NAGA BERACUN JILID 07

  "Cin Cin. jangan membikin aku marah. Engkau
memang anak yang tidak mengenal budi. Selama
tiga tahun aku memperlakukan engkau seperti
anak sendiri. Entah berapa banyaknya biaya yang
kukeluarkan untuk keperluanmu. Dan sekarang,
sebagai ibu yang baik, aku te lah mencarikan
te mpat yang terhormat dan baik untukmu. Bahkan
ibu kandungmu sendiri belum tentu akan mampu
mencarikan tempat yang demikian mulia untukmu.
Dan engkau berani menolak?"
"Terserah pendapatmu, Cia Ma. Pendeknya, aku
tidak mau diserahkan kepada pembesar itu atau
kepada siapapun. Kalau engkau sudah tidak mau
aku tinggal di sini, biarlah aku pergi mencari
ibuku." Cin Cin bersikeras.

Cia Ma kini tidak berpura-pura lagi, tidak
bersikap manis dan lembut seperti biasa. Ia marahmarah dan percecokan itu segera te rdengar oleh
Coa Tai-Jin yang segera memerintahkan pengawalnya untuk bersiap-siap meninggalkan
te mpat pelesir itu. Dia merasa malu kalau selagi
dia berada di situ te rjadi percekcokan. Pengawalnya segera mendatangi Cia Ma, menegurnya karena keributan itu.
"Tidak perlu ribut-ribut. Besok harus kauantarkan anak perempuan itu ke Lok-yang, ke
gedung Coa Tai-Jin. Beliau tidak ingin mendengar
ribut-ribut. Awas, kalau sampai gagal, engkau
akan dihukum berat!"
Menggigil tubuh Cia Ma mendengar ancaman itu
dan iapun mengangguk-angguk seperti ayam
makan jagung. Rombongan pembesar itu segera
meninggalkan rumah pelesir Ang-hwa dan setelah
rombongan pergi, Cia Ma mengeluarkan semua
rasa hatinya yang panas dan penuh kemarahan
te rhadap Cin Cin. Ia mengurung gadis cilik itu di
dalam kamarnya dan menyuruh tukang-tukang
pukulnya untuk menjaga agar anak itu jangan
sampai melarikan diri. Kemudian, ia membuat
persiapan,
menyewa sebuah kereta dan mempersiapkan pasukan pengawal yang te rdiri
dari sepuluh orang, dengan Hek-gu (Kerbau Hitam)
dan Pe k-gu (Kerbau Putih) sebagai pemimpin.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hek-gu
dan Pek-gu memaksa Cin Cin yang sudah
didandani sebagai seorang puteri naik ke dalam
kereta. Anak itu meronta dan melawan, akan tetapi
dua orang tukang pukul itu meringkusnya dan
memondongnya ke dalam kereta.
Karena khawatir anak itu memberontak terus,
He k-gu lalu tinggal di dalam kereta, sedangkan
Pek-gu yang memimpin pasukan te rdiri dari
sepuluh orang tukang pukul itu. Kereta lalu
dijalankan, meninggalkan Cia Ma yang sambil
senyum-senyum menghitung lagi uang yang ia
te rima dari Coa Tai-Jin.
-ooo0dw0ooo- "Lepaskan aku! Aku tidak sudi diberikan
pembesar itu!" Cin Cin mencoba untuk meloncat
keluar dari dalam kereta, akan tetapi Hek-gu
menangkap kedua le ngannya. Anak itu merontaronta, akan te tapi apa dayanya seorang anak
perempuan berusia delapan tahun menghadapi
seorang tukang pukul yang kuat seperti Hek-gu.
Kedua lengan itu dipegang oleh tangan kiri dan
tidak mampu meronta lagi, apa lagi melepaskan
diri. "Heran, setelah te rdidik selama tiga tahun
engkau kelihatan seperti seorang gadis cilik yang
le mah lembut dan pandai menari, te rnyata pada
dasarnya masih liar," kata Hek-gu dan karena
tidak ingin selama dalam perjalanan harus
menjaga anak itu dan meringkusnya te rus
menerus, dia lalu mengeluarkan sabuk sutera dan
mengikat kedua lengan anak itu dengan sabuk
sutera. 
"Nah, engkau tidak akan dapat meronta lagi
sekarang," katanya setelah mengikat pula kedua
kaki Cin Cin dan mendorong anak itu terduduk di
sudut bangku kereta. Dia sendiri lalu mele ndut di
sudut lain, merasa aman karena gadis cilik itu kini
tidak dapat membuat ulah lagi. N anti kalau sudah
dekat kota raja, dia harus mele paskan ikatan
kakai-tangan Cin Cin. Tentu saja tidak berani dia
menghadapkan gadis cilik itu dengan kaki tangan
te rbelenggu kepada Coa Tai-Jin.
Setelah tiba di tepi selatan Sungai Huang-ho,
perjalanan dilanjutkan dengan penyeberangan
sungai itu, menggunakan perahu besar. Cin Cin
masih dibelenggu dan belenggu kedua tangannya
baru dilepas kalau ia dipersilakan untuk makan
dan minum. Akan te tapi, anak itu selalu menolak,
tidak mau makan atau minum walaupun kini ia
diam saja, tidak memberontak lagi. Anak ini
maklum bahwa memberontak tidak ada artinya.
Ia harus mencari jalan untuk melarikan diri,
mencari lowongan kesempatan setiap saat.
Di seberang utara, orang-orang yang disuruh
oleh Cia Ma telah siap dengan sebuah kereta lain
yang akan membawa Cin Cin dan pengawalnya ke
kota raja. Ketika malam tiba, rombongan itu
bermalam di sebuah rumah penginapan di kota
kecil seperti direncanakan. Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali mereka berangkat lagi. Perjalanan
itu cukup jauh, memakan waktu tiga hari tiga
malam. Pada hari ke tiga, kereta berjalan cepat
memasuki sebuah hutan di le reng bukit. Cin Cin

nampak te rtidur di sudut bangku kereta. Kaki
tangannya te tap terbelenggu. He k-gu kini diganti
oleh Pek-gu yang duduk di kereta, sedangkan Hekgu menunggang kuda seperti pengawal lainnya.
Pek-gu yang merasa amat lelah, setelah kini
mendapat kesempatan duduk di dalam kereta,
apalagi melihat Cin Cin yang dijaganya nampak
pulas , diapun merasa mengantuk sekali dan
melenggut di sudut bangku yang lain. Dia sama
sekali tidak tahu betapa bulu
mata anak perempuan itu mulai bergerak-gerak dan sepasang
mata yang bening itu mengintai dari balik pelupuk
mata yang direnggangkan! Karena Cin Cin tidak lagi memperlihatkan sikap
memberontak, dan nampak le lah sekali karena
selama tiga hari ia hanya makan dua tiga kali saja,
maka baik Hek-gu maupun Pek-gu menjadi le ngah.
Mereka menganggap bahwa kini gadis cilik itu
telah menyerah dan menerima nasib. Pula apa
yang dapat dilakukan anak itu" Melarikan diri jelas
tidak mungkin! Karena kelengahan ini, maka ikatan kedua kaki
dan tangannya tidak sekuat dulu. De ngan te kun
dan sabar, Cin Cin berusaha membuka ikatan
kedua kakinya dengan cara membungkuk dan
menggunakan kedua tangannya.
Ia berhasil. Ikatannya terlepas. Untuk melepaskan ikatan
kedua pergelangan tangan, tidak mungkin karena
jari-jarinya tidak dapat mencapai simpul di
pergelangan tangannya. Yang penting kedua kakiku bebas, pikir anak
itu. Ia harus melarikan diri sebelum kereta tiba di

te mpat ramai. Apa lagi setelah memasuki kotaraja,
tidak mungkin sama sekali
melarikan diri. Sekaranglah saatnya, pikirnya.
Kereta berada di jalan sunyi di tengah hutan dan
kedua kakinya sudah bebas. Ia melihat betapa Pekgu tidur nyenyak, terbukti dari dengkurnya.
Cin Cin mengintai dari balik tirai kereta. Hek-gu
bersama empat orang pengawal menunggang kuda
berada di depan kereta, sedangkan empat orang
penjaga lain menunggang kuda di belakang kereta.
Kereta itu sendiri ditarik oleh dua ekor kuda,
dikendalikan oleh seorang kusir. Sekaranglah
saatnya, pikir anak itu. Sekarang atau te rlambat!
Ia menanti sampai kereta itu melambat karena
harus mendaki sebuah jalan tanjakan di antara
semak belukar dan pohon-pohon cemara. De ngan
cekatan Cin Cin lalu meloncat keluar dari kereta,
dan karena kereta itu sedang berjalan lambat, ia
dapat meloncat dengan mudah di sebelah kiri
kereta. Sebagai seorang anak yang dahulu pernah
mempelajari dasar ilmu silat, loncatan itu tidak
membuat Cin Cin terjatuh. Ia dapat mengatur
keseimbangan tubuhnya, dan begitu kedua kakinya menyentuh tanah, ia lalu lari menyusup
ke balik semak belukar! "Heii! Anak itu lari.! Kejar.....!" te riak para
pengawal yang berada di bekang kereta.
Teriakan itu mengejutkan Hek-gu yang berada di
depan kereta. Pek-gu yang tadinya tertidur, kini
te rbangun dan kagetlah dia ketika tidak melihat
anak perempuan itu di depannya. Diapun meloncat
keluar dan bersama para pengawal, diapun

melakukan pengejaran. Karena anak itu mengambil jalan di antara semak dan pohon,
sepuluh orang pengawal itupun berloncatan turun
dari atas kuda mereka dan melakukan pengejaran
sambil berte riak-te riak.
Mereka tentu saja memandang rendah kepada
anak perempuan itu, dan menganggap hal itu
seperti main-main saja. Mereka mengejar sambil
berte riak dan te rtawa-tawa, seperti sekawanan
anjing serigala mengejar seekor domba!
Memang amat sukar bagi Cin Cia untuk dapat
meloloskan diri dari kejaran sepuluh orang tukang
pukul itu. Dalam keadaan bias a sekalipun, ia pasti
akan dapat tersusul dan ditangkap kembali.
Apa lagi kini ia lari dengan kedua tangan masih
te rikat di depan tubuh sehingga hal ini tentu saja
mengurangi kecepatan larinya, karena gerakannya
menjadi canggung. Beberapa kali ia te rjerembab,
akan te tapi dengan nekat anak perempuan ini
bangkit lagi dan lari sekuat tenaga.
Belum ada setengah mil Cin Cin melarikan diri,
Pek-gu yang marah sekali karena anak perempuan
itu melarikan diri ketika dia menjaganya di dalam
kereta, telah dapat menangkap pundaknya dari
belakang. Cin Cin membalik dan memukulkan
tangannya ke arah orang yang menangkapnya.
Akan tetapi, sekali menggerakkan tangan, Pek-gu
telah menangkap pergelangan kedua tangan itu.
"Anak setan, kalau tidak ingat pesan Cia Ma,
engkau sudah kupukul!" bentak Pek-gu marah dan
diapun memanggul tubuh Cin Cin di atas

pundaknya, pengawal lain mentertawakan Pek-gu,
akan tetapi Hek-gu menegur kawannya.
"Apa kau ingin kehilangan kepalamu. Menjaga
sampai tidak tahu anak itu lari."
"Kujamin sekarang ia tidak akan dapat lari lagi
dariku, sampai kita tiba di kota raja." kata Pek-gu
mendongkol bukan main kepada Cin Cin.
"Lepaskan aku! Kalian anjing-anjing busuk.
Lepaskan aku atau bunuh saja aku.!" Cin Cin
berte riak-te riak, akan tetapi ia tidak dapat meronta
lagi, kecuali menggeliat-geliat di atas pondongan
pundak Pek-gu. Sepuluh orang itu sambil tertawa-tawa berjalan
kembali ke arah jalan di mana kereta itu masih
menunggu. Tiba-tiba te rdengar suara merdu tanpa
kelihatan orangnya, suara seorang wanita.
"Anjing-anjing busuk, apakah kalian tuli" Ia
minta dile paskan, apakah kalian tidak mendengarnya?" Sepuluh orang itu te ntu saja te rkejut dan juga
heran. Mereka memandang ke kanan kiri dan tidak
melihat seorangpun. Di antara mereka sudah
menjadi takut dan merasa seram karena menyangka bahwa yang bicara itu te ntu setan
penunggu hutan! Akan te tapi, Hek-gu dan Pek-gu adalah dua
orang jagoan yang tidak mengenal takut. Mereka
sudah mencabut golok masing-masing dan Hek-gu
membentak, "Siapakah yang bicara tadi" Keluar
perlihatkan dirimu kalau e ngkau memang manusia
dan bukan setan!" 
Tiba-tiba te rdengar suara ketawa lirih yang
merdu dan nampak berkelebat bayangan putih dan
tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita yang
cantik dan bertubuh ramping. Sukar menaksir usia
wanita ini, nampaknya tidak le bih dari tigapuluh
tahun. Rambutnya digelung seperti rambut pute ri
bangsawan. Pakaiannya dari sutera putih yang
halus dan bersih. Sebatang pedang te rgantung di
punggung, dan pinggang yang ramping itu dililit
sehelai cambuk hitam yang seperti ular. Ia
te rsenyum le bar, nampak deretan giginya berkilat
putih, namun sepasang matanya mencorong dan
mengandung keganasan yang mengerikan!
"Anak perempuan yang berani, mengapa engkau
menjadi tawanan anjing-anjing busuk ini?" te rdengar ia bertanya kepada Cin Cin dan semua
pengawal itu mengenal suaranya yang tadi
te rdengar sebelum orangnya nampak.
Biarpun ia dipon dong dengan muka di punggung
Pek-gu, Cin Cin dapat memutar le her dan melihat

wanita cantik itu. Sekali pandang saja ia dapat
menduga bahwa wanita cantik itu tentulah seorang
yang lihai, seperti ibu Thian Ki, Sim Lan Ci. Maka,
timbullah harapan baginya untuk dapat te rtolong
dari tangan para tukang pukul ini.
"Bibi yang baik, kau tolonglah aku. Aku akan
dijual kepada seorang pembesar di kota raja oleh
anjing-anjing buduk ini!"
Wanita cantik itu bukanlah sembarang wanita.
Kalau saja He k-gu dan Pek-gu tahu dengan siapa
mereka berhadapan tentu mereka akan lari
tunggang-langgang. Nama wanita itu, yaitu nama

julukannya, sudah te rsohor di seluruh daerah
timur, bahkan sampai ke kota raja. Akan tetapi,
wanita ini memang jarang muncul di dunia ramai,
tidak mau sembarangan memperkenalkan diri.
Padahal ia merupakan seorang datuk sesat yang
memiliki kepandaian yang tinggi. Biarpun nampaknya baru berusia tigapuluhan tahun,
namun sesungguhnya usianya sudah limapuluh
tahun. Ia terkenal dengan julukan Tung-hai Mo-li
(I blis betina Laut Timur), dan namanya adalah
Bhok Sui Lan. Namanya demikian tersohor di
bagian timur, sehingga semua orang kangouw
mengenal nama itu dan takut kepadanya. Oleh
karena itu, ia hidup bagaikan seorang ratu di
antara para tokoh kangouw, dan dari dunia sesat
ia menerima sumbangan dan hadiah yang
membuat hidupnya kecukupan sebagai orang
wanita yang kaya raya. Mendengar ucapan Cin Cin, Tung-hai Mo-li
mengerutkan alisnya, "Hei, anjing muka putih,
engkau sudah mendengar ucapan anak itu"
Lepaskan ia sekarang juga!"
"Bibi yang gagah, orang ini bukan anjing muka
putih, melainkan Pek-gu (Kerbau Putih)." kata Cin
Cin yang timbul keberaniannya.
"Hemm, dia le bih pantas menjadi anjing
daripada kerbau," kata pula wanita cantik itu.
Tentu saja Pek-gu marah sekali mendengar
ejekan-ejekan itu. Akan te tapi karena yang
mengejek dan memakinya adalah seorang wanita
cantik, sejak tadi ia bengong dan te rkagum kagum.
Kini ia melangkah maju dan berkata, "Ha
ha,manis. Lebih baik engkau menjadi isteriku,
daripada engkau mencampuri urusan
kami. Sayang kalau kulitmu yang putih mulus itu sampai
te rluka ole h golokku."
Sepasang mata itu mencorong. "Engkau.. bangkai anjing!" bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya
berkelebat ke depan. Melihat wanita itu menyerang dengan tangan
kosong, Pek-gu memandang rendah. Akan tetapi
karena dia tidak ingin Cin Cin dirampas orang, hal
yang akan membuat dia dua kali kehilangan anak
yang dijaganya, dia mengelebatkan goloknya untuk
membabat tangan wanita berpakaian putih itu,
te ntu saja hanya dengan gerakan ancaman.
Akan te tapi, tiba-tiba saja tangan yang menggerakkan golok itu te rasa lumpuh, disambar
jari tangan wanita itu dan di lain saat, entah secara
bagaimana dia tidak tahu, karena gerakan wanita
itu terlalu cepat baginya, tubuh Cin Cin sudah
te rlepas dari atas pundaknya dan anak perempuan
itu tahu-tahu telah berdiri di samping wanita baju
putih itu! Kini Pek-gu marah sekali. Dia tidak perdull akan
kecantikan wanita baju putih itu. Diputarnya
goloknya di kepala dan diapun berteriak, "Kernbalikan anak itu kepadaku!"
"Bangkai anjing!" Mo-1i (I blis betina) berseru
le mbut dan ia bergerak maju memapak Pek-gu
yang menyerang dengan bacokan golok. Tangan
yang kecil halus itu diangkat menyambut golok
dengan begitu saja ia menangkap golok yang
nyambar kepalanya. Golok itu berhenti seperti tersedot  dan sebelum Pek-gu tahu apa yang terjadi,
tangan kiri Mo-li sudah menampar dadanya.
"Plakk!" Tamparan itu kelihatannya tidak keras,
akan tetapi akibatnya hebat karena tubuh Pek-gu
te rjengkang dan ia berkelojotan sebentar lalu
te rdiam. Tewas dan baju di dadanya seperti
te rbakar dan nampak bekas te lapak tangan di
sana! Tentu saja Hek-gu te rkejut dan marah sekali,
demikian pula kawan-kawannya. Sembilan orang
itu, dengan senjata masing-masing, sudah maju
mengeroyok Mo-li. Bagaikan seekor kupu-kupu
menari-nari di antara bunga-bunga di taman,
tubuh yang berpakaian putih itu berloncatan atau
seperti beterbangan dan berturut-turut sembilan
orang tukang pukul itu roboh tanpa mengeluarkan
suara dan mereka tidak dapat bangun kembali
karena setiap kali terkena pukulan, mereka roboh
dan tewas! Semua itu terjadi dalam waktu yang amat
singkat sehingga Cin Cin memandang dengan
bengong. Kemudian, anak yang cerdik itu merasa
yakin bahwa wanita berpakaian putih itu adalah
seorang yang sakti, jauh le bih lihai dibandingkan
bibi Sim Lan Ci yang pernah ia kagumi.
Ia cepat menghampiri wanita itu dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua kaki
wanita itu. "Bibi, selain menghaturkan te rima
kasih atas pertolonganmu, aku juga mohon sudilah
bibi menerimaku sebagai murid bibi." Tanpa
menanti jawaban, langsung saja Cin Cin memberi

hormat sambil berlutut sebagaimana layaknya
seorang murid memberi hormat kepada gurunya.
"Hemm. kenapa sebelum kuterima kau sebagai
murid, engkau sudah menghormatiku sebagai
gurumu?" "Karena aku yakin subo ( ibu guru pasti akan
menerimaku sebagai murid ).!" Mo-li mengerutkan
alisnya. "Eh, bagaimana e ngkau bisa yakin?"
"Subo telah bersusah payah menyelamatkan aku
dari tangan anjing-anjing ini. Apa artinya pertolongan itu kalau subo tidak menerimaku
sebagai murid. Semua jerih payah subo tadi akan
sia-sia belaka. Karena itu, aku yakin bahwa subo
te ntu menolongku untuk menerimaku sebagai
murid." Sepasang mata yang jeli itu te rbelalak, kemudian
wajah cantik itu membayangkan senyum gembira.
Tung-hai Mo-li adalah seorang wanita aneh,
seorang datuk sesat. Maka, melihat watak anak
perempuan yang tabah, lincah, pandai bicara dan
ugal-ugalan ini, timbul rasa suka di hatinya. Ia
memang tidak pernah mau menerima murid, dan
begitu bertemu dengan Cin Cin, melihat betapa
anak perempuan yang tidak berdaya itu berani
memaki-maki segerombolan pengawal yang kasar
dan jahat, hatinya te rtarik dan ia merasa suka
sekali. Dan ucapan anak itu memang benar. Kalau
tidak te rtarik dan tidak suka kepada ana k itu,
untuk apa ia turun tangan menbunuh sepuluh
orang pengawal tadi" Bias anya, ia tidak suka
mencampuri urusan orang dan tidak perduli

apakah ada kejahatan terjadi di depan hidungnya
atau tidak, selama peristiwa itu tidak menyangkut
dirinya! "Siapakah engkau" Dan kenapa engkau menjadi
tawanan mereka ini" Ceritakan semua, singkat
saja. Aku ingin mengetahui riwayatmu."
"Namaku Kam Cin, biasa disebut Cin Cin,
usiaku sekarang delapan tahun. Tiga tahun yang
lalu ayahku dibunuh penjahat, ibuku diculik
penjahat, seluruh keluargaku dibasmi gerombolan
penjahat. Seorang sute dari ayahku mendapat
tugas untuk membawa aku pergi mengungsi, akan
tetapi di kota Ji-goan, paman yang culas itu
menjual aku kepada Cia Ma, pemilik rumah pelesir
Ang-hwa. Di sana aku dipelihara dan dididik
selama tiga tahun dan hari ini aku oleh Cia Ma
dijual kepada seorang pembesar Coa di kota raja.
Sepuluh orang ini mengawalku ke rumah pembes ar
itu dan di te mpat ini, aku melihat kesempatan
untuk melarikan diri."
Mo-li mendengarkan dengan kagum dan ia
melihat sabuk sutera yang masih mengikat kedua
tangan gadis kecil itu. "Kenapa baru sekarang
engkau melarikan diri dan sampai tiga tahun
tinggal rumah kotor itu?" tanyanya ragu.
"Begini, bibi, eh. subo. Ketika aku oleh paman
jahanam itu dijual kepada Cia Ma, aku sudah
memberontak dan melawan, bahkan aku sempat
melarikan diri. Akan tetapi aku tertangkap kembali
dan aku lalu menggunakan sias at untuk menurut
dan tidak memberontak. De ngan demikian. selain
mendapatkan perlakukan wajar, aku diajar pula

membaca, menulis dan lain kesenian, dan aku
memperoleh kebebasan. Aku selalu mencari kesempatan baik. Siapa kira, nenek gendut itu
menjualku kepada pembesar itu. Maka, dalam
perjalanan aku nekat mencoba untuk melarikan
diri." Mo-li mengangguk-angguk. Ia suka kepada anak
ini, tertarik melihat sikapnya, akan tetapi ia tidak
te rtarik mendengar riwayatnya, tidak ingin tahu
siapa keluarga anak ini yang katanya dibasmi
orang jahat. "Baiklah, kalau engkau mau belajar
dengan rajin, aku mau mengajarkan ilmuku
kepadamu. Akan te tapi sekali saja engkau mengecewakan hatiku atau bermalas-malasan,
engkau akan kubunuh!"
Diam-diam bergidik juga hati Cin Cin mendengar
ancaman ini, dan ia yang menjadi pute ri ketua
perkumpulan orang gagah He k-houw-pang dan
banyak mendengar te ntang orang-orang kangouw
yang aneh, dapat menduga bahwa wanita cantik ini
te ntu seorang tokoh sesat.
"Baik, subo. Aku akan selalu mentaati perintah
subo." "Nah. majulah ke sini!" kata Mo-li dan begitu Cin
Cin melangkah maju, tangannya bergerak.
Cin Cin hanya merasa ada renggutan pada tali
yang mengikat kedua tnngannya dan tali sabuk
sutera itupun putus! Ia semakin kagum. Gurunya
itu tidak kelihatan menyentuh sabuk sutera itu,
akan tetapi sabuk itu putus.
"Mari kita pergi!" kata pula Mo-li dengan singkat.

"Nanti dulu, subo."
"Ehh?" Mo-li memandang dengan alis berkerut,
matanya mencorong. Kembali Cin Cin merasa
ngeri. Ia harus berhati-hati menghadapi gurunya
ini. Salah-salah sekali tangan gurunya bergerak
belum ia tahu apa yang te rjadi, ia sudah
menggeletak dan tewas seperti sepuluh orang itu!
"Subo, di sana masih ada kusir kereta. Apakah
dia dibiarkan saja menjadi saksi semua ini?" Ia
menuding ke arah jalan di mana nampak sebuah
kereta. Pada saat itu, terdengar suara dari kereta
itu. "Heiii! Kenapa lama amat menangkap anak itu"
Kalian cepat kembali ke sini agar dapat melanjutkan perjalanan!" Itulah suara kusir kereta.
"Mari kita ke s ana!" kata Mo-li sambil berlari ke
arah jalan itu, diikuti ole h Cin Cin.
Kusir kereta memandang heran ketika melihat
anak perempuan itu datang bersama seorang
wanita cantik dan tidak nampak seorangpun di
antara pengawal yang melakukan pengejaran tadi.
Ketika Mo-li tiba di depannya, kusir itu memandang heran dan kagum. "Siapa engkau"
Mana mereka dan apa yang terjadi ?"
Baru saja dia menutup mulutnya, dia te rpelanting roboh dari atas kereta, terjungkal dan
te was seketika. De ngan tenang Mo-li berpaling kepada Cin Cin.
"Apakah masih ada lagi di antara mereka?"

Cin Cin menelan ludah. Kalau sepuluh orang
tadi roboh dibunuh, ia tidak merasa ngeri bahkan
bersyukur karena mereka merupakan ancaman
baginya. Akan te tapi selama dalam perjalanan
kusir kereta itu tidak pernah bersikap galak dan
tingkah lakunya tidak seperti sepuluh orang
tukang pukul itu. Melihat dia dibunuh seperti itu
oleh gurunya, mau tidak mau ia merasa ngeri juga.
Gurunya ini mengingatkan ia akan para penjahat
yang mengamuk di He k-houw-pang. Sekejam
mereka, kalau tidak lebih kejam lagi malah. Akan
tetapi ia perlu mempelajari ilmu silat tinggi. Kelak
ia harus mencari para pembunuh ayahnya, dan
mencari penjahat yang menculik ibunya. Tanpa
ilmu yang tinggi, ia hanya akan menjadi beban
penghinaan orang lain. Ia kelak juga harus mencari
Lai Kun, untuk menghukumnya.
Mo-li memilih dua ekor kuda te rbaik di antara
kuda-kuda yang berada di situ, kemudian mengajak muridnya naik kuda dan pergi dari situ.
Ia sama sekali tidak bicara, dan Cin Cin juga tidak
bertanya apa-apa, hanya mengikuti gurunya.
-ooo0dw0ooo- The Siong Ki baru berusia enam tahun, akan
tetapi dia seorang anak yang cerdik dan pemberani.
Dalam usia sekecil itu, dia telah kehilangan ayah
ibunya. Bahkan dalam keadaan putus asa
ditinggalkan orang tuanya, harapannya timbul
ketika dia berte mu Poa Liu Hwa, is tri pangcu
(ketua) He k-houw pang dan dia diangkat murid
oleh Poa Liu Hwa. Akan tetapi, harapan itu hancur

kembali ketika dia melihat betapa subo (ibu guru)
itu bukan seorang wanita yang memiliki kepandaian tinggi. Bahkan menghadapi musuhnya
menjadi tidak berdaya, dan hal ini mengecewakan
hatinya. Apa lagi ketika muncul laki-laki tinggi
besar bernama Lie Koan Tek itu, yang menurut
keterangan dari pria muda tampan yang menyerang subonya, adalah pembunuh ayahnya,
dia diam-diam segera meninggalkan te mpat subonya berkelahi. Dia harus pergi, mencari guru
yang le bih tangguh dan dia tahu ke mana harus
mencari guru yang sakti. Dia te ringat akan
pendekar sakti Si Han Beng yang berjuluk Huangho Sin-liong (N aga Sakti Sungai Kuning), yang
berte mpat tinggal di dusun Hong-cun di le mbah
Huang-ho. Dia tahu bahwa Kam Cin atau Cin Cin,
pute ri subonya itu sendiri diantar oleh paman
gurunya, Lai Kun untuk mengungsi ke Hong-cun
dan menjadi murid pendekar sakti itu. Dia akan
menyusul ke sana dan dia akan mohon agar
dite rima menjadi murid, bersama Cin Cin!
Untuk menjamin keselamatannya dalam perjalanan, Siong Ki sengaja membiarkan pakaiannya compang-camping seperti seorang
anak je mbel. Dengan demikian tidak ada orang
yang suka mendekatinya apa lagi mengganggunya.
Gangguan orang lain selalu hanya karena yang
diganggu memiliki kelebihan, yaitu keindahan
pakaian dan uang, ketampanan atau kecantikan
wajah, kepandaian dan sebagainya yang menimbulkan iri hati dalam hati orang lain. Siapa
yang akan mengganggu seorang anak jembel yang
kotor, miskin, bodoh dan papa" Padahal, Siong Ki

menyimpan perak cukup banyak, bahkan sedikit
emas, untuk bekal. De ngan cara menghemat, juga tidak sampai
ketahuan orang lain kalau dia membelanjakannya,
dia dapat melakukan perjalan yang amat jauh itu
dengan selamat. Beberapa bulan kemudian, tibalah
ia di lembah Huang-ho dan dengan bertanya-tanya,
akhirnya dapat juga ia memperoleh keterangan di
mana adanya dusun Hong-cun, te mpat tinggal
pendekar sakti Si Han Beng itu. Tentu saja ia
cukup cerdik untuk tidak menyebut-nyebut nama
pendekar itu, karena hal ini akan menimbulkan
kecurigaan dan menarik perhatian orang. Tentu
mengherankan kalau seorang anak pengemis
bertanya-tanya tentang seorang pendekar sakti
seperti Huang-ho Sin-liong Si Han Beng itu!
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan yang
amat jauh dan lama karena dia mencari-cari dan
bertanya-tanya sepanjang jalan, pada siang hari itu
Siong Ki berhasil tiba di pekarangan depan rumah
pendekar sakti Si Han Beng.
Tentu saja setelah tiba di dusun Hong-cun, amat
mudah bagi Siong Ki mencari rumah besar itu.
Semua orang mengenal keluarga Si ini. Si Han
Beng adalah seorang pendekar sakti, walaupun dia
dan keluarganya hidup se derhana sebagai petani di
dusun itu. Melihat keadaan keluarganya yang
hidup sederhana, tentu tidak ada orang yang
menyangka bahwa dia adalah Naga Sakti Sungai
Huang-ho yang namanya pernah menggemparkan
dunia kangouw, te rutama di sepanjang sungai
besar itu. 
Si Han Beng masih muda, baru dua puluh tujuh
tahun usianya, namun dia sudah membuat nama
besar dengan sepak te rjangnya yang gagah
perkasa. Tubuhnya tinggi besar dan gagah,
wajahnya tampan dan sikapnya pendiam. Pakaiannya sederhana seperti petani biasa.
Satu-satunya yang menunjukkan bahwa dia
seorang pendekar sakti barangkali adalah matanya. Mata itu mencorong seperti mata seekor
seekor naga! Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Si
Rajawali Sakti Liu Bhok Ki, dari Raja Pengemis Sinciang Kai-ong, dan terakhir sekali dari pertapa
sakti Pek I Tojin. Tidak mengherankan kalau Si
Han Beng memiliki ilmu kepandaian yang bebat.
Isterinya juga seorang pendekar wanita yang
tingkat kepandaiannya hampir menandingi suaminya. Isterinya bernama Bu Giok Cu, baru
berusia duapuluh lima tahun. Wanita ini cantik
jelita, lincah jenaka dan cerdik. I a pernah mewaris i
ilmu-ilmu yang dahsyat dan ganas dari Ban-tok
Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), kemudian
digemble ng oleh Hek Bin Hwesio, seorang pendeta
Siauw-Lim-pai yang suka mengembara dan yang
memiliki ilmu kepandaian hebat.
Tiga tahun mereka menikah dan mereka
mempunyai seorang anak perempuan yang mereka
beri nama Si Hong Lan dengan panggilan seharihari Lan Lan. Anak itu kini sudah dua tahun
usianya. Seorang anak yang sehat dan mungil.
De ngan jantung berdebar karena te gang, harapharap cemas, Siong Ki berdiri di pekarangan
rumah keluarga Si. 
Dia mengharapkan akan melihat Kam Cin di
situ. Kalau saja Cin Cin yang lebih dahulu keluar
dan melihatnya, tentu anak perempuan itu akan
mengenalnya. Karena mereka adalah kawan bermain sejak kecil. Dan perjumpaan itu tentu
akan memudahkan dia untuk menghadap pendekar sakti Si Han Beng, untuk mohon agar
dite rima sebagai murid, seperti halnya Cin Cin.
Akan te tapi yang keluar adalah seorang laki-laki
setengah tua yang berpakaian seperti pelayan.
Melihat seorang anak laki-laki berpakaian je mbel
berdiri di pekarangan, laki-laki itu menghampiri
dan mene gurnya. "Mau apa engkau berdiri di s ini" Ayo cepat pergi,
anak malas!" Siong Ki mengamati orang itu. Pasti bukan
pendekar sakti Si Han Beng pikirnya. Menurut
cerita yang didenngarnya, pendekar besar itu
belum ada tiga puluh tahun usianya, sedangkan
pria ini sedikitnya tentu empatpuluh tahun.Dan
te guran itu demikian kakunya, begitu berte mu,
tanpa alasan dia dimaki sebagai anak malas.
"Paman, aku bukan anak pemalas," ia membantah. Orang itu mendekat dan matanya memancarkan
kemarahan. "Apa" Engkau bukan anak pemalas"

Lihat pakaianmu. Engkau seorang pengemis,
bukan" Semua pengemis yang bertubuh sehat dan
tidak cacat adalah pemalas! Tidak mau bekerja.
Engkau te ntu bukan anak dusun ini, karena di sini
tidak ada pengemis. Hayo cepat pergi, jangan
berdiri saja di pekarangan ini. Lebih baik engkau

segera keluar dari dusun ini karena takkan ada
seorangpun suka memberi derma kepada seorang
pemalas!" Wajah Siong Ki berubah kemerahan. Dia marah
sekali, akan tetapi dia masih dapat menahan
kesabarannya, karena tengingat bahwa dia telah
berada di pekarangan rumah pendekar yang dia
harapkan suka menerimanya sebagai murid.
"Paman, kuharap paman jangan menilai seseorang dari pakaiannya. Aku melakukan perjalanan jauh dan demi keamanan di dalam
perjalanan, aku sengaja mengenakan pakaian yang
butut agar disangka pengemis dan tidak diganggu
orang. Aku bukan pemalas, dan tidak pernah
minta-minta, paman. Kalau paman tidak percaya,
ini masih ada sisa bekalku untuk biaya perjalananku." Dia mengeluarkan kantung kecil di
mana masih ada dua potong emas dan beberapa
potong perak. Ketika dia membuka kantong kecil
itu dan memperlihatkan isinya orang itu te rcengang, akan tetapi pandang matanya terhadap
Siong Ki berubah. Kini penuh perhatian dan
te rtarik. "Hemm, anak yang aneh, siapakah kau dan
mengapa pula engkau datang ke sini?"
"Panjang ceritanya, paman. Aku datang ke sini
untuk menghadap tai-hiap (Pendekar bes ar) Si Han
Beng. Kalau paman seorang di antara para
penghuni rumah ini, kuharap paman suka
memberitahukan kepada Si-taihiap bahwa aku
mohon menghadap." 
"Nanti dulu, tidak begitu mudah untuk berte mu
dengan Si-taihiap, apalagi seorang anak kecil
seperti engkau. Katakan dulu siapa namamu, dan
dari mana engkau datang sehingga aku akan
mempertimbangkan apakah sudah pantas kulaporkan kepadanya tentang kunjunganmu."
Kini tahulah Siong Ki bahwa orang ini adalah
seorang pelayan, atau setidaknya seorang pembantu dari keluarga Si, maka giranglah hatinya
dan diapun bersikap lebih ramah dan sopan.
"Paman yang baik, te rima kasih sebelumnya atas
kebaikanmu. Namaku adalah The Siong Ki. Harap
paman laporkan kepada Si Tai-hiap bahwa ayahku
adalah murid He k-houw-pang, suheng dari ketua
He k-houw-pang dan bahwa kedatanganku membawa berita yang amat penting te ntang He khouw-pang. Kukira Si tai-hiap nanti sudi untuk
menerimaku menghadap, paman."
Pembantu itu mengangguk-angguk, "Aku pernah
mendengar tentang Hek-houw-pang. Baik, akan
kulaporkan kepada Taihiap. Kau tunggulah di sini,
Siong Ki." "Terima kasih, paman."
Pembantu itu masuk ke dalam melalui pintu
samping dari mana tadi dia keluar dan Siong Ki
menanti dengan jantung berdebar te gang. Kalau
Cin Cin sudah berada di situ, te ntu keluarga Si
sudah mendengar te ntang malapetaka yang menimpa He k-houw-pang, dan namanya te ntu
akan dikenal Cin Cin dan mereka te ntu akan
menerimanya dengan baik. Andaikata Cin Cin
belum tiba di situ, hal yang tidak mungkin karena

te ntu anak perempuan yang diantar oleh s usioknya
Lai Kun, te ntu dapat melakukan perjalanan lebih
cepat darinya, maka dengan mendengar nama Hek
houw-pang, pendekar itu tentu akan tertarik pula
dan suka menerimanya. Dugaan Siong Ki memang benar. Begitu Si Han
Beng dan is terinya, Bu Giok Cu, mendengar
laporan pembantu mereka bahwa di luar ada
seorang anak laki-laki berusia enam tujuh tahun
bernama The Siong Ki yang mengaku sebagai
murid keponakan ketua He k-houw-pang, suami
isteri pendekar itu segera keluar menyambut. Bu
Giok Cu menggendong putrinya, Lan Lan yang
berusia dua tahun lebih. Akan tetapi, suami isteri itu merasa heran ketika
melihat bahwa yang berada di luar hanya seorang
anak laki-laki yang melihat keadaan diri dan
pakaiannya, je las seorang jembel atau pengemis
kotor! Pembantu mereka tadi tidak atau belum
menceritakan keadaan anak itu.
Melihat munculnya seorang pria muda tinggi
besar dan gagah yang pakaiannya sederhana
seperti petani, bersama seorang wanita menggendong anak perempuan berusia dua tahun,
dan wanita itu cantik dan bermata tajam, Siong Ki
tidak merasa ragu lagi. Tentu ini yang bernama
Si Han Beng dan berjuluk Naga Sakti Sungai
Huangho itu! Tanpa ragu lagi ia lalu menghampiri
dan menjatuhkan diri berlutut di depan suami
isteri itu. 
"Saya The Siong Ki menghaturkan hormat saya
kepada Tai-hiap Si Han Beng berdua, dan mohon
maaf kalau kedatangan saya ini mengganggu
taihiap." Si Han Beng dan Bu Giok Cu saling pandang.
Sikap anak ini je las menunjukkan bahwa dia
bukan seorang jembel biasa.
''Anak baik, kami tidak mengenalmu. Benarkah
engkau dari He k-houw-pang" Kalau benar demikian, mengapa engkau datang ke sini minta
berjumpa dengan kami?"
Siong Ki masih berlutut. "Taihiap ayah saya
bernama The Ci Kok dan dia adalah suheng dari
He k-houw-pang Pangcu Kam Seng Hin. Hek-houwpang te rtimpa malapetaka, tentu taihiap berdua
sudah mendengar akan hal itu dari adik Cin Cin."
Suami isteri itu saling pandang, kemudian Bu
Giok Cu yang berkata, "Apa maksudmu, Siong Ki"
Siapa itu Cin Cin" Kami belum mendengar apa-apa
te ntang Hek-houw-pang." Suaminya cepat menambahkan. "Siong mari kita masuk ke dalam
dan kau ceritakan apa yang telah terjadi."
Bukan main girangnya hati Siong Ki. Seperti
telah digambarkannya, te rnyata suami isteri
pendekar itu ramah. Dia mengikuti mereka masuk
ke dalam rumah yang cukup besar itu dan diamdiam dia merasa heran mengapa tidak nampak Cin
Cin keluar menyambutnya. Apa lagi tadi isteri
pendekar itu mengatakan tidak mengenal Cin Cin.
Sungguh aneh! Ini berarti bahwa Cin Cin belum
tiba di tempat itu. 
Mereka memasuki ruangan dalam dan Giok Cu
menyuruh Siong Ki duduk lalu berkata, "Engkau
lapar dan ingin makan dulu sebelum bercerita?"
Suaminya mengangguk membenarkan
karena diapun merasa kasihan kepada anak yang keadaannya seperti seorang anak jembel itu.
Wajah Siong Ki berubah merah dan diam-diam
dia merasa mendongkol juga. Akan tetapi dia dapat
memaklumi. Suami isteri ini te ntu menganggap dia
telah menjadi pengemis yang te rlantar dan
kelaparan. "Terima kasih, tadi saya sudah membeli sarapan
pagi sebelum berkunjung ke sini." Mendengar ini,
suami isteri itu kembali saling pandang. Seorang
anak jembel membeli sarapan pagi" Ganjil sekali.!
"Hemm, engkau mempunyai uang untuk membeli sarapan?" tanya Han Beng yang merasa
heran. De ngan tenang Siong Ki mengeluarkan lagi
kantung kain dan membuka kantung itu memperlihatkan isinya. Suami isteri itu terbelalak.
Emas dan perak dalam kantung itu memang cukup
untuk membeli makanan selama berbulan-bulan.!
"Hemm, engkau mempunyai uang akan te tapi
mengenakan pakaian jembel" Siong Ki, apa artinya
ini dan mengapa pula engkau meninggalkan He khouw-pang dan melakukan perjalanan jauh sampai
ke sini?" "Taihiap, sebelum saya menjawab, harap beri
tahukan lebih dulu kepada saya, apakah a dik Kam

Cin, puteri susiok, yaitu ketua Hek-houw-pang,
belum tiba di sini?"
Suami isteri itu menggeleng kepala, Si Han Beng
memang tidak mempunyai hubungan dengan He khouw-pang, akan te tapi karena dia merupakan
adik angkat dari Coa Siang Lee, dan Siang Lee
adalah keturunan keluarga Coa yang menjadi
pimpinan He k-houw-pang, maka dia mengenal
He k-houw-pang. "Tidak ada dari He k-houw-pang yang datang ke
sini sebelum engkau. Siong Ki duduklah yang baik
dan ceritakan segala apa yang terjadi di Hek-houwpang. Kaubilang tadi Hek-houw-pang te rtimpa
malapetaka?" Slong Ki lalu menceritakan semua peristiwa yang
te rjadi, betapa Hek-houw-pang diserbu gerombolan
pemberontak, anak buah pemberontak Cian Bu
Ong, karena He k-houw-pang membantu pemerintahan kerajaan baru untuk mengamankan
daerah. "Dalam penyerbuan yang dilakukan
oleh penjahat-penjahat yang berkepandaian tinggi itu,
hampir semua anggota He k-houw-pang te rbasmi
dan te was. Pangcu Kam Seng Hin sendiri tewas.
Juga ayah saya, The Ci Kok, suheng dari pangcu,
te was oleh gerombolan sehingga saya menjadi
yatim-piatu karena ibu sudah meninggal beberapa
tahun yang lalu. Di antara puluhan orang anggota
He k-houw-pang yang te was, juga terdapat susiok
(paman guru) Coa Siang Lee yang kebetulan datang
bertamu bersama isteri dan pute ranya....."

"Ahhh.....!!" Si Han Beng berseru kaget bukan
main mendengar bahwa kakak angkatnya juga
te was dalam perte mpuran ketika He k-houw-pang
diserbu para pemberontak. "Kanda Coa Siang Lee
te was......" Bagaimana dengan isterinya, enci Sim
Lan Ci dan pute ra mereka. Coa Thian Ki?"
"Me nurut kete rangan yang melihatnya, ibu dan
anak itu diculik dan dilarikan penjahat."
"Ahhhh........!" Si Han Beng semakin terkejut dan
juga khawatir mendengar ini. "Dan bagaimana
dengan kakek Coa Song.......?"
"Kakek meninggal dunia karena duka dan sakit
setelah terjadi peristiwa yang mendatangkan
malapetaka bagi He k-houw-pang itu. Sebelum
meninggal, kakek Coa Song berpesan agar cucunya, yaitu adik Kam Cin yang selamat dari
pembasmian itu, diantar ke sini untuk berguru
kepada ji-wi. Yang mengantarkan adik Cin Cin
adalah susiok Lai Kun. Sungguh aneh sekali
mengapa mereka belum juga tiba di sini,
sedangkan saya yang berangkat beberapa hari
kemudian dan melakukan perjalanan sukar dan
lambat, bisa sampai di sini lebih dulu."
"Siong Ki, engkau yang sudah yatim piatu,
mengapa engkau meninggalkan rumah orang
tuamu di Ta-bun-cung dan bersusah payah datang
ke te mpat ini yang sangat jauh?" Si Han Beng
bertanya sambil memandang tajam.
Mendengar pertanyaan ini, Siong Ki tampak
sedih sekali. "Taihiap, tadinya saya ingin membunuh diri saja di depan makam ayah. Saya
sudah putus asa, tidak mempunyai keluarga lagi,

dan untuk membalas kematian ayah dan semua
saudara He k-houw-pang, saya tidak memiliki
kemampuan. Ketika saya berada di makam, tibatiba muncul bibi Poa Liu Hoa, yaitu isteri mendiang
susiok Kam Seng Hin. Ia membujuk saya dan saya
mau diangkat menjadi muridnya. Lalu kami pergi,
hendak menyusul adik Cin Cin ke sini. Akan tetapi
di te ngah perjalanan kami berte mu dengan
perampok dan melihat bibi Poa Liu Hwa tidak
mampu melawan para penjahat, saya pikir tidak
ada gunanya menjadi muridnya. Maka, saya lalu
melarikan diri dan seorang diri melakukan
perjalanan ke sini. Agar aman dalam perjalanan,
saya menyamar sebagai seorang pengemis, dan
menggunakan uang peninggalan ayah, saya akhirnya dapat menghadap taihiap di sini."
Kembali suami isteri itu saling pandang. Diamdiam mereka merasa kagum. Seorang anak berusia
enam tujuh tahun berani menempuh perjalanan
sejauh itu seorang diri saja dan berhasil mencapai
tujuan. Ini membutuhkan keberanian dan keteguhan hati, besarnya semangat dan tahan uji.
Seorang anak yang baik. "Dan apa maksudmu datang menghadap kami di
sini?" tanya pula Han Beng.
Mendengar pertanyaan ini, Siong Ki tiba-tiba
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Han Beng
dan menangis. Akan tetapi hanya sebentar dia
menangis karena dia sudah dapat menguatkan
hatinya lalu berkata, "Saya mohon taihiap sudi
menerima saya sebagai murid. Tujuan hidup saya
hanya satu, yaitu kelak kalau sudah memiliki

kepandaian, saya akan mencari para pembunuh
ayah dan pembasmi He k-houw-pang untuk membalas dendam. Saya mau bekerja apa saja,
menjadi pelayan, pembantu atau apa saja, asal
taihiap sudi menerima saya menjadi murid."
Kembali suami isteri itu saling pandang.
Sebetulnya, mereka tidak mempunyai niat untuk
menerima murid. Mereka mengambil keputusan
untuk mewariskan semua kepandaian mereka
kelak kepada Lan Lan, puteri dan anak mereka
satu-satunya, kecuali kalau kelak mereka mendapatkan anak lagi. Mereka hanya akan
menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada anak-anak
mereka. Akan tetapi, melihat kesungguhan hati
Siong Ki, dan mengingat akan nasib anak itu, hati
Han Beng merasa tidak te ga untuk menolaknya.
Apa lagi, anak itu baik dan te guh hati, tabah dan
kelak dapat menjadi pengasuh dan kawan bermain
Lan Lan yang membutuhkan contoh anak lain yang
le bih tua dan yang berwatak baik. Maka diapun
memberi isyarat dengan mata pada isterinya,
kemudian berkata dengan suara yang tegas.
"The Siong Ki, melihat keadaanmu aku dapat
menerimamu sebagai murid, hanya dengan beberapa syarat. Sanggupkah engkau memenuhi
syarat-syarat itu, mentaatinya dan sanggup menerima hukumannya kalau melanggar?"
Dapat dibayangkan betapa besar rasa girang
dalam hati anak itu. Dia lalu memberi hormat
dengan membentur-benturkan dahinya di lantai.
"Teecu (murid) The Siong Ki bersumpah bahwa
teecu akan mentaati semua perintah suhu akan

memenuhi semua syarat yang suhu ajukan dan
sanggup pula menerima hukumannya kalau kelak
teecu melanggar." Si Han Beng tersenyum. Wajahnya cerah. Anak
ini tanpa diminta bahkan telah bersumpah. Hal ini
membuktikan kesungguhan hatinya.
"Dengar baik-baik syaratku. Pertama semua
ceritamu tentang keadaan dirimu tadi tidak bohong
dan benar. Kedua, engkau harus belajar dengan
rajin dan mentaati semua perintahku. Ke tiga,
engkau tidak boleh mempergunakan ilmu silat
yang kuajarkan kepadamu untuk berbuat jahat
dan sewenang-wenang. Ke empat, engkau harus
dapat menjadi teladan anak kami Si Hong Lan ini,
menyayang dan mengasuhnya, dan kelak membantu dan melindunginya seperti adikmu
sendiri. Nah, kalau engkau melanggar satu di
antara empat syarat itu, kelak aku akan menghukummu dan mencabut semua ilmu darimu
dengan membuatmu cacat seumur hidup!"
Tanpa ragu Siong Ki mengangguk."Teecu sanggup memenuhi semua syarat itu dan menanggung hukumannya kalau melanggar.!"
"Bagus! Mulai saat ini, aku adalah suhumu.
Akan tetapi ingat, hanya aku yang menjadi
gurumu. Isteriku tidak akan mengajarmu, dan
engkau panggil bibi kepadanya, bukan subo (ibu
guru)!" "Baik, suhu." Han Beng sengaja mengeluarkan janji itu,
karena dia berhati-hati. Kelak bagaimanapun juga,

tingkat kepandaian anak-anaknya harus lebih
tinggi daripada tingkat kepandaian muridnya.
Sehingga kalau dia dan is terinya sudah tidak ada,
anak-anaknya akan mampu mengendalikan muridnya kalau-kalau dia menyeleweng. Kalau dia
seorang diri yang mengajarkan ilmu kepada Siong
Ki sedangkan anak-anak mereka kelak menerima
gemblengan dari dia dan isterinya maka tentu
Siong Ki tidak akan mampu menandingi anak
mereka yang menguasai ilmu gabungan mereka,
biarpun andaikata Siong Ki memiliki bakat yang
le bih baik. Ilmu kepandaiannya dan ilmu kepandaian
isterinya jauh berbeda, dari dua aliran yang sama
sekali berbeda dan memiliki kehebatan masingmasing. De mikianlah, mulai hari itu, Siong Ki menjadi
murid Si Han Beng dan tinggal di rumah pendekar
itu. Dan dia memang merupakan seorang anak
yang amat menyenangkan hati Si Han Beng dan Bu
Giok Cu karena dia rajin bukan main. Dia mau
mengerjakan apa saja, membereskan rumah dan
pekarangan, bekerja di sawah ladang, bahkan
mengajak Lan Lan bermain. Maka, Han Beng juga
dengan sungguh hati mulai mengajarkan dasardasar ilmu silat kepada Siong Ki.
Tentang malapetaka yang menimpa He k-houwpang Han Beng dan Giok Cu tidak dapat berbuat
apa-apa. Mereka ikut prihatin dan malam itu juga,
Han Beng membuat sembahyang untuk arwah
kakak angkatnya, Coa Siang Lee, dan mengundang

pendeta dari kuil untuk mengatur upacaranya.
Hanya itu yang dapat dia lakukan.
-ooo0dw0ooo- Ketika Kerajaan Sui jatuh oleh pemberontakan Li
Sie Bin dalam tahun 614 dan kaisar te rakhir
Kerajaan Sui yang bernama Yang Ti melarikan diri
ke daerah Yang-couw dan kemudian dibunuh oleh
kaum pemberontak, maka Li Si Bin lalu mendirikan wangsa baru, yaitu kerajaan Tang. Li
Si Bin pula yang membujuk ayahn ya yang bernama
Li Goan, untuk naik tahta menjadi kaisar pertama
dari kerajaan baru Tang, dan berjuluk Kaisar Tang
Kao Cu. Ada dua hal yang menjadi tujuan dari siasat Li
Si Bin mengangkat ayahnya sebagai kaisar ini.
Pertama, untuk darma-bakti kepada ayahnya dan
hal seperti ini amat dihargai oleh rakyat dan
kedua, dia akan dapat le bih memusatkan tenaga,
waktu da
perhatiann untuk memimpin pasukannya menaklukkan seluruh daerah. Kalau
dia yang menjadi kaisar, te ntu dia tidak begitu
leluasa melakukan perang terhadap para pemberontak yang mula-mula tidak mau mengakui
kerajaan baru Tang sebagai yang dipertuan. Akan
tetapi, dengan ayahnya menjadi kaisar yang
mengatur roda pemerintahan, sedangkan dia
sendiri menjadi panglima besar yang menggerakkan aksi-aksi pembersihan, maka dia
dapat bekerja sepenuh hati.
Siasat ini berhasil baik. Dalam waktu beberapa
tahun saja, seluruh wilayah kekuasaan yang

tadinya dimiliki Kerajaan Sui, telah dapat direbutnya dan semua pemberontak atau sisa-sisa
kekuatan yang masih setia te rhadap Kerajaan Sui
yang sudah runtuh, atau kekuatan-kekuatan yang
ingin berdiri sendiri dan tidak mau tunduk kepada
kerajaan baru Tang, dapat dihancurkan dan
ditundukkan. Bahkan semua perlawanan yang
dilakukan oleh Cian Bu Ong, bekas pangeran
kerajaan Sui, dapat pula dilumpuhkan, Pangeran
Cian Bu Ong kekurangan pendukung, maka tidak
mungkin dia dapat melawan kekuatan pasukan
besar Kerajaan Tang. Akhirnya, Pangeran Cian Bu Ong te rpaksa
melarikan diri dan menghentikan usahanya untuk
menegakkan kembali kerajaan Sui.
Sim Lan Ci yang sudah kematian suaminya,
ketika melihat bahwa Pangeran Cian Bu Ong
benar-benar seorang pangeran yang setia kepada
Kerajaan Sui dan berusaha menegakkan kembali
kerajaan itu, membantu sekuat tenaga. Sim Lan Ci
merasa berhutang budi kepada pangeran ini, dan
karena Pangeran Cian Bu Ong bersikap sopan dan
baik kepadanya, bahkan bersikap menyayang
kepada pute ranya, Coa Thian Ki yang diangkat
menjadi murid pangeran itu, ikut pula melarikan
diri mengungsi bersama sang Pangeran ke barat,
ke daerah perbatasan Tibet di mana kekuasaan
Kerajaan Tang tidaklah begitu kuat.
Pangeran Cian Bu Ong tinggal di sebuah lereng
bukit dimana dia membangun sebuah rumah
besaa dan hidup dengan aman.

Biarpun pangeran ini dapat hidup serba kecukupan karena dia membawa harta yang cukup
banyak, namun setelah pindah ke daerah barat itu
bersama Sim Lan Ci dan Thian Ki, setiap hari dia
hanya te rmenung di dalam taman bunga yang
dibuatnya sendiri. Pangeran yang berusia limapuluh dua tahun ini setiap hari hanya
membaca sajak sambil minum arak di taman, atau
duduk melamun di ruangan belakang. Tubuhnya
yang tinggi besar itu mulai kurus, mukanya yang
biasanya kemerahan menjadi agak pucat dan sinar
matanya selalu redup. Kekalahan yang dideritanya,
dan mengingat akan runtuhnya Kerajaan Sui dan
te rbasminya keluarga kaisar, juga terbunuhnya
keluarganya sehingga kini hanya tinggal Cian Kui
Eng seorang, anak perempuannya yang baru
berusia empat tahun dan yang amat dekat dengan
Sim Lan Ci. Dia hidup kesepian dan patah
semangat. Sim Lan Ci merasa suka dan juga kasihan sekali
kepada pangeran itu. Kalau dibiarkan, ia khawatir
pangeran itu akan jatuh sakit. Padahal, waktu itu,
ia sendiri seperti kapal kehilangan kemudi, dan
hanya pangeran itu yang dipandangnya sebagai
juru mudi dan pene ntu arah hidupnya. Kini,
melihat pangeran itu dalam keadaan seperti itu,
te nggelam setiap hari dalam kedukaan, tentu saja
ia merasa khawatir dan ikut berduka.
Pada suatu senja, ia tidak dapat menahan lagi
hatinya ketika melihat Pangeran Cian Bu Ong
kembali termenung dan duduk seperti arca di
bangku dalam taman. Bukan sedang menulis
sajak, tidak pula bersamadhi atau membaca kitab,

melainkan termenung seperti patung. Bahkan
pangeran yang memiliki kesaktian itu demikian
te nggelam dalam renungannya sehingga tidak tahu
bahwa Sim Lan Ci memasuki taman dan menghampirinya dengan langkah ringan.
Dalam usianya yang tigapuluh tahun le bih, Sim
Lan Ci masih cantik, bahkan lebih cantik karena ia
telah menjadi seorang wanita yang masak,
digemble ng pengalaman manis dan pahit silih
berganti. Kalau dulu, sejak gadis ia suka mengenakan pakaian sutera hitam, kini kebiasaan
itu diubahnya sejak suaminya tewas. Ia kini selalu
mengenakan pakaian dari sutera putih, seolah
hendak berkabung selama hidupnya untuk kematian suaminya tercinta!
Ketika ia menghampiri Pangeran Cian Bu Ong
dari samping, melihat wajah pangeran itu, ia
merasa terharu. Jarang ia dapat mengamati wajah
pangeran itu, dan sekarang ia mendapatkan
kesempatan, karena Pangeran itu seperti patung,
tidak menengok sehingga ia berani mengamati
wajah itu. Wajah yang jantan, penuh daya tarik
karena membayangkan kekuatan dan kewibawaan
sekaligus kelembutan yang diperlunak lagi oleh
garis -garis kedukaan. Sudah lama dia membiarkan
rambut dan kumis je nggotnya tidak te rpelihara
awut-awutan, namun tidak mengurangi kejantanannya. Seorang pria yang kuat, yang
bersemangat, dan aneh, di samping ilmu kepandaian yang tinggi. 
''Pangeran..... " Sim Lan Ci memanggil lirih,
sambil berhenti dan berdiri dalam jarak tiga meter
dari pangeran itu. Pangeran Cian Bu Ong menoleh perlahan dan
mencoba untuk tersenyum ketika melihat siapa
yang memanggilnya. "Ah, kiranya engkau, nyonya Sim," katanya
le mbut. "Ada keperluan apakah engkau mencariku" Aku tidak ingin
makan malam sekarang, engkau ajaklah Thian Ki dan Kui Eng
untuk makan malam lebih dulu. Nanti kalau sudah
lapar, aku akan makan sendiri."
Akan te tapi, Sim Lan Ci tidak pergi, masih
berdiri di situ dan memandang kepada Pangeran
Cian Bu Ong dengan hati te rharu dan merasa
kasihan sekali. Pangeran ini selalu bersikap sopan
dan halus budi, bahkan selalu menyebutnya
nyonya. "Pangeran......"
Senyum itu getir sekali dan Cian Bu Ong
mengangkat tangan kirinya ke atas seperti hendak
menangkis . "Nyonya yang baik, hentikanlah sebutan itu! Setiap kali aku mendengar sebutan
pangeran hatiku seperti ditusuk rasanya. Tidak,
aku bukan pangeran lagi. Sudah lama aku bukan
pangeran, melainkan pemberontak bagi Kerajaan
Tang yang baru, pemberontak yang gagal dan
sekarang bahkan hanya menjadi seorang buruan,
seorang pelarian....... "

Sim Lan Ci merasa ikut pedih hatinya mendengar ucapan itu. "Baiklah, kalau begitu saya
akan menyebut Lo-cian-pwe......"
"Aih, jangan nyonya. Aku bukanlah seorang
datuk atau tokoh bes ar di dunia persilatan." "Kalau
begitu, akan saya sebut Cian taihiap (pendekar
besar Cian)........"
"Hemm, orang seperti aku ini mana pantas
menjadi pendekar besar" Lebih senang hatiku
kalau kausebut aku toako (kakak bes ar) saja."
"Baiklah, toako. Cian-toako, terimalah hormat
adikmu." Lan Ci memberi hormat dengan sikap
hormat dan sungguh-sungguh. Karena memberi
hormat sambil menunduk, Lan Ci tidak melihat
betapa wajah pria itu yang selama beberapa lama
ini selalu suram tiba-tiba menjadi cerah berseri.
"Terima kasih, aku senang sekali mendengar
sebutan toa-ko itu, nyonya Sim......."
"Aih, toako! Mana ada seorang toako menyebut
nyonya kepada adiknya?" Lan Ci cepat menegur
sambil tersenyum. Sepasang mata bekas pangeran
itu terbelalak dan senyumnya berkembang menjadi
tawa yang bergelak-gelak. Dia bagaikan seorang
yang te lah menemukan kembali semangatnya dan
wanita muda itu memandang dengan hati te rharu
dan penuh rasa senang. "Sim Lan Ci, adikku yang baik. Sungguh aku
berte rima kasih kepadamu, kau te lah mendatangkan kebahagiaan bes ar di dalam hatiku,
Ci-moi (adik Ci) dan kuharap engkau tidak akan
mencabut kembali harapan dan kebahagiaanku."

"Toako, akupun merasa berbahagia melihat
toako dapat te rtawa gembira. Selama ini, aku ikut
prihatin melihat keadaanmu yang selalu tenggelam
dalam duka. Karena itu pula maka aku ingin
menemuimu dan bicara denganmu ketika melihat
engkau melamun di sini seperti setiap hari
kaulakukan, toako. Aku nya ingin mengingatkan
bahwa peris tiwa buruk yang menimpa diri kita,
tidak perlu dan tidak ada gunanya kalau kita
sedihkan setiap hari! Hidup memang merupakan
permainan suka dan duka, kita harus menerima
kedua hal itu dengan tabah dan lapang dada.
Tentu engkau ingat pula akan keadaan diriku,
pangeran......eh toako! Akupun kehilangan keluargaku, dan hidupku bersama Thian Ki
sekarang hanya bersandar kepada kemuliaan
hatimu belaka. Kalau engkau yang menjadi
sandaran kami te nggelam dalam duka, bagaimana
pula dengan hati kami. Kami akan kehilangan
pegangan.. "
Bekas pangeran itu menatap wajah Lan Ci. Dua
pasang mata berte mu pandang, melekat dan
seperti hendak saling menjenguk is i hati masingmasing. Sim Lan Ci melihat sinar kagum dan
kelembutan yang mengharukan berpencar keluar
dari mata yang tajam itu. Baru sekarang ia melihat
bekas pangeran itu memandang kepadanya seperti
itu, seperti mata pria memandang wanita, dan
sepasang pipinya berubah kemerahan yang membuat ia menundukkan mukanya.
"Moi-moi Sim Lan Ci, terima kasih......ah, terima
kasih. Engkau te lah mengembalikan harapan dan
semangatku untuk hidup. Engkau membuka mata

hatiku bahwa hidupku masih berguna, karena
masih ada orang-orang yang membutuhkan aku.
Engkau dan anakmu......... "
"Juga Kui Eng, toako." Lan Ci melanjutkan.
"Juga manusia-manusia lain di dunia ini karena
toako adalah seorang yang budiman dan dermawan. Tenaga dan kemampuanmu masih
dibutuhkan banyak orang."
"Tidak, aku hanya mengutamakan engkau,
anakmu dan anakku. Aku masih kalian butuhkan?" "Tentu aaja, toako!" Jawab Lan Ci cepat.
"Akupun membutuhkan kalian, te rutama engkau. Aku butuh perhatianmu, butuh sentuhan
kasih sayang........ah moi-moi Sim Lan Ci, te rus
te rang saja aku sayang kepada anakmu, dan kini
tumbuh perasaan cinta di hatiku terhadapmu.
Engkau te lah memulihkan semangatku, nah,
sekarang aku meminangmu, Lan Ci. Maukah
engkau menjadi iste riku?"
Sepasang mata Lan Ci te rbelalak, mukanya
berubah pucat, lalu merah kembali. Lamaran itu
datangnya sekonyong-konyong,
tak diduganya sama sekali seperti serangan yang amat dahsyat,
mengerikan dan membuatnya sejenak bengong
te rlongong, hanya menatap wajah bekas Pangeran
itu tanpa mampu mengeluarkan suara jawaban!
Cian Bu Ong mengangguk-angguk dan te rsenyum. "Aku dapat mengerti akan keheranan
dan kekagetanmu, Ci-moi. N ampaknya tidak sopan
dan tidak pada te mpatnya aku melamar seorang

wanita yang baru saja ditinggal mati suaminya.
Bahkan aku sendiri yang melamar juga baru sajaa
ditinggal mati isteriku. Akan te tapi, kalau kita
saling membutuhkan, apalagi halangannya" Anakmu kusayang seperti anakku sendiri, dan aku
tahu bahwa engkau menyayang Kui Eng seperti
anakmu sendiri. Adakah cara yang le bih baik
daripada kita bergabung menjadi sebuah keluarga
yang berbahagia?" "Tapi......tapi pangeran.......eh, Cian- toako.......aku masih berkabung, bahkan toako
juga........" "Aku mengerti, moi-moi. Berkabung hanya
merupakan tata-cara untuk memperlihatkan kepada umum bahwa kita berduka ditinggal mati
orang te rcinta. Akan tetapi, berkabung yang
sesungguhnya ada di dalam perasaan hati, bukan
pakaian. Betapapun juga, aku memberi waktu
kepadamu sampai setahun sejak ditinggal mati
suamimu. Sekarang telah le wat beberapa bulan,
tinggal dua bulan lagi. Nah, biarlah dua bulan
kemudian, setelah setahun berkabung engkau
memberi jawaban kepadaku. Sekarang, untuk
sementara kita lupakan saja lamaranku itu! Aih,
perutku te rasa lapar sekali sekarang, moi-moi,
mari kita makan. Kaucari anak-anak kita, aku
akan mandi dulu." Bukan main girangnya hati Lan Ci. Girang dan
berte rima kasih. Girang melihat pangeran itu kini
mempunyai semangat dan gairah lagi, mengajak
makan dan mau mandi, dan berte rima kasih
bahwa pangeran itu memberi waktu dua bulan lagi

kepadanya untuk berpikir-pikir dan mempertimbangkan te ntang lamaran itu. Betapa
bijaksananya! Ia lalu lari meninggalkan taman dan pergi
mencari Thian Ki dan Kui Eng. Ia melihat mereka
bermain-main di kebun belakang rumah. Dilihatnya Thian Ki sedang turun dari sebatang
pohon sedangkan Kui Eng berdiri di bawah pohon
itu. Karena ingin melihat bagaimana kedua orang
anak itu bergaul, Lan Ci menyelinap ke balik
semak dan mengintai. Thian Ki turun dan
membawa sebuah sarang burung yang kosong.
"Nah, kaulihat sendiri, Kui Eng. Seperti kukatakan tadi, sarang burung ini sudah kosong.
Telurnya telah menetas dan anak burung itu sudah
pandai te rbang," kata Thian Ki kepada Kui Eng
sambil memperlihatkan sarang burung kosong
yang dibawanya turun dari pohon.
Kui Eng membanting-banting kakinya dan
merengek manja. Anak berusia empat tahun lebih
itu memang manja sekali. Thian Ki yang baru
berusia enam tahun itu sudah pandai mengasuh
Kui Eng, bahkan amat sayang kepada anak
perempuan itu. "Aih, jangan marah, adikku yang manis,"
katanya sambil merangkul dan menuntunnya
duduk di atas akar pohon.
"Lihat, biarpun sarang burung itu kosong, akan
tetapi aku membawakan batu-batu sungai yang
indah untukmu." Ia mengeluarkan beberapa buah

batu kecil yang berbentuk bulat dan warnanya
mengkilap indah. Kui Eng yang tadinya merengek,
menerima mainan itu dengan wajah cerah dan
iapun merangkul Thian Ki.
"Suheng (kakak seperguruan), engkau baik
sekali. Aku sayang padamu!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN