NAGA BERACUN JILID 11

  "Maaf, Paduka Raja Muda Baducin! Saya kira,
urusan anak buah adalah urusan kecil, apa
perlunya dibesarkan lagi" Biarlah lain hari kami
akan mengirim obat kepada tujuh orang anggota
pasukan Pedang Bengkok itu disertai maaf kedua
orang muda ini." "Aih, Poa Kiu, kenapa begitu" Kami yakin bahwa
Raja Muda Baducin tidak mempunyai niat buruk.
Beliau memang kagum kepada orang-orang lihai
seperti juga kami. Oleh karena itu, pertandingan
adu kepandaian ini menarik sekali."
Lalu dia menoleh kepada Siauw Can. "Orang
muda, beranikah kalian berdua menandingi kedua
orang pengawal pribadi Raja Muda Baducin itu?"

"Kami hanya menanti perintah paduka," Jawab
Siauw Can. "Bagus! Kami perintahkan kepada kalian berdua
untuk menandingi dua orang raksasa kembar itu
mengadu ilmu kepandaian." Kepada seorang di
antara pengawalnya dia berkata, "Cepat engkau ke
ruangan berlatih dan persiapkan te mpat untuk
mengadu kepandaian!"
Sambil te rtawa-tawa akan tetapi hati mereka
sebetulnya panas, dua orang bangsawan itu
berjalan berdampingan menuju ke ruangan latihan
yang luas di sebelah belakang bangunan itu.
Mereka diikuti Poa Kiu, kemudian dua orang
pengawal pribadi Bangsa Turki, lalu Siauw Can
dan Bi Lan, baru duabelas orang pengawal
pangeran itu mengawal bagian paling belakang.
Sebetulnya jarang sekali dua orang bangsawan
itu saling berkunjung, bahkan tidak pernah.
Semua orang tahu belaka bahwa Pangeran Tua Li
Siu Ti merupakan bangsawan yang tidak suka
kepada orang Turki, seperti banyak pula pejabat
dan bangsawan yang seperti dia. Akan tetapi
karena pasukan Turki itu merupakan rekan dari
pasukan yang dipimpin Panglima besar Li Si Bin,
te ntu saja dia tidak berani berterang menyatakan
rasa tidak sukanya kepada Bangsa Turki. Hanya di
dalam hatinya saja dan dia tidak pernah bergaul
dengan mereka, kecuali dalam perte muan resmi.
Hal ini diketahui pula oleh Raja Muda Baducin,
maka kalau dia bersikap ramah, ini hanyalah basa
basi belaka. Di dalam hatinya, tentu saja dia juga amat tidak suka kepada adik kaisar yang anti
Turki ini. Mereka kini memasuki ruangan latihan yang
luas itu. Di sini bukan hanya untuk latihan para
pengawal, akan tetapi j|uga kadang-kadang kalau
sang pangeran mengadakan rapat rahasia dengan
orang yang dipercayanya saja, tempat ini dipergunakan. Tempat ini aman, tertutup dan
te rjaga ketat oleh para pengawal sehingga orang
luar jangan harap akan dapat mengintai, apa lagi
masuk. Setelah tiba di situ s ang pangeran dan sang raja
muda segera duduk di kursi yang sudah
disediakan, sedangkan para pengawal berjajar di
belakang pangeran. Juga di pintu terdapat prajurit
yang berjaga. Dua orang raksasa kembar itu
agaknya sudah siap dan mereka menyeringai
sambil memandang ke arah Siauw Can dan Bi Lan,
calon lawan mereka. Siauw Can segera memberi
hormat kepada Pangeran Tua Li Siu Ti.
"Mohon maaf, pangeran. Saya mohon agar
pertandingan ini diadakan satu lawan satu dan
bergiliran, karena seorang di antara kami harus
menjaga Lan Lan, anak kecil ini." Mendengar
ucapan Siauw Can itu, Bi Lan mengangguk setuju
dan ia merasa girang sekali. Memang, adanya Lan
Lan merupakan kelemahan bagi pihaknya. Ia
belum tahu watak lawan. Siapa tahu mereka
menggunakan akal untuk mencapai kemenangan,
misalnya dengan menangkap Lan Lan, seperti yang
pernah dilakukan tiga orang perwira di kota Penglu itu. Permohonan Siauw Can kepada pangeran itu memang penting sekali, karena dengan cara
bergantian, maka Lan Lan terjaga dengan aman.
Pangeran Tua te rsenyum dan mengangguk.
"Tentu saja, di sini tidak ada istilah keroyokan.
Kamipun ingin menikmati adu kepandaian ini,
kalau satu lawani satu akan dapat kita ikuti
dengan baik. Siapa di antara kalian yang akan
maju lebih dahulu?" Bi Lan menyerahkan Lan Lan kepada Siauw
Can. Anak ini sudah biasa dengan Siauw Can,
maka iapun mau saja dipangku pemuda itu dan Bi
Lan lalu bangkit menghampiri pangeran. "Saya
yang akan maju lebih dulu, pangeran."
Pangeran Tua Li Si u Ti te rsenyum kagum. Dia
belum percaya betul bahwa wanita muda cantik
yang mempunyai seorang anak ini memiliki ilmu
kepandaian hebat dan akan mampu menandingi
seorang di antara dua raksasa kembar itu.
Akan te tapi sikap wanita yang demikian te nang
dan berani saja sudah mengundang kekagumannya. Bagaimanapun juga, dalam hal
keberanian, wanita ini jarang tandingannya, pikirnya. Diapun mengangguk dan menole h kepada
Raja Muda Baducin. "Nah, jago kami sudah maju. Paduka akan
mengajukan jago yang mana?"
Sebetulnya, tingkat kepandaian dua orang
saudara kembar itu sama dan kelihaian mereka
justru kalau mereka maju berdua. Biarpun
mempunyai dua badan, namun saudara kembar
itu dapat bergerak seperti dikemudikan satu pikiran dan satu perasaan saja, dan hal ini yang
membuat mereka sukar dikalahkan kalau maju
berdua. Namun, biarpun seorang diri, masingmasing juga merupakan lawan yang amat kuat.
Hanya bedanya, kalau Gondulam han ya suka akan
kemuliaan, adik kembarnya, Gondalu, adalah
seorang mata keranjang. Maka, begitu melihat yang
maju Bi Lan, wanita yang cantik manis itu,
Gondalu mendahului saudara kembarnya dan
melangkah maju memberi hormat kepada Raja
Muda Baducin sambil berkata. "Kalau paduka
mengijinkan, hamba yang akan maju menandingi
perempuan ini. Yang Mulia!"
Tentu saja Baducin mengenal watak Gondalu,
maka dia te rse nyum dan mengelus kumisnya
sambil mengangguk-angguk, "berse nang-senanglah
engkau, Gondalu!" katanya.
Gondalu melangkah maju menghampiri Bi Lan
yang sudah siap berdiri di te ngah ruangan yang
luas itu. Ia bersikap waspada, berdiri dengan
santai, akan tetapi seluruh syaraf di tubuhnya
dalam keadaan siap siaga. Ia tadi sengaja
menanggalkan sepasang pedangnya dan menyerahkannya kepada Siauw Can sehingga
melihat ini, sebelum melangkah maju Gondalu juga
menanggalkan pedang bengkoknya dan menitipkannya kepada saudara kembarnya. Hal ini
atas isyarat Siauw Can yang tidak ingin kehadiran
mereka yang pertama itu akan membuat lawan
roboh terluka atau tewas sehingga akan terjadi
permusuhan antara dua orang besar itu.
Gondalu yang juga tidak ingin membunuh
lawan, senang-melihat wanita itu maju dengan
tangan kosong. Dengan bertanding tanpa senjata,
le bih mudah baginya untuk menelikung dan
menangkap wanita cantik itu, mengalahkannya
tanpa melukai, akan tetapi dia akan dapat
sepuasnya memegang-megang dan mengusapusap! Bagi orang biasa, melihat kedua orang yang
akan bertanding itu berhadapan, te ntu akan
merasa cemas terhadap Bi Lan. Sungguh tidak
sepadan lawa itu, amat berat sebelah! Gondalu
adalah seorang laki-laki raksasa yang tubuhnya
berotot dan kokoh kekar seperti tugu batu!
Sedangkan Bi Lan seorang wanita muda yang
tubuhnya ramping padat dan nampak le mah
le mbut, tubuh yang membayangkan kehangatan
dan kelembutan yang sepatutnya hanya menandingi kemesraan dan belaian, bukan kekerasan dan pukulan! Mereka berdiri berhadapan dalam jarak dua
meter. Raksasa itu berdiri dengan punggung agak
melengkung ke depan, le bar dan tinggi, seperti
seekor beruang. Kedua lengannya yang panjang itu
te rgantung le pas sampai hampir mencapai lutut,
dengan jari-jari tangan yang besar. Ibu jari raksasa
itu tentu tidak kalah besar dibandingkan pergelangan tangan Bi Lan!
Agaknya, sekali terkena cengkeraman jari-jari
tangan itu tulang-tulang Bi Lan akan remukremuk. Bi Lan hanya setinggi bawah pundak
Gondalu dan biarpun mereka berdiri dalam jarak dua meter, hidung Bi Lan masih dapat menangkap
bau yang apek dan mengingatkan ia akan bau di
kandang kerbau! "Heh-heh heh, sudah siapkah engkau, nona?"
Gondalu bertanya sambil menyeringai, katakatanya te rdengar kaku dengan logat asingnya.
"Kalau sudah, seranglah dan perlihatkan kepandaianmu!" "Pihakmu yang menantang, maka kamulah yang
harus menyerang lebih dulu. Aku sudah siap!"
jawab Bi Lan, sikapnya masih te nang saja dan
santai, akan tetapi matanya tak pernah berkedip,
mengikuti gerakan tubuh orang, te rutama kedua
pundaknya karena semua gerakan penyerangan
kedua tangan selalu didahului oleh gerakan
pundak. Juga pendengarannya dikerahkan agar
dapat ia menangkap semua sambaran kaki lawan
kalau melakukan penyerangan. Hal ini penting
sekali karena kadang-kadang, pendengaran mendahului penglihatan dalam mengikuti gerakan
lawan. "Heh-heh-heh, kau sambut ini, nona manis!" dan
Gondalu sudah menerjang ke depan, kedua
le ngannya yang panjang itu bergerak, yang kanan
meluncur ke depan mencengkeram ke arah dada Bi
Lan dan yang kiri menyambar dari atas untuk
menjambak rambut wanita itu. Jelas bahwa orang
Turki ini tidak lagi bersikap sungkan, walaupun
menghadapi lawan wanita, begitu menyerang, dia
langsung mencengkeram ke arah dada, hal yang
tidak akan dilakukan oleh seorang yang menjaga
kesopanan te rhadap wanita. Namun, Bi Lan menghadapinya dengan te nang. Ia memang tidak
pernah mengharapkan orang seperti raksasa ini



akan mengenal sopan santun, maka serangannyapun tidak membuat ia te rkejut atau
marah. De ngan lembut dan tidak te rgesa-gesa ia
melangkah mundur dan serangan kedua le ngan
panjang itupun luput, akan tetapi Gondalu sudah
melangkah maju. Kalau Bi Lan melangkah mundur tiga langkah,
maka raksasa ini dengan satu langkah saja sudah
mendekati Bi Lan dan sekali ini, kedua tangannya
yang kasar dengan jari-jari tangan terbuka, sudah
menyambar dari kanan kiri untuk menangkap
pinggang Bi Lan. Kembali Bi Lan mengelak dengan lompatan ke
kiri. Ia belum berani lancang membalas karena ia
harus mencari dulu kelemahan dari lawan, dan ia
dapat menduga bahwa lawan belum benar-benar
menyerangnya, hanya mengira ila seorang wanita
le mah dan hendak mempermainkan saja.
Setelah dua kali tubrukannya luput, Gondalu
mulai merasa penasaran. Dia melihat gerakan
wanita itu ketika mengelak, demikian ringan dan
cepat, maka sebagai seorang yang banyak pengalaman berkelahi, dia dapat menduga bahwa
wanita ini memiliki kegesitan yang membuat dia
akan selalu gagal kalau menyerang dengan lemah
dan berusaha menangkap saja. Maka, setelah lima
kali menubruk dan gagal, kini mulailah Gondalu
melakukan penyerangan dengan sungguh- sungguh. 
Dia mengeluarkan suara gerengan nyaring dan
le ngan kirinya bergerak, mencengkeram dari kiri
atas ke arah kepala lawan, sedangkan tangan
kanannya mendorong dengan te lapak tangan ke
arah perut. Serangan ini hebat sekali dan dari
sambaran anginnya, tahulah Bi Lan bahwa lawan
mulai bersungguh-sungguh!
"Plak! Plakk!" Ia sengaja mundur sambil
menangkis dengan kedua lengannya untuk mengukur te naga lawan. Bi Lan merasa tubuhnya
te rguncang! Benarlah dugaannya bahwa mengadu
te naga dengan lawan seperti ini amat berbahaya.
Ketika tangan itu menyambar selagi ia terguncang,
ia sudah melompat ke atas dan kakinya mencuat,
menendang ke arah muka lawan.!
Ge rakan ini amat cepat karena dilakukan ketika
tubuh mencelat ke atas, seperti serangan kaki
seekor burung rajawali! "Uhhhh.........!" Gondalu te rkejut dan cepat dia
menarik tubuh atas ke belakang. Nyaris mukanya
te rcium sepatu! Dan kini Bi Lan berjungkir balik
tiga kali, turun ke atas lantai di belakang lawan.
Akan tetapi Gondalu sudah membalik sambil
melakukan tendangan. Kakinya yang panjang dan
besar itu menyambar seperti sebuah balok yang
besar, mendatangkan angin bersiut. Bi Lan
kembali melompat dan mengelak sehingga te ndangan itu hanya mengenai tempat kosong.
Marahlah Gondalu. Lupa dia bahwa lawannya
seorang wanita yang cantik mole k. Lenyap semua
keinginannya merangkul, memeluk, meraba dan
mencolek. De ngan beringas dia menyerang dan te rnyata raksasa ini memiliki gerakan silat yang
amat ganas, dan tenaganya memang dahsyat.
Namun, tidak percuma beberapa tahun Bi Lan
digemble ng ilmu ole h guru yang kemudian menjadi
suaminya, yaitu mendiang Sin-tiauw (Rajawali
Sakti) Liu Bhok Ki! Tubuhnya berkelebatan
bagaikan seekor burung rajawali, mengelak sambil
membalas dengan serangan yang cepat sekali, dari
kanan kiri, dari depan dan te rutama sekali dari
atas. Ia pasti membalas dengan serangan dari atas
yang membuat Gondalu te rkejut dan berkali-kali
dia nyaris te rkena tamparan atau te ndangan
lawan. Kini Raja Muda Baducin memandang bengong.
Pertandingan itu jelas memperlihatkan bahwa
jagonya sama sekali tidak mampu mendesak
lawan, dan pertandingan itu hebat sekali. Bagaikan
sekor beruang besar melawan seekor burung
rajawali! Beruang itu mencoba untuk menangkap
dan menyerang dari bawah dan rajawali menyambar-nyambar dari atas. Bukan main hebatnya wanita itu dan sekarang dia mengerti
mengapa tujuh orang anggota pasukan Pedang
Bengkok tidak mampu mengalahkan wanita itu.
Memang hebat! Juga Gondulam menonton dengan
penuh perhatian. Dia melihat betapa saudara
kembarnya itu tidak kalah dalam hal te naga dan
memiliki daya serang yang lebih dahsyat dan
ganas, akan tetapi saudaranya itu tidak berdaya
karena lawan te rlampau gesit, te rlampau cepat
gerakannya dengan keringanan tubuh yang 
mengagumkan. Sukar memang menangkap atau
menyerang lawan segesit itu, dan saudaranya itu
berada dalam bahaya kalau dia tidak hati-hati.
Sementara itu, Pangeran Tua Li Siu Ti juga
memandang bengong, akan te tapi bengong dan
kagum di samping perasaan gembiranya. Berulang
kali dia memandang kepada Poa Kiu sambil
mengangguk-angguk senang. Memang pilihan
orang kepercayaannya itu benar sekali! Wanita ini
hebat! Kalau dia mempunyai pengawal keluarga
seperti ini, tentu aman! Dan puterinya, anak
tunggalnya, Li Ai Yin yang akhir-akhir ini rewel
ingin belajar silat, dapat berguru kepada wanita
yang lihai ini! Tiba-tiba dia melihat puterinya itu muncul di
ambang pintu ruangan itu. Para penjaga memberi
hormat, akan tetapi gadis itu tidak memperhatikan, dan ia melangkah masuk, lalu
berdiri bengong memandang ke arah pertandingan
yang te ngah berlangsung. Li Ai Yin adalah seorang
dara berusia tujuhbelas tahun yang cantik,
berkulit putih mulus dengan dandanan seorang
pute ri, serba indah dan mewah pakaiannya.
Rambut digelung tinggi di atas kepala, dihiasi emas
permata. Juga te linga, leher, le ngan dan jari
tangannya berhiaskan emas permata gemerlapan.
Gadis itu memiliki mata dan mulut yang manis dan
genit menantang. Kerling matanya tajam, senyumnya menantang dan ia memang memiliki
daya tarik yang mempesona. Karena pertandingan
sedang berlangsung dan semua orang memperhatikan pertandingan itu. Pangeran Tua Li Siu Ti juga diam saja tidak menegur puterinya yang
nampak tertegun dan berdiri di dekat pintu.
Pertandingan itu kini sudah mencapai puncaknya. Tigapuluh jurus telah lewat dan belum
pernah satu kalipun Bi Lan terjamah jari tangan
Gondalu atau ujung kakinya. Gerakan wanita
muda ini te rlalu cepat bagi Gondalu dan kini Bi
Lan yakin bahwa kele mahan lawannya adalah pada
gerakannya yang te rlalu lamban, karena berat
badan dan karena kekakuan otot-otot yang dilatih
te rlalu keras itu. Gondalu memang berhasil
memiliki tenaga otot sebesar gajah, akan tetapi hal
ini membuat gerakannya menjadi kaku dan
lamban. Ia tahu pula bahwa lawan ini memiliki
kekebalan, bahkan pernah ia menotok dengan jari
tangan dan mengenai le her dan pundak, akan
tetapi raksasa itu tidak banyak terpengaruh, hanya
te rgetar sedikit akan tetapi tidak roboh! Sukar
agaknya merobohkan raksasa ini kalau tidak
menggunakan akal, pikirnya. Dari gurunya ia telah
mendapat banyak petunjuk bagaimana menghadapi lawan yang tangguh, kebal dan sukar
dilukai. Bi Lan mempercepat gerakannya dalam ilmu
silat Hui-tiauw-sin kun (Silat Sakti Rajawali
Terbang) sehingga Gondalu terpaksa harus ikut
berputar karena lawannya seperti terbang berputaran. Gondalu menjadi pening juga karena
gerakan lawan terlampau cepat. Tiba-tiba dia
melihat bayangan lawan meloncat ke atas dan
ketika wanita itu menukik turun, kedua tangannya
menyambar ke arah ubun-ubun kepala dan
matanya. 
"Huhh.......!! " Gondalu menggereng dan kedua
le ngannya diputar di depan kepala dan muka
untuk melindungi bagian ini. Dia memang kebal,
akan te tapi matanya jelas tidak kebal, dan ubunubun kepalanya merupakan bagian yang amat
berbahaya walaupun sudah dilindungi dengan
kekebalan. Jangankan te rluka, baru te rgetar keras
atau terguncang saja sudah berbahaya.
Akan te tapi, secepat kilat Bi Lan mengurungkan
serangannya dan tubuhnya meluncur ke bawah,
memutar dan dari belakang, kedua kakinya
menghantam ke arah kedua kaki lawan, te pat di
belakang lutut! "Bressss.........!!" Betapapun kuat dan kebalnya
tubuh Gondalu, akan tetapi dihantam dengan
te ndangan mengandung sin-kang dan tepat mengenai belakang lutut, te ntu saja dia tidak
mampu bertahan untuk berdiri lagi. Kedua
lututnya tertekuk dan diapun sudah jongkok dan
berte kuk lutut. Biarpun dia tidak roboh, akan
tetapi sudah jatuh berlutut seperti itu sungguh
merupakan bukti bahwa dia te lah kalah! Kalau
lawan menghendaki, ketika dia jatuh berlutut itu,
te ntu lawan dapat menghabis inya dengan serangan
maut ke arah kepalanya. Bi Lan cepat memberi hormat kepada Pangeran
Tua Li Siu Ti dan pangeran itu tersenyum gembira
bukan main. Tiba-tiba te rdengar te puk tangan
yang nyaring. Semua orang menengok ke pintu dan
melihat betapa yang bertepuk tangan adalah puteri
sang pangeran, semua orang, te rmasuk para perajurit yang berjaga, ikut pula bertepuk tangan.
Tepuk tangan Ai Yin dan ayahnya yang paling
keras dan kedua orang inilah yang membuat
semua orang berani ikut-ikut berte puk tangan,
kecuali tentu saja Raja Muda Baducin dan dua
orang pengawal pribadinya itu.
Gondalu merasa penasaran sekali dan beberapa
kali dia memprotes, mengatakan dalam bahasanya
sendiri kepada Raja Muda Baducin bahwa dia
belum kalah karena belum roboh. Akan tetapi
agaknya Baducin tahu diri. Dia tadi melihat betapa
jagoannya memang tidak mampu berbuat banyak.
Wanita muda itu te rlalu cepat gerakannya sehingga
jagoannya belum pernah berhasil menampar atau
memukul lawan satu kalipun, sedangkan wanita
itu sudah beberapa kali memukul dan menendang
dengan te pat, walaupun tidak dapat merobohkan
Gondalu yang kebal. Maka diapun membentak
Gondalu disuruh mundur. Gondalu, dengan muka
merah, lalu berdiri di belakang raja muda itu.
"Ayah, siapakah enci yang amat lihai ini" Ia
hebat sekali!" Ai Yin menghampiri ayahnya. Ketika
melihat Siauw Can memondong anak perempuan
kecil dan Bi Lan yang dikagumi itu menghampiri
pemuda itu dan kini menggantikan memondong
Lan Lan, Ai Yin mengerutkan alisnya sambil
memandang kepada Siauw Can dengan penuh
perhatian. "Dan dia ini siapa, ayah" Apakah suami dari enci
ini dan anak itu puteri mereka ?"
"Ha-ha ha, wanita ini adalah pengawal keluarga
kita yang baru, Ai Yin. Sudahlah, nanti saja kita
bicara dan berkenalan dengan mereka. Sekarang masih ada sebuah pertandingan lagi. Duduklah di
sini, kita nonton pertandingan yang te ntu akan
le bih menarik lagi," kata sang pangeran.
Ai Yin menghampiri ayahnya dan Siauw Can
yang diam-diam memperhatikan, menelan ludah.
Tak disangkanya bahwa Pangeran Li Siu Ti
mempunyai seorang pute ri yang demikian cantik
jelitanya, dan ketika melangkah, dia menelan
ludah. Langkah dara itu mengandung le nggang
yang menggairahkan dan memikat dan sebagai
seorang laki-laki yang berpengalaman, tahulah dia
bahwa dara itu memiliki watak yang menantang
dan genit. Langkah itu buatan, dan memang hebat,
le mah gemulai dan menonjolkan lekuk-lengkung
tubuhnya, dengan pinggul yang menari-nari di
balik bayangan pakaiannya! Dan dengan sikap
amat manja Ai Yin duduk di samping ayahnya,
te rsenyum-senyum anggun dan bangga karena ia
yakin bahwa penampilannya, gaya dan le nggang
tadi tentu akan membuat semua pria yang
memandangnya menjadi mabok kepayang! Apalagi
pemuda yang tampan gagah itu!
Siauw Can kini maju dan memberi hormat
kepada sang pangeran, otomatis juga kepada Ai Yin
karena dara ini duduk di samping ayahnya.
De ngan memasang senyumnya yang paling menarik, dengan sepasang mata yang bersinarsinar dengan sikap yang dibuat paling gagah, dia
memberi hormat dan berkata, "Kalau paduka
mengijinkan, saya akan menghadapi tantangan
jagoan raksasa ke dua dari Raja Muda Baducin."
"Perlihatkan kemampuanmu kalau kau ingin
kami beri kedudukan yang tinggi," kata sang
pangeran. Siauw Can mengangguk dan ketika dengan sikap
gagah dia membalik untuk menghampiri lawan, Ai
Yin berseru, "Heiiii! Ambilkan perhias an di sorban
lawanmu itu untukku!"
Sang pangeran te rkejut, akan tetapi karena
pute rinya sudah terlanjur bicara, diapun tak dapat
berbuat sesuatu. Mendengar ini, Siauw Can
membalik memandang kepada pute ri itu dengan
mata bersinar dan wajah berseri, bibirnya te rsenyum dan diapun menjura dengan dalam.
"Saya akan mentaati perintah paduka!" katanya
dan te ntu saja Ai Yin yang manja itu menjadi
girang, te rsenyum dan mengangguk. Melihat ini,
diam-diam Bi Lan merasa tidak enak. Ia sama
sekali tidak merasa cemburu, akan te tapii menganggap bahwa sikap Siauw Can berle bihan.
Pemuda itu akan menemui banyak kesukaran
kalau bersikap seperti itu terhadap pute ri pangeran! Balum juga memperole h kedudukan,
sudah bersikap seperti itu, sikap yang jelas sekali
menunjukkan bahwa pemuda itu te rgila-gila oleh
kecantikan sang pute ri. Atau mungkin juga oleh
kedudukan pute ri itu, karena kalau hanya tertarik
oleh kecantikannya, tidak mungkin. Gadis itu
masih terlalu muda, dan mempunyai sifat genit
dan manja, dan mengenai kecantikannya, tidaklah
te rlalu hebatt sehingga kiranya tidak akan cukup
untuk membuat seorang seperti Siauw Can tergilagila. 
Siauw Can sudah berhadapan dengan Gondulam. Tentu s aja jagoan ke dua lebih berhatihati dari pada saudaranya setelah melihat apa
yang dialami oleh Gondalu. Dia sama sekali tidak,
memandang rendah kepada lawannya, walaupun
pemuda itu kelihatan kecil saja baginya.
Dia sudah tahu bahwa orang Han banyak yang
memiliki ilmu silat aneh dan sama sekali tidak
te rduga-duga, penuh rahasia. Maka, sebelum maju
dia telah mengerahkan kekuatan sihirnya, dibantu
oleh saudara kembarnya, sehingga ketika dia
melangkah maju, selain kedua le ngannya terisi
kekuata sihir, juga bagi lawannya dia akan
nampak mengerikan dan dahsyat! Selain itu juga
dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan
telapak kedua tangan itu mengeluarkan uap panas!
Begitu memandang wajah lawan dan melihat
wajah itu menggiriskan Siauw Can maklum apa
yang te rjadi! Akan tetapi, dalam hatinya dia
te rtawa. Ia sendiri adalah pute ra dan murid mendiang
Cui-beng Sai-kong (Kakek Muka Singa Pengejar
Arwah), seorang yang ahli dalam hal ilmu hitam
dan sihir. Maka, biarpun tahu bahwa lawannya
mengeluarkan ilmu sihir sehingga membuat
wajahnya nampak menyeramkan. Dia memejamkan kedua mata, berkemak-kemik lalu
menggosok kedua matanya dengan telapak tangannya sendiri dan ketika dia membuka
kembali matanya, wajah Gondulam nampak biasa
saja! 
Melihat kedua telapak tangan lawan mengeluarkan uap, Siauw Can segera menghimpun
sin-kang dan menyalurkannya ke arah kedua
tangannya. "Sobat, tidak perlu menggunakan ilmu
setan menakut-nakuti anak kecil. Aku sudah siap.
Nah, majulah!" tantang Siauw Can sambil te rsenyum manis karena dia menghadap ke arah
sang pute ri agar dara itu dapat melihat senyumnya. Dan Ai Yin memang melihat semua
lagak pemuda itu. Ia berbisik kepada ayahnya.
"Ayah, orang itu hebat, ya?"
"Hemmm......" Pangeran Tua Li Siu Ti mengerling
kepadanya dengan alis berkerut. Di lubuk hatinya
dia merasa tidak senang kalau puterinya tertarik
kepada pemuda pendekar itu atau kepada siapapun juga. Baginya, hanya ada calon tunggal
untuk pute rinya, yaitu ponakannya sendiri, sang
pute ra mahkota atau panglima besar, Li Si Bin! Dia
tahu bahwa mereka masih saudara sepupu, samasama bermarga Li. Akan tetapi pantangan menikah
antara marga yang sama hanya berlaku untuk
rakyat jelata. Keluarga kaisar boleh melakukan apa
saja tanpa ada pantangan, karena bukankah yang
membuat peraturan dan hukum adalah keluarga
kaisar pula" Yang penting, Li Ai Yin, anak
tunggalnya, harus menjadi isteri Li Si Bin dan
kelak menjadi permaisuri, itu merupakan satu di
antara cita-citanya! Gondulam diam-diam te rkejut melihat sikap
pemuda itu. Jelas bahwa pemuda itu tidak
te rpengaruh kekuatan sihirnya dan ini saja
menunjukkan bahwa pemuda itu merupakan
lawan yang tangguh. 
"Huahhh.......!!"
Dia mengeluarkan teriakan parau dan tanpa membuang waktu lagi, Gondulam
sudah melakukan serangan kilat. Dia tidak mau
meniru saudaranya yang tadi gagal. Begitu
menyerang, dia menggunakan gerakan cepat
sambil mengerahkan seluruh te naga. Menyerang
dengan dahsyat sekali sehingga tulang-tulangnya
mengeluarkan bunyi berkerotokan ketika kedua
tangannya mencakar-cakar seperti kaki harimau.
Siauw Can juga maklum akan kehe batan lawan.
Akan te tapi, tingkat kepandaian Siauw Can jauh
le bih tinggi daripada tingkat lawannya, Juga jauh
le bih tinggi daripada tingkat kepandaian Bi Lan.
Maka, dengan berani dia menyambut dengan
kedua tangannya pula. "Dukk! Dess.........!" Dua pasang tangan berte mu.
Sepasang lengan yang kokoh kuat dan besar dari
Gondulam bertemu dengan lengan Siauw Can yang
biasa saja besarnya, dan akibatnya, tubuh Gondulam te rhuyung ke belakang, sedangkan
Siauw Can tetap tegak dan tersenyum mengejek.
"Mana tenagamu" Keluarkan semua tenaga dan
kepandaianmu," kata Siauw mengejek. Ai Yin
berte puk tangan, tepuk tangan tunggal di ruangan
itu, akan tetapi dara itu tidak merasa janggal atau
sungkan. Dan diam-diam sang pangeran juga
kagum kepada Siauw Can. Pemuda itu dalam
segebrakan saja membuat lawannya terhuyung.
Semua orang merasa heran, termasuk Raja Muda
Baducin. Hanya Bi Lan yang tidak merasa heran,
karena biarpun belum dapat mengukur sampai di mana kehe batan Siauw Can, namun ia tahu bahwa
pemuda itu memang lihai bukan main.
Gondulam menjadi marah sekali ketika diejek.
Dia mengeluarkan suara menggereng seperti
binatang buas, lalu menyerang bertubi-tubi, mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Kedua tangannya itu kalau sampai dapat menangkap
bagian tubuh Siauw Can, te ntu akan segera
menggunakan ilmu gulatnya dan jangan harap
Siauw Can akan mampu melepaskan dirinya lagi
sebelum seluruh tulangnya patah-patah! Akan
tetapi, pemuda inipun bukan seorang bodoh.
Selain memiliki pengalaman bertumpuk, pernah
menghadapi lawan-lawan yang jauh lebih lihai dan
berbahaya dibandingkan raksasa itu. Apa lagi
sekarang dia sedang berlagak untuk memancing
pujian dan kekaguman dari pute ri je lita itu! Dia
sengaja hendak mempermainkan lawannya!
De ngan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang
tinggi, dia sengaja mengelak dengan langkahlangkah aneh dan loncatan-loncatan gesit dan
lucu. Beberapa kali sengaja membiarkan tangan
lawan menyentuhnya, akan tetapi segera dia
mengelak sambil beberapa kali mencolek dan
mendorong tubuh lawan. Kalau dia mau, sejak tadi
dia akan mampu merobohkan lawan. Akan te tapi
dia memang sengaja membuat pertandingan itu
nampak seru! Padahal, Gondulam sendiri tahu
bahwa dia kalah jauh, akan te tapi karena pemuda
itu mempermainkannya. Ia menjadi marah sekali
dan menyerang dengan dahsyat dan mati-matian,
bahkan membabi buta. 
"Brettt...........!" Siauw Can merobek baju lawan
ketika dia mencengkeram baju itu dari belakang,
sehingga tubuh bagian atas lawan menjadi
telanjang. Kalau saja di situ tidak ada Bi Lan dan pute ri
pangeran itu, tentu akan direnggutnya lepas pula
celana lawan. Kembali terdengar te puk tangan dari puteri itu
yang berte puk tangan gembira. Melihat ini, Bi Lan
menjadi semakin khawatir. Ia tahu bawa Siauw
Can menjual lagak, dan tahu pula bahwa gadis itu
adalah seorang dara remaja yang masih hijau dan
memang berpenampilan genit. Menghadapi seorang
pemuda tampan gagah dan berpengalaman seperti
Siauw Can, dara ingusan ini tentu amat mudah
jatuh! "Ambilkan perhiasan itu untukku!" kata pula Ai
Yin di antara tepukannya.
"Baik, tuan pute ri!" biarpun dihujani serangan
dari lawan yang semakin marah, Siauw Can masih
mampu menjawab. "Heiii, gajah bengkak! Tuan
pute ri minta perhiasan sorbanmu, tidak cepat kau
serahkan?" katanya dan tiba-tiba tangan kirinya
dengan jari-jari terpentang menusuk ke arah mata
Gondulam. Ge rakan ini cepat dan tiba-tiba, membuat
Gondulam terkejut. Tentu saja dia tidak ingin
matanya menjadi buta tertusuk jari-jari tangan itu.
Dia cepat menangkis , bahkan mencoba untuk
menangkap tangan yang menusuk ke arah mata
itu, sambil menarik tubuh atas ke belakang. Akan
tetapi, pada saat itu Siauw Can s udah meloncat ke atas, berjungkir balik dan tangannya menyambar
ke arah sorban di kepala lawan. Sebelum
Gondulam dapat mengelak atau menangkis, perhiasan di sorbannya telah dapat dicabut oleh
Siauw Can dan dengan membuat salto beberapa
kali, tubuhnya sudah meluncur ke arah pangeran
dan puterinya. Siauw Can turun dan memberi hormat kepada Ai
Yin sambil menyodorkan perhiasan itu kepada
sang puteri. "Terima kasih, engkau hebat!" kata Ai Yin sambil
te rtawa. Siauw Can sudah meloncat lagi ke depan
Gondulam yang kini berdiri dengan mata melotot
dan muka berubah merah sekali.
"Srattt!" Dia sudah mencabut pedang bengkoknya dan nampak sinar menyilaukan mata
saking tajamnya pedang itu.
"Pemuda sombong, lawanlah pedangku kalau
engkau berani!" tantangnya.
"Heiii, bagaimana ini, Raja Baducin" Bukankah
paduka datang untuk menguji ilmu, bukan untuk
menyuruh pengawal paduka membunuh orang"
Kenapa menggunakan pedang?"
Sejak tadi wajah Raja Muda Baducin sudah
muram dan marah. Gondalu tadi telah kalah oleh
Bi Lan, hal itu s aja sudah membuat dia kehilangan
muka, membuat dia bermuram wajah. Kini, jelas
nampak pula betapa Gondulam menjadi permainan
pemuda itu. Sekali ini benar-benar dia menderita
malu. 
"Yang Mulia," katanya dengan kata-kata tanpa
senyum lagi. "Gondulam hanya menantang untuk
mengadu ilmu senjata. Kalau jagoan paduka itu
takut, biarlah tidak perlu dilanjutkan."
Mendengar ini, Siauw Can yang ingin mencari
muka, segera memberi hormat kepada sang
pangeran. "Maaf, Yang Mulia! Kalau raksasa ini
menantang saya untuk mengadu senjata, biarlah
akan saya layani dan paduka harap tidak merasa
khawatir. Dia dan pedangnya bagi saya hanya
seorang anak-anak yang memegang pisau mainan
saja!" Mendengar ini, Ai Yin bersorak. "Horreee.....!
Bagus sekali! Layani raksasa itu, orang gagah!"
Mendengar te riakan pute rinya, Pangeran Li Siu
Ti merasa tidak enak terhadap tamunya. Maka
diapun memesan, "Baiklah, akan tetapi jangan
sekali-kali membunuh orang!"
"Harap paduka jangan khawatir. Raksasa ini
tidak akan mati, juga tidak mengeluarkan setetespun darah yang akan mengotori ruangan ini.
Akan te tapi kalau sekedar benjol-benjol di kepala
dan memar di badan, boleh, bukan?"
Semua orang tersenyum mendengar ini, pertanyaan yang lucu akan tetapi juga mengandung eje kan. Raja Muda Baducin berkata
kepada Gondulam dalam bahasa mereka sendiri,
"Gondulam, jangan membikin malu. Kerahkan
semua kemampuanmu!" Melihat pemuda itu berdiri dengan tangan
kosong di depan Gondulam yang sudah mencabut pedang, tiba-tiba Ai Yin turun dari te mpat
duduknya dan dengan tangan diangkat ke atas ia
berte riak. "Berhenti! Ini tidak adil! Raksasa itu
berpedang, kenapa jagoan tidak?"
Pangeran Li Siu Ti baru menyadari akan hal ini.
Tadi dia te rlalu kagum dan girang melihat bahwa
tanpa dis angka-sangka dia telah mendapatkan dua
te naga yang hebat itu. "Benar, dia harus menggunakan senjata!"
te riaknya. "Harap paduka jangan khawatir, saya sudah
memiliki senjata. Inilah senjata saya!" kata Siauw
Can dan dia mencabut sulingnya, lalu mendekatkan suling di mulut dan meniup sebuah
lagu rakyat yang indah! Tentu saja semua orang
kembali tertawa. Bagaimana orang menghadapi
raksasa yang memiliki pedang bengkok yang
setajam itu, menggunakan sebatang suling dan
bahkan meniup suling itu dalam sebuah lagu"
Tentu saja Gondulam semakin marah . Pemuda
itu sungguh amat meremehkan dia. ''Bocah
sombong, kaulihat pedangku!" bentaknya dan
diapun sudah menerjang ke arah Siauw Can
sambil menggerakkan peang bengkoknya membacok. Pemuda itu masih enak-enak melanjutkan lagunya, seolah-olah tidak melihat
ada pedang membacok ke arah lehernya!
"Iiihhhhh........!!" Ai Yin menjerit saking ngerinya
melihat pedang tajam itu mengeluarkan sinar dan
menyambar ke arah le her pria yang dikaguminya.
Akan tetapi, begitu pedang menyambar dekat
le her, Siauw Can meloncat dan bacokan itu luput,
akan te tapi dia masih melanjutkan tiupan
sulingnya, karena lagu tadi belum habis. Hal ini
buat Gondulam semakin marah. Seolah-olah
keluar uap dari hidung dan mulutnya ketika dia
menyerang tadi, membacok dan menusuk bertubitubi. Makin lama semakin ganas karena kemarahannya semakin menyala. Siauw Can
berloncatan ke sana sini, terus memainkan lagu
dengan sulingnya sampai lagu itu selesai.
"Singggg........!" Pedang menyambar dekat sekali
dengan pahanya. Akan tetapi berbareng dengan
habisnya lagu, suling itu bergerak menjadi sinar
putih dan menangkis pedang itu.
"Tranggggg........!!" Nampak bunga api berpijar
dan Gondulam te rkejut setengah mati karena
hampir saja pedang bengkoknya te rlepas dari
pegangan ketika bertemu suling. Dan kini dia yang
repot mengelak dan memutar pedang melindungi
tubuhnya karena suling telah berubah menjadi
gulungan sinar yang mengelilingi tubuhnya,
membuat matanya berkunang karena dia tidak
tahu lagi ke arah mana ujung suling itu menotok.!
Dan semua tangkis annya tidak ada yang dapat
menyentuh suling. "Takkk!" Tiba-tiba kepalanya terpukul oleh
suling. Biarpun dia kebal dan kepalanya masih
te rlindung sorban, namun rasa nyeri menyengat
kepalanya sampai menembus ke ulu hati! Dia
menjadi nekat dan mencoba untuk balas 
menyerang dengan pedangnya, menusuk sampai
tiga kali. "Trang-trang-trangg.......tokkk!"
Kembali kepalanya te rkena pukulan, kini di
dekat tengkuk, membuat matanya berkunang.
Sambil menggereng, Gondulam menyerang lagi
membabi-buta, tidak lagi memperdulikan keselamatan diri. "Tak-tok-tokk!" Berturut-turut terdengar bunyi
nyaring ini dan ujung suling sudah menghantam
kepalanya, menotok tubuhnya di sana sini dan
paling akhir, suling itu mencongkel sorbannya
sehingga terlepas dari kepalanya yang ternyata
botak hampir gundul. Dan sebelum Gondulam tahu apa yang te rjadi,
tiba-tiba saja tubuhnya le mas dan diapun jatuh
te rduduk seolah kedua kakinya menjadi lumpuh.
Kiranya dia te lah terkena totokan yang ampuh,
yang menembus kekebalannya sehingga biarpun hanya untuk sebentar, tetap dia tidak mampu
mempertahankan diri dan jatuh terduduk.!
Siauw Can sudah melompat menjauhinya,
menghadap sang pangeran dan pute rinya, memberi
hormat dan Ai Yin menyambutnya dengan te puk
tangan yang diikuti para pengawal sehingga riuh
rendah. Biarpun mukanya menjadi pucat saking marahnya, Gondulam harus mengakui kekalahannya. Sorbannya terlepas, kepalanya yang
botak itu jelas memperlihatkan benjolan-benjolan
sebesar telur dan dia tadi telah jatuh.
Raja Muda Baducin bangkit dari te mpat duduknya, wajahnya sebentar pucat sebentar
merah. Kalau saja peristiwa ini terjadi bukan
dengan Pangeran Li Siu Ti, dia te ntu dapat
menerima kekalahan dua orang jagoannya. Akan
tapi di depan pangeran yang dia tahu tidak suka
kepada orang Turki itu! "Sudahlah, sekali ini aku mengaku kalah!
Pangeran, kami mohon diri, te rima kasih atas
pelajaran yang kami terima di sini."
Pangeran Tua Li Siu Ti merasa tidak enak. Kalau
raja muda ini mengadu kepada kaisar, tentu dia
akan menerima teguran dari kakaknya, Kaisar
Tang Kao Cu. Maka diapun cepat bangkit berdiri.
"Raja Muda Baducin, harap paduka maafkan
kami dan pengawal kami. Marilah kita makan
minum dan beri kesempatan kepada kami untuk
menghaturkan maaf dalam perjamuan."
'Terima kasih, pangeran. Kami masih mempunyai banyak urusan. Biarlah lain kali saja."
Raja Muda Baducin diikuti dua orang raksasa
kembar lalu keluar dari gedung itu, diantarkan
oleh Pangeran Tua Li Siu Ti sampai ke pekarangan
depan. Raja Muda itu lalu menaiki keretanya dan
diikuti rombongan pengawalnya, dia lalu meninggalkan tempat itu dengan hati yang panas!
Pangeran Li Siu Ti memanggil Siauw Can dan Bi
Lan ke ruangan dalam dan mereka berkumpul
semua di sana. Pangeran Siu Ti, Poa Kiu, Li Ai Yin,
Siauw Can dan Bi Lan ynng memangku Lan Lan.

Wajah pangeran itu berseri "Bagus! Bagus!
Sekarang baru aku yakin dan kami menerima
kalian bekerja di sini! Akan tetapi, coba perkenalkan diri kalian kepadaku dan ceritakan
riwayat kalian. "Apakah kalian ini suami isteri dan ini anak
kalian?" Ai Yin bertanya sambil mengamati wajah
Siauw Can dengan penuh kagum.
Siauw Can menggeleng kepala, "Bukan, tuan
pute ri......" "I hh, aku bukan puteri raja! Jangan sebut tuan
pute ri, sebut saja nona, dan namaku Ai Yin, Li Ai
Yin!" "Maaf, siocia (nona). Begini, pangeran. Saya
bernama Siauw Can dan ia bernama Kwa Bi Lan.
Kami masih saudara misan. Saya hidup sebatangkara, tiada orang tua tiada saudara,
Sedangkan adik misan Kwa Bi Lan inipun ditinggal
mati suaminya. Ia seorang janda yang mempunyai
seorang anak, yaitu Lan Lan ini."
"Hemm, anak yang manis. Siapa nama keluarganya?" tanya sang pangeran sambil memandang kepada ibu dan anak itu. Karena
Siauw Can sendiri tidak berani lancang memperkenalkan bahwa Bi Lan adalah is teri
mendiang Sin-tiauw Liu Bhok Ki, maka diapun
tidak mau menjawab dan membiarkan wanita itu
sendiri yang menjawab. "Nama keluarganya Liu, pangeran," kata Bi Lan.
Memang ia sudah mengambil keputusan untuk
merahasiakan bahwa Lan Lan sebenarnya adalah
pute ri pendekar Si Han Beng dan bernama Si Hong
Lan. Ia menganggap Lan Lan anaknya sendiri,
maka ia mengakui nama keluarganya sebagai Liu.
Pangeran Tua Li Siu Ti gembira sekali setelah
mereka memperkenalkan diri. "Kami senang sekali
menerima kalian sebagai pengawal-pengawal di
sini. Engkau, Siauw Can, engkau menjadi pengawal pribadiku dan aku akan menyerahkan
tugas-tugas yang te rpenting kepadamu. Engkau
boleh minta nasihat dari Poa Kiu dalam segala hal
karena dialah tangan kananku, orang kepercayaanku. Selain dia, engkau tidak boleh
mengadakan perundingan dengan orang lain."
"Terima kasih, Pangeran!" kata Siauw Can
sambil memberi hormat dengan berlutut sebelah
kaki. "Bukan pengawalmu saja, ayah! Kalau aku
sedang bepergian, akupun minta dikawal oleh
Siauw Can, agar aku merasa aman!" Li Ai Yin
berkata dan matanya bersinar-sinar memandang
kepada pemuda tampan dan gagah itu. Siauw Can
tahu diri dan pandai beraksi, dia hanya menunduk
seperti seorang pemuda yang alim!
"Ai Yin, selain dia ada Kwa Bi Lan di sini. Bi Lan,
engkau kami te rima sebagai pengawal keluarga
kami, engkau tinggal di sini bersama pute rimu,
menjaga keamanan di rumah ini, mengawal
keluarga kami kalau bepergian, dan juga kuangkat
menjadi guru dari Ai Yin. Ai Yin, bukankah engkau
selalu ribut ingin mencari guru silat yang pandai.!
Nah, engkau boleh belajar dari Bi Lan.
Ai Yin memandang kepada Bi Lan, lalu menoleh
ke arah Siauw Can, wajahnya berseri. "Akan tetapi,
akupun boleh minta petunjuk dari Siauw Can,
bukan" Kulihat dia lebih lihai dari Bi Lan!"
Sementara itu Bi Lan memberi hormat kepada
pangeran itu dan berte rima kasih. Demikianlah,
mulai hari itu Kwa Bi Lan dan Lan Lan
mendapatkan sebuah kamar di bagian belakang
istana itu, te mpat keputren. Ia dihadapkan kepada
isteri dan para selir pangeran, dan tentu saja ia
dite rima dengan gembira oleh keluarga pangeran
yang merasa te nte ram dengan adanya seorang
pengawal wanita yang berilmu tinggi di te ngahte ngah mereka. Mereka akan dapat tidur le bih
nyenyak sekarang. Dan Lan Lan yang mungil dan
lincah itupun, segera dapat menarik perasaan suka
di antara para keluarga itu, apalagi karena
Pangeran Tua Li Siu Ti tidak mempunyai anak lain
kecuali Li Ai Yin yang kini sudah dewasa dan yang
berwatak keras terhadap keluarga ayahnya. Adapun Siauw Can juga mendapatkan sebuah
kamar di bagian samping depan, di mana tinggal
pula para perwira pasukan pengawal yang kini
harus memandang Siauw Can sebagai atasan
mereka! Selain keluarga pangeran, semua pelayan
dan pengawal menyebut Siauw Can dengan
sebutan Siauw-taihiap (Pendekar besar Siauw) dan
Bi Lan disebut li-hiap (pendekar wanita).
Diam diam Siauw Can merasa girang bukan
main akan nasibnya yang amat baik. Tanpa
disangka-sangka, dengan mudah saja dia diangkat
menjadi pengawal pribadi dan kepala pengawal dari
Pangeran Tua! Sungguh merupakan kedudukan yang amat tinggi dan memberi harapan dan masa
depan yang amat cerah, karena dia tahu bahwa
pangeran itu merupakan orang yang kekuasaannya
besar, merupakan orang ke tiga setelah kaisar dan
pute ra mahkota. Dan di is tana pangeran itu
te rdapat Li Ai Yin yang jelas merupakan wanita
yang akan mudah dia dekati! Siapa tahu, melalui
gadis itu dia akan mendapatkan kedudukan yang
le bih tinggi lagi dari pada sekarang.
Bi Lan sendiri juga girang dengan keadaannya.
Ia hidup se rba kecukupan. Juga Lan Lan berada di
antara keluarga yang baik. Keluarga pangeran itu
rata-rata ramah dan berpendidikan. Ia sendiri
tidak mempunyai banyak pekerjaan kecuali hanya
bersikap waspada menjaga keamanan keluarga itu.
Isteri dan para selir pangeran semua bersikap
manis kepadanya dan kepada Lan Lan. Hanya satu
hal yang membuat Bi Lan merasa tidak senang,
yaitu sikap Li Ai Yin. Memang, diakuinya bahwa
gadis yang lincah dan genit itu bersikap cukup
baik dan bersahabat dengannya, bahkan harus
diakui bahwa gadis itu memiliki bakat yang cukup
baik dalam ilmu silat. Akan tetapi, gadis itu terlalu
genit dan secara terbuka sering membicarakan
Siauw Can dengannya. Gadis itu jelas amat tertarik
dan kagum kepada Siauw Can! Gadis seperti ini
akan mudah te rgelincir dan ia melihat bahaya
mengancam gadis remaja yang amat genit ini. Dan
ia merasa menjadi tugas kewajibannya untuk
mengamati gadis ini agar jangan sampai te rjerumus, walaupun ia belum menganggap Siauw
Can seorang pria yang berwatak buruk. Hanya
saja, pernah ia melihat sinar mata Siauw Can
menyala aneh ketika pemuda itu memandang Ai
Yin, dan iapun merasa khawatir.
-ooo0dw0ooo- Beberapa hari kemudian, ketika Siauw Can
duduk di pos penjagaan depan is tana, mengobrol
dengan dua orang perwira pasukan pengawal, tibatiba terdengar derap kaki kuda dan seekor kuda
besar dibalapkan penunggangnya memasuki halaman istana itu. Tentu saja hal ini merupakan
larangan dan semua penjaga sudah berloncatan,
te rmasuk dua orang perwira yang sedang asyik
mengobrol dan memberi keterangan tentang keadaan dan tugas-tugas di situ kepada Siauw
Can. Siauw Can sendiri mengangkat muka dan
bersikap waspada. Siapa tahu penunggang kuda
itu akan membuat kerusuhan dan dia harus siap
siaga. Akan te tapi, betapa herannya ketika dia melihat
para penjaga itu tiba-tiba menjatuhkan diri
berlutut menghadap si penunggang kuda yang
sudah menghentikan kudanya di pekarangan.
Bahkan dua oran g perwira yang tadi bicara dengan
dia, juga berlutut kepada penunggang kuda itu.
Siapakah penunggang kuda yang dihormati seperti
itu oleh para penjaga" Siauw Can mengamati
penuh perhatian tanpa keluar dari pos penjaga.
Penunggang kuda itu adalah seorang laki-laki
muda. Usianya paling banyak duapuluh tiga
tahun, akan tetapi dia bersikap anggun dan gagah,
juga amat berwibawa. Pakaiannya seperti seorang
bangsawan muda, akan te tapi sederhana kalau dibandingkan dengan para pemuda bangsawan
lainnya, dan biarpun pakaiannyya le bih mirip
seorang pelajar, namun jelas bahwa gerakannya
mengandung kekuatan besar. Terutama sekali
sepasang matanya, mencorong dan penuh wibawa,
seperti mata naga saja! "Selamat datang, Yang Mulia Pangeran!" kata
kedua orang perwira itu sambil berlutut. Pemuda
itu memandang kepada dua orang perwira yang
berlutut itu sambil mengerutkan alisnya. "Kalian
perwira komandan pasukan pengawal di rumah
paman pangeran ini?" Suaranya tegas dan lantang.
"Benar, yang mulia!"
"Hemm, apakah kalian belum mendengar bahwa
aku paling tidak suka melihat kele mahan para
perajuritku" Setiap orang perajurit, termasuk
kalian, kalau bertemu denganku, harus menghormat seperti perajurit menghormati atasannya, panglimanya!"
Mendengar ini dua orang perwira dan anak buah
mereka cepat bangkit dan kini berlutut dengan
sebelah kaki, melintangkan lengan ke depan dada
dan menghormat secara militer! "Selamat datang,
Panglima Besar!" teriak mereka serentak. Wajah
yang gagah itu kehilangan kekerasannya dan
bibirnya tersenyum, mengangguk se dikit.
Melihat dan mendengar semua in Siauw Can
merasa betapa kedua kakinya gemetar. Kiranya
pemuda itu adalah Sang Putera Mahkota, juga
Panglima Besar Li Si Bin.! Inilah orangnya yang
telah berhasil menggulingkan Kerajaan Sui, dan
kemudian mengangkat ayahnya menjadi Kaisar Tang Kao Cu, sedangkan dia sendiri menjadi
pute ra mahkota dan juga panglima besar! Semua
itu sudah didengarnya akan tetapi tidak pernah dia
melihat tokoh ini, karena ketika kerajaan Sui
jatuh, dia berada di penjara, kemudian dikeluarkan
oleh Pangeran Cian Bu Ong dan menjadi pembantu
pangeran Kerajaan Sui itu yang mencoba untuk
melakukan pemberontakan terhadap kerajaan
Tang yang baru namun gagal, Sete lah mengetahui
bahwa pemuda itu adalah Pangeran Li Si Bin,
Siauw Can cepat keluar dari dalam pos penjagaan,
langsung dia menghadap pangeran itu dan berlutut
dengan sebelah kaki seperti para perwira, memberi
hormat dengan sigapnya. "Panglima Besar!" serunya dengan sikap hormat
dan siap. Pangeran Li Si Bin memandang kepadanya dan
sejenak Siauw Can merasa seolah-olah seluruh
tubuhnya digerayangi sinar mata itu, membuat dia
merasa ngeri dan bulu tengkuknya meremang.
Belum pernah dia berjumpa dengan orang yang
memiliki wibawa sebesar ini!
"Hemm, engkau berpakaian seperti pelajar akan
tetapi memberi hormat seperti seorang perwira
militer! Engkaukah yang bernama Siauw Can dan
menjadi pengawal pribadi baru dari Paman
Pangeran Tua?" Diam-diam Siauw Can terkejut dan dia mencatat
di dalam hatinya, bahwa selain wibawa yang amat
besar, juga pute ra mahkota ini memiliki kecerdikan
yang mungkin akan dapat membahayakan dirinya.
"Benar sekali, Yang mulia!" jawabnya.
"Perwira, rawat kudaku ini, beri rumput yang
segar!" kata sang pangeran sambil menyerahkan
kendali kuda ke perwira yang cepat meloncat
berdiri dan menerima tugas itu.
"Minggirlah, jangan menghalangi jalan!" kata
pangeran Li Si Bin dan dengan gerakan wajar,
ketika dia melangkah maju hendak menuju ke
beranda depan, dia mendorong ke arah Siauw Can
yang masih berlutut dengan sebelah kaki. Dan
betapa kagetnya hati Siauw Can karena dari
tangan pangeran itu menyambar hawa pukulan
yang amat dahsyat, tanda bahwa pangeran
mahkota ini memiliki kekuatan sin-kang yang
hebat! Dia menjadi serba salah. Dia tahu bahwa pute ra
mahkota itu tidak bermaksud menyerangnya,
melainkan mungkin sekali hanya ingin mengujinya. Dia tidak boleh menangkis sehingga
membuat pangeran itu kesakitan, juga kalau dia
mengelak begitu saja dan dorongan itu luput,
berarti dia melakukan perlawanan. Maka dia
berpura-pura tidak tahu bahwa pangeran itu
mendorongnya dengan kekuatan sin-kang. Dia
bahkan mengerahkan te naga membuat tubuhnya
kaku dan ketika terdorong, tubuhnya terlempar
dalam keadaan setengah berlutut dan turun lagi
sampai tiga meter di belakangnya, dalam keadaan
berlutut seperti tadi, seolah-olah dia adalah se buah
arca yang dipindahkan Sedikitpun dia tidak
te rguncang, dan keadaannya sama seperti tidak
berubah! Kalau pangeran itu telah memperlihatkan
kekuatan yang dahsyat, sebaliknya Siauw Can memperlihatkan ilmu meringankan tubuh yang
luar biasa pula! Pangeran Li Si Bin memandang dan sinar kagum
memancar sebentar saja dari matanya. Dia
mengangguk dua kali lalu melanjutkan langkahnya
menuju beranda depan, dan meloncat masuk
istana itu begitu saja seperti memasuki rumah
sendiri. Hal ini tidaklah aneh. Pangeran Tua Li Siu
Ti adalah adik kaisar, jadi pamannya sendiri dan
dia sudah biasa keluar masuk ke rumah pamannya
itu secara kekeluargaan. Para penjaga pintu yang
melihatnya, segera memberi
hormat. Mereka melihat betapa pangeran mahkota tadi menegur
para perwira, maka merekapun tahu diri dan cepat
berlutut dengan sebelah kaki dan memberi hormat
secara milite r! Siauw Can menarik napas panjang ketika ia
bangkit berdiri. Kagum bukan main. De ngan hawa
pukulannya, pangeran mahkota itu telah dapat
membuat dia te rlempar sampai tiga meter! Jelas
bahwa pangeran ini diam-diam memiliki tenaga
sin-kang yang amat kuat, dan mungkin memiliki
ilmu kepandaian silat yang hebat pula, jauh lebih
hebat dibandingkan dua orang raksasa kembar
pengawal pribadi Raja Muda Baducin! Dia harus
berhati-hati terhadap pangeran ini yang selain
berkuasa besar, juga lihai dan cerdik bukan main.
Dia mulai merasa khawatir karena darimana
pangeran mahkota itu mengenalnya kalau tidak
mendengar dari orang-orang Turki itu" Keheranannya berkurang ketika dia ingat bahwa
pute ra mahkota tadi, sejak mudanya telah memimpin pasukan besar yang berhasil menumbangkan Kerajaan Sui.
Seorang panglima besar seperti itu, sudah pasti
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Seorang perwira
yang melihat betapa tubuh Siauw Can tadi
te rlempar sampai tiga meter, hanya menduga
bahwa pengawal baru ini te lah dikalahkan oleh
sang pangeran, maka dia menghampiri Siauw Can
dan berkata. "Taihiap, kepandaian Yang Mulia
Panglima Besar memang seperti dewa saja!"
Ucapannya mengandung kebanggaan seolah hendak mengatakan bahwa bagaimanapun juga,
pemuda ini masih kalah oleh junjungannya! Siauw
Can hanya te rsenyum, mengangguk dan diapun
melangkah memasuki istana dengan kepada menunduk. Sementara itu, di dalam taman bunga di sebelah
belakang istana, taman bunga yang indah, di dekat
kolam ikan emas, Ai Yin sedang berlatih ilmu silat,
di bawah pimpinan Kwa Bi Lan. Bi Lan memberi
pelajaran dasar-dasar ilmu silat yang diambilnya
dari ilmu silat Siauw-lim-pai, yaitu ilmu silat para
pendeta yang semula diajarkan hanya untuk
memperkuat dan menyehatkan badan, namun
kemudian oleh para murid bukan pendeta,
dikembangkan menjadi ilmu bela diri yang kokoh
dan tangguh. Ai Yin memang berbakat, dan
tubuhnya le ntur. Apa lagi ditambah orangnya
memang genit, maka gerakan-gerakannya juga
penuh gairah! "Bhe-si (Kuda-kuda) itu kurang sempurna,
siocia," kata Kwa Bi Lan.

"Eh, Bukankah punggung harus lurus ke atas,
kepala dikedikkan dengan pandang mata menatap
ke depan lurus. Kedua tangan santai di kedua
pinggang dengan kepala menelentang, dan kedua
kaki dite kuk bersiku lurus dan kekuatan dipusatkan di te ngah-tengah?" bantah Ai Yin. Ia
sedang membuat kuda-kuda yang disebut "menunggang kuda" dengan kedua kaki dite kuk
menjadi siku, dipentang seperti orang menunggang
kuda. Ia sudah melatih kuda-kuda ini berhari-hari
lamanya, seperti anjuran Bi Lan bahwa ilmu silat
yang baik memiliki dasar kuda kuda yang kuat
karena ibarat membuat bangunan, kuda-kuda
merupakan tiangnya, maka harus kokoh kuat dan
tidak bole h bosan berlatih. Pada hari-hari pertama,
seluruh tubuh Ai Yin terasa nyeri, terutama sekali
di bagian betis dan belakang paha. Untuk jongkok
saja rasanya kaku dan nyeri. Akan tetapi kini rasa
nyeri sudah banyak berkurang dan mendengar
kuda-kuda itu masih dikatakan kurang sempurna
te ntu saja ia menjadi kecewa dan membantah.
"Me mang sudah tepat, siocia, hanya sedikit
kesalahannya." "Di bagian mana yang salah?"
Kwa Bi Lan te rse nyum geli. "Di pinggul itu,
te rlalu menonjol ke belakang!"
Sang pute ri berdiri dan cemberut. "I hh! Tentu saja! Memang bukit pinggulku besar menonjol.
Bagus, ya?" Ia mengusap-usap pinggulnya dengan
bangga. Melihat ini, Bi Lan makin geli. Memang
pinggul pute ri itu indah dan montok membusung, akan tetapi ketika memasang kuda-kuda tadi,
te rlalu ditonjolkan belakang!
"Me mang indah, siocia. Akan tetapi dalam
memasang kuda-kuda, haruslah punggung lurus
benar. Dari tengkuk sampai ke pinggul, jangan
ditonjolkan pinggul itu terlalu ke belakang."
Ai Yin memasang kuda-kuda lagi, kini menarik
sedikit tonjolan pinggulnya sehingga menjadi siku
benar. "Nah, bagus begitu. Kalau terlalu ditonjolkan ke
belakang, perubahan gerakan kakimu bisa kaku
dan te rlambat. Sekarang tirukan gerakanku. Ini
merupakan jurus baru, siocia."
De ngan penuh perhatian Ai Yin meniru gerakan
silat Bi Lan, sedangkan Lan Lan bermain-main
dengan daun-daun kering yang rontok te rlanda
angin. Dengan tekun kedua orang wanita cantik ini
berlatih silat sampai Ai Yin berkeringat, dan
napasnya agak memburu sehingga ia menghentikan gerakannya. Ia telah pandai memainkan belasan jurus ilmu silat yang indah
dan tangguh. "Bagus sekali!" terdengar seruan disusul tepuk
tangan. Ai Yin dan Bi Lan cepat membalikkan tubuh dan
Bi Lan mengerutkan alis nya ketika melihat seorang
pria muda te lah berdiri di situ. Muncul dari balik
sebatang pohon dan kini bertepuk tangan memuji.
Betapa kurang ajarnya laki-laki ini, pikirnya dan ia
memandang dengan curiga, dan siap menghadapinya kalau orang ini hendak membuat

keributan. Akan tetapi, kalau tadinya ia mengira
sang pute ri akan marah-marah, sebaliknya begitu
melihat laki-laki yang bertepuk tangan memuji itu,
Ai Yin tersenyum girang dan lari menghampiri.
"Aih, kiranya paduka yang datang, pangeran.!
Kenapa tidak memberitahu lebih dulu agar kami
dapat menyambut." Dan Ai Yin cepat memberi
hormat dengan sete ngah berlutut.
Pemuda itu menyentuh pundak Ai Yin dan
berkata, "Bangkitlah, Ai Yin. Kita ini keluarga
sendiri, mengapa harus memberi kabar lebih dulu"
Dan aku girang sekali tadi tidak memberi kabar
sehingga dapat melihat engkau berlatih silat.
Engkau hebat! Kelak te ntu akan menjadi seorang
wanita sakti. Ha-ha-ha kelak suamimu harus
berhati-hati, jangan sampai membuat kesalahan
padamu, bis a remuk kepalanya, ha-ha..!"
Ai Yin juga te rtawa gembira. Bi Lan te rte gun.
Inikah putera mahkota yang juga menjadi panglima
besar itu" Inikah pute ra kaisar yang pernah ia
dengar dari Siauw Can" Bukan main! Masih begini
muda sudah dapat memimpin rakyat dan menggulingkan pemerintah Kerajaan Sui! Bahkan
mendiang suaminya pernah bicara tentang Li Si
Bin sebagai seorang pemuda yang menerima
petunjuk Tuhan sehingga mampu menggerakkan
peran rakyat je lata! Namanya berada di ujung bibir
setiap orang yang memuji dan memujanya. Inikah
orangnya" Pangeran itu sudah menggandeng tangan Ai Yin
dan menghampirinya. Melihat Kwa Bi Lan hanya
berdiri te rte gun, Ai Yin segera berseru, "Heii, enci
Bi Lan. Cepat beri hormat. Ini adalah kakak
sepupuku, yang mulia Pangeran Mahkota Li Si Bin,
panglima besar yang namanya sudah menggetarkan seluruh kolong langit!"
Bi Lan cepat memberi hormat kepada pangeran
itu, kemudian ia memondong Lan Lan dan berdiri
dengan kepala tertunduk, karena pangeran itu
mengamatinya dengan pandang mata tajam penuh
silidik. Mata itu! Mencorong seperti mata naga,
pikirnya dengan je rih. Wibawanya luar biasa,
membuat ia merasa dirinya menjadi kecil sekali.
"Engkaukah yang bernama Kwa Bi Lan dan kini
menjadi pengawal keluarga di rumah pamanku?"
tanya Pangeran Li Si Bin.
"Benar, pangeran," jawab Bi Lan lirih, diam-diam
merasa heran bahwa pangeran ini sudah mendengar pula tentang dia.
"Bukan hanya pengawal keluarga, pangeran.
Akan te tapi juga menjadi guruku. Akan te tapi aku
tidak mau menyebutnya subo (ibu guru). Lihat ia
masih begitu muda dan cantik, bagaimana aku
dapat menyebutnya subo" Enci Bi Lan, kau belum
memberitahu, berapa sih usiamu?"
Bi Lan merasa canggung dan sungkan sekali.
Kalau mereka berada berdua saja, tentu semua
pertanyaan pribadi dari Ai Yin akan dijawabnya
dengan senang hati. Akan tetapi kini pertanyaan
te ntang umur ditanyakan di depan seorang pria,
walaupun pria itu adalah pute ra mahkota dan
panglima besar! Betapapun juga, ia tidak berani
untuk tidak menjawab, maklum akan kekerasan
hati Ai Yin yang mudah te rtawa, mudah menangis
dan mudah marah-marah itu.
"Duapuluh empat tahun, siocia," jawabnya lirih
sambil menundukkan mukanya. "Sungguh membuat orang kagum.!" Kata pangeran itu
dengan suara lirih dan sungguh-sungguh, tidak
bernada mengeluarkan pujian kosong atau merayu
belaka. "Seorang wanita semuda ini sudah dapat
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan mampu
mengalahkan seorang jagoan seperti Gondalu!
Sungguh paman pangeran beruntung sekali
mendapatkan seorang pengawal keluarga seperti
nyonya muda ini. Akan te tapi, sungguh menyedihkan dan mengharukan, wanita semuda
ini telah menjadi seorang janda dengan seorang
anak." Berdebar rasa jantung dalam dada Bi Lan.
Ucapan itu begitu jujur dan sempat membuat ia
te rharu, akan te tapi ia tetap menunduk dan tidak
menjawab, hanya mendekap Lan Lan ke dadanya.
"Pangeran belum melihat kakak sepupunya yang
bernama Siauw Can. Dia le bih lihai lagi dan
sekarang menjadi pengawal pribadi ayah!" kata Ai
Yin. "Aku sudah berte mu dengan dia di luar tadi,"
kata Pangeran Li Si Bin, lalu dia kembali
memandang kepada Bi Lan yang menunduk saja.
"Kwa Bi Lan, kulihat tadi engkau mengajarkan
kuda-kuda dan jurus-jurus ilmu silat Siauw-limpai. Apakah engkau murid Siauw-lim-pai?"
Bi Lan te rkejut. Kiranya pangeran ini berpemandangan tajam dan pasti pandai ilmu silat
maka dapat mengenal jurus-jurus Siauw-lim-pai.
Tanpa mengangkat muka ia mengangguk. "Benar,
pangeran

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN