NAGA BERACUN JILID 10
Aku pernah menyewa kamar ini selama seminggu. Tidurkanlah anakmu, di sini tenang."
kata Hong San. De ngan hati lega dan berterima kasih Bi Lan lalumemasuki kamar itu, menidurkan Lan Lan di atas
pembaringan dan melepaskan buntalannya, meletakkannya di atas meja. Setelah menyalakan
sebatang lilin lagi untuk menambah penerangan di
kamar itu, iapun keluar dari dalam kamar.
"Baik, kongcu, aku akan berusaha mendapatkan
apa yang kaucari itu. Nah, aku akan pergi
sekarang juga. Nyonya, beristirahatlah, saya hendak pergi dulu mencarikan kuda dan kereta
yang dipesan kongcu." Petani itu menjura ke arah
Bi Lan, lalu keluar dari pondok, menutupkan daun
pintunya dengan hati-hati dari luar.
Bi Lan kini duduk menghadapi meja bersama
Hong San setelah pemuda itu mempersilakannya
duduk. Mereka saling berpandangan, dan keduanya kagum. Di bawah sinar lampu yang
remang-remang mereka saling mengagumi wajah
masing-masing. Hong San melihat betapa wajah
yang bulat itu berkulit putih mulus, juga leher dan
tangan itu. Putih mulus yang wajar. Hidung yang
mancung kecil itu mungil dan mata itu bagaikan
sepasang bintang, gemerlapan tajam. Di lain pihak,
Bi Lan juga kagum. Pemuda yang usianya sekitar
duapuluh tujuh tahun itu memang tampan dan
gagah. Pakaiannya seperti seorang sastrawan,
sederhna namun bersih. Caping lebar yang tadi
dipergunakannya, kini te rgantung di dinding.
Wajah itu jantan. Hidungnya mancung dan besar,
matanya tajam agak terlalu hitam, dan bibirnya
kemerahan seperti bibir wanita, akan te tapi lebih
besar dan penuh gairah. Kulitnya agak coklat dan
wajah itu membayangkan ketampanan orang dari
daerah barat. Hal ini tidak aneh karena Can Hong
San memang berdarah Nepal. Ibu kandungnya
seorang puteri Nepal! "Nah, sekarang kuharap engkau suka memperkenalkan dirimu, nyonya, te ntu saja kalau
engkau percaya kepadaku."
Bi Lan menarik napas panjang. "Tentu saja aku
percaya kepadamu, tai-hiap.. !"
"Nanti dulu, nyonya!" Hong San menghentikan
dengan mengangkat tangan kanan ke atas. "Harap
engkau tidak menyebut aku tai-hiap, sungguh
hanya membuat aku merasa malu dan canggung!"
Lalu ia menatap tajam wajah yang manis itu.
"Maukah engkau menyebut aku toako (kakak)
saja" Namaku Hong San dan aku sama sekali tidak
suka disebut tai-hiap (pendekar besar), apa lagi
oleh seorang wanita perkasa seperti nyonya."
Bi Lan te rsenyum. "Hemm, engkau melarangku
menyebutmu tai-hiap, akan tetapi engkau sendiri
menyebut aku nyonya! Seharusnya aku menyebut
tuan kepadamu, akan te tapi engkau ingin aku
menyebut toako. Kalau aku menyebut kakak, apa
sebutan seorang kakak terhadap adiknya?"
Hong San tertawa gembira. Biarpun tidak
banyak bicara, te rnyata wanita ini dapat diajak
berkelakar.
"Baiklah, aku akan menyebutmu moi-moi (adik
perempuan). Aneh, seorang kakak tidak tahu nama
adiknya!" "Toako, namaku Bi Lan, Kwa Bi Lan." "Hemmm,
nama yang indah sekali!"
"Kiranya selain gagah perkasa, engkau juga
seorang perayu, toako. Namaku biasa saja engkau
katakan indah." "Maaf, Lan-moi. Aku bukan bermaksud merayu,
hanya........ah, sudahlah, aku hanya berkelakar,
lanjutkan bicaramu."
"Bicara apa lagi" Sudah kuperkenalkan namaku.
Aku Kwa Bi Lan dan ana kku itu, namanya Lan
Lan." "Dan siapa nama suamimu" Di mana te mpat
tinggalmu dan kenapa engkau melakukan perjalanan berdua saja dengan anakmu yang
masih kecil" Darimana dan hendak ke manakah
engkau pergi, Lan-moi?"
Bi Lan melirik ke arah wajah pemuda itu,
te rsenyum sedih. Orang ini demikian memperhatikan dirinya dan pertanyaannya datang
seperti banjir saja. "Toako, engkau ingin tnhu segalanya, akan
tetapi engkau tidak mau menceritakan segalanya
te ntang dirimu sendiri. Engkau hanya memperkenalkan namamu, dan akupun sudah
membalas dengan memperkenalkan nama kami.
Kalau ingin mendengar tentang keadaan dan
keluargaku, tidakkah sepatutnya kalau seorang
laki-laki lebih dahulu menceritakan tentang
dirinya?" "Ha-ha-ha, engkau tidak mau kalah, itu tandanya engkau belum percaya benar kepadaku.
Baiklah, akan kuceritakan semua tentang diriku,
akan tetapi tidak ada yang menarik tentang diriku.
Aku berusia duapuluh tujuh tahun, aku hidup
sebatangkara, belum pernah menikah, yatim piatu
dan tidak mempunyai keluarga seorangpun. Aku
tidak mempunyai te mpat tinggal yang te tap.
Seorang kelana yang tidak mempunyai apa-apa.
Guruku adalah ayahku sendiri yang sudah
meninggal dunia, bernama Can Siok. Selama ini
aku hanya mengembara, kemana saja hati dan
kaki ini membawaku. Nah, hanya inilah cerita
te ntang diriku, Lan-moi. Sama sekali tidak
menarik, bukan?" Bi Lan mendengarkan dengan heran. Seorang
pemuda yang begini tampan gagah, berilmu tinggi,
usianya sudah sangat dewasa, kenapa hidup
seorang diri saja dan tidak menikah" Tentu
seorang pendekar petualang ynng selalu ingin
hidup bebas.! "Eh" Kenapa engkau diam saja, Lan-moi" Aku
sudah siap mendengarkan cerita tentang dirimu!"
Bi Lan menghela napas panjang. "Kalau engkau
mengatakan bahwa riwayatmu tidak menarik,
sebaliknya riwayatku le bih buruk lagi, malah
hanya menyedihkan saja."
"Yang sudah lalu hanya menjadi kenangan, Lanmoi, tidak ada gunan ya disedihkan lagi. Nah,
ceritakanlah, aku ingin sekali mendengar agar
perkenalan antara kita menjadi lebih akrab."
"Akupun hidup berdua saja dengan anakku Lan
Lan. Sekarang inipun aku masih belum mempunyai te mpat tinggal yang te tap." Bi Lan
berhenti seolah-olah cerita tentang dirinya habis
sekian saja. "Tapi, suamimu.........?" Hong San mendesak.
"Dan siapa pula gurumu, orang tuamu?"
"Kedua orang tuaku sudah lama meninggal
dunia. Dan suamiku, dia juga guruku sendiri, dia
sudah meninggal dunia........."
Mendengar suara yang mengandung duka itu,
Hong San menarik napas panjang dan diam-diam
dia menekan perasaan girangnya mendengar
bahwa wanita ini adalah seorang janda!
"Aih, maafkan pertanyaanku tadi, Lan-moi.
Siapa kira, semuda ini engkau telah ditinggal mati
suami dan hidup berdua saja dengan seorang
pute ri. Kalau boleh aku bertanya, siapakah nama
mendiang suamimu" Kalau dia menjadi gurumu,
te ntu dia lihai sekali."
"Nama mendiang suami dan juga guruku adalah
Liu Bhok Ki..........."
Hong San terbelalak dan dia demikian te rkejut
sehingga bangkit berdiri dari kursinya. "Dia......"
Kau maksudkan Sin-tiauw (Si Rajawali Sakti) Liu
Bhok Ki?" Melihat kekagetan pemuda itu, Bi Lan tidak
merasa heran. Nama besar mendiang suaminya
memang amat te rkenal di dunia persilatan. Iapun
mengangguk bangga. "Aihhhh, pantas kalau begitu," kata Hong San
sambil duduk kembali dan memandang kagum.
"Pantas kalau engkau memiliki ilmu silat yang
lihai. Kiranya murid dan juga is te ri Si Rajawali
Sakti. Akan te tapi, maaf Lan-moi. Kulihat tadi
dalam gerakan silatmu ada dasar ilmu silat Siauwlim-pai." "Penglihatanmu tajam sekali, toako dan ini
membuktikan bahwa ilmu kepandaianmu sudah
sangat tinggi. Memang, sebelum aku menjadi
murid suamiku, a ku pernah mempelajari ilmu silat
Siau-lim-pai." "Hebat ...! Murid Siauw-lim-pai yang kemudian
menjadi murid Si Rajawali Sakti! Aku girang sekali
dapat berte mu dan berkenalan denganmu, Lanmoi! Lalu kemana engkau hendak pergi?"
Sampai lama Bi Lan berdiam diri.
Ia sendiri tidak dapat menjawab karena memang
ia tidak tahu kemana ia akan pergi! Ia telah
menculik Lan Lan dan ia tidak berani kembali ke
rumah suaminya di Kim-hong-san, karena tentu Si
Han Beng dan Bu Giok Cu akan mencari anak
mereka dan mengejarnya kesana!
Dan ia pasti tidak akan mampu mempertahankan kalau mereka itu merampas Lan
Lan. Ilmu kepandaian mereka terlampau tinggi
baginya. Melawan Bu Giok Cu saja ia tidak akan
menang, apalagi melawan Si Han Beng dan lebihle bih menghadapi mereka berdua! Dan ia sudah
jatuh cinta kepada anak itu yang kini menyebut
ibu kepadanya. Ia tidak mempunyai suatu tempat
untuk pergi, maka pertanyaaan Hong San membuat ia bingung, tidak tahu bagaimana harus
menjawab. Kemudian ia te ringat kepada pamannya Lie Koan
Tek. Daripada tidak dapat menjawab, dia lalu
berkata. "Aku masih mempunyai seorang paman, saudara
dari mendiang ibuku. Aku akan mencari pamanku
itu, toako." "Siapakah pamanmu itu?"
"Dia seorang tokoh Siauw-lim-pai namanya Lie
Koan Tek." "Lie Koan Tek.......?" Hong San te rbelalak.
Terbayanglah kini ketika dia berte mpur melawan
Lie Koan Tek, dikeroyok oleh Poa Liu Hwa isteri
mendiang Kam Seng Hin ketua Hek-houw-pang,
kemudian muncul seorang gadis perkasa dan...........Hong San te rbelalak.
"Ahhhhh........!!" Dia meloncat dari
tempat duduknya, bangkit berdiri dan memandang kepada
Bi Lan dengan kaget. Inilah gadis yang dulu
membantu Lie Koan Tek dan Poa Liu Hwa!
"Ada apakah, toako" Engkau kelihatan te rkejut
sekali." Hong Sen cepat mengerahkan te naga untuk
menenangkan hatinya dan wajahnya yang tadi
berubah agak pucat itu menjadi merah kembali.
Dia bukan terkejut mendengar nama Lie Koan Tek,
melainkan terkejut ketika teringat bahwa gadis
inilah yang dulu pernah membantu Lio Koan Tek
mengeroyoknya. Tak dapat dia membayangkan
bagaimana akan sikap wanita ini kalau mengenalnya! "Aku memang te rkejut mendengar nama pamanmu. Tentu saja aku mengenal nama itu.
Yang mengejutkan adalah karena engkau hendak
mencarinya. Padahal menurut pendengaranku,
pamanmu adalah seorang pelarian dan buruan
pemerintah! Kabarnya dia telah melarikan diri dari
penjara, bahkan membantu gerakan pemberontak.
Bagaimana engkau akan mencari pamanmu yang
sedang diburu pemerintah?"
Bi Lan menarik napas panjang. Tentu saja ia
tahu akan hal itu dan kalau tadi ia mengatakan
hendak mencari pamannya, hal itu dilakukan
hanya agar dapat menjawab pertanyaan Hong San
saja. "Aku tahu akan hal itu, toako. Akan tetapi......aku tidak tahu lain tempat lagi yang
dapat kuharapkan menjadi tempat tinggalku. Aku
akan berkelana saja......." katanya sedih.
Hong San tersenyum. Dia sudah mampu
menguasai dirinya lagi. Jelas bahwa Bi Lan tidak
ingat kepadanya. Pertemuan antara mereka hanya
te rjadi sebentar saja, dan itupun dalam perte mpuran, sehingga wanita ini tidak mengenal
dan tidak mengingatnya sama sekali. Betapapun
juga, dia harus berhati-hati dan ada sesuatu yang
tidak nyaman rasanya di hati setelah dia mengetahui siapa wanita ini. Kalau sampai Bi Lan
mengenalnya.! "Lan-moi, kalau engkau hidup seorang diri,
kiranya tiada salahnya menjadi seorang pengelana
seperti aku ini. Akan tetapi ingat, engkau
mempunyai seorang pute ri yang masih kecil. Tidak
mungkin akan mengajaknya berkelana tanpa
tujuan" Tidak baik bagi pendidikan puterimu."
"Aku mengerti, toako. Akan tetapi apa dayaku"
Aku tidak tahu ke mana harus pergi."
He ning sejenak. Hong San tidak mau tergesagesa. Dia harus mengakui bahwa setelah kini
wanita itu duduk di depannya, dekat dan di bawah
sinar lampu sehingga dia dapat mengamati wajah
itu dengan jelas. Setelah wanita itu bicara, apalagi
setelah mendengar bahwa wanita itu s eorang janda
muda yang hidup sebatangkara, hatinya semakin
te rtarik dan dia tahu bahwa sekali ini dia jatuh
cinta! Belum pernah perasaan seperti ini menguasai
hatinya. Bias anya terhadap wanita cantik, hanya
berahinya yang timbul. Akan te tapi sekali ini lain.
Dia ingin memiliki Bi Lan seluruhnya dan
sepenuhnya, untuk selamanya. Dia ingin menyenangkan hati wanita ini, membahagiakannya, dan dia ingin berdampingan
selamanya! Dia ingin membuat wajah yang manis
ini selalu tersenyum dan cerah berseri. Akan tetapi
dia harus berhati-hati. Kalau janda ini sampai
dapat menje nguk dan mengetahui latar belakang
kehidupannya! Dia ngeri membayangkan akibatnya.
Tiba-tiba dia seperti dipaksa ole h sesuatu
mengangkat mukanya menatap wanita itu. Dan
te rnyata wanita itupun sedang memandang kepadanya. Agaknya pandang mata wanita itulah
yang tadi menyentuh perasaannya dan membuatnya mengangkat muka memandang. Dua
pasang mata bertaut sejenak, lalu Bi Lan
menundukkan mukanya. "Lan-moi, apakah engkau percaya kepadaku?"
tiba-tiba Hong San bertanya.
"Eh" Kenapa, toako" Tentu saja aku percaya
padamu. Engkau adalah penolongku."
'Kita baru saja bertemu, engkau belum mengenal
benar siapa diriku, dan orang macam apa adanya
aku. Mungkin saja aku ini seorang penipu, seorang
penjahat...... " "Aih, jangan mengada-ada, toako. Aku yakin
bahwa engkau seorang yang baik budi, gagah
perkasa, dan........."
"Belum te ntu, Lan-moi. Di dunia ini, di mana
ada manusia sempurna tanpa salah" Akupun,
sebagai manusia biasa, pernah melakukan kesalahan, pernah tersesat dan berdosa........"
"Sudahlah, toako. Apa sebetulnya yang hendak
kaukatakan maka engkau bertanya apakah aku
percaya kepadamu" Aku percaya.! N ah, lalu apa?"
Hong San menelan ludah. Baru sekarang dia
merasa begini gugup dan te gang! "Begini, Lan-moi..
Biarpun kita baru saja saling berte mu secara
kebetulan dan saling berkenalan, namun rasanya
bagiku engkau seorang sahabat lama dan kita saling percaya. Engkau dan puterimu hidup
sebatangkara, dan akupun demikian. Maukah
engkau kalau aku mencarikan sebuah tempat
tinggal untuk engkau dan anakmu di mana e ngkau
akan hidup dengan tenang dan tenteram?"
Sejenak Bi Lan hanya memandang wajah
pemuda itu. Sungguh luar biasa kalau ada kenalan
baru hendak menolongnya seperti itu.! Ia merasa
te rharu, akan tetapi juga heran.
"Can-toako, kita baru saja berkenalan dan
engkau sudah bersikap begini baik kepada kami.
Seorang anggota keluarga sendiri belum tentu
sebaik engkau! Kenapa engkau begini baik kepada
kami dan ingin mencarikan te mpat tinggal untuk
kami" Ke napa, toako?"
Menghadapi sepasang mata yang bersinar tajam,
yang memandangnya penuh selidik ini, Hong San
tidak tahan menentang terlalu lama. Dia khawatir
kalau sinar mata itu akan mampu menje nguk dan
melihat latar belakang kehidupannya yang lalu! Dia
lalu menunduk, menghela napas panjang beberapa
kali sebelum menjawab dengun sukar.
"Kenapa aku ingin menolongmu" Ah kenapa, ya"
Mungkin karena aku merasa kasihan sekali
kepadamu dan kepada pute rimu, Lan-moi. Sejak
kita saling jumpa ketika engkau dikeroyok
perampok itu sudah timbul perasaan yang luar
biasa dalam hatiku. Aku tidak berani mengatakan.......eh, cinta, itu akan terlalu lancang
karena kita baru saja berkenalan. Akan tetapi, aku
merasa kasihan dan ingin menolongmu,
membantumu, membahagiakan engkau dan anakmu, Lan-moi. Maafkan kelancanganku ini......"
Sejenak Bi Lan berdiam diri, menundukkan
mukanya yang menjadi merah sekali. Ia meneliti
perasaan sendiri, merasa kagum kepada laki-laki
ini, kagum dan berte rima kasih. Akan tetapi lakilaki ini menyinggung soal cinta dan untuk itu, ia
harus menjenguk lebih dalam dan ini membutuhkan waktu untuk dapat menentukan.
"Toako, tidak perlu meminta maaf. Orang-orang
seperti kita memang sebaiknya kalau berte rus
te rang secara jujur," katanya.
"Terima kasih, Lan-moi. Memang sebaiknya
begitu, aku tadi hanya takut kalau sampai
menyinggung perasaanmu. Aku tidak berani
mengatakan cinta karena selama ini aku belum
pernah jatuh cinta kepada seorang wanitapun.
Banyak wanita yang menarik, akan te tapi belum
pernah aku merasakan jatuh cinta. Akan tetapi
yang je las, aku merasa kasihan dan sayang
kepadamu. Terimalah uluran tanganku untuk
membantumu, Lan-moi. Tentu saja, kalau engkau
percaya kepadaku. Kalau e ngkau tidak percaya dan
menyangka ada maksud te rtentu yang buruk
dalam hatiku terhadap dirimu, tentu aku tidak
akan berani memaksamu."
Kalaupun ada keraguan di hati Bi Lan, maka
keraguan itu tentu akan lenyap setelah mendengar
ucapan pemuda itu yang demikian "jujur" dan
meyakinkan. "Bagaimana aku berani menolak niat baikmu,
toako" Apa lagi engkau tadi sudah menyuruh pemilik rumah ini mencarikan kuda dan kereta.
Aku berte rima kasih dan menerima uluran
tanganmu, akan tetapi dengan satu syarat, yaitu
bahwa kalau kelak aku merasa tidak cocok dengan
te mpat itu atau denganmu, aku akan membawa
anakku pergi mengambil jalanku sendiri, dan
harap engkau tidak menuduh aku tidak mengenal
budi." Hong San tertawa dengan gembira, wajahnya
berseri. "Tentu saja, Lan-moi. Tentu saja engkau
bebas untuk menentukan langkahmu sendiri. Aku
sudah merasa cukup bangga dan puas bahwa kau
dapat mempercayaiku!"
Pemilik rumah itu datang memberi laporan
bahwa ada seorang penduduk dusun yang mau
menjual kudanya, adapun keretanya dapat dibeli di
kota Peng-lu. Karena pembelian mendadak dan
te rgesa-gesa, tentu saja Hong San harus membayar
hampir dua kali lipat harga umum.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebuah
kereta meninggalkan dusun itu, dikusiri oleh Hong
San. Bi Lan dan Lan Lan duduk di dalam kereta
yang dilarikan dengan cepat. Mereka menuju ke
kota raja! -ooo0dw0ooo- "Akan tetapi, kenapa ke kota raja" Apakah
engkau mempunyai keluarga di sana, toako"
Ataukah sahabat?" Bi Lan bertanya ketika malam
itu mereka berhenti di sebuah dusun di luar kota
raja Tiang-an.
"Di kota raja yang ramai kita dapat dengan
mudah mencari rumah tinggal yang baik, Lan-moi.
Juga daerah paling aman sekarang ini adalah di
kota raja. Selain itu, di kota besar ini kita akan
dapat mencari penghasilan dengan mudah. Aku
sendiri dapat berdagang, atau juga mencoba untuk
mendapatkan kedudukan."
Bi Lan diam saja. Ia tidak dapat banyak memilih
dan menyerahkan saja pada pemuda ini. Sikap
yang selalu sopan dan ramah dari pemuda ini
memang membuat ia percaya sepenuhnya. Akan
tetapi ia masih ragu-ragu apakah ia dapat
membalas kasih sayang pemuda itu kepadanya.
Ada sesuatu yang membuatnya ragu. Pemuda ini
seperti menyimpan suatu rahasia, dan kadang
sikapnya aneh dan tidak wajar. Juga, sepasang
mata yang te rlalu hitam dari pemuda itu kadangkadang membuatnya merasa ngeri. Kadang-kadang
ia seperti melihat sinar yang aneh, penuh
kekejaman. Kadang sinar yang dingin dan acuh,
akan tetapi segera berubah lagi menjadi ramah,
memancar dari sepasang mata itu.
"Lan-moi, sebelum kita memasuki kota raja, ada
sesuatu yang perlu kau tahui dan aku memerlukan
bantuanmu." Setelah mereka agak lama berdiam diri Hong
San bicara dengan suara halus dan lirih, seolah dia
tidak ingin ada orang lain mendengar ucapannya.
Bi Lan mengerutkan alisnya dan mengangkat
muka, memandang kepada pemuda itu. Sinar mata
pemuda itu nampak mengandung kecerdikan, akan
tetapi juga kekhawatiran. "Ada apakah, toako" Katakanlah, dan tentu s aja
aku siap membantumu."
"Ketahuilah, Lan-moi, bahwa kerajaan Tang yang
sekarang ini, yang baru tiga empat tahun berdiri,
dahulunya merupakan pemberontak-pemberontak
te rhadap Kerajaan Sui."
"Tentu saja," kata Bi Lan. "Setiap kerajaan atau
pemerintahan baru yang merebut pemerintahan
lama tadinya adalah pemberontak."
"Nah, ketika Panglima Li Si Bin memimpin
pasukan pemberontak, aku pernah membantu
pasukan Kerajaan Sui untuk menentang pemberontak. Akan tetapi pasukan pemerintah
gagal dan kalah. Kaisar Yang Ti melarikan diri dan
akupun meninggalkan pasukan pemerintah."
Bi Lan tidak merasa heran. Dalam suasana
perang saudara seperti itu, banyak orang te rlibat,
dan diapun tahu bahwa banyak pendekar yang
dahulu membantu Kerajaan Sui untuk melawan
pemberontak yang kemudian memperole h kemenangan dan kini menjadi Kerajaan Tang yang
baru." "Lalu mengapa, toako" Hal itu adalah wajar
saja." "Akan tetapi, namaku telah dikenal oleh mereka,
Lan-moi. Karena kini mereka yang berkuasa, maka
te ntu akan ditangkap sebagai sisa pengikut kaisar
lama, kalau mereka mengetahui bahwa aku berada
di kota raja."
Bi Lan mengerutkan alisnya. "Kalau sudah
begitu, kenapa engkau malah mengajakku ke kota
raja, toako?" "Kurasa Panglima Li Si Bin dan ayahnya yang
kini menjadi Kaisar Tang Kao Cu, hanya mengenal
namaku saja, tidak pernah melihat orangnya.
Kalau aku berganti nama, kiraku tidak akan ada
yang tahu bahwa aku dahulu membantu kerajaan
Sui untuk menentang mereka. Karena itu, aku
mengharapkan bantuanmu Lan-moi, agar engkau
memaklumi pergantian namaku. Aku akan menggunakan nama Siauw Can saja sehingga
engkau masih tetap menyebutku Can-toako."
Bi Lan te rsenyum. "Baik, toako. Nama baru itu
sebetulnya tidak baru. Siauw Can berarti Can
Muda, jadi engkau masih tetap mempergunakan
nama keturunmu, hanya nama kecil Hong San s aja
yang tidak kaupergunakan."
"Engkau benar, Lan-moi. Akan tetapi dengan
menggunakan nama Siauw Can, orang akan
menganggap bahwa nama keturunanku adalah
Siauw, dan nama kecilku Can. De ngan demikian,
akan aman, bukan?" De mikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi
mereka meninggalkan dusun itu. Seperti biasa,
Hong San atau sekarang kita sebut saja Siauw Can
menjadi kusir. Bi Lan dan Lan Lan berada di dalam
kereta. Sengaja Bi Lan membuka tirai pintu agar
dia dan Lan Lan dapat melihat keadaan di
sepanjang jalan. Makin mendekati pintu gerbang kota raja,
semakin ramailah jalan raya itu. Agaknya para penduduk dusun banyak yang membawa barang
dagangan mereka, hasil sawah ladang dan hasil
sungai ke pasar di kota raja. Para petani yang
memikul barang dagangan mereka atau yang
mendorong dengan kereta, berbondong-bondong
memasuki pintu gerbang selatan. Banyak pula
wanita dusun yang membawa barang dagangan,
ada yang memikul, ada yang membawa keranjang.
Siauw Can menjalankan keretanya perlahanlahan. Jalan raya menuju ke kota raja itu cukup
le bar, akan te tapi karena banyaknya orang yang
lalu lalang berbondong-bondong, dia harus menjalankan keretanya dengan hati-hati.
Tiba-tiba nampak betapa orang-orang itu mempercepat jalan mereka, bahkan nampak
te rgesa-gesa dan wajah mereka membayangkan
ketakutan. Melihat hal ini, Bi Lan berkata dari
dalam kereta. "Can-toako, apakah yang te rjadi" Orang-orang
itu nampak ketakutan!"
Siauw Can membawa keretanya ke te pi jalan dan
berhenti. "Akupun tidak tahu mengapa, Lan-moi.
Biar kutanyakan kepada mereka."
Dari atas keretanya Siauw Can lalu bertanya
kepada seorang petani yang memikul ketelanya.
"Paman, apakah yang te rjadi" Kenapa kalian
kelihatan ketakutan?"
Petani itu menengok, akan te tapi tidak menjawab, melainkan dengan telunjuk kirinya dia
menuding ke arah depan dan melanjutkan
perjalanannya dengan te rgesa-gesa.
Siauw Can dan Bi Lan memandang ke arah yang
ditunjuk. Mereka kini melihat serombongan orang,
tujuh orang jumlahnya, berjalan melenggang
sambil tertawa-tawa. Mereka itu bukan orang Han,
karena pakaian mereka berbeda. Berjubah panjang
dengan sepatu kulit yang tinggi, dan kepala
merekapun te rtutup topi bulu. Mereka adalah
orang-orang Turki! Di pinggang mereka tergantung
golok melengkung. Rata-rata mereka berwajah
tampan dengan kumis melintang, usia antara
tigapuluh sampai empat puluh tahun. Seorang di
antara mereka yang berusia empatpuluhan tahun,
dengan codet atau bekas luka di pipi kanan,
memegang sebatang cambuk hitam.
Agaknya mereka inilah yang menimbulkan
suasana ketakutan karena semua orang yang
menuju ke kota raja dan berpapasan dengan tujuh
orang ini, semua lalu minggir dan bahkan
menyeberang untuk mengambil sisi lain agar
jangan sampai berpapasan dekat dengan tujuh
orang itu. Seorang petani yang membawa sepikul kentang,
berhenti di dekat kereta. Dia sudah tua, usianya
sudah enampuluh tahun lebih. Dia berhenti untuk
menghapus keringatnya. Seluruh tubuh atas yang
tidak berbaju itu penuh keringat, juga wajah petani
itu nampak gelisah. Kesempatan ini dipergunakan
oleh Siauw Can untuk turun dari atas kereta
mendekati petani itu. "Paman, kami bukan orang sini. Tolong beri tahu
kenapa semua orang ketakutan melihat tujuh
orang asing itu?" tanyanya.
De ngan wajah ketakutan petani itu memandang
kepada Siauw Can, kemudian menje nguk ke dalam
kereta. "Kalau begitu, sebaiknya kongcu cepat pergi
dari sini, membawa kereta ini jauh-jauh. Mereka
itu orang orang Turki yang sering membikin ribut,
apalagi urusan wanita cantik!" Dengan tergesa-gesa
diapun cepat memikul dagangannya, menyeberang
dan melanjutkan perjalanannya.
"Tar-tar-tarrr......" te rdengar
bunyi cambuk meledak-ledak, disusul jerit suara wanita.
Siauw Can dan Bi Lan cepat mengangkat muka
memandang. Kiranya si codet pemegang cambuk
tadi telah menggerakkan cambuk secara luar biasa
sekali. Cambuk itu menyambar-nyambar ke arah seorang wanita dusun, masih muda, antara
duapuluh lima tahun usianya, dengan wajah
sederhana. Cambuk itu menyambar-nyambar tanpa melukai wanita itu, akan tetapi merobekrobek baju atasnya sehingga kini wanita itu
menjerit-jerit dengan tubuh atas telanjang bulat!
Tentu saja ia menggunakan kedua le ngan untuk
memeluk dadanya, berlari ketakutan sambil
menangis. Tujuh orang itu te rtawa bergelak
melihat hal itu, seolah-olah melihat sesuatu yang
lucu. "Bedebah......!" Bi Lan menyumpah dengan muka
berubah merah sekali. Kini mengertilah ia mengapa
semua orang ketakutan melihat tujuh orang asing
itu. Kiranya mereka adalah orang-orang yang suka
bertindak sewenang-wenang tanpa ada yang berani
menentang.! Iapun menduga bahwa wanita tadi
memang hanya dihina saja, dibuat lelucon.
Andaikata wanita itu cantik, tentu akan lain
jadinya dan ngeri ia membayangkan apa yang
pernah dilakukan tujuh orang ini te rhadap wanita
dusun yang cantik. Bi Lan memaki sambil meloncat turun dari
kereta. Suaranya terdengar oleh tujuh orang itu
dan mereka menengok. Sejenak mereka itu
te rtegun, tak mengira di te mpat itu akan melihat
seorang wanita muda secantik itu turun dari
kereta. Kemudian, mereka bicara dan te rtawatawa. Entah apa yang mereka bicarakan, Bi Lan
tidak mengerti karena mereka mempergunakan
Bahasa Turki. Sambil tertawa-tawa tujuh orang itu
menghampiri Bi Lan yang memondong Lan Lan.
Si codet, yang agaknya menjadi pemimpin
rombongan orang Turki itu, kini menghadapi Bi
Lan dan matanya yang bulat dan hitam itu seperti
hendak menelan wanita di depannya bulat-bulat.
Agaknya mereka juga melihat bahwa wanita cantik
itu bukan keluarga pejabat karena selain kereta itu
kereta biasa, juga tidak ada pengawal, dan
kusirnya seorang pemuda berpakaian biasa. Kalau
te rhadap keluarga pejabat, tentu mereka tidak
akan berani bertindak sembarangan.
"Nona manis, dari mana dan hendak ke mana"
Marilah kami menjadi pengantar dan pengawal
nona!" katanya dengan logat yang aneh dan lucu.
"Heh-heh, nona boleh pilih di antara kami, siapa
yang berkenan di hati nona" Pilih saja aku yang
paling jantan di antara kami, ha-ha-hal" kata orang
ke dua. Orang ini memang nampak jantan, dengan
kumis yang indah dan jenggot yang terpelihara rapi, tumbuh dari bawah te linga dengan lebat
sekali! "Kalian ini orang-orang biadab! Kalian tadi
menghina seorang wanita, dan sekarang berani
mengganggu aku" Agaknya kalian memang sudah
bosan hidup, ya" Anjing-anjing liar, pergilah
sebelum aku menghajar kalian!" Bi Lan masih
menahan kesabarannya karena Siauw Can berkedip kepadanya minta agar ia bersabar.
Tentu saja ucapan Bi Lan membuat tujuh orang
itu terbelalak. Belum pernah ada orang, apa lagi
wanita, berani menghina mereka, memaki mereka
seperti itu! Si codet memberi kesempatan kepada si brewok
tadi dalam bahasa mereka, dan sambil menyeringai, memperlihatkan gigi yang putih
berkilat si brewok melangkah maju mendekati Bi
Lan. Wanita ini maklum bahwa te ntu tujuh orang
itu akan membuat ribut, maka ia lalu menyerahkan Lan Lan kepada Siauw Can.
"Can toako, tolong kau pondong dulu Lan Lan,
aku akan menghajar anjing-anjing keparat ini!"
Melihat betapa wajah Bi Lan sudah menjadi
merah s ekali dan sinar matanya mencorong, Siauw
Can khawatir kalau-kalau Bi Lan melakukan
pembunuhan sehingga akan menggegerkan kota
raja. Dia menerima Lan Lan dan berkata, "Jangan
lupa diri sampai membunuh, Lan-moi."
Bi Lan te rse nyum. Biarpun ia marah sekali,
akan te tapi iapun maklum bahwa melakukan
pembunuhan di te mpat umum dekat kota raja te ntu akan mendatangkan keributan. I a tidak ingin
menjadi pengacau dan dimusuhi petugas keamanan kota raja. Ia menggeleng. "Jangan
khawatir, toako." Si brewok kini sudah makin mendekat. "Nona
manis, aku akan memaafkan kelancangan mulutmu tadi asal engkau mau menciumku."
"Enak saja!" tiba-tiba si codet membentak. "Ia
harus mencium kita bertujuh bergantian, baru kita
mau memaafkannya.!" Si brewok tertawa. "Nah, kau dengar sendiri,
manis. Memang sudah untungmu hari ini, akan
diciumi tujuh orang laki-laki jantan perkasa, ha ha
ha! Nah, aku akan menciummu le bih dahulu!" Si
brewok mengembangkan kedua le ngannya yang
panjang, dan dari kanan kiri, kedua tangannya
menyambar hendak merangkul tubuh Bi Lan.
"Wuuuuuttt.....!" Si brewok merangkul dan
rangkulan itu hanya mengenai te mpat kosong
karena Bi Lan dengan kecepatan luar biasa telah
dapat mengelak. Si brewok membalik dan hendak
menubruk lagi, akan te tapi Bi Lan mendahuluinya
dengan loncatan ke depan dan kakinya menyambar. "Ciumlah sepatuku ini........plokk!"
Ujung sepatu kiri Bi Lan menendang tepat
mengenal hidung yang panjang besar dan melengkung itu. Si brewok te rjengkang dan ketika
dia bangkit kembali dia memegangi hidungnya
yang bocor berdarah! Si brewok ini menjadi korban
kelancangannya sendiri. Karena te rlalu
memandang rendah Bi Lan yang disangkanya
seorang wanita lemah yang hanya galak saja, maka
hidungnya hampir pecah oleh tendangan wanita
perkasa itu. Tentu saja kawan-kawannya menjadi marah dan
merekapun berte riak-te riak untuk berlomba untuk
menangkap Bi Lan. Hanya si codet yang masih
berdiri saja dengan pecut diputar-putar dan
matanya mengamati kawan-kawannya yang berlomba untuk menangkap Bi Lan. Kalau wanita
itu tertangkap, akan diikat dengan cambuknya dan
dilarikan ke tempat tinggal mereka.
Wanita itu harus dihukum karena te lah berani
menghina bahkan melukai si brewok. Akan te tapi,
ia te rbelalak dan baru menyadari bahwa Bi Lan
bukan wanita biasa. Biarpun dikeroyok lima orang
yang rata-rata bertubuh tinggi besar, dapat
bergerak cepat dan berte naga besar pula, namun
wanita itu memiliki gerakan seperti seekor burung
walet saja cepatnya, berkelebatan di antara lima
orang pengeroyoknya. Sambil mengelak mengandalkan kegesitan tubuhnya, Bi Lan yang
marah kepada orang-orang kasar itu membagi-bagi
tamparan dan te ndangan. Lima orang Turki itu
sebetulnya bukanlah orang-orang le mah. Mereka
adalah anggota pasukan Turki, pasukan pedang
bengkok yang ganas dan kuat dalam perang.
Namun, mereka terlalu memandang rendah Bi Lan,
dan juga sekali ini mereka bertemu dengan seorang
lawan ahli silat tingkat tinggi yang lihai sekali.
Maka, dalam beberapa gebrakan saja merekapun
te rkena tamparan atau tendangan, sehingga satu
demi satu terpelanting.
"Tar-tar-tarrrr......!!" Si codet yang marah sekali
melihat anak buahnya dikalahkan seorang wanita
muda, menggerakkan cambuk panjangnya. Cambuk hitam itu terbuat dari kulit dan selain
panjang, juga le mas dan kuat sekali. Cambuk ini
tadi telah mencabik-cabik baju seorang wanita
dusun tanpa melukai kulitnya. Hal itu menunjukkan bahwa si codet ini memang ahli
dalam memainkan cambuk. Bi Lan bersikap te nang. Ketika ujung cambuk
menyambar ke arah dadanya, ia menggeser kaki ke
samping sehingga ujung cambuk itu luput. Si codet
menjadi semakin beringas. Tangannya bergerak
le bih kuat dan cepat. Cambuknya kini menyambarnyambar bagaikan seekor ular panjang yang hidup.
Bi Lan tetap mengandalkan kelincahan gerakan
tubuhnya untuk berloncatan ke sana sini mengelak
sambil memperhatikan gerakan cambuk. Setelah ia
melihat perubahan gerakan cambuk ketika menyusulkan serangan baru, dengan gerakan
melengkung ke atas, ia lalu mengelak lagi dan pada
saat cambuk itu melengkung ke atas untuk
menyambung serangan yang luput, ia telah
mendahului dan menggunakan tangan kanan
menangkap ujung cambuk! Bi Lan mengerahkan te naga mempertahankan
ketika si codet menarik cambuknya. De ngan
kekuatan sin kang. ujung cambuk itu seperti
melekat pada tangannya dan dengan perhitungan
yang te pat, tiba-tiba Bi Lan melepaskan cambuknya.
"Wuuutttt......tarr.......!
Aduhhh...!" Si codet berte riak kesakitan karena dagunya dicium ujung
cambuknya sendiri dengan kuatnya sehingga te rluka dan berdarah! Melihat ini, enam orang anak buahnya mencabut
pedang bengkok mereka dan bersama si codet yang
semakin marah mereka hendak mengeroyok Bi Lan
dengan senjata di tangan.
"Serang, bunuh perempuan jahat ini!" Si codet
memberi aba-aba dan ia sendiripun sudah
memutar cambuknya dengan kemarahan meluapluap. Luka di dagunya tidak ada artinya dibandingk luka di hatinya, karena dia merasa
te rhina dan malu sekali dikalahkan seorang wanita
muda, di depan umum pula.
Bi Lan sudah siap siaga. Akan tetapi ketika
tujuh orang itu mulai bergerak, tiba-tiba nampak
bayangan berkelebat, didahului sinar menyilaukan
mata. Terdengar suara senjata beradu, berdeting
dan enam batang pedang bengkok itupun terpental
dan te rlepas dari tangan pemiliknya, sedangkan
cambuk itupun te rle pas. Tujuh orang itu te rhuyung ke belakang sambil memegangi tangan
kanan yang te rasa nyeri karena sambaran sinar
suling di tangan Siauw Can!
Pemuda ini tidak melukai mereka hanya
menotok dengan ujung sulingnya, ke arah tangan
kanan mereka sehingga mereka terpaksa melepaskan senjata mereka dan te rhuyung ke
belakang dengan mata terbelalak kaget. Lebih-lebih
rasa kaget dan heran mereka ketika melihat bahwa
yang membuat senjata mereka terlepas tadi adalah si kusir kereta, pemuda tampan itu yang tangan
kirinya memondong anak perempuan kecil sedangkan tangan kanannya memegang sebatang
suling! Hanya dengan sulingnya, dan sambil memondong anak kecil, pemuda itu mampu
membuat senjata mereka bertujuh terlepas! Hal ini
saja sudah membayangkan betapa lihainya pemuda ini. Akan te tapi, tujuh orang Turki itu bukan hanya
mengandalkan kekerasan dan kepandaian saja
untuk memaksakan kemenangan, melainkan te rutama mengandalkan kedudukan mereka! Biarpun mereka maklum bahwa mereka tidak akan
mampu menang kalau berkelahi melawan wanita
muda dan pemuda kusir yang lihai ini, namun
mereka masih berani membentak.
"Kalian berani melawan kami, para anggota
Pasukan Pedang Bengkok?" te riak si codet.
Pada saat itu, dari kelompok penonton yang
memenuhi tempat itu, muncul seorang pria berusia
limapuluhan tahun, berpakaian bangsawan. Pria
ini sejak tadi ikut pula menonton dengan kagum
dari atas kudanya dan kini dia meloncat turun,
membiarkan kudanya dipegangi kendalinya oleh
seorang pengawal dan diapun maju menghampiri
tujuh orang itu. "Kalian ini selalu mendatangkan keributan!"
te gurnya. Ketika si codet dan kawan-kawannya
melihat bangsawan itu, mereka memberi hormat
dengan membungkukkan tubuh. "Poa-taijin (pembesar Poa)......!" kata si codet
sambil memberi hormat ditiru semua anak
buahnya. Pembesar yang bermata s ipit itu berkata dengan
suara mengandung teguran.
"Kalian sungguh ceroboh, berani sekali mengganggu tai-hiap dan li-hiap ini! Tahukah
kalian" Mereka ini adalah sanak keluarga dari
Pangeran Tua Li yang baru tiba dari dusun!"
Tujuh orang Turki itu te rbelalak dan muka
mereka berubah pucat. Si codet cepat memberi
hormat kepada Siauw Can dan Bi Lan, kembali
diikuti ole h keenam orang anak buahnya. "Mohon
ji-wi (kalian) sudi memaafkan kami yang tidak
mengenal ji-wi maka bersikap kurang hormat."
Setelah berkata demikian, mereka bertujuh
cepat memungut senjata mereka dan pergi dari situ
dengan langkah lebar dan muka ditundukkan.
Melihat pembesar itu kini memandang kepada
mereka sambil tersenyum ramah Siauw Can cepat
memberi hormat dan berkata, "Maafkan kami, taijin, akan tetapi kami tidak mengerti.."
Pembesar itu membuat gerakan dengan tangan
menghentikan ucapan Siauw Can, lalu dia menoleh
ke arah orang-orang yang masih berkerumun
menonton di situ sambil membicarakan perkelahian tadi, memuji-muji Bi Lan dan Siauw
Can. "Hei, kalian menonton apa" Kami bukan
tontonan, hayo pergi melanjutkan perjalanan dan
pekerjaan kalian masing-masing!"
Mendengar bentakan seorang pembesar yang
berpakaian mewah, para penonton itu menjadi
takut dan merekapun bubar. Keadaan menjadi
sunyi kembali dan pembesar itu mendekati Siauw
Can. "Tai-hiap, kalau kami tidak mencampuri, kalian
te ntu akan dikeroyok oleh ratusan orang anggota
pasukan Turki itu. Akan tetapi di sini bukan
te mpat kita bicara. Marilah ikut dengan kami
menghadap Pangeran Tua. Kalian tentu akan
mendapatkan kedudukan yang pantas kalau suka
membantu beliau." Siauw Can saling pandang dengan Bi Lan.
Sungguh merupakan peristiwa yang amat kebetulan dan amat menguntungkan mereka.
Tanpa dicari, pekerjaan datang sendiri, bahkan
mereka akan dihadapkan kepada seorang pangeran! Dan Siauw Can sudah tahu siapa
Pangeran Tua! Adik kaisar! Tentu mereka akan
dapat memperoleh kedudukan yang amat baik!
"I ngat, demi keselamatan kalian! Kalau kalian
menolak dan melihat bahwa kalian bukan orangorang Pangeran Tua, tentu orang-orang Turki itu
tidak akan membiarkan kalian bebas dan kalian
akan te rancam bahaya besar." kata pembesar itu
ketika melihat keraguan pada wajah si wanita
cantik. Siauw Can cepat memberi hormat. "Tai-jin, terus
te rang saja kami berdua hendak pergi ke kota raja
memang untuk mencari pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuan kami." "Bagus! Kalau begitu cocok sekali. Kalian
mencari pekerjaan dan Pangeran Tua memang
sedang mencari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi seperti kalian. Marilah ikut
dengan kami. Namaku Poa Kiu dan aku orang
kepercayaan Pangeran Tua Li Siu Ti."
"Tai-jin maksudkan adik dari Sri Baginda
Kaisar?" tanya Siauw Can dengan girang.
"Siapa lagi kalau bukan beliau yang disebut
Pangeran Tua" Nah, mari kalian ikuti rombonganku memasuki kota raja, pasti aman."
Poa Tai-jin yang bernama Poa Kiu itu lalu
menunggang kudanya, diikuti oleh enam orang
pengawal dan Siauw Can cepat mengikuti dari
belakang dengan keretanya.
Dari dalam kereta, Bi Lan bertanya kepada
Siauw Can, "Can-toako , siapa sih orang-orang
asing itu" Kenapa mereka merajalela di kota raja
dan kenapa pula Poa Tai-jin mendiamkan saja
mereka, hanya menegur dan tidak mengambil
tindakan?" "Alh, kiranya engkau belum tahu duduknya
persoalan, Lan-moi," jawab Siauw Can lirih agar
jangan terdengar orang lain. "Pasukan Turki
merupakan rekan dari pasukan yang digerakkan
oleh Panglima atau Pangeran Mahkota Li Si Bin,
sehingga berhasil menggulingkan Kerajaan Sui dan
mendirikan Kerajaan Tang. Oleh karena itu, tentu
saja orang-orang Turki itu menjadi besar kepala
dan berani merajalela di sini. Mereka merasa telah
berjas a pada pendirian Kerajaan Tang. Bahkan di
antara tokoh-tokoh mereka banyak yang diangkat menjadi panglima dan pembesar-pembesar tinggi
oleh Sribaginda Kaisar."
"Tapi......mengapa begitu" Mengapa para pendiri
Kerajaan Tang itu bersekutu dengan orang-orang
Turki?" "Hal itu tidaklah aneh. Ketahuilah bahwa
pemimpin pemberontak yang menggulingkan Kerajaan Sui adalah Li Si Bin yang kini menjadi
panglima besar dan pangeran mahkota. Dan dia
adalah seorang peranakan Turki. Ayahnya, yang
sekarang menjadi Kaisar Tang Kao Cu adalah
seorang Han, akan tetapi ibunya adalah seorang
wanita Turki, yang kini menduduki jabatan
Permaisuri Muda. Nah sebagai seorang peranakan
Turki, te ntu saja hubungannya dengan bangsa
Turki amat baik dan dia memang membutuhkan
bantuan pasukan Turki untuk memenangkan
perjuangannya menggulingkan Kerajaan Sui. Setelah berhasil, tentu saja bangsa Turki itu
mendapat angin dan berani merajalela di sini."
De ngan singkat, di sepanjang perjalanan ke kota
raja. Siauw Can menceritakan keadaan keluarga
kaisar yang diketahuinya dengan baik. Dia
menceritakan betapa yang paling berkuasa di kota
raja adalah Panglima atau Pute ra Mahkota Li Si
Bin, yang sebetulnya merupakan orang yang
menjadi pemimpin besar dalam menggulingkan
Kerajaan Sui. Karena dia masih harus melakukan
pene rtiban dan pembersihan, maka dia mengangkat ayahnya menjadi kaisar pertama
Kerajaan Tang, yaitu kaisar yang sekarang berjuluk
Kaisar Tang Kao Cu. Adapun Putra Mahkota Li Si
Bin sendiri menjadi Panglima besar dan dialah
yang berhasil menundukkan semua pemberontak,
melakukan penertiban di mana-mana.
Setelah Li Si Bin berhasil, tentu saja otomatis
keluarga Li mendapat anugerah, menjadi keluarga
kaisar! Juga Li Si Bin tidak melupakan keluarga
ibunya dari Turki dan banyak orang pandai dari
Turki diberinya kedudukan untuk membantu
lancarnya pemerintahan Tang yang baru.
Di antara para keluarga Li, yang paling menonjol
kedudukann ya adalah adik kandung kais ar sendiri,
atau paman dari Li Si Bin yang bernama Li Siu Ti.
Paman inipun sudah berjasa membantu perjuangannya, maka setelah mereka berhasil
mendirikan Kerajaan Tang, Li Siu Ti menjadi
Pangeran Tua yang menjadi penasihat kaisar,
bahkan mengepalai para pangeran sebagai wakil
kaisar. "Demikianlah, Lan-moi. Sekarang kita diundang
ke s ana! Kalau kita dapat bekerja kepada Pangeran
Tua Li Siu Ti, berarti bintang kita sedang te rang!
Dia merupakan orang yang paling berkuasa di
istana, te ntu saja sesudah kaisar dan putera
mahkota!" Bi Lan ikut merasa gembira. Iapun ingin
mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya agar ia mendapatkan te mpat
tinggal yang baik, serba bercukupan sehingga ia
akan dapat mendidik Lan Lan dengan baik. Ia
sudah hampir lupa bahwa Lan Lan adalah puteri Si
Han Beng dan Bu Giok Cu. Ia merasa bahwa Lan
Lan adalah anaknya sendiri dan segala yang ia lakukan adalah demi kepentingan Lan Lan yang
amat disayangnya. -ooo0dw0ooo- Ge dung itu besar dan indah. Mungkin hanya
kalah megahnya dengan istana kaisar saja. Hal ini
saja membuktikan kebesaran penghuninya. Dan
semua orang tahu belaka bahwa pemilik istana itu
Pangeran Tua Li Siu Ti, adalah orang yang paling
berkuasa sesudah kaisar dan putera mahkota atau
panglima besar. Pangeran Li Siu Ti, biarpun disebut Pangeran
Tua sebagai tanda bahwa dia bukan pute ra kaisar,
melainkan adiknya, belumlah tua benar. Usianya
sekitar empatpuluh lima tahun. Tubuhnya tinggi
besar dan gagah, matanya membayangkan kecerdikan dan kadang-kadang mulutnya memiliki
senyum yang penuh rahasia. Sejak dia kebagian
kemuliaan menjadi Pangeran Tua dan diangkat
menjadi penasihat kakaknya yang menjadi kaisar,
Pangeran Li Siu Ti telah membuat banyak jasa. Dia
memang cerdik dan nasihatnya kepada kaisar
selalu te pat. Banyak membantu kelancaran jalannya roda pemerintahan dari Kerajaan Tang
yang baru itu. Pangeran Li Siu Ti mempunyai seorang isteri dan
lima orang selir. Akan tetapi, hanya dari selir ke
dua saja dia mempunyai keturunan, yaitu seorang
anak perempuan yang pada waktu itu teluh
menjadi seorang gadis remaja berusia tujuhbelas
tahun, bernama Li Ai Tin.
Puteri ini berwajah cantik, apalagi karena ia
pandai dan suka bersole k. Bentuk tubuhnya yang
ramping padat juga menggairahkan, sehingga
banyak pemuda di kalangan bangsawan te rgila-gila
kepadanya. Ketika rombongan Poa Kiu yang mengantar
Siauw Can dan Bi Lan memasuki pekarangan yang
luas dari gedung tempat tinggal Pangeran Tua,
kedua orang ini melihat bahwa te mpat itu terjaga
oleh pasukan keamanan. Akan te tapi karena yang
mengawal kereta adalah Poa Kiu yang dikenal oleh
semua pengawal, maka kereta itu tidak ditahan
dan dapat dijalankan sampai di bawah anak tangga
beranda depan gedung itu.
Siauw Can dan Bi Lan diam-diam memperhatikan keadaaan te mpat itu dan melihat
bahwa di antara para anggota pasukan penjaga
tidak nampak seorangpun bangsa Turki. Kepada
kepala pengawal, Poa Kiu minta agar dikabarkan
kepada Pangeran Tua bahwa dia mohon menghadap bersama dua orang tamu yang amat
penting, guna dihadapkan kepada pangeran.
Kepala pengawal tahu bahwa Poa Kiu adalah orang
kepercayaan dan tangan kanan sang pangeran,
maka tanpa banyak tanya lagi dia lalu langsung
saja masuk ke dalam untuk memberi laporan
kepada majikannya. Tak lama kemudian, kepala pengawal itu muncul
kembali dan mempersilakan Poa Kiu dan dua orang
tamu itu langsung saja memasuki ruangan tamu di
bagian kanan bangunan.
Kalau tadi Bi Lan dan Siauw Can mengagumi
pekarangan depan yang mempunyai taman amat
indahnya, dan beranda depan yang luas dan dihias
arca-arca singa dan naga, kini mereka menjadi
makin kagum ketika memasuki lorong menuju ke
ruangan tamu, didahului oleh kepala pengawal dan
Poa Tai-jin. Ge dung itu memang indah sekali. Pot-pot
tanaman bunga yang te rukir indah, dengan
tanaman bunga yang langka didapat. Guci-guci
besar menghias sudut-sudut di sepanjang lorong,
te mpat-tempat lampu yang beraneka bentuk dan
warna. Pilar-pilar yang te rukir, tirai-tirai sutera,
permadani dan pada dinding te rgantung lukisanlukisan dan tulisan huruf indah yang tak te rnilai
harganya. Ketika mereka memasuki kamar tamu, Pangeran
Tua Li Siu Ti sudah duduk di situ, di atas s ebuah
kursi yang berwarna merah. Di kanan kiri dan
belakangnya berdiri selosin pengawal pribadi.
Kepala pengawal itu menjatuhkan diri berlutut
dengan kaki kiri dan memberi hormat. Poa Kiu juga
memberi hormat kepada atasannya dengan menjura dan membungkuk. Melihat ini, Siauw Can
dan Bi Lan juga mengangkat kedua tangan di
depan dada dan membungkuk untuk memberi
hormat. De ngan tangannya. Pangeran Li Siu Ti menyuruh kepala pengawal mundur, kemudian dia
memandang kepada pembantu utamanya. "Poa
Kiu, siapakah dua orang muda ini dan kenapa
engkau membawa mereka menghadapku?"
Dalam pertanyaan ini terkandung te guran
karena agaknya sang pangeran kecewa. Tadi
kepala pengawal melaporkan bahwa Poa Kiu
mohon menghadap bersama dua orang penting.!
Tidak tahunya hanya seorang pemuda sederhana
dan seorang wanita muda yang memondong
seorang anak perempuan! "Ampun, pangeran," kata Poa Kiu. "Sekali ini
saya membawa berita amat menggembirakan.
Tanpa disengaja di tengah perjalanan, saya telah
berte mu dengan dua orang pendekar ini yang tentu
akan amat berguna bagi paduka. Mereka inilah
orang-orang yang selama ini paduka cari, yang
paduka butuh kan. Mereka berdua memiliki ilmu
kepandain silat yang hebat."
Lalu Poa Kiu menceritakan
kepada sang pangeran te ntang sepak te rjang Bi Lan dan Siauw
Can ketika diganggu oleh tujuh orang Turki di
jalan tadi. Sang pangeran mendengarkan dengan
penuh perhatian, akan tetapi dia mengerutkan alis
mengamati dua orang itu. Agaknya, sukar baginya
untuk dapat mempercayai cerita itu. Dua orang
muda itu sama sekali tidak mengesankan sebagai
orang-orang berilmu tingggi, apalagi wanita itu,
yang masih muda, cantik dan kelihatan lemah
le mbut. Bagaimana mungkin dengan tangan kosong
mampu mengalahkan tujuh orang Turki yang kuatkuat itu" Dan pemuda itu dengan sebatang suling
saja mampu melucuti senjata tujuh orang Turki
itu" Tak masuk akal!
Akan te tapi pada saat itu, kepala pengawal
datang menghadap dan melaporkan bahwa Raja
Muda Baducin datang bertamu! Mendengar nama
ini, wajah Pangeran Li Siu Ti berseri dan dia
mengerling ke arah Poa Kiu.
"Bagus! Agaknya ini ada hubungannya dengnn
dua orang muda ini. Poa Kiu engkau ajak mereka
keluar dari sini, tunggu di ruangan sebelah. N anti
kalau aku memberi is yarat memanggil, kalian
masuklah ke sini." Kemudian pangeran itu
memerintahkan kepala pengawal untuk mempersilakan Raja Muda Baducin untuk memasuki ruangan tamu. Poa Kiu maklum akan
apa yang dimaksudkan majikannya, maka diapun
mengajak Siauw Can dan Bi Lan keluar melalui
pintu s amping dan menunggu di ruangan sebelah.
Tak lama kemudian, masuklah tiga orang ke
dalam ruangan tamu itu. Yang menjadi tamu
kehormatan adalah Raja Muda Baducin, seorang
laki-laki bangsa Turki berusia limapuluhan tahun,
bertubuh tinggi kurus. Matanya le bar dan tajam
sekali, hidungnya seperti paruh kakaktua, kumis
dan jenggotnya terpelihara rapi dan kulitnya coklat
mengarah hitam. Pakaiannya mewah dan kepalanya tertutup sorban putih dari sutera, orang
yang menemaninya selalu berada di belakangnya
arah kanan kiri dan sekali pandang saja orang
akan mengetahui bahwa mereka adalah dua orang
saudara kembar. Wajah mereka, bentuk tubuh
mereka, bahkan pakaian mereka, serupa dan
sukarlah membedakan yang satu dengan yang lain.
Usia mereka sekitar empat puluh tahun, pakaian
mereka seperti pakaian perwira perang, dan di pinggang mereka tergantung pedang bengkok yang
ujung dan gagangnya terhias emas permata.
Kumis mereka melintang panjang, melengkung
ke atas , dan jenggot mereka dipotong agak pendek, membuat mereka tampak jantan dan kokoh kuat.
Apalagi keduanya memang bertubuh tinggi besar
seperti raksasa, sehingga baru berte mu saja, orang
akan merasa gentar. Setelah saling bersalaman dan mempersilakan
tamunya duduk; Raja Muda Baducin duduk di atas
kursi dan dua orang kembar itu te tap saja berdiri
di belakangnya, seperti juga selosin pengawal
pribadi yang te tap berdiri di belakang Pangeran Li
Siu Ti, Pangeran itu lalu berkata kepada kepala
pengawal. "Engkau boleh keluar dan sediakan minuman
untuk pasukan pengawal Raja Muda!"
"Baik, Yang Mulia Pangeran!" kata kepala
pengawal itu lalu keluar dari situ. Seperti biasa,
kepala para orang Turki itu te ntu saja datang
dengan sepasukan pengawal yang tadi menanti di
luar, sedangkan yang masuk hanya dia bersama
dua orang pengawal pribadi yang setia.
Kalau saja orang melihat keadaan kedua "orang
besar" ini beberapa tahun yang lalu, te ntu apa
yang dilihatnya sekarang ini mirip dengan
pertunjukan panggung sandiwara saja. Baru
beberapa tahun yang lalu, Pangeran Tua Li Siu Ti
yang kini disebut yang mulia dan paduka yang
mulia, hanyalah orang biasa saja, bahkan dari
keluarga petani. Akan tetapi begitu sekarang
keluarganya berhasil meraih tahta kerajaan, dia menjadi seorang bangsawan tinggi yang dimuliakan
orang. Juga orang yang kini disebut Raja Muda
Baducin, tadinya adalah seorang kepala gerombolan orang Turki yang te rmasuk golongan
hitam atau sesat yang di negerinya dimusuhi
sendiri oleh pemerintahnya. Baducin dapat bersekutu dengan Li Si Bin dan membantu gerakan
perwira muda itu s ehingga berhasil menggulingkan
Kerajaan Sui. Maka, sebagai balas jasa, setelah Li
Si Bin berhasil, Baducin menerima anugerah, yaitu
sebutan "raja muda" dan kedudukan yang mulia!
Dan kini dua orang yang berasal dari rakyat
jelata ini, sekarang saling berhadapan seperti dua
orang bangsawan tinggi, le ngkap dengan semua
peralatan dan peraturannya.
Setelah gadis -gadis pelayan yang cantik datang
menyuguhkan makanan dan minuman kepada
tamu kehormatan itu, dan mereka berdua makan
minum dengan gembira sambil memberi hormat
dengan minum arak, barulah Pangeran Li Siu Ti
menanyakan maksud kunjungan raja muda itu.
"Kunjungan paduka Raja Muda Baducin merupakan suatu kehormatan besar bagi kami,
akan tetapi kunjungan yang mendadak ini agaknya
membawa urusan penting. Atau hanya merupakan
kunjungan is eng belaka untuk melepas rindu?"
tanya sang pangeran dengan ramah.
Raja Muda Baducin te rtawa bergelak sambil
mengelus jenggotnya yang rapi. "Ha-ha-ha, tepat
sekali apa yang diduga oleh Paduka Pangeran Tua.
Orang yang se lalu sibuk seperti kami ini mana ada
kesempatan untuk membuang waktu hanya untuk iseng" Sesungguhnya kunjungan kami ini untuk
mohon keterangan dari paduka te ntang peristiwa
yang amat tidak menyenangkan hati kami."
"Hemm, peristiwa apakah itu" Harap paduka
segera menceritakan kepada kami."
"Begini, pangeran. Pagi tadi, tujuh orang anggota
Pasukan Pedang Bengkok sedang mengadakan
patroli di luar pintu gerbang kota raja. Mereka
melihat sebuah kereta dan karena curiga mereka
menghentikan kereta itu untuk melakukan pemeriksaan. Akan te tapi penumpang kereta itu,
seorang pemuda dan seorang wanita muda,
membantah dan terjadi percekcokan dan perkelahian. Akan tetapi, ketika anak buah kami
hendak memberi hukuman kepada orang-orang
yang menghina itu, muncul pembantu paduka,
yaitu Poa Kiu. Dia mencegah anak buah kami
bertindak dengan mengatakan bahwa dua orang
itu adalah sanak keluarga paduka yang datang dari
dusun. Dan tadi, mata-mata kami mengetahui
bahwa dua orang itu memang datang ke gedung
ini! Nah, setelah mendapatkan laporan itu, kami
bergegas datang berkunjung untuk mohon penjelasan agar tidak sampai te rjadi kesalah
pahaman di antara kita."
Pangeran Li Siu Ti mengangguk-angguk dan
te rsenyum. Biarpun cerita yang didengarnya dari
raja muda ini berbeda dengan yang didengarnya
dari Poa Kiu, tentu saja dia lebih percaya
kebenaran cerita pembantunya yang setia. Dan
diapun maklum bahwa tentu orang-orang Turki itu
tidak berte rus terang kepada pimpinan mereka bahwa mereka telah dikalahkan pemuda dan
wanita muda itu! "Me mang benar apa yang paduka dengar itu,
karena memang mereka adalah masih sanak
keluarga dengan kami, walaupun masih jauh.
Mereka datang berkunjung untuk membantu
pekerjaan kami. Menurut cerita mereka, memang
te rjadi kesalah-pahaman dengan tujuh orang anak
buah paduka. Akan te tapi, keributan itu tidak
sampai berakibat jauh, tidak ada pihak yang
te rluka parah atau tewas. Maka, kami harap
paduka menghabis kan saja urusan di antara anak
buah kita itu." Raja Muda Baducin itu te rtawa, "Ha-ha-ha,
kalau memang mereka itu sanak keluarga paduka,
te ntu saja kami yang mohon maaf atas kelancangan anak buah kami. Hanya yang membuat kami merasa penasaran. Kabarnya kedua
orang muda itu memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi sekali sehingga anak buah kami menjadi
permainan mereka." Pangeran Li Siu Ti te rsenyum bangga. "Me mang
kedua orang sanak jauh itu merupakan dua orang
pendekar yang memiliki ilmu kepandaian silat yang
tinggi!" "Bagus, kalau begitu, ingin sekali kami berte mu
dan berkenalan dengan mereka, dan dapat melihat
dengan mata kepala sendiri dua orang muda,
seorang pemuda dan seorang gadis , yang telah
mampu mengalahkan tujuh orang anak buah
pasukan Pedang Bengkok! Kalau mereka berada di sini, dapatkah kami berte mu dengan mereka,
pangeran?" "Tentu saja boleh! Bahkan mereka berduapun
berada di sini, akan tetapi untuk menghormati
paduka, kami memerintahkan mereka menyingkir
ke ruangan lain. " Pangeran Li Siu Ti bertepuk
tangan dan muncullah Poa Kiu diiringi Siauw Can
dan Kwa Bi Lan yang memondong Lan Lan. Anak
itu sedang makan kembang gula dengan asyiknya.
Pangeran Tua segera memperkenalkan tamunya
kepada dua orang muda itu, sedangkan Poa Kiu
sudah menjura dengan sikap hormat. "Tamu
te rhormat kita ini adalah Raja Muda Baducin yang
mengepalai semua pasukan Turki yang berada di
sini, dan beliau ingin berkenalan dengan kalian
berdua." Bi Lan sendiri meragu, dan andaikata tidak ada
Siauw Can di situ, belum tentu dia mau memberi
hormat kepada orang itu. Biarpun raja muda, ia
adalah seorang Turki dan tadi pagi orang-orang
Turki bersikap amat kasar dan menghina kepadanya. Bagaimana ia dapat memberi hormat"
Akan te tapi, Siauw Can mendahuluinya dan
pemuda ini member hormat dengan menjura, yang
diturut pula oleh Bi Lan.
Sementara itu, melihat bahwa dua orang yang
telah mengalahkan tujuh orang anak buahnya itu
hanya seorang pemuda kerempeng dan seorang
wanita muda cantik yang le mah le mbut, hati Raja
Muda Baducin menjadi semakin penasaran.
"Aha, kiranya dua orang ini masih amat muda!
Pantas saja lancang dan berani menghina tujuh orang anggota Pasukan Pedang Bengkok kami!"
katanya. Mendengar ini, Siauw Can cepat menjawab.
"Paduka mendapat keterangan yang keliru. Kami
berdua sama sekali tidak pernah menghina tujuh
orang itu." "Ho-ho-ho, kalian mengalahkan tujuh orang
anggota Pedang Bengkok di jalan raya, disaksikan
banyak orang kalian telah melucuti senjata pedang
mereka dan memandang rendah mereka, bukankah itu penghinaan besar namanya! Kalau
tidak muncul Poa Tai-jin, tentu telah terjadi
perkelahian mati-matian!"
"Maafkan kami," kata pula Siauw Can mengalah.
"Ha-ha-ha, kalau kami tidak memaafkan, apa
kami mau berkunjung ke sini" Kami justru kagum
kepada kalian dan kami ingin menyaksikan sendiri
sampai di mana kelihaian kalian berdua! Nah, di
sini ada dua orang pengawalku. Kalau kalian
berdua mampu mengalahkan dua orang pengawalku ini, aku akan memberi selamat kepada
Pangeran Tua yang beruntung sekali mendapatkan
pembantu-pembantu yang amat lihai!"
Itu merupakan tantangan terbuka! Bi Lan sudah
menjadi merah wajahnya, akan tetapi Siauw Can
yang cerdik member hormat ke arah Pangeran Li
Siu Ti yang sejak tadi hanya mendengarkan saja.
"Kami berdua telah bekerja di sini maka kami
tidak dapat melakukan apapun tanpa perintah dari
Paduka Pangeran Tua! Kami berdua menanti
perintah!"
Pangeran Li Siu Ti tersenyum lebar. Inilah
kesempatan baginya untuk menguji kedua orang
itu. Akan tetapi Poa Kiu merasa khawatir. Tentu
saja dia sudah mengenal siapa dua orang pengawal
pribadi Raja Muda Baducin ini. Dua orang raksasa
kembar itu merupakan orang-orang yang paling
kuat dan paling lihai di antara semua orang Turki
yang berada di kota raja.
Nama mereka Gondulam dan Gondalu, dua
orang saudara kembar yang selain bertenaga gajah
juga pandai ilmu gulat, pandai silat bahkan
memiliki kekuatan sihir
Komentar
Posting Komentar