NAGA BERACUN JILID 16
"I hh....." Kui Eng menatap wajah suhengnya
dengan mata te rbelalak, lalu berkata kepadaayahnya, "Ayah, kalau begitu, sungguh kejam!
Ayah harus berusaha untuk membersihkan tubuh
suheng dari racun itu!"
Cian Bu menarik napas panjang. Kini diapun
mulai melihat betapa ambis inya itu tanpa dia
sadari mengancam kebahagian hidup Thian Ki
yang dia sayang seperti anak sendiri. "Me mang,
untuk mencapai sesuatu yang puncak, kadangkadang kita harus berkorban. Kui Eng, biarpun
ayahmu te lah mempelajari banyak ilmu yang
tinggi, akan tetapi mengenai racun, aku masih
kalah ahli dibandingkan ibumu. Kalau mendiang
nenekmu saja yang mampu membuat Thian Ki
menjadi tok-tong tidak mampu membersihkan
racun itu dari tubuh Thian Ki, bagaimana aku
akan mampu melakukannya" Tidak, aku tidak
mampu melakukannya."
Thian Ki melamun, ingat akan pengakuan
neneknya dan dia merasa perlu menyampaikan
penyesalan neneknya itu kepada ibunya dan ayah
tirinya. "Pernah nenek menyatakan kepadaku yang
menurut nenek merupakan penyesalan yang
te rlambat dan karena itu tidak ada gunanya."
"Ceritakan, apa yang ibu katakan kepadamu
Thian Ki," kata ibunya dan Cian Bu juga
mengangguk-angguk kepadanya, menyetujui permintaan iste rinya. "Nenek mengatakan bahwa kini ia melihat
kesalahannya. Apa yang te rjadi pada diriku adalah
akibat daripada mengejar suatu segi saja dari
kehidupan ini. Kehidupan ini, menurut nenek
merupakan kesatuan dari banyak hal yang
kesemuanya penting, yang kesemuanya menuntut
kita untuk memperhatikan dan memenuhinya.
Menurut nenek, banyak hal itu, te rmasuk makan,
pakaian, te mpat tinggal dan segala benda keperluan hidup lainnya, juga kedudukan dan
nama baik, kesehatan dan sebagainya. Menuru tnenek, semua itu perlu untuk dilaksanakan agar
kesemuanya dapat maju dengan baik, berimbang.
Kalau kita hanya mementingkan yang satu dan
melupakan yang lain, maka akibatnya hanya
merugikan kita sendiri. Nenek hanya mementingkan nama besar, ingin menjadikan aku
sebagai tok-tong yang kelak akan dapat menjadi
jagoan nomor satu yang akan mengangkat namanya pula. Karena terlalu mementingkan hal
ini, ne nek melupakan yang lain, sehingga akhirnya
aku menjadi korban."
Kui Eng tidak mengerti apa yang te rsembunyi
dalam ucapan itu, akan tetapi Lan Ci dan Cian Bu
mengerti. Mereka mengangguk-angguk dan te rutama sekali Cian Bu bekas pangeran itu
mengerti benar apa yang dimaksudkan oleh nenek
Lo Nikouw. Dia sudah mengalamainya sendiri.
Pernah dia mengejar cita-cita menegakkan kembali
kerajaan Sui yang sudah runtuh dan untuk itu, dia
melupakan segala hal lain, sehingga akhirnya,
demi pengejaran cita-cita itu, dia mengorbankan
segalanya, bahkan keluarganya te rbasmi habis.
Betapa banyaknya manusia di dunia ini yang
melakukan kesalahan yang sama seperti yang
pernah dia lakukan, yang pernah dilakukan Lo
Nikouw. Orang mengejar dan saling memperebukan harta, seolah harta itulah kepentingan mutlak bagi hidupnya,s ehingga orang
lupa diri, melakukan hal-hal buruk dan jahat, lupa
bahwa harta itu pada suatu saat akan terasa tidak
ada artinya sama sekali. Betapapun kayanya seseorang, kalau dia dilanda
sakit parah, maka harta tidak akan menarik lagi
baginya, yang le bih menarik adalah kesehatan
badannya, sehingga dia akan bersiap mengorbankan seluruh hartanya demi kesembuhannya. Demikian pula dengan orang
yang mencapai kedudukan te rtinggi yang pada
mulanya amat dipentingkan, sehingga dia melupakan yang lain, mendapatkan kedudukan itu
dengan jalan memperebutkannya dengan manusia
yang lain, kalau perlu saling bunuh membunuh.
Pada akhirnya, suatu saat dia akan mendapat
kenyataan pahit, bahwa kedudukan yang tadinya
diperebutkan dengan taruhan nyawa itu tidak
membahagiakan hatinya, bahkan mungkin menyesengsarakan. Betapa banyaknya hartawan kaya raya yang
tidak pernah merasa puas akan apa yang
dimilikinya, selalu merasa kurang, bahkan ada perasaan khawatir kalau-kalau harta miliknya
akan berkurang dan habis. Membayangkan dirinya
ditinggalkan seluruh hartanya, menjadi orang
miskin, merupakan bayangan kesengsaraan yang
amat hebat baginya. Banyak pula pejabat tinggi
yang memiliki kedudukan yang mulia, disanjung
dipuja dan dihormati, pada suatu saat akan jatuh
dan nama yang tadinya dis anjung-sanjung berbalik
dicaci maki. Andaikata tidak demikian, sedikitnya
dia selalu gelisah, khawatir kehilangan kedudukann ya dan membayangkan kehilangan
kedudukan itu merupakan bayangan kesengsaraan
yang amat hebat baginya. "Thian Ki, apakah mendiang ibu tidak meninggalkan pesan kepadamu, tidak memberi
tahu bagaimana caranya agar engkau dapat
te rbebas dari racun di tubuhmu" Apakah di dunia
ini tidak ada obatnya dan tidak ada orang yang
akan mampu membersihkan racun dari tubuhmu
itu?" Tanya Lan Ci yang menoleh dan memandang
ke arah meja sembahyang dimana abu je nazah
ibunya berada. Mendengar pertanyaan ibunya itu,
Thian Ki menghela napas panjang.
"Hal itu sudah kutanyakan kepada nenek, ibu..
dan nenek mengatakan bahwa di dunia ini jarang
ada orang yang cukup kuat untuk dapat mengusir
racun dari tubuhku dan nenek hanya mengenal
dua orang yang mungkin saja dapat, karena
mereka adalah orang-orang yang sakti."
"Siapa mereka, Thian Ki ?" Tanya ibunya penuh
harap.
"Seorang bernama Pek I Tojin dari Thai-san dan
seorang lagi bernama He k Bin Hwesio dari
Himalaya." "Ahh! Dua nama besar yang sudah sejak dahulu
kukagumi, bahkan pernah aku ingin sekali
berte mu dengan mereka untuk bicara soal ilmu
silat dan kalau mungkin saling mengukur dan
menguji ilmu kepandaian!" seru Cian Bu.
"Dan menurut keterangan mendiang nenek, dua
tokoh sakti itu mempunyai murid. Pek I Tojin
mempunyai murid bernama Si Han Beng berjuluk
Huang-ho Sin-liong dan He k Bin Hwesio mempunyai murid bernama Bu Giok Cu, is te ri dari
Naga Sakti Sungai Kuning itu."
"Aih, apakah engkau tidak ingat kepada pendekar itu, Thian Ki?" Lan Ci bertanya.
Thian Ki mengangguk. "Tentu saja aku tidak
lupa kepada paman Si Han Beng, ibu. Aku masih
ingat kepadanya. Bukankah dia kakak angkat dari
mendiang ayah?" "Aha, jadi Naga Sakti Sungai Kuning yang
te rkenal itu adalah murid Pek I Tojin dan isterinya
murid He k Bin Hwesio" Dan le bih lagi, pendekar
itu adalah kakak angkat mendiang suamimu?"
Tanya Cian Bu kepada Lan Ci, "Kenapa aku tidak
pernah mendengar akan hal itu?"
Sim Lan Ci memandang kepada suaminya dan
menarik napas panjang. "Coa Siang Lee sudah
meninggal dunia, aku tidak ingin membicarakannya lagi, tidak ingin mengenang masa lalu. Karena itulah aku tidak pernah
bercerita tentang persaudaraan itu."
Suaminya mengangguk dan te rsenyum ramah.
Pengakuan itu saja sudah membuktikan bahwa
isterinya tidak ingin menyinggung perasaannya
dengan bercerita tentang suaminya yang pertama.
"Kalau begitu, masih ada harapan bagimu Thian
Ki. Engkau berlatih dengan tekun. Kalau sudah
matang ilmu kepandaianmu, kelak engkau dapat
mencari kedua orang sakti itu untuk minta
bantuan mereka, dan kiranya engkau dapat
bertanya kepada N aga Sakti Sungai Kuning dimana
adanya kedua orang sakti itu berada."
"Baik, ayah.." kata Thian Ki.
"Juga untuk melaksanakan pesan te rakhir
nenekmu, sebaiknya dilakukan kelak saja kalau
engkau sudah selesai belajar dan melakukan
perjalanan. Sementara ini, biarlah abu je nazah
nenekmu kita rawat dan kita sembahyangi agar
ibumu mendapat kesempatan untuk berbakti."
Lan Ci setuju sekali dengan usul suaminya itu.
"Suheng, kelak aku akan membantumu mencari
orang-orang sakti itu agar engkau dapat disembuhkan!" tiba-tiba Kui Eng berkata. "Ayah
dan ibu, boleh bukan kelak aku ikut suheng dan
membantunya?" Suami isteri itu saling pandang. Lan Ci hanya
mengangguk, akan te tapi Cian Bu berkata,
"Me rantau di dunia kangouw merupakan perjalanan yang amat berbahaya, oleh karena itu
engkau harus berlatih dengan giat, Kui Eng. Hanya kalau engkau kuanggap cukup kuat dan cukup
pandai, aku akan membolehkan engkau membantu
suhengmu. Kalau engkau malas sehingga engkau
kurang kuat, le bih baik engkau berdiam di rumah
yang aman." Gadis cilik itu bangkit berdiri dan menghadapi
ayahnya dengan alis berkerut dan mata bersinarsinar. "Wah, ayah te rlalu memandang rendah
padaku! Lihat saja, aku pasti tidak kalah melawan
suheng!" Cian Bu dan is terinya tersenyum, juga Thian Ki
te rsenyum dan berkata, "Engkau memang pandai,
sumoi, kalau engkau berlatih dengan sungguhsungguh, mana mungkin aku akan dapat menandingimu?" De mikianlah mulai hari itu, Thian Ki dan Kui
Eng seperti berlomba dan bersaing dalam mempelajari ilmu-ilmu dari Cian Bu sehingga
mereka memperole h kemajuan pesat sekali.
oo-ooo0dw0ooo-o Pagi itu akan nampak biasa saja bagi para
nelayan dan mereka yang tinggal di pantai laut
karena merupakan pemandangan yang berulangulang mereka lihat. Betapa indahnya sesuatu,
kalau setiap hari dilihat, apalagi kalau dimiliki,
maka keindahan itu akan semakin memudar,
bahkan aklhirnya lenyap tak terasakan lagi. Hal ini
dirasakan oleh mereka yang tinggal di tepi pantai.
Orang yang datang dari pedalaman, dari darat,
begitu tiba di pantai akan mengagumi keindahanpemandangan lautan dengan takjub, akan te tapi para nelayan akan mendengarkan dengan heran,
karena bagi mereka, tidak terasa lagi adanya
keindahan itu! Sebaliknya, kalau nelayan yang
biasa hidup di lautan dan di pantai-pantai sunyi
itu datang ke kota, mereka akan te rkagum-kagum
melihat keramaian kota. Padahal bagi orang kota,
keramaian kota yang dianggap indah oleh sang
nelayan itu bahkan sebaliknya akan dianggap
mengganggu! Hanya bagi batin yang bebas dan
bersih daripada gambar- gambar yang diukir
ingatan sajalah yang akan dapat melihat segala
sesuatu sebagai baru, dapat menikmati keindahan
setiap hari, setiap saat.
Pagi itu matahari amat cerahnya, muncul di
permukaan air laut sebelah timur, tak te rhalang
segumpal awanpun, membentuk garis emas di
permukaan laut yang masih tenang. Suara air laut
bermain di pantai, berdesir di atas pasir, menggelegar garang pada batu karang, bergulunggulung dan susul-menyusul, meninggalkan suara
dahsyat disusul suara gemerisik yang makin
melemah sampai pada titik sunyi hening. Sejenak
saja, karena sudah datang bergulung lagi ombak
baru yang membawa pula suara gemuruh. Setiap
kali ombak itu baru, tak pernah sama dengan yang
sudah atau yang akan datang menyusul. Air yang
dihempaskan pada batu karang menimbulkan uap
dan ketika te rte mbus sinar matahari yang mulai
menguat, membentuk pelangi le mah.
Para nelayan sudah berdatangan pagi tadi
sebelum matahari te rbit, dan kini pantai itu
ditinggalkan orang. Hanya nampak perahu-perahu diseret jauh ke pantai. Pasir pantai nampak lembut
dan halus diusap air berulang kali, putih keabuabuan. Setiap kali air tipis mendarat, pasir itu
menjadi basah, akan tetapi air itu cepat diserap
dan pasir nampak kering kembali.
Kalau ada saat itu ada orang yang kebetulan
melihatnya, tentu orang itu akan mengira bahwa
pagi hari itu, dengan sinar matahari pagi sebagai
tangga, telah turun seorang dewi kahyangan yang
kini bermain-main di tepi pantai!
Dari jauh, hanya nampak bentuk tubuh yang
amat indah, yang sempurna le kuk le ngkungnya,
dan pakaian yang basah dan menempel ketat itu
membuat ia nampak dari jauh seperti telanjang.
Kedua kaki nan panjang, pinggangnya ramping,
pinggulnya menggunung dan dadanya membukit
kembar. Rambutnya te rurai le pas di belakang
punggung, sampai ke pinggul. Sungguh, pantasnya
ia seorang dewi kahyangan atau seorang pute ri
ratu lautan! Sebenarnya ia manusia biasa, seorang dara yang
memang memiliki bentuk tubuh yang indah.
Bagaikan setangkai bunga sedang mekar, usianya
sekitar sembilanbelas tahun. Ia berpakaian lengkap
walaupun dari sutera tipis, dan karena pakaian itu
basah, maka pakaian itu menempel ketat di
tubuhnya. Wajahnya manis, dan ia berlari-lari di
sepanjang pantai, membiarkan ombak menjilat
tubuhnya sampai ke paha. Ia tertawa-tawa seorang
diri, dan suara tawanya le nyap dite lan gemuruh
ombak. Wajahnya manis, kulitnya putih mulus dan kemerahan karena sinar matahari, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Ketika ombak yang besar, yang datang setiap
lima enam kali sekali, diseling ombak-ombak yang
kecil, dara itu berteriak gembira dan iapun
menyongsong datangnya ombak yang tingginya
tidak kurang dari lima mete r itu dan begitu ombak
datang menggulung dirinya, iapun meloncat dan
menerjang ombak bagaikan seekor ikan lumbalumba! Tubuhnya le nyap dite lan ombak dan
sampai ombak itu memecah dan menipis di pantai,
agak jauh ke darat sampai mendekati perahuperahu yang diikat di darat, dara itu tidak nampak
lagi! Kalau ada yang melihat peristiwa itu terjadi,
te ntu akan menahan napas dan khawatir sekali,
mengira bahwa dara itu te ntu tenggelam, terseret
ombak ke te ngah atau mungkin juga dite rkam ikan
hiu! Semua orang tentu akan menduga demikian,
mengingat bahwa lama sekali dara itu tidak
muncul lagi. Manusia biasa saja tidak mungkin
dapat menyelam sampai selama itu. Kalau gadis itu
manusia biasa, tentu ia dite rkam hiu atau
te nggelam atau mati, atau kalau ia masih hidup,
berarti ia bukan manusia, melainkan dewi laut!
Kemudian, dari arah tengah, seperti seekor ikan
saja, dara itu nampak berenang ke te pi. Cepat
sekali renangnya, meluncur tanpa mengeluarkan
bunyi, seperti ikan lumba-lumba asli. Dan nampak
riang gembira, te rtawa-tawa dan bermain dengan
air. Ombak besar datang dari belakangnya, mendorongnya sehingga renangnya semakin cepat.
Akhirnya, ombak menerkamnya ke atas pasir, di
air yang hanya sedalam lutut.
Iapun akhirnya meninggalkan air, tiba di pasir
yang kering, agak te rengah dan sambil tertawa
iapun menjatuhkan diri ke atas pasir dan
te rlentang. Kedua kakinya te rpentang, kedua
le ngannya te rkembang di atas kepala, wajahnya
segar, rambutnya riap-riapan, sebagian menutup
dada dan sebagian menutup muka membelit leher.
Bukan main cantiknya. Manis , jelita menggairahkan! Sinar matahari yang mulai menguning cahayanya itu mendatangkan rasa hangat yang
amat nyaman. Dan angin semilir, angin yang juga
hangat, membuat dara itu terlena oleh kantuk dan
tak lama kemudian iapun sudah tertidur. Mulutnya masih setengah terbuka seperti orang
te rsenyum, napasnya le mbut dan panjang, dada
yang membusung itu turun naik.
Dara yang tidur pulas di bawah sinar matahari
pagi itu sama sekali tidak tahu betapa ada sebuah
perahu hijau datang bersama ombak dari te ngah,
menuju ke pantai itu. Jelas bukan perahu nelayan,
karena semua nelayan sudah pulang pagi-pagi tadi
seperti biasanya, dan dara itupun tahu akan
kebiasaan itu. Ia tahu bahwa saat itu tidak akan
ada nelayan di pantai, maka ia dapat berenang
dengan bebas tanpa dilihat siapapun. Dan model
perahu hijau itupun berbeda dengan perahu
nelayan yang mempunyai bentuk agak le bar,
karena para nelayan membutuhkan ruangan untuk te mpat hasil tangkapan mereka. Perahu hijau itu
sempit dan panjang meruncing, dibantu kayu atau
bambu runcing di kanan kirinya, dan mempunyai
tiang layar. Layarnya yang ju ga berwarna hijau
telah digulung, dan kini enam orang penumpang
perahu mendayung perahu mereka dengan gerakan
te ratur, berirama dan kuat sekali, membuat
perahu mereka meluncur cepat ke pantai.
Dara itu masih enak tidur terlentang ketika
enam orang itu menyeret perahu mereka ke darat,
bahkan ketika mereka menahan seruan kaget ,
heran dan kagum, kemudian mereka berenam
berdiri mengepung dara yang masih tidur te rlentang dengan pandang mata seperti singa
kehausan melahap seluruh tubuh yang terlentang
itu, ia masih tetap tidur dengan napas yang
le mbut. "Bukan main cantiknya...................!"
"Manis sekali !"
"Tubuhnya....................amboiiiii........!"
"Tak kusangka di dusun pantai ini terdapat
gadis sejelita ini."
"Wah, kalau semua perempuan di pantai ini
secantik dia, untung kita!"
"Mari kita undi, siapa yang berhak menjadi
orang pertama!" Orang pertama dari mereka, yang bertubuh
tinggi kurus seperti cicak kering, akan tetapi
kumisnya melintang panjang dengan kedua ujung
berjuntai ke bawah, segera berkata, "Hushh, apakah kalian mencari penyakit" Siapa orangnya
yang tidak mengilar melihatnya, akan te tapi kita
tidak boleh mencari penyakit. Kalau ada yang
melihat kita lalu semua penduduk keluar, kita
akan celaka, bahkan mungkin akan pergi dengan
tangan hampa." "Habis bagaimana" Bukankah kita datang ke
sini untuk menyelidiki keadaan" Dan ini.......si
jelita ini, adalah hadiah untuk kita!"
"Tolol!" bentak si cicak kering. "Kita hanya
menyelidik dan ternyata melihat perahu-perahu
para nelayan itu, dusun ini cukup makmur untuk
menjadi mangsa kita. Dan agaknya banyak pula
te rdapat perempuan cantik. Yang ini kita tangkap
dan kita bawa pulang untuk oleh-oleh. Tentu
majikan kita akan senang sekali, apalagi majikan
muda kita. Kita perlu membawa teman-teman yang
cukup banyak untuk menyerbu. Lihat, perahu
mereka lebih dari duapuluh buah banyaknya,
te ntu sedikitnya ada seratus orang laki-laki muda
di sini. Terlampau berat bagi kita berenam untuk
menghadapi mereka. Nah, mari kita tangkap dan
bawa anak ayam ini ke perahu!"
Bagaikan menerima komando, enam orang ini
seperti berubah menjadi enam ekor anjing pemburu menghadapi domba betina muda yang
gemuk! Mereka berenam seperti berlomba, menubruk ke
arah gadis yang te lentang tidur itu, ingin lebih
dahulu mendekap dan meringkusnya, merasakan
kehangatan tubuh yang molek.
"Bress....!" Enam orang itu berteriak-teriak kaget
karena dara yang mereka tubruk itu tiba-tiba saja
menghilang! Mereka tadi melihat jelas betapa gadis
itu masih tidur te rlentang, dan ketika mereka
menubruk dari semua jurusan tampak bayangan
berkelebat dan mereka saling tubruk, saling
beradu kepala dan tangan dan gadis itu telah
le nyap! Selagi mereka kaget dan heran, te rdengar
suara tawa renyah dan mereka cepat berloncatan
berdiri, memutar tubuh menghadapi orang tertawa.
Kiranya gadis itu telah berdiri sambil bertolak
pinggang dan te rtawa bebas. Tidak seperti gadis
dusun atau kota biasa yang kalau te rtawa tidak
berani mengeluarkan suara, bahkan tidak berani
kelihatan giginya, gadis ini tertawa te rkekeh
membuka mulut dengan bebas sehingga nampak
sepasang bibirnya merekah, memperlihatkan rongga mulut yang merah tua dan gusi merah
muda di te ngah deretan gigi yang putih rapih
seperti mutiara diatur. "Heh-heh-heh, lucu sekali! Kalian ini siapakah"
Pakaian kalian serba hijau, kalian bukan orang
sini. Mau apa kalian datang ke sini dan
mengganggu aku yang sedang tidur lelap?"
Enam orang itu saling pandang. Sedang tidur
lelap kenapa ketika ditubruk dapat le nyap"
Manusiakah gadis ini" Atau dewi penjaga lautan"
Akan te tapi si cicak kering yang merasa dia
bersama lima rekannya dan merasa bahwa dia menjadi pemimpin rombongan itu, mengusir keraguan hatinya. Dia melangkah maju ke depan.
"Nona, kami memang bukan orang sini. Kami
datang karena melihat nona yang demikian cantik
seperti bidadari. Kami ingin nona ikut bersama
kami!" Si cicak kering sudah memberi is yarat
kepada te man-temannya untuk mengepung. Akan
tetapi gadis itu s ama sekali tidak kelihatan gentar,
seolah-olah keenam orang laki-laki yang sikapnya
seperti serigala itu dianggapnya sebagai anjinganjing yang jinak saja. Dara itu tersenyum dan mengangguk-angguk,
"Aih, begitukah" Kalian hendak mengajak aku
kemana" Siapakah kalian" Perkenalkan diri dulu
agar aku dapat mempertimbangkan apakah aku
akan memenuhi undangan kalian atau tidak."
Melihat sikap gadis itu yang ramah dan tidak
marah, enam orang laki-laki itu merasa senang
sekali. Si cicak kering yang merasa dirinya paling
unggul di antara te man-temannya karena memang
dia yang bertugas sebagai pimpinan, membusungkan dadanya. Akan te tapi karena dada
itu memang kerempeng dan tipis, dibusungkan
bukan nampak besar, melainkan melengkung
seperti batang kangkung. "Nona yang cantik, ketahuilah bahwa kami
adalah orang-orang gagah penghuni Pulau Hiu!
Nona kami undang untuk berkunjung ke pulau
kami dan berkenalan dengan majikan kami.
Majikan muda kami, Siangkoan Kongcu (Tuan
muda Siangkoan) adalah seorang pemuda yang
gagah, ganteng, tampan dan kaya raya, tentu akan
dapat menghargai seorang cantik jelita seperti
nona."
Sepasang mata yang je li itu nampak bersinarsinar. "Pulau Hiu" Baru sekarang aku mendengarnya! Majikannya she Siangkoan" Dimana sih letaknya pulau itu?" Kini gadis itu
menerawang ke arah lautan seperti hendak
mencari di mana letaknya pulau itu.
"Tidak jauh dari sini, nona. Hanya pelayaran
setengah hari menuju ke utara. Pulau Hiu kami
te rletak di seberang pantai Shantung."
"Setengah hari" Kalau begitu pulang pergi hanya
sehari dan sore nanti aku dapat pulang kesini?"
Gadis itu dalam bicarapun demikian polosnya
seperti juga ketika te rtawa, dan juga tanpa malumalu di depan enam orang pria itu, walaupun
pakaiannya yang tipis dan ketat itu kini berkibar
te rtiup angin laut sehingga bentuk tubuhnya
te rcetak jelas. Enam orang itu saling pandang dan tertawa.
Dalam hati mereka menertawakan gadis yang
mereka anggap dusun dan tolol itu. Tentu saja
kalau gadis itu sudah mereka bawa, ia tidak akan
kembali ke te mpat ini, pikir mereka.
"Tentu saja, sore nanti engkau dapat pulang
nona manis," kata pula si cicak kering, lalu ia
mengerling ke arah lima orang te man-te mannya
yang tersenyum-senyum. "Kalau begitu, aku mau ikut!" gadis itu berkata
dan suaranya seperti bersorak gembira. "Aku ingin
melihat Pulau Hiu. Apakah disana banyak ikan
hiunya?"
"Banyak, nona!" jawab seorang di antara mereka.
"Ada hiu berkaki dua......"
"Hiu berkaki dua?" gadis itu terbelalak dan
semua orang tertawa. "Aih, temanku ini hanya berkelakar, nona," kata
si cicak kering. "Yang dia maksudkan adalah hiu
yang mempunyai sirip besar-besar dan gemuk."
Gadis itu berte puk tangan. "Aku suka sekali sirip
hiu! Enak sekali, apalagi kalau dimasak dengan
jahe!" Ia menjulurkan lidahnya yang merah segar,
menjilati bibir bawah. Enam orang itu menelan
ludah dan kalamenjing mereka naik turun. Saking
te rpesona penuh gairah, mereka sampai tidak
merasa aneh bahwa gadis pantai ini pernah makan
makanan sirip hiu yang hanya menjadi makanan
para hartawan kaya karena mahalnya.
"Mari kita berangkat nona. Jangan sampai
engkau nanti kemalaman kalau pulang." kata si
cicak kering sambil menggandeng tangan gadis itu.
Gadis jelita itu tidak menolak,dan ia te rsenyumsenyum melihat enam orang itu mendorong perahu
ke air. Tak lama kemudian, ia sudah duduk di
perahu yang didayung enam orang itu ke te ngah,
melewati gelombang besar.
Dapat dibayangkan betapa gembiranya enam
orang itu melihat korban mereka menyerah
sedemikian mudahnya. Terlalu mudah! Dan gadis
itu terlalu cantik untuk membuat mereka dapat
menahan diri. Mulailah mereka mengeluarkan
kata-kata tidak senonoh, bahkan si cicak kering
yang menjadi pimpinan, kini melepaskan dayung
karena perahu itu mulai didorong layar yang sudah dikembangkan dan diapun duduk di dekat nona
itu, merapat. "Nona manis, siapakah namamu?" Tanya si cicak
kering, mukanya sedemikian dekatnya sehingga
gadis itu mengerutkan alisnya, karena dari mulut
si cicak kering itu mengeluarkan bau busuk seperti
bangkai. "I hh, kalau bicara jangan dekat-dekat!" gadis itu
menegur dan menggeser pinggulnya menjauh.
"Heh-heh-heh, aku tidak akan mengganggumu,
nona manis. Engkau akan kami hadiahkan kepada
kongcu, akan te tapi sebelum tiba di pulau, kita
duduk merapat begini kan hangat dan lebih enak?"
Mendengar ucapan itu, lima rekannya te rtawa
bergelak. "Kalau bicara dekat-dekat kenapa sih,
manis?" Gadis itu menggunakan tangan menutupi
hidungnya. "Mulutmu bau bangkai!"
Meledak lima orang itu te rtawa, dan si cicak
kering te rbelalak, mukanya berubah merah sekali.
Belum pernah selama hidupnya dia menerima
penghinaan seperti itu, apalagi dari seorang gadis
muda! "Nona, mulutmu lancang sekali, untuk itu kau
harus dihukum. Hayo kau cium aku dengan
mulutmu itu pada mulutku. Kalau engkau tidak
mau, kami tidak akan membawamu kepada
majikan kami, melainkan akan kami makan sendiri
di perahu ini, kemudian engkau akan kami
le mparkan ke air agar menjadi makanan hiu!"
Berkata demikian , si cicak kering menjulurkan kedua tangannya merangkul gadis itu dan hendak
memaksakan ciuman. Akan te tapi, tiba-tiba gadis
itu mengeluarkan suara tawa nyaring, ia bangkit
berdiri dan dengan gerakan yang luar biasa
cepatnya, ia telah menyambar kedua tangan si
cicak kering yang hendak menangkapnya dan
sekali ia membuat gerakan melontarkan tubuh si
cicak kering itu terlempar ke atas tiang layar!
Si cicak kering berte riak kaget dan ketakutan,
akan te tapi dia dapat menjangkau ujung tiang
layar dan memeluk tiang itu dengan era-erat,
sehingga dari bawah dia kelihatan seperti seekor
kera! Melihat ini, lima orang rekannya te rbelalak,
akan te tapi gadis itu, seperti seorang anak kecil
yang nakal, menghampiri tiang layar dan dengan
tangan kirinya ia mendorong dan mengguncang
tiang layar itu. Sungguh hebat,
tiang itu te rguncang keras dan tubuh si cicak kering tentu
saja ikut terguncang keras dan akhirnya dia tidak
dapat bertahan lagi, tubuhnya te rlepas dari ujung
tiang layar dan terlempar ke luar perahu.
"Byurr.......!"
tubuhnya dite lan gelombang lautan. Kini kelima orang anak buah Pulau Hiu itu
te rkejut dan juga marah. Barulah mereka menyadari bahwa gadis yang kelihatan bloon ini
te rnyata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan
berte naga kuat. Mereka serentak menyerang untuk
menangkap dan meringkus. Akan te tapi, sambil
te rtawa-tawa, gadis itu kini menggerakkan kaki
tangannya dan lima orang itu disambar tamparan
dan te ndangan, tubuh mereka terlempar keluar perahu dan satu demi satu tercebur ke dalam
lautan! "He-he-he-he, kiranya kalian hanya tikus-tikus
lautan!" Gadis itu berte puk tangan dengan girang,
lalu memegang kemudi layar, hendak mengarahkan perahu untuk meluncur kembali ke
pantai yang sudah nampak jauh dari situ.
Akan tetapi, tiba-tiba perahu itu terguncang lalu
miring dan rebah, layarnya menyentuh air! Akan
tetapi gadis itu sama sekali tidak menjadi kaget
atau takut, bahkan ia te rtawa. "Heh-heh, kalian
hendak main-main di air, ya" Boleh, boleh!" dan
iapun meloncat dari perahu yang miring itu ke
dalam air. Enam orang itu adalah anak buah Pulau Hiu,
bajak-bajak laut yang te ntu saja merupakan ahliahli renang yang pandai. Melihat gadis itu berani
meloncat ke air, hati mereka girang sekali.
Terutama si cicak kering yang ingin membalas
dendam, tubuhnya meluncur cepat ke arah gadis
itu. Ingin ia menangkap, meringkus dan menyeret
gadis itu ke dalam air agar kehabis an napas dan
menyerah. Akan tetapi, ketika dia tiba di dekat
gadis dan menerkam, tiba-tiba saja gadis itu
le nyap. Persis seperti ketika dite rkam di darat tadi.
Hanya bedanya, kalau tadi gadis itu menggunakan
gerakan kilat meloncat ke atas menghindar dari
te rkaman enam orang, kini ia menyelam ke bawah
dan lenyap! Dan tiba-tiba si cicak kering terbelalak, akan
tetapi dia tidak sempat berteriak karena tubuhnya
sudah lenyap terseret ke bawah seperti diseret ikan hiu. Memang tadinya diapun menyangka demikian
ketika tiba-tiba kedua kakinya ada yang menangkap dan dia te rseret ke bawah. Akan tetapi
di dalam air dia melihat bahwa yang menangkap
kakinya a dalah gadis tadi! Gadis itu ternyata dapat
bergerak seperti ikan di dalam air, rambutnya
te rlepas dari sanggul dan kini riap-riapan. Sungguh ia seperti dongeng ikan duyung yang
membuat si cicak kering merasa ngeri.
Dicobanya untuk melepaskan kedua kakinya,
namun sia-sia dan dia te rpaksa harus menahan
pernapasannya. Tentu saja dia kuat menahan
napas di air karena te rlatih, akan te tapi ternyata
dia terus diseret ke bawah dan batas waktunya
sudah melampaui ketahannya. Gadis itu seolaholah berubah menjadi ikan yang tidak perlu bernapas di permukaan air!
Mulailah si cicak kering gelagapan. Dia masih
melihat tubuh teman-temannya meluncur dan
mengejarnya, tentu hendak menolongnya. Akan
tetapi gadis itu tiba-tiba menyeretnya naik ke atas
sampai kepalanya tersembul di atas. Si cicak
kering megap-megap, seperti ikan yang dilempar ke
darat, dadanya seperti akan pecah rasanya dan
pada saat itu tubuhnya sudah te rayun dan
diputar-putar seperti gasing! Dara itu masih
memegang kedua kakinya dan kini tubuhnya
diputar di atas air, seolah-olah tubuhnya itu hanya
seringan sepotong kayu saja. Kemudian gadis itu
melepaskan pegangan pada kedua kakinya dan
tubuh si cicak kering melayang sampai amat jauh,
jatuh terbanting ke air lagi dalam keadaan nanar
dan hampir pingsan.
Kini kelima orang itupun mengeroyok. Terjadi
perkelahian di air yang tidak seimbang dan tidak
lama. Gadis itu sungguh luar biasa, mampu
bergerak di air seperti ikan, sukar ditangkap.
Sebaliknya tamparan-tamparannya membuat lima
orang itu gelagapan, bahkan ada yang pingsan dan
te nggelam. Akhirnya, para pengeroyok itu tidak ada yang
berani mendekat, sibuk hendak menolong teman
yang pingsan te nggelam. Gadis itu sendiri sambil
te rkekeh lalu menyambar sebatang dayung yang
te rapung, memukul ke arah tiang layar perahu.
Terdengar suara keras dan tiang itupun patah!
Kemudian, dengan te naga yang luar biasa, ia
membalikkan perahu dan meloncat ke dalam
perahu, mendayung perahu itu ke pantai meninggalkan enam orang yang masih te rapungapung dipermainkan gelombang lautan. Mereka
dapat mendengar suara tawa merdu gadis itu, akan
tetapi bagi pendengaran mereka, sama sekali tidak
merdu menyenangkan, melainkan mengerikan.
Mereka merasa seolah-olah baru berjumpa dengan
iblis lautan yang amat ganas!
Setelah tiba di pantai, gadis itu menyeret perahu
hijau ke darat. Tiba-tiba nampak sesosok bayangan
putih berkelebat dan di situ telah berdiri seorang
wanita yang berpakaian serba putih dari sutera
halus. Wanita ini sudah berumur enampuluh
tahun lebih, akan tetapi ia masih langsing,
sehingga orang akan mengira bahwa usianya baru
sekitar empatpuluh tahun saja. Ia berdiri tegak
memandang kepada gadis itu yang kini menghadapi wanita itu sambil tersenyum gembira. "Subo, aku mendapatkan sebuah perahu milik
enam orang yang kutinggalkan di sana," katanya
sambil menunjuk ke tengah lautan.
Wanita itu mengerutkan alisnya. Ia cantik akan
tetapi sikapnya dingin, bahkan wajahnya seperti
diliputi mendung, tidak secerah wajah muridnya.
Kalau ada orang kangouw melihatnya, tentu orang
itu akan terkejut ketakutan, karena wanita itu
bukanlah wanita sembarangan. Ia adalah seorang
datuk persilatan yang amat lihai dan berwatak
aneh, tidak berpihak kepada yang baik maupun
yang buruk. Bukan golongan putih, maupun
hitam, pendekar maupun penjahat. Ia terkenal
sebagai datuk di timur, dan di sepanjang pantai,
namanya sudah banyak dikenal orang kangouw,
dan ditakuti, walaupun ia jaran g mau mencampuri
urusan orang kangouw di daerah itu. Wanita ini
bukan lain adalah Tung-hai Mo-li (Iblis betina laut
Timur) Bhok Sui Lan! Dan gadis jelita yang lincah
dan ugal-ugalan itu bukan lain adalah Cin Cin
atau Kam Cin. Seperti kita ketahui, empat belas tahun yang
lalu, ketika ia berusia lima tahun, Cin Cin
mengalami malapetaka. Ayah kandungnya, yaitu
Kam Seng Hin, ketua Hek-houw-pang, tewas ketika
Cian Bu Ong mengutus para pembantunya
menyerbu. Kemudian Cin Cin atau nama le ngkapnya Kam Cin dikirim ke dusun Hong-cun,
te mpat tinggal Pendekar Naga Sakti Sungai
Kuning Si Han Beng, agar menjadi murid
pendekar itu. Ia diantarkan ole h susiok (paman
gurunya) bernama Lai Kun. Akan te tapi dalam perjalanan, Lai Kun menyeleweng, menjual murid
keponakan itu kepada seorang mucikari! Cin Cin
yang ayahnya te lah te was dan ibunya dilarikan
penyerbu dusun mereka, jatuh ke tangan mucikari.
Kemudian, setelah beberapa tahun lamanya tinggal
di situ dan dipelihara oleh sang mucikari untuk
dipersiapkan menjadi seorang pelacur, Cin Cin
melarikan diri, dikejar oleh para jagoan rumah
pelesir itu dan akhirnya Cin Cin ditolong oleh
Tung-hai Mo-li yang membunuh semua pengejar
itu, kemudian mengambil Cin Cin sebagai muridnya. Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan mengajak Cin Cin
ke pantai Laut Kuning dan menurunkan semua
kepandaiannya kepada murid te rsayang itu.
Bahkan ilmu di air ia ajarkan, sehingga Cin Cin
kini telah menjadi seorang dara berusia sembilanbelas tahun yang amat lihai, baik ilmu
silatnya, tenaga sin-kangnya dan ilmunya bermain
di air. Cin Cin cantik manis, jelita dan menggairahkan.
Akan tetapi selain ilmu-ilmu yang ia warisi dari
Tung-hai Mo-li, ia juga mewarisi wataknya yang
aneh! Watak yang acuh terhadap orang lain, hidup
seenaknya, semaunya, tidak te rikat oleh segala
macam norma dan peraturan umum! Bahkan
seperti juga subonya Cin Cin jarang bergaul
dengan orang lain. Para gadis di pedusunan pantai
yang dijumpainya dan dikenalinya, tak lama
kemudian menghindar karena mereka semua
merasa takut dan segan kepada Cin Cin, bukan
hanya karena Cin Cin berwatak aneh, akan tetapi
juga karena gadis ini memiliki kelihaian yang menggiriskan hati. Pernah ada tiga pemuda dusun
yang jatuh hati kepadanya, memperlihatkan sikap
manis dan seperti biasa, tiga orang pemuda itu
memperlihatkan sikap berani, merayu dan memikat. Bagi gadis lain, kalau memang ia tidak
suka, tentu ia akan menolak dan menghindar saja.
Akan tetapi Cin Cin tidak sama dengan gadis-gadis
lain. Ia merasa diremehkan, marah dan iapun
mematahkan kaki tangan tiga orang pemuda itu
dan meninggalkan mereka merintih-rintih di tepi
jalan! Bukan han ya satu kali itu Cin Cin menghajar
laki-laki yang te rlalu berani dan dianggapnya
kurang ajar kepadanya. Ada pula yang te was
karena laki-laki itu tidak sopan dan berusaha
merangkulnya. Sekali tangan Cin Cin menampar
dan mengenai pelipisnya, laki-laki itu roboh dan
nyawanya melayang! Akan tetapi, kalau ia tidak marah dan hatinya
sedang gembira, Cin Cin dapat bersikap ramah
kepada siapa saja. Ia memang pada dasarnya
memiliki watak lincah je naka dan gembira, hanya
menjadi aneh karena dididik oleh seorang datuk
wanita yang aneh. Dan selama ini, Cin Cin tidak
pernah lupa bahwa ia adalah pute ri ketua Hekhouw-pang yang te was di tangan orang-orang yang
menyerbu perkampungan He k-houw-pang, bahkan
ibunya diculik oleh penyerbu. Diam-diam ia sudah
mengambil keputusan bahwa akan dicarinya
pembunuh ayahnya dan penculik ibunya, dan ia
hanya menanti ijin dari subonya. Biarpun wataknya ugal-ugalan, keras dan berani, namun
te rhadap subonya, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan, Cin Cin bersikap le mbut, taat dan menyayang. Hal
ini bukan saja karena ia berhutang budi, dan
karena gurunya memang menyayang kepadanya,
dan bersikap baik saja, akan te tapi terutama sekali
karena ia tahu benar bahwa subonya adalah
seorang wanita yang menderita kesengsaraan batin
yang hebat. Ia sendiri tidak tahu mengapa, karena
subonya tidak pernah mau bercerita dan mengatakan belum waktunya bercerita, akan tetapi
seringkali ia melihat subonya dengan diam-diam
sedang menangis dan merintih sampai semalam
suntuk! Dan ia tahu pula bahwa subonya tidak
mempunyai keluarga seorangpun, hidup sebatang
kara dan agaknya tidak pernah menikah atau
sudah cerai. Maka, ia merasa iba kepada subonya,
dan karena perasaan inilah ia ingin membalas budi
subonya dengan menyenangkan hatinya, yaitu
dengan jalan mentaati semua perintahnya.
Mendengar ucapan muridnya, Tung-hai Mo-li
Bhok Sui Lan mendekati perahu itu dan mengamatinya. Ketika ia melihat perahu itu bercat
hijau dan ada ukiran berbentuk ikan hiu di kepala
perahu, ia mengerutkan alisnya.
"Hemm, Kalau begitu tidak keliru dugaanku
perahu ini milik Pulai Hiu."
"Aihh, subo tahu" Memang benar milik Pulau
Hiu, subo. enam orang pemiliknya adalah anak
buah Pulau Hiu!" seru Cin Cin heran.
Mendengar ini, Tung-hai Mo-li lalu duduk di
ujung perahu yang kering, memandang ke arah
lautan yang tadi ditunjuk muridnya. Tidak
kelihatan apa-apa kecuali gelombang besar dan buih di puncak ombak, lalu ia menatap wajah
muridnya dan berkata, "Cin Cin, ceritakan apa
yang te rjadi antara engkau dan enam orang dari
Pulau Hiu itu." Cin Cin lalu menceritakan dengan sikap lincah
je naka tentang pertemuannya dnegan enam orang
itu, betapa mereka mengajaknya ke Pulau Hiu dan
betapa mereka mengganggunya sehingga ia marah
dan melempar-lemparkan mereka ke air dan ia
kembali membawa perahu mereka.
Setelah Cin Cin menyelesaikan ceritanya, Tunghai Mo-li menarik napas panjang. "Hemm, sejak
dahulu memang orang-orang Pulau Hiu merupakan bajak-bajak laut. Aku tidak pernah
mencampuri pekerjaan mereka, akan tetapi kenapa
sekarang mereka berani mengganggu penduduk di
daratan" Kunjungan mereka ke daerah ini sudah
pasti mengandung maksud te rtentu. Agaknya tua
Bangka Siangkoan Bok itu sama sekali tidak
pernah bermimpi bahwa anak buahnya akan
berte mu dengan murid Tung-hai Mo-li!"
"Subo, siapakah Siangkoan Bok itu" Dan orangorang macam apakah yang menghuni Pulau Hiu"
Aku mendengar mereka bicara te ntang Siangkoan
Kongcu, majikan muda Pulau Hiu. Agaknya subo
sudah mengenal mereka."
"Majikan Pulau Hiu bernama Siangkoan Bok,
seorang kakek yang kini tentu sudah tua sekali,
tidak kurang dari tujuhpuluh lima tahun usianya.
Dia hidup sebagai majikan Pulau Hiu di seberang
pantai daerah Shantung itu, sebagai seorang
hartawan yang kaya raya, juga kekuasaannya
besar karena dia menjadi datuk dari para bajak
laut di Lautan Kuning. Anak buahnya banyak, di
antaranya te ntu s aja enam orang yang kau jumpai
itu. Sebetulnya Siangkoan Bok sendiri tidak
melakukan pembajakan dan anak buahnya juga
tidak, akan te tapi karena dia merupakan datuk
bajak laut dan anak buahnya merupakan bekas
para bajak, te ntu saja kaang-kadang merekapun
menjadi gatal tangan dan melakukan pembajakan."
"Hemm, kiranya hanya bajak-bajak laut yang
hina," Cin Cin mencibirkan bibirnya yang merah.
"Kalau tahu mereka bajak, tadi tentu sudah
kubunuh semua. Dan siapakah yang mereka sebut
Siangkoan Kongcu, subo?"
Gurunya menggele ng kepala. "Setahuku, dahulu
memang ada pute ra Siangkoan Bok bernama
Siangkon Tek. Akan te tapi dia sudah tewas. Tentu
yang disebut Siangkoan Kongcu itu pute ranya yang
lain, karena kabarnya Siangkoan Bok mempunyai
banyak is te ri yang cantik, dan mungkin saja dia
mempunyai banyak keturunan."
"Hemm, aku ingin sekali berkunjung ke pulau
Hiu, subo. Akan kuobrak-abrik pulau bajak itu!"
Tung-hai Mo-li mengerutkan alis nya dan matanya mencorong ketika ia menatap wajah
muridnya. Melihat ini, Cin Cin terkejut dan
mendekati subonya, duduk di perahu dan memegang tangan subonya. "Maaf, subo. Kenapa
subo kelihatan marah?"
"Engkau ini mencari gara-gara saja! Apa
perlunya mencari perkara dengan pulau Hiu"
Engkau mempunyai tugas lain yang jauh lebih
penting!" Wajah Cin Cin berseri dan matanya bersinarsinar. "Subo! Apakah subo maksudkan sudah tiba
saatnya aku boleh melaksanakan tugasku itu"
Tentu saja aku tidak akan pernah lupa. Aku akan
ke dusun Ta-bun-cung, ke He k-houw-pang dan
menyelidiki siapa pembunuh ayahku, siapa pula
yang menculik ibuku. Aku akan mencari ibuku,
aku akan membunuh para penyerbu Ta-bun-cung
itu, aku.... " Cin Cin menghentikan ucapannya ketika melihat
gurunya mengangkat tangan memberi is yarat agar
ia diam. Ia melihat gurunya masih mengerutkan
alis dan kelihatan tidak senang.
"Cin Cin, engkau hanya memikirkan dirimu
sendiri saja. Engkau sedikitpun tidak pernah
memikirkan kebutuhanku."
Cin Cin merangkul gurunya. Memang hubungannya dengan gurunya se perti anak dengan
ibunya saja, mesra dan akrab, tidak berhormathormat seperti murid te rhadap guru lain. "Subo,
maafkanlah aku. Tentu saja aku memikirkan,
bahkan mementingkan kebutuhan subo. Katakan,
apa yang dapat kulakukan untukmu, subo" Tentu
perintah subo akan kulaksanakan lebih dulu,
setelah itu, barulah aku akan mengurus diriku
sendiri." "Nah, begitu baru muri dku yang baik," kata
Tung-hai Mo-li dan iapun merangkul le her muridnya dan mencium kedua pipinya. Cin Cin
balas mencium dan dalam jarak dekat itu ia dapat melihat betapa wajah subonya masih amat cantik,
kedua pipinya halus dan putih kemerahan tanpa
bedak dan pemerah. "Aih, subo cantik sekali. Kenapa secantik ini
subo tidak menikah?"
Ditanya demikian, Tung-hai Mo-li melepaskan
rangkulannya dan ia menarik napas panjang.
"I nilah salah satu di antara hal yang kuminta
engkau membalaskan untukku, Cin Cin. Aku
hidup menderita dan tidak pernah mau mendekati
pria sejak muda karena ulah seorang laki-laki!"
Cin Cin memandang heran. Bagaimana mungkin
ada laki-laki yang berulah sehingga menghancurkan hati subonya" Kenapa subonya
tidak membunuh saja laki-laki itu dan membiarkan dirinya tenggelam dalam duka"
"Subo, siapakah dia dan apa yang te lah dia
lakukan" Ceritakan kepadaku, subo. Aku berjanji
akan melaksanakan segala perintah subo dan akan
kubalaskan semua sakit hati subo."
"Ada dua orang yang kuingin e ngkau mencarinya
dan membunuh mereka untuk aku. Dan untuk itu,
dengarkan dulu ringkasan riwayat hidupku."
Cin Cin mendengarkan penuh perhatian. Selama
sepuluh tahun lebih ia hidup bersama subonya
dan belum pernah ia mendengar riwayat subonya.
Agaknya subonya mempunyai riwayat yang menyedihkan. "Ceritakan, subo," katanya lirih sambil mengamati wajah subonya. Mereka duduk di atas
perahu hijau itu, di pantai yang sunyi. Matahari
sudah naik agak tinggi, menyinarkan cahayanya
yang hangat menggigit. "Mari kita duduk di bawah pohon di sana, lebih
te duh di sana," kata Tung-hai Mo-li dan mereka
lalu meninggalkan perahu, duduk di bawah pohon
yang agak jauh dari pantai, duduk berhadapan di
atas akar pohon itu yang menonjol di permukaan
tanah. "Sejak kecil aku sudah yatim piatu," Tung-hai
Mo-li memulai dengan riwayatnya. Cin
Cin te rtegun. Ia sendiri sudah kehilangan ayah, akan
tetapi mungkin ibunya masih hidup. Dibandingkan
dengan subonya, ia masih lebih beruntung!
"Sejak kecil sebatangkara dan merantau sebagai
pengemis. Untung berte mu dengan seorang pengemis tua yang mau membimbingku. A ku mulai
belajar ilmu silat dengan giat sekali. Berganti-ganti
guru sampai aku dewasa. Kemudian aku bertemu
dengan seorang guru yang pandai dan bersama
seorang suhengku, aku belajar silat darinya.
Suhengku itu bernama Can Siok dan setelah tua
dia berjuluk Cui-beng Sai-kong. Akan te tapi,
setelah aku dewasa dan merantau seorang diri
dengan bekal kepandaian yang cukup, aku
berpisah dari suheng, pada waktu guru kami
meninggal dunia. Kami mengambil jalan masingmasing dan nasib membawaku ke kotaraja." Tunghai Mo-li berhenti sebentar dan mengingat-ingat.
"Sejak kecil subo sudah menderita," komentar
Cin Cin. Lupa bahwa nasibnya sendiripun tidak
le bih baik.
"Di kotaraja itulah aku bertemu seorang
pangeran. Dia gagah perkasa dan memiliki ilmu
silat yang hebat. Kami saling tertarik dan akhirnya
kami saling jatuh cinta....." Tung-hai
Mo-li menghela napas panjang dan Cin Cin mengamati
wajah subonya sambil te rsenyum. Tentu subonya
amat cantik ketika gadis , dan sudah sepantasnya
kalau subonya itu jatuh cinta dengan seorang
pangeran.! "Aih, te ntu pangeran itu gagah dan tampan
sekali, maka subo sampai jatuh cinta padanya,"
kata Cin Cin tanpa sungkan-sungkan lagi. "Subo
menikah....?" Tung-hai Mo-li te rsenyum dan baru sekarang ia
melihat subonya tersenyum! Bukan main manis nya
kalau tersenyum, akan tetapi hanya sebentar saja
karena senyum itu berubah pahit.
"Pangeran itu mempunyai cita-cita yang amat
besar. Dia adalah adik kaisar , dan ia bercita-cita
kelak akan menggantikan kakaknya menjadi
kaisar. Karena itu, dia tidak mau mengambil aku,
seorang wanita biasa, bahkan seorang wanita
kangouw menjadi isterinya yang sah! Dia harus
menjaga nama, dan dia bahkan akan menikah
dengan seorang pute ri. Aku hanya akan dijadikan
selir... " "Hemm, lalu bagaimana, subo?"
"Tentu saja aku tidak sudi! Kami sudah saling
bersumpah dan aku........aku telah menyerahkan
diri. Dia sudah berjanji akan mengambilku sebagai
isterinya, tidak tahunya hanya akan dijadikan selir.
Aku tidak mau dan aku meninggalkan dia!" Wajah yang masih cantik itu nampak berduka sekali dan
ia memejamkan mata. Cin Cin mengerutkan alisnya. Betapa besar cinta
kasih subonya kepada pangeran itu, pikirnya.
Buktinya, sampai sekarang, subonya sama sekali
tidak mau berjalan lagi dengan pria lain!
"Subo, apakah subo mendendam sakit hati
kepada pangeran ini" Apakah aku harus mencari
dia dan membalaskan sakit hati subo?"
Tung-hai Mo-li membuka mata dan mengangguk. "Puluhan tahun aku memperdalam ilmu dengan
harapan pada suatu hari, murid yang kuwaris i
ilmu-ilmuku akan dapat mewakili aku untuk
membalas sakit hati yang kuderita selama puluhan
tahun ini, dan engkaulah orangnya yang kuharapkan akan dapat membuat aku mati dengan
mata terpejam, Cin Cin."
"Akan te tapi, subo dengan kepandaian yang
subo miliki, apa sukarnya bagi subo untuk
membunuh orang itu" Kenapa subo menanti
sampai puluhan tahun dan membiarkan hati
menderita dendam selama itu?"
Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala dan
menghela napas panjang. "Biarpun dia juga bukan
orang le mah, bahkan ketika kami saling berpibu
dia lebih tangguh dariku, akan tetapi aku te rus
dengan giat memperdalam ilmuku dan mungkin
sekarang aku dapat menandingi dan mengalahkannya. Akan te tapi, aku sudah tua
dan..........aku kuatir, kalau aku berhadapan
dengan dia, hatiku akan menjadi lemah dan usaha
membalas dendamku tidak akan te rlaksana. Oleh
karena itulah aku menggemble ngmu mati-matian,
Cin Cin." "Aku akan mencari pangeran itu dan membunuhnya, subo. Siapa namanya dan dimana
aku dapat mencarinya?"
"Namanya Pangeran Cian Bu Ong, dahulu dia
adik kaisar Kerjaan Sui. Akan tetapi kerajaan Sui
telah jatuh dan diganti kerajaan Tang. Setelah
kerajaan Sui jatuh, aku mendengar dia beberapa
kali mengusahakan pemberontakan untuk mendirikan kembali kerajaan Sui, akan tetapi
semua usahanya gagal. Aku te lah menyelidiki dan
bertanya-tanya, dan mendengar bahwa dia suka
kelihatan di sepanjang lembah sungai Kuning. Ke
le mbah itulah engkau dapat mencarinya. Dia
seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, gagah
sekali, mukanya kemerahan. Dia sekarang kalau
masih hidup te ntu sudah tua pula, karena dia
le bih tua setahun dariku. Sekarang usianya tentu
sudah enampuluh lima tahun le bih."
"Aku akan mencarinya, subo. Dan siapakah
orang kedua yang harus kucari ?"
"Dia bukan musuh pribadiku. Akan te tapi,
hatiku sakit karena dia telah membunuh suhengku, padahal dia itu adalah putera suhengku
sendiri. Anak durhaka itu harus dihukum dan
dibunuh. Suhengku itu amat sayang kepadaku,
bahkan dialah yang le bih banyak membimbingku
dahulu dan dia menganggap aku seperti adik
kandungnya sendiri. Suhengku itu bernama Can Siok dan dahulu berjuluk Cui-beng Sai-kong dan
seperti telah kuceritakan tadi, sejak dewasa kami
saling berpisah mengambil jalan sendiri-sendiri.
Hanya se waktu-waktu saja kami saling jumpa, aku
mengunjunginya atau dia mencariku. Dia menemukan agama baru, yaitu menyembah Thiante Kwi-ong dan dia memiliki ilmu sihir yang hebat.
Suhengku mempunyai seorang pute ra yang bernama Can Hong San, dari isterinya yang berasal
dari pute ri Nepal. Dan anak durhaka itu pada
suatu hari membunuh ayah kandungnya sendiri.
Aku merasa sedih sekali mendengar nasib suheng
dna kuminta engkau kelak mencari Can Hong San
dan membunuhnya!" "Di mana aku dapat mencari Can Hong San itu,
subo?" "Entahlah, aku sendiri tidak tahu dimana dia
berada. Akan tetapi kau ingat saja namanya dan
karena dia seorang tokoh sesat, kukira namanya
dikenal oleh dunia kangouw dan engkau kelak
dapat melakukan penyelidikan." Tung-hai Mo-li
berhenti sebentar, lalu mengeluarkan seuntai
kalung mutiara yang amat indahnya. "Kau bawa ini
dan kalau engkau berte mu dengan Pangeran Cian
Bu Ong, berikan ini kepadanya dengan pesan
dariku, bahwa dia harus menukar kalung ini
dengan nyawanya, seperti yang pernah dia janjikan
kepadaku dahulu. Mutiara-mutiara ini kudapatkan
sendiri dengan menyelam di lautan yang paling
dalam, memilih yang te rbaik dan menguntainya
menjadi kalung untuk kuserahkan kepada pria
yang kucinta itu. Dia menerima dengan gembira
dan berjanji bahwa kalung itu akan disimpannya
dan disayangnya seperti nyawanya sendiri. Akan
tetapi, ketika dia hendak meninggalkan aku, dia
mengembalikan kalung ini kepadaku................"
Kedua mata Tung-hai Mo-li menjadi merah dan
basah dengan air mata. Ia membalikkan tubuh dan membelakangi Cin
Cin yang menerima kalung mutiara itu, agaknya ia
tidak ingin dilihat menangis dan ketika membalikkan tubuh itu, ia menghapus air matanya. "Nah, itulah pesanku kepadamu, Cin Cin.
Maukah engkau berjanji bahwa engkau akan
menunaikan tugas-tugas itu?" Tanya Tung-hai Moli yang sudah menghadapi lagi muridnya.
Cin Cin mengalungkan kalung mutiara itu di
le hernya. "Subo, aku berjanji akan mencari dan
membunuh Pangeran Cian Bu Ong dan Can Hong
San!" katanya dengan penuh semangat.
Tung-hai Mo-li bangkit berdiri, wajahnya nampak le ga dan berseri. Ia lalu melepaskan tali
pengikat sarung pedangnya dari punggungnya,
menyerahkan pedang dan sarungnya itu kepada
Cin Cin. "Nah, kau te rimalah Koai-liong-kiam ini, Cin Cin.
Aku ingin engkau membunuh mereka dengan
pedang ini. Akan te tapi jangan sekali-kali mengurangi kewaspadaan, Cin Cin. Dua orang itu
bukan merupakan lawan yang ringan. Akan te tapi
aku yakin bahwa kalau engkau menggunakan
pedang ini dan mengerahkan seluruh te naga dan
kepandaianmu, engkau akan berhasil."
"Baiklah subo. Aku akan melaksanakan perintah
subo dan mudah-mudahan saja aku akan berhasil
dan tidak mengecewakan subo."
"Aku percaya padamu, Cin Cin, dan berhatihatilah. Engkau tentu masih ingat akan nama para
tokoh di dunia persilatan yang pernah kuceritakan
kepadamu. Jangan memandang rendah lawan, dan
jangan mencari perkara. Bersikaplah seperti murid
te rkasih seorang datuk, tidak seperti perempuan
petualang yang mengandalkan kepandaian lalu
bersikap congkak dan menyebar bibit permusuhan
dimana-mana." Cin Cin merangkul gurunya, "Aku mengerti
subo. Dan kapan aku harus berangkat?"
"Hari ini juga. Mari kita pulang, engkau cepat
berkemas dan hari ini juga meninggalkan rumah
kita." Mereka lalu bergandengan tangan menuju ke
sebuah rumah yang berdiri te rpencil di luar dusun
nelayan, tak jauh dari pantai. Mereka jalan
bergandengan tangan seperti kakak beradik saja,
tidak seperti guru dan murid dan melihat dari
belakang, takkan ada yang menduga bahwa
seorang di antara mereka adalah seorang wanita
yang usianya sudah enampuluh tahun lebih!
"Berhasil atau tidak, dalam waktu setahun
engkau sudah harus kembali ke sini," demikian
pesan Tung-hai Mo-li ketika mengantar muridnya
pergi sampai ke luar daerah perbukitan di
sepanjang pantai itu. Ketika gadis itu dengan
pedang di pinggang dan buntalan pakaian di
pundak meninggalkannya, Tung-hai Mo-li
te rmenung, betapa semangatnya seperti terbawa
pergi, ia mencintai gadis itu seperti anaknya
sendiri. Cin Cin yang melangkah dengan cepat juga tidak
ingin terlihat menangis oleh gurunya. Ketika ia
meninggalkan gurunya, ia merasa begitu sedih dan
kasihan kepada gurunya yang amat disayangnya
itu. Biarpun gurunya seorang datuk, namun
te rhadap dirinya, Tung-hai Mo-li amat baik dan
menyayangnya, maka dianggapnya gurunya seperti
pengganti orang tuanya. Bagaimanapun ju ga, ia
masih ingat bahwa ia adalah puteri ketua Hekhouw-pang, perkumpulan orang-orang gagah, maka te ntu saja ia tidak boleh menjadi seorang
yang jahat. Gadis itu melangkah tanpa menoleh lagi, menuju
ke utara, ke sungai Huang-ho (Sungai Kuning).
Untuk mencari Pangeran Cian Bu Ong, subonya
hanya memberitahu bahwa bekas pangeran itu
tinggal di lembah Sungai Kuning.
oo-ooo0dw0ooo-o Dusun Ta-bun-cung sekarang nampak ramai
dan makmur. Hal ini adalah berkat perkumpulan
He k-houw-pang yang kini te lah berdiri kembali
setelah dihancurkan oleh para penyerbu utusan
Pangeran Cian Bu Ong kurang le bih empatbelas
tahun yang lalu. Ketika malam itu terjadi
penyerbuan, banyak tokoh Hek-houw-pang yang
te was. Ketika itu ketuanya, Kam Seng Hin, tewas.
Juga sutenya yang bernama The Ci Kok, disamping
banyak lagi anggota He k-houw-pang. Bahkan
kakek Coa Song, sesepuh Hek-houw-pang, meninggal dunia karena kaget dan berduka melihat
hancurnya Hek-houw-pang. Cucunya yang sudah lama meninggalkan He khouw-pang, yaitu Coa Siang Lee, yang kebetulan
berada di situ ketika perkumpulan itu diserbu,
juga te was pula ketika membela Hek-houw-pang.
Lebih hebat lagi, isteri ketua Kam Seng Hin, yaitu
Coa Liu Hwa diculik penjahat, demikian pula isteri
Coa Siang Lee, yaitu Sim Lan Ci, lenyap bersama
pute ranya Coa Thian Ki. Keluarga Hek-houw-pang
cerai berai tidak keruan, bahkan sejak terjadi
penyerbuan malam itu sampai matinya kakek Coa
Song, He k-houw-pang boleh dibilang telah mati.
Para anggotanya tidak berani lagi bergerak, apalagi
karena sudah tidak ada yang memimpin.
Akan te tapi, beberapa bulan kemudian, muncullah Lai Kun, seorang di antara para sute
dari mendiang ketua He k-houw-pang. Lai Kun
adalah sute termuda dari Kam Se ng Hin dan dialah
yang mendapat tugas untuk mengantar Kam Cin,
pute ri ketua itu ke Hong-cun, agar pute ri ketua itu
menjadi murid Pendekar Naga Sakti Sungai
Kuning. Dia bercerita kepada para rekannya bahwa di
sepanjang jalan Kam Cin atau Cin CIn menangis,
menyatakan tidak mau pergi ke Hong-cun, akan
tetapi mengajak paman gurunya itu untuk mencari
ibunya yang hilang diculik penyerbu.
"Aku dapat mencegah ia lari dan membujuknya.
Akan te tapi pada suatu malam, kami diserbu
gerombolan perampok.
Ketika aku melawan
pengeroyokan perampok itulah Cin Cin melarikan
diri dan le nyap. Aku sudah mencari sampai
berbulan-bulan tanpa hasil, akhirnya aku pulang,"
demikian Lai Kun bercerita. Tentu saja cerita itu
bohong, karena seperti yang kita ketahui, dia telah
menjual Cin Cin ke rumah pelacuran!
Sebagai saudara muda ketua He k-houw-pang
yang sudah te was, Lai Kun berhak menggantikannya. Dia berusaha mengumpulkan
para anggota He k-houw-pang, kemudian perlahanlahan dia memimpin para anggotanya untuk
membangun kembali He k-houw-pang. Dia berhasil
mengumpulkan kurang lebih limapuluh orang, dan
mulai mendirikan perusahaan pengawalan barang
dengan bendera Hek-houw-pang. Mulailah perkumpulan itu berkembang dan mendapat
kepercayaan. Apalagi ketika pejabat daerah melapor ke kotaraja tentang Hek-houw-pang,
perkumpulan yang dengan gigih membela pemerintah Tang, sehingga dibasmi oleh anak buah
pemberontak Pangeran Cian Bu Ong, maka
peristiwa itu masuk dalam catatan petugas di
istana. Ketika Pangeran Li Si Bin, tujuh tahun
kemudian menggantikan kedudukan ayahnya
menjadi kasisar Tang Tai Cung, dia memeriksa
semua catatan itu dan mendengar te ntang Hekhow-pang, kaisar inipun segera mengambil kebijaksanaan. Kaisar berkenan memberi hadiah kepada He khouw-pang, melalui pembesar daerah dan Hekhouw-pang menerima bangunan baru yang besar
di Ta-bun-cung, juga menerima hadiah kereta
untuk pekerjaan mengawal barang, disamping dua losin e kor kuda pilihan, uang dan terutama sekali,
nama baik. Peristiwa itu membuat nama Hek-houw-pang
semakin te rkenal dan dipercaya pedagang. Siapa
yang tidak percaya kepada perkumpulan yang telah
mendapat pengakuan dan hadiah dari kaisar
sendiri" De mikianlah, dusun Ta-bun-cung ikut menjadi
makmur berkat perkembangan He k-houw-pang.
Dan Lai Kun, ketua baru He k-houw-pang,
berusaha keras untuk membuat perkumpulan itu
semakin maju. Dia kini menjadi seorang ketua
yang te rhormat dan te rkenal. Dan sejak dia
menjadi ketua Hek-houw-pang, Lai Kun menikah
dan kini mempunyai dua orang anak laki-laki
berusia sepuluh dan delapan tahun.
Dia hidup terhormat, kecukupan, berbahagia
dengan keluarga. Kalaupun kadang-kadang dia
te ringat kepada Cin Cin dan diam-diam dia
menyesali perbuatannya, dia cepat mengusir
kenangan itu sebagai sebuah mimpi buruk yang
amat mengganggunya. Tak seorangpun tahu akan peristiwa itu dan Cin
Cin sudah dianggap le nyap atau mati oleh semua
anggota Hek-houw-pang, walaupun kadang-kadang
Lai Kun te rmenung dan ada perasaan khawatir
apabila dia teringat kepada Cin Cin.
Empat belas tahun telah lewat sejak peristiwa
pembasmian Hek-houw-pang dan kini dusun Tabun-cung sudah berubah banyak. Banyak terdapat
toko dan kedai makan minum dan para penghuninya yang dahulu sebagian besar hanyalah petani-petani miskin yang pakaian dan rumahnya
butut, kini pakaian mereka jauh lebih baik, karena
penghasilan mereka baik. Perdaganganpun mulai
ramai dan semua orang memuji ketua Hek-houwpang yang kini dipanggil Lai-pangcu (Ketua Lai).
Bahkan Lai Kun diangkat sebagai ketua atau
kepala dusun Ta-bun-cung oleh penduduk.
Pada suatu senja, Lai-pangcu bersama isterinya,
seorang wanita penghuni dusun itu juga yang
berwajah cantik, duduk minum-minum sambil
menikmati makan kecil di serambi depan. Dua
orang pute ra mereka sehat-sehat dan sebagai
pute ra ketua Hek-houw-pang, te ntu saja dua orang
anak laki-laki itu dilatih ilmu silat. Akan tetapi
karena ayah mereka menghendaki agar kelak
mereka dapat menduduki pangkat, keduanya juga
diharuskan mempelajari ilmu baca tulis secara
mendalam. Untuk itu, Lai-pangcu sengaja mendatangkan seorang sasterawan dari kota untuk
mengajar kedua orang pute ranya.
Hari mulai gelap dan seorang pelayan menyalakan lampu-lampu di rumah, juga lampu
te mbok yang berada di serambi depan, di mana
keluarga itu sedang minum teh. Pelayan itu tidak
berani berlama di situ, setelah menyalakan lampu
segera ia masuk kembali karena tidak ingin
mengganggu majikannya sekeluarga yang sedang
santai. Isteri Lai Kun seorang wanita yang le mbut
dan kedua pute ranya juga merupakan anak-anak
yang pandai dan patuh. Lai Kun merasa berbahagia sekali. Dia kini telah berusia limapuluh
empat, tubuhnya yang dahulu kurus itu kini telah
berubah gemuk, sehingga hidungnya yang dulu nampak besar karena mukanya kurus, sekarang
kelihatan serasi. "Ayah, ada tamu....................!"
seorang pute ranya menuding ke pintu pagar. Lai Kun dan
isterinya memandang dan benar saja, di dalam
cuaca yang remang-remang itu nampak seorang
wanita yang bertubuh ramping memasuki pekarangan le wat pintu pagar dan kini melangkah
dengan tenang menghampiri serambi di mana
mereka duduk. Lai Kun cepat bangkit, diikuti
isterinya
Komentar
Posting Komentar