NAGA BERACUN JILID 18
"Nona, aku sudah mendengar bahwa engkau
33333; font-size: 18px;">mencari Pangeran Cian Bu Ong untuk membunuhnya. Nah katakan, kenapa engkau
hendak membunuh Pangeran Cian Bu Ong, apa
kesalahannya kepadamu?"
Cin Cin menatap tajam wajah yang jantan itu
dan bertanya. "Apakah engkau Pangeran Cian Bu
Ong?" Pangeran Cian Bu Ong tersenyum. "Aku bukan
seorang pengecut. Kalau aku menyembunyikan
nama dari umum, hal itu hanya agar keluargaku
dapat hidup dengan te nteram. Akan tetapi kalau
ada yang memusuhiku secara pribadi, aku tidak
akan lari bersembunyi atau mengelak. Aku
memang bekas Pangeran Cian Bu Ong. Nah,
katakan kenapa engkau hendak membunuhku.!"
Cin Cin melepaskan kalung mutiara dari
le hernya, lalu melemparkan kalung itu ke arah
Cian Bu Ong sambil berseru. "Cian Bu Ong, lihat
benda ini dan engkau akan tahu mengapa aku
hendak membunuhmu!" Tentu saja ia menyambitkan kalung itu dengan pengerahan
te naga sin-kang sehingga yang nampak hanya
sinar putih berkilau menyambar ke arah muka pria
tua itu. Namun, dengan te nang saja Cian Bu Ong
menyambut benda itu, walaupun di dalam hatinya
diam-diam dia terkejut mendapat kenyataan betapa kuatnya sambitan ketika benda itu
disambutnya. Dan ketika dia melihat benda itu,
sebuah untaian kalung dari mutiara yang besarbesar dan indah, matanya terbelalak.
"Sui Lan.........!" gumamnya seperti dalam mimpi
dan te rbayanglah semua pengalaman hidupnya di
waktu dia masih muda. Dia pernah bertemu de
ngan seorang gadis yang mendatangkan rasa
kagum dalam hatinya, bukan hanya oleh kecantikannya yang luar biasa, akan te tapi juga
karena gadis itu memiliki ilmu kepandaian silat
yang cukup tinggi disamping ilmunya bermain
dalam air. Gadis itupun kagum kepadanya dan
mereka saling jatuh cinta. Demikian besar cinta
gadis itu kepadanya sehingga gadis itu menyelam
ke dalam lautan yang berbahaya, mengumpulkan
banyak mutiara pilihan dan membuat kalung dari
untaian mutiara yang amat berharga, lalu memberikan kalung itu kepadanya sebagai tanda
cinta! De mikian te rharu hatinya oleh hadiah ini
sehingga dia pernah mengatakan bahwa dia akan
menghargai kalung itu seperti nyawanya sendiri.
Mereka saling jatuh cinta, bahkan gadis yang
bernama Bhok Sui Lan itu sudah menyerahkan diri
kepadanya. Hal ini saja sebetulnya sudah mendatangkan sedikit kekecewaan di dalam hatinya. Betapa mudahnya Sui Lan menyerahkan
diri kepadanya, walaupun hal itu dianggapnya
sebagai pernyataan cinta kasih yang tulus. Mereka
memang sudah bersepakat untuk menikah. Akan
tetapi kemudian dia mendengar bahwa Bhok Sui
Lan adalah s eorang gadis kang-ouw yang termasuk
golongan sesat, atau golongan hitam. Gadis itu
datang dari keluarga para tokoh sesat yang
te rkenal, dari golongan manusia yang berwatak
iblis. Tidak pernah mau mengenal peraturan dan
selalu mendatangkan kekacauan dengan perbuatan mereka yang te ramat keji dan jahat. Hal
ini membuat dia memaksa hatinya yang mencinta
untuk meninggalkan dan melupakan Sui Lan dan
diapun menikah dengan gadis lain. Dia adalah
seorang pangeran yang bercita-cita tinggi, kalau
mungkin dapat menggantikan kedudukan kaisar.
Bagaimana mungkin seorang calon kaisar menikah
dengan seorang gadis golongan sesat yang jahat"
Hal itu tentu akan mencemarkan seluruh nama
keluarga Kerajaan Sui! Dia mengembalikan kalung mutiara itu kepada
Sui Lan, kemudian meninggalkan gadis itu dan
diapun tidak takut menghadapi Sui Lan walaupun
gadis itu lihai karena tingkat kepandaiannya le bih
tinggi. Pula dia seorang pangeran yang memiliki
banyak jagoan dan banyak pengawal sehingga
gadis itu sama sekali tidak akan mampu berbuat
sesuatu untuk mengganggunya. Dia sudah hampir
melupakan Sui Lan karena hal itu sudah terjadi
puluhan tahun yang lalu. Dan hari ini, tiba-tiba
saja seorang gadis datang mengembalikan kalung
itu kepadanya dan mengatakan hendak membunuhnya! Dia mengamati kalung itu, menyebut nama bekas kekasihnya dan mengangkat muka lagi memandang kepada Cin
Cin, gadis itu te rsenyum mengejek.
"Nona, apa hubunganmu dengan Sui Lan"
Bukan Bhok Sui Lan sekarang telah terkenal
dengan julukan Tung-hai Mo-li (Iblis Betina Lautan
Timur )?" tanyanya, suaranya masih te nang
walaupun hatinya terasa te gang.
"Bagus kalau engkau masih ingat nama subo
Bhok Sui Lan! Aku adalah muridnya dan ia
mengutusku untuk menukar kalung itu dengan
nyawamu." Mendengar ini, Kui Eng membentak, "Perempuan
iblis, siapa takut padamu" Ibu, koko, mari kita
basmi siluman jahat ini!"
Akan te tapi Cian Bu Ong mengangkat tangan
atas. "Kalian tidak boleh mencampuri. Ini adalah
urusan pribadiku, urusan ketika aku masih muda
dan kalian belum ada bersamaku."
Mendengar ucapan bekas pangeran itu, Sim Lan
Ci, Thian Ki dan Kui Eng tidak berani bicara lagi,
hanya menjadi penonton yang berhati tegang. Cian
Bu Ong lalu berkata kepada Cin Cin, suaranya
berwibawa. "Nona, aku memang ada urusan dengan
gurumu. Kalau ia mendendam kepadaku kenapa
bukan ia sendiri yang datang membuat perhitungan denganku di sini" Kenapa harus
engkau, seorang gadis muda yang mencari
keributan di sini?" "Cian Bu Ong, hal itu adalah urusan antara
kami guru dan murid. Aku mewakili subo untuk
membalas dendam ini. Aku bukan orang yang suka
cari keributan dan tidak suka membuat kekacauan. Juga aku bukan seorang yang curang.
Kalau engkau tidak menghendaki keributan di
dusunmu ini, dan agar engkau dapat bersiap-siap
menghadapiku , biarlah kuberi waktu sampai
besok sore. Setelah matahari condong ke barat,
aku menantimu untuk membuat perhitungan di
luar dusun sebelah barat di te pi sungai. Nah,
selamat malam!" Setelah berkata demikian, Cin Cin
membalikkan tubuhnya meninggalkan pekarangan
itu dengan langkah gagah.
Kui Eng yang merasa penasaran sudah melangkah maju hendak mengejar, akan te tapi
le ngannya dipegang oleh ayahnya. "Jangan kejar,
biarkan ia pergi." Sim Lan Ci yang sejak tadi hanya menjadi
penonton dan pendengar, mengerutkan alisnya dan
kini iapun bertanya kepada suaminya. "Sebenarnya
siapa sih itu Tung-hai Mo li Bhok Sui Lan dan
mengapa ia mengirim muridnya untuk menukar
kalung mutiara itu dengan nyawamu?"
Lurah Cian Bu atau bekas Pangeran Cian Bu
Ong itu menghela napas panjang. Sambil mempermainkan kalung mutiara
itu diapun berkata, "Mari kita masuk ke dalam dan akan
kuceritakan semua kepada kalian, agar kalian tahu
apa yang te lah terjadi dan mengapa hari ini terjadi
peristiwa yang membuat kalian semua merasa
heran dan penasaran itu."
Mereka berempat masuk ke dalam rumah dan di
ruangan dalam, duduk mengelilingi meja besar,
bekas pangeran itu menceritakan riwayatnya
dengan Bhok Sui Lan. Sebagai penutup ceritanya
dia berkata, "Me mang tadinya kami
saling mencinta, bahkan kami sudah bersepakat untuk
menikah. Akan te tapi setelah aku tahu latar
belakang kehidupannya, bagaimana mungkin aku
yang ketika itu seorang Pangeran yang mendambakan kedudukan sebagai kaisar dapat
menikah dengan seorang gadis dari keluarga para
tokoh sesat yang amat jahat dan yang namanya
sudah te rcemar" Aku mengembalikan kalung
pemberiannya ini dan mengucapkan selamat
berpisah. Tidak kusangka selama ini ia menyimpan
dendam padaku." Karena urusan cinta gagal itu terjadi ketika
suaminya masih muda dahulu, jauh sebelum
berte mu dengannya, maka Sim Lan Ci juga tidak
merasa te rsinggung. Ia hanya ikut menyesal dan
bertanya, "Kalau memang ia mendendam, kenapa
tidak sejak dahulu ia membalas dendamnya
kepadamu?" Cian Bu te rsenyum. "Tentu saja ia tidak berani.
Selain ketika itu ilmunya tidak akan menang
melawanku, juga sebaqai pangeran te ntu saja aku
mempunyai banyak pengawal yang pandai."
"Tapi sekarang?" tanya isterinya.
Cian Bu menghela napas panjang. "Entahlah,
tetapi melihat gerakan gadis tadi, jelas kini Tunghai Mo-li te ntu telah memperdalam kepandaiannya. Tadi kulihat engkau dan Thian Ki
seperti telah mengenalnya, benarkah?"
"Benar, kami mengenalnya. Ia bernama Kam Cin
dan biasa dipanggil Cin Cin. Ia puteri ketua Hekhouw-pang yang te was pula ketika terjadi penyerbuan malam itu......." Sim Lan Ci teringat
akan keterlibatan suaminya dalam penyerbuan itu
dan menahan ucapannya. "Tapi kenapa tiba-tiba ia muncul sebagai murid
Tung-hai Mo-li?" tanya Cian Bu sambil
mengerutkan alisnya yang te bal. Bagaimanapun
juga, ayah gadis itu, ketua Hek-houw-pang, te was
oleh lima orang anak buahnya. Kalau gadis itu
mengetahuinya, bukan untuk subonya saja ia
datang hendak membunuhnya, juga te ntu untuk
membalas kematian ayahnya!
"Kami juga tidak mengerti. Ketika aku kembali
ke dusun Ta-bun-cung dulu itu, kami mendengar
bahwa Cin Cin diantar oleh susioknya (paman
gurunya) untuk menjadi murid Huang-ho Sin-liong
(Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng. Entah
bagaimana kini tiba-tiba saja ia muncul sebagai
murid Tung-hai Mo-li."
Bekas pangeran itu mengangguk-angguk dan
meraba dagunya yang ditumbuhi je nggot yang
te rawat rapi. Kalau gadis itu murid Huang-ho Sinliong tidak aneh kalau ia lihai sekali. Akan te tapi ia
mengakui Tung-hai Mo-li sebagai gurunya.
"Bagaimanapun juga, aku melihat bahwa gadis
itu memiliki watak yang gagah. Buktinya, ia
memberi waktu kepadaku untuk bersiap sampai
besok sore." "Engkau hendak menandinginya?" tanya isterinya khawatir. "Engkau khawatir aku kalah?"
Sim Lan Ci menggeleng kepala. Ia maklum akan
kemampuan suaminya dan ia tadi sudah melihat
kelihaian Cin Cin. Bagaimanapun juga, sukar
dapat dipercaya kalau gadis itu akan mampu
mengalahkan suaminya.
"Aku justeru khawatir engkau membunuhnya
hingga permusuhan akan menjadi semakin parah
padahal, biarpun agak jauh, te tap saja ia masih
keponakanku dan saudara misan Thian Ki."
Cian Bu te rsenyum. "Engkau kira aku ini orang
macam apa hendak membunuh seorang gadis
muda yang menjadi lawanku" Jangan khawatir,
aku tidak akan mencelakainya. Kalau memang Sui
Lan hendak membalas dendam kepadaku, ia harus
datang sendiri. Tidak menyuruh orang lain."
Diam-diam bekas pangeran ini merasa terharu
karena dia mengenal betul watak Sui Lan. Wanita
itu bukan seorang penakut, bahkan sangat
pemberani. Kalau ia mengutus muridnya, hal itu
pasti bukan karena ia takut maju sendiri. Satusatunya sebab yang dapat menyebabkan Sui Lan
tidak datang sendiri adalah bahwa ia masih
mencintanya! Sui Lan agaknya tidak pernah
melupakannya, menaruh dendam akan tetapi tidak
mau turun tangan sendiri karena agaknya yakin
bahwa kalau berhadapan muka, Sui Lan tidak
akan te ga mencelakainya karena masih mencintanya. Kalam itu, Cian Bu tidur nyenyak, sedikitpun
agaknya tidak memikirkan te ntang tantangan Cin
Cin untuk membuat perhitungan besok sore. Akan
tetapi sebaliknya, Sim Lan Ci dan Thian Ki tidak
dapat tidur, merasa gelisah membayangkan apa
yang akan te rjadi esok. Ketika malam itu Sim Lan Ci menyelinap dari
dari dalam kamarnya, meninggalkan suaminya
yang sedang tidur nyenyak, ia mendapatkan
pute ranya duduk te rmenung seorang diri di
ruangan belakang. Melihat ibunya. Thian Ki segera
menyambut dengan pertanyaan, "Kenapa ibu
belum tidur?" "Kulihat engkaupun belum tidur masih melamun
di sini, Thian Ki. Agaknya pikiran kita sama.
Engkau juga memikirkan Cin Cin, bukan?"
"Benar, ibu. Aku khawatir sekali membayangkan
apa yang akan te rjadi besok sore." "Thian Ki, tadi
agaknya Cin Cin te lah mengenalmu. Mengapa ia
memakimu sebagai monyet jelek?"
Wajah Thian Ki berubah kemerahan. Tentu saja
dia merasa malu untuk menceritakan peristiwa itu
kepada ibunya, dan dia tidak tahu harus menjawab
bagaimana s ehingga dia menunduk saja.
"Thian Ki, apakah ada kaitannya dengan ketika
engkau pulang bertelanjang dada membawa dua
ekor ikan itu?" Thian Ki mengeluh dalam hatinya. Ibunya
adalah seorang wanita yang cerdik sekali, bagaimanapun sukar untuk membohonginya. Dia
harus menceritakan pertemuannya dengan Cin
Cin, te ntu saja tanpa menyebut dan menyinggung
te ntang dia dan Cin Cin saling melihat masingmasing bertelanjang bulat!
"Benar, ibu. Akan te tapi ketika kami saling
jumpa di te pi sungai itu, kami tidak saling
mengenal. Ketika itu aku hendak mandi dan sudah
membuka baju, ketika aku melihat dua ekor ikan
itu menggelepar di balik semak. Aku menangkap
dua ekor ikan itu. Tidak tahunya, ia muncul dan
marah-marah, mengatakan bahwa aku hendak
mencuri ikan miliknya. Lalu sebagai gantinya, ia
dengan marah membuang bajuku yang sudah
kutanggalkan ke te ngah sungai sampai hanyut,
lalu ia memaki aku monyet jelek dan pergi. "
Terpaksa Thian Ki berbohong dan mengubah
kejadian yang sebenarnya kepada ibunya, karena
bagaimanapun te ntu saja dia merasa malu untuk
bicara terus terang tentang ketelanjangan itu.
Ibunya mendengarkan penuh perhatian dan
menarik napas panjang. "Hemm, ia masih lincah,
je naka dan pemberani seperti dahulu, hanya kini
bertambah galak dan lihai. Thian Ki, bagaimanapun juga, kita harus mencegah te rjadinya perkelahian antara ia dan ayahmu."
"Akan tetapi bagaimana caranya, ibu" Ayah
sudah mengatakan bahwa itu urusan pribadinya
dan kita tidak boleh mencampuri. Ayah benar dan
aku tidak berani untuk membujuknya."
"Engkau harus dapat membujuk Cin Cin agar
membatalkan perkelahiannya dengan ayahmu.
Kalau aku yang membujuk, kurang baik. Engkaulah yang le bih dekat dengannya, karena
ayahmu adalah saudara sepupu ibunya. Engkau
bujuklah ia agar tidak melanjutkan kehendaknya
menantang ayahmu." Thian Ki membayangkan Cin Cin yang demikian
galak te rhadap dirinya dan diam-diam dia merasa
je rih juga. Gadis itu demikian galak seperti
harimau betina. Akan tetapi, ketika itu Cin Cin
belum mengetahui bahwa dia adalah Thian Ki.
Mungkin kini sikapnya berubah le bih lunak,
mengingat betapa dulu, ketika dia menjadi tamu
keluarga gadis itu bersama ayah ibunya, mereka
adalah saudara misan yang bersahabat karib.
"Baiklah, ibu. Akan kucoba besok. Akan kucari
Cin Cin sebelum ayah pergi ke sana menyambut
tantangannya." Setelah bicara dengan Thian Ki, agak le galah
hati Sim Lan Ci dan wanita inipun kembali ke
kamarnya dan tidur di samping suaminya. Thian Ki
juga memasuki kamarnya dan semalam itu dia
gelisah, membayangkan perte muannya dengan Cin
Cin dan mencari-cari cara dan jalan untuk
membujuk gadis itu tanpa dapat menemukan cara
te rbaik sampai akhirnya dia kelelahan dan tertidur
menjelang pagi. Sejak tengah hari. Thian Ki sudah berkeliaran di
sepanjang tepi sungai sebelah barat sungai Kuning
untuk mencari Cin Cin. Dia sama sekali tidak
menduga bahwa gadis itu semalam tidur di rumah
milik janda miskin di ujung dusun, dan gadis yang
berhati-hati itu tidak mau keluar dari rumah
sebelum matahari mulai condong ke barat. Ketika
siang hari itu Thian Ki tiba di tepi sungai tentu s aja
dia tidak dapat menemukan Cin Cin yang masih
berada di rumah kecil itu bersama wanita pemilik
rumah, bahkan masak-masak bersama wanita itu
yang merasa suka sekali kepada gadis itu.
Sambil masak berdua di dapur, wanita yang
mulai merasa suka sekali kepada Cin Cin berkata,
"Nona, kalau aku boleh bertanya, apakah nona
sudah..........eh, sudah menikah atau bertunangan"
Maafkan pertanyaanku, aku tidak bermaksud
untuk bersikap kurang ajar."
"Ah, tidak mengapa, bibi. Aku belum menikah,
juga tidak bertunangan. Kenapa sih bibi menanyakan hal itu" Apakah bibi ingin mengambilku sebagai mantu untuk dijodohkan
dengan pute ramu yang pergi tak pernah memberi
kabar itu?" Wanita itu te rsipu. "Aih, nona harap jangan
mengolok-olok. Orang seperti kami ini mana pantas
untuk menarik nona menjadi anggota keluarga"
Bukan itu maksudku tadi, aku kagum dan suka
kepadamu, dan aku hanya ingin tahu saja. Kalau
seorang gadis seperti nona ini, paling tidak harus
berjodoh dengan seorang pemuda yang pilihan,
seperti.......seperti misalnya Cian Kongcu itu."
"Cian Kongcu..........?"
"Maksudku, putera lurah kami itu.......... "
Cin Cin teringat dan te rbayanglah wajah Thian
Ki, bukan hanya wajahnya, melainkan seluruh
tubuh pemuda yang pernah dilihatnya telanjang
bulat itu dan iapun te rtawa. "Monyet.......monyet
jelek itu." Kini wanita itu yang memandang dengan mata
te rbelalak. "Monyet jelek" N ona, putera lurah Cian
amat tampan dan gagah, juga manis budi
walaupun agak pendiam."
"Sudahlah, bibi, jangan bicara te ntang orang
lain. Masakannya sudah matang dan perutku
sudah lapar. Mari kita makan."
De mikianlah, ketika matahari sudah condong ke
barat dan Cin Cin meninggalkan rumah kecil itu
menuju ke te pi sungai di luar dusun, ucapan
wanita itu te rngiang lagi di telinganya dan diapun
melangkah sambil melamun. Teringatlah kenangan
lama, ketika Thian Ki bersama ayah ibunya
menjadi tamu orang tuanya. Betapa orangtuanya
dan seluruh keluarga He k-houw-pang menghormati para tamu itu, dan betapa ia dan
Thian Ki telah bersahabat baik. Kemudian, teringat
pula ia akan perte muannya dengan pemuda itu di
te pi sungai dan mau tak mau ia tersenyum geli.
Akan te tapi hanya sebentar karena ia segera
te ringat lagi bahwa kini Thian Ki yang dulu bukan
lagi Thian Ki yang sekarang. Sekarang dia adalah
anak tiri Cian Bu Ong, musuh besar gurunya yang
harus dibunuhnya! Heran ia memikirkan bagaimana ibu Thian Ki yang ditinggal mati
suaminya itu kini tahu-tahu telah menjadi isteri
bekas pangeran itu. "Cin Cin........."
Gadis itu terkejut dan sadar dari lamunannya,
menahan langkahnya dan tahu-tahu Thian Ki telah
berada di depannya. Ia mengerutkan alis, heran
dan juga penas aran karena yang ia nantikan
adalah Cian Bu Ong, bukan Thian Ki.
"Hemrn, kiranya engkau. Mau apa engkau
menghadangku?" tanyanya dengan sikap dan
suara yang ketus. Thian Ki melangkah maju mendekat. "Cin Cin,
aku adalah Thian Ki, saudara misan dan sahabatmu......"
Cin Cin mundur dua langkah. "Jangan mendekat.! Engkau bukan lagi Thian Ki putera
paman Coa Siang Lee, melainkan Thian Ki anak
musuh besarku Cian Bu Ong!"
Sedih sekali hati Thian Ki melihat sikap
mendengar ucapan itu. "Cin Cin, bersikaplah adil.
Memang benar bahwa ibuku telah menjadi janda
dan kini telah menjadi isteri bekas pangeran Cian
Bu Ong, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa ibu
dan aku menjadi musuhmu. Pula, engkau sendiri
tidak mempunyai permusuhan apapun dengan
ayah tiriku itu. Cin Cin, dengarlah baik-baik,
urusan antara ayah tiriku dan gurumu, urusan itu
adalah urusan pribadi, urusan mereka berdua,
tidak ada hubungann ya dengan kita. Mereka
dahulu saling mencinta, akan tetapi kemudian
ayah tiriku te rpaksa meninggalkannya, dan sama
sekali bukan kesalahan ayah tiriku........ "
Cin Cin melotot dan mukanya kemerahan,sinar
matanya berkilat. "Huh, kalian laki-laki memang
mau enaknya sendiri saja! Guruku di waktu gadis
telah menyerahkan segala-galanya kepada Cian Bu
Ong, mencintanya dengan seluruh jiwa raganya.
Akan tetapi Cian Bu Ong malah meninggalkannya
dan menikah dengan gadis lain. Apa ini bukan
perbuatan yang khianat dan hina" Guruku sejak
itu hidup merana, tidak pernah menikah lagi.
Tidak pernah berdekatan lagi dengan laki-laki lain,
seluruh sisa hidupnya dipergunakan untuk memperdalam ilmu agar kelak dapat membalas
dendam kepada Cian Bu Ong. Dan sekarang
engkau, anak tiri Cian Bu Ong, mengatakan bahwa
dia tidak bersalah. Apakah guruku yang disiasiakan itu yang salah" Jawab!"
Diberondong serangan kata-kata itu, Thian Ki
agak gelagapan juga. Dia memang seorang yang
tidak begitu pandai bicara, bahkan condong
pendiam. Kalau kini dia dapat mengeluarkan
banyak kata-kata, hal itu adalah karena rasa
khawatirnya, bukan terhadap ayah tirinya yang dia
tahu seorang sakti, melainkan terhadap Cin Cin.
"Gurumu juga tidak bersalah, Cin Cin. Akan
tetapi ayah tiriku juga tidak bersalah. Mereka,
sebagai dua orang kekasih, mereka telah menjadi
korban keadaan. Mereka memang saling mencinta
dan sudah bermaksud untuk menjadi suami isteri.
Akan te tapi kemudian Pangeran Cian Bu Ong
mendapat kenyataan bahwa kekasihnya itu adalah
seorang anggota keluarga tokoh-tokoh sesat yang
te rsohor karena kejahatan dan kekejaman mereka.
Sebagai seorang pangeran yang bercita-cita menjadi kaisar, te ntu saja Pangeran Cian Bu Ong
tidak ingin mencemarkan nama keluarga kerajaan
dengan menikahi kekasihnya itu, maka te rpaksa
dia meninggalkannya."
"Alasan kosong! Buktinya dia sekarang tidak
menjadi kaisar, malah menjadi lurah saja, dan
berganti nama pula.! Thian Ki, jangan engkau
mencampuri urusanku. Apapun alas annya, Cian
Bu Ong te lah menghancurkan kehidupan guruku,
dan guruku mengutus aku untuk membunuhnya,
maka hal itu akan kulakukan dan siapapun tidak
boleh menghalangiku!"
"Cin Cin, jangan kaulanjutkan niatmu yang siasia itu.......... " "Apa" Engkau berani melarangku" Engkau
hendak membela ayah tirimu itu ya?"
"Bukan membela, Cin Cin. Dia tidak perlu
dibela. Aku mencegah perkelahian ini karena aku
tidak ingin melihat engkau cedera atau tewas. Ayah
tiriku itu seorang yang sakti, Cin Cin. Engkau
bukan lawannya." Ucapan ini bagaikan minyak disiramkan kepada
api, membuat Cin Cin menjadi semakin marah.
"Kaukira aku takut" Untuk membela guruku, aku
akan mempertaruhkan nyawaku! Dan aku hendak
melihat sampai dimana kehebatan laki-laki yang
telah merusaak kehidupan guruku itu! Jangan
engkau mencampuri.!" Cin Cin bertolak pinggang
menghadapi Thian-Ki dengan sikap marah sekali.
"Kenapa dia tidak datang" Apakah Cian Bu Ong
hanya seorang pengecut yang mengirim putera
tirinya untuk membujuk agar aku mau mundur?"
Thian Ki tidak menjawab, bahkan mundur
beberapa langkah karena dia tahu bahwa ayah
tirinya sudah berada di situ.
"Nona. aku sudah berada di sini!" terdengar
suara Cian Bu Ong yang berwibawa dan te nang.
Kemudian dia berkata kepada Thian Ki. "Thian Ki,
sudah kukatakan bahwa ini urusan pribadi,
engkau tak boleh mencampuri."
"Maafkan saya, ayah," kata Thian Ki dengan hati
te rpukul dan dia hanya berdiri menjadi penonton,
jantungnya berdebar tegang.
"Bagus engkau sudah datang, Cian Bu Ong!"
kata Cin Cin. "Maaf, aku tidak tahu bahwa Thian Ki telah
mendahuluiku. Nah, aku sudah siap sekarang,
nona." "Singgg........!!" Nampak sinar berkilauan ketika
gadis itu mencabut Koai-liong-kiam dari sarung
pedang. Pedang pusaka yang ampuh itu merupakan sebatang pedang yang tajam dan
bentuknya seperti seekor naga.
"Cian Bu Ong, keluarkan senjatamu!" bentak Cin
Cin dan dengan gagahnya dan ia sudah memasang
kuda-kuda dengan pedang di tangan.
Cian Bu Ong tetap bersikap tenang. Teringat dia
kepada bekas kekasihnya, Bhok Sui Lan yang dulu
juga merupakan seorang yang lihai mempergunakan pedang, bahkan diapun te ringat
bahwa itu adalah pedang milik kekasihnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa gadis ini
memang murid bekas kekasihnya itu.
"Hemm, Koai-liong-kiam. Ingin aku melihat
sampai di mana kemajuan Sui Lan melalui
muridnya. Aku tidak perlu mempergunakan senjata, nona. Mulailah, aku sudah siap sedia."
"Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus di
tanganku!" teriak Cin Cin dan iapun menyerang
dengan pedangnya, menerjang bagaikan angin
badai mengamuk. Ge rakan pedangnya memang
dahsyat bukan main. Gadis ini maklum bahwa ia
menghadapi lawan yang tangguh dan lihai sekali,
maka begitu menyerang ia telah memainkan ilmu
pedang Koay-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga
Siluman) yang dahsyat. Cian Bu Ong mengenal
ilmu pedang ini, akan tetapi diapun tahu bahwa
ilmu pedang itu selama puluhan tahun ini tentu
telah diperhebat oleh Bhok Sui Lan, maka diapun
tidak memandang rendah dan cepat menggerakkan
kedua tangannya. Lengan bajunya yang le bar itu
menyambar-nyambar mengeluarkan angin kuat
dan agaknya kedua lengan baju yang panjang dan lebar itulah
yang dipergunakan Cian Bu Ong untuk menghadapi pedang lawan. Thian Ki yang masih berdiri di situ sebagai
penonton, melihat dengan jantung berdebar penuh
ketegangan. Dia melihat bahwa Cin Cin memang
hebat bukan main, apalagi dengan pedangnya yang
ampuh itu. Pantas kalau Kui Eng tidak mampu
menandinginya. Dia sendiripun agaknya tidak
akan mudah menang. Cin Cin telah menjadi
seorang gadis yang hebat sekali ilmu silatnya, juga
galak dan ganas! Akan te tapi, dia juga melihat
gerakan ayah tirinya dan mulailah dia merasa
khawatir. Betapapun hebat ilmu pedang gadis itu,
namun te rnyata dalam hal te naga sin-kang, dia
masih kalah setingkat oleh Cian Bu Ong. Setiap
kali ujung pedang berte mu ujung le ngan baju,
pedang itu te rpental dan nampak gadis itu seperti
orang te rkejut. Hanya kelincahan gadis itu yang
membuat mereka menjadi seimbang, karena tentu
saja Cian Bu yang sudah tua tidak mampu
menyamai kecepatan gerakan gadis semuda dan
selincah Cin Cin. Akan tetapi ada satu hal yang
membuat hati Thian Ki merasa lega, dan juga
heran. Dia maklum bahwa kalau Cian Bu Ong
menghendaki, dengan kelebihan tenaga sinkangnya, dia akan mampu mendesak bahkan
merobohkan lawannya. Akan te tapi te rnyata bekas
pangeran itu tidak melakukan hal itu. Ini hanya
membuktikan bahwa Cian Bu Ong te lah sengaja
mengalah! Dan sikap mengalah ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa ayah tirinya itu
masih mempunyai perasaan cinta terhadap guru
Cin Cin, yaitu Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan! Atau
setidaknya, ayah tirinya menyadari kesalahannya
te rhadap Bhok Sui Lan maka sekarang sengaja
mengalah terhadap muridnya.
Cin Cin yang merasa penasaran sekali tidak
mampu mendesak lawannya yang bertangan
kosong itu dengan pedangnya, tiba-tiba mengeluarkan bentakan nyaring dan melengking,
tubuhnya berputar cepat sekali dan pedangnya
digetarkan, ujung pedang menjadi banyak dan
bertubi-tubi menusuk ke arah bagian-bagian
paling berbahaya dari tu buh lawan. Sekali saja
ujung pedang itu berhasil mengenai sasaran, tentu
Cian Bu Ong, betapapun lihainya, akan roboh dan
te was! Melihat ini, timbul pula kekhawatiran dalam hati
Thian Ki. Serangan gadis itu teramat berbahaya
walaupun dengan serangan itu Cin Cin membuka
pula pertahanannya, kalau ayah tirinya te rus
mengalah, serangan itu dapat mencelakakannya .
Akan te tapi, ia tidak dapat turun tangan mencampuri karena selain dia tidak ingin menyinggung hati ayah tirinya. juga dia tidak ingin
membikin marah hati Cin Cin.
Gadis itu tidaklah jahat walaupun telah menjadi
murid seorang tokoh sesat. Ia hanya taat dan setia
kepada gurunya, dan kini berte kad membunuh
Cian Bu Ong demi gurunya, bukan karena dendam
pribadi. Kebenciannya te rnadap Cian Bu Ong juga
hal yang sewajarnya karena sebagai seorang
wanita, tentu saja ia tidak senang mendengar
gurunya menderita dalam hidupnya karena disiasiakan oleh bekas kekasihnya.
Karena desakan serangan bertubi-tubi itu,
tubuh Cian Bu Ong te rjengkang, akan te tapi bagai
binatang trenggiling, dia bergulingan ke kiri dan
sambil meloncat, diapun menggerakkan kedua
le ngan bajunya, diputar bagaikan dua buah kitiran
menyambar ke arah gulungan sinar pedang.
"Plakkk!" keras sekali ujung le ngan baju itu
bergerak, yang satu menahan ujung pedang, yang
lain menotok ke arah pergelangan tangan Cin Cin.
Tak dapat dicegah lagi, tangan kanan Cin Cin yang
seperti lumpuh seketika itu melepaskan pedangnya, akan te tapi gadis yang lihai itu masih
sempat menggerakkan kakinya menendang ke arah
dada lawan. Pandang mata Thian Ki yang terlatih
menangkap gerakan kaki ini dan melihat pula
betapa ayah tirinya masih sempat menghindar
kalau ia kehe ndaki. Namun bekas pangeran itu
agaknya memang sengaja memperlambat gerakannya dan dadanya masih te rkena te ndangan
itu. "Dukk!" Tubuh Cian Bu Ong te rjengkang dan
te rbanting keras. Dia bangkit duduk, meringis
kesakitan akan tetapi tersenyum dan berkata,
"Kiamsut (ilmu pedang) yang hebat...........!"
Akan te tapi tiba-tiba gadis itu meloncat dan
menyambar pedangnya yang tadi terlepas dan
secepat kilat ia menyerang Cian Bu Ong yang
masih duduk dan belum bangkit berdiri itu. Bekas
pangeran itu terkejut, sama sekali tidak pernah
menyangka bahwa gadis itu sedemikian ganasnya,
menyerang ia yang sudah terkena tendangan.
"Plakk!" lengan tangan Cin Cin yang memegang
pedang dite puk dari samping dan gadis terkejut
bukan main karena merasa betapa seluruh
le ngannya tergetar dan dengan sendirinya tusukan
pedangnya ke arah Cian Bu Ong itu menyamping
dan tidak mengenai sasaran. Ketika ia menengok,
ia melihat bahwa yang menghalanginya adalah
Thian Ki. Matanya melotot dan kedua pipinya
menjadi kemerahan. "Coa Thian Ki! Engkau berani menghalangi aku
membunuh musuh bes arku!" bentaknya.
"Sabar dan te nanglah, Cin Cin. Tidak tahukah
engkau betapa tadi ayah telah bersikap mengalah
kepadamu" Kalau dia menghendaki, tentu engkau
tadi telah dirobohkan. Dia sudah mengalah,
bahkan menerima te ndanganmu dengan sengaja.
Mengapa engkau begini nekat untuk menyerang
selagi dia belum siap?"
"Tidak perduli! Dia atau aku yang harus mati di
sini, dan kalau engkau membelanya, berarti
engkau menjadi musuh besarku dan harus mati
pula!" setelah membentak demikian, Cin Cin
menggunakan pedangnya menyerang Thian Ki
dengan ganasnya.! Tentu saja Thian Ki tidak ingin menjadi mangsa
pedang di tangan Cin Cin yang sedang marah itu.
Dia mengelak dan te rpaksa balas menyerang
karena kalau tidak, te ntu dia tidak mampu
bertahan terus. Diapun menggunakan ilmu silat
yang sama seperti dimainkan ayah tirinya tadi, dan
menggunakan kedua ujung le ngan baju untuk
senjata. Walaupun kedua ujung le ngan bajunya
tidak selebar lengan baju ayah tirinya, namun
Thian Ki memiliki gerakan yang lebih cepat. Pula,
dia memiliki te naga sin-kang yang amat kuat pula,
bahkan le bih kuat dari ayah tirinya berkat
kemampuannya menguasai hawa beracun yang
ada di dalam tubuhnya, ilmu yang dia dapatkan
dari mendiang Lo Nikouw atau yang dahulunya
adalah Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu, neneknya.
Diam-diam Cin Cin terkejut bukan main. Dalam
kemarahannya tadi melihat Thian Ki membela ayah
tirinya, ia kecewa dan penasaran sekali dan
hendak membunuh siapa saja yang membela
musuh besarnya. Tidak disangkanya sama sekali
bahwa Thian Ki te rnyata tak kalah lihainya
dibandingkan Cian Bu Ong! Dia te rkejut, heran
dan kagum, akan te tapi kemarahan dan rasa
penas arannya memuncak. Ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, dan mengerahkan seluruh
te naga, menggunakan ilmu pedang Koai-liongkiamsut yang memang dahsyat itu. Diam-diam
Thian Ki mengeluh dalam hatinya. Gadis ini
memang tangguh bukan main dan sukar memang
menundukkannya tanpa meruntuhkan pedangnya.
Kalau dia membuat pedang itu terlepas, hal itu
te ntu akan membuat Cin Cin menjadi semakin
marah. Akan te tapi kalau tidak demikian, bagaimana mungkin menundukkan gadis yang
lihai dan ganas ini" Satu-satunya jalan adalah
mencontoh ayah tirinya tadi.
Menjatuhkan pedang dari tangan Cin Cin dan
membiarkan dirinya te rkena tendangannya yang
lihai. Kalau dia mengerahkan sin-kang, tentu
te ndangan itu tidak akan melukainya, seperti yang
dilakukan ayah tirinya tadi.
"Haiiiiitttt..........!" Cin Cin menyerang semakin
ganas. "Cukup, Cin Cin!" Thian Ki membentak dan tibatiba saja kedua ujung lengan bajunya menangkap
dan membelit ujung pedang, lalu tangan kirinya
meluncur keluar dari ujung le ngan baju dan
menotok jalan darah di bawah siku lengan gadis
itu. "I hhh...............!" Untuk ke dua kalinya te rpaksa
Cin Cin melepaskan pedangnya, akan tetapi
dengan kemarahan meluap, dan dengan nekat
tangan kirinya bergerak mencengkeram ke arah
le her di atas pundak kanan Thian Ki. Serangan itu
demikian tiba-tiba sehingga mengejutkan Thian Ki
yang tadinya mengharapkan gadis itu akan
menendangnya seperti yang dilakukannya kepada
Cian Bu Ong. Ia cepat menarik tubuh atas ke
belakang namun Cin Cin sudah menguasai ilmu
yang membuat le ngannya dapat
memanjang beberapa inci, sehingga biarpun tangannya tidak
dapat mencapai le her, masih mampu
mencengkeram pundak kanan Thian Ki. Kelima jari
tangannya berubah seperti baja dan kuku-kuku
tangannya mencengkeram bagai lima batang pisau
tajam runcing, lima jari tangan kiri itu menancap
dan masuk ke dalam daging di pundak Thian Ki.
"Ahhh............!" Thian Ki terkejut setengah mati,
bukan karena luka di pundaknya, melainkan
karena secara otomatis, tanpa dapat dicegah lagi,
hawa beracun di tubuhnya bekerja menyambut
jari-jari tangan yang memasuki daging pundaknya
itu. "Aihhhhhhh............!" Cin Cin menjerit cepat
menarik kembali tangan kirinya dan ia te rbelalak
memandang kepada tangan kirinya yang te lah
menghitam seluruh jari tangannya. Kemudian
te rbelalak pula ia memandang kepada Thian Ki,
"Kau.......kau...........!"
Wajah Thian Ki berubah pucat sekali ketika
memandang ke arah tangan kiri gadis itu. Dia tahu
bahwa nyawa Cin Cin te rancam bahaya maut.
Hawa beracun yang ditanamkan oleh mendiang
neneknya ke dalam tubuhnya adalah racun yang
amat dahsyat, bahkan belum dapat ditemukan
pemunahnya. Hawa beracun yang membuat ke lima jari tangan
Cin Cin menghitam itu akan menjalar terus ke atas
daan kalau s udah sampai ke jantung, gadis itu tak
akan dapat diselamatkan lagi. Jalan satu-satunya
hanyalah........, Thian Ki tidak sempat banyak
berpikir lagi. Yang terpenting saat itu adalah
menyelamatkan nyawa Cin Cin. Secepat kilat dia
menyambar pedang Cin Cin yang tadi terlepas dan
berada di atas tanah, bagaikan kilat pedang itu
menyambar ke arah tangan Cin Cin yang kini
memegang le ngan kirinya dengan tangan kanan
sambil terbelalak. "Singgg......crakkk!" te pat sekali pedang itu
membabat ke arah pergelangan tangan kiri Cin Cin
dan tangan itupun buntung sebatas pergelang
tangan tangan. "Aduhhhhhh..........!" Cin Cin te rpelanting, akan
tetapi ia cepat bangkit kembali, memandang lengan
kirinya yang buntung sebatas pergelangan dengan
mata terbuka lebar. "Cin Cin......maafkan aku......maafkan aku....!"
Thian Ki berkata seperti meratap dan seperti orang
jijik dia membuang pedang itu ke tas tanah
kembali. Pedang yang baru saja membuntungi
pergelangan tangan kiri Cin Cin menancap di atas
tanah, gagangnya bergoyang-goyang seperti mengejek. "Nona, biar kuobati luka di lenganmu......." Cian
Bu Ong berkata pula s ambil menghampiri Cin Cin.
"Jangan mendekat!" Cin Cin berteriak, suaranya
bercampur is ak dan biarpun ia tidak menangis,
akan tetapi air mata bercucuran dari kedua
matanya. Ia menggunakan jari tangan kanannya
untuk menotok jalan darah di dekat siku dan
memijit bagian jalan darah dekat pergelangan yang
buntung untuk menghentikan darah keluar dari
luka. Kemudian ia mencabut pedang yang menancap di atas tanah, menyarungkan pedangnya kembali, mengambil sehelai saputangan
dan dengan tangan te rlindung saputangan, ia
memungut tangan kirinya yang buntung menghitam itu. Semua ini dilakukannya dengan amat te nang
sehingga mengerikan bagi Thian Ki. Setelah
menyimpan buntalan tangan hitam ia menatap
tajam wajah Thian Ki. "Coa Thian Ki, akan tiba saatnya engkau
membayar untuk semua ini!"
"Cin Cin, maafkan aku.......aku tidak sengaja..........." Namun Cin Cin tidak memperdulikannya dan
kini memandang kepada Cian Bu Ong. "Cian Bu
Ong sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi
kelak aku masih akan menebus kekalahan ini.
Sebelum kau mati untuk membayar dosamu
te rhadap subo, aku tidak akan berhenti berusaha."
Setelah berkata demikian, sekali loncat gadis itu
le nyap dari situ. "Aahhhhh.......Cin Cin......!" Thian Ki menjatuhkan diri berlutut dan menutupi mukanya.
Ia tidak menangis, akan te tapi dia merasa ngeri
membayangkan peristiwa tadi sehingga ia menutup
muka seolah dia tidak ingin melihat kenangannya,
ia sama sekali tidak memperdulikan pundaknya
yang terluka dan bercucuran darah.
"Sudahlah, Thian Ki. Semua itu telah terjadi dan
aku tahu bahwa engkau tidak bersalah. Gadis itu
buntung tangannya karena ulahnya sendiri. Hanya
satu hal yang membuat aku menyesal. Bhok Sui
Lan te ntu akan semakin benci dan dendam
kepaku. Dan aku menyesal mengapa engkau tidak
menurut pemintaanku agar tidak mencampuri
urusan ini." "Maaf, ayah. Akan tetapi melihat ayah tadi
te rancam, bagaimana aku dapat tinggal diam
saja?" Kakek yang masih nampak gagah itu te rsenyum
dan menghela napas. "Memang karmaku yang
buruk. Segala yang kusentuh selalu gagal. Kalau
saja tadi tidak ada engkau dan aku te was di tangan
gadis itu, segalanya akan selesai dan beres, tiada
dendam mendendam dan hutang piutang lagi.
Akan tetapi sekarang, dendam bertumpuk."
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu
menghampiri Thian Ki, menotok sekitar pundak
untuk menghentikan darah keluar, dan mengeluarkan obat bubuk dari sakunya. Setelah
mengobati luka di pundak putera tirinya, Cian Bu
Ong tanpa banyak cakap lagi lalu berjalan pulang,
diikuti dari belakang oleh Thian Ki yang berjalan
sambil menundukkan mukanya dan tidak mengeluarkan kata-kata pula. Kedua orang ini
te nggelam dalam renungan mereka sendiri, renungan yang menyedihkan.
-ooo0dw0ooo- Puteri Li Hong Lan amat terkenal dan disuka
semua orang di lingkungan Istana. Bahkan selir
kaisar, para dayang, dan permaisuri sendiri suka
kepadanya. Gadis yang berusia delapanbelas tahun
ini memang pandai membawa diri. Ia cantik jelita,
dengan wajah bulat telur, dagu meruncing dan
kulit putih kemerahan. Sepasang pipinya, terutama
bibirnya, selalu merah tanpa menggunakan alat
kecantikan. Rambutnya hitam panjang berombak.
Alisnya seperti dilukis, sepasang matanya seperti
sepasang bintang kejora, hidungnya mancung
te rutama sekali mulutnya teramat manis, dengan
bibir merah basah dan terhias lesung pipi di kanan
kiri. Kalau bibir itu te rsenyum, mata dan seluruh
bagian wajah itu seperti membayangkan senyun
pula, cerah, je naka dan lincah. Bukan hanya
wajahnya yang cantik jelita, juga gadis itu memiliki
bentuk tubuh yang mempesona dengan lekuk
le ngkung sempurna dan menggairahkan. Semua
kecantikan ini menjadi semakin cemerlang karena
iapun memiliki otak yang sehat dan cerdas
sehingga setelah berusia delapanbelas tahun. Li
Hong Lan te rkenal sebagai seorang gadis yang
menguasai ilmu silat tinggi, juga ilmu sastra yang
mendalam, ahli pula dalam segala kesenian, ahli
menari, memainkan yang-kim dan meniup suling.
Dan kalau bernyanyi, suaranya juga merdu.
Pendeknya Li Hong Lan merupakan kebanggaan
Istana, merupakan kebanggaan Kaisar Tang Tai
Cung, yaitu julukan Pangeran Li Si Bin (627 - 649)
setelah ia menjadi kaisar.
Ibunya, yang sesungguhnya bukan apa-apanya,
yaitu Kwa Bi Lan, telah belasan tahun menjadi selir
Kaisar Tang Tai Cung, semenjak kaisar ini masih
menjadi pangeran. Kaisar Tang Tai Cung mencinta
selirnya ini, yang selain menjadi selir, juga menjadi
pengawal pribadinya. Akan tetapi ada satu hal saja
yang mengecewakan hati Kaisar Tang Tai Cung,
yaitu bahwa Kwa Bi Lan sendiri tidak menurunkan
anak untuknya. Memang Bi Lan membawa Hong
Lan, akan tetapi gadis yang menjadi pute ri Istana
yang membanggakan ini, bagaimanapun juga
bukan anaknya sendiri, bahkan bukan pula anak
kandung Kwa Bi Lan! Setelah belasan tahun tinggal sebagai selir
kaisar di istana, kini Kwa Bi Lan telah berusia
empatpuluh tahun, dan Kaisar Tang Tai Cung juga
sebaya. Wanita ini tidak lagi bertugas sebagai
pengawal pribadi karena kedudukannya adalah
selir kaisar yang tadinya te rkasih dan te rpandang.
Akan te tapi telah beberapa bulan ini terjadi
perubahan besar dalam kehidupannya sebagai
seorang selir. Kwa Bi Lan menjadi selir kais ar yang
dahulunya masih pangeran, bukan karena te rtarik
oleh kedudukan seorang pangeran mahkota,
seperti hampir semua selir dan dayang kaisar,
melainkan karena dengan kesungguhan hati ia
jatuh cinta kepada Pangeran Li Si Bin yang kini
menjadi Kais ar Tang Tai Cung. Ia bertemu dan
saling jatuh cinta dengan Pangeran Li Si Bin
setelah ia menjadi seorang janda tanpa anak,
hanya membawa Hong Lan sebagai anak angkat.
Maka, iapun tidak terlalu mengharapkan kedudukan atau kemuliaan, melainkan mengharapkan kasih sayang dari pria yang
dicintanya dan yang kini menjadi suaminya. Iapun
maklum bahwa suaminya adalah seorang pangeran
mahkota dan kini menjadi seorang kaisar, maka
betapapun perih rasa hatinya melihat suaminya
memiliki sejumlah selir, dayang di samping seorang
permaisuri, iapun menahan diri dan pasrah karena
maklum bahwa kehidupan seorang kaisar tentu
saja tidak dapat disamakan dengan pria biasa yang
menjadi suami. Tidak mungkin ia memonopoli
kasih sayang Kaisar Tang Tai Cung, harus
membagi kasih pria itu dengan selir dan dayang
yang banyak jumlahnya, juga harus bersabar kalau
suaminya itu sibuk dengan urusan pemerintahan
sehingga jarang dapat dekat dengannya.
Akan te tapi, telah berbulan-bulan lamanya
kaisar seolah lupa kepadanya! Ia merasa disiasiakan. Kaisar tidak pernah datang ke kamarnya,
tidak pernah berkunjung, bahkan kalau berte mupun seolah kaisar tidak melihatnya! Ia
amat merindukan orang yang dicintanya, namun
kaisar agaknya telah lupa kepadanya.
Pada malam hari itu, Kwa Bi Lan duduk seorang
diri di pendapa tempat tinggalnya yang cukup
indah menyenangkan, le ngkap dengan perabot
rumah yang serba indah. Namun, keindahan
segala macam benda itu tidak lagi terasa indah
olehnya. Keindahan memang hanya dapat dirasakan kalau barang itu masih baru dimilikinya.
Kalau sudah menjadi miliknya, maka akan timbul
kebosanan! Apakah iapun han ya dianggap sebagai
benda yang membosankan oleh suaminya, sang
kaisar" Ia teringat akan mendiang suaminya yang
pertama, yang juga menjadi gurunya, yaitu
mendiang Sin tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki.
Dan mengenang pria ini, walaupun pria ini jauh
le bih tua darinya, suami pertama ini berusia
enampuluh tahun lebih dan ia sendiri baru
duapuluh tahun dan ketika menjadi is teri pria itu
ia masih seorang gadis , namun kini terkenanglah
ia betapa besar kasih sayang suami pertama itu
kepada dirinya. Kas ih sayang yang dirasakannya
sampai suami itu meninggal dunia. Terkenang
akan suami pertama itu, dan teringat akan dirinya
yang kini seperti dilupakan oleh suaminya yang ke
dua, yaitu sang kaisar, Kwa Bi Lan tak dapat
menahan kesedihannya lagi dan air mata menuruni kedua pipinya yang masih nampak segar
dan halus. Wanita ini memang masih cantik jelita
dalam usianya yang sudah mendekati empatpuluh
tahun itu. Akan tetapi ia segera menahan hatinya
dan menghapus air matanya. Tidak baik kalau
sampai terlihat ole h dayang, apalagi oleh puterinya.
Sebagai selir seorang kaisar sungguh akan
memalukan sekali kalau memperlihatkan kedukaan ketika kaisar lama tidak datang berkunjung. Nasib seperti ini, ia tahu diderita oleh
semua selir kaisar! Tiba-tiba kesunyian malam yang syahdu itu
dipecahkan suara yang-kim yang dimainkan oleh
jari-jari tangan yang amat pandai. Suara yang-kim
itu berdenting-denting naik turun, kemudian
diikuti suara nyanyian yang merdu. Tahulah ia
bahwa yang memainkan yang-kim sambil bernyanyi itu adalah Hong Lan, dan secercah
senyum menghias bibir wanita itu. Untung ada
Hong-Lan di sampingnya! Gadis yang te lah
dianggap sebagai anak kandungnya sendiri itulah
yang selalu memberinya semangat hidup untuk
menghadapi segala macam kepahitan. Dan iapun
mendengarkan nyanyian itu penuh perhatian.
Akan te tapi, semakin didengarkan, perlahanlahan air matanya semakin banyak bercucuran.
Puterinya itu menyanyikan lagu yang amat sedih,
lagu seorang isteri yang ditinggal mati suaminya!
Mengapa begini kebetulan" Suara nyanyian itu
bahkan kini menyayat-nyayat hatinya yang sudah
te rluka, perih dan pedih rasanya dan iapun
menjatuhkan diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan mukanya
pada bantal. Kwa Bi Lan tidak tahu bahwa suara yang-kim
dan nyanyian itu sudah lama berhenti, tidak tahu
pula bahwa Hong Lan memasuki kamarnya dengan
langkah ringan sehingga tidak menimbulkan suara.
"I bu, tidak biasanya ibu sudah tidur sebelum
larut malam. Apakah ibu tidak sehat?" Gadis itu
duduk di te pi pembaringan dan menyentuh
pundak ibunya yang rebah menelungkup.
Kwa Bi Lan te rkejut, berusaha untuk mengusap
sisa air matanya sebelum bangkit duduk. Akan
tetapi wajahnya yang pucat, pipinya yang basah
dan sepasang matanya yang merah agak membengkak membuat Hong Lan te rkejut bukan
main. Gadis itu segera merangkul ibunya. "Aih, ibu
menangis" Kenapakah, ibu" Belum pernah aku
melihat ibu menangis!" Hong Lan terkejut dan juga
heran. "Apakah ibu sakit?"
Bi Lan te rsenyum dan menggele ng kepala. Akan
tetapi senyumnya pahit sekali. "Tidak, anakku. Ibu
tidak sakit.........."
"Kalau begitu ibu berduka" Kenapa, ibu?"
Bi Lan sudah mampu menguasai dirinya. "Lan
Lan, aku tadi terharu mendengar permainan yang
kim dan suara nyanyianmu, lagu itu sedih sekali
dan tak te rasa ibu menangis."
Hong Lan menciumi pipi ibunya yang masih
basah. "Ibu sudah sering mendengar aku menyanyikan lagu itu dan biasanya ibu tidak apaapa. Ibu, aku tahu mengapa ibu bersedih. Tentu
karena ayahanda kais ar, bukan" Aku sudah cukup
dewasa, ibu dan aku mengetahui kehidupan selirselir. Bukan hanya ibu saja yang menderita
kesepian seperti sekarang ini. Banyak sudah para
bibi selir lainnya yang mengeluh kepadaku tentang
kesepian mereka karena ayahanda tidak pernah
datang lagi mengunjungi mereka. Ibu, sudah
beberapa bulan ini sribaginda tidak datang
berkunjung. Karena itu ibu merasa berduka,
bukan?" Bi Lan menundukkan mukanya. Percuma saja
membantah dan berpura-pura. Anaknya ini te rlampau cerdik untuk dapat dibohongi begitu
saja. Ia menghela napas panjang lalu berkata
membela, "Ayahmu terlalu sibuk, Hong Lan. Beliau
bertanggung jawab atas semua urusan pemerintahan yang amat banyak........ "
"Aku tahu, ibu. Banyak tugas dan banyak is te ri!
Dahulu, paling lama dua tiga hari sekali ayahanda
datang dan bermalam di sini. Sekarang berbulanbulan sudah beliau tidak pernah nampak, tidak
pernah menjenguk ibu."
Bi Lan merangkul anaknya. "Terimalah keadaan
ini dengan hati lapang, anakku. Memang beginilah
kehidupan seorang selir seperti ibumu. Sribaginda
masih termasuk seorang suami yang baik, karena
kita selalu dicukupi segala kebutuhan kita,
bukan?" "I nilah salahnya, ibu. Para wanita yang menjadi
selir raja selalu menerima keadaan, menerima
nasib. Beginilah jadinya. Sekali waktu, kalau
kebetulan aku bertemu ayahanda, akan kuingatkan beliau bahwa ibu menanti beliau di sini
dengan hati setia dan berduka."
"Eihh, jangan, Lan Lan! Beliau akan marah
kepadamu!" Melihat kekhawatiran ibunya, Lan Lan te rsenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku tidak
akan bicara sekarang, untuk sementara ini aku
akan menahan diri, akan tetapi ibu juga tidak
boleh menangis dan berduka lagi," katanya manja.
Kwa Bi Lan tersenyum dan menciumi kedua pipi
anaknya. Terima kasih kepada Tuhan, pikirnya,
bahwa aku mempunyai Hong Lan. Andaikata tidak
ada anaknya ini, ia tahu bahwa ia pasti tidak kan
betah lagi tinggal di istana.
"Lihat, ibumu sudah tidak bersedih lagi, kan"
Mari kita latihan silat!" Bi Lan meloncat turun dari
pembaringan, menarik tangan anaknya dan keduanya berlari-lari sambil tertawa ke ruangan
berlatih silat yang memang te rdapat di te mpat
tinggal ibu dan anak ini. Tak lama kemudian, ibu
dan anak ini sudah berlatih silat, bertangan
kosong, lalu bertanding pedang dan diam-diam
Kwa Bi Lan merasa gembira dan bangga, juga
kagum karena ia mendapat kenyataan bahwa
pute rinya itu kini sudah maju sekali. Ia sendiri
sukar mengalahkannya. Hal ini adalah karena
Hong Lan pandai membujuk para jagoan is tana
untuk menurunkan satu dua ilmu silat mereka
yang paling tangguh kepadanya. Dan Bi Lan
sendiri juga menggembleng pute rinya ini dan
menurunkan seluruh ilmu yang dimilikinya kepada
Hong Lan. Para dayang dan pembantu yang
kebetulan melihat ibu dan anaknya itu berlatih
silat di waktu malam seperti itu, hanya menggeleng-geleng kepala dengan heran dan
kagum. Kaisar Tang Tai Cung adalah seorang manusia
biasa, seorang pria dengan segala kelebihan dan
kekurangannya seperti orang lain, dengan kelemahannya. Ketika mudanya, semangat untuk
berjuang membesarkan Kerajaan Tang membuat
dia hanya memperhatikan urusan negara, dan
nampaknya tidak begitu te rtarik akan segala
macam kesenangan! Akan te tapi, setelah dia
menjadi kaisar dan keadaan pemerintahannya
lancar, mulailah semangat yang tadinya dikerahkan untuk perjuangan itu mencari sasaran
lain, yaitu melampiaskan nafsu mencari kesenangan. Kemewahan dia sudah mempunyai
berlimpahan, kehormatan, kemuliaan dan kekuasaan sudah berada di tangannya. Kebutuhan
manusia te rbatas sekali, akan tetapi keinginan
yang didorong oleh nafsu angkara murka membuat
seseorang tak pernah puas dengan apa yang
dimilikinya. Mulailah dia tergoda oleh nafsu
berahinya sendiri. Selirnya yang banyak mulai
membosankan, demikian pula para dayangnya
yang setiap saat dengan senang hati siap untuk
melayani segala kehendaknya. Nafsu yang dituruti
dan dimanjakan tidak pernah menjadi kenyang,
tidak pernah merasa puas, bahkan semakin
banyak tuntutannya. De mikian pula dengan nafsu
yang mencengkeram diri Tang Tai Cung. Dia selalu
haus akan wajah wanita yang baru, sehingga entah
sudah berapa banyak gadis yang menjadi kekasihnya hanya untuk waktu sebulan dua bulan
saja, lalu dia mulai mencari yang lain.
Seperti biasa, di dekat orang yang berkuasa
besar, selalu merangkak banyak kaum penjilat
yang ingin membonceng kekuasaannya, dengan
cara menjilat dan menyenangkan hati atasannya,
te ntu saja demi keuntungan pribadinya. De mikian
pula dengan Kais ar Tang Tai Cung. Banyak pejabat
tinggi, terutama para thaikam (pelayan pria kebiri)
yang mempergunakan kesempatan itu untuk
menyenangkan hati sang kaisar, dengan mencarikan gadis -gadis cantik dari daerah-daerah.
Dan pada masa itu, tidak ada seorangpun gadis
yang tidak dengan hati gembira menerima pengangkatan menjadi dayang di istana!
Menjadi dayang berarti derajat mereka naik
beberapa tingkat, apalagi kalau sampai dapat
menyenangkan hati kaisar dan diambil selir! Ada
harapan kelak menjadi permais uri.
Satu di antara dayang istana yang dimasukkan
oleh para penjilat itu, dan memasukkan seorang
gadis inipun berarti menerima hadiah yang tidak
sedikit dari orang tua si gadis , yang mau
menyerahkan seluruh milik mereka, asal anak
gadis mereka diterima menjadi dayang, adalah
seorang dari dusun yang bernama Bu Couw Hwa.
Ia sudah mempersiapkan diri menjadi dayang.
Usianya baru enambelas tahun, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekarnya, memiliki
wajah cantik manis dan bentuk tubuh yang sedang
mekar, te rutama sekali pinggulnya yang berbentuk
indah dan bes ar, dan ia sudah mempersiapkan diri
dengan segala tata-cara tentang sikap dan
kelakuan seorang dayang istana yang baik. Bahkan
ia mempelajari segala macam kesenian dan caracara untuk menyenangkan hati seorang pria
junjungannya. Akan te tapi ketika ia berhasil dimasukkan ke
dalam is tana, terlalu banyak saingan te rdapat di
istana. Terlalu banyak dayang is tana yang cantikcantik sehingga Bu Couw Hwa merasa kecil dan
rendah diri. Bagaimana mungkin ia, seorang dara
desa, mampu bersaing melawan sekian banyaknya
dayang cantik untuk menawan perhatian dan hati
Kaisar" Apalagi begitu tiba di situ, ia sudah melihat
kenyataan betapa setiap orang thai-kam dan
petugas di situ amat haus akan sogokan. Tanpa
menyogok sana sini, tidak mungkin ia mampu
mendekati Kais ar! Bahkan ia mendapatkan tugas
yang paling rendah, yaitu dayang pembersih kamar
mandi dan kakus milik kaisar!
Couw Hwa menerima pekerjaan ini dengan hati
sabar. I a menanti kesempatan yang baik dan mulai
melakukan pendekatan dengan para thai-kam yang
dekat dengan kaisar. Sampai harus habis semua
perhiasan dan bekalnya, juga gajinya yang ia
tabung, untuk menyenangkan hati para thai-kam.
Gadis yang amat cerdik ini, yang menjadi dayang
bukan sekedar mencari pekerjaan, melainkan
untuk mencapai tujuan atau cita-citanya yang
amat muluk, mengatur siasat dengan rapi dan
licin. Setelah dapat mendekati thai-kam, maka
dengan bantuan para thai-kam, pada suatu senja
thai-kam yang bertugas memberi is yarat kepada
Bu Couw Hwa. Gadis ini cepat memperhalus
wajahnya dengan bedak tipis, menggosok mukanya
dengan handuk yang dibasahi air panas, menggosok keras-keras sehingga kedua pipinya
menjadi kemerahan dan berbau harum oleh air
yang dicampuri air mawar, mengenakan baju yang
agak longgar di bagian dada, sehingga kalau ia
membungkuk, orang akan dapat melihat bukit
dadanya yang menonjol le mbut. Rambutnya yang
hitam berombak itu dibiarkan
agak kusut, te rutama di bagian dahi sehingga anak rambut
yang halus sekali melingkar-lingkar di dahi, di
pelipis, dan di belakang te linga, melingkar-lingkar
halus seperti benang sutera yang kekeringan.
Setelah itu, cepat ia mendahului masuk ke
kamar mandi pada saat para thai-kam memberi
is yarat bahwa kaisar berkenan mempergunakan
kamar mandi itu. Seperti tidak disengaja, gadis itu terkejut ketika
selagi ia membersihkan kamar mandi, kaisar
muncul di pintu kamar mandi.
"Aihh.......banswe-ban-banswe......" serunya lirih
sambil menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
Kaisar Tang Tai Cung. Kaisar yang usianya
sudah kurang le bih empatpuluh
tahun itu
te rsenyum melihat seorang dayang sedang membersihkan kamar mandi. Dia membiarkan
dayang itu berlutut dan diapun membuang air kecil
di te mpat yang disediakan untuk itu, tidak perduli
betapa dayang itu masih berlutut di situ dan
biarpun tidak melihatnya, setidaknya suara air
kencingnya terdengar. Setelah selesai, Kais ar Tang Tai Cung membereskan celananya dan membalikkan tubuh.
Dayang itu masih berlutut di situ dengan muka
menunduk, takut dan malu-malu.
"Heii kau, ambilkan air untuk aku mencuci
tangan," perintahnya.
Bu Couw Hwa dengan jantung berdebar te gang
segera mengambil sepanci air harum. Inilah
kesempatan yang dinanti-nantinya selama ini,
sejak menginjakkan kaki di lantai istana. Harus ia
pergunakan baik-baik, pikir hati kecilnya yang
cerdik. Dengan jalan berjongkok ia menghampiri
Kaisar yang masih berdiri, lalu berlutut dan
mengangkat panci air itu ke atas kepala, mukanya
tetap menunduk, akan tetapi matanya melirik ke
arah dadanya. Bagus, pikirnya, karena ia mengangkat kedua tangannya yang memegang
panci air, baju di dadanya te rbuka dengan le bar
dan memperlibatkan dua le ngkung bukit dadanya
yang indah. Kaisar Tang Tai Cung mencuci tangannya
dengan menunduk. Tentu saja, dengan sendirinya,
pandang matanya berte mu dengan sepasang bukit
yang menonjol dan nampak di balik baju yang
te rbuka sedikit itu.
"Angkat mukamu, aku ingin melihatmu," kata
Kaisar Tang Tai Cung yang mulai te rtarik. Dengan
gaya yang sudah lama dilatihnya. Bu Couw Hwa
mengangkat mukanya, muka yang amat manis,
senyum malu-malu yang memperlihatkan lesung
pipinya, dengan mata yang mengerling ke atas,
bibir yang akan terbuka menantang, cuping hidung
yang berkembang kempis, lalu ia menunduk
kembali, maklum bahwa penglihatan sekilas itu
akan jauh le bih memikat daripada kalau ia
berlama-lama membiarkan sang kaisar menatap
wajahnya. Darah tersirap ke kepala dan gairah sang
Kaisarpun timbul. "Siapa namamu, kenapa aku
tidak pernah melihat dayang secantik engkau di
sini.?" "Ampun, Sri baginda. Hamba selalu bertugas di
sini, dan hamba tidak berani memperlihatkan diri
tanpa diperintah." Suara gadis itupun sudah diatur dan dilatih
lama, maka te rdengar merdu dan juga menyenangkan. Sang kaisar yang sudah te rpikat
itu mengambil panci dari kedua tangan Bu Couw
Hwa, meletakkan panci itu ke atas meja dan ia
memegang kedua tangan gadis itu dan ditariknya
untuk berdiri. Bentuk tubuh yang indah itu,
dengan le kuk le ngkung menggairah kan, dilalap
pandang matanya, dan hidungnya ju ga mencium
keharuman yang khas keluar dari rambut dan
dada dayang itu. Tanpa banyak upacara lagi, tanpa banyak cakap
lagi. Kais ar Tang Tai Cung yang telah menjadi
hamba nafsu berahinya, merangkul Bu Couw Hwa
dan menuntunnya ke dipan yang memang menjadi
perle ngkapan kamar mandi yang luas itu dan di
situlah tercapai apa yang diidamkam hati Bu Couw
Hwa, te rlaksana semua yang te lah dicitakan, yaitu
ia berhasil memikat hati kaisar dan menyerahkan
tubuhnya melayani kaisar demi
memperoleh kedudukan yang tinggi. Setelah terjadi peristiwa itu, wajah Bu Couw
Hwa selalu berseri penuh kegembiraan, pandang
matanya bersinar-sinar penuh harapan. Pasti akan
te rcapai seperti yang direncanakan, yaitu ia yang
telah menyerahkan diri melayani sang kaisar, akan
segera diangkat menjadi seorang di antara selir
yang berjumlah tujuhpuluh dua itu, menggantikan
seorang di antara para selir yang akan dipersilakan
mundur, dan kalau sudah menjadi seorang selir,
maka semakin dekat lagi tujuan yang menjadi citacita terakhir, yaitu menjadi permaisuri ke tiga, ke
dua atau pertama! Apalagi kalau ia dapat
melahirkan seorang putera!
Cita-cita adalah kata yang halus dan indah yang
artinya tidak lain hanyalah keinginan! Dan
keinginan manusia tidak pernah ada batasnya,
makin diberi semakin mekar berkembang, karena
keinginan adalah ulah nafsu daya rendah. Keinginan adalah pengejaran akan sesuatu yang
belum dimilikinya. Pengejaran seperti ini biasanya
hanya mempunyai dua akibat. Kalau te rcapai,
sebentar saja apa yang dikejarnya mati-matian itu
akan membosankan dan sama sekali tidak
mendatangkan kebahagiaan seperti
yang
dibayangkan semula dan kalau tidak te rcapai,
timbullah kekecewaan dan kedukaan.
Sesuatu yang belum dimilikinya yang dikejarkejar, selalu dibayangkan sebagai sesuatu yang
amat indah, sesuatu yang akan mendatangkan
kebahagiaan. Akan tetapi setelah sesuatu itu dapat
dimiliki, maka memudarlah bayangan-bayangan
yang muluk akan keindahan dan kebahagiaan itu,
karena nafsu daya rendah sudah mendorong lagi
kepada kita untuk mengejar sesuatu yang lain,
yang belum kita miliki
33333; font-size: 18px;">mencari Pangeran Cian Bu Ong untuk membunuhnya. Nah katakan, kenapa engkau
hendak membunuh Pangeran Cian Bu Ong, apa
kesalahannya kepadamu?"
Cin Cin menatap tajam wajah yang jantan itu
dan bertanya. "Apakah engkau Pangeran Cian Bu
Ong?" Pangeran Cian Bu Ong tersenyum. "Aku bukan
seorang pengecut. Kalau aku menyembunyikan
nama dari umum, hal itu hanya agar keluargaku
dapat hidup dengan te nteram. Akan tetapi kalau
ada yang memusuhiku secara pribadi, aku tidak
akan lari bersembunyi atau mengelak. Aku
memang bekas Pangeran Cian Bu Ong. Nah,
katakan kenapa engkau hendak membunuhku.!"
Cin Cin melepaskan kalung mutiara dari
le hernya, lalu melemparkan kalung itu ke arah
Cian Bu Ong sambil berseru. "Cian Bu Ong, lihat
benda ini dan engkau akan tahu mengapa aku
hendak membunuhmu!" Tentu saja ia menyambitkan kalung itu dengan pengerahan
te naga sin-kang sehingga yang nampak hanya
sinar putih berkilau menyambar ke arah muka pria
tua itu. Namun, dengan te nang saja Cian Bu Ong
menyambut benda itu, walaupun di dalam hatinya
diam-diam dia terkejut mendapat kenyataan betapa kuatnya sambitan ketika benda itu
disambutnya. Dan ketika dia melihat benda itu,
sebuah untaian kalung dari mutiara yang besarbesar dan indah, matanya terbelalak.
"Sui Lan.........!" gumamnya seperti dalam mimpi
dan te rbayanglah semua pengalaman hidupnya di
waktu dia masih muda. Dia pernah bertemu de
ngan seorang gadis yang mendatangkan rasa
kagum dalam hatinya, bukan hanya oleh kecantikannya yang luar biasa, akan te tapi juga
karena gadis itu memiliki ilmu kepandaian silat
yang cukup tinggi disamping ilmunya bermain
dalam air. Gadis itupun kagum kepadanya dan
mereka saling jatuh cinta. Demikian besar cinta
gadis itu kepadanya sehingga gadis itu menyelam
ke dalam lautan yang berbahaya, mengumpulkan
banyak mutiara pilihan dan membuat kalung dari
untaian mutiara yang amat berharga, lalu memberikan kalung itu kepadanya sebagai tanda
cinta! De mikian te rharu hatinya oleh hadiah ini
sehingga dia pernah mengatakan bahwa dia akan
menghargai kalung itu seperti nyawanya sendiri.
Mereka saling jatuh cinta, bahkan gadis yang
bernama Bhok Sui Lan itu sudah menyerahkan diri
kepadanya. Hal ini saja sebetulnya sudah mendatangkan sedikit kekecewaan di dalam hatinya. Betapa mudahnya Sui Lan menyerahkan
diri kepadanya, walaupun hal itu dianggapnya
sebagai pernyataan cinta kasih yang tulus. Mereka
memang sudah bersepakat untuk menikah. Akan
tetapi kemudian dia mendengar bahwa Bhok Sui
Lan adalah s eorang gadis kang-ouw yang termasuk
golongan sesat, atau golongan hitam. Gadis itu
datang dari keluarga para tokoh sesat yang
te rkenal, dari golongan manusia yang berwatak
iblis. Tidak pernah mau mengenal peraturan dan
selalu mendatangkan kekacauan dengan perbuatan mereka yang te ramat keji dan jahat. Hal
ini membuat dia memaksa hatinya yang mencinta
untuk meninggalkan dan melupakan Sui Lan dan
diapun menikah dengan gadis lain. Dia adalah
seorang pangeran yang bercita-cita tinggi, kalau
mungkin dapat menggantikan kedudukan kaisar.
Bagaimana mungkin seorang calon kaisar menikah
dengan seorang gadis golongan sesat yang jahat"
Hal itu tentu akan mencemarkan seluruh nama
keluarga Kerajaan Sui! Dia mengembalikan kalung mutiara itu kepada
Sui Lan, kemudian meninggalkan gadis itu dan
diapun tidak takut menghadapi Sui Lan walaupun
gadis itu lihai karena tingkat kepandaiannya le bih
tinggi. Pula dia seorang pangeran yang memiliki
banyak jagoan dan banyak pengawal sehingga
gadis itu sama sekali tidak akan mampu berbuat
sesuatu untuk mengganggunya. Dia sudah hampir
melupakan Sui Lan karena hal itu sudah terjadi
puluhan tahun yang lalu. Dan hari ini, tiba-tiba
saja seorang gadis datang mengembalikan kalung
itu kepadanya dan mengatakan hendak membunuhnya! Dia mengamati kalung itu, menyebut nama bekas kekasihnya dan mengangkat muka lagi memandang kepada Cin
Cin, gadis itu te rsenyum mengejek.
"Nona, apa hubunganmu dengan Sui Lan"
Bukan Bhok Sui Lan sekarang telah terkenal
dengan julukan Tung-hai Mo-li (Iblis Betina Lautan
Timur )?" tanyanya, suaranya masih te nang
walaupun hatinya terasa te gang.
"Bagus kalau engkau masih ingat nama subo
Bhok Sui Lan! Aku adalah muridnya dan ia
mengutusku untuk menukar kalung itu dengan
nyawamu." Mendengar ini, Kui Eng membentak, "Perempuan
iblis, siapa takut padamu" Ibu, koko, mari kita
basmi siluman jahat ini!"
Akan te tapi Cian Bu Ong mengangkat tangan
atas. "Kalian tidak boleh mencampuri. Ini adalah
urusan pribadiku, urusan ketika aku masih muda
dan kalian belum ada bersamaku."
Mendengar ucapan bekas pangeran itu, Sim Lan
Ci, Thian Ki dan Kui Eng tidak berani bicara lagi,
hanya menjadi penonton yang berhati tegang. Cian
Bu Ong lalu berkata kepada Cin Cin, suaranya
berwibawa. "Nona, aku memang ada urusan dengan
gurumu. Kalau ia mendendam kepadaku kenapa
bukan ia sendiri yang datang membuat perhitungan denganku di sini" Kenapa harus
engkau, seorang gadis muda yang mencari
keributan di sini?" "Cian Bu Ong, hal itu adalah urusan antara
kami guru dan murid. Aku mewakili subo untuk
membalas dendam ini. Aku bukan orang yang suka
cari keributan dan tidak suka membuat kekacauan. Juga aku bukan seorang yang curang.
Kalau engkau tidak menghendaki keributan di
dusunmu ini, dan agar engkau dapat bersiap-siap
menghadapiku , biarlah kuberi waktu sampai
besok sore. Setelah matahari condong ke barat,
aku menantimu untuk membuat perhitungan di
luar dusun sebelah barat di te pi sungai. Nah,
selamat malam!" Setelah berkata demikian, Cin Cin
membalikkan tubuhnya meninggalkan pekarangan
itu dengan langkah gagah.
Kui Eng yang merasa penasaran sudah melangkah maju hendak mengejar, akan te tapi
le ngannya dipegang oleh ayahnya. "Jangan kejar,
biarkan ia pergi." Sim Lan Ci yang sejak tadi hanya menjadi
penonton dan pendengar, mengerutkan alisnya dan
kini iapun bertanya kepada suaminya. "Sebenarnya
siapa sih itu Tung-hai Mo li Bhok Sui Lan dan
mengapa ia mengirim muridnya untuk menukar
kalung mutiara itu dengan nyawamu?"
Lurah Cian Bu atau bekas Pangeran Cian Bu
Ong itu menghela napas panjang. Sambil mempermainkan kalung mutiara
itu diapun berkata, "Mari kita masuk ke dalam dan akan
kuceritakan semua kepada kalian, agar kalian tahu
apa yang te lah terjadi dan mengapa hari ini terjadi
peristiwa yang membuat kalian semua merasa
heran dan penasaran itu."
Mereka berempat masuk ke dalam rumah dan di
ruangan dalam, duduk mengelilingi meja besar,
bekas pangeran itu menceritakan riwayatnya
dengan Bhok Sui Lan. Sebagai penutup ceritanya
dia berkata, "Me mang tadinya kami
saling mencinta, bahkan kami sudah bersepakat untuk
menikah. Akan te tapi setelah aku tahu latar
belakang kehidupannya, bagaimana mungkin aku
yang ketika itu seorang Pangeran yang mendambakan kedudukan sebagai kaisar dapat
menikah dengan seorang gadis dari keluarga para
tokoh sesat yang amat jahat dan yang namanya
sudah te rcemar" Aku mengembalikan kalung
pemberiannya ini dan mengucapkan selamat
berpisah. Tidak kusangka selama ini ia menyimpan
dendam padaku." Karena urusan cinta gagal itu terjadi ketika
suaminya masih muda dahulu, jauh sebelum
berte mu dengannya, maka Sim Lan Ci juga tidak
merasa te rsinggung. Ia hanya ikut menyesal dan
bertanya, "Kalau memang ia mendendam, kenapa
tidak sejak dahulu ia membalas dendamnya
kepadamu?" Cian Bu te rsenyum. "Tentu saja ia tidak berani.
Selain ketika itu ilmunya tidak akan menang
melawanku, juga sebaqai pangeran te ntu saja aku
mempunyai banyak pengawal yang pandai."
"Tapi sekarang?" tanya isterinya.
Cian Bu menghela napas panjang. "Entahlah,
tetapi melihat gerakan gadis tadi, jelas kini Tunghai Mo-li te ntu telah memperdalam kepandaiannya. Tadi kulihat engkau dan Thian Ki
seperti telah mengenalnya, benarkah?"
"Benar, kami mengenalnya. Ia bernama Kam Cin
dan biasa dipanggil Cin Cin. Ia puteri ketua Hekhouw-pang yang te was pula ketika terjadi penyerbuan malam itu......." Sim Lan Ci teringat
akan keterlibatan suaminya dalam penyerbuan itu
dan menahan ucapannya. "Tapi kenapa tiba-tiba ia muncul sebagai murid
Tung-hai Mo-li?" tanya Cian Bu sambil
mengerutkan alisnya yang te bal. Bagaimanapun
juga, ayah gadis itu, ketua Hek-houw-pang, te was
oleh lima orang anak buahnya. Kalau gadis itu
mengetahuinya, bukan untuk subonya saja ia
datang hendak membunuhnya, juga te ntu untuk
membalas kematian ayahnya!
"Kami juga tidak mengerti. Ketika aku kembali
ke dusun Ta-bun-cung dulu itu, kami mendengar
bahwa Cin Cin diantar oleh susioknya (paman
gurunya) untuk menjadi murid Huang-ho Sin-liong
(Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng. Entah
bagaimana kini tiba-tiba saja ia muncul sebagai
murid Tung-hai Mo-li."
Bekas pangeran itu mengangguk-angguk dan
meraba dagunya yang ditumbuhi je nggot yang
te rawat rapi. Kalau gadis itu murid Huang-ho Sinliong tidak aneh kalau ia lihai sekali. Akan te tapi ia
mengakui Tung-hai Mo-li sebagai gurunya.
"Bagaimanapun juga, aku melihat bahwa gadis
itu memiliki watak yang gagah. Buktinya, ia
memberi waktu kepadaku untuk bersiap sampai
besok sore." "Engkau hendak menandinginya?" tanya isterinya khawatir. "Engkau khawatir aku kalah?"
Sim Lan Ci menggeleng kepala. Ia maklum akan
kemampuan suaminya dan ia tadi sudah melihat
kelihaian Cin Cin. Bagaimanapun juga, sukar
dapat dipercaya kalau gadis itu akan mampu
mengalahkan suaminya.
"Aku justeru khawatir engkau membunuhnya
hingga permusuhan akan menjadi semakin parah
padahal, biarpun agak jauh, te tap saja ia masih
keponakanku dan saudara misan Thian Ki."
Cian Bu te rsenyum. "Engkau kira aku ini orang
macam apa hendak membunuh seorang gadis
muda yang menjadi lawanku" Jangan khawatir,
aku tidak akan mencelakainya. Kalau memang Sui
Lan hendak membalas dendam kepadaku, ia harus
datang sendiri. Tidak menyuruh orang lain."
Diam-diam bekas pangeran ini merasa terharu
karena dia mengenal betul watak Sui Lan. Wanita
itu bukan seorang penakut, bahkan sangat
pemberani. Kalau ia mengutus muridnya, hal itu
pasti bukan karena ia takut maju sendiri. Satusatunya sebab yang dapat menyebabkan Sui Lan
tidak datang sendiri adalah bahwa ia masih
mencintanya! Sui Lan agaknya tidak pernah
melupakannya, menaruh dendam akan tetapi tidak
mau turun tangan sendiri karena agaknya yakin
bahwa kalau berhadapan muka, Sui Lan tidak
akan te ga mencelakainya karena masih mencintanya. Kalam itu, Cian Bu tidur nyenyak, sedikitpun
agaknya tidak memikirkan te ntang tantangan Cin
Cin untuk membuat perhitungan besok sore. Akan
tetapi sebaliknya, Sim Lan Ci dan Thian Ki tidak
dapat tidur, merasa gelisah membayangkan apa
yang akan te rjadi esok. Ketika malam itu Sim Lan Ci menyelinap dari
dari dalam kamarnya, meninggalkan suaminya
yang sedang tidur nyenyak, ia mendapatkan
pute ranya duduk te rmenung seorang diri di
ruangan belakang. Melihat ibunya. Thian Ki segera
menyambut dengan pertanyaan, "Kenapa ibu
belum tidur?" "Kulihat engkaupun belum tidur masih melamun
di sini, Thian Ki. Agaknya pikiran kita sama.
Engkau juga memikirkan Cin Cin, bukan?"
"Benar, ibu. Aku khawatir sekali membayangkan
apa yang akan te rjadi besok sore." "Thian Ki, tadi
agaknya Cin Cin te lah mengenalmu. Mengapa ia
memakimu sebagai monyet jelek?"
Wajah Thian Ki berubah kemerahan. Tentu saja
dia merasa malu untuk menceritakan peristiwa itu
kepada ibunya, dan dia tidak tahu harus menjawab
bagaimana s ehingga dia menunduk saja.
"Thian Ki, apakah ada kaitannya dengan ketika
engkau pulang bertelanjang dada membawa dua
ekor ikan itu?" Thian Ki mengeluh dalam hatinya. Ibunya
adalah seorang wanita yang cerdik sekali, bagaimanapun sukar untuk membohonginya. Dia
harus menceritakan pertemuannya dengan Cin
Cin, te ntu saja tanpa menyebut dan menyinggung
te ntang dia dan Cin Cin saling melihat masingmasing bertelanjang bulat!
"Benar, ibu. Akan te tapi ketika kami saling
jumpa di te pi sungai itu, kami tidak saling
mengenal. Ketika itu aku hendak mandi dan sudah
membuka baju, ketika aku melihat dua ekor ikan
itu menggelepar di balik semak. Aku menangkap
dua ekor ikan itu. Tidak tahunya, ia muncul dan
marah-marah, mengatakan bahwa aku hendak
mencuri ikan miliknya. Lalu sebagai gantinya, ia
dengan marah membuang bajuku yang sudah
kutanggalkan ke te ngah sungai sampai hanyut,
lalu ia memaki aku monyet jelek dan pergi. "
Terpaksa Thian Ki berbohong dan mengubah
kejadian yang sebenarnya kepada ibunya, karena
bagaimanapun te ntu saja dia merasa malu untuk
bicara terus terang tentang ketelanjangan itu.
Ibunya mendengarkan penuh perhatian dan
menarik napas panjang. "Hemm, ia masih lincah,
je naka dan pemberani seperti dahulu, hanya kini
bertambah galak dan lihai. Thian Ki, bagaimanapun juga, kita harus mencegah te rjadinya perkelahian antara ia dan ayahmu."
"Akan tetapi bagaimana caranya, ibu" Ayah
sudah mengatakan bahwa itu urusan pribadinya
dan kita tidak boleh mencampuri. Ayah benar dan
aku tidak berani untuk membujuknya."
"Engkau harus dapat membujuk Cin Cin agar
membatalkan perkelahiannya dengan ayahmu.
Kalau aku yang membujuk, kurang baik. Engkaulah yang le bih dekat dengannya, karena
ayahmu adalah saudara sepupu ibunya. Engkau
bujuklah ia agar tidak melanjutkan kehendaknya
menantang ayahmu." Thian Ki membayangkan Cin Cin yang demikian
galak te rhadap dirinya dan diam-diam dia merasa
je rih juga. Gadis itu demikian galak seperti
harimau betina. Akan tetapi, ketika itu Cin Cin
belum mengetahui bahwa dia adalah Thian Ki.
Mungkin kini sikapnya berubah le bih lunak,
mengingat betapa dulu, ketika dia menjadi tamu
keluarga gadis itu bersama ayah ibunya, mereka
adalah saudara misan yang bersahabat karib.
"Baiklah, ibu. Akan kucoba besok. Akan kucari
Cin Cin sebelum ayah pergi ke sana menyambut
tantangannya." Setelah bicara dengan Thian Ki, agak le galah
hati Sim Lan Ci dan wanita inipun kembali ke
kamarnya dan tidur di samping suaminya. Thian Ki
juga memasuki kamarnya dan semalam itu dia
gelisah, membayangkan perte muannya dengan Cin
Cin dan mencari-cari cara dan jalan untuk
membujuk gadis itu tanpa dapat menemukan cara
te rbaik sampai akhirnya dia kelelahan dan tertidur
menjelang pagi. Sejak tengah hari. Thian Ki sudah berkeliaran di
sepanjang tepi sungai sebelah barat sungai Kuning
untuk mencari Cin Cin. Dia sama sekali tidak
menduga bahwa gadis itu semalam tidur di rumah
milik janda miskin di ujung dusun, dan gadis yang
berhati-hati itu tidak mau keluar dari rumah
sebelum matahari mulai condong ke barat. Ketika
siang hari itu Thian Ki tiba di tepi sungai tentu s aja
dia tidak dapat menemukan Cin Cin yang masih
berada di rumah kecil itu bersama wanita pemilik
rumah, bahkan masak-masak bersama wanita itu
yang merasa suka sekali kepada gadis itu.
Sambil masak berdua di dapur, wanita yang
mulai merasa suka sekali kepada Cin Cin berkata,
"Nona, kalau aku boleh bertanya, apakah nona
sudah..........eh, sudah menikah atau bertunangan"
Maafkan pertanyaanku, aku tidak bermaksud
untuk bersikap kurang ajar."
"Ah, tidak mengapa, bibi. Aku belum menikah,
juga tidak bertunangan. Kenapa sih bibi menanyakan hal itu" Apakah bibi ingin mengambilku sebagai mantu untuk dijodohkan
dengan pute ramu yang pergi tak pernah memberi
kabar itu?" Wanita itu te rsipu. "Aih, nona harap jangan
mengolok-olok. Orang seperti kami ini mana pantas
untuk menarik nona menjadi anggota keluarga"
Bukan itu maksudku tadi, aku kagum dan suka
kepadamu, dan aku hanya ingin tahu saja. Kalau
seorang gadis seperti nona ini, paling tidak harus
berjodoh dengan seorang pemuda yang pilihan,
seperti.......seperti misalnya Cian Kongcu itu."
"Cian Kongcu..........?"
"Maksudku, putera lurah kami itu.......... "
Cin Cin teringat dan te rbayanglah wajah Thian
Ki, bukan hanya wajahnya, melainkan seluruh
tubuh pemuda yang pernah dilihatnya telanjang
bulat itu dan iapun te rtawa. "Monyet.......monyet
jelek itu." Kini wanita itu yang memandang dengan mata
te rbelalak. "Monyet jelek" N ona, putera lurah Cian
amat tampan dan gagah, juga manis budi
walaupun agak pendiam."
"Sudahlah, bibi, jangan bicara te ntang orang
lain. Masakannya sudah matang dan perutku
sudah lapar. Mari kita makan."
De mikianlah, ketika matahari sudah condong ke
barat dan Cin Cin meninggalkan rumah kecil itu
menuju ke te pi sungai di luar dusun, ucapan
wanita itu te rngiang lagi di telinganya dan diapun
melangkah sambil melamun. Teringatlah kenangan
lama, ketika Thian Ki bersama ayah ibunya
menjadi tamu orang tuanya. Betapa orangtuanya
dan seluruh keluarga He k-houw-pang menghormati para tamu itu, dan betapa ia dan
Thian Ki telah bersahabat baik. Kemudian, teringat
pula ia akan perte muannya dengan pemuda itu di
te pi sungai dan mau tak mau ia tersenyum geli.
Akan te tapi hanya sebentar karena ia segera
te ringat lagi bahwa kini Thian Ki yang dulu bukan
lagi Thian Ki yang sekarang. Sekarang dia adalah
anak tiri Cian Bu Ong, musuh besar gurunya yang
harus dibunuhnya! Heran ia memikirkan bagaimana ibu Thian Ki yang ditinggal mati
suaminya itu kini tahu-tahu telah menjadi isteri
bekas pangeran itu. "Cin Cin........."
Gadis itu terkejut dan sadar dari lamunannya,
menahan langkahnya dan tahu-tahu Thian Ki telah
berada di depannya. Ia mengerutkan alis, heran
dan juga penas aran karena yang ia nantikan
adalah Cian Bu Ong, bukan Thian Ki.
"Hemrn, kiranya engkau. Mau apa engkau
menghadangku?" tanyanya dengan sikap dan
suara yang ketus. Thian Ki melangkah maju mendekat. "Cin Cin,
aku adalah Thian Ki, saudara misan dan sahabatmu......"
Cin Cin mundur dua langkah. "Jangan mendekat.! Engkau bukan lagi Thian Ki putera
paman Coa Siang Lee, melainkan Thian Ki anak
musuh besarku Cian Bu Ong!"
Sedih sekali hati Thian Ki melihat sikap
mendengar ucapan itu. "Cin Cin, bersikaplah adil.
Memang benar bahwa ibuku telah menjadi janda
dan kini telah menjadi isteri bekas pangeran Cian
Bu Ong, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa ibu
dan aku menjadi musuhmu. Pula, engkau sendiri
tidak mempunyai permusuhan apapun dengan
ayah tiriku itu. Cin Cin, dengarlah baik-baik,
urusan antara ayah tiriku dan gurumu, urusan itu
adalah urusan pribadi, urusan mereka berdua,
tidak ada hubungann ya dengan kita. Mereka
dahulu saling mencinta, akan tetapi kemudian
ayah tiriku te rpaksa meninggalkannya, dan sama
sekali bukan kesalahan ayah tiriku........ "
Cin Cin melotot dan mukanya kemerahan,sinar
matanya berkilat. "Huh, kalian laki-laki memang
mau enaknya sendiri saja! Guruku di waktu gadis
telah menyerahkan segala-galanya kepada Cian Bu
Ong, mencintanya dengan seluruh jiwa raganya.
Akan tetapi Cian Bu Ong malah meninggalkannya
dan menikah dengan gadis lain. Apa ini bukan
perbuatan yang khianat dan hina" Guruku sejak
itu hidup merana, tidak pernah menikah lagi.
Tidak pernah berdekatan lagi dengan laki-laki lain,
seluruh sisa hidupnya dipergunakan untuk memperdalam ilmu agar kelak dapat membalas
dendam kepada Cian Bu Ong. Dan sekarang
engkau, anak tiri Cian Bu Ong, mengatakan bahwa
dia tidak bersalah. Apakah guruku yang disiasiakan itu yang salah" Jawab!"
Diberondong serangan kata-kata itu, Thian Ki
agak gelagapan juga. Dia memang seorang yang
tidak begitu pandai bicara, bahkan condong
pendiam. Kalau kini dia dapat mengeluarkan
banyak kata-kata, hal itu adalah karena rasa
khawatirnya, bukan terhadap ayah tirinya yang dia
tahu seorang sakti, melainkan terhadap Cin Cin.
"Gurumu juga tidak bersalah, Cin Cin. Akan
tetapi ayah tiriku juga tidak bersalah. Mereka,
sebagai dua orang kekasih, mereka telah menjadi
korban keadaan. Mereka memang saling mencinta
dan sudah bermaksud untuk menjadi suami isteri.
Akan te tapi kemudian Pangeran Cian Bu Ong
mendapat kenyataan bahwa kekasihnya itu adalah
seorang anggota keluarga tokoh-tokoh sesat yang
te rsohor karena kejahatan dan kekejaman mereka.
Sebagai seorang pangeran yang bercita-cita menjadi kaisar, te ntu saja Pangeran Cian Bu Ong
tidak ingin mencemarkan nama keluarga kerajaan
dengan menikahi kekasihnya itu, maka te rpaksa
dia meninggalkannya."
"Alasan kosong! Buktinya dia sekarang tidak
menjadi kaisar, malah menjadi lurah saja, dan
berganti nama pula.! Thian Ki, jangan engkau
mencampuri urusanku. Apapun alas annya, Cian
Bu Ong te lah menghancurkan kehidupan guruku,
dan guruku mengutus aku untuk membunuhnya,
maka hal itu akan kulakukan dan siapapun tidak
boleh menghalangiku!"
"Cin Cin, jangan kaulanjutkan niatmu yang siasia itu.......... " "Apa" Engkau berani melarangku" Engkau
hendak membela ayah tirimu itu ya?"
"Bukan membela, Cin Cin. Dia tidak perlu
dibela. Aku mencegah perkelahian ini karena aku
tidak ingin melihat engkau cedera atau tewas. Ayah
tiriku itu seorang yang sakti, Cin Cin. Engkau
bukan lawannya." Ucapan ini bagaikan minyak disiramkan kepada
api, membuat Cin Cin menjadi semakin marah.
"Kaukira aku takut" Untuk membela guruku, aku
akan mempertaruhkan nyawaku! Dan aku hendak
melihat sampai dimana kehebatan laki-laki yang
telah merusaak kehidupan guruku itu! Jangan
engkau mencampuri.!" Cin Cin bertolak pinggang
menghadapi Thian-Ki dengan sikap marah sekali.
"Kenapa dia tidak datang" Apakah Cian Bu Ong
hanya seorang pengecut yang mengirim putera
tirinya untuk membujuk agar aku mau mundur?"
Thian Ki tidak menjawab, bahkan mundur
beberapa langkah karena dia tahu bahwa ayah
tirinya sudah berada di situ.
"Nona. aku sudah berada di sini!" terdengar
suara Cian Bu Ong yang berwibawa dan te nang.
Kemudian dia berkata kepada Thian Ki. "Thian Ki,
sudah kukatakan bahwa ini urusan pribadi,
engkau tak boleh mencampuri."
"Maafkan saya, ayah," kata Thian Ki dengan hati
te rpukul dan dia hanya berdiri menjadi penonton,
jantungnya berdebar tegang.
"Bagus engkau sudah datang, Cian Bu Ong!"
kata Cin Cin. "Maaf, aku tidak tahu bahwa Thian Ki telah
mendahuluiku. Nah, aku sudah siap sekarang,
nona." "Singgg........!!" Nampak sinar berkilauan ketika
gadis itu mencabut Koai-liong-kiam dari sarung
pedang. Pedang pusaka yang ampuh itu merupakan sebatang pedang yang tajam dan
bentuknya seperti seekor naga.
"Cian Bu Ong, keluarkan senjatamu!" bentak Cin
Cin dan dengan gagahnya dan ia sudah memasang
kuda-kuda dengan pedang di tangan.
Cian Bu Ong tetap bersikap tenang. Teringat dia
kepada bekas kekasihnya, Bhok Sui Lan yang dulu
juga merupakan seorang yang lihai mempergunakan pedang, bahkan diapun te ringat
bahwa itu adalah pedang milik kekasihnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa gadis ini
memang murid bekas kekasihnya itu.
"Hemm, Koai-liong-kiam. Ingin aku melihat
sampai di mana kemajuan Sui Lan melalui
muridnya. Aku tidak perlu mempergunakan senjata, nona. Mulailah, aku sudah siap sedia."
"Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus di
tanganku!" teriak Cin Cin dan iapun menyerang
dengan pedangnya, menerjang bagaikan angin
badai mengamuk. Ge rakan pedangnya memang
dahsyat bukan main. Gadis ini maklum bahwa ia
menghadapi lawan yang tangguh dan lihai sekali,
maka begitu menyerang ia telah memainkan ilmu
pedang Koay-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga
Siluman) yang dahsyat. Cian Bu Ong mengenal
ilmu pedang ini, akan tetapi diapun tahu bahwa
ilmu pedang itu selama puluhan tahun ini tentu
telah diperhebat oleh Bhok Sui Lan, maka diapun
tidak memandang rendah dan cepat menggerakkan
kedua tangannya. Lengan bajunya yang le bar itu
menyambar-nyambar mengeluarkan angin kuat
dan agaknya kedua lengan baju yang panjang dan lebar itulah
yang dipergunakan Cian Bu Ong untuk menghadapi pedang lawan. Thian Ki yang masih berdiri di situ sebagai
penonton, melihat dengan jantung berdebar penuh
ketegangan. Dia melihat bahwa Cin Cin memang
hebat bukan main, apalagi dengan pedangnya yang
ampuh itu. Pantas kalau Kui Eng tidak mampu
menandinginya. Dia sendiripun agaknya tidak
akan mudah menang. Cin Cin telah menjadi
seorang gadis yang hebat sekali ilmu silatnya, juga
galak dan ganas! Akan te tapi, dia juga melihat
gerakan ayah tirinya dan mulailah dia merasa
khawatir. Betapapun hebat ilmu pedang gadis itu,
namun te rnyata dalam hal te naga sin-kang, dia
masih kalah setingkat oleh Cian Bu Ong. Setiap
kali ujung pedang berte mu ujung le ngan baju,
pedang itu te rpental dan nampak gadis itu seperti
orang te rkejut. Hanya kelincahan gadis itu yang
membuat mereka menjadi seimbang, karena tentu
saja Cian Bu yang sudah tua tidak mampu
menyamai kecepatan gerakan gadis semuda dan
selincah Cin Cin. Akan tetapi ada satu hal yang
membuat hati Thian Ki merasa lega, dan juga
heran. Dia maklum bahwa kalau Cian Bu Ong
menghendaki, dengan kelebihan tenaga sinkangnya, dia akan mampu mendesak bahkan
merobohkan lawannya. Akan te tapi te rnyata bekas
pangeran itu tidak melakukan hal itu. Ini hanya
membuktikan bahwa Cian Bu Ong te lah sengaja
mengalah! Dan sikap mengalah ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa ayah tirinya itu
masih mempunyai perasaan cinta terhadap guru
Cin Cin, yaitu Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan! Atau
setidaknya, ayah tirinya menyadari kesalahannya
te rhadap Bhok Sui Lan maka sekarang sengaja
mengalah terhadap muridnya.
Cin Cin yang merasa penasaran sekali tidak
mampu mendesak lawannya yang bertangan
kosong itu dengan pedangnya, tiba-tiba mengeluarkan bentakan nyaring dan melengking,
tubuhnya berputar cepat sekali dan pedangnya
digetarkan, ujung pedang menjadi banyak dan
bertubi-tubi menusuk ke arah bagian-bagian
paling berbahaya dari tu buh lawan. Sekali saja
ujung pedang itu berhasil mengenai sasaran, tentu
Cian Bu Ong, betapapun lihainya, akan roboh dan
te was! Melihat ini, timbul pula kekhawatiran dalam hati
Thian Ki. Serangan gadis itu teramat berbahaya
walaupun dengan serangan itu Cin Cin membuka
pula pertahanannya, kalau ayah tirinya te rus
mengalah, serangan itu dapat mencelakakannya .
Akan te tapi, ia tidak dapat turun tangan mencampuri karena selain dia tidak ingin menyinggung hati ayah tirinya. juga dia tidak ingin
membikin marah hati Cin Cin.
Gadis itu tidaklah jahat walaupun telah menjadi
murid seorang tokoh sesat. Ia hanya taat dan setia
kepada gurunya, dan kini berte kad membunuh
Cian Bu Ong demi gurunya, bukan karena dendam
pribadi. Kebenciannya te rnadap Cian Bu Ong juga
hal yang sewajarnya karena sebagai seorang
wanita, tentu saja ia tidak senang mendengar
gurunya menderita dalam hidupnya karena disiasiakan oleh bekas kekasihnya.
Karena desakan serangan bertubi-tubi itu,
tubuh Cian Bu Ong te rjengkang, akan te tapi bagai
binatang trenggiling, dia bergulingan ke kiri dan
sambil meloncat, diapun menggerakkan kedua
le ngan bajunya, diputar bagaikan dua buah kitiran
menyambar ke arah gulungan sinar pedang.
"Plakkk!" keras sekali ujung le ngan baju itu
bergerak, yang satu menahan ujung pedang, yang
lain menotok ke arah pergelangan tangan Cin Cin.
Tak dapat dicegah lagi, tangan kanan Cin Cin yang
seperti lumpuh seketika itu melepaskan pedangnya, akan te tapi gadis yang lihai itu masih
sempat menggerakkan kakinya menendang ke arah
dada lawan. Pandang mata Thian Ki yang terlatih
menangkap gerakan kaki ini dan melihat pula
betapa ayah tirinya masih sempat menghindar
kalau ia kehe ndaki. Namun bekas pangeran itu
agaknya memang sengaja memperlambat gerakannya dan dadanya masih te rkena te ndangan
itu. "Dukk!" Tubuh Cian Bu Ong te rjengkang dan
te rbanting keras. Dia bangkit duduk, meringis
kesakitan akan tetapi tersenyum dan berkata,
"Kiamsut (ilmu pedang) yang hebat...........!"
Akan te tapi tiba-tiba gadis itu meloncat dan
menyambar pedangnya yang tadi terlepas dan
secepat kilat ia menyerang Cian Bu Ong yang
masih duduk dan belum bangkit berdiri itu. Bekas
pangeran itu terkejut, sama sekali tidak pernah
menyangka bahwa gadis itu sedemikian ganasnya,
menyerang ia yang sudah terkena tendangan.
"Plakk!" lengan tangan Cin Cin yang memegang
pedang dite puk dari samping dan gadis terkejut
bukan main karena merasa betapa seluruh
le ngannya tergetar dan dengan sendirinya tusukan
pedangnya ke arah Cian Bu Ong itu menyamping
dan tidak mengenai sasaran. Ketika ia menengok,
ia melihat bahwa yang menghalanginya adalah
Thian Ki. Matanya melotot dan kedua pipinya
menjadi kemerahan. "Coa Thian Ki! Engkau berani menghalangi aku
membunuh musuh bes arku!" bentaknya.
"Sabar dan te nanglah, Cin Cin. Tidak tahukah
engkau betapa tadi ayah telah bersikap mengalah
kepadamu" Kalau dia menghendaki, tentu engkau
tadi telah dirobohkan. Dia sudah mengalah,
bahkan menerima te ndanganmu dengan sengaja.
Mengapa engkau begini nekat untuk menyerang
selagi dia belum siap?"
"Tidak perduli! Dia atau aku yang harus mati di
sini, dan kalau engkau membelanya, berarti
engkau menjadi musuh besarku dan harus mati
pula!" setelah membentak demikian, Cin Cin
menggunakan pedangnya menyerang Thian Ki
dengan ganasnya.! Tentu saja Thian Ki tidak ingin menjadi mangsa
pedang di tangan Cin Cin yang sedang marah itu.
Dia mengelak dan te rpaksa balas menyerang
karena kalau tidak, te ntu dia tidak mampu
bertahan terus. Diapun menggunakan ilmu silat
yang sama seperti dimainkan ayah tirinya tadi, dan
menggunakan kedua ujung le ngan baju untuk
senjata. Walaupun kedua ujung le ngan bajunya
tidak selebar lengan baju ayah tirinya, namun
Thian Ki memiliki gerakan yang lebih cepat. Pula,
dia memiliki te naga sin-kang yang amat kuat pula,
bahkan le bih kuat dari ayah tirinya berkat
kemampuannya menguasai hawa beracun yang
ada di dalam tubuhnya, ilmu yang dia dapatkan
dari mendiang Lo Nikouw atau yang dahulunya
adalah Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu, neneknya.
Diam-diam Cin Cin terkejut bukan main. Dalam
kemarahannya tadi melihat Thian Ki membela ayah
tirinya, ia kecewa dan penasaran sekali dan
hendak membunuh siapa saja yang membela
musuh besarnya. Tidak disangkanya sama sekali
bahwa Thian Ki te rnyata tak kalah lihainya
dibandingkan Cian Bu Ong! Dia te rkejut, heran
dan kagum, akan te tapi kemarahan dan rasa
penas arannya memuncak. Ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, dan mengerahkan seluruh
te naga, menggunakan ilmu pedang Koai-liongkiamsut yang memang dahsyat itu. Diam-diam
Thian Ki mengeluh dalam hatinya. Gadis ini
memang tangguh bukan main dan sukar memang
menundukkannya tanpa meruntuhkan pedangnya.
Kalau dia membuat pedang itu terlepas, hal itu
te ntu akan membuat Cin Cin menjadi semakin
marah. Akan te tapi kalau tidak demikian, bagaimana mungkin menundukkan gadis yang
lihai dan ganas ini" Satu-satunya jalan adalah
mencontoh ayah tirinya tadi.
Menjatuhkan pedang dari tangan Cin Cin dan
membiarkan dirinya te rkena tendangannya yang
lihai. Kalau dia mengerahkan sin-kang, tentu
te ndangan itu tidak akan melukainya, seperti yang
dilakukan ayah tirinya tadi.
"Haiiiiitttt..........!" Cin Cin menyerang semakin
ganas. "Cukup, Cin Cin!" Thian Ki membentak dan tibatiba saja kedua ujung lengan bajunya menangkap
dan membelit ujung pedang, lalu tangan kirinya
meluncur keluar dari ujung le ngan baju dan
menotok jalan darah di bawah siku lengan gadis
itu. "I hhh...............!" Untuk ke dua kalinya te rpaksa
Cin Cin melepaskan pedangnya, akan tetapi
dengan kemarahan meluap, dan dengan nekat
tangan kirinya bergerak mencengkeram ke arah
le her di atas pundak kanan Thian Ki. Serangan itu
demikian tiba-tiba sehingga mengejutkan Thian Ki
yang tadinya mengharapkan gadis itu akan
menendangnya seperti yang dilakukannya kepada
Cian Bu Ong. Ia cepat menarik tubuh atas ke
belakang namun Cin Cin sudah menguasai ilmu
yang membuat le ngannya dapat
memanjang beberapa inci, sehingga biarpun tangannya tidak
dapat mencapai le her, masih mampu
mencengkeram pundak kanan Thian Ki. Kelima jari
tangannya berubah seperti baja dan kuku-kuku
tangannya mencengkeram bagai lima batang pisau
tajam runcing, lima jari tangan kiri itu menancap
dan masuk ke dalam daging di pundak Thian Ki.
"Ahhh............!" Thian Ki terkejut setengah mati,
bukan karena luka di pundaknya, melainkan
karena secara otomatis, tanpa dapat dicegah lagi,
hawa beracun di tubuhnya bekerja menyambut
jari-jari tangan yang memasuki daging pundaknya
itu. "Aihhhhhhh............!" Cin Cin menjerit cepat
menarik kembali tangan kirinya dan ia te rbelalak
memandang kepada tangan kirinya yang te lah
menghitam seluruh jari tangannya. Kemudian
te rbelalak pula ia memandang kepada Thian Ki,
"Kau.......kau...........!"
Wajah Thian Ki berubah pucat sekali ketika
memandang ke arah tangan kiri gadis itu. Dia tahu
bahwa nyawa Cin Cin te rancam bahaya maut.
Hawa beracun yang ditanamkan oleh mendiang
neneknya ke dalam tubuhnya adalah racun yang
amat dahsyat, bahkan belum dapat ditemukan
pemunahnya. Hawa beracun yang membuat ke lima jari tangan
Cin Cin menghitam itu akan menjalar terus ke atas
daan kalau s udah sampai ke jantung, gadis itu tak
akan dapat diselamatkan lagi. Jalan satu-satunya
hanyalah........, Thian Ki tidak sempat banyak
berpikir lagi. Yang terpenting saat itu adalah
menyelamatkan nyawa Cin Cin. Secepat kilat dia
menyambar pedang Cin Cin yang tadi terlepas dan
berada di atas tanah, bagaikan kilat pedang itu
menyambar ke arah tangan Cin Cin yang kini
memegang le ngan kirinya dengan tangan kanan
sambil terbelalak. "Singgg......crakkk!" te pat sekali pedang itu
membabat ke arah pergelangan tangan kiri Cin Cin
dan tangan itupun buntung sebatas pergelang
tangan tangan. "Aduhhhhhh..........!" Cin Cin te rpelanting, akan
tetapi ia cepat bangkit kembali, memandang lengan
kirinya yang buntung sebatas pergelangan dengan
mata terbuka lebar. "Cin Cin......maafkan aku......maafkan aku....!"
Thian Ki berkata seperti meratap dan seperti orang
jijik dia membuang pedang itu ke tas tanah
kembali. Pedang yang baru saja membuntungi
pergelangan tangan kiri Cin Cin menancap di atas
tanah, gagangnya bergoyang-goyang seperti mengejek. "Nona, biar kuobati luka di lenganmu......." Cian
Bu Ong berkata pula s ambil menghampiri Cin Cin.
"Jangan mendekat!" Cin Cin berteriak, suaranya
bercampur is ak dan biarpun ia tidak menangis,
akan tetapi air mata bercucuran dari kedua
matanya. Ia menggunakan jari tangan kanannya
untuk menotok jalan darah di dekat siku dan
memijit bagian jalan darah dekat pergelangan yang
buntung untuk menghentikan darah keluar dari
luka. Kemudian ia mencabut pedang yang menancap di atas tanah, menyarungkan pedangnya kembali, mengambil sehelai saputangan
dan dengan tangan te rlindung saputangan, ia
memungut tangan kirinya yang buntung menghitam itu. Semua ini dilakukannya dengan amat te nang
sehingga mengerikan bagi Thian Ki. Setelah
menyimpan buntalan tangan hitam ia menatap
tajam wajah Thian Ki. "Coa Thian Ki, akan tiba saatnya engkau
membayar untuk semua ini!"
"Cin Cin, maafkan aku.......aku tidak sengaja..........." Namun Cin Cin tidak memperdulikannya dan
kini memandang kepada Cian Bu Ong. "Cian Bu
Ong sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi
kelak aku masih akan menebus kekalahan ini.
Sebelum kau mati untuk membayar dosamu
te rhadap subo, aku tidak akan berhenti berusaha."
Setelah berkata demikian, sekali loncat gadis itu
le nyap dari situ. "Aahhhhh.......Cin Cin......!" Thian Ki menjatuhkan diri berlutut dan menutupi mukanya.
Ia tidak menangis, akan te tapi dia merasa ngeri
membayangkan peristiwa tadi sehingga ia menutup
muka seolah dia tidak ingin melihat kenangannya,
ia sama sekali tidak memperdulikan pundaknya
yang terluka dan bercucuran darah.
"Sudahlah, Thian Ki. Semua itu telah terjadi dan
aku tahu bahwa engkau tidak bersalah. Gadis itu
buntung tangannya karena ulahnya sendiri. Hanya
satu hal yang membuat aku menyesal. Bhok Sui
Lan te ntu akan semakin benci dan dendam
kepaku. Dan aku menyesal mengapa engkau tidak
menurut pemintaanku agar tidak mencampuri
urusan ini." "Maaf, ayah. Akan tetapi melihat ayah tadi
te rancam, bagaimana aku dapat tinggal diam
saja?" Kakek yang masih nampak gagah itu te rsenyum
dan menghela napas. "Memang karmaku yang
buruk. Segala yang kusentuh selalu gagal. Kalau
saja tadi tidak ada engkau dan aku te was di tangan
gadis itu, segalanya akan selesai dan beres, tiada
dendam mendendam dan hutang piutang lagi.
Akan tetapi sekarang, dendam bertumpuk."
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu
menghampiri Thian Ki, menotok sekitar pundak
untuk menghentikan darah keluar, dan mengeluarkan obat bubuk dari sakunya. Setelah
mengobati luka di pundak putera tirinya, Cian Bu
Ong tanpa banyak cakap lagi lalu berjalan pulang,
diikuti dari belakang oleh Thian Ki yang berjalan
sambil menundukkan mukanya dan tidak mengeluarkan kata-kata pula. Kedua orang ini
te nggelam dalam renungan mereka sendiri, renungan yang menyedihkan.
-ooo0dw0ooo- Puteri Li Hong Lan amat terkenal dan disuka
semua orang di lingkungan Istana. Bahkan selir
kaisar, para dayang, dan permaisuri sendiri suka
kepadanya. Gadis yang berusia delapanbelas tahun
ini memang pandai membawa diri. Ia cantik jelita,
dengan wajah bulat telur, dagu meruncing dan
kulit putih kemerahan. Sepasang pipinya, terutama
bibirnya, selalu merah tanpa menggunakan alat
kecantikan. Rambutnya hitam panjang berombak.
Alisnya seperti dilukis, sepasang matanya seperti
sepasang bintang kejora, hidungnya mancung
te rutama sekali mulutnya teramat manis, dengan
bibir merah basah dan terhias lesung pipi di kanan
kiri. Kalau bibir itu te rsenyum, mata dan seluruh
bagian wajah itu seperti membayangkan senyun
pula, cerah, je naka dan lincah. Bukan hanya
wajahnya yang cantik jelita, juga gadis itu memiliki
bentuk tubuh yang mempesona dengan lekuk
le ngkung sempurna dan menggairahkan. Semua
kecantikan ini menjadi semakin cemerlang karena
iapun memiliki otak yang sehat dan cerdas
sehingga setelah berusia delapanbelas tahun. Li
Hong Lan te rkenal sebagai seorang gadis yang
menguasai ilmu silat tinggi, juga ilmu sastra yang
mendalam, ahli pula dalam segala kesenian, ahli
menari, memainkan yang-kim dan meniup suling.
Dan kalau bernyanyi, suaranya juga merdu.
Pendeknya Li Hong Lan merupakan kebanggaan
Istana, merupakan kebanggaan Kaisar Tang Tai
Cung, yaitu julukan Pangeran Li Si Bin (627 - 649)
setelah ia menjadi kaisar.
Ibunya, yang sesungguhnya bukan apa-apanya,
yaitu Kwa Bi Lan, telah belasan tahun menjadi selir
Kaisar Tang Tai Cung, semenjak kaisar ini masih
menjadi pangeran. Kaisar Tang Tai Cung mencinta
selirnya ini, yang selain menjadi selir, juga menjadi
pengawal pribadinya. Akan tetapi ada satu hal saja
yang mengecewakan hati Kaisar Tang Tai Cung,
yaitu bahwa Kwa Bi Lan sendiri tidak menurunkan
anak untuknya. Memang Bi Lan membawa Hong
Lan, akan tetapi gadis yang menjadi pute ri Istana
yang membanggakan ini, bagaimanapun juga
bukan anaknya sendiri, bahkan bukan pula anak
kandung Kwa Bi Lan! Setelah belasan tahun tinggal sebagai selir
kaisar di istana, kini Kwa Bi Lan telah berusia
empatpuluh tahun, dan Kaisar Tang Tai Cung juga
sebaya. Wanita ini tidak lagi bertugas sebagai
pengawal pribadi karena kedudukannya adalah
selir kaisar yang tadinya te rkasih dan te rpandang.
Akan te tapi telah beberapa bulan ini terjadi
perubahan besar dalam kehidupannya sebagai
seorang selir. Kwa Bi Lan menjadi selir kais ar yang
dahulunya masih pangeran, bukan karena te rtarik
oleh kedudukan seorang pangeran mahkota,
seperti hampir semua selir dan dayang kaisar,
melainkan karena dengan kesungguhan hati ia
jatuh cinta kepada Pangeran Li Si Bin yang kini
menjadi Kais ar Tang Tai Cung. Ia bertemu dan
saling jatuh cinta dengan Pangeran Li Si Bin
setelah ia menjadi seorang janda tanpa anak,
hanya membawa Hong Lan sebagai anak angkat.
Maka, iapun tidak terlalu mengharapkan kedudukan atau kemuliaan, melainkan mengharapkan kasih sayang dari pria yang
dicintanya dan yang kini menjadi suaminya. Iapun
maklum bahwa suaminya adalah seorang pangeran
mahkota dan kini menjadi seorang kaisar, maka
betapapun perih rasa hatinya melihat suaminya
memiliki sejumlah selir, dayang di samping seorang
permaisuri, iapun menahan diri dan pasrah karena
maklum bahwa kehidupan seorang kaisar tentu
saja tidak dapat disamakan dengan pria biasa yang
menjadi suami. Tidak mungkin ia memonopoli
kasih sayang Kaisar Tang Tai Cung, harus
membagi kasih pria itu dengan selir dan dayang
yang banyak jumlahnya, juga harus bersabar kalau
suaminya itu sibuk dengan urusan pemerintahan
sehingga jarang dapat dekat dengannya.
Akan te tapi, telah berbulan-bulan lamanya
kaisar seolah lupa kepadanya! Ia merasa disiasiakan. Kaisar tidak pernah datang ke kamarnya,
tidak pernah berkunjung, bahkan kalau berte mupun seolah kaisar tidak melihatnya! Ia
amat merindukan orang yang dicintanya, namun
kaisar agaknya telah lupa kepadanya.
Pada malam hari itu, Kwa Bi Lan duduk seorang
diri di pendapa tempat tinggalnya yang cukup
indah menyenangkan, le ngkap dengan perabot
rumah yang serba indah. Namun, keindahan
segala macam benda itu tidak lagi terasa indah
olehnya. Keindahan memang hanya dapat dirasakan kalau barang itu masih baru dimilikinya.
Kalau sudah menjadi miliknya, maka akan timbul
kebosanan! Apakah iapun han ya dianggap sebagai
benda yang membosankan oleh suaminya, sang
kaisar" Ia teringat akan mendiang suaminya yang
pertama, yang juga menjadi gurunya, yaitu
mendiang Sin tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki.
Dan mengenang pria ini, walaupun pria ini jauh
le bih tua darinya, suami pertama ini berusia
enampuluh tahun lebih dan ia sendiri baru
duapuluh tahun dan ketika menjadi is teri pria itu
ia masih seorang gadis , namun kini terkenanglah
ia betapa besar kasih sayang suami pertama itu
kepada dirinya. Kas ih sayang yang dirasakannya
sampai suami itu meninggal dunia. Terkenang
akan suami pertama itu, dan teringat akan dirinya
yang kini seperti dilupakan oleh suaminya yang ke
dua, yaitu sang kaisar, Kwa Bi Lan tak dapat
menahan kesedihannya lagi dan air mata menuruni kedua pipinya yang masih nampak segar
dan halus. Wanita ini memang masih cantik jelita
dalam usianya yang sudah mendekati empatpuluh
tahun itu. Akan tetapi ia segera menahan hatinya
dan menghapus air matanya. Tidak baik kalau
sampai terlihat ole h dayang, apalagi oleh puterinya.
Sebagai selir seorang kaisar sungguh akan
memalukan sekali kalau memperlihatkan kedukaan ketika kaisar lama tidak datang berkunjung. Nasib seperti ini, ia tahu diderita oleh
semua selir kaisar! Tiba-tiba kesunyian malam yang syahdu itu
dipecahkan suara yang-kim yang dimainkan oleh
jari-jari tangan yang amat pandai. Suara yang-kim
itu berdenting-denting naik turun, kemudian
diikuti suara nyanyian yang merdu. Tahulah ia
bahwa yang memainkan yang-kim sambil bernyanyi itu adalah Hong Lan, dan secercah
senyum menghias bibir wanita itu. Untung ada
Hong-Lan di sampingnya! Gadis yang te lah
dianggap sebagai anak kandungnya sendiri itulah
yang selalu memberinya semangat hidup untuk
menghadapi segala macam kepahitan. Dan iapun
mendengarkan nyanyian itu penuh perhatian.
Akan te tapi, semakin didengarkan, perlahanlahan air matanya semakin banyak bercucuran.
Puterinya itu menyanyikan lagu yang amat sedih,
lagu seorang isteri yang ditinggal mati suaminya!
Mengapa begini kebetulan" Suara nyanyian itu
bahkan kini menyayat-nyayat hatinya yang sudah
te rluka, perih dan pedih rasanya dan iapun
menjatuhkan diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan mukanya
pada bantal. Kwa Bi Lan tidak tahu bahwa suara yang-kim
dan nyanyian itu sudah lama berhenti, tidak tahu
pula bahwa Hong Lan memasuki kamarnya dengan
langkah ringan sehingga tidak menimbulkan suara.
"I bu, tidak biasanya ibu sudah tidur sebelum
larut malam. Apakah ibu tidak sehat?" Gadis itu
duduk di te pi pembaringan dan menyentuh
pundak ibunya yang rebah menelungkup.
Kwa Bi Lan te rkejut, berusaha untuk mengusap
sisa air matanya sebelum bangkit duduk. Akan
tetapi wajahnya yang pucat, pipinya yang basah
dan sepasang matanya yang merah agak membengkak membuat Hong Lan te rkejut bukan
main. Gadis itu segera merangkul ibunya. "Aih, ibu
menangis" Kenapakah, ibu" Belum pernah aku
melihat ibu menangis!" Hong Lan terkejut dan juga
heran. "Apakah ibu sakit?"
Bi Lan te rsenyum dan menggele ng kepala. Akan
tetapi senyumnya pahit sekali. "Tidak, anakku. Ibu
tidak sakit.........."
"Kalau begitu ibu berduka" Kenapa, ibu?"
Bi Lan sudah mampu menguasai dirinya. "Lan
Lan, aku tadi terharu mendengar permainan yang
kim dan suara nyanyianmu, lagu itu sedih sekali
dan tak te rasa ibu menangis."
Hong Lan menciumi pipi ibunya yang masih
basah. "Ibu sudah sering mendengar aku menyanyikan lagu itu dan biasanya ibu tidak apaapa. Ibu, aku tahu mengapa ibu bersedih. Tentu
karena ayahanda kais ar, bukan" Aku sudah cukup
dewasa, ibu dan aku mengetahui kehidupan selirselir. Bukan hanya ibu saja yang menderita
kesepian seperti sekarang ini. Banyak sudah para
bibi selir lainnya yang mengeluh kepadaku tentang
kesepian mereka karena ayahanda tidak pernah
datang lagi mengunjungi mereka. Ibu, sudah
beberapa bulan ini sribaginda tidak datang
berkunjung. Karena itu ibu merasa berduka,
bukan?" Bi Lan menundukkan mukanya. Percuma saja
membantah dan berpura-pura. Anaknya ini te rlampau cerdik untuk dapat dibohongi begitu
saja. Ia menghela napas panjang lalu berkata
membela, "Ayahmu terlalu sibuk, Hong Lan. Beliau
bertanggung jawab atas semua urusan pemerintahan yang amat banyak........ "
"Aku tahu, ibu. Banyak tugas dan banyak is te ri!
Dahulu, paling lama dua tiga hari sekali ayahanda
datang dan bermalam di sini. Sekarang berbulanbulan sudah beliau tidak pernah nampak, tidak
pernah menjenguk ibu."
Bi Lan merangkul anaknya. "Terimalah keadaan
ini dengan hati lapang, anakku. Memang beginilah
kehidupan seorang selir seperti ibumu. Sribaginda
masih termasuk seorang suami yang baik, karena
kita selalu dicukupi segala kebutuhan kita,
bukan?" "I nilah salahnya, ibu. Para wanita yang menjadi
selir raja selalu menerima keadaan, menerima
nasib. Beginilah jadinya. Sekali waktu, kalau
kebetulan aku bertemu ayahanda, akan kuingatkan beliau bahwa ibu menanti beliau di sini
dengan hati setia dan berduka."
"Eihh, jangan, Lan Lan! Beliau akan marah
kepadamu!" Melihat kekhawatiran ibunya, Lan Lan te rsenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku tidak
akan bicara sekarang, untuk sementara ini aku
akan menahan diri, akan tetapi ibu juga tidak
boleh menangis dan berduka lagi," katanya manja.
Kwa Bi Lan tersenyum dan menciumi kedua pipi
anaknya. Terima kasih kepada Tuhan, pikirnya,
bahwa aku mempunyai Hong Lan. Andaikata tidak
ada anaknya ini, ia tahu bahwa ia pasti tidak kan
betah lagi tinggal di istana.
"Lihat, ibumu sudah tidak bersedih lagi, kan"
Mari kita latihan silat!" Bi Lan meloncat turun dari
pembaringan, menarik tangan anaknya dan keduanya berlari-lari sambil tertawa ke ruangan
berlatih silat yang memang te rdapat di te mpat
tinggal ibu dan anak ini. Tak lama kemudian, ibu
dan anak ini sudah berlatih silat, bertangan
kosong, lalu bertanding pedang dan diam-diam
Kwa Bi Lan merasa gembira dan bangga, juga
kagum karena ia mendapat kenyataan bahwa
pute rinya itu kini sudah maju sekali. Ia sendiri
sukar mengalahkannya. Hal ini adalah karena
Hong Lan pandai membujuk para jagoan is tana
untuk menurunkan satu dua ilmu silat mereka
yang paling tangguh kepadanya. Dan Bi Lan
sendiri juga menggembleng pute rinya ini dan
menurunkan seluruh ilmu yang dimilikinya kepada
Hong Lan. Para dayang dan pembantu yang
kebetulan melihat ibu dan anaknya itu berlatih
silat di waktu malam seperti itu, hanya menggeleng-geleng kepala dengan heran dan
kagum. Kaisar Tang Tai Cung adalah seorang manusia
biasa, seorang pria dengan segala kelebihan dan
kekurangannya seperti orang lain, dengan kelemahannya. Ketika mudanya, semangat untuk
berjuang membesarkan Kerajaan Tang membuat
dia hanya memperhatikan urusan negara, dan
nampaknya tidak begitu te rtarik akan segala
macam kesenangan! Akan te tapi, setelah dia
menjadi kaisar dan keadaan pemerintahannya
lancar, mulailah semangat yang tadinya dikerahkan untuk perjuangan itu mencari sasaran
lain, yaitu melampiaskan nafsu mencari kesenangan. Kemewahan dia sudah mempunyai
berlimpahan, kehormatan, kemuliaan dan kekuasaan sudah berada di tangannya. Kebutuhan
manusia te rbatas sekali, akan tetapi keinginan
yang didorong oleh nafsu angkara murka membuat
seseorang tak pernah puas dengan apa yang
dimilikinya. Mulailah dia tergoda oleh nafsu
berahinya sendiri. Selirnya yang banyak mulai
membosankan, demikian pula para dayangnya
yang setiap saat dengan senang hati siap untuk
melayani segala kehendaknya. Nafsu yang dituruti
dan dimanjakan tidak pernah menjadi kenyang,
tidak pernah merasa puas, bahkan semakin
banyak tuntutannya. De mikian pula dengan nafsu
yang mencengkeram diri Tang Tai Cung. Dia selalu
haus akan wajah wanita yang baru, sehingga entah
sudah berapa banyak gadis yang menjadi kekasihnya hanya untuk waktu sebulan dua bulan
saja, lalu dia mulai mencari yang lain.
Seperti biasa, di dekat orang yang berkuasa
besar, selalu merangkak banyak kaum penjilat
yang ingin membonceng kekuasaannya, dengan
cara menjilat dan menyenangkan hati atasannya,
te ntu saja demi keuntungan pribadinya. De mikian
pula dengan Kais ar Tang Tai Cung. Banyak pejabat
tinggi, terutama para thaikam (pelayan pria kebiri)
yang mempergunakan kesempatan itu untuk
menyenangkan hati sang kaisar, dengan mencarikan gadis -gadis cantik dari daerah-daerah.
Dan pada masa itu, tidak ada seorangpun gadis
yang tidak dengan hati gembira menerima pengangkatan menjadi dayang di istana!
Menjadi dayang berarti derajat mereka naik
beberapa tingkat, apalagi kalau sampai dapat
menyenangkan hati kaisar dan diambil selir! Ada
harapan kelak menjadi permais uri.
Satu di antara dayang istana yang dimasukkan
oleh para penjilat itu, dan memasukkan seorang
gadis inipun berarti menerima hadiah yang tidak
sedikit dari orang tua si gadis , yang mau
menyerahkan seluruh milik mereka, asal anak
gadis mereka diterima menjadi dayang, adalah
seorang dari dusun yang bernama Bu Couw Hwa.
Ia sudah mempersiapkan diri menjadi dayang.
Usianya baru enambelas tahun, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekarnya, memiliki
wajah cantik manis dan bentuk tubuh yang sedang
mekar, te rutama sekali pinggulnya yang berbentuk
indah dan bes ar, dan ia sudah mempersiapkan diri
dengan segala tata-cara tentang sikap dan
kelakuan seorang dayang istana yang baik. Bahkan
ia mempelajari segala macam kesenian dan caracara untuk menyenangkan hati seorang pria
junjungannya. Akan te tapi ketika ia berhasil dimasukkan ke
dalam is tana, terlalu banyak saingan te rdapat di
istana. Terlalu banyak dayang is tana yang cantikcantik sehingga Bu Couw Hwa merasa kecil dan
rendah diri. Bagaimana mungkin ia, seorang dara
desa, mampu bersaing melawan sekian banyaknya
dayang cantik untuk menawan perhatian dan hati
Kaisar" Apalagi begitu tiba di situ, ia sudah melihat
kenyataan betapa setiap orang thai-kam dan
petugas di situ amat haus akan sogokan. Tanpa
menyogok sana sini, tidak mungkin ia mampu
mendekati Kais ar! Bahkan ia mendapatkan tugas
yang paling rendah, yaitu dayang pembersih kamar
mandi dan kakus milik kaisar!
Couw Hwa menerima pekerjaan ini dengan hati
sabar. I a menanti kesempatan yang baik dan mulai
melakukan pendekatan dengan para thai-kam yang
dekat dengan kaisar. Sampai harus habis semua
perhiasan dan bekalnya, juga gajinya yang ia
tabung, untuk menyenangkan hati para thai-kam.
Gadis yang amat cerdik ini, yang menjadi dayang
bukan sekedar mencari pekerjaan, melainkan
untuk mencapai tujuan atau cita-citanya yang
amat muluk, mengatur siasat dengan rapi dan
licin. Setelah dapat mendekati thai-kam, maka
dengan bantuan para thai-kam, pada suatu senja
thai-kam yang bertugas memberi is yarat kepada
Bu Couw Hwa. Gadis ini cepat memperhalus
wajahnya dengan bedak tipis, menggosok mukanya
dengan handuk yang dibasahi air panas, menggosok keras-keras sehingga kedua pipinya
menjadi kemerahan dan berbau harum oleh air
yang dicampuri air mawar, mengenakan baju yang
agak longgar di bagian dada, sehingga kalau ia
membungkuk, orang akan dapat melihat bukit
dadanya yang menonjol le mbut. Rambutnya yang
hitam berombak itu dibiarkan
agak kusut, te rutama di bagian dahi sehingga anak rambut
yang halus sekali melingkar-lingkar di dahi, di
pelipis, dan di belakang te linga, melingkar-lingkar
halus seperti benang sutera yang kekeringan.
Setelah itu, cepat ia mendahului masuk ke
kamar mandi pada saat para thai-kam memberi
is yarat bahwa kaisar berkenan mempergunakan
kamar mandi itu. Seperti tidak disengaja, gadis itu terkejut ketika
selagi ia membersihkan kamar mandi, kaisar
muncul di pintu kamar mandi.
"Aihh.......banswe-ban-banswe......" serunya lirih
sambil menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
Kaisar Tang Tai Cung. Kaisar yang usianya
sudah kurang le bih empatpuluh
tahun itu
te rsenyum melihat seorang dayang sedang membersihkan kamar mandi. Dia membiarkan
dayang itu berlutut dan diapun membuang air kecil
di te mpat yang disediakan untuk itu, tidak perduli
betapa dayang itu masih berlutut di situ dan
biarpun tidak melihatnya, setidaknya suara air
kencingnya terdengar. Setelah selesai, Kais ar Tang Tai Cung membereskan celananya dan membalikkan tubuh.
Dayang itu masih berlutut di situ dengan muka
menunduk, takut dan malu-malu.
"Heii kau, ambilkan air untuk aku mencuci
tangan," perintahnya.
Bu Couw Hwa dengan jantung berdebar te gang
segera mengambil sepanci air harum. Inilah
kesempatan yang dinanti-nantinya selama ini,
sejak menginjakkan kaki di lantai istana. Harus ia
pergunakan baik-baik, pikir hati kecilnya yang
cerdik. Dengan jalan berjongkok ia menghampiri
Kaisar yang masih berdiri, lalu berlutut dan
mengangkat panci air itu ke atas kepala, mukanya
tetap menunduk, akan tetapi matanya melirik ke
arah dadanya. Bagus, pikirnya, karena ia mengangkat kedua tangannya yang memegang
panci air, baju di dadanya te rbuka dengan le bar
dan memperlibatkan dua le ngkung bukit dadanya
yang indah. Kaisar Tang Tai Cung mencuci tangannya
dengan menunduk. Tentu saja, dengan sendirinya,
pandang matanya berte mu dengan sepasang bukit
yang menonjol dan nampak di balik baju yang
te rbuka sedikit itu.
"Angkat mukamu, aku ingin melihatmu," kata
Kaisar Tang Tai Cung yang mulai te rtarik. Dengan
gaya yang sudah lama dilatihnya. Bu Couw Hwa
mengangkat mukanya, muka yang amat manis,
senyum malu-malu yang memperlihatkan lesung
pipinya, dengan mata yang mengerling ke atas,
bibir yang akan terbuka menantang, cuping hidung
yang berkembang kempis, lalu ia menunduk
kembali, maklum bahwa penglihatan sekilas itu
akan jauh le bih memikat daripada kalau ia
berlama-lama membiarkan sang kaisar menatap
wajahnya. Darah tersirap ke kepala dan gairah sang
Kaisarpun timbul. "Siapa namamu, kenapa aku
tidak pernah melihat dayang secantik engkau di
sini.?" "Ampun, Sri baginda. Hamba selalu bertugas di
sini, dan hamba tidak berani memperlihatkan diri
tanpa diperintah." Suara gadis itupun sudah diatur dan dilatih
lama, maka te rdengar merdu dan juga menyenangkan. Sang kaisar yang sudah te rpikat
itu mengambil panci dari kedua tangan Bu Couw
Hwa, meletakkan panci itu ke atas meja dan ia
memegang kedua tangan gadis itu dan ditariknya
untuk berdiri. Bentuk tubuh yang indah itu,
dengan le kuk le ngkung menggairah kan, dilalap
pandang matanya, dan hidungnya ju ga mencium
keharuman yang khas keluar dari rambut dan
dada dayang itu. Tanpa banyak upacara lagi, tanpa banyak cakap
lagi. Kais ar Tang Tai Cung yang telah menjadi
hamba nafsu berahinya, merangkul Bu Couw Hwa
dan menuntunnya ke dipan yang memang menjadi
perle ngkapan kamar mandi yang luas itu dan di
situlah tercapai apa yang diidamkam hati Bu Couw
Hwa, te rlaksana semua yang te lah dicitakan, yaitu
ia berhasil memikat hati kaisar dan menyerahkan
tubuhnya melayani kaisar demi
memperoleh kedudukan yang tinggi. Setelah terjadi peristiwa itu, wajah Bu Couw
Hwa selalu berseri penuh kegembiraan, pandang
matanya bersinar-sinar penuh harapan. Pasti akan
te rcapai seperti yang direncanakan, yaitu ia yang
telah menyerahkan diri melayani sang kaisar, akan
segera diangkat menjadi seorang di antara selir
yang berjumlah tujuhpuluh dua itu, menggantikan
seorang di antara para selir yang akan dipersilakan
mundur, dan kalau sudah menjadi seorang selir,
maka semakin dekat lagi tujuan yang menjadi citacita terakhir, yaitu menjadi permaisuri ke tiga, ke
dua atau pertama! Apalagi kalau ia dapat
melahirkan seorang putera!
Cita-cita adalah kata yang halus dan indah yang
artinya tidak lain hanyalah keinginan! Dan
keinginan manusia tidak pernah ada batasnya,
makin diberi semakin mekar berkembang, karena
keinginan adalah ulah nafsu daya rendah. Keinginan adalah pengejaran akan sesuatu yang
belum dimilikinya. Pengejaran seperti ini biasanya
hanya mempunyai dua akibat. Kalau te rcapai,
sebentar saja apa yang dikejarnya mati-matian itu
akan membosankan dan sama sekali tidak
mendatangkan kebahagiaan seperti
yang
dibayangkan semula dan kalau tidak te rcapai,
timbullah kekecewaan dan kedukaan.
Sesuatu yang belum dimilikinya yang dikejarkejar, selalu dibayangkan sebagai sesuatu yang
amat indah, sesuatu yang akan mendatangkan
kebahagiaan. Akan tetapi setelah sesuatu itu dapat
dimiliki, maka memudarlah bayangan-bayangan
yang muluk akan keindahan dan kebahagiaan itu,
karena nafsu daya rendah sudah mendorong lagi
kepada kita untuk mengejar sesuatu yang lain,
yang belum kita miliki
Komentar
Posting Komentar