NAGA BERACUN JILID 09

  Mendiang gurunya yang juga suaminya pernah
memesan agar dia berhati-hati dan tidak memandang rendah kepada empat macam orang,
yaitu pertama wanita yang tampaknya le mah
walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ke dua kaum
pendeta yang juga kelihatan lemah le mbut, ke tiga
pengemis yang nampaknya saja lemah dan
sengsara, dan ke e mpat sastrawan, karena mereka
ini kadang-kadang menyembunyikan ilmu yang
tinggi dan merupakan lawan yang amat berbahaya.
Yang amat mengesankan hatinya bukan ke
tampanan pria itu, melainkan tiupan sulingnya.
Biarpun kini sudah tidak terdengar lagi suara
sulingnya, namun masih terngiang di telinganya
suara yang meliuk-liuk merdu dan mengharukan
itu. Lamunan Bi Lan dan kantuk Lan Lan dalam
pondongannya terganggu ketika mendadak muncul
sepuluh orang yang berloncatan dari balik batang
pohon-pohon di kanan kiri jalan setapak itu.
Begitu melihat, Bi Lan mengerti bahwa ia
berhadapan denagn gerombolan penjahat! Sikap
mereka saja sudah jelas menunjukkan bahwa
mereka bukan orang baik-baik dan te rmasuk
gerombolan yang suka memaksakan kehe ndak
mengandalkan kekerasan. Juga mereka semua itu
menyeringai menjemukan dengan sepasang mata
yang membayangkan kecabulan. Seorang di antara
mereka yang gendut dan segala-galanya bundar,
kepalanya, hidungnya, matanya , bentuk mulutnya, perutnya, semua bundar, melangkah
maju. Sebatang golok besar te rgantung di pinggangnya dan sejenak dia mengamati wajah dan
tubuh Bi Lan, kemudian te rtawa bergelak dengan
girang. "Ha-ha-ha, inilah orangnya yang pantas menjadi
isteriku! Kawan-kawan, bagaimana pendapat kalian" Sudah patutkah perempuan ini kalau
duduk bersanding denganku sebagai isteriku?"
Sembilan orang anak buahnya juga tertawa-tawa
dan menyengir-nyengir dengan sikap ceriwis sekali.
"Sudah cocok sekali, toako! Akan tetapi hati-hati,
ia membawa anak dan di punggungnya ada
sepasang pedang!" "Ha-ha-ha, anak inipun mungil sekali. Kalau
anaknya, anak ini menjadi anak isteriku yang
manis. Kalau adiknya, kebetulan! Dan tentang
sepasang pedangnya, ha-ha-ha, itu hanya untuk
menakut-nakuti orang saja. Bukankah begitu,
manis?" Dapat dibayangkan betapa marahn ya Bi Lan
melihat sikap dan mendengar ucapan yang amat
menghina itu. Kalau saja


ia tidak sedang memondong Lan Lan, te ntu ia sudah mengamuk
dan membunuh semua orang itu. Akan te tapi, ia
memondong Lan Lan yang kini sudah te rbangun
dari kantuknya. Ia harus berhati-hati dan melindungi anak itu. Maka ia menahan sabar,
karena kemarahan hanya akan merugikan dirinya,
mengurangi kewaspadaannya.
"Kalian adalah sepuluh laki-laki, kenapa begitu
rendah menghadang dan mengganggu seorang
wanita yang sedang melakukan perjalanan" Minggirlah, aku tidak ingin mencari keributan."
Katanya dengan nada suara yang dibikin setenang
mungkin. "Ha-ha-ha, manis. Siapa yang akan mengganggumu" Aku bahkan meminangmu. Aku
ingin melamarmu menjadi isteriku, sayang. Marilah
ikut baik-baik denganku dan kita merayakan hari
perkawinan kita. Anakmu itu akan menjadi anakku
juga," kata si gendut dengan keramahan yang
dibuat-buat. "Aku tidak mau menikah denganmu atau dengan
siapapun. Minggirlah!" kini dalam suara Bi Lan
te rdengar bentakan. "Nona manis , aku harus menjadi suamimu.
Engkau mau atau tidak, harus menjadi isteriku.
Nah, tinggal kaupilih saja. Engkau menurut
dengan baik-baik atau ingin dipaksa?" kini si
gendut mengancam. "Sudah kuduga. Kalian te ntu segerombolan
anjing yang suka mempergunakan kekerasan
melakukan kejahatan! Majulah kalau engkau
minta mati!" bentak Bi Lan dan ia menggunakan
sabuk suteranya untuk menggendong Lan Lan di
punggung se telah melolos sepasang pedangnya dan
menggantungnya di pinggang. Anak itu duduk di
atas buntalan pakaian dan diikat dengan sabuk
sutera yang biasanya menjadi senjata pula bagi Bi
Lan. Kini, kedua tangan wanita itu bebas, walaupun
gerakannya te ntu saja kurang le luasa dengan
adanya Lan Lan di punggungnya. Yang membuatnya kagum, anak itu tidak menangis,
tidak kelihatan takut walaupun menghadapi sepuluh orang laki-laki yang kelihatan beringas
dan Kejam. Pantas memang Lan Lan menjadi
pute ri suami isteri pendekar besar.
"Ho-ho-ha-ha-ha! Perempuan ini bernyali juga!
Aku makin te rgila-gila kepadanya!" kata si gendut.
"Aku paling je mu dengan kuda betina yang jinak,
aku ingin yang liar seperti ini, ha-ha-ha!" Dia
masih tertawa ketika tubuhnya tiba-tiba menyerbu
ke depan. Sungguh merupakan serangan
yang amat curang, menggunakan kesempatan selagi dia
masih tertawa sehingga lawan akan menjadi
le ngah. Akan te tapi, Bi Lan sama sekali tidak
le ngah. Tidak percuma menjadi murid dan isteri Si
Rajawali Sakti. Dari suaminya itu ia telah
mendapatkan ilmu silat yang tangguh dan kokoh
kuat. Begitu si gendut menubruk dengan kedua
le ngan berkembang, seperti seekor beruang menyerang, tubuh Bi Lan sudah mengelak ke kiri
dan kaki kanannya melakukan te ndangan ke arah
perut gendut itu. De mikian cepat geraka Bi Lan
sehingga tendangan itu tidak mungkin dapat
dielakkan atau ditangkis lagi oleh si gendut.
"Bukk...... ! Duuuuuuttt......!" perut itu ternyata
kebal, akan tetapi karena tendangannya mengandung sin-kang yang kuat, tidak urung isi
perutnya te rguncang dan tak te rtahankan lagi si
gendut kelepasan membuang gas dengan bunyi
kentut yang nyaring. Mendengar suara kentut itu, Lan Lan berseru.
"I hhhh......kentut bau ...!" dan dengan lucunya,
bukan pura-pura Lan Lan memijat hidungnya
dengan tangan kiri. Mau tidak mau, kawanan
perampok itu tertawa geli, dan baru mereka
berhenti tertawa ketika pimpinan mereka yang
merasa perutnya agak mulas itu membentak
mereka. 
"Apa te rtawa! Hayo tangkap perempuan ini.!
Awas, jangan lukai, aku tidak ingin pengantinan
dengan mempelai yang luka-luka!"
Sembilan orang anak buah itu menerima
perintah ini dengan gembira. Siapa yang tidak
ingin menangkap wanita cantik itu" Biarpun
akhirnya diserahkan kepada pimpinan mereka,
setidaknya yang menangkapnya mempunyai kesempatan untuk merangkul, memeluk dan
setidaknya mencolek tubuh yang montok itu!
Mereka maju dengan cepat seperti sekumpulan
anjing memperebutkan tulang, berlomba untuk
dapat menangkap Bi Lan. Akan tetapi, kegembiraan mereka segera berubah menjadi
te riakan-te riakan kesakitan ketika Bi Lan membagi-bagi tamparan dan te ndangan dengan
cepat sebelum ada tangan yang mampu menyentuhnya. Para pengeroyok itu berpelantingan te rhuyung
dan biarpun tidak ada yang roboh dan te rluka
parah, namun sedikitnya mereka menjadi gentar.
Ada yang pipinya bengkak membiru, bibirnya
pecah atau perutnya mulas seketika karena usus
buntunya te rcium ujung sepatu Bi Lan. Ada yang
te rpincang-pincang karena sambungan lututnya
te rkena gajulan yang cukup kuat.
Melihat betapa sembilan orang anak buahnya
mundur se mua, si gendut menjadi marah. Dia lupa
bahwa dia sendiri pun tadi te rkena te ndangan
sampai terkentut-kentut walaupun perut gendutnya yang kebal membuat dia tidak jatuh dan
memaki-maki anak buahnya. "Kalian ini gentong
gentong kosong melompong yang tiada gunanya!"
Akan te tapi agaknya dia menyadari bahwa wanita
itu ternyata bukan makanan empuk, maka dia
menambahkan, "Hayo keroyok, robohkan dengan
senjata! Aku tidak perduli berpengantinan dengan
mempelai luka!" Para anak buahnya yang juga marah mencabut
senjata mereka. Ada yang bersenjata golok, ada
yang memegang pedang, tombak dan lain-lain. Dan
mereka mengepung Bi Lan. Bi Lan merasa khawatir. Kalau ia tidak
menggendong Lan Lan, tentu pengerokan orangorang kasar itu tidak membuat ia gentar. Kini ia
khawatir akan keselamatan Lan Lan.
"Lan Lan, rangkul leher ibu kuat-kuat!" te riaknya sambil mencabut sepasang pedang yang
te rgantung di pinggang. Anak itu memang tabah
bukan main. Melihat "ibunya" berkelahi, ia tidak
takut s ama sekali dan mendengar perintah ibunya,
iapun cepat merangkulkan kedua le ngannya yang
kecil ke leher Bi Lan. Sepuluh orang perampok itu menyerang dan Bi
Lan memutar kedua pedangnya. Ge rakan pedangnya cepat dan juga mengandung tenaga sinkang yang membuat setiap senjata lawan yang
berte mu pedangnya terpental.
Semua perampok te rkejut dan mereka mengepung dan mengeroyok dengan hati-hati,
maklum bahwa wanita cantik ini benar-benar amat
lihai. Namun, dengan adanya Lan Lan di
gendongannya, te ntu saja Bi Lan menjadi kurang
leluasa dan ia lebih mengutamakan perlindungan
te rhadap anak itu sehingga daya serangnya
berkurang. Si perut gendut melihat hal ini dan diapun
berte riak kepada teman-te mannya, "Serang anak di
gendongan itu!" Bi Lan te rkejut. Kini para pengeroyok menujukan serangan mereka ke arah punggungnya! Tentu saja ia hanya dapat memutar
sepasang pedang untuk membentuk benteng sinar
yang menjadi perisai dan melindungi punggungnya
dari sambaran senjata para pengeroyok! Karena ia
hanya bertahan, tidak berani le ngah untuk balas
menyerang, ia segera terdesak!
Pada saat itu, terdengar suara halus namun
lantang berwibawa, "Nona, lemparkan anak itu
kepadaku. Biar aku yang sementara menjaganya
untukmu!" Bi Lan melirik dan melihat bahwa yang berteriak
itu adalah seorang pemuda tampan berpakaian
biru bercaping le bar. Pemuda peniup suling tadi!
Entah mengapa, ia percaya sepenuhnya kepada
pemuda itu, dan memang Lan Lan te rancam
bahaya, maka iapun memutar pedang kanannya,
menggunakan tangan kiri untuk menurunkan Lan
Lan dari gendongan. "Lan Lan, engkau ikut paman itu dulu!" katanya
dan sekali ia menggerakkan tangan kiri, anak itu
dilemparkan ke arah pemuda peniup suling. Dan
hatinya le ga melihat betapa sigapnya pemuda itu
menyambut Lan Lan yang mendarat dengan empuk
dalam pondongannya. 
"Nah, di sini lebih enak, kan" Kita nonton
perte mpuran!" kata pemuda itu sambil menurunkan Lan Lan dan berdiri di situ,
menggandeng tangan Lan Lan. Biar pun tadi ia
dilempar, Lan Lan tetap tabah dan sama sekali
tidak berteriak, apa lagi menangis.
Setelah melihat Lan Lan berada dengan pemuda
itu dan ia tidak lagi dibebani tugas melindungi Lan
Lan, Bi Lan mengamuk. Pedangnya menyambarnyambar dahsyat dan dalam beberapa gebrakan
saja, robohlah dua orang pengeroyok dengan
pundak dan paha terluka parah.
"Aih, jangan bunuh mereka, nona..!" Pemuda itu
berkata dan tiba-tiba dia memondong tubuh Lan
Lan. Dia sendiri, dengan Lan Lan di pondongan,
bergerak ke depan, kedua kakinya menyambarnyambar dan setiap kali kakinya menyambar,
seorang pengeroyok roboh! Bi Lan merobohkan dua
orang lagi, dan selebihnya, yang enam orang, roboh
oleh tendangan kaki pemuda itu!
Bi Lan yang marah sekali, menggerakkan
sepasang pedangnya hendak mengirim serangan
maut membunuh sepuluh orang itu, akan tetapi
pemuda itu sekali berkelebat sudah berdiri di
depannya. "Nona, jangan membunuh mereka!"
Bi Lan memandang tajam penuh selidik. "Hem,
kenapa" Bukankah mereka itu orang-orang jahat
yang hanya membahayakan kehidupan orangorang lain" Kalau tidak dibunuh, mereka tentu aka
mencelakai orang lain."
Pemuda itu menarik napas panjang lalu menurunkan Lan Lan. Anak itupun menghampiri
Bi Lan dan memegang tangan Bi Lan yang masih
memegang pedang. "Nona, kalau setiap orang yang
melakukan kejahatan di dunia ini kaubunuh,
kiraku tidak akan ada yang tinggal hidup. Adakah
manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan
dalam hidupnya" Adakah manusia yang tidak
berdosa?" Bi Lan mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, tidak
semua orang menjadi perampok, pengganggu
wanita dan pembunuh!"
"Nona, manusia itu lemah lahir batin. Bukan
hanya lahirnya saja, tubuhnya saja yang le mah
dan suka diserang penyakit. Juga batinnya lemah
dan suka sakit. Semua orang mengalami penyakit
batin ini, hanya kadarnya saja yang berbeda, ada
yang ringan dan ada yang berat. Orang yang
menyeleweng dari kebenaran, yang menjadi penjahat, sebenarnya hanyalah orang yang sedang
sakit batinnya. Orang yang sakit harus kita tolong,
kita obati, yaitu kalau yang sakit badannya. Kalau
yang sakit batinnya, kitapun harus menolong
dengan obat berupa nasihat, atau kalau perlu
ancaman. Akan te tapi, bukan lalu membunuhnya.
Ingat, nona, orang sakit dapat sembuh, dan yang
sehat dapat jatuh sakit. Orang yang berbuat jahat
dapat sembuh, dan yang sekarang kelihatan baikbaik saja, sekali waktu dapat jatuh dan berbuat
jahat. Semua orang pernah sakit, nona. Termasuk
aku sendiri. Sakitku amat berat, dan mudahmudahan s ekarang telah sembuh."
Ucapan itu berkesan di hati Bi Lan. Bahkan
gurunya yang juga suaminya pernah mengakui
bahwa gurunya itu dahulu juga pernah "s akit"
parah, yaitu menderita sakit batin karena dendam.!
Ucapan pemuda berpakaian biru itu sungguh
berkesan di hati dan tanpa cakap lagi ia lalu
menyimpan kembali sepasang pedangnya, memondong Lan Lan dan membungkuk kepada
pemuda itu. "Me ngingat bahwa engkau te lah membantuku,
biarlah aku menuruti nasihatmu dan tidak
membasmi mereka. Terima kasih atas bantuanmu
dan selamat tinggal." Setelah berkata demikian, Bi
Lan pergi meninggalkan tempat itu.
Pemuda itu masih berdiri seperti patung,
te rsenyum-senyum seorang diri, dan dia seperti
tidak melihat atau tidak perduli ketika sepuluh
orang perampok itu tertatih-tatih meninggalkan
te mpat itu dengan hati gentar.
Sampai lama pemuda itu berdiri, bahkan lalu
menjatuhkan diri duduk di atas batu, te rmenung
dan kadang menengok ke arah perginya Bi Lan.
Pemuda itu bukan orang sembarangan. Dia
memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai karena
dia bukan lain adalah Hong San! Putera mendiang
Cui-beng Sai kong datuk besar dunia hitam itu,
seperti kita ketahui, tadinya membantu pemberontakan Pangeran Cian Bu Ong. Akan
tetapi karena semua gerakan bekas pangeran itu
gagal, Cian Bu Ong membubarkan para pembantunya dan Can Hong San juga pergi
meninggalkan bekas pangeran itu, merantau
seorang diri membawa bekal banyak emas yang
dite rimanya sebagai hadiah dari Pangeran Cian Bu
Ong. Berbulan lamanya Can Hong San berdiam di
puncak bukit merenungi keadaan hidupnya. Se gala
usaha yang dilakukannya gagal belaka! Hanya
kepahitan dan kekalahan yang dideritanya.
Mulailah dia melihat bahwa jalan yang dite mpuhnya selama ini tidak menguntungkan,
menuruti nafsu-nafsunya, hanya menyeretnya ke
le mbah kegagalan belaka. Timbul niatnya untuk
mengubah jalan hidupnya untuk meninggalkan
jalan sesat dan memilih jalan kebenaran. Mungkin
sebagai seorang pendekar, dia akan dapat memanfaatkan kepandaiannya dan mendapatkan
nama besar yang harum! Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan tanpa menilai, akan tampaklah dengan
jelas bagaimana lihai, licin dan liciknya hati akal
pikiran bekerja, hati akal pikiran yang sudah
diperalat oleh nafsu-nafsu daya rendah. Bagaimanapun pikiran berkiprah, s elalu tujuannya
untuk mencari kesenangan dan menjauhi ketidaksenangan. Keputusan apapun yang diambil
oleh pikiran, selalu pasti mempunyai pamrih, yaitu
demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri. Can
Hong San sejak muda hidup bergelimang dosa,
mengambil jalan sesat dan menjadi seorang yang
te rbiasa melakukan segala macam bentuk kejahatan. Semua ini hasil dari ulah hati akal pikiran yang
bergelimang nafsu, yang sudah dicengkeram oleh
nafsu daya rendah yang selalu mengejar kesenangan sehingga dalam pengejaran itu, Hong
San tidak memperdulikan lagi caranya. Cara
apapun akan dite mpuhnya demi te rcapainya
kesenangan yang dikejarnya. Itulah pekerjaan
nafsu daya rendah! Kemudian, pikiran melihat
betapa semua perbuatan jahatnya tidak menguntungkan, bahkan merugikan! Maka, pikiran yang sudah bergelimang nafsu lalu mencari
jalan lain. Untuk menghindarkan akibat yang tidak
menguntungkan, untuk dapat mencapai kesenangan melalui jalan dan cara lain, kini
pikiran Hong San membujuknya untuk mengambil
jalan yang berlawanan menjadi seorang pendekar!
Menjadi orang yang melakukan kebaikan, menentang kejahatan, yang te ntu saja dengan
pamrih agar mencapai kesenangan dan keuntungan! Jelaslah bahwa kebaikan yang disengaja, diatur
dan direncanakan, bukanlah kebaikan lagi namanya. Itu hanya hasil dari pikiran bergelimang
nafsu. Yang dinamakan perbuatan baik hanya
dijadikan cara untuk mendapatkan kesenangan
belaka. Kebaikan yang direncanakan pikiran
adalah kebaikan palsu, pura-pura. Kalau ada
orang yang "ingin menjadi orang baik", pada
hakekatnya dia hanya ingin mendapatkan balas
jas a atas kebaikannya itu.
Kebaikan atau kebajikan adalah suatu sifat dari
perbuatan yang tidak 1agi terdorong nafsu daya
rendah. Perbuatan yang tidak didorong oleh
pemikiran yang matang, melainkan perbuatan yang
spontan, seketika karena terdorong kekuasaan
yang murni dan suci, karena te rdorong oleh kasih
sayang! Kasih sayang bekerja selama pikiran
sebagai si aku tidak muncul merajale la. Kasih
sayang berubah menjadi nafsu menyenangkan diri
sendiri begitu si aku masuk dan campur tangan.
Aku ingin senang, aku ingin untung, aku tidak
mau susah, aku tidak mau rugi, aku ingin.... aku
ingin......aku ingin......demikianlah sifat nafsu dari
daya-daya rendah yang mencengkeram dan mempengaruhi hati akal pikiran.
Oleh karena itu, keinginan hati akal pikiran
untuk mengubah diri menjadi "orang baik" hanya
tipuan belaka, bukan menjadi "orang baik"
melainkan menjadi "orang senang melalui perbuatan baik" yang pada hakekatnya hanya
membuat kita menjadi munafik! Hati akal pikiran
yang bergelimang nafsu tidak mungkin membersihkan diri sendiri!
Satu-satunya harapan hanyalah menyerah kepada Tuhan Maha Kasih! Hanya kekuasaan
Tuhan sajalah yang akan mampu mengubah
seseorang, membersihkan batin seseorang, mengembalikannya ke jalan benar. Kita hanya
dapat mohon ampun, .. mohon bimbingan, dan
menyerah dengan sabar, ikhlas, dan tawakal
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Can Hong San tersenyum gembira. Wajahnya
cerah karena dia merasa memperoleh jalan yang
baik. Setelah mengambil keputusan untuk mengubah cara hidupnya, dia turun gunung dan
kebetulan berte mu dengan Kwa Bi Lan yang
menggendong seorang anak perempuan yang
mungil. Begitu bertemu, hati Hong San berdebar
dan te rtarik sekali. Bukan te rtarik yang menimbulkan nafsu berahi seperti yang sudahsudah. Wanita yang dijumpainya ini lain! Memang
cantik jelita dan menggairahkan, akan te tapi dia
te rtarik bukan hanya karena itu. Bukan gejolak
berahi yang timbul di hatinya, melainkan kekaguman yang penuh pesona. Menurut pandangannya, belum pernah selama hidupnya dia
berjumpa dengan wanita yang dapat menarik dan
mengguncang perasaan hatinya seperti wanita
yang mukanya bulat, berkulit putih mulus,
berhidung mancung dan bermata tajam itu.
Diam-diam Hong San mengikuti, bahkan lalu
mendahuluinya dan sengaja meniup suling untuk
menarik perhatian gadis itu. Juga untuk menguji
bagaimana sikap gadis itu. Akan te tapi, gadis itu
hanya melihat sebentar lalu melanjutkan perjalanan, acuh saja. Hal ini membuat dia
semakin kagum. Gadis yang alim, pikirnya, bertata
susila dan menjaga martabat dan kehormatan. Dia
membayangi lagi dari jauh.
Ketika dia melihat gadis yang menimbulkan rasa
kagum luar biasa di hatinya itu dikeroyok sepuluh
orang perampok, dia menjadi semakin kagum.
Kiranya gadis itu bukan saja cantik jelita dan
memiliki harga diri yang tinggi, akan te tapi juga
gagah perkasa dan memiliki ilmu silat yang cukup
hebat! Dia segera turun tangan membantu ketika
melihat anak dalam gendongan itu te rancam
bahaya, dan ketika dia melihat gadis itu hendak
membunuh semua perampok, iapun cepat turun
tangan mencegahnya dengan merobohkan para
perampok dan membujuk gadis itu agar tidak
membunuh mereka. Semua ini dia lakukan dengan perhitungan,
bukan karena dia merasa kasihan kepada sepuluh
orang perampok rendah itu, melainkan karena dia
ingin menjadi seorang "pendekar" dan ingin
kelihatan baik budi di mata gadis yang dikaguminya itu. Mulailah hati akal pikiran dengan
cerdik dan liciknya membujuk Hong San menjadi
seorang munafik! Setelah Bi Lan pergi bersama Lan Lan, Hong San
te rmenung. Gadis hebat! Dia betul-betul baru
sekali ini merasa jatuh cinta, bukan jatuh berahi,
melainkan jatuh cinta sungguh-sungguh. Kalau
saja dia dapat berdampingan selamanya dengan
gadis itu, dapat menjadi suami isteri, membentuk
rumah tangga berkeluarga! Alangkah akan bahagianya.! "I hh, khayal!" Hong San mencela diri sendiri dan
dia teringat bahwa sudah terlalu lama dia
membiarkan gadis pujaan hatinya itu pergi. Dia
harus cepat mengejar kalau tidak mau kehilangan.
Sambil berlari Hong San merasa heran sendiri
te rhadap perasaan hatinya.
Dia merasa seperti pernah berte mu dengan gadis
itu, atau setidaknya pernah melihatnya! Akan
tetapi dia lupa lagi entah di mana. Sudah te rlalu
banyak dia berte mu gadis atau wanita muda yang
cantik, maka dia tidak ingat lagi di mana dia
berte mu dengan gadis itu. Akan tetapi, yang
membuat dia merasa pernah bertemu terutama
sekali adanya permainan sepasang pedang itu!
Bi Lan melanjutkan perjalanan dengan cepat
sambil menggendong Lan Lan yang tertidur. Hari
telah menjelang senja dan ia harus mendapatkan
sebuah rumah penginapan, di kota, atau mondok
di rumah penduduk dusun. Juga keributan tadi
membuat ia tidak dapat memberi makan kepada
Lan Lan, maka sore hari ini mereka harus mencari
makanan. Ia merasa jengkel terhadap diri sendiri mengapa
belum juga bayangan pemuda itu le nyap dari
depan matanya. Masih terus te rbayang wajahnya,
te rngiang suaranya. He ran, ia merasa pernah
melihat pemuda itu, entah di mana dan kapan. Bi
Lan dan juga Hong San lupa bahwa mereka bukan
saja pernah s aling berjumpa bahkan pernah saling
serang! Ketika Hong San berkelahi menghadapi
pengeroyokan Lie Koan Tek dan Poa Liu Hwa,
muncul Bi Lan yang membantu Lie Koan Tek,
pamannya itu. Memang hanya merupakan perkelahian singkat, karena Hong San tidak mau
melayani pengeroyokan mereka bertiga dan segera
melarikan diri begitu Bi Lan muncul dan membantu dua orang yang mengeroyoknya.
Matahari telah condong ke barat ketika Bi Lan
memasuki kota Peng-lu di pantai selatan Huangho. Kota di pantai Sungai Kuning ini cukup besar
dan ramai, dan dengan mudah Bi Lan mendapatkan sebuah kamar di hotel yang cukup
bersih. Ia sudah membelikan pakaian untuk Lan Lan di
kota yang dilewatinya beberapa hari yang lalu.
Setelah memandikan Lan Lan dan mengganti
pakaian anak itu, dan ia sendiripun sudah mandi
dan bertukar pakaian bersih, ia mengajak Lan Lan
keluar dari rumah penginapan dan mencari rumah
makan. Kebetulan sekali tak jauh dari rumah
penginupan itu te rdapat sebuah rumah makan
yang tidak begitu penuh tamu. Bi Lan memondong
Lan Lan memasuki rumah makan itu disambut
oleh seorang pelayan tua dengan ramah.
Bi Lan memilih di sudut yang kosong dan
memesan makanan, nasi sayur dan minuman te h.
Tak lama kemudian, ia sudah menyuapi Lan Lan
yang makan dengan lahapnya karena anak ini
memang lapar, sejak pagi tadi belum makan.
Sambil menyuapi Lan Lan, Bi Lan juga makan.
Karena asyik makan sambil menyuapi Lan Lan, Bi
Lan tidak tahu bahwa sejak tadi ada beberapa
pasang mata memperhatikannya. Tiga pasang mata
mengamatinya secara langsung dari sebuah meja
te rbesar di rumah makan itu, mata dari tiga orang
yang berpakaian seperti perwira yang gagah dan
gemerlapan. Ada pula sepasang mata mengamatinya dari te mpat gelap di luar rumah
makan, yaitu mata dari Can Hong San. Pemuda ini
tidak mau memasuki rumah makan karena dia
tidak ingin dianggap membayangi gadis itu.
Baginya asal dapat melihat dan tahu di mana gadis
itu berada sudah cukup. Akan te tapi, Hong San
juga tahu bahwa tiga orang berpakaian perwira
tinggi itu mengamati si gadis dengan sinar mata
seperti singa kelaparan. Diapun memperhatikan
mereka. Seorang di antara mereka berusia kurang
le bih limapuluh tahun, pakaian perwiranya dihias
benang emas gemerlapan dan sarung pedang yang
te rgantung di pinggangnya amat indah, seperti
emas pula dan terukir, dengan gagang yang diukir
kepala burung dan ada ronce-ronce benang sutera
merah. Dua orang lainnya berusia kurang le bih
empatpuluh tahun, dan agaknya merupakan
perwira-perwira yang pangkatnya le bih rendah.
Sikap merekapun merendah te rhadap perwira
tinggi yang lebih tua. Hong San memperhatikan perwira tinggi yang
berusia limapuluh tahun itu.
Dari sikap dan pandang matanya saja diapun
dapat menduga bahwa perwira itu seorang yang
cerdik dan agaknya memiliki ilmu kepandaian
tinggi, sedangkan dua orang pembantunya juga
orang-orang yang berpakaian rapi dan bersikap
gagah. Perwira tinggi itu bertubuh tinggi, agak
kurus dengan tulang pipi menonjol di bawah kanan
kiri mata, hidungnya tinggi dan mulutnya yang
le bar dengan bibir te bal membayangkan gairah
yang besar. Mulut itu sebagian tertutup kumis
te bal yang berjuntai ke bawah di kanan kiri
mulutnya. Jenggotnya terpelihara rapi, digunting
pendek. Kepalanya memakai topi perwira yang
dihias sulaman benang emas pula.
Tiga orang perwira itu sudah berada di dalam
rumah makan ketika Bi Lan dan Lan Lan masuk ke
situ, dan begitu wanita muda itu masuk, mereka
sudah memandang dengan penuh perhatian.
Karena pimpinan mereka nampak te rtarik sekali,
maka dua orang perwira pembantu itupun te rtarik
dan mereka membicarakan Bi Lan sambil berbisikbisik. Mereka adalah tiga orang perwira yang
datang dari Lok-yang Mereka merupakan perwiraperwira tinggi yang bertugas melakukan ins peksi
ke daerah-daerah, dan ketika tiba di kota Peng-lu,
mereka kemalaman, bermalam di rumah kepala
daerah dan malamnya mereka keluar untuk jalan
jalan dan membeli makanan. Andaikata mereka
memasuki rumah makan itu bersama kepala
daerah, te ntu para karyawan rumah makan itu
akan menyambut mereka dengan cara lain. Akan
tetapi, biarpun pangkat mereka lebih tinggi dari
pada kepala daerah Peng-lu, akan tetapi tidak ada
yang mengenal mereka, maka mereka dianggap
seperti tamu saja dan hanya diberi meja besar di
rumah makan itu karena penampilan mereka yang
mewah dan berwibawa. Perwira tinggi itu adalah seorang panglima
bernama Su Ki Seng, terkenal dengan sebutan Suciangkun (perwira Su) dan dia memang terkenal
sebagai seorang panglima yang pandai dan juga
lihai. Seluruh kepala daerah di wilayah Propinsi
He -nan takut belaka kepadanya. Panglima ini
pandai menemukan kesalahan-kesalahan para
kepala daerah dan karena dia berkuasa dan
berpengaruh di kota raja, maka para kepala daerah
tunduk kepadanya. Mereka selalu menyambut
kunjungannya dengan berbagai hadiah untuk
menyenangkan hati panglima itu sehingga dia
tidak akan mengganggu mereka dan menutup mata
saja kalau terdapat kejanggalan atau kesalahan.
Keadaan seperti itu membuat Su-ciangkun menjadi
kaya raya. dan dia hidup sebagai bangsawan yang
kaya raya di Lok-yang, dengan rumah gedung
besar dan indah megah seperti istana, mempunyai
seorang isteri dan belas an orang selir dan dayang.
Namun, seperti kebiasaan para pejabat yang
suka melakukan tugas keliling ke luar kota dan
luar daerah pada masa itu, Su-ciangkun yang
biasanya hanya dikawal beberapa orang pembantunya dan tidak membawa keluarganya,
dia selalu seperti seekor kucing kelaparan. Harta
benda dia sudah punya le bih dari cukup, dan
semua hadiah dan sumbangan yang dite rimanya
dari para pejabat daerah, akan diurus oleh para
pembantunya. Akan te tapi yang membuat dia
kehausan adalah wanita! Su-ciangkun seorang pria
yang mata keranjang dan tidak pernah puas
dengan isteri dan belasan orang selirnya. Kalau dia
sedang melakukan perjalanan ke luar kota Lokyang, dia s elalu mencari sasaran dan korban untuk
memuaskan hasrat dan gairahnya. Wataknya
inipun diketahui ole h para kepala daerah dan
setiap kali dia datang, tentu para kepala daerah
yang ingin menyenangkan hatinya, menyediakan
wanita hiburan untuknya! Akan te tapi, sekali ini Su-ciangkun merasa
bosan dengan wanita hiburan. Dia mengajak dua
orang pembantunya yang juga merupakan pengawal dan pesuruhnya, untuk keluar dari
rumah kepala daerah, makan di restoran dan tentu
saja mencari kesempatan kalau kalau dapat
berte mu dengan wanita yang menarik hatinya. Dan
kebetulan sekali, ketika mereka makan di rumah
makan, Bi Lan masuk dan segera perwira ynng
mata keranjang itu te rbetot semangatnya! Matanya
yang berminyak tak pernah melepaskan Bi Lan,
diamatinya wanita itu, wajahnya dan seluruh
tubuhnya. Makin diamati, makin te rgila-gila.
Bahkan ketika Bi Lan makanpun, nampak begitu
menggairahkan bagi Su-ciangkun.
"Apakah tai-ciangkun suka padanya?" bisik
seorang pembantunya yang bermuka hitam dan
dikenal dengan sebutan Lu-ciangkun.
"Agaknya dia wanita baik-baik, harus dilakukan
pendekatan dengan halus," kata pula Ji-ciangkun,
pembantu lain yang matanya sipit.
Su-ciangkun mengangguk-angguk dan meraba
je nggotnya. "Hebat, ia sungguh menarik. Aku akan
berbahagia sekali kalau malam ini dapat membawanya ke kamarku."
"Apa sukarnya?" kata pembantu yang mukanya
hitam. "Beritahu saja kepala daerah, tentu dia
akan dapat memaksa wanita ini menemani taiciangkun." "Hussh, aku tidak mau ramai-ramai," cela Suciangkun. "Me malukan kalau sampai te rdengar
umum kita membuat keributan di sini."
"Me mang sebaiknya kita membuat pendekatan.
Kita undang ia ke sini atau kita yang mendatangi
mejanya untuk belajar kenal. Kalau kita sudah
mengetahui keadaannya, baru dilakukan penjajagan apakah kiranya ia dapat dibawa dengan
cara halus tanpa paksaan," kata Ji-clangkun si
mata sipit. Su-ciangkun mengangguk setuju dengan cara
itu. "Sebaiknya engkau yang pergi mendekatinya
dan bicara dengannya secara halus," kata Su
ciangkun kepada pembantunya yang bermata sipit
itu. Pembantunya ini memang pandai bicara, tidak
main kasar seperti rekannya yang bermuka hitam.
Ji-ciangkun mengangguk, lalu bangkit dan
menghampiri meja Bi Lan yang kebetulan sudah
selesai makan. Me lihat ada orang menghampirinya,
Bi Lan mengangkat muka memandang dan alisnya
berkerut ketika melibat bahwa yang menghampirinya adalah seorang yang berpakaian
perwira. Akan tetapi, perwira yang bermata sipit itu
bersikap hormat, mengangkat kedua tangan ke
depan dada dan berkata dengan sikap yang sopan.
"Maafkan saya kalau mengganggu, nona. Bolehkah saya bicara sebentar?" Bi Lan adalah
seorang gadis kangouw yang tidak pemalu seperti
gadis pingitan. Ia sudah berpengalaman dan tabah,
maka biarpun ada laki-laki yang tidak dikenalnya
mendekat dan mengajak bicara, ia sama sekali
tidak merasa sungkan atau kehilangan akal. Ia
mengangguk. "Silakan, apa yang akan dibicarakan?" tanyanya.
Ji-ciangkun merasa mendapat
hati. Iapun melihat sepasang pedang yang berada di atas meja,
dan dia menduga bahwa dia berhadapan dengan
wanita kangouw. Hal ini akan le bih memudahkan,
jauh lebih mudah daripada kalau berhadapan
dengan wanita yang pemalu.
Maka, dia lalu duduk di depan Bi Lan, terhalang
meja. "Perkenalkan, nona. Nama saya Ji Kun. Saya
pembantu dari panglima yang duduk di sana itu.
Beliau adalah Su-tai-ciangkun yang berkedudukan
tinggi di kota raja, kaya raya dan bangsawan besar.
Yang bermuka hitam itu adalah rekan saya, Luciangkun. Kami bertiga bertugas ke luar kota raja
dan sekarang menjadi tamu-tamu kehormatan dari
kepala daerah di Peng-lu ini."
Kerut di antara kedua alis Bi Lan semakin
dalam. Biarpun suaranya halus, namun mengandung te guran. "Ji-ciangkun, apa artinya
semua ini" Mengapa ciang-kun menceritakan
semua itu kepadaku" Semua itu tidak ada
hubungannya sedikitpun dengan aku. Katakan,
apa maksud ciangkun menghampiriku dan bicara
denganku" Apa yang perlu dibicarakan?"
Sikap te gas ini, walaupun dikeluarkan dengan
suara le mbut, membuat Ji-ciangkun agak gugup
juga. Tadinya dia mengira bahwa wanita yang
dihadapi nya akan bersikap dua macam, pertama,
menerimanya dengan malu-malu kucing dan kedua
dengan keras menolak. Akan tetapi wanita ini
demikian tenang dan tegas, sama sekali tidak
merasa rendah diri walaupun berhadapan dengan
seorang perwira tinggi! "Maaf, nona. Bolehkah kami mengetahui nama
nona yang terhormat?"
Pertanyaan itu tidak pada te mpatnya. Seorang
laki-laki asing menanyakan nama gadis yang baru
dijumpainya dan yang tidak dikenalnya. Akan
tetapi karena pertanyaan itu diajukan dengan katakata yang sopan, dan karena Bi Lan tidak begitu
te rikat oleh sopan santun palsu, maka hal ini tidak
menyinggung hatinya dan dengan tenang iapun
memperkenalkan diri, apalagi mengingat bahwa
orang itu te lah memperkenalkan diri, bahkan juga
nama dua orang te mannya.
"Namaku Kwa Bi Lan. Kenapa ciangkun ingin
tahu namaku?" Ji-ciangkun te rsenyum le bar. "Nona Kwa, bukankah sudah jamak kalau orang-orang yang
saling berkenalan saling bertanya nama" Terus
te rang saja, nona, aku diutus oleh atasanku, yaitu
Su ciangkun yang duduk di sana itu bahwa beliau
amat kagum kepadamu. Beliau ingin sekali
berkenalan dan kalau nona tidak berkeberatan,
nona dipersilakan datang dan duduk semeja
dengan beliau, atau beliau yang akan datang ke
sini.'' Bi Lan sudah merasa betapa dadanya mekar dan
panas. Dengan cara yang sopan bagaimanapun
juga, jelas bahwa undangan itu bermaksud
mes um. Mukanya mulai merah dan alisnya
berkerut. Melihat gelagat ini, Ji-ciangkun yang
cukup berpengalaman segera melanjutkan katakatanya. "Harap nona jangan salah mengerti. Atasan kami
itu, Su-ciangkun, selain menjadi panglima tinggi
yang berkedudukan tinggi dan berkuasa besar,
juga merupakan seorang jagoan istana, seorang
ahli silat yang suka sekali berkenalan dengan
orang-orang kang-ou w yang berilmu tinggi. Maka,
melihat nona tadi masuk sambil membawa siangkiam (s epasang pedang), beliau sudah te rtarik
sekali dan ingin berbincang-bincang dengan nona
mengenai dunia kangouw dan ilmu silat, terutama
ilmu pedang karena beliau juga ahli silat pedang."
Memang cerdik sekali Ji-ciangkun itu. De ngan
ucapan seperti itu, tentu saja tidak ada alas an
berniat kurang ajar, melainkan seorang ahli silat
yang te rtarik kepadanya karena ia membawa
pedang, bukan laki-laki kurang ajar te rtarik
kepada kecantikan wanita dan berniat mesum!
"Ah, begitukah" Su-ciangkun te rlalu merendahkan diri. Aku hanya orang yang pernah
belajar sedikit ilmu pedang, tidak ada apa-apa yang
patut dibicarakan." "Tapi, Kwa-lihiap (pendekar wanita Kwa). Kuharap li-hiap tidak menolak undangan Su-tai
ciangkun, karena menolak berarti memandang
rendah kepada beliau. Kalau lihiap merasa
sungkan, biarlah kami yang datang ke meja li-hiap.
Berse diakah lihiap menerima kunjungan Su-taiciangkun ke sini?" Bi Lan te rsudut dan tidak mampu menolak lagi.
Pula, timbul keinginan hatinya untuk mengetahui,
apa yang akan dikatakan seorang panglima besar
kepadanya! Ia mengangguk dan berkata lirih,
"Silakan!" Dan iapun duduk memangku Lan Lan
yang bermain-main dengan sepasang sumpit
bersih. Ji-ciangkun menghampiri atasannya dengan
wajah berse ri, lalu berbisik lirih. "Kwa-lihiap sudah
setuju untuk menerima paduka di mejanya.
Silakan, tai ciangkun!"
Su-ciangkun girang bukan main. Dia menggunakan tangan kirinya untuk mengusap
bibir, kumis dan je nggot agar nampak bersih, lalu
menggosok-gosok kedua tangan. Dari ucapan
pembantunya tadi saja dia tahu bahwa gadis yang
amat menarik hatinya itu adalah seorang wanita
kangouw, maka disebut lihiap oleh Ji-ciangkun.!
Dia bangkit dan menghampiri meja Bi Lan di
sudut, diikuti oleh kedua orang pembantunya.
Su-ciangkun yang sudah berpengalaman itu
mengangkat kedua tangan di dada sebagai
penghormatan. "Kwa-lihiap maafkan kalau kami
mengganggu." "Su-ciangkun, silakan duduk dan jangan menyebut lihiap kepadaku karena aku belum tepat
untuk dis ebut pendekar."
"Aih, lihiap merendahkan diri. Dari gerak-gerik
lihiap saja aku sudah dapat menduga bahwa lihiap
te ntu lihai sekali memainkan siang-kiam ini." Dia
duduk dan menunjuk ke arah sepasang pedang di
atas meja. "Siang-kiam ini hanya untuk penjagaan kalaukalau di te ngah perjalanan aku berte mu dengan
srigala atau harimau yang ganas, ciangkun."
"Kalau bole h aku mengetahui, lihiap dari
perguruan manakah" Dan siapakah gurumu?" Suciangkun pura-pura bicara te ntang ilmu silat,
padahal di dalam hatinya dia tentu saja memandang rendah kepandaian seorang muda
seperti Bi Lan yang usianya baru duapuluh tahun
le bih itu, dan dia mendapatkan kesempatan untuk
mengagumi kecantikan dan kemontokan tubuh
wanita itu tanpa mendatangkan kesan kurang ajar.
Sebetulnya, Bi Lan tidak suka bicara te ntang
dirinya, dan dia tidak suka pula berbincangbincang dengan perwira yang tidak dikenalnya ini.
Akan te tapi karena tiga orang itu bersikap sopan,
apalagi mereka bicara sebagai orang-orang dari
dunia persilatan, ia merasa tidak enak juga kalau
tidak menanggapi. Terle bih lagi, ia tidak suka menyebut nama
mendiang gurunya yang juga suaminya, maka
dengan sederhana dan sambil lalu iapun menjawab, "Aku pernah mempelajari sedikit ilmu
silat dari seorang murid Siauw lim-pai......"
"Ah, kiranya seorang murid Siauw-lim pai yang
gagah!" Su-ciangkun berseru, pura-pura kaget dan
diapun bangkit berdiri, "Maafkan kalau kami
bersikap kurang hormat, Kwa-lihiap.!"
Bi Lan juga bergegas membalas penghormatan
itu. "Su-ciangkun terlalu memuji. Aku hanya murid
tingkat rendahan saja, mana bisa disamakan
dengan ahli-ahli silat yang lihai dari Siauw-lim
pai?" "Harap Kwa-lihiap tidak terlalu merendah, dan
tidak pula terlalu pelit untuk memberi petunjuk
te ntang ilmu pedang kepadaku. Kupersilakan
lihiap untuk singgah di te mpat kediaman kami dan
memberi petunjuk ilmu pedang, dan untuk itu
sebelumnya aku menghaturkan banyak te rima
kasih." 
Bi Lan te rkejut. Orang ini te rlalu jauh melangkah, pikirnya. "Tapi aku... aku dan......anakku ini ingin beristirahat, besok pagi
akan melanjutkan perjalanan......"
"Kami jemput dan antar dengan kereta, lihiap.
Jangan khawatir, karena beliau ini tamu kehormatan dari kepala daerah," kata Ji-ciangkun
membujuk. "Kwa-lihiap tentu tidak akan te ga menolak
ajakan Su-tai-ciangkun, mengingat bahwa kita
sama-sama dari dunia persilatan yang selalu
menghargai orang lain yang ingin menguji ilmu
silat." Lu-ciangkun ikut pula membujuk.
Bi Lan.menjadi serba salah. Melihat keraguan
wanita itu, Su-ciangkun lalu membujuk lagi,
"Nona........eh, nyonya tidak perlu ragu-ragu.
Kami mengundang lihiap dengan hormat, pula,
lihiap berkunjung ke te mpat kami bersama puteri
lihiap yang mungil ini. Bagi kita orang-orang
kangouw, hal ini sudah wajar, bukan?"
Ji-ciangkun sudah berlari keluar mempersiapkan kereta dan akhirnya Bi Lan tidak
dapat menolak lagi. Bagaimanapun juga, perwira
itu mengundang dengan sikap hormat, dan iapun
tidak takut. Mereka ini bukan perampok, bukan
penjahat, melainkan orang-orang berpangkat, orang-orang bangsawan yang te rhormat. Tidak
mungkin mereka akan melakukan hal-hal yang
tidak patut. "Baiklah, akan tetapi sebentar saja, hanya untuk
menguji ilmu pedang sebentar, karena aku harus
segera kenbali ke kamar hotel untuk menidurkan
anakku," katanya dan iapun memondong Lan Lan,
membawa pedang dan mengikuti Su-ciangkun dan
dua orang pembantunya keluar dari rumah makan,
naik ke kereta yang sudah disiapkan di depan, lalu
pergi ke rumah kepala daerah.
Makin le ga rasa hati Bi Lan ketika melihat
betapa di rumah kepala daerah kota Peng-lu, Suciangkun dan dua oran g pembantunya benar-benar
disambut dengan segala kehormatan. Dan sebagai
tamu agung, agaknya Su-ciangkun tidak begitu
mengindahkan kepala daerah yang menyambutnya
dengan tubuh membungkuk- bungkuk! Bahkan Suciangkun menyatakan bahwa dia tidak ingin
diganggu karena dia hendak menjamu tamunya,
yaitu Kwa lihiap! Langsung saja Su-ciangkun bersama dua orang
pembantunya memasuki bangunan sebelah kanan
yang memang dikosongkan dan disediakan untuk
tamu-tamu agung itu. Ketika Su-ciangkun memerintahkan pelayan untuk mengeluarkan
hidangan, Bi Lan mengerutkan alisnya dan
menolak halus. "Ciangkun sendiri melihat bahwa
aku dan anakku baru saja makan di rumah makan
itu, bagaimana mungkin kami dapat menerima
hidangan makanan lagi?"
"Bukan hidangan makanan berat, lihiap, hanya
makanan ringan dan terutama sekali anggur yang
sedap dan le zat. Kepala daerah kota ini menyimpan
anggur yang sudah tua dan enak sekali," kata Suciangkun dan Bi Lan tidak membantah lagi. Ia
tidak begitu suka minum arak, akan te tapi kalau
anggur itu tidak terlalu keras, boleh juga ia minum
beberapa cawan. Ji-ciangkun dan Lu ciangkun menyuruh pelayan
menyingkirkan meja kursi di ruangan belakang
yang luas itu, karena te mpat itu akan dijadikan
te mpat mengadu ilmu pedang. Ketika anggur
dikeluarkan, benar saja anggur itu manis dan tidak
te rlalu keras, namun halus dan tidak mencekik
le her. Bi Lan membatasi diri, hanya minum dua
cawan. "Sudah cukup, ciangkun. Sebaiknya mari kita
cepat menguji ilmu pedang karena sungguh aku
tidak dapat berlama-lama di sini. Anakku sudah
kelihatan mengantuk." Bi Lan memandang Lan Lan
yang ia dudukkan di bangku panjang. Anak itu
bermain-main dengan sebuah boneka pute ri yang
dipakai sebagai hiasan di ruangan itu.
Su-ciangkun te rtawa. "Ha-ha, lihiap tergesa-gesa
saja. Dan sungguh mati, lihiap, tadinya kami tidak
mengira sama sekali bahwa anak yang manis ini
adalah pute ri lihiap. Agaknya.....maaf lihiap belum
cocok untuk menjadi seorang ibu. Sekali lagi
maaf......" Ucapan itu agak melanggar susila, akan tetapi
karena berkali-kali perwira itu minta maaf, maka
Bi Lan te rsenyum. "Tidak apa, ciangkun. Mari kita
mulai. Lan Lan, kau duduk dulu di sini, ya " Ibu
ingin latihan sebentar."
Lan Lan yang sudah mengantuk itu mengangkat
muka memandang ibunya, lalu bertanya, "Ibu akan
berlatih pedang?" Lan Lan sudah biasa melihat
orang bersilat, dan ia paling senang kalau ayah
atau ibunya berlatih silat pedang.
"Ha-ha-ha, ibunya pendekar wanita, anaknya
yang masih sekecil ini sudah mengerti ilmu
pedang. Tentu kepandaian lihiap hebat sekali!" Suciangkun memuji, walaupun dalam hatinya tetap
memandang rendah. Semua ini dia lakukan hanya
untuk beramah-tamah dan basa-basi saja, karena
pada dasarnya, yang dia inginkan adalah tidur
dengan wanita muda itu! Bi Lan yang tidak ingin berlama-lama di te mpat
itu, sudah meloncat ke tengah ruangan yang te lah
dibersihkan itu, menjura ke arah tuan rumah dan
berkata, "Marilah, ciangkun, kita berlatih sebentar
seperti yang ciangkun kehe ndaki agar aku tidak
kemalaman membawa anakku ke rumah penginapan." "Me ngapa lihiap tergesa-gesa" Bermalam di
sinipun ada te mpatnya, bahkan lebih bersih dan
nyaman dibandingkan rumah penginapan. Akan
tetapi baiklah, aku ingin sekali mendapat petunjuk
ilmu pedang darimu." Setelah berkata demikian,
sekali menggerakkan tubuh, Su-ciangkun te lah
meloncat dan berada di depan wanita itu.
Ge rakannya cukup lincah, tanda bahwa dia
memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang
cukup baik. Tanpa basa-basi lagi, Bi Lan mencabut s epasang
pedangnya dan melihat cara wanita itu mencabut
pedang saja tahulah Su-ciangkun bahwa wanita itu
menggunakan pedang bukan sekedar untuk pamer. Memang cara mencabut pedang itu saja
sudah menunjukkan keahlian. Maka diapun mencabut pedangnya yang berkilauan karena
pedang itu adalah pemberian kaisar, merupakan
sebatang pedang yang te rbuat dari baja yang baik
sekali. "Silakan, ciangkun."
"Aku adalah tuan rumah dan engkau tamuku,
lihiap. Silakan lihiap menyerang lebih dulu."
"Maafkan aku, ciangkun. Lihat pedang.!" Bi Lan
membuka serangan dengan pedang kirinya yang
meluncur ke depan menusuk dada, disusul pedang
kanan menyambar dari atas membacok kepala
dengan jurus Angin bertiup kilat menyambar yang
gerakannya cepat dan mengandung te naga le mbut
namun kuat. "Bagus!" Su Ki Seng yang mahir ilmu pedang
campuran Butong-pai dan Kunlun pai, cepat
mengelak dengan loncatan mundur sambil menangkis yang membacok dari atas. Terdengar
suara nyaring dan perwira itu terkejut. Ketika
pedangnya berte mu dengan pedang kanan wanita
itu, dia merasa betapa lengannya tergetar!
Kekagetannya disusul kekaguman ketika Bi Lan
memainkan sepasang pedangnya, wanita itu bukan
saja memiliki sinkang yang kuat, akan tetapi juga
ilmu pedangnya amat hebat! Kalau tadinya Suciangkun kagum akan kecantikannya dan merindukan wanita ini karena berahi, kini terjadi
perubahan besar dalam hatinya. Dia adalah
seorang bangsawan yang selalu bisa mendapatkan
apa saja yang dia inginkan. Kini, melihat bahwa
wanita yang cantik ini memiliki ilmu silat yang
amat lihai, diapun membayangkan betapa akan
senangnya kalau wanita seperti ini dapat menjadi
pengawal pribadinya! Bukan lagi ingin memanfaatkan kecantikannya, melainkan kepandaiannya. Kalau yang pertama untuk memuaskan gairah berahinya, yang terakhir ini
untuk menjamin keamanan pribadinya.
"Trang- trang-singg........!" Bunga api berpijarpijar ketika Su-ciangkun memutar pedangnya
menangkis sepasang pedang yang mendesaknya
bagaikan dua ekor kumbang yang melayang-layang
dan siap untuk menyengatnya itu.
"Bukan main! Ilmu pedang yang hebat.....!" Dia
berseru dan seruan ini merupakan is yarat kepada
dua orang pembantunya. Mereka memang sudah
siap dan sejak tadi, mereka menonton pertandingan itu sambil mendekati Lan Lan.
Bi Lan ingin cepat menyudahi pertandingan itu,
maka sengaja ia mengeluarkan seluruh kepandaian
dan mengerahkan semua tenaga untuk mengalahkan perwira itu agar ia dapat segera pergi
bersama Lan Lan meninggalkan te mpat itu. Akan
tetapi, Su-ciangkun te rnyata bukan orang le mah
dan dapat menjaga diri dengan baik sehingga
setelah lewat limapuluh jurus, ia hanya mampu
mendesak dan tidak memberi kesempatan kepada
lawan untuk membalas . Tiba-tiba Su-ciangkun meloncat jauh ke belakang sambil berseru, "Kwa-lihiap, tahan dulu!"
Bi Lan menghentikan gerakan pedangnya, berdiri
te gak dan memandang kepada perwira itu sambil
te rsenyum. Tentu perwira itu mengaku kalah dan
ia akan segera pergi dari situ.
"Kwa-lihiap, ilmu pedangmu sungguh hebat. Aku
kagum sekali dan te rimalah hormatku!" kata
perwira itu dengan suara sungguh-sungguh,
bahkan dia lalu mengangkat kedua tangan ke
depan dada memberi hormat.
"Ah, Su-ciangkun te rlalu merendah. Ilmu pedangmu juga hebat dan te rima kasih bahwa
engkau telah mengalah," kata Bi Lan, menggunakan sikap dan bicara yang merendah
dari para ahli persilatan yang saling menguji ilmu.
"Sekarang terpaksa aku berpamit, akan kembali ke
kamar hotel bersama anakku, karena ia harus
segera mengaso dan tidur."
"Kwa-lihiap, sekarang aku ingin berterus terang
kepadamu. Kuharap engkau dan pute rimu suka
bermalam saja di rumah kepala daerah ini, dan
aku akan mengutus orang untuk mengambil
barang-barangmu dari kamar hotel. Besok akan
kuantar engkau ke kotaraja."
Bi Lan te rbelalak, lalu alisnya berkerut.
"Ciangkun, apa artinya ini" Apa maksudmu?"
"Kami membutuhkan seorang yang memiliki
kepandaian sepertimu, lihiap. Percayalah, kalau
engkau ikut dengan aku, engkau akan memperoleh
kedudukan dan kemuliaan. Untuk langkah pertama, engkau menjadi pengawal pribadiku di
gedungku, kemudian lambat laun aku akan
memperkenalkan engkau kepada Pangeran Mahkota yang membutuhkan orang-orang pandai......." 
"Tidak, aku tidak mau! Aku akan pergi dengan
Lan Lan sekarang juga!" kata Bi Lan dan ia
menengok ke arah Lan Lan., Wajahnya berubah
dan ia marah sekali. Dua orang perwira pembantu
tadi telah berdiri di kanan kiri Lan Lan dengan
pedang di tangan dan sikap mereka mengancam!
"Kwa-lihiap, ini merupakan perintah seorang
petugas negara!" kata Ji-ciangkun membujuk.
"Lihiap boleh memberitahu di mana suami lihiap,
dan kami akan mengundangnya pula. Keluargamu
akan memperoleh kedudukan yang baik di istana."
Wajah Bi Lan menjadi merah mendengar
suaminya disebut-sebut. "Tidak, aku tidak ingin
bekerja di kota raja!"
"Engkau tidak ada pilihan lain, lihiap. Ini
perintah petugas negara!" kata Su-ciangkun dan
pada saat itu, muncullah puluhan orang perajurit
mengepung te mpat itu dengan senjata lengkap.
Kiranya dua orang pembantu Su-ciangkun tadi
diam-diam te lah mengatur dan minta bantuan
pasukan keamanan dari kepala daerah.
Bi Lan menjadi marah bukan main, "Hemm,
kalian menggunakan cara gerombolan penjahat
saja! Kalau aku tidak mau, kalian mau apa?"
Su-ciangkun te rsenyum. "I ni siasat pasukan,
bukan sias at gerombolan, lihiap. Kalau engkau
tetap menolak, terpaksa kami tangkap engkau dan
pute rimu dan memaksamu menghadap yang
berwenang di kota raja."
Pada saat itu, terdengar suara suling melengking. Semua orang te rkejut, dan Bi Lan
mengangkat muda dengan girang karena ia tahu
bahwa kembali si peniup suling datang membantunya. Ia sedang te rsudut dan tidak
berdaya, sungguh amat membutuhkan bantuan.
"Minta seseorang bekerja tidak boleh menggunakan paksaan!" terdengar suara orang
setelah lengking suling itu berhenti dan muncullah
Can Hong San. Begitu bayangannya berkelebat,
tahu-tahu dia telah melayang ke arah Lan Lan dan
dua orang perwira Lu dan Ji yang memegang
pedang, siap menyambutnya dengan serangan.
Akan te tapi, demikian cepatnya gerakan suling di
tangan Hong San sehingga tahu-tahu dua orang
itu-pun roboh terkulai, te rtotok sulingnya dan di
lain saat, Hong San telah memondong Lan Lan!
"Nona, mari kita pergi saja dari sini!" katanya.
"Akan tetapi ingat, jangan membunuh orang!"
Bi Lan te rsenyum. Bukan main le ga rasa
hatinya. Ia sendiri tidak takut
menghadapi pengepungan dan pengeroyokan itu, akan tetapi ia
tadi sungguh tidak berdaya melihat Lan Lan
ditodong dua orang perwira pembantu. Ia tahu
bahwa tidak mungkin dalam keadaan dikepung itu
ia akan mampu membebaskan Lan Lan. Dan
te rnyata pemuda itu telah menyelamatkan Lan
Lan, karena selain gerakannya amat cepat, juga
orang tidak menduga bahwa pemuda itu datangdatang merampas Lan Lan dari todongan dua
orang perwira. Ia te rsenyum karena pemuda itu
masih sempat mengingatkannya agar tidak membunuh orang. 
Ketika melihat pemuda itu sudah membuka
jalan dengan tendangan kakinya dan gerakan
sulingnya, iapun segera meloncat ke dekat pemuda
itu dan membantunya membuka jalan keluar dari
gedung itu. Hong San yang memondong Lan Lan sambil
memainkan sulingnya, diam-diam merasa kagum
sekali kepada Bi Lan. Juga kagum kepada
pute rinya, yaitu anak perempuan mungil yang
berada di pondongannya itu, yang disangkanya
te ntulah anak wanita cantik perkasa itu. Betapa
dia tidak akan kagum melihat Lan Lan yang baru
berusia dua tahun lebih itu, sama sekali tidak
nampak ketakutan. Juga tidak menangis walaupun
berada dalam pondongan orang yang tidak
dikenalnya dan pemondongnya itu dikeroyok
banyak orang! Dan diapun kagum melihat ibu anak
itu benar-benar tidak membunuh orang, hanya
menggunakan pedangnya untuk membuat para
pengeroyok melepaskan senjata, dan menendang
atau menampar dengan tangan kiri, merobohkan
para pengeroyok yang menghalang di depan akan
tetapi sama sekali tidak membunuh orang, seperti
yang dipes ankan tadi. Karena ilmu kepandaian mereka memang tinggi,
maka tidak sukar bagi mereka berdua untuk lolos
dari kepungan, melarikan diri keluar dari rumah
gedung kepala daerah. Mereka tanpa banyak cakap
lagi lari ke te mpat penginapan dan setelah Bi Lan
mengambil buntalan pakaiannya dan membayar
sewa kamar, ia dan Hong San segera keluar kota
Peng-lu atas ajakan Hong San.
"Setelah peristiwa tadi, sungguh tidak aman bagi
kita untuk tinggal di dalam kota ini," demikian
pemuda itu berkata. "Me reka adalah perwiraperwira dari kota raja, dan menjadi tamu kepala
daerah. Mereka tidak akan mau sudah begitu saja
dan pasukan te ntu akan mencari kita di seluruh
kota." "Malam hampir tiba, lalu kami harus bermalam
di mana" Lan Lan juga sudah mulai mengantuk,"
kata Bi Lan yang menggendong buntalan pakaian
di punggung dan memondong Lan Lan yang sudah
melenggut karena kelelahan dan mengantuk.
"Di luar kota Peng-lu ini terdapat sebuah dusun
dan aku pernah bermalam di rumah seorang petani
miskin yang baik hati. Malam ini kita bermalam di
sana dan besok pagi-pagi kita melanjutkan
perjalanan menjauhi kota Peng-lu. Aku akan
mencarikan kereta dan kuda untukmu, nona."
Mereka sudah berada di luar kota dan berjalan
perlahan-lahan karena malam mulai tiba dan
cuaca menjadi gelap hanya dite rangi bintangbintang yang bertaburan di angkasa.
Tiba-tiba Bi Lan berhenti melangkah.
"Kenapa, nona?" Hong San bertanya, juga
berhenti. Mereka berdiri di jalan raya yang diapit
persawahan yang luas. Sunyi sekali di tempat itu,
dan yang terdengar hanyalah bunyi katak di sawah
yang riuh rendah saling sahut seperti paduan
suara yang kacau kalau diperhatikan, namun
serasi dan 'hidup' kalau tidak diperhatikan.
"Kenapa berhenti, nona?"
"Kenapa engkau begini memperhatikan kami,
begini baik kepada kami?" Pertanyaan Bi Lan itu
le mbut, namun suaranya mengandung tuntutan
dan kecurigaan. Baru saja timbul dalam pikiran Bi
Lan betapa baiknya orang ini kepadanya. Mengapa
begitu baiknya" Padahal mereka belum berkenalan. Kalau hanya menolongnya dari kepungan penjahat, hal itu tidaklah aneh karena
setiap pendekar tentu akan melakukannya. Akan
tetapi kebaikan orang ini sudah berle bihan, bukan
saja menyelamatkannya dan mengajaknya melarikan diri dari kota Peng-lu, akan tetapi
bahkan hendak menyediakan kuda dan kereta.! Ini
sudah melampaui batas dan menimbulkan kecurigaan. Sejenak Hong San tertegun karena kaget
mendengar pertanyaan yang dirasakannya seperti
suatu serangan kilat itu. Untung bahwa malam
gelap menyembunyikan wajahnya. Dia segera
dapat menenangkan hatinya yang tadi khawatir
kalau-kalau gadis ini mengetahui latar belakang
kehidupannya. Dia tertawa kecil dan berkata
dengan suara halus. "Aih, benar juga engkau, nona. Kita belum
berkenalan, dan tentu saja nona curiga kepadaku.
Nah, perkenalkan, aku Can Hong San......." Dia
berhenti lagi dan mencoba untuk menatap wajah
cantik itu melalui kegelapan malam untuk melihat
reaksi wanita itu ketika dia memperkenalkan
namanya. Akan te tapi sunyi saja dan tidak ada
tanda bahwa wanita itu mengenal namanya, maka
diapun melanjutkan dengan hati lega.
"Aku hidup sebatangkara di dunia ini bebas
le pas seperti seekor burung di udara. Kebetulan
saja di dalam perjalanan, aku bertemu denganmu,
nona. Aku te rtarik dan kasihan ketika melihat
engkau dikeroyok perampok. Dan kebetulan pula
di Peng-lu aku melihat nona memasuki rumah
makan itu. Kemudian melihat nona pergi bersama
para perwira naik kereta. Aku merasa curiga dan
membayangi, kemudian turun tangan membantumu. Nah, demikianlah, nona. Dan
te ntang memperhatikanmu dan baik kepada
kalian, ehh.......kenapa" Bukankah sudah seharusnya hidup ini saling tolong?"
"Tapi.......tapi.......kalau
engkau hidup sebatangkara, bagaimana engkau demikian royal,
hendak membeli kuda dan kereta untuk kami
seperti seorang hartawan besar saja?" Bi Lan
menatap tajam, akan tetapi karena cuaca hanya
remang-remang, te ntu saja ia tidak dapat melihat
wajah pemuda itu dengan jelas.
"Oooooh, itukah?" Hong San te rtawa, "Pantas,
saja engkau curiga, nona. Aku bukan seorang
hartawan, bahkan rumahpun aku tidak punya.
Akan tetapi sebulan yang lalu, aku menyelamatkan
rombongan saudagar kaya dari serbuan para
perampok. Mereka membawa barang dagangan
yang banyak dan berharga sekali. Karena senangnya, mereka memaksaku menerima sekantung emas permata walaupun aku menolak
dan tidak mengharapkan apa-apa. Melihat kerelaan dan kesungguhan hati mereka, agar tidak
mengecewakan, aku menerimanya. Tadinya aku
bingung, untuk apa harta itu bagiku, akan te tapi
sekarang aku girang dapat menggunakan sebagian
dari itu untuk membantumu. Engkau membawa
anakmu yang masih kecil, maka sebaiknya kalau
menggunakan kereta."
Lega rasa hati Bi Lan. Memang ia tidak
mencurigai orang yang te lah dua kali menyelamatkannya dari ancaman bahaya, akan
tetapi karena ia belum mengenal pemuda ini, ia
harus berhati-hati. "Kalau begitu, maafkanlah aku, tai hiap (pendekar besar), dan mari kita lanjutkan perjalanan ke dusun itu."
"Ehhhh" Engkau belum memperkenalkan dirimu, nona....." kata Hong San sambil mengejar
ke depan. "Nanti saja kita bicara lagi kalau sudah tiba di
sana. Anak ini sudah tertidur."
Mereka melangkah, menuju ke dusun yang
sudah kelihatan lampu-lampunya berkelap-kelip di
kejauhan. Melihat wanita itu diam saja, Hong San
merasa khawatir. "Maaf, nona. Mungkin aku tadi keliru menyebut
anak ini sebagai anakmu, mungkin ini adikmu
atau keponakanmu.. "
Dalam kegelapan itu Bi Lan tersenyum. "Ini
anakku, namanya Lan Lan." katanya singkat.
"Ah, maaf, kalau begini anda seorang nyonya,
bukan nona.....! Kenapa nyonya melakukan perjalanan seorang diri bersama anak nyonya?"
"Sudahlah, nanti saja kita bicara."

Hong San maklum bahwa dia berhadapan
dengan seorang wanita yang pendiam dan mungkin
keras hati. Maka diapun tidak mau banyak bicara
lagi dan menjadi penunjuk jalan memasuki dusun
itu dan menghampiri sebuah rumah kecil yang
berdiri di ujung jalan dusun itu. Dia mengetuk
daun pintu sambil memanggil.
"Paman Gu, buka pintu, ini aku yang datang!"
Daun pintu dibuka dari dalam dan seorang lakilaki berusia limapuluhan tahun, berpakaian petani
sederhana, menyambut mereka. Begitu melihat
Hong San, dia tersenyum ramah. "Aih, kiranya
Can-kongcu (tuan muda Can) yang datang!
Bersama siapakah nona ini" Dan dari mana
malam-malam begini..........?"
"Paman Gu, ini adikku dan pute rinya. Aku akan
menyewa kamar itu, bekas kamar anakmu itu,
untuk adikku dan keponakanku ini tidur. Aku
sendiri dapat tidur bersama paman di kamar
paman." "Ah, baiklah, kongcu. He mm, anak ini sudah
pulas , sebaiknya cepat ditidurkan saja. Mari,
nyonya muda, inilah bekas kamar anakku yang
kini ikut suaminya. Tidurlah di sini bersama
anakmu......" Petani itu membukakan pintu sebuah
kamar sederhana yang cukup bersih

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN