NAGA BERACUN JILID 14

 "Pangeran...........aihhh,
pangeran..., kenapa paduka berkata demikian" Hamba diharuskan
membunuh paduka dengan racun" Lebih baik
hamba yang mati!"
Pangeran Li Si Bin memandang dengan mulut
te rsenyum dan wajah berseri, pandang matanya
le mbut dan mes ra. "Bi Lan, engkau mempertaruhkan nyawamu untuk keselamatan
Lan Lan karena engkau mencintanya, lalu engkau
le bih baik mati daripada membunuhku untuk
menyelamatkan Lan Lan. Apakah ini berarti bahwa
engkaupun cinta padaku?"
Dalam kebingungan dan kegelisahannya, Bi Lan
te rsipu. "Pangeran, mana hamba...berani...?" Ia
te rgagap dan pada saat itu Pangeran Li Si Bin
sudah membungkuk, merangkul pundaknya dan
menariknya bangkit berdiri, lalu pangeran itu
mendekap wajahnya dalam rangkulan. Bi Lan
menyerah saja dan sejenak ia menangis di dada
pangeran itu. Pangeran Li Si Bin membiarkannya
sejenak, lalu dituntunnya Bi Lan dan disuruhnya
duduk di kursi berhadapan dengan dia.
"Duduklah, dan te nangkan hatimu. Sejak
berte mu, akupun sudah amat kagum kepadamu,
dan sejak engkau menyelamatkan aku dari racun
yang disuguhkan bekas thai-kam itu, aku sudah
jatuh cinta padamu, Bi Lan. Nah, setelah kita
mengetahui perasaan hati masing-masing, mari
kita bicara te ntang Lan Lan dan ancaman si
penculik. Jangan khawatir, aku mempunyai akal
untuk menyelamatkan puterimu itu."
Pangeran Li Si Bin mengajak Bi Lan memasuki
kamar yang aman, tidak akan te rdengar orang lain
percakapan mereka dan di te mpat ini mereka
berbicara dengan serius. Bi Lan mendengarkan
siasat yang diatur oleh pangeran itu. Pangeran Li
Si Bin adalah seorang panglima, seorang ahli siasat
yang pandai, maka menghadapi ancaman surat
itupun dia bersikap tenang dan dingin, dan
menemukan cara untuk menanggulangi dan mengatasinya. Hati Bi Lan le ga bukan main setelah
ia keluar dari istana pada sore hari itu. Bukan saja
ia telah mendapatkan ketenangan karena siasat
yang diatur oleh pute ra mahkota, akan tetapi juga
ada sinar kebahagiaan di pancaran matanya,
karena pengakuan pute ra mahkota yang juga
mencintanya! Suasana di istana tercekam kegelisahan. Betapa
tidak" Putra mahkota, juga panglima besar,
Pangeran Li Si Bin, jatuh sakit parah.! Sambil
berbisik-bisik semua penghuni istana membicarakannya. Terpetik berita dari tabib yang
menangani perawatan putera mahkota bahwa
pangeran itu telah keracunan hebat dan sukar
disembuhkan. Bahkan Kaisar dan permais uri, juga
para selir menjadi gelisah. Hanya tiga orang saja
yang tahu bahwa putera mahkota hanya pura-pura
sakit! Memang, dia pucat sekali dan nampak sakit
berat, akan tetapi semua itu akibat obat yang
diberikan tabib kepadanya. Hanya Pangeran Li Si
Bin, Bi Lan, dan sang tabib kepercayaan sajalah,
yang tahu bahwa putera mahkota sebenarnya tidak
menderita penyakit apapun juga. Dia sehat-sehat
saja. Akan tetapi selain mereka bertiga, semua orang percaya bahwa pute ra mahkota sakit berat,
keracunan dan bahkan agaknya tidak dapat
disembuhkan lagi! Pada malam hari ke tiga, ketika Pangeran Li Si
Bin rebah seperti orang pingsan, dengan muka
pucat sekali, ditunggui tabib yang tidak memperkenankan orang lain mendekat, masuklah
seorang thai-kam yang berlutut di ambang pintu
itu. Tabib Song yang tua dan te rkenal pandai itu
mengerutkan alisnya dan memandang thai-kam
itu. "Hemm, mau apa engkau masuk ke sini"
Jangan mengganggu sang pangeran!"
"Maafkan hamba, Tabib Mulia," kata thai-kam
(orang kebiri) itu dengan suara gemetar, "Hamba
diutus oleh Permaisuri untuk menengok keadaan
Putera Mahkota." "Keadaannya gawat dan jangan diganggu!" kata
pula tabib itu dan di ambang pintu, para pengawal
sudah siap dengan tombak dan pedang mereka
untuk mengusir thai-kam itu kalau menerima
perintah dari tabib. Dalam keadaan seperti itu,
kaisar sendiri yang memberi kekuasaan sepenuhnya kepada tabib untuk menjaga dan
merawat pute ra mahkota, dan siapapun harus
tunduk kepada sang tabib.
"Maafkan hamba........akan tetapi Sang Permaisuri mengutus hamba untuk melihat keadaan Pangeran dan menanyakan bagaimana
keadaannya, apakah masih ada harapan........ampun, hamba hanya utusan........"
Dan thai-kam itu merangkak mendekat.
Tabib yang sudah menjalankan siasat seperti
yang diatur oleh pute ra mahkota sendiri membiarkan thai-kam itu mendekat dan membiarkan thai-kam itu mengangkat muka
memandang kepada sang pangeran yang rebah
te rlentang seperti mayat.
"Hemm, kalau begitu laporkan kepada Hong
houw (Permais uri) bahwa keadaan Pute ra Mahkota
amat gawat. Lihat saja, wajahnya semakin pucat
dan kebiruan, itu tanda bahwa racunnya masih
bekerja dan biarpun aku sudah berusaha memberi
obat penawar, tetap saja hawa beracun itu tidak
dapat diusir semua. Ludahnya berwarna hitam dan
matanya merah, napasnya te rengah. Laporkan
kepada Sang Permaisuri bahwa agaknya pute ra
mahkota tidak dapat te rtolong lagi, mungkin
tinggal satu dua hari lagi........"
Thai kam itu menahan tangisnya, lalu mengundurkan diri dari kamar itu. Dia te risak
ketika keluar dan mele wati penjaga yang mengawal
di luar pintu kamar, sehingga semua orang
menganggap dia seorang thai-kam yang setia dan
mencitai pute ra mahkota sehingga tidak dapat
menahan kesedihannya ketika menjenguk dan
melihat keadaan sang pangeran yang sedang sakit
payah itu. Mulai malam itu, tiada seorangpun diperbolehkan memasuki kamar itu yang selalu
ditutup, dengan alasan bahwa keadaan penyakit
sang pangeran s udah terlalu gawat, sehingga sama
sekali tidak boleh diganggu. Hanya tabib itu saja
yang diperbolehkan menjaga di dalam kamar, sedangkan di luar kamar, penjagaan pengawal
diperketat. Sementara itu, Bi Lan setiap hari menangis di
istana Pangeran Li Siu Ti. Pangeran Tua inipun
hanya pada hari pertama pute ra mahkota jatuh
sakit saja diperbolehkan menengok. Siauw Can
beberapa kali datang untuk menghibur Bi Lan dan
bertanya mengapa wanita itu demikian berduka.
De ngan singkat Bi Lan berkata, "Bagaimana aku
tidak akan berduka" Lan Lan diculik penjahat, dan
kini Putera Mahkota yang kuharapkan dapat
membantuku mencari Lan Lan, jatuh sakit........."
Bi Lan menangis sambil menundukkan mukanya
dan ia tidak melihat betapa Siauw Can te rsenyum
puas. "Masih ada aku di sini, Lan-moi. Akulah
yang akan membantumu mencari Lan Lan sampai
dapat." "Kalau benar begitu, pergilah dan cari Lan Lan,
bukan bicara saja di sini. Pergi dan jangan ganggu
aku." Siauw Can meninggalkannya dan Bi Lan cepat
menghentikan tangisnya. Ia hanya menangis kalau
ada orang lain melihatnya, karena tangisnya ini
hanya merupakan pelaksanaan siasat yang diatur
oleh pute ra mahkota. Sekarang sudah hari ke tiga
dan ia harus siap-siaga karena orang yang
menculik Lan Lan te ntu akan mengembalikan Lan
Lan setelah mendengar bahwa sang pangeran
menderita sakit keracunan hebat. Tidak sukar
baginya untuk menangis, karena bagaimanapun
juga ia memang bersedih karena Lan Lan diculik.
Dan sekarnag ia sudah siap siaga untuk menangkap penculik itu kalau Lan Lan dikembalikan. Akan tetapi, sampai malam tiba, tidak ada berita
dari penculik itu. Bi Lan sudah hampir putus asa
ketika tiba-tiba ia mendengar suara Lan Lan
memanggilnya dari arah belakang, dari taman.
"I bu.......! Ibu........!"
"Lan Lan..........!!" Bi Lan meloncat keluar dari
kamarnya dan seperti te rbang memasuki taman.
Benar saja, ia menemukan Lan Lan di te ngah
taman, dalam keadaan sehat.! Ia menyambar
tubuh Lan Lan, dipondongnya dan didekapnya,
diciuminya dan kembali Bi Lan tak dapat menahan
banjirnya air mata, air mata kebahagiaan. Ia
sendiri merasa heran mengapa setelah ia jatuh
cinta, begini mudah ia menangis! Ia membawa Lan
Lan ke kamarnya, menutup pintu kamar dan
dengan lembut dan penuh rasa sayang, ia
menanyai Lan Lan kemana saja ia pergi selama tiga
hari itu. Lan Lan adalah s eorang anak yang usianya baru
tiga tahun, masih belum dapat memberi keterangan dengan je las. Ia hanya mengatakan
bahwa ia ditempatkan dalam sebuah kamar, diberi
banyak barang-barang mainan, dilayani oleh
seorang laki laki yang baik hati. Bi Lan te ntu saja
tidak dapat mengharapkan keterangan jelas siapa
penculik anak itu, dan te ntu anak itu ditotok
ketika diculik dan dikembalikan sehingga tidak
tahu apa-apa.
De ngan hati-hati Bi Lan menjaga Lan Lan malam
itu di kamarnya dan pada keesokan harinya, pagi pagi ia sudah memondong Lan Lan keluar dari
istana Pangeran Tua, menuju ke istana kaisar.!
Karena ia dikenal baik sebagai guru silat yang
melatih para dayang di istana, dengan mudah ia
diperbolehkan masuk dan langsung saja Bi Lan
menju ke kamar di mana Putera Mahkota "dirawat"
oleh tabib. Dan dapat dibayangkan betapa gembiranya hati Pangeran Li Si Bin ketika melihat
Bi Lan datang sambil memondong Lan Lan yang
dalam keadaan sehat dan selamat! Dan berakhirlah
"penyakit" putera mahkota itu pada hari itu juga.
Seluruh penghuni istana menjadi gembira bukan
main. Demikian pula kaisar ketika mendengari
bahwa pute ranya te lah sembuh sama sekali. Yang
mendapatkan jas a besar adalah Tabib Song tentu
saja. Dia dianggap berjas a telah dapat mengobati
dan menyembuhkan putera mahkota!
Pada hari itu juga. Bi Lan ditahan di istana atas
kehe ndak pute ra mahkota. De ngan alasan bahwa
Bi Lan diangkat menjadi pengawal pribadi Putera
Mahkota, maka wanita itu bersama puterinya tidak
perlu lagi kembali ke istana Pangera Tua, bahkan
barang-barangnya lalu diminta agar diantar ke
istana! Bukan itu s aja. Bahkan tak lama kemudian
Putera Mahkota secara berte rang mengangkat Bi
Lan menjadi selirnya, merangkap pengawal pribadi!
Karena ibunya menjadi selir pangeran, tentu saja
dengan sendirinya Lan Lan juga menjadi seorang
"puteri"! -ooo0dw0ooo- "Tabib Song keparat itu!" Pangeran Li Siu Ti
mondar-mandir di dalam kamarnya, kadang mengepal tinju dan wajahnya.muram. Hatinya
kecewa bukan main mendengar bahwa Putera
Mahkota telah sembuh dari sakitnya. "Bagaimana
mungkin." Padahal, menurut keterangan thai kam
Ciu, keadaan pangeran Li Si Bin sudah parah
sekali, sudah sekarat. Bagaimana tiba-tiba dapat
menjadi sembuh?" Poa Kiu dan Siauw Can yang berada di kamar
itu, saling pandang dan mereka berdua juga
merasa kecewa dan heran. Mereka sudah mengembalikan Lan Lan kepada Bi Lan karena
mereka sudah merasa yakin bahwa pute ra mahkota pasti akan mati. Mereka menganggap
bahwa Bi Lan te rpaksa harus mentaati bunyi
surat, yaitu meracuni Pangeran Li Si Bin untuk
menyelamatkan nyawa Lan Lan. Mereka sudah
percaya sepenuhnya bahwa usaha itu berhasil dan
kini tahu-tahu pangeran itu sembuh, dan Bi Lan
ditarik ke istana menjadi pengawal pribadi.!
"Jangan-jangan adik misanmu itu yang berkhianat," kata Pangeran Tua kepada Siauw Can
atau Can Hong San. "Buktinya. Pute ra Mahkota
tidak te was dan setelah Lan Lan dikembalikan, ia
segera membawa Lan Lan ke istana dan diangkat
menjadi pengawal pribadi."
"Saya kira tidak demikian, pangeran." kata Hong
San. "Banyak saksinya bahwa pute ra mahkota
benar-benar keracunan, bahkan banyak yang
melihat dia sakit payah, hampir mati. Tentu tabib
sial itu telah menemukan obat penawar yang amat
mujarab. Tentang diangkatnya Bi Lan menjadi
pengawal pribadi, hal itupun tidak aneh. Pangeran Li Si Bin agaknya suka kepada Bi Lan dan sudah
lama Bi Lan te lah diberi tugas untuk melatih para
dayang." "Keterangan Siauw Can memang benar, pangeran. Kalau s aja tabib Song tidak menemukan
obat yang ampuh, te ntu usaha itu berhasil baik
dan te ntu sekarang pute ra mahkota telah tewas.
Bagaimanapun juga, Siauw Can telah membuat
jas a dan dapat dikatakan bahwa tugasnya mengusahakan kematian Pangeran Li Si Bin telah
dilaksanakan dengan baik."
Pangeran Tua Li Siu Ti mengangguk-angguk dan
mengelus jenggotnya. Dia tahu apa maksud
ucapan kedua orang pembantu utamanya itu.
Tentu mengenai hubungan pembantu muda yang
tampan dan pandai ini dengan puterinya, Ai Yin.
"Aku mengerti, dan akupun tidak akan menyalahi
janji. Agaknya engkau dengan Ai Yln sudah saling
mencinta, Siauw Can. Baiklah, engkau akan
kujodohkan dengan Ai Yin dan pertunangannya
akan segera diumumkan setelah engkau berhasil
dengan sebuah tugas lagi yang amat penting, akan
tetapi tidak begitu sukar bagimu."
Di dalam hatinya, Can Hong San merasa
gembira sekali, akan tetapi juga mendongkol,
te rcapai cita-citanya menjadi mantu seorang
pangeran yang memiliki kekuasaan besar! Akan
tetapi kembali dia diserahi tugas, itulah yang
membuat dia mendongkol. "Harap paduka katakan saja, apa tugas itu.Akan
saya laksanakan dengan baik, pangeran."

"Engkau harus cepat menyingkirkan thai-kam
Ciu. Dia harus mati secepatnya!"
"Akan tetapi, kenapa, pangeran" Bukankah ia
telah berhasil diselundupkan dan amat berguna
bagi paduka sebagai mata-mata di sana?" tanya
Poa Kiu terkejut, karena dia yang mengusulkan
diselundupkannya thai-kam itu ke istana.
"Saya mengerti maksud paduka." kata Hong San,
sambil menoleh kepada Poa Kiu dengan senyum
memandang rendah. "Paman Poa, lupakah paman
bahwa kita menyuruh thai-kam Ciu untuk
menyelidiki keadaan Pangeran Li Si Bin pada hari
ketiga" Dia berhasil melihat keadaan pute ra
mahkota, dan siapa tahu, perbuatannya itu akan
dilaporkan oleh Tabib Song dan Putera Mahkota
akan merasa curiga kepadanya. Padahal, dialah
satu-tunya orang yang mengetahui rahasia kita
dan dapat membocorkannya."
"Akan tetapi, tidak mungkin dia mengkhianati
kita," kata pula Poa Kiu.
"Siauw Can benar," kata Pangeran Tua. "Poa Kiu,
lupakah engkau akan kamar siksaan dimana
setiap orang, betapapun kuat dan setianya, akan
mengakui segala perbuatannya kalau dia disiksa"
Kurasa thai-kam Ciu tidak terkecuali. Kalau dia
dicurigai, lalu ditangkap dan disiksa, pasti dia
tidak tahan dan akan mengaku, membongkar
semua rahasia kita."
Wajah Poa Kiu menjadi pucat. "Kalau begitu......... kalau begitu..........."
"Jangan khawatir , Paman Poa. Aku akan
menghabis inya sekarang juga. Serahkan saja
urusan ini kepadaku, pasti beres!"
Senanglah hati Pangeran Tua Li Siu Ti, "Jangan
sekarang, Siauw Can. Kita harus menunggu
sampai keadaan menjadi tenang. Tunggu tiga
empat hari, setelah semua te nang baru engkau
turun tangan melenyapkan thai-kam Ciu. Dan
setelan tugas itu berhasil, pertunanganmu dengan
Ai Yin akan kurayakan."
Bukan main senangnya hati Can Hong San. Dia
segera menemui Li Ai Yin dan pada malam itu dia
berhasil mengajak Ai Yin bicara berdua saja di
dalam taman. "Yin-moi," sejak Ai Yin menyambut cintanya
Hong San selalu menyebutnya Yin moi (dinda Yin)
dan hanya menyebut nona kalau berada di depan
keluarga pangeran tua itu. "Mulai hari ini, kita
telah bertunangan!" Dia lalu menceritakan janji
ayah gadis itu. Ai Yin tersenyum senang dan membiarkan ke
dua tangannya dipegang oleh pemuda yang
dikaguminya itu. "Kenapa te rjadi perubahan yang
tiba tiba ini, Can ko" Bukankah ayah masih
prihatin dengan peris tiwa di is tana, dimana
kakanda pangeran mahkota hampir saja te was
keracunan" Dan Lan Lan juga menjadi korban
penculikan, untung sudah dikembalikan. Kemudian, kepergian enci Bi Lan yang demikian
tiba-tiba, pindah ke istana. Semua ini membuat
aku bingung. Akan te tapi ayah malah hendak
membuat pesta pertunangan."
"Aih, jadi engkau sudah tahu?" tanya Hong San
gembira. Gadis itu mengangguk dan mengerling manja.
"Tentu saja. Kaukira ayah akan merahasiakan" Dia
sudah memberitahukan dan menanyakan kepadaku, minta persetujuanku untuk ditunangkan denganmu."
"Dan bagaimana jawabanmu, Yin-moi?"
Wajah itu berseri, kedua pipinya berubah merah
dan senyumnya genit manja, tangannya mencubit
le ngan Hong San. "Kaukira bagaimana jawabanku?" "Ha, te ntu jawabanmu begini............!"
Hong San lalu maju merangkul dan mencium
pute ri pangeran itu. Ai Yin tertawa manja dan
malu, akan te tapi karena ia sudah mendengar
sendiri betapa ayahnya menyetujui pemuda ini
menjadi calon suaminya, iapun tidak menolak.
Akan te tapi ketika Hong San berbuat te rlalu
berani, iapun mendorong muka pemuda itu.
"Hemm, apa yang kau lakukan ini.!"
Can Hong San adalah putera mendiang Cui beng
Sai-kong dan biarpun tidak sekuat mendiang
ayahnya, dia telah menguasai ilmu sihir. Melihat
betapa gadis bangsawan itu menolaknya, diapun
merasa penasaran. Kalau saja dia tidak ditolak Bi
Lan, te ntu diapun tidak bermaksud untuk
menggauli Li Ai Yin sebelum mereka menjadi suami
isteri, karena dia ingin menjadi mantu pangeran
secara te rhormat. Akan tetapi, dia telah dikecewakan Bi Lan, maka gejolak nafsunya hendak dia puaskan dengan gadis bangsawan yang
oleh ayahnya te lah diserahkan kepadanya itu. Dia
memegang kedua pundak gadis itu dengan lembut,
menatap wajahnya dengan tajam dan suaranya
mengandung getaran kuat. "Li Ai Yin, pandanglah aku baik-baik! Lihatlah
betapa besar kasihku kepadamu dan engkau akan
menyerah, tunduk

dan menuruti semua kemauanku. Aku cinta padamu, Ai Yin dan
engkaupun cinta padaku................ "
Ai Yin terbelalak, kemudian iapun menjadi le mas
dan iapun berte kuk lutut dan tidak te rdapat
perlawanan sedikitpun lagi dalam hatinya. Ia
menurut saja segala kehendak Hong San yang
te rus merayunya, menurut dan menyerah saja
ketika ia digandeng dan dituntun memasuki
kamarnya. -ooo0dw0ooo- Empat hari kemudian. Masih dalam rangka
siasat Pangeran Li Si Bin, keadaan di is tana
seolah-olah telah tenang kembali. Tidak ada bekas
ketegangan sebagai akibat sakitnya pute ra mahkota yang kabarnya keracunan he bat itu. Sang
pangeran melarang siapa saja bicara tentang hal
itu, dan Bi Lan juga tidak memperlihatkan
kecurigaan apapun. Wanita itu secara resmi
diangkat menjadi pengawal pribadi putera mahkota
sehingga tidak ada seorangpun yang menduga hal
yang bukan-bukan kalau melihat wanita cantik
dan perkasa ini berduaan saja dengan pute ra
mahkota, bercakap-cakap dengan akrab sekali.
Tadinya memang pute ra mahkota hanya menginginkan Bi Lan menjadi pengawal pribadinya, akan te tapi karena masing-masing
mengetahui akan isi hatinya, tahu bahwa mereka
saling mengagumi dan saling mencinta, maka
tidaklah mengherankan kalau kemudian putera
mahkota akan mengangkat Bi Lan menjadi seorang
selir terkasih. Bi Lan tahu diri. Ia hanya seorang
wanita biasa, bahkan seorang janda yang sudah
yatim piatu. Dibandingkan dengan pute ra mahkota, ia bagaikan seekor burung gagak
bersanding dengan burung Hong. Oleh karena itu,
dengan hati penuh penyerahan, penuh pengabdian
dan cinta kasih, ia menyerahkan diri dengan segala
kerendahan hatinya, rela untuk dijadikan selir
merangkap pengawal pribadi. Karena tugasnya
sebagai pengawal inilah, ia jauh lebih dekat dan
le bih sering berdekatan dengan pute ra mahkota
dibandingkan selir lainnya, kemudian. Dan iapun
sudah merasa berbahagia sekali kalau berada di
dekat pria yang dijunjungnya dan dicintanya itu.
Menjadi kelanjutan siasat mereka kalau Bi Lan
bersikap seolah sudah melupakan peris tiwa
penculikan pute rinya dan jatuh sakitnya pute ra
mahkota. Akan te tapi sesungguhnya, ia tidak
pernah lengah sebentarpun. I a selalu waspada dan
memperhatikan setiap orang yang berada di dalam
istana, memperhatikan setiap kejadian yang sekecil
apapun, dan diam-diam mencurigai setiap orang.!
Ketekunan dan ketelitiannya itu akhirnya
berhasil. Pada suatu malam, secara sembunyi Bi
lan meronda ke bagian belakang daerah keputren.
Ia sudah diceritakan oleh pute ra mahkota tentang sikap thai-kam Ciu yang dahulu diutus permaisuri
untuk menengoknya ketika dia sakit atau lebih
te pat berpura-pura sakit. Malam ini, Bi Lan
sengaja mencari thai-kam itu untuk menyelidiki
keadaan dirinya. Sore tadi ia melihat thai-kam itu
seperti orang gelisah, wajahnya pucat, rambut dan
pakaiannya kusut dan ketika berjumpa dengannya,
orang itu menunduk, pura-pura tidak melihat dan
tampak gugup. Ketika ia menyelinap mendekati tempat tinggal
para thai-kam, tiba-tiba ia melihat thai-kam Ciu
membuka pintu dan keluar menuju ke taman
dengan sikap hati-hati sekali. Bi Lan membayangi
dari jauh agar jangan sampai terlihat. Karena
inilah, maka ketika memasuki taman, ia kehilangan bayangan thai-kam Ciu. Selagi ia
kebingungan, mencari-cari kemana perginya orang
yang dicurigainya itu, tiba-tiba ia mendengar suara
orang mengaduh-aduh dan suara sambaran senjata tajam berdesing. Cepat Bi Lan melompat dan lari ke arah suara
itu dan ia masih sempat melihat seseorang
diserang orang lain dengan sebatang pedang.
Orang yang diserang itu agaknya sudah te rluka,
akan tetapi masih berusaha
mengelak dan berloncatan ke s ana-sini, akan tetapi ketika Bi Lan
muncul, penyerang itu berhasil menusukkan
pedangnya lagi dan orang itupun roboh.
"Heiii, tahan senjata!." bentak Bi Lan dan si
penyerang itu agaknya te rkejut, menarik kembali
pedangnya dan meloncat jauh, lenyap dalam
kegelapan malam. Sinar lampu pene rangan taman itu agak jauh dan sinarnya hanya remang-remang
saja mencapai tempat itu, namun cukup bagi Bi
Lan untuk melihat bahwa korban itu berpakaian
sebagai seorang thai-kam dan ketika ia berjongkok
untuk memeriksanya, ia terkejut ketika mengenalnya sebagai thai-kam Ciu yang dicurigai
oleh pute ra mahkota! Orang itu sudah payah, luka
tusukan pedang membuat tubuhnya berle potan
darah dan napasnya tinggal satu-satu. Ia harus
bertindak cepat sebelum terlambat. Ditotoknya
beberapa bagian tubuh orang itu dan iapun
bertanya. "Cepat katakan siapa pembunuhmu dan
apa hubungannya dengan penculik anakku dan
musuh putera mahkota!"
Karena totokan-totokan itu, thai-kam Ciu dapat
mengerahkan tenaga te rakhir dan dengan suara
penuh penyesalan dan rasa penas aran, diapun
berkata, "Semua diatur oleh Pangeran Tua.......dibantu Poa Kiu dan Siauw Can........"
kemudian bibirnya hanya bergerak-gerak tanpa
mengeluarkan suara dan tak lama kemudian
diapun te rkulai, te was. Akan tetapi keterangan itu
sudah cukup bagi Bi Lan. Keterangan yang
membuat kedua kakinya gemetar dan tubuhnya
le mas, yang membuat ia sampai lama tidak mampu
bangkit berdiri, te rmangu-mangu. Pangeran Tua Li
Siu Ti" Dan Siauw Can.........."
Kini mengertilah ia, walaupun ia masih te rkejut
karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa
semua peris tiwa itu diatur oleh orang-orang yang
selama ini dianggapnya baik dan dipercaya
sepenuhnya. Yang membuat hatinya sakit seperti
ditusuk adalah Siauw Can.. Pemuda yang dianggapnya se bagai seorang pendekar itu, bahkan
yang pernah dikagumi dan dicintanya, telah
menculik Lan Lan dan hendak memaksanya untuk
membunuh pute ra mahkota! Ia dapat menduga
bahwa te ntu Siauw Can diperalat oleh Pangeran
Tua, akan tetapi kenapa pemuda yang katanya
mencintanya itu mau melakukan perbuatan keji
dengan menculik Lan Lan dan memaksanya
membunuh pute ra mahkota, sungguh membuatnya penas aran bukan main. Ingin rasanya saat itu juga ia lari mencari Siauw Can
atau Can Hong San untuk memaki dan menyerangnya. Akan tetapi ia teringat bahwa
pemuda itu adalah seorang lawan yang amat
tangguh, apalagi te ntu dia akan dibantu oleh anak
buah Pangeran Tua. Tidak, urusan ini terlalu besar
untuk ia tangani sendiri. Cepat ia meninggalkan
taman dan malam itu juga ia mencari Pangeran Li
Si Bin. Pangeran Li Si Bin tidak terkejut mendengar
laporan Bi Lan. Memang pangeran ini pernah
mempunyai kecurigaan te rhadap pamannya, Pangeran Tua, hanya karena belum ada bukti
maka dia tidak dapat melakukan sesuatu. Kini
tahulah dia akan rahasia itu dan pada malam itu
juga dia memanggil para panglima yang membantunya dan pasukan khusus dikerahkan.
Tanpa membuang waktu lagi Pangeran Li Si Bin
sendiri, dibantu para panglimanya dan tidak
ketinggalan Bi Lan sendiri, lalu menyerbu ke istana
Pangeran Tua Li Siu Ti. Ge gerlah di kota raja. Terjadi pertempuran yang
hanya pendek saja karena Pangeran Li Siu Ti sama sekali tidak mengira bahwa malam itu akan terjadi
penyerbuan besar-besaran yang dilakukan oleh
pasukan istimewa yang dipimpin sendiri oleh
pute ra mahkota! Dan penyerbuan itupun sudah
direstui kaisar yang malam itu juga mendengar
laporan pute ranya. Mereka yang berani melakukan
perlawanan segera dibabat roboh dan yang lain
cepat melempar senjata dan menjatuhkan diri
berlutut. Pangeran Li Siu Ti sekeluarga ditangkap.
Akan te tapi, dengan hati yang le ga Bi Lan
mendengar bahwa Ai Yin lolos dari penangkapan.
Disamping kelegaan hatinya, juga ia merasa
penas aran karena Can Hong San juga lolos.
Kiranya pemuda inilah yang melarikan Ai Yin dan
Bi Lan dapat menduga bahwa bayangan yang
dilihatnya membunuh thai-kam Ciu tentulah Can
Hong San. Pemuda itu tentu sudah merasa
khawatir melihat perbuatannya ketahuan, sudah
dapat menduga bahwa mungkin saja Bi Lan akan
melapor dan thaikam Ciu membuka rahasia. Hong
San te ntu sudah dapat menduga kemungkinan
datangnya serbuan dari pute ra mahkota, maka
begitu tiba di istana Pangeran Tua, dia segera mengajak Ai Yin pergi
dan tidak lupa membawa barang-barang berharga
dari is tana itu. Ketika Ai Yin mendesak dan minta
keterangan kepadanya, Can Hong San tidak mau
mengaku dan setengah memaksa gadis yang te lah
ditunangkan dengannya itu meninggalkan istana
secepatnya, bahkan malam itu juga mereka kabur
keluar dari pintu gerbang kotaraja, menunggang
dua ekor kuda pilihan. 
Keluarga Pangeran Tua Li Siu Ti ditangkap dan
dipenjara, kemudian setelah diadili, pangeran itu
dijatuhi hukuman mati sedangkan keluarganya
dihukum buang. Setelah terjadi peristiwa itu, Bi Lan makin
disayang dan dipercaya oleh Pangeran Li Si Bin
dan iapun menyerah dengan senang hati ketika
pute ra mahkota itu mengangkatnya sebagai selir
te rkasih dan te rpercaya. De ngan sendirinya Lan
Lan yang kini diaku sebagai pute ri sang pangeran
dengan nama menjadi Li Hong Lan, mendapat
perlakuan sebagai seorang pute ri dan pendidikan
dan perawatannya diserahkan kepada para ahli
yang di is tana bertugas untuk mendidik para
pute ri yang masih kecil.
-ooo0dw0ooo- Anak laki-laki itu berusia kurang le bih duabelas
tahun, namun tubuhnya tinggi tegap seperti orang
dewasa saja. Juga wajahnya yang tampan itu
nampak dewasa, dengan mata yang tajam mencorong penuh pengertian, mulut yang membayangkan keteguhan hati dan ketabahan.
Kalau ada ahli silat melihatnya pada saat dia
berlatih itu, tentu ahli silat itu akan terkagumkagum. Anak berusia duabelas tahun itu berlatih
silat di atas bambu-bambu runcing yang ditanam
di tanah setinggi satu meter. Kedua kakinya
bertelanjang dan dengan kedua kaki bertelanjang
itu dia bersilat di atas bambu-bambu yang runcing.
Ge rakannya demikian gesit dan tangkas, kedua
kakinya yang melangkah ke kanan kiri, depan belakang, bahkan kadang melompati sebatang
bambu runcing dan hinggap di atas bambu runcing
berikutnya, tak pernah meleset. Orang akan
merasa ngeri karena sekali terpeleset, anak itu
akan te rjatuh dan bambu-bambu runcing akan
menyambut perut dan dadanya atau punggungnya.
Dan mengingat betapa kedua kaki te lanjang itu
berloncatan di atas bambu-bambu runcing, sungguh mengerikan dan sekaligus mengagumkan.
Tak jauh dari situ, di bawah pohon yang tumbuh
di belakang sebuah pondok baru, duduk seorang
pria tua yang tinggi besar bermuka kemerahan dan
je nggotnya panjang. Pria berusia sekitar lima puluh
delapan tahun itu masih nampak gagah dan
berwibawa. Dari wajah dan sikapnya mudah
diduga bahwa dia bukan orang sembarangan. Dia
mengelus jenggotnya dan mulutnya te rsenyum,
kepalanya mengangguk-angguk melihat kelincahan
anak laki-laki remaja yang berlatih silat itu. Dari
gerakan-gerakannya saja, jelas nampak bahwa
anak itu memang memiliki bakat yang bes ar sekali.
Ge rakannya demikian lentur dan indah, tidak kaku
dan setiap gerakan mengandung te naga yang tepat
penggunaannya, tidak berlebihan juga tidak lemah.
Pria tinggi bes ar itu adalah bekas Pangeran Cian
Bu Ong! Selama beberapa tahun ini, semenjak
Kerajaan Sui jatuh diganti Kerajaan Tang, kurang
le bih sembilan tahun yang lalu, Cian Bu Ong
berusaha untuk menegakkan kembali Kerajaan Sui
yang te lah jatuh. Namun semua usahanya gagal,
bahkan dia yang oleh Kerajaan Tang dianggap
pemberontak, menjadi orang buruan. Hidupnya
tidak aman, karena dia dikejar-kejar oleh pasukan Tang. Terutama sekali karena yang menjadi
panglima adalah pute ra mahkota sendiri, yaitu
Pangeran Li Si Bin yang amat cerdik dan pandai,
Cian Bu Ong harus menjadi pelarian yang tidak
dapat tinggal terlalu lama di suatu tempat. Setelah
dia berte mu dengan Sim Lan Ci yang kemudian
menjadi isterinya, barulah dia menghentikan
usahanya untuk memberontak. Namun, bersama
Sim Lan Ci dan putera janda itu, Coa Thian Ki, dan
juga pute rinya sendiri, Cian Kui Eng, dia harus
selalu berpindah-pindah tempat tinggal, khawatir
kalau je jaknya ditemukan para penyelidik Ke rajaan
Tang. Cian Bu Ong menganggap Thian Ki sebagai
pute ranya sendiri. Dia amat mencinta Sim Lan Ci
yang te lah menjadi isterinya dan dia sayang pula
kepada Thian Ki karena dia tidak mempunyai anak
laki-laki. Anaknya yang tunggal dengan isteri
pertama yang te was oleh pasukan Tang adalah
seorang perempuan, yaitu Cian Kui Eng yang kini
berusia sebelas tahun. Cian Bu Ong menggemble ng
kedua orang anak itu, bahkan dia lebih te kun
mengajarkan ilmu-ilmunya kepada Thian Ki,
karena selain anak ini memiliki bakat yang lebih
besar dibandingkan Kui Eng, akan tetapi juga
bekas pangeran itu memiliki cita-cita tinggi
te rhadap Thia Ki. Dia mengharapkan anak tiri yang
sudah dianggap anaknya sendiri itu kelak dapat
menjadi orang besar, kalau mungkin di kalangan
pemerintahan, kalau tidakpun menjadi tokoh besar
di dunia persilatan, agar dapat mengangkat
kembali namanya yang te lah jatuh bersama
runtuhnya Kerajaan Sui. 
Baru setelah panglima besar dan pute ra
mahkota, yaitu Pangeran Li Si Bin yang menjadi
tokoh utama Kerajaan Tang menggantikan ayahnya
dan menjadi kaisar (tahun 627) Cian Bu Ong dapat
hidup te nang bersama is terinya dan kedua orang
anaknya, di sebuah dusun kecil yang te rletak di
te mpat yang amat indah pemandangan alamnya,
yaitu di te pi Sungai Huang-ho, di kaki Kim San
(Bukit Emas). Setelah Pangeran Li Si Bin menjadi
kaisar dan berjuluk Tang Tai Cung, kais ar ini lebih
banyak memperhatikan urusan pemerintahan,
tidak lagi memikirkan pemberontak-pemberontak
buronan yang sudah kehilangan pasukan, seperti
halnya Cian Bu Ong yang dianggap tidak
berbahaya lagi. Di dusun Ke-cung itu, yang
penduduknya hanya puluhan keluarga saja dan
semua adalah petani dan nelayan sederhana, Cian
Bu Ong mendirikan sebuah rumah besar dan
hidup te nang dan tenteram bersama Sim Lan Ci
dan kedua orang anak mereka, yaitu Thian Ki dan
Kui Eng. Pada pagi hari itu, Thian Ki sudah berlatih silat
di bawah pengawasan Cian Bu Ong, ayah tirinya,
juga gurunya. Dulu, ketika dia masih hidup
bersama ayah kandungnya, mendiang Coa Siang
Lee, ayah dan ibunya selalu menekankan perasaan
tidak suka akan ilmu silat dan penggunaan
kekerasan sehingga biarpun dia menjadi anak
suami isteri yang pandai ilmu silat, Thian Ki
sendiri tidak pernah mempelajari ilmu silat. Akan
tetapi, tanpa diketahui ayah ibunya, neneknya,
yaitu Lo Nikouw yang dahulu terkenal dengan
julukan Ban-tok Mo-li, telah menggemble ng 
tubuhnya dengan ramuan racun, sehingga tanpa
disadarinya sendiri, Thian Ki telah menjadi seorang
tok-tong (anak beracun). Di luar kehe ndaknya
sendiri, dia telah melakukan hal-hal yang akan
menggemparkan dunia kangouw kalau diketahui
orang, yaitu dia te lah membunuh atau le bih te pat
lagi menyebabkan kematian tokoh-tokoh kangouw
yang amat lihai seperti Kui bwe Houw Gan Lui, si
golok gergaji Thio Ki Lok, pegulat Turki Gulana.
Mereka semua te was keracunan karena berani
menyerang dan menyentuh tubuh Thian Ki yang
sudah penuh dengan hawa beracun yang amat
kuat itu! Semula, karena melihat tok-tong inilah maka
Cian Bu Ong tertarik. Dia ingin memiliki anak
beracun itu untuk membantu gerakannya dan
usahanya menegakkan kembali Kerajaan Sui. Akan
tetapi setelah dia menikah dengan ibu anak itu,
dan melihat bahwa cita-citanya itu tidak akan
mungkin te rlaksana karena Kerajaan Tang yang
baru semakin kuat, dan untuk berjuang menumbangkan pemerintahan dia harus mempunyai pasukan yang besar sekali, hal yang
tidak mungkin dimilikinya, maka diapun membuang cita-cita itu. Kini dia menggemble ng
Thian Ki dengan cita-cita lain. Dia ingin anak
tirinya yang juga muridnya itu kelak menjadi orang
penting, berkedudukan tinggi atau menjadi seorang
jagoan nomor satu di dunia kangouw, pendeknya
dia ingin agar Thian Ki kelak dapat menjadi
te rkenal dan karenanya akan mengangkat tinggi
nama besar Pangeran Cian Bu Ong. Oleh karena itu, maka dia menggemble ng Thian Ki dengan amat
te kunnya. Anak itu sendiri sekarang juga rajin berlatih dan
suka sekali mempelajari ilmu silat. Hal ini
merupakan perubahan yang amat besar. Selain
ibunya, Sim Lan Ci sekarang tidak lagi melarangnya belajar silat, bahkan ibu inipun
mengajarkan ilmu-ilmunya sendiri, juga karena
pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah merupakan pelajaran bagi Thian Ki, bahwa
memiliki kekuatan dan kepandaian silat amat perlu
baginya, untuk dapat membela diri dalam hidup
ini. Terlalu banyak orang jahat berkeliaran di bumi
ini dan amat sukarlah mengharapkan perlindungan dari orang lain.
Dalam usia duabelas tahun, Thian Ki sudah
mampu berlatih silat di atas bambu-bambu
runcing. Hal ini sungguh mengagumkan sekali.
Tanpa memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh)
yang tinggi, sungguh amat berbahaya latihan
seperti itu. Namun, Thian Ki sudah dapat
berloncatan dengan cekatan di atas bambu-bambu
runcing itu. Tentu saja hal ini amat menggembirakan hati Pangeran Cian Bu Ong. Dia
sendiri mengakui bahwa dalam usia semuda itu,
dia tidak dapat mencapai tingkat seperti yang
dimiliki Thian Ki sekarang ini. Dia merasa bangga
dan girang sekali melihat kemajuan Thian Ki.
Puterinya sendiri, Kui Eng. juga tekun dan cerdas,
akan te tapi dibandingkan Thian Ki, anak itu kalah
jauh. Apalagi kalau diingat bahwa tubuh Thian Ki
beracun, dan keadaan ini saja sudah amat
berbahaya bagi lawannya. Lawan yang amat lihai sekalipun akan dapat te was sendiri kalau berani
menyentuh tubuh tok-tong, si anak beracun itu.
Cian Bu Ong yang bercita-cita tinggi itu bahkan
telah memilihkan sebuah nama julukan bagi anak
tiri dan muridnya, yaitu Tok-liong (Naga Beracun)!
"Thian Ki." kata bekas pangeran itu berulang
kali, "Namamu yang biasa adalah Thian Ki, Cian
Thian Ki," dia memberi tekanan kepada nama
keluarga Cian itu. Dia mengakui Thian Ki sebagai
anak sendiri, maka dia menekankan kepada anak
itu dan ibunya agar menggunakan she (nama
keluarga) Cian! "Akan tetapi, di dunia kangouw,
tidak perlu engkau memperkenalkan diri sebagai
Cian Thian Ki, melainkan Tok-liong-eng (Pendekar
Naga Beracun), ha-ha ha.!"
Karena ucapan itu berulang-ulang dikatakan
gurunya yang juga ayahnya karena dia menyebut
ayah kepada gurunya itu, maka sebutan Tok-liong
(Naga Beracun) itu mendatangkan kesan di hati
Thian Ki dan setelah beberapa tahun dia menganggap Tok-liong sebagai namanya yang ke
dua. Apalagi ayah tiri dan ibunya sendiri sering
menyebut Tok-liong kepadanya.
Baru beberapa bulan Cian Bu Ong tinggal di
dusun Ke-cung itu. Setelah mendengar bahwa
Kaisar Tang Kao Cu diganti oleh Pangeran Li Si Bin
yang kini menjadi Kaisar Tang Tai Cung, baru ia
merasa aman dan tinggal di dusun le mbah sungai
yang indah itu. Penduduk dusun menyambut
keluarga ini dengan gembira. Mereka tidak
mengenal siapa keluarga ini dan Cian Bu Ong
sudah mengubah namanya menjadi Cian Bu saja.
Penduduk hanya menduga bahwa Cian Bu adalah
seorang hartawan atau pejabat yang
te lah mengundurkan diri dan mencari tempat tinggal
yang tenang di dusun itu. Karena keluarga baru ini
selain kaya juga ringan tangaa
membantu penduduk, maka keluarga ini disambut dengan
baik dan Cian Bu dikenal sebagai hartawan Cian,
bahkan beberapa bulan kemudian, melihat dia
seorang yang kaya dan pandai, luas pengetahuannya dan suka menolong penduduk,
puluhan keluarga penghuni dusun Ke-cung segera
mengangkatnya menjadi ketua dusun.
De mi keamanan, Cian Bu menerima pengangkatan itu, walaupun dalam hatinya dia
te rsenyum pahit. Dia, pangeran adik kaisar
te rakhir Kerajaan Sui yang bercita-cita menegakkan kembali Kerajaan Sui dimana dia
yang akan menjadi kaisar barunya, kini hanya
diangkat menjadi ketua dusun.! Inipun dusun yang
kecil sekali dan pengangkatan itupun tidak res mi
dari pemerintahan. Karena rumah dan pekarangan
berikut sebuah kebun dan taman yang luas milik
keluarga Cian itu dikelilingi pagar dinding yang
tinggi, maka tak seorangpun pernah melihat kalau
keluarga itu berlatih silat. Tiga orang pelayan
keluarga ini adalah bekas anak buah yang setia
dari bekas pangeran itu, dan mereka maklum
bahwa mereka tidak boleh membuka rahasia
majikan mereka kepada siapapun juga.
Selagi Thian Ki berlatih, kini tidak lagi di atas
bambu- bambu runcing melainkan di atas tanah di
mana dia bersilat dengan amat cepat dan kuatnya,
tiba-tiba seorang anak perempuan berusia sebelas tahun datang berlari-lari. Melihat Thian Ki masih
bersilat dengan tangan kosong, dengan baju
dilepas sehingga tubuh atasnya telanjang dan
berkilauan karena keringat, anak perempuan itu
mengeluarkan bentakan nyaring dan iapun melompat dengan sigapnya mendekati Thian Ki
dan langsung saja menyerangnya dengan jari
tangan menotok ke arah tubuh Thian
Ki, menyerang jalan-jalan darah secara cepat sekali.!
Thian Ki cepat mengelak ke sana sini, lalu
meloncat jauh ke belakang. Ketika anak itu yang
bukan lain adalah Cian Kui Eng, hendak mengejar
dan mendesak, ayahnya membentak.
"Kui Eng, berhenti!"
Anak perempuan itu berhenti menyerang,
menoleh kepada ayahnya dan iapun membantingbanting kaki dan merajuk. "Aihhh, ayah, aku ingin
berlatih dengan kakak Thian Ki, selalu tidak
boleh.!" Anak berusia sebelas tahun itu berwajah manis
dan bertubuh ramping. Matanya tajam dan galak,
mulutnya yang cemberut itu menjadi pemanis yang
utama dari wajahnya yang bulat telur. Rambutnya
agak keriting, membuat rambut itu nampak tebal.
"Kui Eng, sudah berulang kali kukatakan
kepadamu. Engkau tidak boleh berlatih dengan
kakakmu. Itu berbahaya sekali!" kata Cian Bu Ong,
atau yang nama barunya Cian Bu saja itu.
Pada saat itu, Sim Lan Ci muncul dan
mendengar percakapan itu, iapun lari menghampiri
dan merangkul Kui Eng yang bersungut-s ungut.
"Kui Eng, engkau sudah seringkali kuberi tahu agar jangan berlatih dengan kakakmu. Engkau
te ntu tahu bahwa kakakmu adalah seorang yang
berbahaya, karena disebut Naga Beracun. Dia
seorang tok-tong. " Dalam usianya yang hampir empatpuluh tahun,
Sim Lan Ci masih nampak cantik. Hal ini adalah
karena selama menjadi isteri Cian Bu Ong, ia
merasa hidupnya berbahagia walaupun ia ikut
melarikan diri dan bersembunyi bersama suaminyi
selama tujuh tahun ini. Cian Bu amat mencintanya
juga ia mencinta Kui Eng seperti mencinta Thian Ki
anak kandungnya. Suaminya seorang yang amat
baik, bahkan jauh le bih sakti dari pada suaminya
yang pertama, dan juga berwibawa dan jantan.
"I bu, kenapa sih toako disebut Tok-liong (Naga
Beracun), dan apa sih artinya tok-tong?"
"Dia disebut tok-tong karena tubuhnya mengandung hawa beracun yang amat kuat, Kui
Eng. Beradu tangan dengan dia, bahkan menyentuh tubuhnya pun kalau kebetulan hawa
beracun itu bekerja, orang akan mati seketika."
"Tapi.....kenapa toako bisa seperti .itu?"
Suami isteri itu saling pandang. Sudah tiba
saatnya mereka memberi tahu anak-anak mereka
akan kejadian yang sebenarnya te ntang diri Thian
Ki. Bahkan anak itu sendiri belum tahu dengan
jelas. Melihat pandang mata isterinya, Cian Bu
menghela napas panjang dan mengangguk, lalu dia
duduk di atas bangku di taman itu.
"I bu, akupun ingin sekali mengetahui mengapa
tubuhku jadi beracun" Ibu dan ayah tidak pernah mau menceritakan," kata pula Thian Ki yang
memakai kembali bajunya dan mendekati ibunya.
Sejak berusia lima tahun, dia dipesan oleh ibunya
agar berhati-hati kalau bermain-main dengan Kui
Eng, agar dia tidak mengerahkan tenaga dan
sekali-kali tidak boleh berlatih silat dengan adiknya
itu. Biarpun perintah ibunya itu tentu saja
membuat dia tidak dapat bergembira dan bermainmain sebebasnya dengan adiknya, namun dia
selalu mentaati karena dia sendiri tahu bahwa
dalam dirinya te rdapat rahasia aneh. Sudah dia
melihat sendiri beberapa orang yang amat lihai
ilmu silatnya tewas ketika menyerangnya, te was
ketika digigitnya, bahkan te was ketika mencengkeramnya. Sim Lan Ci menarik napas panjang, lalu
menggandeng tangan kedua anaknya, diajaknya
duduk di bangku dekat suaminya. Kemudia ia
mulai bercerita. "Thian Ki dan Kui Eng, ingat baikbaik apa yang akan kuceritakan ini agar kelak
tidak sampai terjadi sesuatu pada diri kalian.
Thian Ki, engkau telah menjadi seorang tok-tong.
Di dalam tubuhmu te rdapat racun yang amat
hebat, seluruh darahmu mengandung racun, juga
tubuhmu penuh dengan hawa beracun yang dapat
membunuh siapa saja, bahkan orang-orang seperti
aku dan ayahmu dapat saja terbunuh oleh racun
di tubuhmu itu." "Wah, hebat kalau begitu! Ibu, kalau kakak
Thian Ki mempunyai tubuh sehebat itu, kenapa
aku tidak" Ibu dan ayah, jadikanlah aku seperti
dia, aku ingin mempunyai tubuh beracun seperti itu agar dapat kubasmi semua orang jahat di dunia
ini!" "I h, Kui Eng, enak saja kau bicara!" Thian Ki
menegur adiknya. "Apa sih senangnya punya
tubuh beracun" Lihat saja aku. Aku ingin bermainmain denganmu, berlatih silat denganmu tidak
bisa! Kalau racun di tubuhku ini dapat le nyap, aku
akan berbahagia sekali!"
"I bu, kenapa kakak Thian Ki menjadi Tok-tong"
Bagaimana te rjadinya!" tanya pula Kui Eng, tidak
perduli akan keluhan kakaknya.
"Semua ini gara-gara nenekmu, Lo Nikouw. ..."
"Aih, nenek Lo N ikouw. Ibu dari ibu yang jarang
ibu ceritakan itu" Bagaimana nenek bisa menjadi
gara-gara keadaan toako ibu?"
"I buku, nenek kalian itu adalah seorang ahli
racun yang tiada keduanya di empat penjuru
sehingga ia dikenal sebagai Ban-tok Mo-li (Iblis
Betina Selaksa Racun).........."
"I hhhh! Julukannya mengerikan benar!" seru Kui
Eng. "Julukannya itu adalah ketika ia belum menjadi
seorang nikouw, Kui Eng. Sekarang ia dikenal
sebagai Lo Nikouw yang pekerjaannya hanya
berdoa. Nenek kalian itulah yang diluar tahuku
telah membuat Thian Ki menjadi tok-tong, dengan
cara merendam tubuh Thian Ki ketika masih kecil
ke dalam ramuan obat beracun. Aku mengetahui
hal itu setelah terlambat."

"Aih, kenapa nenek begitu jahat terhadap Thian
Ki, Ibu?" Kui Eng berseru dengan penasaran.
"Hush, jangan berkata begitu, Kui Eng!" tiba-tiba
Cian Bu yang se jak tadi hanya mendengarkan saja,
berseru kepada pute rinya. "Nenekmu melakukan
hal itu justeru karena ia menyayang Thian Ki. Ia
ingin membuat Thian Ki menjadi orang yang tak
te rkalahkan, dan dalam hal ini, ia te lah banyak
membantu dan usahanya itu berhasil. Kalau
bukan seorang ahli yang amat pandai, bagaimana
mungkin ia dapat membuat cucunya menjadi toktong" Orang lain yang tubuhnya mengandung
racun seperti Thian Ki, takkan mampu bertahan
hidup lagi. Ne nekmu itu memang hebat!"
"Akan tetapi aku tidak suka menjadi tok-tong!
Aku tidak ingin menjadi orang
yang tak te rkalahkan!" teriak Thian Ki.
"Aih, toako. Kenapa engkau begitu bodoh.
Sepantasnya engkau berte rima kasih kepada
nenek. Kalau aku yang menjadi seperti engkau,
wah, aku akan merasa bangga dan senang sekali.
Akan kukalahkan seluruh jagoan di dunia ini! Ibu,
bawa aku kepada nenek biar aku juga dijadikan
seorang anak beracun.!"
"Hemm, kaukira mudah menjadikan seseorang
beracun seperti itu" Hanya anak yang masih kecil
dan berbakat saja yang akan mampu hidup
menjadi anak beracun. Engkau sudah besar, Kui
Eng, tidak mungkin menjadi anak beracun lagi.
Baru Thian Ki saja menjadi tok-tong kami sudah
bingung, masa engkau ingin menjadi anak beracun
lagi!" kata Sim Lan Ci.
Sementara itu, Cian Bu menghela napas
panjang. Dia mencita-citakan Thian Ki kelak
menjadi seorang jagoan nomor satu di dunia. Thian
Ki telah menjadi tok-tong, berbakat baik dan te lah
digemble ngnya dengan sungguh sungguh, akan
tetapi ternyata anak itu tidak suka menjadi jagoan
seperti yang dia idamkan. Kalau saja Thian Ki
mempunyai semangat seperti yang diucapkan Kui
Eng tadi! Thian Ki berwatak lemah, terlalu baik,
tidak suka akan kekerasan, tidak ingin menjadi
jagoan tak terkalahkan, padahal dia memiliki
kemampuan untuk itu. Sebaliknya semangat Kui
Eng berkobar-kobar. "I bu, kenapa nenek memperlakukan aku seperti
ini" Aku juga ingin berte mu dengan nenek, akan
kuminta agar dia melenyapkan racun dari
tubuhku!" kata Thian Ki.
"Tidak semudah itu, Thian Ki. Racun itu te lah
menjadi satu dengan darahmu, biar nenekmu
sendiri tidak akan dapat melenyapkannya. Hanya
satu cara saja......" Wanita cantik itu menghentikan
kata-katanya, menyadari bahwa ia te lah terlanjur
bicara. Thian Ki segera menyambar kesempatan itu.
"I bu, katakan. Apa caranya akan kute mpuh segala
cara untuk membuat aku menjadi manusia biasa.
Katakanlah, apa cara yang satu-satunya itu?"
Karena sudah terlanjur bicara. Sim Lan Ci
memandang suaminya, lalu berkata. "Caranya
hanya menularkan racun itu kepada orang lain.
Sedikitnya kepada sepuluh orang dan mereka itu
akan te was. Biarpun setiap orang hanya menerima sepersepuluh bagian saja, cukup untuk membuat
ia tewas. N ah, setelah menewaskan belasan orang,
barulah ada kemungkinan racun itu akan le nyap
dari tubuhmu." Mendengar ini, Thian Ki termenung dan wajahnya dibayangi kedukaan. "Kalau begitu.....selama hidupku sampai mati.........aku
tidak akan dapat melenyapkan racun keparat ini
dari tubuhku......." Ucapan ini saja menyatakan
bahwa ia tidak suka membunuh orang, biar hal itu
demi keselamatan diri sendiri.
Melihat ini, Cian Bu lalu menghibur. "Sebetulnya
tidak perlu dilenyapkan, apa lagi kalau caranya
demikian sulit. Asalkan Thian Ki dapat menguasai
racun itu, dapat menekannya sehingga racun itu
tidak bekerja, kecuali hanya kalau di perlukan
saja, maka tentu dia akan hidup seperi orang
biasa. Hanya pada saat tertentu saja dia dapat
mengerahkan kekuatan racun itu. Sayang, sudah
kucoba, namun aku belum menemukan caranya
untuk mengajar dia dapat mengendalikan hawa
beracun itu." Mendengar ini, Thian Ki memandang ibunya
"I bu, dapatkah nenek mengajariku agar aku dapat
menguasai racun ini" Biarpun tidak dapat le nyap,
kalau aku dapat menguasainya seperti dikatakan
ayah, sudah lumayan........ "
Sim Lan Ci mengerutkan alis nya. Sudah tujuh
tahun lebih ia meninggalkan ibunya yang berada di
kuil Thian ho-tong di luar dusun Mo-kim-cung.
Bahkan rumahnyapun ia tinggalkan. Sejak ia dan
almarhum suaminya, Coa Siang Lee meninggalkan dusun Mo-kim cung berkunjung ke pusat He khouw-pang di dusun Ta-bun-cung, yaitu te mpat
tinggal keluarga almarhum suaminya, ia tidak
pernah lagi kembali ke Mo-kim cung. Terlalu
banyak peris tiwa terjadi sejak ia dan suami
pertamanya itu meninggalkan Mo-kim-cung. Di
He k-houw-pang itulah te rjadinya malapetaka yang
membuat suaminya tewas dan ia bersama Thian Ki
ikut Cian Bu Ong dan kemudian bahkan menjadi
isteri bekas pangeran itu yang kini bernama Cian
Bu. Tujuh tahun le bih te lah le wat dari kini
percakapan te ntang ibunya membuat ia teringat
akan semua itu. "Bagaimana, ibu?" Thian Ki mendesak ketika
melihat ibunya te rmenung. "Aku masih ingat,
nenek adalah seorang nikouw yang ramah dan baik
budi, selalu bersikap baik kepadaku. Beliau tentu
akan suka menolongku, ibu."
Wanita itu menghela napas panjang. "Tidak
tahulah, Thian Ki. Aku memang pernah mempelajari ilmu-ilmu dari ibuku te ntang ilmuilmu pukulan beracun, akan te tapi aku tidak
pernah diajari ilmu membuat seseorang menjadi
tok-tong, juga tidak tahu menahu tentang cara
menguasai hawa beracun dalam tubuh. Ilmu
pukulan beracun memang han ya timbul hawa
beracun itu kalau ilmu itu dipergunakan untuk
berkelahi, kalau pengerahan tenaga sakti dilakukan dengan cara te rtentu disamping latihan
yang menggunakan racun. Akan te tapi racun yang
sudah menjadi satu dengan darah seperti yang
kaualaml, biasanya hanya membuat orang itu
mati. Engkau sebaliknya hidup dengan sehat dan kuat, dan racun itu bekerja di luar kehe ndakmu.
Aku tidak tahu.......... "
"Kalau begitu, kenapa tidak ke sana saja." Kita
semua pergi ke s ana mencari ibumu, minta agar ia
suka mengajari Thian Ki menguasai racun di dalam
dirinya, dan kita sekalian berpesiar ke timur.
Anak-anak ini perlu mendapatkan pengalaman,
juga aku ingin sekali melihat keadaan di sana
sekarang ini. Tentu ramai sekali."
Sim Lan Ci te rkejut, akan tetapi juga wajahnya
berseri gembira sekali. "Benarkah......."
Tidak.........tidak akan ada halangannyakah?"
Ia memandang suaminya dengan khawatir.
Suaminya pernah menjadi seorang buruan pemerintah, kalau sekarang mereka menuju ke
timur, bukankah itu sama saja dengan ular
mencari pemukul" Cian Bu menggeleng kepala dan meraba je nggotnya yang dipotong pendek. Dia mengerti apa
yang dimaksudkan is terinya, dan diapun te rsenyum yakin akan dirinya sendiri bahwa
keadaannya sudah berubah sama sekali. Dahulu
dia bertubuh tinggi besar dengan jenggot panjang
dan pakaian bangsawan. Akan te tapi sekarang,
biarpun dia masih tinggi besar, namun perutnya
agak gendut, dan je nggotnya pendek. Juga dia
mengenakan pakaian biasa, pakaian seorang
petani kaya. Juga rambut di kepalanya dibiarkan
tidak te rtutup, digelung ke atas, tidak pernah
memakai penutup kepala yang biasa dipakai para
bangsawan. Pula, sejak lama tidak pernah ada pasukan yang mencarinya, dan setelah Pangeran Li
Si Bin menjadi kaisar, dia merasa lebih aman.
"Tidak akan ada halangan. Hari kita pergi
mengunjungi ibumu dan mudah-mudahan saja ia
akan dapat membimbing Thian Ki sehingga dia
dapat menguasai hawa beracun di dalam tubuhnya." Mendengar bahwa ayah ibunya akan mengajak
ia dan kakaknya pesiar ke timur, ke kota-kota
besar yang ramai, Kui Eng bersorak gembira. Anak
perempuan berusia sebelas tahun itu kadangkadang masih amat kekanak-kanakan. Ia meloncat-loncat dan merangkul Thian Ki.
"Kita pesiar......! Horee, kita pesiar. Toako,
alangkah senangnya dan ini semua jasamu!" Ia
merangkul le her Thian Ki sehingga mukanya
hampir melekat ke muka pemuda remaja itu.
Biarpun sejak kecil sudah biasa dia bermain main
dengan Kui Eng, akan te tapi kini dia menyadari
bahwa Kui Eng sudah mulai besar, bukan anak
kecil lagi dan dia tahu benar bahwa Kui Eng bukan
apa-apa dengan dia, berbeda ayah berbeda ibu.
Maka rangkulan yang demikian akrab dan mes ranya membuat Thian Ki menjadi tersipu dan
mukanya kemerahan, akan te tapi dia tidak berani
melarang adiknya. "Eh, Kui Eng, engkau seperti anak kecil saja.
Bagaimana bisa menjadi jasaku?" tanyanya. Kui
Eng melepaskan rangkulannya. "Tentu saja! Kalau
engkau tidak menjadi tok-tong, kalau ayah dan ibu
tidak menghendaki engkau dibimbing nenek,
belum tentu kita pesiar ke timur."
Thian Ki tertawa. Ayah dan ibu merekapun
te rtawa. Dan beberapa hari kemudian keluarga
inipun meninggalkan dusun Ke-cung, menunggang
empat ekor kuda menuju ke timur.
Perjalanan pada masa itu amatlah sukar. Tidak
mungkin menggunakan kereta yang besar karena
harus melalui bukit-bukit, kadang harus menyeberangi sungai. Akan tetapi keluarga itu
adalah orang-orang yang sudah te rbias a dengan
kehidupan di alam te rbuka, pandai pula menunggang kuda dan berkat latihan ilmu silat
membuat tubuh mereka kuat dan kebal te rhadap
serangan angin, hawa dingin atau panas. Juga
tidak mudah le lah. Perjalanan yang sukar itu
bahkan membuat mereka bergembira
sekali, te rutama Kui Eng yang selalu bercanda dan gadis
cilik yang lincah ini membuat kakaknya, ayah dan
ibunya, selalu merasa gembira. Sebelum berangkat, dengan sungguh-sungguh Cian Bu
memesan kepada isteri dan kedua orang anaknya
agar tidak memperlihatkan bahwa mereka adalah
keluarga yang pandai ilmu silat.
"Kalau orang-orang tahu bahwa kita adalah
keluarga ahli silat, hal itu hanya akan mendatangkan kecurigaan dan perhatian saja,
membuat perjalanan kita mengalami banyak
gangguan dan menjadi tidak leluasa lagi." demikian
dia mengakhiri pesannya. "Tapi, bagaimana kalau kita diganggu orang,
ayah" Apakah kita harus diam saja, membiarkan
kita diganggu" Bagaimana kalau ada perampok?"
Kui Eng yang selalu membantah kalau dianggapnya pesan siapa saja tidak te pat itu
bertanya dan diam-diam Thian Ki menyetujui
pertanyaan itu walaupun dia sendiri tidak akan
berani menyangkal seperti itu.
Cian Bu te rsenyum. Dia mengenal baik watak
pute rinya itu, watak yang disukainya, cocok
dengan dia. Tak pernah menyembunyikan sesuatu
yang membuat hati penas aran. "Ha-ha-ha, kalau
te rjadi seperti yang kaukatakan itu, diamlah saja,
bersabarlah, dan serahkan saja kepadaku untuk
mengatasinya. Mengerti."
"Me ngerti, ayah," kata Kui Eng, akan tetapi
alisnya berkerut. "Eh, kenapa engkau masih saja
cemberut, Kui Eng." tanya ibunya.
"Habis, pesan ayah ini aneh sih! Bagaimana kita
harus diam dan bersabar saja kalau ada orang
jahat mengganggu. Kenapa sih kita harus berpurapura tak berdaya, penakut dan lemah."
Cian Bu menjadi bingung untuk menjawab, akan
tetapi isterinya yang cerdik segera membantu
suaminya. "Kui Eng, ketahuilah bahwa ayah dan
ibumu dahulu adalah ahli-ahli silat yang suka
bertualang dan karenanya, kami telah merobohkan
banyak lawan dan karena itu tentu saja banyak
yang merasa dendam dan akan memusuhi kita.
Dari pada banyak halangan di perjalanan yang
hanya akan menyulitkan dan melelahkan, lebih
baik tidak ada yang mengenal kita sehingga kita
dapat berpesiar dengan gembira dan dapat cepat
tiba di tempa tinggal nenekmu. Nah, mengertikah
engkau?" 
Kui Eng mengangguk-angguk dan alas an itu
le bih dapat dite rimanya. I a hanya tidak suka kalau
akan dianggap penakut menghadapi gangguan
orang jahat. Akan tetapi kalau hanya untuk
menjaga agar perjalanan mereka dapat lancar,
maka ia pun dapat menerimanya.!
Perjalanan dilakukan dengan gembira, tidak
te rgesa-gesa, bahkan kalau mereka mele wati
daerah yang indah, mereka berhenti untuk
menikmat keindahan daerah itu. Juga kalau
melewati kota yang ramai, mereka berhenti dan
bermalam sampai dua tiga malam untuk memberi
kesempatan kepada anak-anak mereka, terutama
sekali Kui Eng, untuk bersenang senang.
Kui Eng memang belum pernah melihat barangbarang yang dianggapnya amat indah menarik
yang te rdapat di kota-kota besar. Tidak demikian
dengan Thian Ki. Ketika meninggalkan rumah
bersama ayah ibunya, dia sudah berusia lima
tahun lebih dan dia sudah melalui banyak kota.
Juga mengenai alas an yang disembunyikan Cian
Bu dari Kui Eng, dia le bih tahu. Dia sudah tahu
bahwa ayah tirinya adalah seorang bekas pangeran
yang pernah dicari-cari pasukan pemerintah.
Ayahnya yang berilmu tinggi tentu saja tidak takut
menghadapi gangguan penjahat, namun khawatir
kalau sampai dikenal oleh pasukan pemerintah
karena hal itu pasti akan mendatangkan kesukaran bear, bahkan bahaya besar.
Sikap mereka yang bersahaja, sebagai keluarga
biasa yang sedang melakukan perjalanan, memang
tidak menarik perhatian orang. Pakaian mereka sederhana dan tidak nampak memakai perhiasan
mahal, juga tidak membawa banyak barang kecuali
buntalan pakaian. Juga Sim Lan Ci biarpun masih
cantik, namun ia sudah setengah tua, hampir
empatpuluh tahun usianya, sedangkan Kui Eng
juga masih te rlalu kecil untuk menarik perhatian
laki-laki mata keranjang. Semua ini membuat
perjalanan mereka menjadi aman, tidak pernah
diganggu orang. Pada suatu sore, mereka memasuki kota Wu-han
yang besar, kota terbesar yang pernah mereka
lalui. Tempat yang mereka tuju adalah kuil Thianho-tang yang te rletak di luar dusun Mo-kim-cung,
di le reng Coa-san (Bukit Ular). Tempat itu tidak
jauh lagi dari Wuhan, hanya perjalanan sehari lagi
saja dengan kuda. Mereka memasuki kota Wuhan
dan karena kuda mereka sudah lelah, mereka
sendiripun perlu beristirahat dan hari sudah
menjelang senja, Cian Bu lalu menyewa dua buah
kamar untuk mereka. Sebuah kamar untuk dia
dan Thian Ki, sebuah kamar lain untuk Kui Eng
dan ibunya. Setelah mendapatkan kamar, mereka mandi dan
berganti pakaian bersih. Kemudian Cian Bu
mengajak keluarganya makan malam di sebuah
rumah makan yang paling besar di kota itu.
Rumah makan ini te lah ada sejak dia masih
menjadi pangeran, hanya sekarang yang mengelola
adalan anak dari pemilik dahulu yang sudah
meninggal dunia. Ada di antara pelayan tua yang
masih diingat oleh Cian, Bu. a kan tetapi tentu saja
mereka itu tidak mengenalnya karena dahulu dia
adalah seorang pangeran yang kalau datang berkereta, dengan pakaian mewah, diiringkan
pengawal dan sekarang dia hanya seorang laki-laki
yang membawa anak iste rinya makan di situ.
Cian Bu masin ingat masakan apa yang istimewa
dari rumah makan ini. Dia memesan masakanmasakan itu dan merekapun makan dengan
gembira. Apalagi Kui Eng, anak ini gembira bukan
main karena merasakan masakan-masakan yang
luar biasa, baru dan lezat baginya.
Sejak tadi, Cian Bu dan is terinya sudah melihat
adanya dua orang laki-laki yang duduk di ruangan
rumah makan itu, di sudut terpisah dua meja dari
te mpat duduk mereka. Dua orang laki-laki ini
te ntu akan luput dari perhatian mereka kalau saja
dua orang itu tidak memperlihatkan sikap yang
mencurigakan. Sejak tadi dua orang itu memperhatikan mereka, terutama sekali memperhatikan Kui Eng yang makan minum
dengan gembira. Mereka adalah dua orang laki-laki
yang berusia kurang le bih tigapuluh tahun. Yang
seorang bertubuh tinggi kurus dengan muka
meruncing seperti muka kuda, sedangkan orang ke
dua bertubuh tinggi besar dengan muka bopeng
bekas cacar, mereka memperhatikan Kui Eng lalu
berbisik-bisik sambil terus melirik ke arah Kui Eng
yang kebetulan duduknya menghadap mereka.
Sebagai suami isteri yang sudah berpengalaman,
sikap kedua orang itu amat mencurigakan. Mereka
berdua tahu bahwa di dunia kangouw, di dalam
dunia sesat terdapat orang-orang yang keji dan
aneh, orang-orang yang mempunyai selera rendah
yang amat mes um. Ada penjahat cabul yang suka menculik dan mempermainkan gadis-gadis cilik,
adapula bahkan yang suka menculik pemudapemuda remaja! Memang jarang sekali manusia
macam ini, akan tetapi kenyataannya memang ada
dan suami isteri itu dalam petualangannya dahulu
pernah bertemu dengan manusia seperti itu. Maka
kini melihat sikap mereka ketika memandang ke
arah Kui Eng, cukup membuat mereka waspada.
Setelah selesai makan dan membayar harga
makanan dan minuman, Cian Bu mengajak
isterinya untuk berpesiar ke sebuah taman rakyat
yang berada di pinggir kota. Taman itu cukup
indah dan te rpelihara baik-baik. Di tengah taman
itu terdapat pula sebuah danau kecil yang cukup
untuk dipakai berperahu oleh anak-anak yang
berkunjung ke te mpat itu. Malam ini suasana di
situ cukup ramai karena selain lampu-lampu
pene rangan berupa le nte ra beraneka warna yang
menerangi tempat itu, te rdapat pula bulan yang
hampir purnama. Kui Eng berte riak-teriak gembira ketika memasuki taman dan ia mendahului kakak dan
orang tuanya, masuk lebih dulu sambil setengah
berlari. Ayah dan ibunya hanya tersenyum saja,
membiarkan pute ri mereka itu bergembira. Thian
Ki mempercepat langkahnya untuk menemani
adiknya, akan te tapi dia yang merasa sudah besar
malu untuk berlari-lari seperti Kui Eng. Anak
perempuan itu berteriak kegirangan menghampiri
sebuah kolam ikan di mana terdapat bunga-bunga
te ratai dan ikan-ikan emas. Ditimpa sinar bulan
dan sinar le ntera yang dipasang di te pi kolam, memang bunga te ratai dan ikan-ikan itu nampak
indah sekali. "Wah, ikan-ikan beraneka warna. Lihat itu, ada
yang putih, kuning, merah.......indah sekali!"
Kui Eng berte riak-teriak, ia tidak tahu bahwa
ada dua orang pria menghampirinya dan seorang di
antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dengan
muka seperti kuda menyentuh lengannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN