engkau akan dapat menyadari pula,
Thian Ki. Kehidupan kita adalah milik kita pribadi,
tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain.
Hidup kita tidak dapat kita gantungkan kepada
pendapat orang lain, Thian Ki."
"Maaf, ayah. Memang benar demikian, akan
tetapi mungkinkah kita hidup tanpa memperdulikan anggapan umum" Kita hidup di
masyarakat, ayah, bagaimana mungkin kita mengabaikan pendapat dan peraturan umum.
Kalau umum menganggap aku dan Eng-moi kakak
beradik, lalu mereka mendengar bahwa kami
menjadi suami isteri, bukankah hal itu akan aib
yang menodai nama baik keluarga kita semua?"
"Ha-ha-ha, terlampau picik pandangan itu,
Thian Ki. Pendapat dan hukum yang berlaku pada
masyarakat tentu saja berdasarkan kenyataan, jadi
kenyataan inilah yang harus kita pegang. Bagaimana kenyataannya antara engkau dan
adikmu" Kalian bukan saudara, tidak ada
hubungan darah sama sekali. Itulah kenyataannya!
Kalau umum berpendapat lain,
itu adalah kesalahan mereka sendiri. Apakah kalau umum
berpendapat keliru, kitapun harus ikut-ikutan dan
menganggap benar saja kekeliruan mereka itu"
Tidak, Thian Ki. Yang te rpenting bagi kita adalah
bahwa kita harus memiliki pendirian. Kalau kita
memang benar, dan hal ini tidak dapat kita
berbohong kepada diri sendiri, maka kita tidak
perlu takut akan pendapat umum. Andaikata
seluruh dunia menudingmu sebagai pencuri, hal
itu adalah masalah mereka asalkan engkau tidak
pernah mencuri. Sebaliknya, andaikata tak seorangpun mengetahui bahwa engkau mencuri,
namun itu menjadi masalahmu kalau engkau
benar-benar melakukan pencurian. Mengertikah
engkau, Thian Ki?" "Aku mengerti, ayah. Akan tetapi, pendapat
umum te ntang kami ini bukan fitnah, melainkan
timbul karena selama ini aku dan Eng-moi bergaul
sebagai kakak beradik. Jadi kalau mereka
menganggap kami kakak beradik, itu bukan
kesalahan mereka." Kembali Cian Bu Ong te rtawa. "Hal itu mudah
saja diubah. Mulai sekarang, engkau jangan
menyebut ayah kepadaku, melainkan suhu (guru).
Dan sebaliknya, Kui Eng menyebut ibumu bukan
lagi ibu, melainkan subo (Ibu guru). Kenyataannya
memang demikian, bukan" Engkau adalah muridku, dan Kui Eng juga banyak menerima
pelajaran dari subonya. Dan mulai sekarang,
umum akan kami beritahu bahwa kalian bukan
kakak beradik. Nah, beres, bukan?"
Thian Ki tidak dapat membantah lagi. Memang
ayahnya atau suhunya itu benar. Yang penting
adalah kenyataannya, bukan dugaan atau sangkaan orang, Betapapun juga, dia masih nanar.
Kui Eng menjadi tunangannya dan kelak menjadi
isterinya" Sukar sekali membayangkan hal ini
te rjadi dan mulai detik itu, te rjadi perubahan besar
dalam pandangannya terhadap Kui Eng.
"Sekarang berkemaslah, Thian Ki. Engkau harus
pergi mengunjungi pamanmu Si Han Beng di Hongcun. Makin cepat engkau te rbebas dari racun itu
semakin baik," kata ibunya.
"Kapan engkau akan berangkat?" tanya ayahnya
atau yang mulai sekarang harus dia sebut sebagai
gurunya. "Teecu akan berangkat secepatnya, besok pagipagi, suhu." kata Thian Ki tanpa ragu menyebut
guru kepada orang yang selama ini disebutnya
sebagai ayah. Cian Bu Ong te rtawa girang. Sebutan ini
menunjukkan betapa taatnya pemuda ini, juga
menandakan bahwa pemuda ini menerima usul dia
dan isterinya. "Bagus, aku girang sekali, Thian Ki. Engkaulah
muridku yang amat membesarkan hatiku."
"Terima kasih, suhu."
"Mari aku membantumu berkemas, Thian Ki,"
kata ibunya. Ibu dan ana k itu lalu memasuki
kamar Thian Ki, mempersiapkan keberangkatan
pemuda itu untuk merantau. Selain mempersiapkan buntalan pakaian dan uang
secukupnya, juga ibu itu membekali banyak
nasihat kepada pute ranya, menceritakan tentang
para tokoh dunia kangouw, te ntang peraturan
orang-orang kangouw dan memesan agar dia
berhati-hati. "Engkau harus berhati-hati dan
waspada te rhadap tiga macam orang, ana kku.
Mereka kelihatan sebagai orang-orang yang le mah,
namun kalau mereka sudah berkepandaian,
mereka merupakan lawan-lawan yang amat berbahaya. Mereka adalah para pengemis, para
pendeta dan para sastrawan, baik pria maupun
wanita. Jangan sekali-kali memandang rendah
kepada orang-orang yang nampaknya le mah.
Orang-orang yang bertubuh kokoh kuat biasanya
mengandalkan kekuatan mereka dan lawan macam
ini mudah ditanggulangi. Akan te tapi orang-orang
yang kelihatan le mah tadi dapat mengalahkan
kekuatan otot dan tulang." De mikian antara lain
ibu itu berpesan kepada puteranya.
"Saya masih ingat akan semua pesan ibu dan
suhu, ibu. Harap ibu jangan khawatir karena
ibupun tahu bahwa aku tidak suka bermusuhan."
"Kalau engkau berhasil bertemu dengan pamanmu Si Han Beng dan bibimu Bu Giok Cu,
sampaikan salam ibumu dan engkau boleh
menceritakan semua keadaan ibumu semenjak
ditinggal mati ayahmu. Mereka adalah pendekarpendekar yang gagah perkasa dan budiman dan
dari mereka engkau akan dapat menerima banyak
petunjuk." Sejak memasuki kamarnya, Kui Eng tidak
pernah kelihatan lagi oleh Thian Ki, seolah gadis
itu sengaja menghindar darinya. Hal ini meresahkan hati Thian Ki. Dia merasa seolah
dialah yang menjadi sebab gadis itu merasa
canggung dan malu. Bagaimanapun juga, tidak
mungkin dia dapat pergi sebelum berpamit kepada
gadis yang disayangnya sejak mereka masih
kanak-kanak itu. Kalau dia membayangkan kembali semua itu, ketika mereka masih kanakkanak, ketika mereka bermain bersama, berlatih
silat bersama, bahkan ketika Kui Eng suka marah
dan manja, dan dia selalu mengalah sebagai
seorang kakak yang menyayang, menjaga dan
melindunginya, memang sukar sekali membayangkan kelak mereka menjadi suami iste ri!
Bahkan ketika keluarga itu makan malam, Kui
Eng tidak muncul dan menurut ibunya, Kui Eng
merasa lelah dan makan di dalam kamarnya
dilayani pembantu dan tidak meninggalkan kamarnya. Cian Bu Ong hanya te rtawa senang
mendengar ini karena sikap Kui Eng itu dianggapnya bahwa gadis itu malu-malu kepada
Thian Ki dan sikap malu-malu seorang gadis
kepada calon suaminya diartikan bahwa Kui Eng
tidak menolak dan suka menjadi calon isteri Thian
Ki. Akan te tapi Thian Ki sendiri merasa khawatir
walaupun hal ini tidak diucapkannya.
Sim Lan Ci tahu akan isi hati puteranya
walaupun pemuda itu tidak mengucapkan sesuatu.
Maka, pada malam hari itu, ia mengetuk pintu
kamar pute ranya. Ketika Thian Ki membuka daun
pintu dan melihat ibunya yang datang berkunjung,
dia hendak bicara, akan tetapi Sim Lan Ci memberi
is yarat agar pute ranya tidak mengeluarkan suara,
lalu la berbisik, "Kalau engkau ingin menemui Kui
Eng dan berpamit, cepat pergilah ke kebun
belakang." Setelah berbisik demikian, ibu ini
kembali ke kamarnya. Kebun belakang itu sunyi, namun cuaca amat
indahnya karena bulan sudah berada di atas
kepala dan langit bersih. Sinar bulan yang le mbut
menyapu permukaan bumi dan bermain-main
pada daun-daun pohon, mendatangkan perpaduan
yang manis antara cahaya lembut dan bayangbayang kelabu. Kui Eng duduk di atas bangku
panjang, melamun dan menengadah memandangi
bulan yang dite mani beberapa buah bintang yang
suram di sana-sini. "Eng-moi......." Thian Ki yang menghampiri dari
belakang itu kini berdiri sekitar empat mete r dari
te mpat gadis itu duduk, memanggil lirih agar
degup jantungnya yang menggetarkan suaranya
tidak kentara. Kui Eng tidak merasa kaget dan ia menoleh,
berkata lirih, "Koko........?" lalu menundukkan
mukanya. Thian Ki merasa aneh. Biasanya, Kui Eng adalah
seorang gadis yang lincah, je naka, berani dan
galak. Akan te tapi sekarang menjadi begitu jinak
dan malu-malu" Diapun membayangkan gadis itu
seperti biasanya, seperti adiknya dan dengan hati
ringan dia mendekati, lalu duduk di ujung bangku
seperti biasa kalau mereka duduk di situ bersamasama. "Eng-moi, engkau kenapakah'" Thian Ki bertanya. "Engkau tidak enak badan dan lelah?"
Kui Eng mengerling dari bawah karena mukanya
masih menunduk, jari-jari tangannya utak-atik
memilin ujung bajunya. "Siapa bilang?"
"I bu," kata Thian Ki.
"Dan engkau besok akan pergi pagi-pagi, koko?"
"Benar, siapa bilang?"
"I bu.....eh, maksudku subo, ibumu........" kata
gadis itu maka tahulah Thian Ki bahwa ibunya
telah memberitahukan segalanya, juga bahwa
mulai saat itu Kui Eng harus menyebut subo
kepada ibunya. "Dan ia pula yang memberitahu
bahwa engkau nampak gelis ah dan ingin sekali
berte mu denganku. Benarkah?" Kini Kui Eng
mengangkat muka memandang. Dua pasang mata
berte mu dan keduanya merasa aneh sekali, seperti
saling berhadapan dengan seorang yang asing dan
baru pertama kali dijumpai dan dikenal.
"Benar, Eng-moi."
"Kenapa" Mau apa engkau ingin berte mu
denganku?" "Kui Eng, bagaimana aku dapat pergi sebelum
pamit darimu Eng-moi, kenapa sejak ayah........ eh,
suhu mengumumkan perjodohan kita, engkau lalu
bersembunyi dan tidak mau berte mu denganku"
Eng-moi, aku akan merasa susah sekali kalau
persoalan itu membuat engkau marah dan tidak
suka kepadaku." "Aku tidak marah, juga bukan tidak suka
kepadamu." "Lalu kenapa engkau seperti menjauhkan diri
sejak tadi, Eng-moi. Dan kalau ibu tidak memberi
tahu, agaknya engkau tidak akan keluar. Ibu pula
yang memberi tahu bahwa engkau berada di sini
maka aku datang menemuimu."
Kui Eng kembali menunduk dan di bawah sinar
bulan yang le mbut kuning kehijauan, nampak
perubahan pada warna muka gadis itu.
"Kenapa, Eng-moi?" Thian Ki mendesak.
Pertanyaan ini dijawab dengan pertanyaan pula
oleh Kui Eng." Koko, katakanlah apakah engkau
sayang kepadaku?" Kalau saja pertanyaan ini diajukan Kui Eng
kemarin, tentu Thian Ki akan menyambutnya
dengan tawa dan menggoda. Sekarang, te rdengarnya demikian aneh pertanyaan itu.! Akan
tetapi, Thian Ki menenangkan hatinya yang
te rguncang dan berdebar, lalu tersenyum. "Tentu
saja, Eng-moi. Aku sangat sayang kepadamu."
"Engkau sayang kepadaku setelah apa yang
dikatakan oleh ayah tadi?" Kini gadis itu kembali
mengangkat muka dan sinar matanya seperti
hendak menembus keremangan cuaca dan menembus dada Thian Ki menjenguk isi hatinya.
"Tentu saja, Eng-moi. Bagiku, menjadi calon
jodohmu atau bukan, aku tetap sayang kepadamu.
Di dunia ini hanya ada tiga orang yang kusayang,
yaitu ibuku, suhu, dan engkaulah."
"Dan Cin Cin?" tiba-tiba gadis itu bertanya.
Thian Ki terkeiut dan juga heran. "Cin Cin" Ah,
kau maksudkan Kam Cin itu" Aku hanya kasihan
kepadanya, Eng-moi. Kenapa engkau sebut dia?"
"Aku hanya bertanya."
"Tidak, aku tidak menyayang orang lain seperti
sayangku kepada kalian bertiga."
"Sayangmu kepadaku masih seperti yang sudah
sudah?" "Tentu."
"Seperti sayangnya seorang kakak kepada
adiknya." "Eh, ya, tentu......."
"Dan engkau tidak cinta padaku?"
Kalau saja Thian Ki bercermin pada saat itu dan
melihat wajahnya sendiri, te ntu dia akan melihat
betapa wajahnya nampak bodoh dan tolol saat itu.
Matanya te rbuka le bar dan kosong, mulutnya
te rnganga dan wajahnya seperti wajah seorang
anak kecil yang ditanya tentang soal hitungan yang
sulit. "Ehh........ohh......apa sih bedanya antara sayang
dan cinta" Aku jadi bingung, Eng-moi."
Kui Eng mengerutkan alisnya dan wajahnya
nampak kecewa sekali. Mulutnya cemberut. Ia
sendiri tidak mengerti, karena iapun tidak
mempunyai pengalaman. Hanya terasa benar oleh
kewanitaannya bahwa besar sekali bedanya antara
kedua perasaan dalam hatinya terhadap Thian Ki
sebelum dan sesudah ia mendengar bahwa
pemuda itu bukanlah kakak kandungnya, bahkan
bukan pula kakak tirinya, melainkan orang lain
yang tidak ada hubungan darah sama sekali.
Sejak itulah ia memandang Thian Ki dengan
mata dan hati yang berubah, dan kesayangannya
sebagai adikpun berubah pula. Kalau tadinya ia
membayangkan Thian Ki sebagai seorang kakak
yang baik dan dapat diandalkan, sesudah itu ia
selalu membayangkan Thian Ki dengan jantung
berdebar, mulai ia memperhatikan dan
menemukan ketampanan dan kejantanan dalam
diri pemuda itu.! Cinta kasih asmara memang aneh. Jelas jauh
bedanya antara cinta antara kakak beradik dengan
cinta antara seorang wanita dan seorang pria.
Cinta antara pria dan wanita adalah cinta asmara,
cinta yang mengandung berahi satu kepada yang
lain, berbeda dengan cinta seorang adik wanita
te rhadap kakak prianya yang jauh dari perasaan
berahi. Hal ini memang sudah merupakan pembawaan, merupakan anugerah dari Tuhan
yang disertakan kepada setiap orang manusia, pria
maupun wanita. N afsu atau gairah berahi memang
ada pada setiap orang, bahkan pada setiap
mahluk, karena nafsu berahi itu mutlak penting
bagi kelangsungan hidup setiap mahluk itu sendiri.
Nafsu berahi yang mendorong dua mahluk
berlainan jenis untuk saling te rtarik, saling
mendekati, kemudian,saling mencinta. Nafsu berahi mendorong seorang pria dan seorang wanita
untuk bersatu sehingga dari persatuan ini te rlahir
keturunan dan perkembangan-biakan pun tidak
akan terputus. Tidak demikian dengan cinta antara pria dari
wanita yang menjadi saudara kandung. Kalaupun
timbul gairah berahi di antara keduanya, maka
jelas bahwa hal itu tidaklah wajar bagi manusia,
tidak semestinya dan kalau dilanggar te ntu akan
menimbulkan akibat-akibat yang tidak baik. N afsu,
dalam bentuk apapun juga, kalau sudah menguasai manusia, tentu akan menyeret manusia
ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak wajar
dan tidak benar. Di samping semua daya rendah
yang menimbulkan nafsu, pada manusia disertakan pula akal budi. Akal budi inilah yang
membuat kita dapat mengerti mana yang benar
mana yang salah, mana yang baik mana yang
buruk. Akal budi ini yang membuat manusia
menjadi mahluk yang paling tinggi derajatnya di
antara segala mahluk di dunia ini, juga menjadi
mahluk yang paling kuat dan paling kuasa. Tanpa
akal budi, manusia akan menjadi mahluk yang
paling le mah, kita tidak akan menang melawan
seekor kucing sekalipun, karena kucing masih
memiliki taring dan kuku tajam. Apalagi melawan
binatang yang le bih kuat dan le bih besar. Kitapun
tanpa akal budi akan mudah sakit dan mati karena
kita tidak akan mempunyai te mpat dan pakaian
untuk berlindung. Akal budi bekerja sama dengan
nafsu daya rendah yang menjadi pendorongnya,
memungkinkan kita membuat s egala macam benda
keperluan hidup kita di dunia ini, memungkinkan
kita menikmati hidup ini. Akal budi pula yang
membuat kita dapat membedakan segala sesuatu,
mempertimbangkan segala sesuatu, dan akal budi
yang melahirkan Ilmu-Ilmu, peradaban, kebudayaan dan lain sebagainya yang menjadi isi
kehidupan manusia. "Kalau engkau cinta padaku, koko, engkau tentu
tidak akan meninggalkan aku, engkau tentu tidak
akan suka berpisah dariku," kata Kui Eng dengan
suara lirih. "Itukah sebabnya mengapa engkau murung dan
ingin ikut pergi denganku?" tanya Thian Ki.
Kui Eng mengangguk. "Sejak aku mendengar
bahwa di antara kita tidak ada hubungan darah
sama sekali, aku.....aku tidak ingin berpisah
darimu, koko. Dan itu pula yang membuat aku.......
merasa benci kepada Cin Cin. Aku tidak ingin
engkau mengasihi gadis lain, memikirkan gadis
lain, melindungi gadis lain. Aku hanya ingin
engkau untukku seorang.............. "
Thian Ki tertegun. Itukah cinta" Dia tidak
mengerti. Dia belum merasakan hal yang seperti
dirasakan oleh Kui Eng te rhadap dirinya. Belum
te rasa olehnya keinginan agar Kui Eng tak pernah
berpisah darinya, atau agar Kui Eng menjadi
miliknya, hanya untuk dia seorang. Barangkali
belum bersemi apa yang dinamakan cinta itu di
hatinya terhadap Kui Eng. Atau barangkali dia
yang bodoh. Bagaimanapun juga, dia harus dapat
menjawab dan memberi alasan, karena pandang
mata Kui Eng te tap menuntut agar dia menjawab,
apakah dia juga mencinta Kui Eng seperti yang
dirasakan gadis itu kepadanya.
"Eng-moi, engkau te ntu tahu bahwa aku pergi
untuk meluaskan pengetahuan dan menambah
pengalaman. Juga aku perlu sekali mencari adik
angkat mendiang ayahku, yaitu Naga Sakti Sungai
Kuning, paman Si Han Beng, untuk minta tolong
agar hawa beracun di tubuhku dapat dipunahkan.
Engkau te ntu sudah tahu pula bahwa selama hawa
beracun ini tidak lenyap dari tubuhku, aku tidak
bolen menikah. Oleh karena itu, sebelum keadaanku ini te rtolong, aku sama sekali tidak
dapat memikirkan tentang perjodohan."
Kui Eng mengangguk, lalu menundukkan
mukanya, menyembunyikan kekecewaan dan kesedihan yang membayang di mukanya. "Aku
mengerti, koko. Jadi, engkau akan pergi" Kapan
engkau akan pergi?" "Aku sudah berkemas, siap berangkat, besok
pagi-pagi." "Besok pagi-pagi" Ahh......!" Kui Eng te rkejut.
"Aku akan merasa kesepian sekali, koko. Ketika
engkau kami tinggalkan di rumah nenekmu dahulu
itu dan kita saling berpisah hampir dua tahun, aku
merasa tersiksa setengah mati. Dan sekarang,
engkau yang akan meninggalkan aku, dan aku
tidak boleh ikut denganmu......" Suara gadis itu
menjadi gemetar seperti akan menangis.
"Eng moi, aku tidak akan lama pergi. Setelah
berhasil, aku pasti akan segera kembali."
"Engkau tidak akan melupakan aku, bukan"
Engkau berjanji tidak akan melupakan aku?"
Thian Ki tersenyum dan memegang pundak
gadis itu, seperti yang sudah-sudah kalau dia
menghibur gadis ini. "Jangan khawatir, aku tidak
akan pernah melupakanmu."
Kui Eng te risak, bangkit lalu berlari meninggalkan Thian Ki yang masih sempat
mendengar ia te risak. Sampai lama pemuda ini
duduk di atas bangku, berulang kali menghela
napas panjang. Kini dia yakin bahwa Kui Eng
mencintanya, dan mengharapkan kelak menjadi
isterinya! Dia merasa bangga dan senang, akan
tetapi juga bingung dan ragu. Dia merasa senang
dan bangga dicinta seorang gadis hebat seperti Kui
Eng, akan tetapi adakah perasaan cinta yang sama
dalam hatinya terhadap Kui Eng" Dia sudah
te rlanjur menyayangnya seperti seorang adik!
-ooo0dw0ooo- Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Ki
sudah berpamit kepada ibunya dan suhunya.
Kedua orang tua itupun pagi-pagi sekali sudah
bangun, karena mereka hendak melihat Thian Ki
pergi. Thian KI menggendong sebuah buntalan yang
cukup besar, terisi pakaian dan uang, di punggungnya. Pemuda ini tidak pernah membawa
senjata walaupun dia telah mempelajari cara
menggunakan delapanbelas macam senjata dengan
mahir. Suhu dan ibunya duduk di beranda ketika
pemuda itu berpamit. Dia menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki kedua orang tua itu, mohon
diri dan mohon doa restu.
De ngan kedua mata basah, Sim Lan Ci mengelus
kepala pute ranya. Kini baru ia menyadari bahwa
pute ranya telah menjadi seorang pemuda dewasa,
telah menjadi seorang pria yang gagah dan yang
siap untuk terjun ke dalam dunia ramai seorang
diri, siap untuk mandiri dan sudah dibekali
kepandaian yang hebat. Dia tidak merasa khawatir.
Puteranya kini menjadi seorang yang amat lihai,
jauh le bih lihai dibandingkan ia sendiri, atau
mendiang ayah pemuda itu. Mungkin kini telah
memillki kepandaian setingkat dengan gurunya.
"Thian Ki, doa restuku selalu menyertaimu.
Engkau berhati-hatilah, nak. Jangan sekali-kali
engkau takabur. Walaupun engkau kini te lah
menguasai banyak ilmu silat yang cukup untuk
membela diri, namun ingatlah selalu bahwa di
dunia ini terdapat banyak sekali orang jahat yang
selain amat lihai, juga suka mempergunakan sias at
yang curang dan licik. Jangan menonjolkan diri
dan mencari permusuhan. Aku doakan semoga
engkau dapat berte mu dengan pamanmu Si Han
Beng. Syukurlah kalau dia dapat mengobatimu
sampai engkau te rbebas dari racun, karena kalau
engkau te rpaksa harus mencari Pek I Tojin atau
He k Bin Hwesio pekerjaan itu sungguh amar
sukar. Ke dua orang sakti itu bagaikan dewa, sukar
dicari bayangannya. Dan jangan lupa singgah di
dusun Ta-bun-cung mengunjungi keluarga Coa
yang memimpin He k-houw-pang, menengok keadaan keluarga mendiang ayah kandungmu."
"Baik, ibu. Semua nasihat dan pesan ibu akan
kulaksanakan," jawab Thian Ki.
"Semua pesan ibumu memang harus kautaati,
Thian Ki. Engkau te ntu masih ingat akan nama
nama dan keadaan para tokoh di dunia persilatan
seperti yang pernah kuceritakan kepadamu," kata
Cian Bu Ong. "Engkau boleh merantau untuk
meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan, akan tetapi ada satu hal yang aku
ingin engkau lakukan untukku."
Selama menjadi putera tiri dan murid bekas
pangeran itu, belum pernah Cian Bu Ong
menyuruh Thian Ki melaksanakan suatu tugas
te rtentu, maka kini mendengar ini, Thian Ki
merasa girang sekali. "Katakanlah, suhu. Apakah
yang harus kulakukan untuk suhu?" biarpun
masih agak merasa janggal dan kaku, Thian Ki
mulai memanggil bekas pangeran itu dengan
sebutan suhu, tidak lagi ayah seperti yang sudah,
memenuhi permintaan Cian Bu Ong yang menjodohkannya dengan Cian Kui Eng.
"Hanya ada satu pekerjaan yang ingin kulihat
engkau melakukannya untukku, akan te tapi
pekerjaan ini cukup berbahaya, Thian Ki. Ketahuilah, dahulu ketika aku masih menjadi
seorang pangeran, aku mempunyai banyak pusaka. Akan te tapi di antara semua pusaka itu,
yang paling kusayangi adalah sebatang pedang
yang disebut Liong-cu-kiam (Pedang Mustika
Naga). Ketika terjadi perang dan kota raja diserbu,
semua benda pusaka milikku itu terampas musuh.
Aku te lah mendengar bahwa pedangku Liong-cukiam itu kini berada di gudang pusaka is tana
kaisar, menjadi satu di antara benda-benda pusaka
rampasan. Nah, aku minta agar engkau singgah di
kota raja, mencoba untuk mengambil kembali
pedangku Liong-cu-kiam itu dari gudang pusaka di
kota raja." "Aih, akan tetapi itu berbahaya sekali!" kata Sim
Lan Ci cemas. Suaminya tersenyum. Kalau saja bukan isterinya
te rcinta yang mengatakan demikian, mungkin
bekas pangeran ini akan marah. Seruan itu sama
saja dengan memandang rendah muridnya, anak
tirinya bahkan calon mantunya!
"Thian Ki bukan kanak-kana k lagi dan aku yakin
dia akan mampu melakukannya. Kalau saja aku
sendiri tidak dikenal ole h banyak orang di kota
raja, agaknya te ntu aku sendiri yang akan
mengambil benda pusakaku itu."
"Suhu, aku akan melaksanakan pesan suhu itu.
Ibu, harap jangan khawatir. Aku akan berhati hati
sekali karena aku tahu bahwa di kota raja, apalagi
di gudang pusaka, te ntu penjagaannya kuat
sekali." Setelah menerima pesan dan nasehat kedua
orang tua itu, Thian ki berangkat. Kedua orang tua
itupun berpesan wanti-wanti agar perantauannya
ini paling lama dua tahun, dia harus pulang.
Sebetulnya, hati Thian Ki agak berat untuk
berangkat karena dia belum melihat Kui Eng
keluar menemuinya. Kenapa gadis itu tidak keluar
dan melihat dia berangkat" Apakah Kui Eng marah
kepadanya karena dia hendak pergi meninggalkannya" Untuk bertanya kepada ibunya
atau gurunya te ntu saja dia merasa malu, karena
kini Kui Eng bukan lagi sebagai adiknya, melainkan tunangannya, calon iste rinya.
Ketika dengan hati agak berat dia meninggalkan
dusun dan keluar dari pintu gerbang dusun itu,
hari masih pagi sekali dan cuaca masih agak
remang, hawanya dingin dan suasana masih amat
sunyi karena para penduduk dusun belum
berangkat ke sawah ladang mereka. Tiba-tiba
wajahnya berseri ketika ia
melihat sesosok bayangan berdiri menghadang perjalanannya, di
luar dusun itu.
"Eng-moi.........!!" dia berseru sambil melangkah
cepat menghampiri gadis itu yang berdiri di tengah
jalan. "Eng-moi, pantas saja sejak tadi aku tidak
melihat engkau muncul dari kamarmu. Kiranya
engkau malah s udah berada di sini!"
Gadis itu te rsenyum. Memang manis sekali Kui
Eng. Sepagi itu, biarpun belum mandi, belum
bersolek, rambutnya masih kusut, demikian pula
pakaiannya belum diganti yang baru, namun
kecantikannya nampak le bih asli, tanpa bedak
tanpa gincu. "Koko, apakah engkau mengharapkan aku
keluar menemuimu?" "Tentu saja. Bukankah aku akan pergi" Hatiku
merasa tidak enak sekali tadi, terpaksa meninggalkan rumah sebelum sempat berpamit
denganmu yang kukira masih tidur."
Hati Kui Eng merasa gembira bukan main. "Koko
Thian Ki, tahukah engkau bahwa malam tadi aku
tidak pernah tidur barang sekejappun" Dan tadi,
le wat tengah malam, aku sudah turun dari
pembaringan dan diam-diam aku sibuk di dapur."
"Lewat tengah malam sibuk di dapur" Untuk
apa?" tanya Thian Ki heran.
"Untuk membuat ini!" katanya dan gadis itu
memperlihatkan bungkusan-bungkusan kepada
Thian Ki, wajahnya tersipu namun berse ri gembira.
"Aku menyembelih ayam dan menggorengnya,
memasaknya seperti kesukaanmu, dan memanggang roti......untuk bekalmu di jalan, koko.
Turunkanlah buntalanmu itu agar kumasukkan
bungkusan ini ke dalam buntalanmu."
De ngan hati terharu Thian Ki menurunkan
buntalan pakaiannya dan menyerahkannya kepada
Kui Eng. Gadis itu membuka buntalan, menaruh
bungkusan makanan ke dalam buntalan dan tibatiba ia berkata dengan suara yang sedih. "Koko,
engkau akan pergi merantau seorang diri. Bagaimana kalau pakaianmu kotor dan robekrobek" Siapa yang akan mencuci pakaianmu dan
menjahit yang robek" Aih, kalau aku boleh pergi
bersamamu, te ntu aku yang akan mencuci
pakaianmu, memasakkan makanan untukmu, dan
menjahit pakaianmu yang robek."
Thian Ki menerima kembali buntalan pakaiannya dan menalikan di punggungnya seperti
tadi. Tercium olehnya bau masakan daging ayam
yang sedap, dan te rasa betapa bungkusan
makanan yang kini berada dalam buntalan di
punggungnya itu masih hangat.
"Eng-moi, engkau baik sekali. Terima kasih atas
kebaikanmu ini, Eng-moi. Aku pergi takkan lama.
Ibu dan suhu memesan agar paling lama a ku pergi
dua tahun, harus sudah pulang."
"Dua tahun" Aih, lama amat, koko! Aku.....lalu
aku bagaimana............?"
Mendengar suara gadis itu tergetar seperti
hendak menangis, Thian Ki yang tidak ingin
diantar tangis segera berkata sambil tersenyum.
"Aih adik yang manis, mana kelincahanmu yang
biasa" Engkau biasanya lincah jenaka dan tidak
cengeng............"
"Akupun tidak cengeng!" Kui Eng berkata dan
membalikkan tubuh, berdiri membelakangi Thian
Ki. "Koko, engkau berangkatlah, pergilah!"
"Eng-moi, jagalah ibu dan suhu baik-baik
selama aku tidak berada di rumah. Nah, Eng-moi,
aku pergi sekarang. Selamat tinggal."
Kui Eng tidak menjawab, bahkan tidak lagi
menengok. Karena mengira bahwa gadis itu tidak
mau melihat dia pergi, Thian Ki melangkah
meninggalkannya. Akan te tapi baru lima langkah,
dia berhenti dan membalikkan tubuhnya. Dia
mendengar tangis tertahan dan ketika dia menengok, dia melihat gadis itu menangis,
mencoba untuk tidak bersuara, akan te tapi kedua
pundaknya bergoyang-goyang, kepalanya menunduk dan kedua tangannya menutupi mukanya
Komentar
Posting Komentar