NAGA BERACUN JILID 08
Thian Ki tersenyum. Senang hatinya kalau anak
itu bersikap manis kepadanya dan tidak rewel. Diamenganggap Kui Eng bukan hanya sebagai pute ri
suhunya, atau adik seperguruan, akan tetapi
bahkan seperti adik kandung sendiri.
"Kui Eng. sumoiku yang manis. Katakan, di
dunia ini siapa yang paling kausayang?" tanyanya,
pertanyaan yang seringkali dia ajukan karena
jawabannya amat menyenangkan hatinya.
Kui Eng memegang tangan Thian Ki dan tertawa
manja. "Suheng nakal, sudah beberapa kali
kukatakan, sudah tahu, masih terus bertanya."
"Biar hatiku merasa yakin bahwa pengakuanmu
ini sejujurnya dan sebenarnya, sumoi." "Yang
paling kusayang adalah engkau, Suheng Coa Thian
Ki." Thian Ki menunduk dan mencium rambut
kepala sumoinya. "Sesudah aku, lalu siapa yang
paling kausayang?" "Sesudah engkau, aku sayang kepada ibu."
"Eh" Ibumu.......?"
"Kumaksudkan ibumu, bibi Sim Lan Ci. Kalau
engkau menyebut ibu, kenapa aku harus menyebut
bibi" Aku ingin menyebutnya ibu seperti engkau."
"Kenapa tidak" Engkau boleh menyebutnya ibu
te ntu saja, sumoi!."
"Kalau aku menyebut ibu kepada ibumu,
engkaupun harus menyebut ayah kepada ayahku."
Thian Ki menatap wajah anak perempuan itu
dengan kaget. "Ah, jangan begitu, sumoi. Bagaimana aku berani menyebut suhu dengan
sebutan ayah?" "Aku akan bilang kepada ayah. Kalau engkau
tidak mau menyebut ayah kepada ayahku, a kupun
tidak mau menyebut ibu kepada ibumu."
"Tentu saja aku mau, akan tetapi aku tidak
berani. Ayahmu akan marah."
"Tidak, aku yang a kan bilang kepadanya!"
Lan Ci yang mengintai, menjadi merah sekali
mukanya. Kenapa ada peris tiwa te rjadi berturutturut secara begitu kebetulan" Pangeran Cian Bu
Ong melamarnya untuk menjadi isterinya, dan
sekarang ia melihat dan mendengar percakapan
antara Thian Ki dan Kui Eng yang seolah-olah
ingin menjadi saudara dan saling mengakui ibu
dan ayah masing-masing sebagai orang tua sendiri!
Dia lalu muncul dan menghampiri kedua orang
anak itu.
"I bu....!" Thian Ki berseru girang, akan te tapi Kui
Eng diam saja. Padahal biasanya setiap kali
berte mu Lan Ci ia berlari dan minta dipondong
dengan manja. Sekarang ia berdiri saja memandang dengan sikap ragu! Thian Ki teringat.
"I bu, adik Kui Eng ingin menyebutmu ibu.
Bolehkah?" Lan Ci menghampiri Kui Eng dan berjongkok.
"Tentu saja boleh, memang aku selalu menganggapnya se bagai anakku sendiri."
Mendengar ini, wajah Kui Eng merekah gembira
dan iapun merangkul le her Lan Ci dan mulutnya
memanggil-manggil seperti orang yang merasa
amat rindu. "Ibu......ibu.......ibu....."
Basah kedua mata Lan Ci. Dalam rangkulan dan
dalam suara panggilan itu ia dapat merasakan
benar betapa anak ini amat kehilangan ibu
kandungnya! Dan semua kerinduan, semua kasih
sayang anak itu kini ditumpahkan kepadanya
karena tidak ada lagi penampungnya.
"I bu, adik Kui Eng bilang bahwa yang paling
disayangnya pertama adalah aku, dan ke dua ibu."
"I h, jangan begitu, anakku." Lan Ci memondong
dan menciumi Kui Eng. "Orang pertama yang kau
sayang seharusnya ayahmu."
"Tidak, ayah nomor tiga. Karena ayah jarang
mengajakku bermain-main."
Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa.
"Ha-ha-ha, menjadi orang ke tigapun sudah
untung! Masih untung mendapat kasih sayang
anakku!" muncullah Cian Bu Ong yang sudah
mandi dan berganti pakaian baru. Melihat ayahnya
begitu gembira tidak seperti biasanya, Kui Eng
merosot dari pondongan Lan Ci dan lari kepada
ayahnya yang menyambutnya dan mengangkat lalu
memondongnya. "Ayah, aku ingin suheng Thian Ki menyebut
ayah padamu. Ayah harus mau!" Sepasang mata
bekas pangeran itu te rbelalak, lalu memandang
kepada Thian Ki dan kepada Lan Ci, kemudian dia
te rtawa lagi. "Ha-ha-ha, tentu saja aku mau."
"Dan aku menyebut ibu kepada bibi Lan Ci.
Bolehkah, ayah?" "Ehh" Siapa yang mengajarimu ini?" Cian Bu
Ong bertanya, pura-pura mengerutkan alisnya dan
memandang kepada Lan Ci. Wanita ini balas
memandang dengan wajah berubah merah.
"Tidak ada yang mengajarinya," katanya lirih.
"I ni kehendakku sendiri, ayah."
Anak ini lalu turun dari pondongan ayahnya,
menghampiri Thian Ki, memegang tangan Thian Ki
dan menariknya menghampiri ayahnya. "Suheng,
ayah sudah memberi ijin engkau menyebutnya
ayah!" De ngan sikap takut-takut,
Thian Ki lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. Kalau
biasanya dia memberi hormat sambil menyebut
suhu, kini dia menyebut ayah!
Cian Bu Ong mengangguk-angguk dan dia
mengangkat muka. Kembali dia berte mu pandang
dengan Lan Ci. "Thian Ki, engkau kesinilah!" kata Lan Ci,
suaranya agak gemetar. Ia adalah seorang wanita
perkasa, bahkan dulu sebelum menjadi isteri Coa
Siang Lee, sebagai pute ri Ban-tok Mo-li, ia tidak
pernah mengenal artinya sopan santun. Kini,
timbul kegagahannya kembali dan ia menganggap
bahwa tidak perlu bersembunyi di balik peraturan
yang berpalsu-palsu. Lebih baik berte rus te rang
menyelesaikan permasalahan sekarang juga.
Thian Ki bangkit dan menghampiri ibunya,
sedangkan Cian Bu Ong memondong pergi pute rinya. "Thian Ki, biarpun engkau baru berusia enam
tahun akan te tapi aku tidak menganggap engkau
anak kecil lagi. Engkau sudah pandai mengambil
kesimpulan dan keputusan, maka aku akan
berte rus te rang kepadamu dan kuminta engkau
memberi jawaban sekarang juga. Thian Ki, gurumu
telah melamarku untuk menjadi isterinya. Nah,
bagaimana pendapatmu?" Cian Bu Ong memandang kagum. Bukan main wanita itu! Dan
luar biasa pula puteranya! Dia memondong
pute rinya dan memandang dengan penuh perhatian dan hatinyapun te gang menanti jawaban
Thian Ki, anak ajaib itu.
Thian Ki tidak kaget mendengar pertanyaan
ibunya. Dia mengangkat muka, memandang wajah
ibunya, lalu menole h dan memandang wajah
gurunya, dan diapun memandang ibunya lagi. "Ibu,
itu adalah urusan ibu dan suhu .....eh. ayah, maka
hanya ayah dan ibu saja yang berhak memutuskan. Adapun aku..... aku hanya menyerahkan keputusannya kepada ibu saja, aku
tidak berani dan tidak mau mencampuri urusan
pribadi ibu." Sungguh luar biasa jawaban itu, pikir Cian Bu
Ong. Se olah bukan keluar dari mulut s eorang anak
berusia enam tahun, melainkan keluar dari mulut
orang dewasa yang berpandangan luas.
''Akan te tapi hatiku tidak akan te nteram
sebelum merasa yakin bahwa engkau tidak merasa
keberatan dan menyetujuinya."
"Tentu saja aku tidak keberatan ibu dan kalau
hal itu membahagiakan hati ibu, tentu saja aku
setuju sepenuhnya." Kedua pipi Lan Ci kembali menjadi merah sekali
dan untuk mengatasi perasaan malu, ia berkata,
"Kalau begitu, kau beri hormat lagi kepada.....ayahmu itu Thian Ki."
Anak itu menurut. Dia menghampiri gurunya
dan menjatuhkan diri berlutut, "Ayah.....!"
Saat itu, Cian Bu Ong memandang ke arah Lan
Ci. Wanita itupun sedang memandangnya, ketika
dua pasang mata berte mu pandang, Lan Ci
mengangguk. Itu sudah cukup sebagai jawaban
bahwa ia mau menerima lamaran bekas pangeran
itu! Cian Bu Ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, terima
kasih, Tuhan! Terima kasih Tuhan, aku hidup
kembali, ha-ha-ha aku hidup kembali!" Dan tiba
tiba dia melemparkan tubuh Kui Eng ke udara,
lalu tangan kanannya menyambar tubuh Thiaan Ki
yang juga dilontarkan ke atas!
Ketika tubuh Kui Eng melayang turun, disambutnya dengan tangan kiri dan dilontarkannya lagi ke atas, lebih tinggi daripada
tadi. Demikian pula ketika tubuh Thian Ki
meluncur turun, tubuh itu ditangkapnya dan
dilontarkannya kembali ke atas. Dua anak itu
dibuat mainan seperti dua butir bola saja, makin
lama semakin tinggi. Setelah tadi mengangguk memberi tanda setuju
dan menerima lamaran Cian Bu Ong, Sim Lan Ci
memejamkan kedua matanya dan berbisik dalam
hatinya. "Coa Siang Lee, maafkan aku. Aku cinta
padamu , akan te tapi engkau sudah tidak ada ,
dan aku kagum dan cinta kepadanya, maafkan aku
kalau aku menyerahkan diriku kepada pria lain
untuk menjadi iste rinya."
Akan te tapi je ritan Kui Eng membuat Lan Ci
membuka matanya kembali. Ia melihat betapa
anak perempuan itu mulai merasa ngeri karena
tubuhnya dilontarkan semakin tinggi oleh ayahnya.
Thian Ki diam saja bahkan diam-diam anak ini
memperhatikan cara gurunya melontar tubuhnya.
Sim Lan Ci meloncat. Tubuhnya melayang ke
atas, menyambar tubuh Kui Eng yang dipondongnya dan iapun melayang turun kembali
sambil memondong tubuh Kui Eng, menghadapi
Cian Bu Ong dan menegur, "Kui Eng sudah
menjerit ketakutan, mengapa masih dilanjutkan
juga" Apa kau ingin agar ana k kita ini kelak
menjadi orang penakut?"
Cian Bu Ong sudah menangkap kembali tubuh
Thian Ki dan dilepaskannya anak itu.
Dia memandang kepada Lan Ci sambil te rsenyum le bar dan menggele ng kepalanya, "Ya
Tuhan, engkau sudah mulai berani melarang aku,
ya?" "Tentu saja," jawab Lan Ci. "Sebagai ibu akupun
berhak mendidik dan melindungi anak kita!"
Mereka saling pandang, dan Cian Bu Ong
te rtawa bergelak, nampak berbahagia kali dan Lan
Ci terpaksa juga te rsenyum dan mengerling penuh
te guran. Melalui pandang mata saja mereka sudah
dapat menangkap dan merasakan is i hati masingmasing dan hal seperti ini hanya dapat terjadi
apabila dua hati telah saling kontak!
De mikianlah, dua bulan kemudian, setelah lewat
setahun kematian Coa Siang Lee dan isteri Cian Bu
Ong, mereka melangsungkan pernikahan yang
sederhana, tidak dihadiri para bangsawan seperti
layaknya seorang pangeran menikah. Juga tidak
dihadiri orang-orang kangouw seperti layaknya
seorang tokoh kangouw seperti Sim Lan Ci
menikah, melainkan hanya dihadiri penduduk
dusun yang tinggal di sekitar pegunungan itu.
Sederhana namun amat meriah, dimeriahkan oleh
kegembiraan Thian Ki dan Kui Eng, dan dihias
senyum dan kerling mata penuh kasih sayang
antara Sim Lan Ci dan Cian Bu Ong.
Dan sejak hari itu, Cian Bu Ong semakin rajin
menggemble ng Thian Ki dan Kui Eng. Dia tidak lagi
memikirkan tentang kerajaan, akan tetapi dia ingin
agar anak tiri dan anak kandungnya menjadi jagojago paling tangguh di dunia persilatan sehingga
namanya akan te rangkat. Di samping itu, dia
menemukan kemesraan dan kebahagiaan di
samping isterinya yang te rnyata amat mencintainya. Di lain pihak, Lan Ci juga merasakan kebahagiaan yang mendalam. Suaminya yang
sekarang jauh bedanya dengan suami pertamanya.
Suaminya yang sekarang adalah seorang yang
jantan, yang matang dalam pengalaman. Sehingga
di samping sebagai suami yang mencinta, juga dari
suaminya ini ia menerima bimbingan. Sehingga
kadang ia menganggap suaminya ini juga gurunya
yang amat pandai dalam segala hal. Ilmu silat yang
dikuasai nyonya muda ini meningkat dengan
cepatnya. -ooo0dw0ooo- Perahu kecil itu meluncur dengan cepatnya di
sepanjang te pi Sungai Huang-ho dan berhenti di
luar dusun Hong-cun. Gadis yang naik perahu
seorang diri ini dapat mendayung dan mengendalikan perahu dengan gerakan tangkas,
tanda bahwa ia sudah terbias a mengemudikan
perahu.
Setelah perahu itu menepi di pantai, iapun
melangkah keluar dan menarik perahu itu ke
darat. Cara ia menarik tali perahu dan berhasil
membuat perahu itu naik, padahal pantai itu tidak
te rlalu landai, membuktikan bahwa biarpun ia
seorang wanita muda yang cantik dan nampak
le mbut, ternyata ia miliki tenaga yang kuat.
Wanita itu masih muda, usianya sekitar duapuluh satu tahun lebih, berwajah bulat dan
berkulit putih kemerahan. Hidungnya mancung
dan matanya tajam. Wajah yang cantik dan manis.
Di punggungnya menempel dua batang pedang
bersilang, dan di atas pedang itu terdapat buntalan
kain sute ra kuning. Dandanannya juga sederhana
dan ringkas, semua ini menunjukkan bahwa ia
seorang wanita kangouw yang suka melakukan
perjalanan seorang diri dan mengandalkan ilmu
kepandaian silat untuk melindung dirinya sendiri.
Biarpun usianya paling banyak baru duapuluh
dua tahun, akan tetapi wanita itu bukan gadis lagi,
melainkan seorang janda! Ia adalah Kwa Bi Lan,
yang baru saja ditinggal mati suaminya yang juga
menjadi gurunya, yaitu Sin-tiauw Liu Bhok Ki, Si
Rajawali Sakti! Biarpun suaminya itu jauh le bih
tua darinya, ketika ia menjadi isteri Liu Bhok Ki,
suaminya yang juga gurunya itu sudah berusia
enampuluh lima tahun dan ia sendiri baru
sembianbelas tahun, namun Kwa Bi Lan amat
mencinta suaminya. Baginya, suaminya merupakan orang te rbaik di dunia ini. Dahulunya
ia adalah murid Si Rajawali Sakti, dan bahkan ole h
gurunya itu ia dicalonkan jadi isteri murid gurunya
yang pertama, yaitu Si Han Beng yang kini dijuluki
Huang-ho Sin liong (Naga Sakti Sungai Kuning).
Akan te tapi Si Han Beng memilih wanita lain dan
menikah dengan wanita lain itu. Hal itu membuat
gurunya marah, dan seolah hendak menebus
kesalahan ini, melihat betapa Bi Lan hancur
hatinya dan patah semangat, Liu Bhok Ki lalu
mengambil murid itu sebagai isterinya. Dia sendiri
sudah menduda sejak puluhan tahun. Dan Bi Lan
menerima pinangan gurunya,
bukan karena te rpaksa, melainkan karena ia merasa kagum,
kasihan dan juga mencinta suhunya sebagai satusatunya orang di dunia ini yang menyayanginya.
Tentu saja hal ini didorong pula oleh kepatahan
hatinya karena Si Han Beng mengingkari janji dan
menikah dengan gadis lain.
Sin-tiauw Liu Bhok Ki merasa marah dan sakit
hati bukan main karena Si Han Beng tidak
memenuhi pesannya itu. Biarpun dia sudah
menjadi suami Bi Lan namun hatinya masih tetap
te rtusuk dan batinnya te rhimpit kemarahan
te rhadap Si Han Beng. Dia menjadi sakit-sakitan
dan akhirnya, dalam rangkulan Bi Lan, dia
menghembuskan napas terakhir sambil menyebut
nama Si Han Beng dengan penuh kemarahan dan
penyesalan. Setelah suaminya yang juga gurunya meninggal
dunia, perasaan hati Kwa Bi Lan dipenuhi dendam
te rhadap Si Han Beng. Pria itu yang membuat
hidupnya menderita! Kalau Si Han Beng tidak
mengingkari janjinya dan menikah dengannya,
te ntu Liu Bhok Ki tidak mati, demikian pikirnya.
Dan iapun tidak harus mengalami derita batin
seperti ini, hidup sebatangkara ditinggal orang
yang paling dicintanya. Mula-mula ia menderita
patah hati karena calon suaminya itu menikah
dengan wanita lain. Kemudian ia menderita
kehancuran hati karena guru dan juga suaminya
meninggal dunia. Dan semua deritanya ini karena
ulah Si Han Beng! Ketika ia mendarat di tepi Sungai Kuning, di luar
dusun Hong-cun, Bi Lan merasa hatinya tegang
juga. Setelah lama ragu-ragu dan lama pula
mencari-cari, akhirnya tiba juga ia di kampung
te mpat tinggal bekas tunangan yang kini dianggap
sebagai musuh besarnya itu.
Ketika la berjalan memasuki dusun, ia melihat
seorang laki-laki setengah tua memanggul cangkul,
agaknya hendak pergi ke ladang. Laki-laki itu
memandang kepadanya dengan kagum dan heran,
karena tidak biasa ada wanita kota yang cantik
memasuki dusun yang aman te nteram itu. Bi Lan
menghampirinya dan tersenyum ramah.
"Maaf, paman. Dapatkah paman menunjukkan
di mana rumah keluarga Si Han Beng?"
Pria itu terbelalak, heran bukan main melihat
seorang wanita muda menyebut nama pendekar
saktu itu begitu saja. "Nona.....maksudkan........ rumah keluarga Si
Tai-hiap (Pendekar Besar Si) yang berjuluk Huangho Sin-liong?" De ngan girang Bi Lan mengangguk, akan te tapi
juga hatinya berdebar. Ia tahu bahwa orang yang
dicarinya adalah seorang pendekar yang berilmu
tinggi, bahkan tingkat kepandaiannya, menurut
mendiang suaminya, le bih tinggi dari pada tingkat
suaminya yang juga menjadi gurunya. Kalau
mendiang suaminya saja kalah pandai, apa lagi
dia! Akan tetapi ia sudah bertekat untuk
membunuh Si Han Beng atau dibunuh olehnya.
"Benar, paman. Di mana rumahnya."
Pria itu menunjuk ke kiri. "Di ujung jalan ini,
yang mempunyai taman di depan rumah dan
kebun di kanan kiri dan belakang. Cat pintu dan
je ndelanya hijau." "Terima kasih, paman." Bi Lan memutar tubuh
dan cepat menyusuri jalan itu. Terbayang betapa ia
akan berte mu dengan isteri Si Han Beng yang
sudah ia ketahui bernama Bu Giok Cu dan yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi pula.
Hatinya terasa panas, entah karena iri atau
cemburu. Akan te tapi ia sama sekali tidak takut.
Memang ia sudah bertekad untuk mengadu nyawa.
Untuk apa hidup le bih lama lagi kalau ia sudah
tidak mempunyai apa-apa di dunia ini, bahkan
tidak ada seorangpun yang mencintanya" Hidupnya tiada gunan ya lagi, le bih baik menyusul
suaminya yang sayang kepadanya.
Tak lama kemudian wanita perkasa ini sudah
menyelinap di balik pohon dan mengintai ke arah
dua orang anak yang sedang berada di kebun
samping. Seorang anak laki-laki berusia enam tahun
sedang mengasuh seorang anak perempuan yang
usianya baru dua tahun le bih. Anak laki-laki itu
tampan dan bertubuh tinggi te gap. Sedangkan
anak perempuan itu, yang masih kecil, kelihatan
lincah mungil dan manis sekali.
Anak laki-laki itu patut menjadi putera Si Han
Beng, pikir Bi Lan sambil mengenang kembali
wajah bekas tunangan yang kini dibencinya itu.
Akan te tapi tidak mungkin, bantahnya. Si Han
Beng menikah dengan gadis lain belum ada empat
tahun dan anak laki-laki itu sedikitnya berusia
enam tahun. Kalau anak perempuan itu lebih
pantas menjadi anak Si Han Beng.
Dua orang anak itu memang The Siong Ki dan Si
Hong Lan. Seperti kita ketahui, Siong Ki berhasil
tiba di te mpat tinggal pendekar sakti Si Han Beng
dan dite rima menjadi murid pendekar itu. Siong Ki
pandai membawa diri, pandai menyenangkan hati
keluarga Si, bahkan dengan sabar dia mengasuh Si
Hong Lan pute ri gurunya. Diapun rajin bekerja,
membersihkan rumah dan pekarangan dan melakukan segala macam pekerjaan membantu
para pelayan sehingga para pelayanpun suka
kepadanya. Melihat kegiatan pemuda cilik ini,
timbul perasaan suka pula di hati Si Han Beng dan
diapun mulai melatih Siong Ki dengan dasar-dasar
ilmu silat. Pagi hari itu, setelah selesai menyapu pekarangan dan mengisi semua bak dengan air,
Siong Ki sudah mengajak Hong Lan bermain-main
di dalam kebun. Matahari sudah naik tinggi. Dia
selalu diajar ilmu silat kalau matahari sudah mulai
condong ke barat, setiap sore hari. Dari pagi
sampai siang, dia bekerja, kalau tidak mengasuh
Hong Lan, tentu membantu pekerjaan rumah atau
ladang. Hong Lan juga suka sekali kepadanya,
karena Siong Ki pandai menyenangkan hati anak
itu.
Saat itu, Siong Ki memberi mainan sempritan
yang dia buat dari daun bambu muda. Hong Lan
ikut meniup-niup sempritan sederhana itu dan
kalau sempritan itu dapat ditiupnya sampai
mengelukan bunyi, anak itu te rtawa-tawa dan
berte riak-te riak gembira.
"Suheng baik. ... suheng baik......"berulang-ulang
anak perempuan itu berseru.
"Engkau ju ga baik dan manis sekali, sumoi,
tidak rewel." kata Siong Ki dan dari percakapan
antara dua orang anak itu Bi Lan dapat menduga
bahwa anak laki-laki itu te ntulah murid Si Han
Beng dan anak perempuan itu tentu anaknya.
"Tidak mungkin kalau Han Beng mempunyai
seorang murid yang usianya baru dua tahun." Dan
melihat wajah anak perempuan yang manis dan
mungil itu, tiba-tiba menyelinap suatu keinginan di
hati Bi Lan. Mengapa tidak" Kalau ia membalas
dendam kepada Si Han Beng, kiranya tidak
mungkin ia akan mampu mengalahkan pendekar
itu dan is terinya, dan akhirnya ia yang akan mati
konyol. Walaupun ia sudah bertekad dan tidak
takut mati, akan tetapi apa artinya kalau ia mati
konyol" Hanya akan membuat Si Han Beng dan
isterinya menjadi semakin bebas dan senang saja,
tidak lagi mengkhawatirkan pembalasan. Dan ia
seorang yang akan menderita. Tidak, ia harus
mengikuti pikiran yang menyelinap dalam benaknya tadi. Ia harus membuat Si Han Beng dan
isterinya menderita, setidaknya menderita batin.
Akan te tapi, sebelum itu, ia ingin melihat
bagaimana sikap bekas tunangan itu kalau
mendengar tentang kematian suhunya,
atau suaminya! Kwa Bi Lan bukanlah seorang wanita jahat,
bahkan ia dahulu murid Siauw lim-pai yang
berjiwa pendekar. Apa lagi setelah menjadi murid
dan is teri Rajawali Sakti Liu Bhok Ki, ia menjadi
seorang wanita gagah. Kalau ia membenci Han
Beng dan ingin membunuhnya, hal itu terdorong
oleh sakit hati dan duka, bukan watak yang jahat.
Maka, begitu melihat Hong Lan, anak yang manis
dan lincah itu, seketika api dendam yang membuat
ia ingin membunuh orang itu padam dengan
sendirinya, bagaimana mungkin ia dapat membunuh orang tua anak kecil yang mungil itu"
Bukankah kalau ia membunuh orang tuanya, anak
itu akan menjadi te rlantar dan menderita" Itulah
sebabnya, maka pikiran lain menyelinap ke dalam
benaknya yang sama sekali mengubah niat hatinya
semula. Siong Ki tidak te rkejut melihat munculnya
seorang wanita cantik yang tidak dikenalnya dari
balik pohon, melainkan heran dan dia memandang
le ngan sinar mata penuh pertanyaan.
Bi Lan tersenyum manis. "Anak yang baik,
apakah engkau murid Huang-ho Sin Liong Si Han
Beng" Dan anak perempuan yang mungil ini
pute rinya?" Siong Ki adalah seorang anak yang cerdik. Dia
tidak mengenal siapa wanita ini, tidak tahu apakah
ini sahabat ataukah musuh gurunya. Oleh karena
itu dia bersikap hati-hati walaupun sopan.
"Maafkan saya, enci. Akan tetapi siapakah enci?"
"Aku adalah sahabat baik dari Si Han Beng,
namaku Kwa Bi Lan. Benarkah dugaanku tadi
bahwa engkau murid dan ini anaknya?"
Karena wanita itu mengaku sahabat gurunya,
dan te lah memperkenalkan diri, Siong Ki merasa
tidak enak kalau tidak memperkenalkan diri. Dia
mengangguk dan berkata dengan hormat. "Maaf
kalau saya bersikap kurang hormat karena tidak
tahu bahwa enci adalah sahabat baik suhu.
Memang benar saya Siong Ki adalah murid suhu
dan sumoi Si Hong Lan ini adalah puterinya."
Pada saat itu, muncullah Si Han Beng dan Bu
Giok Cu dari pintu samping rumah mereka.
Mereka memang sedang mencari pute ri mereka
dan Siong Ki. Melihat seorang wanita muda yang
cantik berada pula di kebun mereka, suami isteri
ini segera menghampiri dan memandang dengan
heran. "Siong Ki, siapakah nona ini...." tanya Han Beng
sambil memandang Bi Lan dengan penuh selidik.
Sementara itu Bu Giok Cu juga sudah memondong
pute rinya dan ikut mengamati Bi Lan dengan
heran. Sejak tadi Bi Lan memandang kepada suami
isteri itu dan jantungnya berdebar te gang, hatinya
te rasa panas. Si Han Beng masih nampak gagah
perkasa seperti dahulu, bertubuh tinggi besar dan
wajahnya membayangkan kejantanan, sedangkan
Bu Giok Cu juga masih nampak cantik je lita dan
lincah seperti yang pernah dilihatnya dahulu ketika
Giok Cu bersama Han Beng datang berkunjung ke
rumah gurunya, mendiang Liu Bhok Ki sebelum ia
menjadi isteri gurunya itu.
Entah kenapa, setelah bertemu dengan mereka.
Ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata dan
hanya memandang dengan hati dipenuhi iri.
Mereka demikian berbahagia. Menjadi suami isteri
dan sudah mempunyai seorang anak. Begitu
berbahagia, sedangkan ia ...... !
Han Beng segera menyadari bahwa sebagai tuan
rumah dia harus menyambut orang asing sebagai
tamunya dengan sikap hormat. Maka diapun
mengangkat dua tangan ke depan dada memberi
hormat dan bertanya, "Siapakah nona dan ada
keperluan apakah berkunjung ke rumah kami?"
Bi Lan te rsenyum, senyum yang getir. Bahkan
wajahnyapun tidak diingat lagi oleh laki-laki yang
pernah ditunangkan dengannya itu! De ngan suara
yang pahit iapun berkata, "Lupa kepada adik
seperguruan masih tidak mengapa, akan te tapi
kalau sudah melupakan guru, itu sungguh
keterlaluan." "Nona, apa maksud ucapan nona itu?" Han Beng
bertanya, memandang tajam penuh selidik dan
sikapnya serius. Juga Bu Giok Cu memandang
tajam dan mulai bercuriga melihat sikap gadis
cantik yang tidak dikenalnya itu.
"Suheng, benar-benarkah suheng sudah lupa
kepadaku, dan kepada suhu kita?" Sekali ini suara
Bi Lan mengandung getaran is ak te rtahan, karena
ia merasa sangat berduka dan kecewa.
"Ahhh! Bukankah engkau Kwa Bi Lan murid
locian-pwe Liu Bok Ki itu?" tiba-tiba Bu Giok Cu
berseru. Bi Lan memandang kepada wanita yang tadinya
dianggap te lah merampas calon suaminya itu.
"Kiranya enci Bu Giok Cu masih teringat
kepadaku." "Sumoi Kwa Bi Lan .....! Ah, kiranya engkaukah
ini" Kita dahulu hanya sempat bertemu sebentar
saja, sumoi, hingga aku lupa lagi kepadamu.
Maafkan aku." Bi Lan mengerutkan alisnya. "Perkenalan antara
kita memang singkat, akan tetapi hubungan antara
kita bukan tidak penting, suheng......"
"Aih, tentu saja. Kita saudara seperguruan....."
kata Han Beng, belum ingat akan hubungan jodoh
yang pernah dipesankan gurunya yang pertama
itu. Bu Giok Cu ingat akan hal itu, maka ia pun
cepat berkata. "Adik Kwa Bi Lan te ntu datang membawa kabar
penting. Tidak pantas kalau kita menyambutnya di
kebun begini. Mari, adik Bi Lan, kita bicara di
dalam." "Ah, benar. Mari silakan, sumoi. Kita bicara di
dalam. Siong Ki, kau ajak lagi sumoimu bermainmain di sini sebentar," kata Han Beng dan Giok Cu
lalu menyerahkan lagi Hong Lan kepada Siong Ki.
Suami is teri itu mempersilakan tamunya memasuki rumah dan mereka lalu duduk di dalam
ruangan tamu yang sederhana namun cukup luas.
Sejenak mereka duduk berhadapan dan saling
berpandangan. Sebetulnya, Bi Lan tidak terlalu menyesal bahwa
ia tidak menjadi isteri Han Beng. Belum ada rasa
cinta dalam hatinya terhadap pria ini, dahulupun
yang ada han ya kekaguman. Cintanya bahkan
te rtuju kepada gurunya, mendiang Liu Bhok Ki. Ia
tidak putus cinta, melainkan merasa te rhina dan
diremehkan, di samping pendekar ini menjadi
biang keladi kesedihan Liu Bhok Ki sehingga
suaminya itu meninggal dunia dalam keadaan
penas aran dan berduka. "Nah, adik Kwa Bi Lan. Setelah kami mengucapkan selamat datang, sekarang katakanlah, apa maksud kunjunganmu ini" Apakah membawa suatu kepentingan te rte ntu,
ataukah hanya hendak berkunjung saja?" tanya Bu
Giok Cu karena di dalam hatinya, wanita ini sudah
merasa tidak enak. Ia sudah mendengar dari
suaminya bahwa dahulu, suaminya pernah dipesan oleh Sin-tiauw Liu Bhok Ki agar kelak
menjadi jodoh Kwa Bi Lan, sumoi dari suaminya
sendiri. Akan tetapi kemudian Hek-bin Hwesio
yang menjadi gurunya, dan Pek I Tojin guru
suaminya menjodohkan ia dan suaminya. Ia
bahkan pernah mengingatkan suaminya agar
mengabari Liu Bhok Ki, akan tetapi suaminya tidak
mau karena merasa tidak enak harus menentang
usul perjodohan guru pertamanya itu. Kini, gadis
yang dulu dijodohkan dengan suaminya itu tibatiba muncul! Tentu saja ia merasa tidak enak
sekali.
Mendengar pertanyaan Giok Cu, Bi
Lan menghela napas panjang. Kalau menurut apa yang
dibayangkan sebelum ia bertemu dengan puteri
mereka tadi, begitu bertemu Han Beng, ia akan
memaki-makinya dan menantangnya,
bahkan langsung saja menyerangnya untuk mengadu
nyawa. Akan te tapi sekarang, ia tidak bernapsu
untuk mengadu nyawa, untuk mati, karena ia pasti
mati kalau bertanding melawan mereka ini. Ia ingin
hidup untuk dapat mendengar dan melihat Han
Beng menderita! "Benar, sumoi. Katakanlah, apa yang menjadi
maksud kedatanganmu ini" Apakah hanya berkunjung ataukah diutus oleh suhu?"
Hampir saja Bi Lan berteriak bahwa ia diutus
oleh suhu mereka untuk mencabut nyawa Han
Beng! Akan te tapi ia menahan kemarahannya,
memandang kepada pria itu dan berkata lirih,
"Suheng kedatanganku ini hanya mempunyai satu
maksud, yaitu aku ingin bercerita tentang suhu
kepadamu." Wajah Han Beng menjadi cerah berseri. "Ah,
akupun ingin sekali mendengar te ntang suhu.
Ceritakanlah, sumoi, kuharap suhu dalam keadaan
sehat dan baik-baik saja! Ceritakanlah."
Setelah menghela nafas beberapa kali, Bi Lan
mulai bercerita. "Suheng suhu telah mendengar
akan pernikahanmu dengan enci Bu Giok Cu dan
suheng sama sekali tidak memberi tahu suhu, apa
lagi mengundangnya."
"Sudah kudesak agar dia mengundang locianpwe Liu Bhok Ki, akan te tapi dia tidak mau!" Bu
Giok Cu berkata sambil memandang suaminya
penuh teguran. "Bukan tidak mau, akan te tapi tidak berani,"
kata Han Beng, akan te tapi
tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya seperti orang yang
merasa telah te rlalu banyak bicara.
"Kenapa, suheng?" Bi Lan mendesak cepat.
"Kenapa suheng tidak berani memberitahu kepada
suhu tentang pernikahan suheng?"
Han Beng tidak menjawab, hanya menoleh ke
arah is terinya. Tentu saja dia merasa sukar untuk
menjawab pertanyaan itu, merasa sungkan te rhadap Bi Lan untuk menyebutkan alasannya.
Melihat keraguan Han Beng, Bi Lan berkata,
"Suheng, kalau Suheng ingin aku bicara sejujurnya
te ntang suhu, maka sebaiknya kalau suheng juga
bersikap terbuka dan jujur. Kalau suheng tidak
berani bersikap terbuka, akupun tidak ingin
bercerita apa-apa lagi."
Bu Giok Cu memandang kepada suaminya.
"Sebaiknya engkau bicara te rus te rang saja untuk
menebus kesalahan sikapmu te rhadap gurumu.
Tidak perlu sungkan lagi."
Han Beng mengangguk dan menarik napas
panjang. Dia merasa menyesal sekali mengapa
dahulu dia tidak berte rus terang saja kepada
gurunya bahwa dia mencintai Giok Cu dan tidak
mau dijodohkan dengan gadis lain. Akibatnya
ketika dia menikah dengan Giok Cu, dia tidak
berani mengabari gurunya, dan sekarangpun dia
merasa sungkan untuk mengaku terus te rang
kepada Bi Lan. "'Baiklah, aku bicara te rus terang dan kuharap
engkau tidak merasa te rsinggung, sumoi. Sebelumnya, maafkan aku kalau ceritaku menyinggung perasaanmu."
"Kalau engkau berterus terang, mengapa aku
mesti tersinggung, suheng" Ceritakanlah."
"Aku tidak berani mengabari suhu, tidak berani
mengundangnya, karena aku merasa bersalah
kepada suhu. Dahulu, ketika aku bersama Giok Cu
berkunjung ke te mpat kediaman suhu, dan bahkan
berte mu dengan engkau di sana, ketika itu suhu
bicara empat mata denganku dan suhu dalam
kesempatan itu telah menjodohkan aku dengan
engkau, sumoi. Dia berpesan agar kelak aku
berjodoh denganmu. Nah, karena aku saling
mencinta dengan Bu Giok Cu dan kemudian atas
usul guru kami masing-masing, yaitu Hok-bin
Hwesio dan Pek I Tojin, kami menikah dan teringat
akan pesan suhu Liu Bhok Ki, aku merasa
sungkan dan tidak berani memberi kabar. Aku
telah bicara terus te rang, sumoi."
Bi Lan tidak heran mendengar keterangan itu,
te ntu saja ia sudah tahu semuanya dan dapat
menduganya. Ia tidak merasa sakit hati karena ia
ditolak oleh suhengnya yang mencinta gadis lain.
Ia sendiripun mencinta pria lain, yaitu gurunya
sendiri. Yang membuat ia menyesal adalah karena ulah
suhengnya, maka gurunya yang juga suaminya itu
menderita tekanan bathin sampai sakit-sakitan
dan meninggal dunia dalam keadaan berduka.
"Bagus sekali, engkau te lah berterus te rang,
suheng. Nah, akupun hendak bercerita sejujurnya
kepadamu. Seperti kukatakan tadi, suhu telah
mendengar pernikahanmu dengan enci Giok Cu
tanpa mengundangnya, dan sejak itu, suhu sakitsakitan karena merasa penasaran, menyesal dan
berduka. Aku tahu akan semua itu karena suhu
berte rus terang kepadaku. Suhu marah dan
menyesal, suhu merasa sakit hati kepadamu,
suheng!" "Aih, suhu, teecu memang berdosa besar. Sumoi,
tolonglah, kalau e ngkau pulang dan berte mu suhu,
mintakan ampun adanya untukku .... ah, tidak,
aku sendiri yang akan ke sana. Aku harus cepat
pergi menghadap suhu dengan is teri dan anakku
untuk mohon ampun." "Tidak ada gunanya, suheng. Lebih baik suheng
mendengarkan kelanjutan ceritaku. Melihat suhu
demikian menderita, hatiku hancur dan aku
merasa amat kasihan kepada suhu. Suhu telah
kehilangan segalanya, demikian pula aku. Kami
berdua tidak memiliki apa-apa lagi, tidak ada lagi
seorangpun di dunia ini yang menyayangi kami.
Timbul perasaan kasihan dan sayang dalam
hatiku, dan akupun mengambil keputusan untuk
menyerahkan diriku, hidupku, segalanya, untuk
membahagiakan hati suhu. Dengan suka rela,
bahkan dengan desakanku, kami menikah menjadi
suami iste ri....."
Suami isteri itu s aling pandang nampak te rkejut
bukan main. "Sungguh suatu pengorbanan yang
besar......" kata Giok Cu lirih.
"Sumoi, betapa mulia hatimu. Engkau begitu
berbakti kepada suhu, sedang aku ..."
"Tidak ada pengorbanan! Tidak ada kemuliaan
hati dan kebaktian. Aku menikah dengan suhu
karena memang aku cinta kepadanya, dan dia
cinta padaku. Kami menjadi suami isteri karena
kami saling mencintai.!" Bi Lan berkata dengan
suara nyaring, setengah membentak sehingga
mengejutkan suami isteri itu.
"Kalau begitu, biarlah kami mengucapkan selamat kepadamu atas pernikahan dengan suhu...!" "Tunda dulu ucapan selamat itu sampai aku
selesai menceritakan keadaan suhumu, suheng.
Biarpun kami sudah menikah dan aku berusaha
sekuat tenaga untuk menghiburnya dan mengusir
kedukaan suamiku, akan tetapi usahaku sia-sia
belaka. Guru dan suamiku itu masih tak mampu
melupakanmu, dan sakit hatinya tak pernah
mereda. Api sakit hati membakarnya, membuat dia
sakit-sakitan dan akhirnya, dia tak kuat bertahan
lagi setelah berbulan-bulan rebah dan menderlta
sakit lahir batin, suamiku
itu meninggal dunia......... " "Ahh.....!" Giok Cu mengeluh..
"Suhuuu.....!" Han Beng menutupi muka dengan
kedua tangan dan dia te risak, tubuhnya te rguncang dan dari celah-celah jari tangannya
mengalir keluar air matanya. "Aih, suhu, teecu
berdosa besar kepada suhu..........teecu .. .berdosa
besar................"
Sebuah tangan dengan lembut menyentuh
pundak Han Beng. "Sudahlah, semua itu telah
le wat, gurumu te lah tiada. Tidak ada gunanya
disesali dan ditangisi. Kelak engkau dapat saja
pergi mengunjungi makam gurumu dan mohon
ampun di depan makamnya kalau engkau merasa
bersalah kepadanya."
Hiburan dari isterinya ini menyadarkan Han
Beng dan diapun menghapus air matanya. Dengan
dua mata merah dia memandang kepada Bi Lan
dan melihat wanita muda itupun kini menunduk,
tidak mengeluarkan suara tangisan, akan tetapi
kedua pundak bergoyang dan air mata menetesnetes turun dari kedua pipinya.
"Aku .... aku dapat merasakan penderitaanmu,
aku ikut berduka cita ...sumoi .... ataukah subo
(ibu guru)..." kata Han Beng dengan terharu.
Bi Lan menghapus air matanya dan menggeleng
kepala, masih menunduk. "Aku bukan apa-apamu
lagi, bukan apa-apa. Bukan tunangan karena
engkau sudah memilih wanita lain. Bukan sumoi
karena telah menikah dengan guru kita. Bukan
pula subo karena suamiku te lah tiada. Aku........aku hanya seorang yang sebatangkara,
tidak mempunyai apa-apa dan siapa-siapa lagi.. "
Giok Cu merasa kasihan sekali. "Sungguh buruk
nasibmu, sungguh kasihan sekali engkau, adik Bi
Lan Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kalau saja
kami dapat melakukan sesuatu untukmu. Katakan
saja, apa yang dapat kami lakukan untuk
membantumu, mengurangi penderitaanmu?"
Bi Lan menggele ng kepala. "Terima kasih, tidak
ada yang dapat kalian lakukan untukku. Biarkan
aku sendiri. Di dunia ini, tidak ada lagi orang yang
dapat kucinta atau mencintaku, tidak ada siapasiapa lagi. Aku hanya menanti datangnya saat aku
menyusul suamiku. Dialah satu-satunya orang
yang mencintaiku........" Setelah berkata demikian,
Bi Lan bangkit dari duduknya, kemudian tanpa
pamit lagi ia melangkah keluar dari ruangan itu,
te rus menuju keluar rumah.
Han Beng hendak mengejar,
akan tetapi le ngannya dipegang is terinya. Dia menoleh dan
memandang is te rinya. Giok Cu menggele ng kepala
perlahan dan berbisik, "I a benar. Tidak dapat kita
melakukan apapun untuknya. Biar kan ia sendiri......" Han Beng memejamkan matanya. "Suhuuu ..!"
keluhnya dan dia te ntu roboh kalau saja tidak
cepat dirangkul oleh isterinya dan dia kembali
menangis di pundak isterinya.
Malam itu, Han Beng dan Giok Cu tidak dapat
tidur. Hal ini te rutama sekali karena Han Beng
te nggelam dalam duka dan penyesalan, dan
akhirnya baru Han Beng te rhibur ketika isterinya
menyetujui untuk mereka berdua bersama anak
mereka pergi mengunjungi makam Si Rajawali
Sakti, di mana Han Beng ingin bersembahyang
bersama anak isterinya dan mohon ampun kepada
guru pertamanya itu.
Mereka akan berangkat tiga hari lagi dan pada
keesokan harinya, mereka telah membuat persiapan. Karena waktu itu sedang musim panen,
maka suami isteri itu hendak menyelesaikan dulu
sisa panenan yang tinggal satu dua hari lagi, baru
mereka akan berangkat. Pada keesokan harinya, sejak pagi Han Beng dan
Giok Cu sudah pergi meninggalkan rumah, pergi ke
sawah untuk mengepalai dan mengatur mereka
yang membantu panen. Seperti biasa, Siong Ki
setelah bekerja pagi, lalu mengasuh Hong Lan
bermain-main di taman. Keadaan sunyi di taman. Semua orang dewasa
pergi ke s awah ladang karena musim panen. Siong
Ki menurunkan Hong Lan duduk di atas rumput,
dan dia sendiri duduk di dekat anak itu sambil
menganyam rumput, membuatkan mainan untuk
sumoinya. Ketika Kwa Bi Lan muncul seperti
kemarin, diapun tidak terkejut dan tidak merasa
heran lagi. Dari suhunya dia mendengar bahwa
wanita muda yang cantik itu memang sahabat
gurunya yang datang berkunjung. Dia bahkan
te rsenyum dan memberi hormat. "Selamat pagi,
enci." Akan te tapi Bi Lan tidak memperdulikan Siong
Ki. I a menghampiri Hong Lan dan mengelus kepala
anak itu dengan lembut dan mesra, dan pandang
matanya yang ditujukan mengamati wajah anak
perempuan itu penuh rasa kagum dan sayang.
Suaranyapun te rdengar halus ketika ia bertanya,
"Anak manis, siapakah namamu?"
Semua anak kecil mempunyai kepekaan yang
tidak lagi dipunyai orang dewasa. Kepekaan atau
naluri ini adalah pembawaan jiwa yang masih
belum terselubung nafsu. Pada saat dilahirkan,
anak manusia memiliki naluri ini, memiliki
kepekaan karena jiwanya masih murni, bagaikan
sinar pelita yang belum terselubung kotoran
sehingga masih memancar keluar melalui panca
indranya. Kelak, kalau anak itu sudah mulai
mempergunakan hati dan akal pikirannya, dan
nafsu yang menjadi alat kebutuhan jasmaninya
mulai mengambil alih kekuasaan atas diri manusia, maka kepekaan itu pudar. Sinar pelita
dari jiwa te rtutup nafsu dan orang hidup le bih
mengandalkan hati akal pikirannya yang bergelimang nafsu menciptakan segala macam
dosa dan kekacauan dalam kehidupan ini. Makin
pandai orang mempergunakan hati akal pikirannya, semakin keruh keadaan dunia, karena
manusia dikendalikan nafsu yang sifatnya hanya
mengejar kesenangan diri pribadi, sehingga te rjadilah tumbukan-tumbukan
dan tabrakan kepentingan yang menimbulkan pertikaian, permusuhan, bahkan perang!
Pada saat membelai dan bicara kepada Hong
Lan, maka anak itupun memandang kepada Bi Lan
sambil tersenyum cerah menjawab dengan suaranya yang nyaring dan lucu.
"Namaku Si Hong Lan, bibi."
"Nama yang bagus, cocok dengan wajahmu yang
manis. Hong Lan, mari kupondong dan kuberi
mainan yang indah."
Hong Lan tidak membantah ketika digendong.
"Mainan apa, bibi?"
"Nanti kupetikkan bunga merah, kutangkapkan
kupu-kupu kuning." "Bibi baik, bibi baik sekali, suheng" Hong Lan
bersorak, akan tetapi Siong Ki mengerutkan
alisnya. Dia belum mengenal benar siapa wanita
cantik itu, karena merasa khawatir kalau Hong Lan
diajak pergi bermain-main.
"Maaf, bibi. Sumoi Hong Lan belum kuberi
sarapan pagi. Mari, sumoi, kita makan dulu ..."
Siong Ki menjulurkan kedua tangannya untuk
mengambil sumoinya dari pondongan Bi Lan. Akan
tetapi sekali Bi Lan menggerakkan tangan kirinya
menotok. Siong Ki tak mampu bergerak dalam
posisi berdiri dengan kedua tangan terjulur. Bi Lan
lalu berjongkok, tangan kiri memondong Hong Lan,
dan tangan kanan dengan jari te lunjuk terjulur
mencoret-coret di atas tanah di depan Siong Ki.
Kemudian, sambil memondong Hong Lan, ia
berkelebat lenyap dari tempat itu, meninggalkan
Siong Ki yang masih berdiri kaku seperti arca!
Tak lama kemudian, seorang pelayan keluar dan
dia te rheran-heran melihat Siong Ki yang berdiri
dengan tangan terjulur seperti
patung, tak bergerak-gerak. "Eh, engkau kenapa ?" tanyanya.
Siong Ki tidak mampu menengok, akan tetapi dia
masih dapat bicara walaupun, dengan kaku dan
sukar, "Cepat .... beritahu suhu .... cepat.... sumoi
diculik orang..."
Sebagai pelayan suami isteri pendekar, pelayan
itupun sudah tanggap dan dia segera lari mencari
majikannya yang sedang sibuk mengatur orangorang yang sedang panen. Dapat dibayangkan
betapa kagetnya hati Si Han Beng dan Bu Giok Cu
ketika mendengar laporan pelayan itu bahwa Siong
Ki berdiri seperti patung tak mampu bergerak dan
mengatakan bahwa Hong Lan diculik orang.
Mereka lalu berlari cepat, seperti berlomba
pulang ke rumah. Semua petani terkejut dan
kagum bukan main melihat suami isteri yang
mereka kenal sebagai sepasang pendekar namun
yang tak pernah mereka lihat kepandaiannya itu,
kini berlari seperti terbang saja meninggalkan
sawah. Baru sekarang mereka menyaksikan suami
isteri itu memperlihatkan kepandaiannya yang luar
biasa. Suami isteri itu tiba di pekarangan rumah
mereka dan setelah Han Beng membebaskan
totokan yang membuat muridnya tak mampu
bergerak, Siong Ki cepat menunjuk ke bawah, di
depannya. "I a meninggalkan tulisan di situ....."
Han Beng dan Giok Cu cepat membaca tulisan
itu. Huruf-hurufnya je las karena jari yang
mencoret-coret di atas tanah itu menggunakan
te naga sin-kang, sehingga tanah itu seperti dicoret
dengan pensil baja saja. Suheng Si Han Beng. Engkau t el ah membuat aku
berpis ah selamanya d ari orang yang kucinta. Aku
akan membuat engkau berpis ah sementar a d ari
anak y ang kau sayang. Aku b erhak menyayang d an
disayang. Aku s ayang Hong Lan d an ingin
menikmati hidup bers amanya. Setel ah beberapa
tahun, aku akan mengembalikannya kepad amu.
Suheng, jangan kejar kami, karena terpaks a aku
akan membunuh Hong Lan, lalu membunuh diri
sendiri, Kwa Bi Lan. "Aih, anakku........!" Giok Cu menjadi pucat
wajahnya setelah selesai membaca coretan tulisan
di tanah itu. "Aku harus mengejar iblis betina itu.
..!" Ia hendak meloncat, akan tetapi tangannya
dipegang suaminya. "Tunggu dulu......apakah kau ingin ia membunuh anak kita" Aku yakin ia tidak
menggertak kosong belaka," kata Han Beng sambil
menunjuk ke arah kalimat terakhir itu. Giok Cu
membacanya lagi, "Suheng, jangan kejar kami,
karena te rpaksa aku akan membunuh Hong Lan,
lalu membunuh diri sendiri."
"Ahhh .... tapi.... tapi.... bagaimana dengan anak
kita ....?" Suara wanita perkasa itu mengandung
tangis karena ia merasa khawatir bukan main.
Han Beng merangkul is te rinya. Wajahnya sendiri
juga pucat dan diam-diam ia merasa menyesal
bukan main, akan te tapi dia tidak bingung seperti
isterinya. "Giok Cu, aku yakin bahwa ia tidak akan
mencelakai anak kita, akan tetapi kalau kita
mengejarnya, pasti ia akan nekat. I a seorang yang
sudah putus asa, dapat melakukan apa saja."
"Tapi .... tapi .... kenapa ia melakukan ini"
Kenapa ia culik anakku?"
Han Beng menarik nafas panjang. "Aku dapat
memakluminya. Pertama, ia masih merasa bahwa
akulah yang membuat ia sengsara, aku yang
menyebabkan kematian suhu, orang yang dicintanya. Karena itu ia ingin membalas dendam,
ingin membuatku merasakan penderitaan kehilangan orang yang kucinta, walaupun tidak
selamanya seperti yang dijanjikannya, hanya untuk
sementara. Dan selain itu, iapun haus kasih
sayang. Ingin menyayang dan disayang. Dan
agaknya da suka sekali pada anak kita, ia ingin
mencurahkan kasih sayangnya kepada ana k kita,
karena itu, jangan khawatir.."
"Jangan khawatir, kau bilang" Aku ibu Hong
Lan! Anakku diculik orang, mungkin seorang iblis
betina, dan kau bilang aku jangan khawatir?"
"Giok Cu, aku tahu siapa Kwa Bi Lan. Sebelum
menjadi murid suhu Liu Bhok Ki, ia adalah murid
Siauw-lim-pai. Kemudian digembleng oleh suhu Liu
Bhok Ki bahkan menjadi isterinya. Ia bukan iblis
betina, ia seorang wanita berjiwa pendekar. Aku
yakin ia akan memegang janji dan akan mengembalikan anak kita dalam keadaan selamat."
Giok Cu memandang suaminya dengan alis
berkerut. "Enak saja engkau bicara membelanya! Ia
menculik anak kita, ingat" Aku diharuskan
berpisah dari anakku untuk beberapa tahun, dan
aku harus tinggal diam saja" Aih, apakah engkau
tidak dapat merasakan bagaimana penderitaan
seorang ibu kalau dipisahkan dari anaknya yang
baru berusia dua tahun lebih.!"
Han Beng menarik napas panjang dan menundukkan mukanya yang pucat. "Aku mengaku bersalah, isteriku. Akulah yang menyebabkan semua ini, aku biang keladinya dan
aku siap menerima hukuman apapun...."
Melihat suaminya begitu bersedih dan menyesal,
meredalah kemarahan Giok Cu dan iapun
merangkul pundak suaminya dan menangis di
pundak oran g yang dicintainya itu.
"Lalu .... apa ... yang harus kita lakukan ....?"
Rintihnya memelas. "Tidak ada yang dapat kita lakukan sementara
ini kecuali .... menunggu dan pasrah kepada
Tuhan. Kelak, kalau keadaan sudah mereda, kalau
ia sudah tidak mengira kita akan mencarinya lagi,
barulah aku akan berusaha menyelidiki di mana ia
membawa anak kita, dan akan kuusahakan untuk
merebutnya kembali tanpa membahayakan anak
kita. Sementara ini, maafkan aku. Akulah yang
menyebabkan engkau menderita batin...."
Akan tetapi. Giok Cu sudah terhibur dan dapat
mengerti kebenaran ucapan suaminya. Memang
berbahaya sekali kalau sekarang ia melakukan
pengejaran.Wanita yang sudah putus asa itu tentu
tidak akan ragu-ragu untu k membunuh Hong Lan
lalu membunuh diri sendiri sebelum sempat
merebut kembali anak itu! Kalau sekarang ia
dibiarkan pergi, setelah beberapa lama tentu
wanita itu akan mengira bahwa mereka tidak lagi
melakukan pengejaran dan akan menjadi lengah.
Nah, itulah saatnya mereka berusaha merebut
kembali anak mereka.
Melihat kedukaan gurunya, Siong Ki lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan Han Beng.
"Suhu, teecu yang bersalah tak mampu menjaga
sumoi dengan baik. Kalau suhu mengijinkan, teecu
akan pergi mencari sumoi sampai dapat dan
membawanya kembali kepada suhu."
"Bangkitlah dan bekerjalah sepert biasa. Juga
yang rajin berlatih silat. Jangan bicarakan dengan
siapapun urusan hilangnya sumoimu. Engkau
tidak bersalah, Siong Ki," kata Han Beng dan
diapun menggandeng is terinya, diajak masuk ke
dalam rumah. Sejak hari itu, suami isteri pendekar ini merasa
hidup mereka tidak le ngkap lagi. Mereka telah
berusaha setelah lewat beberapa bulan untuk
mencari anak mereka yang dilarikan Bi Lan,
namun tidak berhasil. Bi Lan menghilang tanpa
meninggalkan jejak. Tentu saja Bu Giok Cu
menderita batin yang cukup hebat, merasa gelisah
selalu. Lebih-lebih Han Beng karena pendekar ini
merasa bahwa ialah yang bersalah, dan dia
menganggap hal ini sebagai
hukuman dari mendiang gurunya. Seringkali dia duduk melamun dan mengeluh.
Kenapa selama hidupnya gurunya itu, Sin-tiauw
Liu Bhok Ki Si Rajawali Sakti, mengisi hidupnya
dengan dendam dan pembalasan" Mula-mula
selama puluhan tahun, gurunya itu membalas
dendamnya secara keji sekali terhadap is terinya
dan kekasih isterinya karena penyelewengan
isterinya. Biarpun dirinya sudah membunuh
mereka, dendamnya belum juga hilang dan dia
masih "menyiksa" isteri dan kekasih isterinya itu
dengan membiarkan kepala mereka selalu bersamanya! Kini, gurunya yang sudah mati
itupun melampiaskan dendamnya kepadanya karena kesalahannya tidak mentaati perintahnya
menikah dengan Kwa Bi Lan. Dan pembalasan
dendam ini dilakukan mendiang suhunya melalui
Bi Lan! Mungkinkah Kwa Bi Lan setelah menjadi
murid dan is teri Liu Bhok Ki, mewarisi pula watak
pendendam yang hebat itu"
Karena tidak adanya Hong Lan, Han Beng
menggemble ng The Siong Ki dengan sungguhsungguh. Dan anak ini memang berbakat baik
sekali sehingga memperoleh kemajuan pesat.
-ooo0dw0ooo- Ke manakah perginya Kwa Bi Lan yang
membawa lari Si Hong Lan sehingga setelah lewat
beberapa bulan, suami isteri perkasa dari Hongcun itu tidak berhasil menemukan jejaknya"
Mari kita ikut jejak Bi Lan setelah ia meninggalkan dusun Hong-cun sambil memondong
Hong Lan. Biarpun Kwa Bi Lan bersikap manis kepada
Hong Lan, menghiburnya sepanjang jalan, bahkan
membelikan pakaian dan mainan di toko, te tap
saja Hong Lan mulai rewel ketika ia te ringat akan
ayah bundanya dan merindukan mereka, juga
merindukan Siong Ki. Berulang kali ia rewel,
menangis dan minta pulang. Bi Lan yang tidak
mempunyai pengalaman dengan anak-anak,
berusaha semampunya untuk menghibur, namun
Hong Lan tetap menangis. Saking jengkel dan
sedihnya, ketika pada suatu malam Hong Lan
menangis terus di dalam kamar sebuah rumah
penginapan, Bi Lan juga ikut menangis! Dan
sungguh aneh, begitu Bi Lan menangis, Hong Lan
berhenti menangis! Anak itu memandang Bi Lan
yang menangis dengan kedua mata merah. Sinar
matanya penuh kehe ranan, bahkan mengandung
iba. "Bibi .... kenapa menangis ?" Sungguh aneh,
begitu mendengar anak itu berhenti menangis dan
bertanya kepadanya mengapa ia menangis, Bi Lan
makin mengguguk menangis, merangkul anak itu
dan tangisnya menjadi tersedu-sedu! Sudah terlalu
lama ia tidak menangis, te rlalu lama memendam
duka yang disembunyikan saja di dalam hatinya,
tidak pernah mendapat kesempatan mengeluarkan
duka nestapa yang menekan hatinya. Kini ditanya
mengapa ia menangis ole h suara kanak-kanak itu,
ia menjadi demikian sedih, demikian te rharu
sehingga ia terguguk se perti anak kecil!
Hong Lan semakin kasihan kepada wanita yang
selama ini amat manis dan baik kepadanya, yang
agaknya bahkan le bih baik dan le bih sayang
padanya daripada ibunya sendiri. Maka, melihat
wanita ini mengguguk, iapun merangkul dan
mencium pipi yang basah itu.
"Bibi, jangan menangis .... bibi, jangan menangis....." Ia merengek, agak ketakutan melihat
wanita itu menangis begitu sedihnya.
Mendengar ini, Bi Lan mengerahkan te naganya
untuk menahan dan menghentikan tangisnya. Ia
mengangkat mukanya yang masih basah, dan ia
memaksa tersenyum sambil memandang wajah
anak itu yang juga masih basah. "Tidak, aku tidak
menangis, Hong Lan sayang, aku tidak
menangis......lihat, aku sudah tertawa."
Hong Lan menatap wajah itu. Wajah yang
memelas sekali, nampaknya saja mulut itu
te rsenyum ramah, akan tetapi dua matanya merah
dan pipinya basah mata. Tangis campur tawa yang
mengharukan. Namun, anak itu agaknya le ga
begitu Bi Lan tidak mengguguk lagi.
De ngan jari tangannya yang kecil-kecil, Hong
Lan mengusap bawah kedua mata Bi Lan. "Bibi,
kenapa tadi menangis?"
Hong Lan menciumnya penuh kasih sayang. Ia
dapat merasakan kehangatan kasih sayang anak
itu kepadanya dan le bih dari pada itu, kehangatan
rasa cinta kasihnya kepada anak itu! Alangkah
melegakan dan membahagiakan, dapat mencurahkan kasih sayang kepada seseorang, apa
lagi kalau dibalasnya! Dibalas atau tidak, mencurahkan kasih sayang ke seseorang merupakan kebahagiaan yang sejak kematian
suaminya tak pernah ia rasakan lagi! Dan kini,
seluruh kerinduannya akan kasih sayang, baik
memberi atau menerima, ia curahkan kepada Hong
Lan! "Anakku yang baik. aku menangis karena
melihat engkau menangis, aku bersedih kalau
engkau menangis, Hong Lan."
"Aku tidak akan menangis lagi, bibi...."
Bi Lan menciumnya dan mendekap muka anak
itu ke dadanya. "Anakku .... kau anakku yang
manis, kenapa kau tidak menyebut ibu kepadaku"
Sebut aku ibu, Hong Lan ..."
"Tapi... engkau bukan ibuku ......"
Hong Lan memandang ragu. Bi Lan kembali
menciumnya penuh kasih sayang.
"Anakku, mulai sekarang, aku jadi pengganti
ibumu, juga pengganti ayahmu, pengganti suhengmu, pengganti segalanyanya. Sebut aku ibu
dan engkau membuat aku senang sekali, Lan Lan!"
Hong Lan te rbelalak girang mendengar sebutan
itu. "Ibu juga memanggilku Lan Lan!"
Bi Lan te rse nyum. "Tentu saja, dan akupun
sekarang menjadi ibumu dan memanggilmu Lan
Lan. Nah, kau mau bukan menjadi anakku dan
menyebutku ibu?" Lan Lan te rsenyum dan mencium pipi wanita
itu, " Aku senang sekali, ibu."
Bi Lan mendekap ana k itu dan merasa
berbahagia bukan main. Dan sejak malam itu,
benar saja Lan Lan tidak pernah rewel lagi. Bahkan
karena pandainya Bi Lan menghiburnya, dan
mengajaknya melihat-lihat kota-kota yang ramai,
pemandangan yang indah-indah, lambat laun Lan
Lan mulai melupakan ayah, ibu dan suhengnya.
Mereka itu makin kabur seperti merupakan
bayang-bayang dalam mimpi saja.
Sebulan setelah Bi Lan melarikan Lan Lan dari
rumahnya, pada suatu siang jalanannya melalui
sebuah hutan di tepi sungai. Ia memang menuju ke
barat untuk pulang ke Kim-hong-san, tempat
tinggal mendiang suaminya, untuk hidup di sana
berdua dengan Lan Lan. Karena berjalan ke barat
melawan arus air Sungai Huang ho, maka ia
melakukan perjalanan lewat darat, menyusuri
sepanjang pantai sungai yang amat le bar itu. Dan
siang itu, sambil memondong Lan Lan yang kini
tidak rewel lagi, Bi Lan berjalan memasuki hutan
di pantai sungai. Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya karena
pendengarannya menangkap gerakan orang di
belakangnya. Ia menengok dengan cepat dan
melihat bayangan orang berkelebat cepat sekali,
menyelinap lenyap di antara pohon-pohon. Ia tidak
dapat melihat jelas karena gerakan orang itu cepat
sekali, hanya tahu bahwa orang itu tentu seorang
pria yang berpakaian serba biru. Karena sampai
beberapa lamanya ia menanti, tidak ada gerakan
yang mencurigakan, iapun melanjutkan perjalanan. Baru puluhan langkah ia berjalan, ia berhenti
lagi karena te rdengar tiupan suling yang amat
merdu. Suara suling itu meliuk-liuk, turun naik
dengan getaran halus. Bi Lan memejamkan kedua
matanya. Suara suling itu demikian indah,
melengking halus dan seperti menarik-narik
jantungnya, dan tak terasa lagi dua titik air mata
te rgenang di pelupuk matanya. Tiupan suling itu
demikian merdu, demikian indah, akan tetapi juga
mengharukan seperti tangis sebuah hati yang
merana. Sepantasnya orang yang meniup suling
seperti itu adalah seorang yang sedang dilanda
duka, pikirnya. Akan te tapi, sungguh mengherankan. Siapa pula yang pandai meniup
suling seperti itu di tengah hutan lebat yang sunyi
ini" Bi Lan melihat pula betapa Lan Lan juga
memperhatikan suara itu. "Ibu, suara apakah itu?"
"Itu suara suling, Lan Lan. Suara suling yang
ditiup oleh seorang ahli, amat indahnya."
"Seperti ada yang menangis, ibu," kata anak itu.
Betapa tajam dan peka perasaan anakku ini,
pikir Bi Lan dengan bangga. Memang tak salah
lagi, peniup suling itu dilanda kesedihan dan
tangis dari hatinya keluar melalui tiupan sulingnya. Maka, iapun mempergunakan kepandaiann dan
berlari cepat ke arah suara itu dan melihat si
penyuling! Jantungnya berdebar. Seorang pemuda
yang tampan berpakaian seperti seorang pelajar
atau sastrawan, sedang duduk di bawah pohon
dan meniup sulingnya. Yang membuat ia berdebar
bukan karena pemuda itu tampan sekali, wajahnya
yang dilindungi caping le bar itu memiliki hidung
yang besar mancung, dan bibir yang nampak sayu.
Yang membuat Bi Lan te rkejut adalah pakaian
sasterawan muda itu. Serba biru! Ia te ringat akan
orang yang tadi berkelebat di belakangnya.
Bagaimana kini tahu-tahu orang itu te lah berada
jauh di depannya dan meniup suling" Ia tidak
melihat orang berlari melewatinya! Kalau benar
peniup suling ini orang yang tadi berkelebat di
belakangnya, alangkah cepatnya orang itu dapat
berada di situ. Biarpun hatinya te rtarik, akan tetapi karena ia
tidak mengenal orang itu, tidak sepantasnya kalau
ia te rlalu lama memperhatikan seorang laki-laki
asing, maka iapun berjalan terus meninggalkan
te mpat itu sambil memondong Lan Lan yang te rus
memandang ke arah si peniup suling yang agaknya
juga tidak memperdulikan mereka, melainkan
asyik meniup suling sambil menundukkan mukanya. Sambil berjalan terus meninggalkan pemuda itu
sampai suara sulingnya tidak te rdengar lagi, mau
tidak mau Bi Lan masih terkenang kepada si
peniup suling. Harus diakuinya bahwa pria muda
itu tampan sekali, dan nampaknya seperti seorang
sasterawan muda yang le mah. Akan tetapi, iapun
tahu bahwa di dunia kang-ouw te rdapat banyak
orang yang nampaknya le mah akan te tapi
sesungguhnya memiliki kepandaian tinggi
Komentar
Posting Komentar