NAGA BERACUN JILID 17
"Lai-suheng ( Kakak seperguruan Lai )....."
wanita itu berkata lembut, berdiri di bawahserambi. Kalau saja cuaca tidak remang-remang, te ntu
akan nampak betapa wajah Lai Kun seketika
menjadi pucat sekali. Tentu saja dia segera
mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Coa
Liu Hwa. Isteri mendiang suhengnya, Kam Seng
Hin, ketua Hek-houw-pang dan yang membuat dia
gelisah adalah karena mengingat bahwa wanita itu
adalah ibu kandung Cin Cin. Segera ia mengambil
keputusan nekat. Sekali melompat, dia telah
berada di pekarangan, di depan wanita itu.
"Siapa kau! Aku tidak mempunyai sumoi
sepertimu!" katanya galak.
"Suheng, benarkah engkau tidak mengenal aku?"
Tanya wanita itu mendekat.
"Ah, engkau te ntu penjahat yang mengaku-aku
saudara. enyahlah dari sini!" teriak Lai Kun dan
dia sudah menerjang dengan pukulan ke arah
le her Coa Liu Hwa! Pukulannya keras karena ketua
He k-houw-pang ini ingin sekali pukul merobohkan
orang yang dianggapnya berbahaya itu.
"I hh.......!" Coa Liu Hwa menggeser kakinya
dengan tenang, tangan kirinya menangkis.
"Dukk!" tangan Lai Kun terpental, membuat
ketua Hek-houw-pang ini te rkejut bukan main.
Akan te tapi ia mengirim pukulan lagi bertubi-tubi.
Agaknya dia berusaha keras untuk merobohkan
lawan dengan serangkaian pukulan. Dia ingat
benar bahwa sumoinya atau pute ri gurunya ini
dahulu kalah jauh dalam hal ilmu silat, apalagi
te naga darinya. Maka dia merasa yakin bahwa
serangkaian pukulan yang dilakukan ini pasti akan
merobohkan Coa Liu Hwa, karena dia menggunakan jurus dari ilmu silat Hek-houw-pang
yang paling diandalkan dan ampuh.
Akan te tapi, wanita itu dengan sigapnya menangkis dan mengelak, gerakannya ringan dan
mantap, kemudian pada menjelang akhir rangkaian serangan itu, tiba-tiba saja tangan kiri
wanita itu meluncur dan jari tangannya menotok
pada pundaknya. Lai Kun hanya merasa tubuhnya
kesemutan dan tidak mampu bergerak lagi. Dia
telah ditotok secara luar biasa ole h sumoinya yang
dahulu kalah jauh olehnya itu!
Coa Liu Hwa tersenyum dan dengan sikap
ramah ia lalu menepuk-nepuk pundak Lai kun.
"Lai-suheng, pandanglah baik-baik siapa aku"
Mustahil engkau sudah lupa padaku?"
Begitu pundaknya dite puk-tepuk Lai Kun dapat
bergerak lagi! Dia terbelalak dan maklum bahwa
sumoinya tidak berniat buruk te rhadap dirinya,
bahkan tidak ingin membikin malu. Pada saat itu,
isterinya sudah menghampiri dan menegur suaminya. "Kenapa engkau marah-marah dan menyambut
tamu dengan serangan" Biarkan ia bicara dan
memperkenalkan diri, menceritakan apa keperluannya mengunjungi kita."
Liu Hwa memandang kepada wanita itu, lalu
kepada dua orang ana k laki-laki yang masih duduk
di kursi. "Aih, bukankah engkau ini Ci Nio, puteri
kusir Ci Hoat" Ci Nio, tidak ingat lagikah engkau
padaku?" Isteri Lai Kun yang bernama Ci Nio itu
mengamati, kemudian dengan kaget dan gembira
dia berseru. "Bukankah engkau bibi Coa Liu Hwa?"
Kepada suaminya ia berte riak. "Ini bibi Coa Liu
Hwa, ibu Cin Cin!" Tentu saja Lai Kun sudah tahu. Karena dia
mengenal Liu Hwa, maka dia tadi menyerangnya.
Dia teringat akan perbuatannya te rhadap pute ri
wanita ini. Dia telah menjual Cin Cin kepada
rumah pelesir, dan karena takut dan mengira
kedatangan bekas sumoinya ini tentu akan
menuntut, maka dia tadi mendahului dengan
serangkaian serangan. Kini, melihat betapa
sumoinya telah menjadi orang yang lihai, diapun
pura-pura baru mengenalnya.
"Aih, kiranya Coa-sumoi..........!"
te riaknya, matanya memancarkan kehe ranan. "Silakan, sumoi, silakan duduk........" Lai-pangcu tampak
gugup . Liu Hwa tersenyum.
"Nanti dulu, aku tidak sendirian!"katanya dan ia
menoleh, lalu mengangkat lengan kiri ke atas
memberi is yarat. Tak lama kemudian, dari luar
pagar muncullah seorang laki-laki yang gagah
perkasa. Laki-laki itu berusia enampuluh tahun,
namun masih nampak gagah, bertubuh tinggi
besar dan tegap, mukanya dihias cambang bauk
yang rapi. "Lai-suheng, ini adalah..........suamiku, namanya
Lie Koan Tek!" Liu Hwa memperkenalkan,
lalu kepada suaminya ia berkata, "Ini adalah suheng Lai Kun yang s ekarang menjadi pang-cu baru
dari He k-houw-pang. Dan mereka adalah.....anak
dan isterimu bukan, s uheng?"
Lai Kun mengangguk-angguk dan cepat dia dan
isterinya membalas penghormatan suami Liu Hwa.
"Saudara........Lie Koan Tek.........aku seperti...........pernah mendengar nama itu...." kata
Lai Kun yang masih gugup dan tegang hatinya.
Liu Hwa te rsenyum mengangguk, " Suamiku
adalah Lie Koan Tek yang kau maksudkan itu,
suheng, tokoh Siau-lim-pai yang terkenal.
"Ah, maaf, maaf.! Kami bersikap kurang
hormat.... " kata Lai Kun, gentar bukan main. Kini
tahulah dia mengapa tadi dia kalah oleh sumoinya
yang dahulu dia yakin tidak akan mampu
menandinginya. Kiranya sumoinya telah menjadi
isteri pendekar yang terkenal itu.!
"Harap jangan sungkan, Lai pangcu," kata Lie
Koan Tek. "Mari, silakan duduk. Aku harus memberi tahu
kepada semua anggota Hek-houw-pang. Kedatanganmu harus disambut meriah, sumoi."
"Jangan, suheng! Aku datang bukan untuk itu,
melainkan ada keperluan pribadi," kata Liu Hwa
dan ia bersama suaminya lalu mengambil tempat
duduk. "Aku memang sengaja datang di malam
hari begini agar tidak perlu kalian ramai-ramai
menyambut dan setelah mendapat kete rangan
yang kuperlukan darimu, aku akan segera pergi
dari sini.. " "Keperluan pribadi apakah, sumoi" Katakanlah,
te ntu kani akan membantumu sekuat tenaga."
Dalam hatinya tentu saja Lai Kun sudah dapat
menduga apa yang akan ditanyakan wanita itu,
akan tetapi dia pura-pura bertanya dan diam-diam
dia bersiap mengatur jawaban.
"Aku hanya ingin bertanya padamu te ntang
anakku Cin Cin. Bukankah Lai-s uheng yang dulu
mengantarnya untuk berguru kepada toa-ko
(Kakak) Si Han Beng, Naga Sakti Sungai Kuning di
dusun Hong-Cun?"
Kalau saja Lai Kun belum siap dan belum
memperhitungkan bahwa tamunya te ntu akan
bertanya demikian, mungkin dia akan terkejut dan
bingung karena akan merasa ditodong dengan
pertanyaan itu. Akan tetapi dia bersikap te nang.
Tidak ada orang tahu te ntang peristiwa antara dia
dan Cin Cin itu, dan ketika dia pulang dahulu, dia
sudah menceritakan kepada semua orang tentang
Cin Cin. Kini dengan sikap tenang dia menghela
napas panjang.. "Sudah sejak dahulu aku mengkhawatirkan
bahwa pada suatu hari, engkau akan bertanya
seperti ini kepadaku, sumoi, dan aku te rpaksa
harus menjawab dan memberitahukan berita yang
tidak menyenangkan kepadamu."
"Lai-suheng, apa yang te rjadi" Ceritakanlah!"
desak Liu Hwa, wajahnya berubah dan hatinya
merasa tidak enak. "Seperti sudah berulang kali kuceritakan pada
semua anggota He k-houw-pang, aku mentaati
pesan mendiang suhu Coa Song untuk mengantar
Cin Cin ke Hong-cun. Perjalanan kami tadinya
lancar walaupun di sepanjang perjalanan Cin Cin
rewel tidak mau diajak ke Hong-cun, akan te tapi
mendesak aku agar mencarimu, sumoi. Aku tidak
tahu harus mencarimu ke mana, maka aku
membujuknya mengatakan bahwa kami akan
mencarimu. Tentu saja aku terus menuju ke Hongcun. Akan tetapi, di dalam perjalanan itu, kami
dihadang gerombolan perampok. Aku melakukan
perlawanan mati-matian dan akhirnya berhasil
merobohkan beberapa orang perampok dan lainnya
melarikan diri. Akan tetapi Cin Cin yang tadinya
menonton di bawah pohon, tahu-tahu telah lenyap.
Tentu ia melarikan diri karena memang tidak mau
kuajak ke Hong-cun dan sempatan itu agaknya ia
pergunakan untuk melarikan diri. Aku mencarinya
sampai berbulan-bulan, namun sayang, aku tidak
dapat menemukan jejaknya. Terpaksa, dengan hati
sedih aku kembali ke sini dan menceritakan hal itu
kepada para anggota Hek-houw-pang."
Sejak tadi Liu Hwa tidak pernah mengganggu
cerita Lai Kun, hanya mendengarkan saja dengan
hati yang sedih. Selama ini, sejak menjadi isteri Lie
Koan Tek dan hidup berbahagia dengan suaminya
yang amat menyayanginya, ia menghibur hatinya
dengan anggapan bahwa tentu pute rinya, Kam Cin,
telah menjadi murid Huang-ho Sin-liong Si Han
Beng dan menjadi seorang gadis yang pandai.
Siapa kira, mendengar cerita Lai Kun, semua
angan-angannya itu membuyar, diganti kedukaan
dan kekhawatiran. "Cin Cin anakku....... " Liu Hwa mengeluh, akan
tetapi ia mengeraskan hatimya dan tidak menangis, apa lagi ketika merasa betapa tangannya di pegang suaminya.
"Sumoi, maafkan aku telah gagal mengantar Cin
Cin ke Hong-cun......." kata Lai Kun, nada
suaranya menyesal. "Bukan salahmu, suheng. Akan tetapi, katakan
siapa perampok itu, atau siapa pemimpinnya."
"Aku tidak tahu, mereka tidak memperkenalkan
nama, sumoi." "Hemm, kalau begitu, di mana
te rjadinya?"
Menghadapi pertanyaan tiba-tiba ini, Lai Kun
agak te rkejut dan dengan suara ragu dia
menjawab. ."Di.....kota........eh, Lok-yang,... ya di
Lok-yang." Hampir saja dalam kegugupannya dia
menyebut kota Ji-goan, di mana Cin Cin dia jual ke
rumah pelesir! Untung dia te ringat dan masih
sempat menyebut Lok-yang, kota besar di seberang
sungai Kuning sebelah selatan.
Liu Hwa bangkit berdiri dan berkata kepada
suaminya. "Mari kita pergi," dan kepada Lai Kun ia
berkata, "Lai-suheng, kami akan pergi. Terima
kasih atas keteranganmu. Mudah-mudahan engkau akan baik-baik menjaga Hek-houw-pang,
jangan sampai ada anak buah yang melakukan
penyelewengan. Aku sudah mendengar semua
te ntang He k-houw-pang yang menerima anugerah
dari kaisar, dan aku berterima kasih kepadamu
atas pimpinanmu yang baik."
"Sumoi, engkau hendak pergi ke manakah"
Apakah engkau dan suamimu tidak tinggal saja di
sini dan membantu Hek-houw-pang?" kata Lai
Kun. "Terima kasih, suheng. Aku tidak mungkin
tinggal di sini, aku harus ikut suamiku. Nah,
selamat tinggal." Liu Hwa dan suaminya memberi
hormat yang dibalas oleh Lai Kun dan isterinya,
kemudian mereka berdua melangkah keluar dan
menghilang di kegelapan malam.
Sampai lama Lai Kun berdiri te rte gun, memandang ke dalam kegelapan, ke arah mereka
pergi dan pikirannya melamun jauh. Timbul
penyesalan besar dalam hatinya kalau ia te ringat
akan perbuatannya menjual Cin Cin kepada rumah
pelesir dahulu. Kenapa tadi dia menyebut Lokyang" Lok-yang dekat dengan Ji-goan, dan
bagaimana kalau Liu Hwa melakukan penyelidikan
ke sana dan bertemu Cin Cin" Lai Kun menyesal
bukan main. Pada dasarnya dia bukan orang jahat.
Kalau dulu dia menjual Cin Cin adalah karena Cin
Cin rewel dan membuat perjalanan itu melelahkan.
Juga dia te ringat pada Sui Su. pelacur yang
mampu menghiburnya ketika hatinya sedang risau.
Dia bukan berniat jahat terhadap Cin Cin,
melainkan dia ingin terbebas dari keadaan yang
menjengkelkan hatinya. Nafsu daya rendah adalah setan yang selalu
mempengaruhi hati akal pikiran kita. Nafsu daya
rendah yang diikut-sertakan kepada kita ketika
kita dilahirkan sebagai manusia, pada hakekatnya
diberikan sebagai anugerah, agar dapat membantu
kita dalam kehidupan kita sebagai manusia di
dunia. Akan te tapi, daya rendah berusaha
sekuatnya untuk menguasai kita, menjadi nafsu
yang mencengkeram dan memutar balikkan keadaan sehingga bukan lagi kita menjadi majikan
dan daya rendah menjadi hamba atau alat,
sebaliknya kita yang menjadi budak, diperalat oleh
nafsu. Setan ini memang licik bukan main sehingga
akal pikiran kita dibikin buta. Kadang kesadaran
dalam diri, hati nurani kita, memperingatkan kita
akan suatu perbuatan yang tidak baik, tidak benar.
Namun nafsu daya rendah yang memperole h
keuntungan dari perbuatan itu, yaitu untuk
melampias kan kehendak nafsu, dengan cerdiknya
menjadi pokrol untuk membela perbuatan itu,
untuk membenarkan perbuatan itu. Bisikanbisikan berupa alas an-alasan yang nampaknya
te pat dan kuat dihembuskan nafsu ke dalam
pertimbangan kita bahwa perbuatan itu benar atau
tidak salah, atau kesalahan terpaksa dan sebagainya lagi. Tidak ada seorangpun manusia
yang benar-benar TIDAK TAHU, bahwa perbuatannya jahat dan tidak benar, namun dia
tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk
mencegah perbuatannya sendiri! Demikian kuatnya
nafsu mencengkeram kita. Setiap pencuri pasti
tahu bahwa mencuri itu tidak baik. Setiap
pembunuh pasti tahu bahwa membunuh itu
berdosa besar, dan masih banyak macam kejahatan di dunia ini yang dilakukan orang, dan
semua orang yang melakukannya pasti tahu bahwa
perbuatannya itu tidak baik, tidak benar atau
berdosa, namun tetap saja dilakukannya! Kenapa
demikian" Karena nafsu telah mencengkeram
seluruh dirinya, hati akal pikirannya, sehingga
suara hati nurani menjadi lemah, tenggelam ke
dalam suara setan yang membela dan membenarkan perbuatan itu dengan seribu satu
macam alasan. Setiap orang pasti merasakan hal ini. Penyesalan
selalu datang kalau akibat buruk datang menimpa.
Dan setan membisikkan lagi cara-cara untuk
menyelamatkan diri, dengan cara apapun juga.!
Banyak di antara kita yang mendengar bis ikan hati
nuraninya sendiri dan menyesali perbuatannya,
ingin menaklukkan nafsu-nafsunya. Namun selalu
saja gagal. Mengapa demikian" Karena YANG
INGIN menaklukkan nafsu itu bukan lain adalah
NAFSU ITU SENDIRI! Yang ingin bertobat karena
perbuatan dosa adalah si pembuat dosa itu sendiri,
dengan dasar bahwa perbuatannya itu mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan dia
ingin te rbebas dari malapetaka itu. Perbuatan dosa
itu dilakukan karena dorongan nafsu ingin senang,
dan penyesalan, lalu keinginan bertobat itupun
didorong nafs u yang ingin senang karena terhindar
dari akibat yang tidak menyenangkan.! Lingkaran
setan ini terjadi setiap hari dan setiap saat dalam
diri kita. Maka, terjadilah pengulangan. Hari ini
berbuat salah, besok menyesal dan bertobat. Besok
lalu berbuat salah lagi, bertobat dan menyesal lagi.
De mikian seterusnya karena lingkaran setan itu
berputar te rus. Nafsu tidak mungkin dimatikan,
tidak mungkin dibuang dari diri kita, karena kalau
hal itu dilakukan, kita akan mati, atau kita tidak
akan menjadi manusia lagi. Nafsu daya rendah
mutlak perlu bagi kehidupan kita, seperti api pada
motor, seperti kuda pada kereta. Segala kemajuan
hidup duniawi adalah karena jasa nafsu yang
bekerja sama dengan hati akal pikiran. Namun,
segala macam kejahatan yang kita lakukan pun
akibat dorongan nafsu daya rendah.
Lalu kalau begitu bagaimana" Nafsu penting
bagi kehidupan kita, akan tetapi nafsu juga
menyeret kita ke dalam perbuatan dosa! Hidup ini
baru sesuai dengan kodratnya kalau nafsu menjadi
alat kita, bukan kita menjadi alat nafsu. Nafsu
harus kembali kepada tempat, kedudukan dan
fungsinya yang semula, yaitu menjadi budak atau
alat kita! Tapi bagaimana" Kalau usaha kita
menundukkan nafsu juga merupakan usaha nafsu,
lalu siapa ang akan dapat mengembalikan nafsu
pada te mpatnya semula" Hanya Yang Menciptakannya! Hanya kekuasaan Tuhan sajalah
yang akan dapat mengatur itu, membebaskan kita
dari cengkeraman nafsu. Dan kekuasaan Tuhan
bekerja kalau kita menyerah dengan seluruh jiwa
raga kita, menyerah dengan penuh keikhlasan,
ketawakalan, kesabaran. Tuhan Maha Pencipta,
Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Tuhan mengetahui apa yang yang te rbaik untu k kita.
Tuhan mengetahui apa yang berada di dalam
lubuk hati kita. Kalau kita menyerah dengan
seluruh jiwa raga kita, maka kekuasaan Tuhan
akan bekerja mutlak! Dan tidak ada hal yang tidak
mungkin bagi kekuasaan Tuhan.
Menyerah! Kata yang sederhana, mudah diucapkan dan mudah dimengerti. Namun, tidaklah begitu mudah untuk dilaksanakan. Kalau
penyerahan itu masih merupakan penyerahan dari
hati akal pikiran, maka di situ terkandung nafsu
dan penyerahan seperti itu sudah pasti berpamrih
pula! Menyerah agar begini agar begitu, pendeknya
agar mendapatkan keuntungan atau kesenangan,
agar menghindarkan kerugian atau kesusahan. Ini
bukan penyerahan namanya, melainkan usaha
nafsu untuk mendapatkan sesuatu, dan penyerahan hanya dijadikan alat atau cara saja.
Dan kalau nafsu yang berusaha, maka pasti
syaitan yang datang. Penyerahan dalam hal ini
adalah penyerahan tanpa pamrih te rtentu. Penyerahan berarti mati di depan Tuhan, dan
kekuasaan Tuhan yang membangkitkan kita
kembali. Sebagai manusia lain, bukan pula budak
syaitan nafsu, melainkan hamba Tuhan! Kalau
sudah begini, maka tidak ada masalah lagi, karena
apapun yang te rjadi pada diri kita, sudah
dikehendaki Tuhan dan tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tidak akan ada keluhan
keluar dari batin kita, yang ada hanyalah puji
syukur kepadaN ya. Penyesalan yang dirasakan Lai Kun hanya
penyesalan karena kini dia merasakan akibat dari
perbuatannya, yang menimbulkan perasaan takut.
Penyesalan macam ini seperti orang yang memberi
kompres dingin kepada luka untuk menghilangkan
rasa nyeri akibat luka itu, tanpa dapat menyembuhkan luka itu sendiri.
Lai Kun tidak berani mengakui kesalahannya
te rhadap siapapun, te rhadap is terinya tidak,
apalagi te rhadap Coa Liu Hwa ibu Cin Cin. Dia
menyimpannya sebagai rahasia pribadinya, dan
justru inilah yang membuat dia selalu merasa
gelisah. Andaikata di depan Liu Hwa dia berani
berte rus terang mengakui kesalahannya, dengan
siap menanggung segala akibat daripada perbuatannya, bertanggung jawab, maka te ntu
kegelisahannya tidak akan ada lagi.
o-ooo0dw0ooo- Gadis yang cantik jelita itu berdiri di tepi sungai
Kuning yang luas seperti anak lautan. Perutnya
te rasa lapar sekali dan ketika ia berdiri di tempat
sunyi itu sambil termenung, agak kesal karena
tidak nampak perumahan di situ, apalagi penjual
makanan, ia melihat meluncurnya beberapa ekor
ikan bersisik kuning dan merah di te pi sungai.
Matanya segera bersinar-sinar, wajahnya gembira
dan lidahnya yang merah te rjulur ke luar menjilati
bibirnya yang merah basah. Ia mengilar melihat
ikan-ikan itu, karena ia mengenal bahwa ikan itu
semacam ikan emas yang amat lezat dagingnya.
Perutnya sedang lapar, di situ tidak ada orang,
tidak ada penjual makanan, akan tetapi ada ikan
yang gemuk dan gurih dagingnya berenang lewat
seperti mengeje k dan menggodanya! Tidak ada
pancing, tidak ada jala, tidak ada benda untuk
menangkap ikan itu. Cin Cin, gadis jelita itu, menengok ke kanan kiri
dan belakang. Tidak nampak orang di situ. Sunyi
dan jauh dari keramaian orang, juga di atas air itu
tidak nampak perahu. Hanya nampak layar
perahu-perahu yang jauh di sana, perahu para
nelayan mencari ikan. Hari sudah menjelang senja,
tak lama lagi hari akan menjadi gelap sehingga
akan semakin sukar mencari makanan. Ia tidak
mau melewati malam itu dengan perut tersiksa
lapar. Dan iapun perlu membersihkan diri setelah
hari itu melakukan perjalanan jauh yang melelahkan dan kulit tubuhnya penuh debu yang
bercampur keringat mendatangkan rasa gerah dan
le kat. Setelah yakin di situ tidak ada orang lain, tanpa
ragu lagi Cin Cin menanggalkan pakaiannya satu
demi satu dan ditumpuknya pakaian itu di balik
semak-semak. Iapun berte lanjang bulat, meloncat
ke dalam air dengan luncuran seperti seekor ikan
lumba-lumba! Tidak banyak air muncrat dan tidak
menimbulkan banyak suara ketika tubuhnya
menusuk dan masuk ke dalam air dengan kedua
le ngan dan kepala lebih dahulu.
Cin Cin memang memiliki keahlian renang
bermain dalam air seperti seekor ikan. Mungkin
seperti dialah ikan duyung yang te rkenal dalam
dongeng itu. Rambutnya tadi dile pas dari sanggul
dan rambut itu te rurai panjang, lebat dan le mbut.
Ia menyelam dan tak lama kemudian ia sudah
berhasil menangkap dua ekor ikan sebesar
le ngannya sendiri, seekor bersisik kuning dan
seekor bersisik kemerahan, keduanya dengan perut
berwarna putih. Ikan-ikan yang gemuk berdaging
te bal.! Dibawanya dua ekor ikan itu ke darat dan
dibiarkan menggele par di balik semak, lalu iapun
masuk lagi ke air dan mandi. Betapa sejuk dan
segarnya air itu. Lenyap semua rasa lelah dan
gerah. Terasa nyaman, bersih dan segar. Iapun
menggosok-gosok kulit tubuhnya sambil duduk di
atas batu yang menonjol keluar dari air, dan
dengan sendirinya mulutnya bersenandung lirih.
Kalau tubuh te rasa nyaman dan hati akal
pikiran tidak dibebani persoalan, maka akan
timbul perasaan bahagia yang membuat orang
condong untuk bersenandung! De mikianlah agaknya yang mendorong orang untuk bersenandung di waktu mandi. Keseimbangan rasa
nyaman tubuh dan rasa te nang batin ini
mendatangkan keseimbangan yang membuat hidup di saat itu terasa nikmat.
Cin Cin sama sekali tidak menyadari bahwa ada
sepasang mata yang mengamatinya dari balik batu
besar. Mata seorang pria, seorang pemuda yang
sebaya dengannya, seorang pemuda yang tampan
dan bertubuh te gap. Mula-mula ketika mendengar
suara senandung, pemuda itu tertarik dan berindap menghampiri. Setelah dia melihat apa
yang bersenandung itu, seorang gadis bertelanjang
bulat duduk di atas batu dan membersihkan tubuh
dengan menggosok-gosoknya, dengan rambut yang
panjang te rurai, sebagian menutupi dadanya
menyembunyikan sepasang bukit dada dan warna
rambut yang hitam membuat kulit tubuh itu
nampak semakin putih mulus, wajah yang manis
dan riang. Pemuda itu terbelalak, kemudian
mukanya menjadi kemerahan dan diapun te rpesona. Bukan gairah nafsu yang te rbayang
dalam pandang matanya, melainkan keheranan
dan ketakjuban, seperti seseorang melihat mahluk
lain dari luar angkasa, seperti seorang melihat
bidadari mandi di tepi sungai.
Memang, gadis itu seperti mahluk aneh bagi
pemuda itu karena selama hidupnya, baru sekali
ini ia melihat seorang gadis dewasa berurai rambut
dan berte lanjang bulat seperti itu! Karena selama
ini, biarpun usianya sudah duapuluh satu tahun,
tidak pernah te rlintas dalam benaknya hal-yang
ada hubungannya dengan birahi, maka dia tidak
melihat hal-hal yang menimbulkan rangsangan
nafsu birahi, dan pandang matanya penuh dengan
pesona dan keheranan, terpesona karena penglihatan itu amat indah baginya, juga amat
mengherankan.
Saking heran dan te rpesona, pemuda itu lupa
diri untuk bersembunyi dengan hati-hati. Dia kini
berdiri dan nampak dari dada ke atas di baik batu
itu, tidak tahu bahwa yang diintainya adalah
seorang gadis yang memiliki ketajaman dan
kepekaan rasa dan pandangan yang lain daripada
orang lain. Pandang mata yang penuh perhatian
dan perasaan memiliki getaran yang kuat sekali,
apa lagi bagi seorang sepeka Cin Cin perasaannya.
Ia merasakan getaran itu yang membuatnya
menengok dan.........dua pasang mata berte mu
pandang. Sekilas saja karena kepala pemuda yang tadi
nongol di balik batu lenyap lagi dan Cin Cin juga
tidak memperlihatkan suatu sikap yang menunjukkan bahwa ia telah melihat adanya
seorang pengintai. Ia menekan kemarahannya, dan
dengan tenang gadis itu turun ke air, sekali lagi
membiarkan kegerahan dan keletihan larut bersama debu di tubuh te rbawa air, dan iapun
berenang ke balik semak, mengenakan pakaiannya
dan menggelung rambutnya sejadinya saja agar
cepat. Namun dari balik semak ia memperhatikan
dan tahu bahwa si pengintai itu masih berada di
balik batu bes ar. Awas, engkau, laki-laki kurang ajar, gumamnya
dalam hati. Setelah semua pakaian bersih yang
diambilnya dari buntalan dipakainya, juga sepatunya, tiba-tiba saja tubuhnya meloncat dan
seperti seekor burung garuda tubuhnya melayang
ke balik batu besar.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati
pemuda yang tadi mengintai. Sama sekali tidak
disangkanya bahwa gadis yang tadi disangka
bidadari atau ikan duyung atau mahluk dari dunia
lain, dapat meloncat seperti terbang dan tahu-tahu
telah berdiri di depannya dalam pakaian lengkap
walaupun agak acak-acakan karena te rburu-buru
dan rambutnya yang digelung sederhana itu masih
meneteskan air. Wajah yang masih agak basah itu
segar kemerahan, akan tetapi sepasang mata yang
jeli itu mencorong penuh kemarahan.
"Laki-laki kurang ajar! Berani engkau mengintai
orang mandi, ya" Apakah nyawamu rangkap" Ah
engkau sudah bosan hidup?"
Aduh manisnya, aduh galaknya! Demikian keluh
pemuda itu, tidak kelihatan takut melainkan malumalu dan mukanya juga menjadi kemerahan. Dia
mengangkat ke dua tangan ke depan dada
memberi hormat, matanya yang tajam bersinar
itu menatap wajah Cin Cin dengan lembut dan
penuh penyesalan. "Harap nona suka memaafkan saya. Saya
kebetulan lewat dan mendengar suara senandung
tadi membuat saya tertarik dan ingin melihat siapa
yang bersenandung, tidak menyangka sama sekali
bahwa ada seorang gadis sedang mandi di sana.
Sekali lagi, maafkan kelancangan saya, nona."
Sikap pemuda itu lembut dan sopan, dan di dalam
suaranya te rkandung penyesalan yang tidak
dibuat-buat. Akan tetapi ia masih merasa penas aran. Laki-laki ini sudah melihat ia bertelanjang bulat. Tidak mungkin hal seperti itu
dibiarkan saja hanya dengan maaf! Alangkah
enaknya! "Hem, kebetulan lewat dan kebetulan melihat.
Mengapa engkau tadi memandang dengan melotot?" tanyanya dengan suara bengis .
Pemuda itu menjadi semakin gugup dan
wajahnya semakin merah. "Aku.........saya.......eh..
Aku tadi.......te rkejut dan heran, terpesona karena
mengira ada........."
"Ada apa" Aku bukan setan, bukan iblis, bukan
siluman" Hayo katakan, kaukira ada a pa?" kembali
Cin Cin membentak. ".......tadinya kukira nona.......ehh, seorang bidadari dari kahyangan............."
Cin Cin terbelalak, mengira pemuda itu berolokolok, akan tetapi melihat pandang mata yang jujur
itu nampaknya sungguh sungguh dan entah
mengapa. tiba-tiba saja hatinya merasa senang
sekali. Entah senang karena wajah yang tampan
dan simpatik itu, entah karena sinar mata yang
tajam bersinar itu, ataukah karena pujian itu.
Pujian tidak langsung. Ia disangka bidadari
kahyangan! Hati siapa tidak akan te rasa ayem
te nte ram, gembira bangga, menggembung seperti
katak te rkejut, kalau disangka bidadari" Bidadari
adalah mahluk wanita yang cantik jelita, sakti dan
bijaksana Akan te tapi kegembiraan itu hanya
menyelinap di hati Cin Cin dan hanya mencuat
keluar melalui sinar matanya saja. Mulutnya masih
dicemberutkan.
"Hemm, enak saja engkau mengintai orang
mandi, lalu minta maaf begitu saja. Engkau yang
enak, aku yang muak. Lain kali engkau akan
memukul orang, menghina orang, atau membunuh
orang lalu minta maaf dan sudah, ya" Enaknya!"
Aduh. galak benar, pikir pemuda itu. Dia
menahan senyumnya karena maklum bahwa
senyum geli hatinya akan dapat disalah-tafsirkan
pula, disangka senyum mente rtawakan. Bis a lebih
runyam lagi. Kembali dia mengangkat kedua
tangan memberi hormat. "Maaf........ "
"Sudahlah, jangan berulang kali memberi hormat merangkap kedua tangan di depan dada
lalu membungkuk-bungkuk. Memangnya sekarang
ini hari sincia (tahun baru) untuk saling memberi
selamat.! Memangnya aku ini sedang merayakan
sesuatu, maka engkau te rus-terusan memberi
salam" Katakan saja apa maumu, jangan banyak
maaf segala. Sebelum kau minta, maafku kepadamu sudah habis!"
Pemuda itu terbelalak, namun hatinya tertarik
sekali. Selama hidupnya dia tidak banyak bergaul
dengan gadis -gadis cantik, dan biarpun ada gadis
cantik yang juga galak, akan tetapi agaknya tidak
segalak dan sebengal yang satu ini.
"Baiklah, aku tidak lagi minta maaf. A kan tetapi,
aku sudah merasa bersalah dan apa yang harus
kulakukan sekarang?" tanyanya, sikap dan nada
suaranya merendah.
"Engkau harus dihukum!" Suaranya begitu
mantap seperti seorang hakim mengetukkan palu
pada keputusan sidang pengadilan menjatuhkan
hukuman pada pesakitan. "Baik, aku sudah bersalah dan aku siap
menerima hukumannya," kata pemuda itu dan
sikapnya yang te nang mulai menarik hati dan
mengejutkan Cin Cin. "Orang bilang, hutang uang membayar uang,
utang budi membayar budi. I tu baru adil namanya.
Engkau tadi melihat aku mandi, sekarang hukumannya harus kaute bus dengan keadaan
yang sama. Engkau mandi dan aku yang melihatnya!" Setelah berkata demikian, dengan
gerakan yang cepat sekali Cin Cin sudah
menangkap pergelangan tangan pemuda itu dan
mendorongnya ke sungai. Pemuda itu terkejut,
agaknya tidak melawan dan tubuhnya terlempar ke
air. "Byuuur........!" Air muncrat tinggi ketika pemuda
itu terbanting ke air dengan pinggul te rlebih
dahulu. Cin Cin te rtawa terkekeh-kekeh melihat
pemuda itu gelagapan, tenggelam lalu muncul dan
menyemburkan air dari mulutnya. Ia kini nampak
seperti seorang anak kecil menerima mainan baru,
demikian gembira dan wajahnya berseri-seri segar.
"Nah, rasakan kamu! Mandilah sepuasnya sampai
bersih!" katanya dan sekali berkelebat Cin Cin
sudah lenyap dari te pi sungai itu.
Tinggal pemuda itu yang berenang ke te pi
bersungut-s ungut. "Sialan!" katanya kepada diri
sendiri sambil memandang ke bekas tempat gadis
itu tadi berdiri, lalu diapun berenang ke batu yang
tadi diduduki Cin Cin, naik dan duduk di situ.
Pakaian dan rambutnya basah kuyup. "Sial hari ini
berte mu dengan........bidadari cantik manis akan
tetapi galaknya seperti setan!"
Dia melepaskan tekukan rambutnya dan memeras air dari rambutnya, akan te tapi air itu
malah menyiram ke bajunya. "Huh, kepalang
basah!" katanya lagi dan diapun memandang ke
kanan kiri. Sunyi, ia menanggalkan pakaiannya
yang basah, juga sepatunya, memeras baju dan
celana, menuangkan air keluar sepatunya dan
merentangkan baju, celana dan sepatunya di atas
batu. De ngan bertelanjang bulat diapun kini mandi
sekalian sambil menanti pakaian dan sepatunya
te rtiup angin dan agak kering.
Dan dia menemukan kenyataan betapa segarnya
mandi di situ. Gadis itu benar.!
Memang menyenangkan sekali air di s itu. Dasarnya berbatu
dan berpasir, dan airnya cukup je rnih. Tempatnya
sunyi sepi. Setelah merasa agak dingin, dia berenang
kembali ke batu tadi, baik ke atas batu dan meraih
pakaian hendak dipakainya sambil berdiri di atas
batu, bertelanjang bulat. Tiba-tiba matanya melihat
sebuah buntalan di dekat semak-semak, dan
setumpuk pakaian. Gadis itu! Benar saja, te rdengar suara cekikikan tawanya dan tiba-tiba
gadis itu muncul di balik semak-semak.
Memang tadi Cin Cin sudah pergi, akan tetapi ia
te ringat bahwa buntalan dan pakaiannya yang
kotor masih berada di balik se mak-semak, maka ia
kembali ke situ untuk mengambilnya. Kebetulan
ketika ia datang melihat pemuda yang tadi
dilemparkannya ke sungai kini berdiri bertelanjang
bulat di atas batu yang tadi, sehingga ia melihat
semuanya. Ia terbelalak, terkejut, terheran, akan
tetapi juga geli maka tertawalah ia.
"Heiii, engkau......?"" Pemuda itu melepaskan
bajunya dan menggunakan kedua tangan menutupi bawah pusarnya, mukanya menjadi
panas karena malu. "Jangan melihat aku!"
Gadis itu masih tertawa cekikikan, lalu mengambil buntalan dan pakaiannya, memandang
lagi kepada pemuda itu sambil tersenyum nakal.
"Siapa yang melihatmu" Aku datang kembali untuk
mengambil pakaianku yang te rtinggal, bukan
untuk mengintaimu. Akan te tapi kebetulan begini,
ini namanya adil, hutangmu lunas sudah! Hi-hihik, engkau ....jelek amat, seperti............monyet...
hi-hik!" Dan Cin Cin meloncat pergi bersama
pakaiannya. Pemuda itu menghela napas panjang. Ketika tadi
dia tergesa-gesa menggunakan kedua tangan
menutupi bawah pusar, dia melepaskan baju yang
dipegangnya dan baju itu te rjatuh ke air dan
hanyut. Entah di mana sekarang. Terpaksa dia
hanya mengenakan celana dan sepatunya saja, lalu
pergi dari situ tanpa memakai baju, mengomel
panjang pendek. "Huh, ia bilang adil. Padahal aku mengatakan ia
seperti bidadari dan ia sebaliknya menyebut aku
seperti monyet! Sialan!"
-- Cin Cin berhenti di bawah sebatang pohon,
membereskan pakaian yang tadi dipakai secara
te rgesa-gesa, menyanggul lagi rambutnya dan
dihias tusuk sanggul perak, mengambil kalung
mutiara yang indah dari buntalan pakaiannya,
memakai kalung itu, kemudian mengeluarkan pula
Koai-Liong-kiam (Pedang Naga Siluman) dari
buntalan dan menggantungkan pedang itu di
punggungnya, mengambil buntalan pakaian dan
menggendongnya pula, kemudian dengan cepat ia
melanjutkan perjalanannya ke sebuah dusun di
te pi sungai yang tadi di lihatnya dari jauh sinar
lampu-lampu dusun itu. Melihat sebuah rumah kecil sederhana di te pi
dusun dan seorang wanita setengah tua di depan
rumah, di atas bangku bambu, Cin Cin segera
menghampiri dan dengan sikap ramah dan sopan
ia bertanya. "Bibi, aku seorang pejalan yang
kemalaman di sini. Apakah engkau dapat menunjukkan te mpat di mana aku boleh menumpang untuk malam ini" Aku bersedia
membayar uang sewanya semalam."
Wanita itu berusia limapuluh tahun lebih akan
tetapi nampaknya sudah le bih tua, agak bongkok
dan je las ia miskin. "Nona mau membayar sewa"
Aih, nona, aku akan senang sekali engkau
menumpang di sini dan memberi sekedar uang
kepadaku.........aku amat membutuhkan itu......"
Cin Cin mengerutkan alisnya. Rumah itu hanya
gubuk kecil dan sederhana, te ntu bukan
merupakan te mpat yang enak untuk bermalam.
Akan te tapi, kalau wanita itu membutuhkan uang.
"Bibi, dengan siapa engkau tinggal di sini?"
Wajah itu nampak sedih sekali. Di bawah sinar
lampu gantung kecil, wajah itu nampak penuh
kerut merut. "Aku seorang janda, nona. Anakku
hanya seorang, laki-laki, akan tetapi put-hauw
(durhaka), sudah lima tahun pergi ke kota mencari
pekerjaan, sampai sekarang tidak pernah pulang,
tidak pernah memberi kabar. Aih, dasar nasibku
yang amat buruk....... "
Wajah Cin Cin berseri. "Engkau hanya tinggal
seorang diri di sini" Kalau begitu, aku suka
bermalam di sini. Jangan khawatir, aku akan
memberi uang sewa yang cukup banyak, bi bi."
Wanita itu menjadi gembira. "Aih, terima kasih,
nona. Silakan masuk. Biarpun je lek, rumah ini
kujaga bersih dan tempat tidur anakku juga selalu
kubersihkan walau tidak pernah dipakai. Siapa
tahu sekali waktu, pada saat yang baik, dia
pulang!" Cin Cin dan wanita itu memasuki rumah gubuk
dan benar seperti yang dikatakan nenek itu.
Biarpun kecil, dan jelek, akan tetapi dalam rumah
itu rapi dan bersih. Sebuah rumah dengan perabot
murahan namun te rawat dan bersih, jauh lebih
menyenangkan daripada perabot rumah mewah
dalam gedung besar yang tidak te rawat dan kotor.
Begitu memasuki rumah, Cin Cin merasa senang,
Gubuk itu memiliki dua buah kamar yang kecil
dan ia memperoleh kamar putera wanita itu, kamar
kecil namun te rawat dan bersih pula. Alas tempat
tidur sudah ada tambalannya, akan te tapi bersih
sekali. Legalah hatinya dan dalam hati ia berjanji
besok pagi akan memberi uang yang le bih banyak
daripada uang sewa kamar hotel besar kepada
wanita itu. "Nah, di sinilah kamarmu, nona. Kalau mau
tinggal di sini berapa lamapun aku akan merasa
senang sekali, selain mendapatkan uang sekedarnya juga mendapatkan
te man dalam hidupku yang kesepian ini. Silakan beristirahat,
nona, aku akan membuatkan minuman te h
dan..........eh, makanan malam sekedarnya........ "
Melihat keraguan itu, Cin Cin segera mengeluarkan sepotong perak dan memberikannya
kepada wanita itu. "Bibi, ini untuk berbelanja
membeli hidangan makan malam, eh, kalau
ada........ aku ingin sekali makan daging ikan emas
kuning dan merah." Katanya, teringat akan dua
ekor ikan yang ditangkapnya dan yang tertinggal di
te pi sungai karena perjumpaannya dengan pemuda
pengintai itu. Dan ketika wanita itu pergi sambil
membungkuk-bungkuk senang menerima uangnya. Cin Cin tak dapat menahan kekeh
gelinya membayangkan kembali pemuda yang
berdiri di atas batu, bertelanjang bulat. Akan tetapi
tak lama kemudian, kekehnya te rpecahkan oleh
pikirannya. Aneh, bayangan pemuda itu selalu
te rbayang dan ia tidak mampu menggusirnya,
te rutama sekali pandang matanya yang begitu
tajam. Setelah makan hidangan nasi dan masak ikan
yang disuguhkan nyonya rumah, Cin Cin secara
iseng bertanya, "Bibi, apakah engkau mengenal
seorang pangeran yang tinggal di sekitar le mbah
Huang-ho?" Wanita itu membelalakkan mata dan te rsenyum
geli sehingga nampak mulutnya yang ompong,
"Walah, engkau aneh sekali, nona! Aku ini hanya
seorang perempuan dusun yang bodoh dan miskin,
bagaimana mungkin mengenal seorang pangeran"
Wah, melihatpun belum pernah. Apakah nona
mengenal seorang pangeran" Pangeran sungguhan" Hebat sekali! Siapa namanya, nona?"
Cin Cin memang tidak mengharapkan mendapat
keterangan dari wanita itu. Ia tadipun bertanya
secara iseng saja. Siapa tahu wanita itu demikian
gembira mendengar pertanyaan te ntang pangeran.
Sambil lalu iapun menjawab tanpa mengharapkan
apa-apa. "Namanya Pangeran Cian Bu Ong." Ia
seperti menjawab kepada diri sendiri agar tidak
melupakan nama yang dipesan oleh gurunya itu. Ia
melanjutkan keterangan yang ia dengar dari
gurunya. seperti menghafal. "Orangnya gagah,
tinggi besar, mukanya kemerahan, usianya enampuluh lebih........"
"Ehhh" Nanti dulu nona. Di sini tidak pernah
ada pangeran, akan tetapi cung-cu ( kepala dusun )
kami. Cian-wangwe (hartawan Cian) mirip yang
kauceritakan itu. Tinggi besar, gagah, muka
kemerahan dan usianya enampuluh tahun lebih."
Tentu saja Cin Cin menjadi tertarik dan ia
mengamati wajah wanita itu penuh selidik.
"Hartawan Cian" Dari mana dia datang" Apakah
selama ini dia memang penduduk dusun ini?"
"Tidak, nona. Dia pendatang baru, kaya raya dan
dermawan. Kami semua suka kepadanya dan
menghor matinya, bahkan akupun sudah sering
menerima bantuan darinya. Karena itu kami
semua memilih dia menjadi kepala dusun. Dia she
Cian dan namanya......hemm, kalau tidak salah
Bu. Ya, Cian Bu.. , akan tetapi lebih terkenal
dengan sebutan Cian-wangwe (hartawan Cian) atau
Cian cungcu ( Lurah-Cian)."
"Cian Bu.........?"" Berdebar rasa jantung Cin
Cin. Besar sekali kemungkinannya. Mengapa
begitu kebetulan" Yang dicarinya pangeran Cian
Bu Ong dan di sini ia mendengar tentang lurah
Cian Bu yang keadaannya mirip pangeran yang
dicari. "Bagaimana keadaan keluarganya?" Ia
mencari tahu lebih lanjut karena timbul harapannya sekarang untuk menemukan musuh
besar gurunya. "Keluarganya amat baik, nona. Isterinya jauh
le bih muda, sekitar empatpuluh lima tahun lebih
sedikit, cantik jelita dan manis budi, pakaiannya
selalu serba hitam. Mereka mempunyai dua orang
anak yang te lah dewasa, seorang pemuda dan
adiknya, seorang gadis . Tampan dan cantik, juga
baik budi." "Engkau yakin benar lurah Cian Bu itu bukan
bekas pangeran?" tanya Cin Cin seperti kepada diri
sendiri. Tentang isteri dan anak-anak orang itu ia
tidak tertarik. "Bagaimana aku tahu, nona" Keluarga Cian itu
pindah ke dusun ini sebagai keluarga hartawan,
membangun rumah besar dan bersikap baik
kepada kami semua, suka menolong orang, baik
dengan barang ataupun dengan pengobatan.
Mereka pandai mengobati orang sakit."
Keterangan ini semakin menarik hati Cin Cin.
Besar kemungkinan keluarga itu ahli silat yang
pandai mengobati, hal itu tidak aneh. Dan kalau
orang she Cian itu memang ahli silat, maka
dugaannya semakin kuat bahwa dia adalah bekas
pengeran yang dicarinya. "Apakah mereka pandai
ilmu silat?" ia bertanya lagi.
"Ilmu silat" Mana aku tahu, nona" Puteranya
yang kami sebut Cian Kongcu (tuan muda Cian)
dan Cian Siocia (Nona muda Cian) kelihatan sehat
dan gagah, entah mereka bisa silat atau tidak, aku
idak tahu." Keterangan itu cukup bagi Cin Cin. "Di mana
rumah mereka, bibi?"
"Mudah sekali dicari. Di ujung dusun sebelah
barat ini, dan rumah mereka adalah satu-satunya
gedung bes ar yang berada di dusun ini."
Cin Cin tidak bertanya lagi. Ia membantu wanita
itu mencuci mangkok piring biarpun nyonya
rumah mencegahnya, lalu ia membersihkan mulut
dan memasuki kamar, merebahkan diri seperti
orang hendak tidur. Nyonya rumah itu yang
menyangka ia te ntu lelah, membiarkannya tidur
dan ia sendiripun memasuki kamarnya.
Tentu saja Cin Cin tidak tidur. Keterangan
wanita itu tentang lurah Cian Bu amat menarik
hatinya dan ia mengambil keputusan untuk
menyelidik. Kalau lurah itu bukan Pangeran Cian
Bu Ong pun tidak mengapa, akan te tapi kalau
benar orang yang dicarinya, alangkah beruntungnya. Tak disangkanya akan demikian
mudahnya mencari orang yang oleh gurunya hanya
dikatakan tinggal di sekitar lembah Huang-ho.
Padahal lembah itu panjang dan luasnya tak
te rukur lagi. Apalagi hanya setahun, biar lima
tahunpun belun tentu ia akan mampu menemukan
orangnya! Wanita pemilik gubuk itu belum tidur ketika Cin
Cin keluar dari kamarnya. Ketika ia bertanya, Cin
Cin menjawab bahwa ia ingin berjalan-jalan
sebentar. Wanita itupun tidak bertanya lagi dan
Cin Cin keluar dari rumah kecil itu dan berjalanjalan di jalan dusun yang lumayan baiknya.
Agaknya dusun itu memang sebuah dusun yang
maju, mungkin berkat bimbingan kepala dusunnya
itu. Jalan-jalan di situ rata dan bersih, rumahrumahnya walaupun rumah dusun, seperti rumah
wanita yang ditumpanginya tadi, nampak bersih
pula, dengan ruangan yang te ratur. Memang
sesungguhnyalah, semua mahluk itu membutuhkan bimbingan seorang pemimpin. Masyarakat tanpa pemimpin akan menjadi kacau
balau, seperti juga segala kelompok binatang hutan
pasti mempunyai pemimpinnya. Bukankan Maha
Pencipta, Tuhan Yang Maha Kasih, juga sekaligus
menjadi Pemimpin Agung seluruh ciptaannyaa"
Dusun itu cukup besar, dengan lampu pene rangan sederhana di depan setiap rumah
sehingga jalan itu tidak gelap benar. Di langit
banyak bintang. Malam itu amat indah dengan
hawa udara yang sejuk. Tanah di lembah Huang
ho memang terkenal subur dan pohon-pohonan,
tanam-tanaman di dusun itu nampak subur pula.
Ada beberapa kedai minuman dan kedai penjual
segala macam keperluan sehari-hari yang masih
buka. Akan te tapi lalu lintas sudah sepi. Memang
di dusun kurang sekali adanya hiburan malam,
tontonan dan keramaian malam seperti di kota,
maka penduduk dusun jarang yang bergadang di
luar rumah. Seperti yang dite rangkan pemilik gubuk tadi,
mudah saja mencari rumah lurah Cian tanpa
bertanya-tanya. Setelah menyusuri jalan ke barat
dan tiba di ujung dusun, nampaklah sebuah
gedung. Kalau di kota, gedung itu termasuk sedang
saja, akan tetapi di dusun itu nampak megah dan
mewah. Tidak baik mengganggu kedamaian dusun
ini, pikir Cin Cin. Bagaimana kalau lurah itu
bukan pangeran yang dicarinya" Melihat betapa
pene rangan di depan gedung itu masih te rang, dan
ada seorang gadis nampak duduk seorang diri di
situ, Cin Cin mengambil keputusan untuk berkunjung secara baik-baik saja. Kalau kemudian
ia bertemu muka dengan lurah Cian dan mendapat
keterangan bahwa benar dia orang yang dicarinya,
baru dia akan turun tangan membunuhnya seperti
pesan gurunya. Kalau te rnyata bukan pangeran
yang dicarinya, kunjungannya te ntu tidak akan
mendatangkan keributan dan gangguan.
Ketika Cin Cin memasuki pekarangan yang juga
menjadi taman bunga yang indah dan sunyi itu,
gadis yang duduk melamun di atas kursi, di ruang
depan, mengangkat muka dan segera bangkit
berdiri ketika melihat ada orang memasuki
pekarangan. Setelah berdiri, nampak oleh Cin Cin
betapa gadis itu memiliki tubuh yang ramping
padat, dan wajahnya manis sekali. Cara ia bangkit
dari te mpat duduknya dan berdiri menunjukkan
bahwa gadis itu memiliki gerakan yang gesit dan
berte naga, mungkin bukan ahli silat lihai, akan
tetapi setidaknya bukan seorang gadis yang lemah,
pikir Cin Cin yang memandang penuh perhatian.
Gadis itu adalah Cian Kui Eng. Ia sedang duduk
melamun, memikirkan ulah suhengnya yang
tadinya ia anggap sebagai kakak kandungnya itu.
Biarpun kini ia tahu bahwa kakaknya, Thian Ki,
bukan kakak kandung, bahkan bukan kakak tiri,
dan le bih tepat disebut suheng (kakak seperguruan), namun karena sejak kecil ia sudah
menyebut koko (kakak), maka sampai sekarangpun
ia masih menyebutnya koko. Sore tadi ulah
kakaknya itu amat aneh. Dia pulang hanya
memakai celana dan sepatu tanpa baju! De ngan
bertelanjang dada Thian Ki pulang sambil menenteng dua ekor ikan emas kuning dan merah
yang gemuk.! Tentu saja ia dan ibunya, atau le bih te pat lagi
ibu tirinya yang menyambut kedatangan Thian Ki
itu menjadi te rheran-heran dan bertanya kenapa
pemuda itu pulang berte lanjang dada dan
membawa dua ekor ikan. Dan jawaban kakaknya
membuat ia te tap merasa aneh sampai sekarang.
Kakaknya menjawab, dengan muka menunduk dan
tidak lancar bahwa kakaknya melihat dua ekor
ikan itu, lalu membuka baju, te rjun dan
menangkap dua ekor ikan itu. Akan te tapi ketika
dia mengejar dua ekor ikan itu, bajunya terbawa
angin, jatuh ke air sungai dan hanyut tanpa dia
ketahui. Jawaban yang dianggapnya janggal karena
selamanya belum pernah Thian Ki mengejar-ngejar
ikan sampai te rjun ke sungai! Dan cara kakaknya
menjawab juga tidak lancar, seperti
orang berbohong, padahal kakaknya tidak pernah membohong.! Ibunya bersikap tidak curiga bahkan te rtawa
geli, akan tetapi senang melihat dua ekor ikan yang
gemuk itu, yang segera dibawa ibunya ke dapur.
Dan tadi kakaknya menyusul ayahnya yang pergi
ke dusun lain untuk mengadakan rapat mengenai
para nelayan sungai dengan kepala-kepala dusun
yang lain, dan sampai sekarang belum pulang. Ia
menanti mereka di serambi depan sambil duduk
melamun ketika muncul seorang gadis memasuki
pekarangan rumahnya. Kui Eng mengerutkan alisnya ketika melihat
bahwa gadis cantik yang menghampirinya itu
membawa pedang di punggungnya. Jelas gadis ini
bukan gadis dusun, dan melihat pedang itu, tentu
ia seorang wanita kang-ouw, pikirnya. Hal ini
sesungguhnya tidak te rlalu aneh baginya, mengingat bahwa ayahnya dan ibunya adalah
orang-orang yang pandai ilmu silat, seperti juga ia
sendiri dan kakaknya. Akan te tapi mengapa tamu
ini datang malam-malam"
"Selamat malam, apakah engkau ini yang
disebut Cian Siocia?" tamu itu bertanya. Melihat
sikap tamunya yang terbuka dan ramah, lenyap
perasaan tidak senang dari hati Kui Eng. Gadis ini
juga memiliki watak yang lincah jenaka dan
te rbuka, walaupun ia juga tabah, berani dan
kadang galak. "Benar, aku Cian Kui Eng. Enci siapa dan apa
keperluanmu berkunjung ke rumah kami?"
He mm, gadis ini tidak kampungan, pikir Cin Cin.
Terbuka dan jujur, dan sama sekali tidak pemalu.
Lebih pantas seorang gadis kangouw! Tebal
dugaannya bahwa ia datang ke alamat tepat. I apun
menjawab sejujurnya. "Orang memanggil aku Cin Cin, dan aku datang
ke sini untuk mencari ayahmu. Bukankah dia she
Cian?" "Tentu saja dia she Cian. Engkau tahu aku
disebut Cian Siocia (nona muda Cian), siapa lagi
she (nama keturunan) ayahku kalau bukan Cian.
Mau apa sih engkau malam-malam begini datang
mencari ayah?" He mm, ia mulai curiga dan mulai kasar, pikir
Cin Cin, hatinya juga mulai panas. Kalau betul
ayah gadis ini musuh besar gurunya, berarti gadis
inipun boleh dianggap musuh!
"Kedatanganku ini ada urusan penting dengan
ayahmu dan tidak dapat kukatakan kepada orang
lain biar engkau ini pute rinya sekalipun. Bukankah nama ayahmu Cian Bu......?"
"Benar, ayahku lurah di dusun ini!" jawab Kui
Eng agak ketus karena sang tamu tidak mau
memberitahukan keperluannya datang berkunjung.
"Dan dia dahulu seorang pangeran bernama
Cian Bu Ong bukan?" tanya Cin Cin tiba-tiba dan
dengan pandang mata menusuk penuh selidik.
Kembali Kui Eng mengerutkan alisnya. Ayah
ibunya sudah berulang kali melarang ia bicara
te ntang ayahnya sebagai Pangeran Cian Bu Ong,
karena hal itu berbahaya sekali, dapat membuat
ayahnya ditangkap oleh pemerintah sebagai
seorang buronan atau bekas pemberontak!
"Hai, Cin Cin, apa perlunya engkau bertanyatanya tentang keadaan ayahku" Dia boleh jadi ini
atau itu, apa hubungannya denganmu dan engkau
mau apa" Ayahku adalah ayahku, lurah dusun ini
dan engkau atau siapa saja tidak berhak untuk
bertanya-tanya tentang urusan pribadinya.! Mau
apa engkau sebenarnya?" kini Kui Eng bertolak
pinggang, matanya melotot.
"Nona Cian yang manis , kalau ayahmu itu benar
Pangeran Cian Bu Ong, aku datang untuk
membunuhnya!" kata Cin Cin,
tidak kalah bengisnya. "Heii! Enak saja engkau membuka mulutmu
yang lancang.! Apa kaukira setelah engkau
membawa-bawa pedang, engkau dapat menakutnakuti aku seperti anak kecil saja" Baik ayahku
seorang lurah, pangeran atau raja sekalipun,
engkau tidak patut mengancamnya seperti itu.
Mungkin engkau seorang gila. Pergi dari sini atau
aku akan menampar mulutmu biar rontok semua
gigimu!" Cin Cin adalah seorang wanita yang keras hati.
Mendengar ucapan ini, te ntu saja perutnya terasa
panas. "Cian Kui Eng, sombong amat engkau.
Engkau tidak tahu berhadapan dengan siapa!"
"Engkau yang sombong! Engkaupun tidak tahu
nonamu ini orang macam apa! Habis kau mau
apa?" bentak Kui Eng.
"Engkau juga mau apa kalau aku akan
membunuh Pangeran Cian Bu Ong?"
"Kau mau membunuh pangeran atau raja bukan
urusanku, akan te tapi kalau engkau menghina
ayahku, engkau akan mampus di tanganku."
"Heh-heh, nona cilik, hendak kulihat bagaimana
engkau akan membikin aku mampus!" tantang Cin
Cin. Kui Eng menggerakkan kakinya dan tu buhnya
meluncur ke depan Cin Cin. Kini kedua orang itu
saling berhadapan dalam jarak dua mete r, saling
melotot dengan muka merah dan dari hidung
mereka mengembus uap panas. "Pergi kau, kalau
tidak, terpaksa aku akan memukulmu!"
"Jangan banyak mulut, pukullah kalau berani!"
tantang Cin Cin. "Sombong, lihat pukulanku!" Kui Eng memberi
peringatan dan iapun maju menyerang dengan
tamparan tangan kiri. Tangan itu menyambar
cepat dan kuat sekali ke arah muka Cin Cin.
Melihat betapa tamparan itu membawa angin
pukulan yang dahsyat, maklumlah bahwa ia
menghadapi seorang lawan yang tidak boleh
dipandang ringan, Cin Cin cepat menarik tubuh ke
belakang sehingga tamparaan itu mengenai angin
kosong. Akan tetapi kaki kanan Kui Eng sudah
menyambar pula dengan tendangan maut ke arah
perutnya! "Hemm, ganas juga engkau!" seru Cin Cin dan
iapun terpaksa meloncat ke samping untuk
menghindarkan diri dari tendangan itu. Iapun
segera membalas, melangkah maju sambil mendorong ke arah dada lawan. Akan tetapi,
te rnyata lawannya itu memiliki gerakan yang tidak
kalah gesitnya, sehingga dorongannya itupun
hanya mengenai angin kosong. Kembali Kui Eng
sudah menyerang dari samping sebagai balasan,
tangannya mencengkeram ke arah pundak kiri Cin
Cin. Karena ingin menguji tenaga lawan, Cin Cin
memutar le ngan menangkis sambil mengerahkan
te naga saktinya. "Dukkk!" Dua buah le ngan yang kecil mungil
berkulit halus, namun yang keduanya mengandung te naga dalam yang amat kuat itu
berte mu dan keduanya terpental ke belakang!
Mereka saling pandang dengan mata te rbelalak,
karena kini keduanya menyadari bahwa lawan
benar-benar tangguh dan mereka memiliki tenaga
sin-kang yang seimbang! Kembali mereka saling hantam dan saling
te ndang bagaikan dua ekor singa betina mengamuk. Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, Cin Cin masih lebih menang
setingkat. Biarpun keduanya digemble ng oleh guru
yang sakti, namun ketika kecilnya, Kui Eng yang
merasa menjadi puteri pangeran, agak manja dan
kadang malas berlatih. Berbeda dengan Cin Cin
yang mengandung sakit hati karena kehancuran
keluarganya, ia berlatih dengan tekun sekali untuk
dapat membalas dendamnya.
Akan te tapi, menghadapi Kui Eng, Cin Cin tidak
mau menghabis kan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Ia tidak ingin membunuh Kui Eng,
karena belum mengetahui dengan pasti apakah ia
berada di te mpat musuh besar gurunya ataukah
tidak. I a belum yakin benar apakah ayah lawannya
ini Pangeran Cian Bu Ong atau hanya seorang
lurah kaya yang bernama Cian Bu saja. Sebaliknya, melihat orang mengancam ayahnya,
Kui Eng menjadi marah sekali dan ia mengerahkan
seluruh kepandaian dan te naganya sehingga
keadaan mereka menjadi berimbang.
Biarpun demikian, karena memang kalah tingkat. setelah lewat tigapuluh jurus, mulailah Kui
Eng te rdesak mundur. Pada saat itu, dari dalam
rumah bermunculan para pembantu rumah tangga
dan mereka segera lari ke dalam untuk melapor
kepada nyonya majikan mereka.
Sim Lan Ci berlari keluar sambil membawa
pedangnya, yaitu pedang Cui-mo Hek-kiam (Pedang
Hitam Pemburu Iblis)! Melihat puterinya te rdesak
oleh seorang gadis cantik lain yang memiliki
serangan ganas dan kuat, ia terkejut. Kepandaian
pute rinya sudah hebat, dan jarang ada orang
mampu menandinginya, akan tetapi kini ia melihat
jelas betapa pute ri tirinya itu te rdesak oleh
lawannya. "Tahan dulu, hentikan perkelahian ini!" te riaknya sambil meloncat ke depan dan melihat
pute rinya terancam sebuah tamparan lawan, iapun
menangkis tamparan itu. "Plak!" Keduanya terkejut karena keduanya
merasa betapa lengan te rgetar hebat. Mengertilah
Sim Lan Ci mengapa pute rinya te rdesak. Gadis ini
memang lihai sekali dan merupakan seorang lawan
tangguh. Di lain pihak, melihat bayangan berkelebat dan seorang wanita setengah tua cantik
jelita menangkis tamparannya membuat lengannya
te rgetar hebat, Cin Cin juga meloncat ke belakang
dan memandang penuh perhatian. Ia sudah
mendengar keterangan dari pemilik rumah yang
ditumpangi bahwa lurah Cian Bu memiliki seorang
isteri cantik yang selalu berpakaian hitam. Iapun
dapat menduga bahwa te ntu wanita ini isteri sang
lurah dan ibu dari gadis ramping yang menjadi
lawannya tadi. Makin kuat dugaannya bahwa ia
tidak tiba di alamat yang keliru. Pasti mereka ini
keluarga Pangeran Cian Bu Ong karena gurunya
memesan agar ia berhati-hati karena Pangeran
Cian Bu Ong memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan
te rnyata keluarganya, isteri dan puterinya, juga
amat lihai. Akan te tapi, melihat wajah wanita
berpakaian serba hitam itu, ia te rte gun. I a merasa
mengenal wanita ini! Ya, ia mengenalnya dengan baik karena wanita
ini dan suaminya dan pute ranya menjadi tamu
yang amat menarik perhatian dan yang disambut
dengan meriah oleh seluruh keluarga He k-houwpang! De ngan melongo Cin Cin mengamati nyonya
berpakaian hitam itu, mengingat-ingat. Tak salah
lagi pikirnya. Wanita ini adalah bibinya sendiri,
isteri dari pamannya yang bernama Coa Siang Lee,
saudara sepupu ibunya sendiri yang bernama Coa
Liu Hwa. Dan ia ingat benar bahwa wanita ini
bernama Sim Lan Ci, dan pute ra mereka bernama
Coa Thian Ki. Akan tetapi....kenapa ia berada di
sini dan menjadi keluarga lurah Cian Bu atau
mungkin Pangeran Cian Bu Ong" Di lain pihak,
Sim Lan Ci juga mengingat-ingat karena merasa
sudah mengenal gadis itu, akan tetapi lupa di
mana dan kapan. Hanya wajah gadis cantik itu
adalah wajah yang tidak asing baginya.
"Nona, kenapa engkau menyerang pute riku" Kui
Eng, kenapa engkau berkelahi dengan nona ini?"
tanya Sim Lan Ci kepada mereka berdua.
"I bu, Iblis betina ini datang menghina ayah! Ia
hendak membunuh ayah!" teriak Kui Eng marah
sekali. Tentu saja Sim Lan Ci menjadi terkejut bukan
main. Sebagai seorang wanita yang banyak
pengalamannya di dunia kangouw, iapun dapat
menduga bahwa te ntu gadis ini mempunyai alasan
yang kuat maka berani datang untuk membunuh
suaminya! Dan alasan itu pasti ada hubungannya
dengan pangeran Cian Bu Ong, karena selama
menjadi lurah Cian Bu, suaminya tidak mempunyai musuh besar. "Nona, kenapa nona hendak membunuh suamiku, lurah Cian Bu di dusun ini?" ia bertanya,
sengaja menekankan kepada sebutan lurah.
"Lurah.......?" kata Cin Cin meragu. "Nyonya, aku
datang bukan hendak membunuh lurah Cian Bu
atau siapapun, melainkan hendak bertanya apakah
lurah Cian Bu itu Pangeran Cian Bu Ong. Kalau
dia Pangeran Cian Bu Ong. aku akan membunuhnya dan siapapun ju ga tidak dapat
menghalangiku!" Sim Lan Ci memandang dengan mata te rbelalak.
Akan te tapi ia dapat menguasai guncangan dan
debaran jantungnya dan bersikap te nang. "Nona,
siapakah engkau sebenarnya?" Ia mengamati wajah
itu. "Aku seperti pernah mengenalmu."
"Aku juga. Bibi mirip benar dengan seorang
wanita yang kukenal baik, sama wajah, pakaian
dan suaranya, seperti Bibi Sim Lan Ci."
Wajah Sim Lan Ci berubah pucat. "Jadi kau.. ..
siapakah kau......."
"I bu, namanya Cin Cin," kata Kui Eng cepat.
"Cin Cin......" Engkau pute ri ketua He k-houpang" Engkau.......Kam Cin?"
"Benar! Aih, tidak kusangka dapat berte mu
dengan bibi di sini. Akan tetapi aku menghadapi
urusan genting, bibi. Tolonglah bibi beritahu
sebenarnya siapa lurah Cian Bu itu. Benarkah dia
Pangeran Cian Bu Ong?" tanya Cin Cin dan
matanya mencorong, menatap tajam wajah wanita
itu penuh selidik. "Tapi kenapa......?" Ucapan Sim Lan Ci ini
dipotong suara lain. "Apakah yang te rjadi di sini" Siapakah ia ini
dan.......ohhh.......!" Pemuda itu terkejut ketika Cin
Cin menoleh dan memandang kepadanya. Gadis
yang dilihatnya berte lanjang bulat di te pi sungai
itu! Cin Cin tersenyum mengejek ketika melihat
Thian Ki. "Hemm, kiranya engkau monyet jelek
berada di sini pula. Mau apa kau mencampuri
urusan kami!" "Koko, ia datang hendak membunuh ayah!"
te riak Kui Eng. "Ehhnh.......?" Thian Ki terkejut sekali.
"Thian Ki, nona ini adalah Kam Cin puteri ketua
He k-houw-pang, saudara misanmu sendiri!" kata
Sim Lan Ci. "Cin Cin..........?""
"Thian Ki.........?"" Teriakan Thian Ki dan Cin Cin
hampir berbareng dan mereka saling pandang, lalu
perlahan-lahan muka keduanya berubah kemerahan karena mereka te ringat betapa mereka
pernah saling melihat dalam keadaan telanjang
bulat, teringat akan peristiwa di tepi Huang-ho.
"Cin Cin, engkau tidak bole h membunuh ayah!"
"Ayah" Bukankah ayahmu, paman Coa Siang
Lee, telah tewas ketika He k-houw-pang diserbu
gerombolan?" "Yang
kumaksudkan......dia..........
ayah tiriku..........." kata Thian Ki, mukanya merah. Cin
Cin mengerutkan alisnya dan menoleh, memandang kepada Sim Lan Ci yang menundukkan muka. Peristiwa ini sama sekali tak
pernah disangkanya datangnya begitu tiba-tiba dan
ia dihadapkan kepada kenangan masa lalu!
Cin Cin mengangguk-angguk dan senyumnya
sinis. "Hemm, mengerti aku sekarang. Kiranya
setelah ditinggal mati paman Coa Siang Lee, bibi
Sim Lan Ci te lah menikah lagi dengan.........lurah
Cian Bu......atau Pangeran Cian Bu Ong si
pemberontak?" "Cin Cin.....!" teriak Thian Ki, sedih melihat
ibunya dicaci. "I blis betina busuk!" bentak Kui Eng marah. Cin
Cin menoleh kepada Thian Ki. "Engkau hendak
membela ayah tirimu" Kalau begitu, benar
makianku bahwa engkau monyet buruk. Majulah!"
Dan Cin Cin sudah memasang kuda-kuda. siap
menghadapi pengeroyokan tiga orang itu.
"Tahan........!" terdengar bentakan dan suara ini
demikian berpengaruh sehingga mengejutkan hati
Cin Cin. Gadis itu cepat melangkah mundur lalu
menghadapi orang yang datang dari sebelah
kanannya. Dan dia melihat seorang laki-laki tinggi
besar, berjenggot panjang rapi, berwajah merah
dan usianya te ntu mendekati tujuhpuluh tahun,
namun masih nampak gagah perkasa dan kokoh
seperti batu karang. Tidak ragu lagi hatinya bahwa
dia te ntu berhadapan dengan Pangeran Cian Bu
Ong, karena laki-laki ini di waktu mudanya
te ntulah ganteng dan gagah perkasa sehingga tidak
mengherankan kalau gurunya jatuh cinta. Tidak
mungkin ada seorang lurah memiliki wibawa
seperti ini.
Komentar
Posting Komentar