NAGA BERACUN JILID 12

 "Bi Lan, angkat mukamu dan pandanglah aku
kalau bicara denganku. Aku tidak suka bicara
dengan orang yang selalu menundukkan mukanya
seperti orang yang menyembunyikan kesalahan."
Ucapan itupun bukan kata-kata yang mengandung
kemarahan, akan tetapi mengandung perintah
yang mutlak dan tidak mungkin dapat dibantah
atau tidak ditaati. Bi Lan mengangkat muka memandang.
"Hamba pernah menjadi murid Siauw-lim-pai,
pangeran...." katanya lirih, hamper tidak kuat
menahan sinar mata mencorong seperti naga itu,
yang memandang kepadanya dengan bersih dan
jujur akan te tapi seperti hendak mengukur
kedalaman isi hatinya. "Hemm, sekarang ini jarang ada pendekar
Siauw-lim-pai yang benar-benar memiliki kepandaian tinggi. Sungguh sayang. Kelaliman
Kerajaan Sui telah menghancurkan Siauw-lim-pai,
sehingga ketuanya membakar diri! Sekarang aku
berte mu murid Siauw-lim-pai yang pandai. Bi Lan,
coba kau perlihatkan ilmu silatmu dengan
melayaniku beberapa jurus."
Setelah berkata demikian, Pangeran Li Si Bin
sudah menuju ke te mpat tadi kedua orang wanita
itu berlatih silat, yaitu di lapangan rumput yang
luas dekat kolam ikan. Bi Lan menunduk lagi. "Hamba.......hamba tidak
berani, pangeran......"
Pangeran Li Si Bin mengerutkan alisnya. "Ini
perintah, Kwa Bi Lan!"
Ai Yin segera berkata. "Enci Bi lan, ayah sendiri
tidak akan membangkang te rhadap perintah
pangeran Mahkota, apalagi engkau!" ia lalu
menghampiri Bi Lan dan memondong Lan Lan,
"Kupangku dulu Lan Lan, kau layani pangeran!"
Bi Lan te rkejut. Hampir ia lupa bahwa pangeran
yang berada di depannya ini merupakan orang
yang paling berkuasa di kerajaan Tang! Bahkan
menurut Siauw Can, kaisar sendiri, ayah pangeran
ini, masih kalah besar kekuasaannya!
Maka ia cepat memberi hormat lalu bangkit dan
menghampiri pangeran yang sudah berada dilapangan rumput. Pangeran itu tersenyum senang.
"Nah, begitu sebaiknya, Bi Lan. Aku ingin
melihat apakah engkau te pat untuk melatih
pasukan pengawal wanita di is tana yang sedang
kupersiapkan! Bah, kau maju dan seranglah aku,
dan jangan sungkan atau takut. Keluarkan
kepandaianmu agar aku dapat menilainya."
Tepat dugaannya. Pangeran ini hendak menguji
kepandaiannya dan mendengar bahwa pangeran ini ingin agar ia melatih pasukan pengawal di
istana, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Ia
akan menjadi pelatih di istana Kais ar! Bukan main!
Tak pernah ia bermimpi untuk dapat memasuki
istana Kaisar, apalagi menjadi pelatih di sana.
Ia melihat betapa pangeran itu s udah memasang



kuda-kuda yang kokoh. Kuda-kuda yang dikenalnya sebagai kuda-kuda ilmu silat aliran
Kun-lun-pai, maka iapun cepat menyalurkan sinkang ke arah kedua tangannya, kemudian menggeser kakinya maju, mengangkat kedua
tangan ke depan dada sebagai penghormatan,
kemudian berkata lembut, "Maafkan hamba!"
"Mulailah!" Pangeran Li SI Bin tampak gembira
sekali melihat gerakan kaki dan tangan wanita itu
yang biarpun nampak le mbut dan indah, namun
mengandung tenaga sin-kang yang membuat s etiap
gerakan itu Nampak mantap berisi.
Bi Lan tidak ragu-ragu lagi setelah melihat
betapa pangeran itu memang seorang ahli silat. I a
menerjang maju dengan pukulan tangan te rbuka,
dan mempergunakan jurus-jurus ilmu silat Siauwlim-pai yang pernah dipelajarinya sebelum ia
menjadi murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki. Tentu saja ia
memilih jurus-jurus terampuh, dan karena ia telah
memperoleh kemajuan dalam hal sin-kang dan ginkang setelah belajar kepada Sin-Tiauw Liu Bhok Ki,
te ntu saja gerakannya jauh lebih hebat dibandingkan sebelumnya. Ge rakannya cepat dan
setiap serangannya mengandung te naga yang kuat
sekali. 
Bi Lan menjadi kagum. Kiranya pangeran itu
benar lihai sekali, melampaui dugaannya. Setiap
serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh
pangeran itu, dan setiap kali lengan mereka
berte mu, ia merasa betapa lengannya tergetar
hebat! Agaknya Pangeran Li Si Bin tidak main-main
dalam menguji wanita itu. Ia memang membutuhkan seorang pelatih yang baik untuk
regu pengawalnya yang baru dibentuknya. Dia
sedang membentuk sebuah regu pengawal wanita,
te rdiri dari para dayang, gadis -gadis muda pilihan
untuk menjaga keamanan keluarga di dalam
istana, sehingga tidak perlu menggunakan pengawal thai-kam (orang kebiri). Memang banyak
jagoan silat di istana, akan tetapi kalau dia
menyuruh seorang jagoan untuk melatih dan
menggebleng regu pengawal wanita itu, tentu akan
te rjadi hal-hal yang tidak enak. Dia tidak dapat
menyalahkan para jagoan itu. Siapa dapat bertahan diri menghadapi seregu dayang yang  

muda dan cantik-cantik itu" Maka, sebaiknya
mencari pelatih seorang wanita pula dan kalau
Kwa Bi Lan ini mempunyai kepandaian tinggi
seperti yang didengarnya, dia akan minta agar
wanita ini menggembleng regunya itu.
Karena dia ingin mengukur Bi Lan, maka
Pangeran Li Si Bin segera membalas serangan Bi
Lan dengan serangan yang tak kalah hebatnya!
Bi Lan cepat mengelak dan mengandalkan
kecapatan gerakannya untuk menghindarkan diri.
Akan te tapi pangeran itupun dapat begerak cepat mengimbangi kecepatannya, sehingga sejenak Bi
Lan te rdesak dan main mundur sambil mengelak
dan menangkis ! Karena pangeran itu te rus
mendesak, tiba-tiba Bi Lan mengubah gerakannya
dan tubuhnya mencelat ke udara lalu ia menukik
dan menyambar bagaikan seekor burung rajawali.
Ia telah memainkan ilmu silat Hui-tiauw Sin-kun (
Silat sakti Rajawali terbang ), yang dipelajarinya
dari mendiang suaminya! Begitu ia menyerang dengan ilmu silat ini,
keadaannya menjadi te rbalik! Kini pangeran itu
te rdesak dan berulang-ulang dia berseru kaget dan
kagum. De ngan serangan yang menyambar- nyambar seperti itu, pangeran Li Si Bin nampak
bingung dan beberapa kali hampir saja tangan Bi
Lan mengenai pundak dan dadanya.
Akan te tapi tentu saja wanita itu tidak berani
melanjutkan serangannya dan selalu menarik
kembali serangannya, apabila serangannya hampir
mengenai sasaran. "Cukup....!" Pangeran Li Si Bin berseru dan Bi
Lan meloncat mundur, merangkap kedua tangan
memberi hormat. "Harap paduka memaafkan hamba....."
"Wah, engkau memang hebat!" Pangeran itu
berseru, "Akan tetapi, ilmu silatmu yang te rakhir
tadi tentu bukan dari Siauw-lim-pai!"
"Maafkan hamba, karena paduka tadi mendes ak,
te rpaksa hamba mempergunakan ilmu simpanan
itu yang memang bukan dari Siauw-lim-pai."
Pangeran Li Si Bin mengerutkan alisnya. Dia
merasa penasaran karena sudah banyak dia
mengenal ilmu silat, akan tetapi ilmu silat yang
menyambar-nyambar dan membingungkannya seperti tadi belum pernah dilihatnya.
"Ilmu silat apakah itu?"
"Namanya Hui-tiauw Sin-kun."
"Hemm, memang pantas. Engkau menyambarnyambar bagaikan burung rajawali saja. Dari siapa
engkau mempelajari ilmu hebat itu, Bi Lan?"
"Dari.... mendiang suami hamba pangeran."
"Siapakah mendiang suamimu yang lihai itu?"
"Namanya Liu Bhok Ki...."
"Si Rajawali Sakti" Aih, pantas. Kiranya engkau
isteri seorang pendekar besar. He mm, jadi engkau
ini isterinya dan dia sudah meninggal dunia"
Engkau janda pendekar itu dan itu......anakmu?"
Pangeran Li Si Bin menunjuk kepada Lan Lan.
"Benar, pangeran ."
Pada saat itu muncul Pangeran Tua Li Siu Ti
sambil tertawa-tawa. Biarpun dia paman dari
pangeran muda ini, namun karena kedudukannya
kalah tinggi, Pangeran Li Siu Ti lebih dulu member
hormat kepada keponakannya.
"Pangeran, sudah lamakah dating berkunjung"
Ai Yin, kenapa tidak member tahu kepadaku?"
"Kanda pangeran menguji kepandaian enci Bi
Lan, ayah," kata Ai Yin gembira dan bangga karena
gurunya membuat pangeran itu kagum.
"Maaf, paman," kata pangeran Li Si Bin. "Saya
mendengar tentang dua orang anda yang menjadi
pengawal di sini. Saya kagum sekali setelah
menguji kepandaian Kwa Bi Lan. Paman memang
beruntung sekali mendapatkan dua orang muda
itu sebagai pengawal pribadi. Setelah menguji Kwa
Bi Lan, saya ingin mengajukan sebuah permintaan
kepada paman, harap paman suka mengabulkannya." Diam-diam pangeran Tua Li Siu Ti merasa
khawatir. Mungkinkah pute ra mahkota ini tertarik
kepada Bi Lan dan ingin mengambilnya untuk
tinggal dalam is tananya sendiri" Kalau demikian
halnya, dia akan kehilangan sekali. Sukar mencari
pengganti seorang wanita perkasa seperti Bi Lan.
Tentu saja dia tidak berani menyatakan kekhawatirannya ini. Tidak demikian dengan Ai Yin. Biarpun dia
selalu bersikap ramah dan sopan penuh hormat
kepada putera mahkota yang ia tahu memiliki
kekuasaan tertinggi, akan tetapi gadis ini lebih
berani dan terbuka, tidak se perti ayahnya.
Maka iapun segera berkata, "Aihh, kanda
pangeran, apakah paduka akan membawa enci Bi
Lan pindah dari sini ke istana paduka" Lalu
bagaimana dengan saya?"
Pangeran Li Si Bin te rsenyum. "Tidak, Ai Yin,
aku hanya ingin agar ia suka melatih pasukan
dayang pengawal khusus di istana, setiap hari
beberapa jam saja. Tentu saja kalau paman
pangeran membole hkan dan terutama sekali kalau
Bi Lan yang bersangkutan tidak berkeberatan."
Bi Lan te rbelalak. Pangeran ini yang kekuasaannya demikian besar, ternyata masih
bersikap demikian lunak! Kalau ia tidak berkeberatan" Sungguh sikap yang sama sekali
tidak pernah disangkanya, dan sikap pangeran ini
membuat Bi Lan semakin kagum dan suka sekali
kepada pangeran muda yang rendah hati dan tidak
sewenang-wenang itu. "Aih, tentu saja saya setuju, pangeran!" kata
Pangeran Tua Li Siu Ti dengan ramah.
"Bagus! Terima kasih, paman. Dan bagaimana
dengan engkau Bi Lan" Maukah engkau membantuku melatih pasukan dayang agar mereka
dapat menjadi pengawal yang dapat diandalkan"
Setiap hari tiga atau empat jam saja dan untuk
je rih payahmu itu, tentu saja kami akan memberi
imbalan." "Hamba akan mentaati perintah paduka, pangeran." Kata Bi Lan dengan wajah berseri.
Entah bagaimana, ia merasa senang dapat bekerja
kepada seorang pangeran seperti ini.!
"Baik, te rima kasih. Mulai besok pagi, aku akan
menyuruh je mput dengan kereta, setelah selesai
melatih, engkau akan diantar kembali kesini
dengan kereta. Kalau anakmu itu tidak dapat
berpisah darimu, boleh kau ajak ke istana." Setelah
berkata demikian, Pangeran Li Si Bin berpamit dari
rumah pamannya dan iapun melangkah keluar,
diantar oleh Pangeran tua Li Siu Ti sampai di
depan istananya.  
Betapa indahnya taman itu, seperti taman sorga
dalam dongeng. Matahari senja Nampak bulat
merah redup, seperti sebuah lampu gantung yang
besar dan bulat. Matahari sudah hamper menyelesaikan tugasnya sehari penuh dan biarpun
nampaknya tidak berkuasa dan bersinar lagi,
namun bekas kekuasaannya masih nampak
membakar langit. Langit kebakaran, merah kuning
dan ada garis -garis biru putih di sana-sini, adapula
warna seperti lautan perak dihias awan putih
le mbut begumpal-gumpal seperti sekawanan domba putih sedang berangkat pulang ke kandang.
Keindahan alam yang membuat hati te rasa
nyaman, membuat orang ingin bersenandung. Dan
sesosok bayangan seorang pria menghampiri. Bi
Lan te rsenyum dan perasaan hangat mesar
menyelubungi hatinya. Betapa besar cinta kasihnya kepada suaminya! Suaminya, Sin-tiauw
Liu Bhok Ki menghampirinya dengan langkahnya
yang te gap, dengan wajahnya yang jantan, dengan
sinar matanya yang penuh kasih dan penuh
kebijaksanaan, dengan senyumnya yang menenangkan hati. Ketika suaminya mendekat sambil mengembangkan kedua lengan, iapun membiarkan
dirinya tenggelam dalam pelukan mesra.
Bibir itu mengecup lehernya, panas. Terasa
betapa le hernya digigit dengan dengus penuh
nafsu. Suaminya tidak pernah berbuat hal seperti
ini. Suaminya selalu tenang dan tidak pernah
dilanda gairah nafs u yang menggelora seperti ini. "Thhh...!" ia merenggut dirinya le pas. Bukan
suaminya! Dan ia tidak berada di dalam taman, di
senja yang indah. Ia berada di dalam kamarnya, di
atas pembaringan dan yang tadinya muncul
sebagai suaminya dalam mimpi, ternyata adalah
Siauw Can atau Can Hong San! Ia tadi bermimpi!
Dan kenyataannya, Can Hong San telah memasuki
kamarnya seperti maling dan tadi telah memeluknya dan mengecup, menggigit le hernya
dengan penuh nafsu. "Kau.....!" bentaknya dengan lirih dan kini ia
sudah meloncat turun dari atas pembaringan.
Wajahnya menjadi merah dan terasa panas
sekali ketika melihat betapa kancing bajunya
bagian atas terlepas sebagian. Jari-jari tangannya
cepat mengancingkan kembali baju itu dan
matanya mencorong menatap wajah pemuda itu.
"Bi Lan ..Lan-moi.. ..engkau tahu betapa aku
mencintaimu, Lan-moi..! Aku cinta padamu dan
tidak tahan lagi,..Kuharap engkau tidak membuat
aku terpaksa menggunakan paksaan...."
Bi Lan te ringat bahwa kepandaian pemuda ini
jauh lebih tinggi darinya dan kalau pemuda ini
menggunakan paksaan, mungkin ia tidak akan
mampu menghindarkan diri dari penghinaan, dari perkosaan. Cepat ia meloncat dan di lain saat, ia telah
berada di dekat pembaringan kecil di sudut, di
mana Lan Lan tertidur, dan sekali sambar, ia telah
memondong anaknya yang masih tidur itu.
"Kalau engkau tidak segera pergi, aku akan
berte riak dan melawan mati-matian, aku akan
melaporkan kepada Pangeran Tua dan Pangeran
Mahkota. Akan hancur semua pekerjaan kita
selama ini!" "Lan-moi, kenapa...." Bukankah selama ini aku
baik kepadamu, selalu membantumu" Aku cinta
padamu, dan aku percaya bahwa engkaupun cinta
padaku." "Cukup, pergilah atau aku akan berte riak!"
kembali Bi Lan mengancam. Hal ini sungguh tidak
disangka sama sekali Can Hong San atau yang
sekarang dikenal sebagai Siauw Can. Tadinya dia
merasa yakin bahwa kalau dia melakukan
pendekatan, janda muda itu tentu akan menyambutnya dengan hangat. Dari sikap janda
itu, sinar matanya kalau memandangnya, senyumnya, semuanya menunjukkan bahwa janda
itu kagum dan suka kepadanya. Apalagi kalau
diingat bahwa sejak pertemuan pertama, dia selalu
menolong janda itu, bukan saja menyelamatkannya, juga selanjutnya membimbingnya sehingga mereka berdua dapat
memperoleh kedudukan yang menyenangkan dan
mulia di rumah Pangeran Tua, bahkan janda itu
kini ditugaskan melatih pasukan dayang di istana!
Dia tahu betapa Bi Lan merasa berhutang budi
kepadanya, oleh karena itu, kalau dia melakukan
pendekatan, tentu Bi Lan akan menyambutnya
dengan mesra. Ketika tadi dia memperoleh
kesempatan, berhasil menyelinap memasuki kamar
janda itu, lalu merangkul, membelai dan 
mengecupnya, dalam keadaan setengah sadar Bi
Lan menyambutnya dengan hangat. Akan te tapi,
kenapa sekarang keadaannya berubah sama
sekali" Tentu s aja dia merasa kecewa bukan main,
kecewa, mendongkol dan menyesal. Sia-sia saja
semua kebaikan yang dilakukannya selama ini
te rhadap Bi Lan.! "Lan-moi, benarkah engkau menolak cintaku"
Engkau mengusirku?" "Sudahlah, pergi cepat! Aku bukan menggertak
saja!" Bi Lan mencabut sepasang pedangnya yang
te rgantung di dinding. "Baik, aku pergi. Tak kusangka bahwa engkau
adalah seorang perempuan yang tidak mengenal
budi!" "Dan aku tidak menyangka bahwa engkau
hanyalah seekor binatang buas berbulu domba!"
balas Bi Lan. "Uhh!" Siauw Can keluar dari dalam kamar itu
melalui daun jendela, sepeti masuknya tadi. Bi Lan
menutupkan daun je ndela, merebahkan kembali
Lan Lan, kemudian ia terhuyung dan menjatuhkan
diri di atas pembaringannya. Seluruh tubuhnya
gemetar dan lemas, dan iapun tak dapat menahan
diri lagi, menangis tanpa suara!
Betapa mengerikan bahaya yang tadi mengancam dirinya. Kalau saja ia tidak bermimpi
berte mu mendiang suaminya, kalau saja ia tidak
sadar, betapa akan mudahnya te rjeblos, betapa
akan mudahn ya menyeleweng dan menyerahkan
dirinya kepada pemuda yang sesungguhnya amat dikagumi dan disukainya! Dan kini ia menangis
bukan karena marah, melainkan karena penyesalan melihat kenyataan yang amat pahit itu.
Siauw Can bukanlah pria seperti yang dibayangkannya semula! Dan inilah yang membuatnya kini menangis. Ia merasa kehilangan
seorang sahabat baik, seorang yang selama ini
dianggapnya seperti kakak sendiri. Bahkan ia
harus mengakui bahwa besar sekali kemungkinannya kelak ia akan menerima cinta
kasih pemuda itu dengan hangat, dengan penuh
harapan. Akan te tapi kini semua telah musnah!
Semua telah hancur, karena perbuatan Siauw Can
malam itu. Ia kini merasa hidup seorang diri, dan
tidak dapat mengandalkan siapapun. Sementara
itu, Siauw Can memasuki kamarnya dengan wajah
muram. Berulang kali dia mengenal tinju dan
menyumpah-sumpah dalam hatinya. Dia telah
gagal sama sekali! Kegagalan yang sama sekali
tidak pernah dia bayangkan. Dia memang sengaja
hendak merayu Bi Lan, bahkan kalau perlu
menggunakan paksaan untuk menggauli janda itu.
Sekali Bi Lan te lah menyerahkan dirinya, dia tidak
akan kehilangan janda yang sesungguhnya te lah
menjatuhkan hatinya itu. Dia mencintai Bi Lan.
Inilah yang memusingkan dirinya. Kalau tidak
demikian halnya, te ntu dia tidak akan sekecewa
ini. Banyak wanita yang le bih cantik daripada Bi
Lan bias dia dapatkan. Akan te tapi dia mencintai
Bi Lan dan tidak ingin kehilangan Bi Lan. Tadinya,
usahanya malam ini adalah untuk mengikat agar
Bi Lan tidak akan terlepas lagi dari tangannya. Dia merencanakan hal yang le bih besar. Dia ingin
mendekati Li Ai Yin! Kalau dia berhasil mendapatkan dara bangsawan itu, membuatnya
te rgila-gila, dan berhasil menjadi mantu Pangeran
Tua, te ntu dia memperole h kemajuan yang hebat!
Dan biarpun hal itu tetjadi, kalau Bi Lan sudah
berhasil dikuasainya, te ntu Bi Lan tidak dapat
berbuat sesuatu! Kelak dia menikah dengan Ai Yin,
dan Bi Lan menjadi selirnya. Betapa akan
membahagiakan hatinya. Wanita yang akan mengangkat derajatnya menjadi isterinya dan
wanita yang dicintanya menjadi selirnya!
Akan te tapi, dia telah gagal sama sekali! Bi Lan
menolaknya, dan ancaman Bi Lan bisa berbahaya.
Tidak, selama dia tidak mengganggu lagi, Bi Lan
juga tidak akan begitu bodoh untuk melaporkan
apa-apa kepada Pangeran Tua maupun Putera
Mahkota. Laporan yang tidak ada buktinya! Pula,
kalau melaporkan peristiwa semalam, kedua orang
bangsawan itupun tidak akan mencampuri, dan
andaikata kedua bangsawan itu tidak suka
kepadanya, te ntu Bi Lan akan terbawa pula.
Siauw Can merebahkan diri tanpa melepas
sepatunya, rebah terlentang di atas pembaringannya sambil melamun.
Kini dia telah tahu akan segala rahasia Pangeran
Tua. Pangeran itu merupakan orang yang berambis i besar dan seorang pembenci Turki. Dan
dia sendiri telah menjadi orang kepercayaan
Pangeran Tua Li Siu Ti, disamping Poa Kiu. Baru
kemarin dia menerima tugas yang amat berat, akan
tetapi juga amat rahasia. Tugas itu saja menunjukkan betapa Pangeran Li Siu Ti percaya
sepenuhnya kepadanya. Dan jantungnya masih
berdebar te gang kalau dia mengenang kembali
tugasnya itu, yang dilaksanakan dengan baiknya
malam kemarin. Sebelumnya dia sudah melakukan penyelidikan
sehubungan dengan tugas rahasia itu dan dia tahu
bahwa Gala Sing, pute ra Raja Baducin, pemuda
berusia tigapuluh tahun yang tukang pelesir dan
mata keranjang itu, malam itu berada di pondok
indahnya di luar kota raja. Se perti biasa, Gala Sing
bersenang-senang di pondoknya itu, dijaga oleh
seregu anak buahnya, tukang-tukang pukulnya.
Setelah membuat rencana dengan masak,
seorang diri dia menyusup ke dalam istana bagian
pute ri dan tidak terlalu sukar baginya untuk
menangkap seorang selir kaisar, menotoknya
sehingga tidak dapat bergerak dan tak mampu
bersuara lagi. De ngan kepandaiannya yang tinggi,
Siauw Can berhasil memanggul selir yang dimasukkannya ke dalam kantung kain besar itu
keluar dari te mbok is tana, bahkan membawanya
keluar dari kotaraja, menuju ke pondok indah
milik Gala Sing di lereng sebuah bukit kecil.
Ge gerlah istana di malam hari itu.!
Beberapa orang dayang yang melayani selir itu,
hanya melihat bayangan hitam berkelebat, berkedok dan selir itu diculik si bayangan hitam.
Mereka menjerit dan para pengawal segera mencoba melakukan pencarian, namun sia-sia.
Bayangan itu telah menghilang bersama selir
kaisar. Mendengar ini, kaisar menjadi marah dan malam itu juga, kaisar memerintahkan pasukan
keamanan untuk melakukan penggele dahan dan
pencarian di seluruh kota raja. N amun sia-sia saja
hasilnya. Dan pada keesokan harinya, yaitu pagi-pagi tadi,
te rjadi kejadian yang le bih menghebohkan lagi.
Para pengawal Gala Sing, pagi itu menemukan
majikan mereka, Gala Sing, sudah menggeletak di
atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat
dan mati! Dadanya te rluka bekas tusukan pisau
yang menembus jantungnya! Dan di sampingnya,
Nampak selir kaisar yang sudah mati dengan
tangan kanan masih memegang pisau yang
menancap di dadanya sendiri.
Seperti keadaan Gala Sing, selir inipun mati
dalam keadaan te lanjang bulat. Selain mereka
berdua, di lantai juga te rdapat mayat lain, mayat
seorang gadis penari yang malam itu dipanggil oleh
Gala Sing untuk menemaninya bersenang-senang.
Juga penari ini tewas dengan tusukan di dada dan
le her. Para penyelidik dari kota raja segera berdatangan dan menurut pemeriksaan mereka,
selir itu telah diperkosa. Mudah saja diambil
kesimpulan melihat keadaan di kamar itu. Tentu
selir itu diculik orang, dan dibawa ke kamar itu,
diperkosa oleh Gala Sing. Kemudian selir itu
mendapat kesempatan untuk menyambar pisau,
menusuk Gala Sing, juga membunuh penari yang
mungkin membantu Gala Sing, kemudian untuk
mencuci aib, membunuh diri sendiri. Tidak ada
kemungkian lain lagi, kecuali kesimpulan itu! Siauw Can te rsenyum sendiri. Dia telah bertindak cerdik sekali. Tugas rahasia itu adalah
agar Gala Sing dibunuh dan agar diatur supaya
te rjadi bentrok antara pihak kaisar dan pihak Raja
Muda Baducin. Hanya itu tugasnya dan dia sendiri
yang mengatur siasatnya. Tentu saja dia yang
menculik selir itu dan tanpa setahu para penjaga di
luar pondok indah itu, dia berhasil membawa selir
itu masuk. Dia membunuh Gala Sing dan penari
itu. Dia pula yang memperkosa selir itu kemudian
membunuhnya, akan te tapi semua itu diatur
sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesimpulan di atas tadi! Dan benar saja. Terjadi geger dan keadaan
menjadi gawat. Raja Muda Baducin marah-marah
dan berduka sekali karena pute ra tersayang tewas.
Juga kaisar mencak-mencak karena selirnya
diculik, diperkosa dan membunuh diri. Hal itu
dianggap suatu penghinaan besar sekali. Dan
Pangeran Tua Li Siu Ti merangkul pundaknya
dengan girang bukan main.
"Tidak percuma engkau menjadi tangan kananku!" bisik pangeran itu setelah mendengar
berita yang menghebohkan itu. Dan sore tadi,
Pangeran Li Siu Ti dipanggil oleh kaisar. Tentu
diadakan rapat atau perundingan yang serius
sekali sehubungan dengan peristiwa itu sehingga
sampai malam pangeran Tua belum juga kembali.
Dan kesempatan itu dia pergunakan untuk
mendekati Bi Lan. Namun sekali ini dia gagal!
Tidak mengapa, dia menghibur diri sendiri. Bi
Lan te ntu tidak akan berani menceritakan kepada siapapun juga. Andaikan diceritakanpun, apa
salahnya kalau dia menyatakan cintanya kepada
seorang janda, walaupun janda itu diakuinya
sebagai saudara misan" Tentu Bi Lan akan
dite rtawakan orang dan hal itu bahkan mendatangkan aib bagi dirinya sebagai janda
muda! Tidak, Bi Lan tidak akan membuka mulut.
Biarlah malam ini gagal, kelak masih banyak
kesempatan dan masih banyak cara untuk
membuat usahanya berhasil. Sekarang dia harus
mengatur langkah berikutnya, yaitu pendekatan
te rhadap Li Ai Yin! Siauw Can atau Can Hong San pernah menyesali
semua pernuatannya yang sesat, dan ketika dia
berte mu dengan Bi Lan, dia sedang berusaha
untuk menjadi orang baik! Dia ingin belajar
menjadi orang baik. Kebaikan adalah suatu keadaan batin, keadaan
batin yang bersih dari pada pengaruh nafsu daya
rendah. Keadaan batin, yaitu akal pikiran yang
sepenuhnya digerakkan oleh jiwa, dibimbing
kekuasaan Tuhan Yang Maha Kas ih! Belajar baik
atau melatih kebaikan hanya akan membuahkan
kemunafikan, karena kebaikan itu timbul dari
keinginan. Ingin Baik! Dan keinginan baik ini tentu
timbul pula ari keadaan. Seperti Hong San. Setelah
dia hidup bergelimang kejahatan, dia mendapat
kenyataan bahwa hidup secara itu tidak mendatangkan keuntungan, bahkan membuat dia
selalu gagal dan sengsara. Kegagalan hidup dan
kesengsaraan yang diakibatkan oleh perbuatan
jahatnya itulah yang menimbulkan keinginan di
dalam hatinya, ingin menjadi orang baik!
Tentu saja pamrihnya adalah agar akibat
perbuatan baik itu membuat dia berhasil dan
senang dalam hidupnya. Jadi, kebaikan itu
bukanlah sasaran mutlak, melainkan hanya akan
dipergunakan sebagai suatu cara untuk mencapai
tujuannya, yaitu kesenangan. Sasaran dari nafsu
hanyalah s atu, yaitu kesenangan.!
Usaha seperti itu, yaitu belajar menjadi baik,
berlatih menjadi baik, jelas masih merupakan hasil
karya nafsu, karena sasarannya adalah kesenangan sebagai akibat kebaikannya. Kalaupun
orang menjadi baik karena itu, maka kebaikannya
hanya merupakan kemunafikan belaka. Kebaikan
seperti itu hanya polesan, mudah luntur. Karena
yang diutamakan sasarannya, yaitu kesenangan,
maka kebaikan yang hanya menjadi cadar itu
dapat saja dengan mudah diganti dengan kebalikannya, yaitu kejahatan, asalkan sasarannya
le bih cepat dapat dicapai, yaitu kesenangan.
Apakah kalau begitu kita tidak perlu belajar
menjadi orang baik" Siapa sesungguhnya yang
mengajukan pertanyaan seperti itu" Siapa yang
ingin belajar menajdi orang baik" Tentu saja
pikiaran, dan pikiran kita telah bergelimang nafsu,
telah dicengkeram oleh nafsu daya rendah. De ngan
keadaan seperti itu, apapun yang diusahakan
pikiran selalu hanya demi kepentingan diri pribadi.
Dan ini memang menjadi tugas dari pikiaran.
Pikiran merupakan satu di antara alat yang
membantu manusia agar hidupnya di dunia dapat
dipertahankan dpat diatur. Demikian pula dengan
daya-daya rendah yang menyertai jiwa dalam
kehidupannya sebagai manusia di dunia ini. Daya daya rendah itu memang disertakan kepada kita
sebagai alat, sebagai pembantu.
Tanpa adanya nafsu-nafsu itu, kita tidak akan
hidup sebagai manusia. Akan tetapi, kalau sampai
nafsu-nafsu yang semula ditugaskan menjadi
pembantu kita itu dibiarkan meliar dan menjadi
majikan, mencengkeram dan menguasai hati dan
akal pikiran, maka kita akan diseret dan yang kita
kejar hanyalah kesenangan-kesenangan duniawi
yang membuat kita mabok dan tidak pantang
melakukan hal-hal yang amat
buruk. Lalu bagaimana daya kita" Kita hidup membutuhkan
nafsu, akan tetapi nafsu juga yang menyeret kita
ke dalam kegelapan. Kitapun tidak dapat mengendalikan nafsu, karena kita yang ingin
mengendalikan inipun dikemudikan nafsu!
Tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan
dapat menguasai nafsu kecuali kekuasaan Sang
Maha Pencipta. Tuhan yang mencipta semua itu,
dan hanya Tuhan pula yang akan dapat mengatur
dan membereskan keadaan yang menyimpang dari
kebenaran itu. Kini manusia hanya tinggal menyerah! Kita menyerah sepenuhnya dengan
tawakal dan ikhlas kepada Tuhan Yang Maha
Kuas, batin dan lahir. Batinnya menyerah kepada
Tuhan sebagai dasar yang kokoh, lahirnya kita
berusaha dan berikhtiar agar selalu melalui jalan
hidup yang benar. De ngan demikian te rdapat
keseimbangan lahir dan batin. Doa dan kerja! Yang
dua ini harus selalu jalan bersama. Hidup
bagaikan naik perahu. Doa merupakan kemudinya,
kerja merupakan pendayungnya. Tanpa kemudi
perahu akan te rsesat. Tanpa pendayung, perahu takkan maju. Tanpa kerjas ama antara keduanya,
perahu akan ditelan ombak.
-ooo0dw0ooo- "Sialan, semua siasat kita telah gagal akibat ulah
Pangeran Li Si Bin keparat itu!" Pangeran Tua Li
Siu Ti berjalan mondar-mandir di ruangan
rumahnya yang luas itu, wajahnya muram alisnya
berkerut dan kedua tangannya dikepal. Dia marah
sekali. Yang menjadi saksi ulahnya ini hanya dua orang
saja, dua orang kepercayaannya, yaitu Poa Kiu dan
Siauw Can! Tentu s aja kalau orang lain mendengar
ucapannya tadi, orang itu akan terkejut dan heran
bukan main mendengar pembesar itu berani
memaki Pangeran Li Si Bin! Kemudian tiba-tiba
pangeran tua itu menjatuhkan diri duduk di atas
kursinya berhadapan dengan dua orang kepercayaannya dan berkata dengan te gas, "Kalian
berdualah yang kupercaya. Kalian harus menemukan cara bagiku, dan harus berhasil! Poa
Kiu, pergunakan kecerdikanmu dan engkau Siauw
Can, pergunakan kepandaian silatmu!"
Siauw Can saling pandang dengan Poa Kiu.
Siauw Can atau Can Hong San diam-diam merasa
heran mengapa majikannya itu membenci benar
orang-orang Turki dan mengapa pula hendak
mengadu domba antara orang-orang Turki dengan
kaisar. "Harap paduka ceritakan dulu, kenapa paduka
marah-marah" Bukankah tugas saya telah te rlaksana dengan baik?" Tanya Siauw Can,
penas aran. "Poa Kiu, kauceritakan kepadanya." Kata Pangeran Tua Li Siu Ti. "Kauceritakan segalanya,
kemudian kalian berunding dan nanti sampaikan
usul-usul kalian kepadaku!" Setelah berkata
demikian, Li Siu Ti bangkit dan meninggalkan dua
orang kepercayaannya itu berbicara berdua saja di
ruangan tertutup itu. "Sungguh heran, mengapa dia marah-marah?"
Tanya Siauw Can setelah pembesar itu pergi.
"Bukankah tu gasku sudah kulaksanakan dengan
berhasil baik" Kenapa dia mengatakan siasat kita
gagal karena ulah Pangeran Li Si Bin" Apa artinya
itu?" Poa Kiu menghela napas panjang. Pangeran Tua
Li Siu Ti sudah menceritakan segalanya kepadanya
dan dia tahu bahwa Siauw Can dapat dipercaya.
Bukankah tadi pangeran tua itu menyuruh dia
menceritakan segalanya kepada pemuda perkasa
itu" "Tugas yang kaulaksanakan dengan baik itu
bertujuan mengadu domba antara orang-orang
Turki dan Kaisar memang hamper berhasil. Kaisar
marah-marah karena selirnya diculik dan diperkosa dan dibunuh, dan raja Muda Baducin
juga marah-marah karena pute ranya, Gala Sing,
te rbunuh. Memang keduanya sudah siap untuk
saling menyalahkan dan kemungkinan besar
te rjadi bentrokan dan permusuhan di antara
mereka. Akan tetapi muncullah Pangeran Li Si Bin
dan pangeran ini mele rai, mengakurkan kembali Baducin dan Kaisar. Dia mengatakan bahwa
urusan pribadi tidak semestinya berkembang
menjadi urusan Negara. Dan dia menghibur kedua
belah pihak, mengatakan bahwa penculik dan
pemerkosa selir kaisar sudah terhukum dan
te rbunuh, sebaliknya pembunuh Gala Sing juga
sudah membunuh diri. Keduanya sudah mati,
semua dendam sudah te rbalas. Nah, turun
tangannya Pangeran Li Si Bin itulah yang membuat
keributan mereda, dan baik Baducin maupun
Kaisar sudah dapat menerima kenyataan dan tidak
marah-marah lagi." Siauw Can mengangguk-angguk. Pantas saja
Pangeran Li Siu Ti marah-marah karena memang
semua je ruh payahnya itu sia-sia saja, tidak ada
hasilnya. Sudah sejak dia diterima menjadi pembantu
pangeran Li Siu Ti, dia merasa heran mengapa
majikannya yang adik kaisar itu nampaknya tidak
suka kepada kaisar dan membenci orang Turki.
Kesempatan baik ini harus dia pergunakan untuk
mengetahui dasar pemikiran dan perasaan majikannya, apalagi karena dia bercita-cita untuk
dapat menjadi mantunya! "Paman Poa," kini sebagai rekan dia menyebut
paman kepada pembesar itu, "kalau boleh aku
mengetahui, kenapa Pangeran Li Siu Ti membenci
orang-orang Turki dan mengapa pula nampaknya
tidak suka kepada Pangeran Li Si Bin?"
Poa Kiu mengangguk-angguk. "Me mang sebaiknya kalau engkau mengetahui semuanya,
Siauw Can, dan pangeran juga sudah memberi ijin kepadaku untu k menceritakannya kepadamu."
Pembesar itu lalu menceritakan semua keadaan
dengan terus terang kepada Siauw Can.
Pangeran Tua Li Siu Ti merasa ikut berjasa
ketika te rjadi gerakan menggulingkan Kerajaan
Sui. Ketika kakaknya, Li Goan, diangkat menjadi
kaisar pertama Kerajaan Tang sebagai Kaisar Tang
Kao Cu, Pangeran Li Siu Ti tentu saja mengharapkan agar kelak dia menjadi pengganti
kakaknya, mengingat bahwa kakanya tidak mempunyai anak laki-laki dari permaisuri. Akan
tetapi, ketika Li SI Bin menjadi putera mahkota,
mulailah dia merasa iri dan marah. Li Si Bin
hanyalah anak dari selir bangsa Turki! Perasaan iri
hati ini membuat ia membenci orang-orang Turki
yang membantu Li Si Bin. "Demikianlah Siauw Can. Pangeran Tua Li Siu Ti
merasa bahwa dialah keturunan keluarga Li yang
asli setelah kakaknya, dan Pangeran Li Si Bin
hanyalah seorang berdarah Turki yang tidak
pantas menjadi putera mahkota dan kelak
menggantikan kedudukan kaisar. Karena orangorang Turki itu mendukung Pangeran Li Si Bin,
maka mereka perlu disingkirkan, dan untuk itulah
engkau bertugas mengadu domba itu. AKan te tapi
te rnyata siasat itu gagal, maka kita harus mencari
siasat baru." Siauw Can menganggu-angguk. "Ah, kalau saja
tahu lebih dahulu, tentu aku tidak menyetujui
siasat mengadu domba itu. Bagaimana mungkin
mereka diadu domba kalau Pangeran Li Si Bin
berdarah Turki pula" Tentu dia akan selalu menentang perpecahan di antara mereka.! Sebaiknya diatur agar kedudukan pemerintahan
menjadi lemah dengan jalan membujuk Kaisar dan
Putera Mahkota agar te nggelam ke dalam kesenangan dan kurang memperhatikan pemerintahan. Dengan jalan demikian, para pejabat tinggi dan rakyat akan merasa tidak suka
kepada kaisar. Kalau sudah begitu, baru ada
kemungkinan menjatuhkan mereka. Sementara
itu, Pangeran Li SIu Ti harus dapat mengangkat
namanya agar popular di kalangan rakyat. Juga
perlu mengumpulkan orang-orang pandai untuk
membantu." "Hemm, kiranya di samping lihai ilmu silatmu,
juga engkau memiliki kecerdikan, Siauw Can.
Engkau te lah dapat melihat cita-cita menjatuhkan
kaisar dan putera mahkota, agar kedudukan kais ar
dapat beliau kuasai. Dan kalau kita membantu
sekuat tenaga, kita akan dapat menikmati hasilnya." Siauw Can mengangguk-angguk. Dalam keadaan
seperti itu, dia harus menempel orang kurus
bungkuk ini! "Baik, paman Poa Kiu. Aku akan
membantumu sekuat tenagaku. Bahkan semua
usulku tadi anggap saja sebagai buah pikiranmu
sendiri terhadap pangeran. Engkauolah yang
mengatur semuanya, aku yang melaksanakan.
Engkau menjadi otak pangeran, aku yang menjadi
kaki tangannya. Tentu kita harus saling bantu,
bukan?" Poa Kiu amat cerdik. Dia tahu bahwa a da udang
di balik batu, maka dia harus mengetahui udang macam apa itu. "Siauw Can, aku terima uluran
tanganmu. N ah, jangan ragu, katakan bantuan apa
yang dapat kuberikan padamu."
Siauw Can juga tidak kalah cerdiknya. Dia dapat
menjenguk isi hati orang itu, maka diapun tidak
merasa ragu lagi untuk membuka rahasia hatinya.
"Paman tentu mengerti bahwa seorang laki-laki
harus dapat memperhitungkan dan menyesuaikan
jalan pikiran dan perasaan hatinya. Nah. Terus
te rang saja, hatiku tertarik oleh pute ri Li Ai Yin,
dan aku jatuh cinta kepadanya. Aku yakin bahwa
tidak sukar menjatuhkan hati pute ri itu. Kalau
saja aku dapat menjadi suaminya, maka seiringlah
jalannya perasaan dan pikiranku. Aku mendapatkan is teri yang te rcinta, juga aku
mendapatkan mertua yang kita bantu agar kelak
menjadi kaisar. Dengan demikian maka ikatan
hubungan di antara kita dapat le bih erat lagi.
Bukankah begitu, paman?"
Poa Kiu memandang kepada pemuda itu dengan
kagum. Pemuda ini memang hebat. Tinggi ilmu
silatnya, cerdik dan mempunyai ambisi yang bes ar!
Dia menagangguk dan mengelus jenggotnya yang
jarang. "Semua itu memang baik sekali, Siauw
Can. Akan te tapi dalam hubungan asmara ini,
bagaimana aku dapat membantumu?"
Siauw Can te rsenyum. "Urusanku dengan Ai Yin,
te ntu tidak perlu dibantu, karena itu tergantung
dari diriku sendiri. Akan tetapi setidaknya paman
dapat membantu agar aku nampak berharga di
mata pangeran, agar kelak tidak timbul te ntangan darinya kalau tiba saatnya aku melamar pute rinya." "Ahhh, baiklah. Itu mudah sekali, Siauw Can.
Tentu saja engkaupun harus memperlihatkan jasajas a yang lebih banyak lagi."
"Kalau kita berkerja sama, pasti kita berdua
akan dapat membuat jasa, paman."
"Akan te tapi, bagaimana dengan nyonya muda
Kwa Bi Lan, adik misanmu itu" Apakah ia akan
suka bekerja sama dengan kita?"
"I a adalah seorang wanita dan ia belum tahu
akan kerjas ama ini, ia belum tahu pula akan citacita pangeran. Menghadapi wanita haruslah
berhati-hati dan tidak te rgesa-gesa. Biarlah semua
ini kita rahasiakan dulu darinya dan perlahanlahan aku akan membujuknya agar ia suka
membantu kita. Serahkan saja ia kepadaku, aku
akan berusaha untuk menundukkannya."
"Baik kalau begitu. Aku merasa agak khawatir.
Pertama, ia seorang wanita yang lihai dan kedua,
dan ini yang paling berbahaya, ia telah ditarik oleh
Pangeran Li Si Bin untuk melatih pasukan dayang
setiap hari. Ini berarti ia dekat dengan pute ra
mahkota dan bisa berbahaya sekali..."
"Atau bisa menguntungkan sekali!" kata Siauw
Can tersenyum. "Kalau aku berhasil menundukkannya, bukankah kedekatannya dengan pute ra mahkota itu mendatangkan keuntungan besar" Ia dapat kita jadikan matamata yang dapat selalu mengamati gerak-gerik
kaisar dan putera mahkota."
Poa Kiu tertawa girang. "Ah, engkau benar dan
engkau cerdik, Siauw Can. Engkau harus dapat
menundukkan adik misanmu yang cantik dan
janda itu!" Dalam ucapan ini je las te rkandung
dorongan yang sejalan dengan pikiran Siauw Can,
yaitu bahwa dia harus dapat menundukkan Bi Lan
lahir batin, yaitu lahirnya wanita itu harus jatuh ke
dalam pelukannya, sehingga batinnya akan selalu
taat akan semua kehendak dan perintahnya! Dan
pemuda yang cerdik ini sudah dapat menemukan
cara yang amat baik dan yang pasti akan berhasil!
Akan te tapi dia tidak boleh tergesa-gesa. Baru saja
dia gagal mendekati Bi Land an membuat janda
muda itu marah. Dia harus pandai membawa diri,
memperlihatkan penyesalannya agar kemarahan Bi
Lan mereda dan wanita itu tidak menaruh
kecurigaan kepadanya. Setelah Pangeran Tua Li Siu Ti memasuki
kembali ruangan itu, mereka bertiga lalu berbisikbisik mengatur siasat. Sebuah siasat yang diajukan
Poa Kiu dan Siauw Can amat mengejutkan hati
Pangeran Li Siu Ti. Siasat itu adalah membunuh
Putera Mahkota, Pangeran Li Si Bin.!
Wajah Pangeran Tua Li Siu Ti seketika menjadi
pucat dan matanya te rbelalak memandang kepada
dua orang kepercayaannya. "Alangkah baiknya
kalau dapat te rjadi! Akan tetapi mana mungkin! Li
Si Bin seorang yang memiliki kepandaian tinggi,
dia tangguh dan sukar dikalahkan! Selain itu,
diapun mempunyai banyak pengawal pandai, dan
selalu terjaga. Di belakangnya ada balate ntara
seluruh kerajaan, ratusan ribu orang yang setiap
saat siap melaksanakan perintahnya! Bagaimana mungkin menyingkirkannya" Kalau gagal dan
ketahuan, ah, ngeri aku membayangkan a kibatnya!
Tentu seluruh anggota keluarga kita, sampai ke
para pelayan dan binatang peliharaan, akan
dibasmi habis!" "Harap paduka tidak khawatir," kata Poa Kiu.
"Hamba berdua Siauw Can te lah merencanakan
siasat yang baik dan halus. Siauw Can akan
mempergunakan kepandaiannya dan kalau sampai
berhasil siasat itu, maka Pangeran Li Si Bin akan
te was tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya."
Mereka bertiga lalu berbisik-bisik dan nampaknya Pangeran Tua Li Siu Ti girang sekali.
Dia nampak mengangguk-angguk dan te rsnyumsenyum mengelus jenggotnya dan berulang kali
mulutnya berkata, "Bagus........., bagus sekali...!"
Saking girang rasa hatinya, pangeran itu lalu
menutup pembicaraan itu dengan sebuah pesta
yang meriah, pesta antara mereka bertiga yang
dihadiri pula ole h isteri dan lima orang selir
pangeran itu, dan anak tunggalnya, yaitu Li Ai Yin,
gadis cantik genit dan manja yang tidak malu-malu
lagi memperlihatkan kekagumannya kepada Siauw
Can. Mereka makan minum sampai jauh malam
dengan penuh kegembiraan dan peristiwa ini saja
sudah membesarkan hati Siauw Can, karena dari
Poa Kiu dia mendengar bahwa diajak makan
bersama seluruh keluarga pangeran berarti bahwa
dia telah dipercaya sepenuhnya, seperti halnya Poa
Kiu sendiri. 
De ngan penuh kesungguhan hati, Kwa Bi Lan
mengajarkan ilmu silat kepada para dayang. Para
dayang ini merupakan gadis -gadis pilihan, bukan
saja muda dan cantik, akan tetapi rata-rata
memiliki kecerdikan dan tubuh yang se hat. Mereka
itu pandai dengan segala macam bentuk kesenian,
pandai menari, bernyanyi, memainkan alat musik,
membaca sajak. Oleh karena itu tidak sukar bagi
Bi Lan untuk mengajarkan ilmu silat kepada
tigapuluh orang dayang-dayang is tana itu. Ia
mengajarkan dasar-dasar ilmu silat Siauw-lim-pai,
kemudian, atas petunjuk Pangeran Li Si Bin, ia
mengajarkan ilmu silat menggunakan senjata
sabuk yang diambil dari Ilmu Hui-tiauw Sin-kun (
Silat sakti rajawali terbang ).
De ngan ilmu silat sabuk itu, dibentuklah Angkin-tin ( Barisan sabuk merah). Ang-kin-tin ini
bukan saja dapat memainkan sabuk sebagai
senjata ampuh, akan te tapi mereka juga menggabungkan gerak silat itu dengan ilmu tarian
yang mereka kuasai, sehingga kalau tidak
dipergunakan untuk berkelahi, mereka itu dapat
menggunakan sabuk merah mereka untuk menarinari dengan indahnya. Sabuk sutera merah panjang di tangan mereka
dapat digerakkan membentuk bermacam-macam
bunga bahkan huruf! Pangeran Li Si Bin merasa girang bukan main
melihat kemajuan para dayang, dan tugas Bi Lan
melatih para dayang di is tana itu memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk saling
jumpa. Pangeran Mahkota itu semakin kagum kepada Bi
Lan, sebaliknya Bi Lan juga sangat kagum kepada
pangeran yang tampan gagah perkasa dan manis
budi ini. Ia mendapatkan segala sifat jantan pada
diri pute ra mahkota ini. Pangeran itu dapat
bersikap lemah lembut, ramah dan manis budi,
akan tetapi kalau perlu, dia dapat pula bersikap
keras dan tangan besi, sehingga selain disayang
oleh semua orang, diapun disegani dan dihormati.
Kalau ada kesempatan kedua orang itu bercakap-cakap, dari percakapan ini saja tahulah
Bi Lan bahwa pangeran itu seorang yang berjiwa
pendekar, juga amat mencinta tanah air dan
bangsa, mencintai rakyat dan ingin melakukan
segalanya demi kebaikan rakyat. Juga pangeran ini
memiliki pengetahuan luas, bahkan dekat dan
mengenal tokoh-tokoh kang-ouw dan datuk-datuk
dunia persilatan. Semenjak peristiwa yang amat mengecewakan
hatinya malam itu, ketika Siauw Can berusaha
untuk berbuat tidak senonoh kepadanya, le nyaplah
semua perasaan suka dan kagum te rhadap
pemuda itu. Dan kini semua perasaan suka dan
kagum itu beralih kepada Pangeran Li Si Bin!
Tentu saja ia tahu diri dan hanya tinggal
mengagumi saja, tidak berani mengharapkan yang
le bih daripada hubungan di antara mereka seperti
sekarang. Ia hanya seorang pekerja dan petugas,
tiada bedanya dengan ratusan orang lain yang
bekerja di lingkungan istana itu.

Sebelum te rjadi peristiwa di malam itu, ia
memang pernah merasa suka dan kagum kepada
Siauw Can, bahkan ia akan menerima dengan hati
dan tangan terbuka, seandainya pemuda itu
mengajaknya hidup bersama sebagai suami isteri.
Akan te tapi, semua harapan itu te lah hancur oleh
perbuatan Siauw Can. Kalau bukan Siauw Can
yang melakukan perbuatan itu te rhadap dirinya, ia
te ntu tidak akan mau sudah sebelum membunuh
laki-laki itu. Akan tetapi ia telah menganggap
Siauw Can sebagai sahabat baik, dan pemuda itu
telah minta maaf. I a mau melupakan peristiwa itu,
akan tetapi tentu saja semua perasaan sukanya
te rhadap pemuda itu le nyap sudah. Ia tahu bahwa
Siauw Can mencintainya, akan tetapi pemuda itu
menodai cintanya dengan perbuatan yang tidak
senonoh. Pagi itu, seperti biasa, Bi Lan melatih para
dayang bersilat dengan sabuk sutera merah
mereka. Gerakan mereka sudah cukup baik dan
tangkas, hanya masih kurang te naga. Dengan teliti
Bi Lan mengamati mereka dan dengan te kun
member petunjuk-petunjuknya. Dan pagi itu,
pangeran Li Si Bin berkenan hadir dan dengan
wajah berseri pangeran itu menonton. Hatinya
senang karena dia melihat kemajuan pesat pada
para dayang, dan dia semakin kagum karena
ketika Bi Lan memberi contoh kepada para dayang
dengan bersilat sabuk sutera merah, janda muda
itu nampak seperti seorang dewi yang turun dari
kahyangan dan menari-nari!
Setelah Bi Lan selesai memberi contoh dan kini
para dayang berlatih dengan giat, Pangeran Li Si Bin menggapai dan memberi isyarat kepada Bi Lan
untuk mendekat. Bi Lan menghampiri dan memberi hormat dengan setengah berlutut.
"Bangkit dan duduklah di sini," kata pangeran
itu dengan ramah sambil menunjuk kea rah
sebuah bangku. Bi Lan duduk di depan pangeran
itu sambil menundukkan muka. Biar pun mereka
sudah sering bercakap dan berjumpa, tetap saja Bi
Lan tidak sanggup berpandangan te rlalu lama
dengan sepasang mata yang memiliki wibawa
sedemikian kuatnya. Ia selalu merasa seperti
seorang anak kecil berhadapan dengan gurunya,
dengan perasaan bersalah.
"Bi Lan, kalau engkau melatih pasukan dayang
di sini, lalu bagaimana dengan anakmu?"
Diam-diam Bi Lan te rkejut karena sama sekali
tidak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Pangeran Li Si Bin
menanyakan anaknya! Segera te rbayanglah wajah Hong Lan. Kalau ia
bertugas di istana, dititipkannya Hong Lan kepada
Cu-ma, pelayan wanita setengah tua tukang masak
yang menjadi sahabat baiknya di istana pangeran
Tua Li Siu Ti. Cu-ma ini dahulunya pengasuh Ai
Yin di waktu gadis ini masih kecil, dan sekarang
menjadi tukang masak gadis itu untuk keperluankeperluan kecil. "Lan Lan hamba tinggalkan di is tana Pangeran
Tua dalam asuhan Cu-ma, pangeran," jawabnya.
"Lan Lan" He mm, bagus sekali nama panggilan
itu. Siapa nama anakmu?"
"Namanya Hong Lan."
"Kalau begitu nama lengkapnya te ntu Liu Hong
Lan, bukan" Mendiang suamimu yang berjuluk Si
Rajawali Sakti itu bernama Liu Bhok Ki."
Bi Lan mengangguk membenarkan. Apapun yang
te rjadi, ia akan tetap mengakui Lan Lan sebagai
anaknya, dan te ntu saja nama keluarganya Liu,
menurut nama keluarga mendiang suaminya.
"Bi Lan, kami merasa senang sekali dengan hasil
tugasmu melatih para dayang. Untuk menyatakan
te rima kasih kami, maka kami harap siang ini
sebelum engkau kembali ke rumah paman Li Siu
Ti, engkau suka kami ajak makan siang bersama
kami. N anti kalau makan siang sudah siap, engkau
akan diberi tahu." Bi Lan merasa betapa jantungnya berdebar
te gang. Diajak makan siang bersama Pangeran
Mahkota! Sungguh merupakan suatu kehormatan
yang amat luar biasa. Tentu saja ia merasa
canggung dan sungkan, akan tetapi untuk
menolak, ia tidak berani. Itu akan merupakan
suatu penghinaan terhadap pangeran itu.
"Baik, Pangeran." Katanya.
Setelah Pangeran Li Si Bin meninggalkan ruangan belajar silat itu, Bi Lan melamun dan
akhirnya ia membubarkan para muridnya, karena
ia tidak dapat memusatkan lagi perhatiannya. Ia
lalu pergi ke taman bunga yang amat luas di
bagian belakang is tana. Karena mendapat kepercayaan Putera Mahkota, apalagi karena
semua petugas mengenalnya sebagai guru dan pelatih para dayang, Bi Lan sudah biasa berjalanjalan di taman dan tidak ada seorangpun petugas
yang melarangnya. Perasaan hatinya terguncang oleh undangan
makan siang Pangeran Li Si Bin. Sampai lama dia
te rmenung, duduk di te pi kolam ikan emans, agak
te rlindung dan te rsembunyi di balik semak
berbunga. Tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan
orang. Sebagai seorang ahli silat yang sudah
bertualang di dunia persilatan, sudah te rbiasa
menghadapi bahaya, Bi Lan sudah waspada dan
cepat ia menyelinap di balik semak dan mengintai.
Bayangan itu mencurigakan sekali. Kalau orang itu
seorang tukang kebun atau petugas istana, tentu
gerakannya tidak se perti itu. Orang itu berloncatan
dari pohon ke pohon, bersembunyi, kadang
berjongkok di balik semak, menuju ke dapur yang
te rletak di bagian belakang bangunan yang menjadi
ruangan makan. Dari dapur, para petugas, yaitu
para dayang dan para thai-kam (laki-laki kebiri)
yang bertugas membawa hidangan ke kamar
makan, akan melalui lorong pendek dari dapur ke
ruangan makan yang je ndelanya menghadap ke
taman itu. Melihat bayangan itu menyelinap masuk ke
dalam dapur melalui jendela dengan gerakan
ringan, Bi Lan semakin curiga. I a lalu mengintai ke
dalam dapur melalui je ndela. Agaknya hidangan
sudah dikeluarkan dan dapur itu nampak sunyi. Ia
melihat orang tadi berdiri di dekat pintu. Ia tidak
mengenal laki-laki itu yang bertubuh gendut pendek, usianya kurang le bih tigapuluh tahun,
wajahnya tampan dan kulit mukanya halus tanpa
kumis dan jenggot. Tak lama kemudian, dari pintu
dapur masuklah seorang thai-kam yang biasa
bertugas membawa hidangan dari dapur ke
ruangan makan. Ketika thai-kam itu melihat lakilaki itu, dia kelihatan terkejut. Akan tetapi, si
gendut itu sudah menangkap pergelangan tangan
thai-kam itu dan bertanya dengan suara mendesis,
"Sudah kau hidangkan guci arak itu?"
"Sudah, akan tetapi kenapa engkau memaksa
aku untuk menghidangkan guci arak yang itu" Aku
tidak mengerti dan....................." Pada saat itu, si
gendut sudah menggerakkan tangannya dan
sebatang pisau menancap ke dada thai-kam itu
dan sebelum dia sempat mengeluarkan suara, si
gendut sudah menotok lehernya, sehingga dia
te rkulai roboh tanpa dapat bersuara lagi.
"Heiiii, apa yang kau lakukan itu?" bentak Bi
Lan sambil membuka daun je ndela. Akan tetapi,
orang gendut itu tidak menjawab, bahkan cepat
melompat bagaikan seekor rusa, melarikan diri
keluar dari dapur itu ke dalam taman.
Melihat ini, Bi Lan segera lari mengejar dan
dengan mudah saja ia dapat menyusul. Orang
gendut itu tiba-tiba membalik dan di tangannya
sudah terdapat dua batang pisau seperti yang tadi
dia pakai membunuh thai-kam di dapur. Diapun
cepat menggerakkan kedua pisau itu menyerang Bi
Lan! Akan tetapi betapa kuat dan cepat gerakan
serangan kedua pisau itu, bagi Bi Lan masih
te rlalu lambat, sehingga dengan amat mudahn ya ia mengelak mundur dan ketika sepasang pisau itu
menyambar le wat dari kanan dan kiri, kakinya
mencuat dan menendang kea rah lutut kiri
penyerangnya. Akan te tapi, ternyata penyerangnya
itupun bukan orang lemah.
Dia mampu meloncat ke samping sehingga
te ndangan itu luput, dan kembali dia menubruk ke
depan, menggerakkan sepasang pisaunya dengan
ganas. Orang itu menyerang untuk membunuh,
serangan orang yang nekat dan yang melihat
bahwa jalan satu-s atunya baginya untuk dapat
meloloskan diri hanya membunuh siapa saja yang
menghalanginya. "Pembunuh keparat!" Bi Lan berseru marah dan
tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas dan bagaikan
seekor burung rajawali menyambar, tubuhnya
meluncur kea rah lawan dengan kedua tangan
mencakar dan menampar. Orang gendut itu
berusaha untuk menyambut dengan sepasang
pisaunya, akan te tapi kedua pundaknya sudah
le bih dahulu kena dicakar dan ditampar sehingga
sepasang senjata itu terlepas jatuh. Ketika orang
itu hendak melarikan diri, kembali tangan bi Lan
bergerak, sekali ini kearah tengkuk dan orang
itupun jatuh tersungkur! Bi Lan menginjak punggungnya dan membentak,
"Hayo katakan, kenapa engkau membunuh thaikam itu!" Akan tetapi, tangan kiri si gendut itu
memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya sendiri
dan diapun te rkulai. Ketika Bi Lan memeriksanya,
te rnyata dia telah mati dengan muka berubah
menghitam. Racun! 
Teringat akan ini, berubah wajah Bi Lan. Racun!
Dan si gendut ini agaknya menyuruh dengan paksa
thai-kam tadi menghidangkan guci arak kepada
Pangeran Mahkota! Ketika para pengawal lari berdatangan mendengar keributan itu, Bi Lan berkata, "Jaga
mayat pembunuh ini!" Dan diapun sudah melompat dan bagaikan te rbang secepatnya ia
memasuki ruangan makan, dimana ia harus hadir
atas undangan Pangeran Li Si Bin. Akan tetapi saat
itu ia sama sekali tidak teringat akan undangan
makan siang itu, dan ia memasuki ruangan itu
bukan untuk memenuhi undangan makan.
Begitu tiba di ambang pintu, dimana te rdapat
sebuah meja yang menjadi te mpat persediaan
cadangan mangkok dan sumpit,
ia melihat pangeran itu yang dilayani para dayang,sedang
mengangkat cawan arak ke mulutnya.
Celaka, pikir Bi Lan dan wajahnya pucat sekali.
Tidak ada waktu lagi untuk mencegah hal amat
dikhawatirkannya, maka tangannya menyambar
sebatang sumpit dari atas meja dan sekali tangan
itu bergerak, sumpit melayang seperti anak panah
ke arah pangeran. "Sing.....trang....!"
Cawan yang bibirnya sudah menempel di bibir
Pangeran Li Si Bin itu te rlempar dan is inya
tumpah, muncrat ke mana-mana.
Akan tetapi pangeran bersikap tenang. Dia
menoleh ke arah Bi Lan, melihat betapa wajah
wanita itu pucat sekali. Sepasang mata pangeran itu mencorong, dan dia berkata dengan suara yang
le mbut, namun berwibawa sekali sehingga te rasa
oleh Bi Lan seperti pedang yang menembus
jantungnya. "Bi Lan, engkau kuundang makan siang dan aku
sudah menantimu. Akan tetapi, engkau datang dan
melakukan ini" Apa maksudmu?" Tentu saja
pangeran yang juga memiliki ilmu kepandaian silat
tinggi itu dapat mengenal serangan untuk membunuhnya atau serangan untuk mencegahnya
minum arak dari cawan tadi. Kalau wanita itu
menghendaki, tentu bukan sumpit yang disambitkan, melainkan senjata rahasia yang
ampuh, dan bukan cawan di tangannya yang
dijadikan sasaran, melainkan anggota tubuhnya
yang mematikan. Akan te tapi kalau demikian
halnya, tentu diapun sudah mengelak atau
menangkis . Saking tegang, gelisah dan juga sungkan, Bi Lan
menjatuhkan dirinya berlutut kepada pangeran itu.
Bias anya ia memberi hormat dengan membungkuk
atau hanya berlutut dengan sebelah kaki saja.
"Ampunkan hamba, pangeran. Akan tetapi........arak itu.....arak itu mungkin sekali
mengandung racun.!" Katanya agak gagap karena
te ntu saja ia sendiri belum yakin akan hal itu,
hanya baru dugaan saja. Sepasang mata yang mencorong itu te rbelalak.
Tanpa banyak cakap lagi Pangeran Li Si Bin yang sejak muda sudah bergaul dengan dunia kangouw
dan mempunyai banyak pengalaman, lalu mengambil guci arak darimana tadi dia menuangkan arak ke dalam cawannya, menciumnya, lalu mengeluarkan sebuah mainan
batu giok putih yang te rgantung di le her,
mencelupkan batu kemala itu ke dalam arak. Tak
lama kemudian dia mengangkat lagi batu giok itu
dan te rnyata warna putih itu berubah menjadi
kehijauan.! "Hemm, engkau benar Bi Lan. Kalau kuminum
arak dalam cawan tadi, mungkin aku sudah mati.
Racun ini kehijauan, tidak berbau dan tidak ada
rasanya, amat berbahaya. Akan tetapi, bagaimana
engkau bisa mengetahui bahwa arak yang akan
kuminum itu mengandung racun" Bangkitlah, dan
duduklah, ceritakan semuanya, Bi Lan."
Para dayang, tujuh orang banyaknya yang
ditugaskan melayani pangeran yang akan makan
siang dengan Bi Lan, saling pandang dengan wajah
pucat s ekali. Mereka ketakutan dan terkejut bukan
main ketika melihat bahwa arak yang hamper saja
diminum pangeran itu beracun! Andaikan pangeran itu tadi meminumnya dan te was, mereka
te ntu akan te rseret dan takkan diampuni lagi
walaupun mereka sama sekali tidak tahu menahu
akan arak beracun itu. Merekapun nyaris te was
dan baru saja lolos dari cengkeraman maut
bersama pangeran Mahkota!
Bi Lan bangkit dan dengan langkah te nang
menghampiri meja, lalu duduk menghadapi meja,
berhadapan dengan pangeran itu yang menatapnya
dengan penuh perhatian, akan te tapi dengan alis
berkerut, karena dia belum tahu atau menduga
apa yang sesungguhnya telah terjadi.
"Pangeran, tadi ketika hamba berjalan-jalan di
taman, hamba melihat bayangan orang bergerak
cepat memasuki dapur. Hamba merasa curiga dan
membayanginya. Dia seorang laki-laki gendut dan
di dapur, dia berbicara dengan seorang thai-kam. Thai-kam itu berkata mengapa dia harus menghidangkan guci arak itu kepada paduka. Tibatiba si gendut itu membunuh si thai-kam. Hamba
te rkejut dan melompat masuk. Si gendut melarikan
diri ke dalam taman dan hamba berhasil mengejarnya. Dia menyerang hamba dan hamba
berhasil merobohkannya dan hendak menawannya.
Akan te tapi dia membunuh diri dengan menelan
racu. Lalu hamba te ringat akan ucapan thai-kam
tadi, tentang guci arak yang dihidangkan pada
paduka. Melihat si gendut itu ahli racun, hamba
lalu menjadi curiga dan cepat hamba lari ke sini
dan te rpaksa hamba melemparkan sumpit untuk
mencegah paduka minum arak itu."
Kini pangeran itu mengangguk-angguk dan
matanya mengeluarkan sinar kagum. "Bi Lan,
engkau sungguh hebat sekali, bukan saja engkau
lihai dan cantik, akan tetapi engkau juga amat
cerdik dan setia. Hanya kecerdikanmu yang tadi
telah menyelamatkan nyawaku. Sungguh aku
berhutang budi dan nyawa kepadamu, Bi Lan.
Bagaimana kau dapat membalasnya" Terima kasih,
Bi Lan." Kalau tadi wajah Bi Lan pucat sekali karena
te gang, cemas dan juga sungkan, kini wajah itu
berubah kemerahan sehingga wajahnya menjadi
semakin manis, dan dia tidak berani menentang
pandang mata pangeran itu yang kini bersinar sinar penuh kagum. Melihat wanita yang dikaguminya itu menunduk dengan kedua pipi
kemerahan, Pangeran Li Si Bin yang jarang tertarik
wajah cantik itu, kini te rsenyum dan hatinya
te rtarik sekali. Dia tahu bahwa tidak mudah
mendapatkan seorang wanita seperti Bi Lan ini.
Cantik jelita, masih muda, berkepandaian silat
tinggi, cerdik dan setia! Biarpun wanita ini telah
menjadi janda dengan seorang anak, namun ia
jauh le bih menarik daripada gadis yang manapun!
Mungkin karena merasa berhutang budi dan
nyawa, saat itu sang pangeran te lah jatuh hati
kepada Kwa Bi Lan! "Me ngapa pangeran berkata demikian" Hamba
hanyalah melaksanakan tugas hamba, dan tidak
ada yang perlu dipuji," kata Bi Lan lirih tanpa
berani mengangkat mukanya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN