NAGA BERACUN JILID 05

 Siong Ki, jangan bicara seperti itu!"
De ngan muka basah air mata dan mata merah,
anak itu mengangkat mukanya, memandang
kepada wanita itu. "Bibi, apa yang harus
kulakukan kalau aku dibiarkan hidup" Aku
seorang diri, tiada ayah ibu, tiada keluarga. Melihat
ayah te was, juga para paman......ah, apa gunanya
lagi aku hidup" Tiada lagi yang melindungi aku,
bibi....." "Hushh.....! Omongan apa itu" Disini masih ada
aku, Siong Ki. Aku yang akan melindungimu, dan
engkau boleh ikut denganku selamanya karena
mulai saat ini, engkau menjadi muridku."
Siong Ki membelalakkan matanya seperti orang
yang tidak percaya. "Benarkah ini..... " Benarkah,
bibi" Atau hanya hiburan kosong belaka?"
"Tentu saja benar, Siong Ki. Apakah kau tidak
percaya kepadaku dan menyangka aku membohongimu?" Anak itu nampak gembira sekali. "Kalau begitu,
berjanjilah di depan makam ayah, bibi. Biar ayah
menjadi saksi, biar ada semangat lagi bagiku
untuk hidup!" Lalu anak itu berlutut di depan Liu
Hwa dan kini suaranya terdengar lantang dan
penuh semangat. "Ayah saksikanlah, ayah. Mulai
saat ini anakmu, The Siong Ki, mempunyai
pelindung baru, yaitu bibi Poa Liu Hwa yang
menjadi guruku. Subo, te rimalah hormat tcecu
(murid)!" Dan diapun memberi hormat delapan kali
kepada wanita itu. "Siong Ki, muridku yang baik, bangkitlah."
"Teecu tidak akan bangkit sebelum subo (ibu
guru) berjanji di depan makam ayah!"

Liu Hwa menatap makam itu dan diam-diam ia
bergidik. Ia sendiri kehilangan segala-galanya,
bahkan puteranya Cin Cin, yang selamat, kini telah
dibawa pergi ke te mpat jauh. Ia sendiri sebatangkara, dan kini ia telah mengambil Siong Ki
sebagai murid, siap melindunginya dan menjadi
pengganti orang tuanya. Suatu tu gas yang amat
berat. Sedangkan untuk melindungi diri sendiri
saja ia sudah jelas tidak kuat. Buktinya, hampir
saja ia celaka dan mungkin sekarang sudah te was
te rbunuh atau membunuh diri kalau saja ia tidak
dibebaskan dari tangan lt-gan Tiat-gu oleh
pendekar Siauw-lim pai itu! Akan tetapi, ia tidak
dapat undur kembali, sudah berjanji, dan kalau
ada anak ini di sampingnya, setidaknya ia akan
te rhibur. Maka iapun lalu mengangkat kedua
tangan di depan dada sambil membungkuk ke arah
makam The Ci Kok dan berkata dengan lirih.
"Suheng The Ci Kok. Aku berjanji bahwa mulai
saat ini pute ramu The Siong Ki telah menjadi
muridku. Semoga arwahmu ikut pula melindungi
kami berdua." Setelah mendengar janji gurunya itu, Siong Ki
bangkit dan kini wajahnya menjadi cerah. Liu Hwa
juga memandang kepadanya. Anak ini nampaknya
cerdik dan seingatnya, Siong Ki bukan seorang
anak yang bandel, tidak nakal dan pandai
membawa diri. "Siong Ki, setelah engkau selesai bersembahyang
di sini, susullah aku di makam suamiku."
"Aku sudah selesai, subo. Aku selalu berada di
sini sejak ayah dimakamkan dan baru satu kal
aku pulang ke rumah," katanya sambil mengambil
sebuah buntalan yang tadi dia gantungkan di
cabang sebatang pohon. "Engkau sudah siap dengan buntalan pakaianmu" Apakah engkau tidak ingin pulang ke
rumah mendiang ayahmu?"
Siong Ki menjawab dengan wajah sedih.
"Tadinya aku sudah ingin pergi saja, subo. Untuk
apa kembali ke dusun Ta-bun-cung dimana kita
hanya akan diingatkan selalu akan peristiwa
menyedihkan itu" Akan te tapi kalau subo ingin
kembali.......... " Liu Hwa melangkah ke arah makam suaminya,
lalu duduk di depan makam, te rmenung. Siong Ki
mengikutinya dan anak itupun duduk di depan
subonya. Setelah berulang kali menghela napas
panjang, Liu Hwa juga berkata dengan sura sendu.
"Akupun tidak mungkin dapat bertahan tinggal
di dusun dimana aku te lah kehilangan segalagalanya. Apalagi, sebelum meninggal, kakek Coa
Song telah membagi-bagikan seluruh isi rumah
kepada para murid. Aku tidak dapat tinggal di
rumah kosong itu, yang setiap saat
akan mengingatkan aku kepada suamiku dan anakku."
"Lalu, ke mana kita akan pergi, subo?"
Wanita itu menundukkan mukanya dengan
sedih. "Aku tidak tahu, Siong Ki, ....aku tidak
tahu...... " Siong Ki bicara lagi, kini suaranya terdengar
gembira. "Subo, aku mendengar bahwa adik Cin
Cin telah diajak pergi oleh susiok Lai Kun ke

rumah pendekar sakti Huang-ho Sin-liong Si Han
Beng. Bagaimana kalau kita menyusul kesana?"
Wajah wanita itu agak cerah mendengar ucapan
itu. Sudah diduganya, anak ini cerdik dan penuh
semangat, dan senang akan keputusannya mengambil anak ini menjadi murid.
"Benar, Siong Ki. Agaknya memang sebaiknya
kalau kita menyusul adikmu Cin Cin lebih dulu.
Setelah itu......setelah bertemu dengan Cin Cin,
baru kita mencari tempat tinggal baru. Akan tetapi,
ah, aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Bahkan
senjatapun tidak punya lagi....."
"Subo, jangan khawatir?" kata Siong Ki dan anak
ini segera menurunkan buntalan pakaiannya yang
besar, lalu membukanya. Pertama-tama dia mengeluarkan sebatang pedang dengan sarungnya.
"I ni pedang milik ayah, subo. Kuambil dari tangan
je nazah ayah, lalu sarung pedangnya kucari. Nah,
te rimalah pedang ini subo, agar subo dapat
melindungi diri kita berdua dalam perjalanan."
De ngan girang Liu Hwa menerima pedang itu
dan memeriksanya. Ternyata sebatang pedang
yang cukup baik, te rbuat dari baja yang baik. Ia
merasa kuat ketika memegang pedang ini.
"Dan ini, subo. Ini peninggalan ayah, kukumpulkan semua dan kubawa serta. Subo
boleh menggunakannya semua untuk biaya apa
saja, biaya perjalanan kita, biaya mencari te mpat
tinggal baru......."

Liu Hwa te rbelalak. Anak itu membuka sebuah
buntalan kecil yang isinya potongan emas dan
perak, cukup banyak! "Siong Ki," ia berkata dengan terharu. "Ternyata
bukan aku yang menolongmu, melainkan engkau
yang menolongku." "Sama sekali tidak, subo. Aku sendiri tidak tahu
harus berbuat apa degan pedang dan emas perak
itu. Kuserahkan kepada subo agar subo dapat
melindungi kita berdua."
Liu Hwa tiba-tiba teringat kepada pendekar
Siauw-lim-pai yang menunggunya di luar pintu
gerbang. Ah, sudah terlalu banyak ia menyusahkan
pendekar itu. Sungguh ia merasa malu kepada Lie
Koan Tek. Pula, sungguh tidak pantas dilihat orang kalau
ia berdua saja dengan pendekar itu. Ia kini seorang
janda! Dan pendekar Siauw-lim pai Lie Koan Tek,
sepanjang yang didengarnya, belum pernah menikah. Biarpun usianya sudah empatpuluh
tahun le bih, masih membujang. Pasti akan
menimbulkan prasangka yang bukan-bukan dalam
benak orang yang melihat seorang janda berduaan
saja dengan seorang pria yang masih membujang.
Tidak, aku tidak boleh mengganggunya lagi. Akan
tetapi, bagaimana ia harus mengatakan kepada
pendekar itu bahwa ia tidak mau melanjutkan
perjalanan bersama dia"
"Siong Ki, mari kira pergi." "Pergi" Sekarang
juga, subo?" 
Liu Hwa mengangguk. "Sekarang ini juga, kita
pergi meninggalkan dusun kita dan pergi menyusul
Cin Cin." Tentu saja Siong Ki merasa heran. Malam itu
biarpun ada bulan, namun te tap saja cuaca hanya
remang-remang. Mengapa subonya demikian te rgesa-gesa. Akan tetapi dia tidak berani membantah. "Baik subo. Mari!" Dia lari ke makam ayahnya,
memberi hormat lagi untuk yang terakhir kalinya,
kemudian membawa buntalan pakaiannya dan
berjalan di samping subonya. Ketika Siong Ki
hendak mengambil jalan keluar dari pintu gerbang,
Liu Hwa memegang tangannya, dan menariknya ke
kiri. "Kita ambil jalan ini saja, Siong Ki."
Kembali anak itu te rheran. Jalan keluar dari
dusun itu memang ada beberapa buah, a kan tetapi
yang paling enak adalah jalan keluar melalui pintu
gerbang. Akan te tapi subonya mengajak ia keluar
dari dusun melalui jalan setapak yang penuh
semak belukar! Akan tetapi diapun tidak berani
banyak bertanya dan dengan hati-hati mereka
keluar dari dusun itu. Sama sekali Poa Liu Hwa tidak pernah menduga
bahwa hanya tiga hari setelah dia pergi, Sim Lan Ci
dan Thian Ki datang ke dusun itu pula! Kalau saja
hal itu terjadi, pasti jalan hidupnya akan menjadi
lain! Hati Liu Hwa menjadi lega setelah mereka keluar
dari dusun dan tiba di le reng bukit. Matahari pagi
memandikan bumi dengan cahayanya yang hangat
dan segar menghidupkan. Biar pun merasa lelah

sekali karena selain baru saja mengalami ancaman
malapetaka dan te rpendam kedukaan, apa lagi
semalam sama sekali tidak tidur, namun Liu Hwa
tidak mau berhenti berjalan. Siong Ki berjalan di
sebelahnya sambil menggendong buntalan pakaiannya. Kantung berisi emas dan perak oleh
Liu Hwa juga dititipkan kepadanya dalam buntalan. Hanya pedang itu kini tergantung di
punggung nyonya muda itu.
Sudah sejak malam tadi Liu Hwa melihat betapa
anak itu kelelahan, juga mungkin sekali kelaparan.
Namun, biarpun jalannya kadang te rhuyung, anak
itu sama sekali tidak pernah mengeluh. Hal ini saja
membuat Liu Hwa semakin suka kepada anak yang
kini menjadi muridnya itu. Anak ini keras hati dan
tabah bukan main, pikirnya. Ia merasa kasihan
akan te tapi tidak mau mengajak Siong Ki berhenti
karena ia khawatir kalau sampai bertemu dengan
Lie Koan Tek yang ingin dihindarinya. Ia sendiri
juga le lah, akan tetapi ia memaksa diri untuk
melewati sebuah bukit lagi, baru akan mengaso
dan mencari makanan. Ketika ia mulai mendaki bukit itu dan tiba di
sebuah hutan kecil, tiba-tiba saja di depannya
muncul seorang pria muda yang tam pan sekali.
Usianya sekitar duapuluh tujuh tahun, tubuhnya
sedang dan dia mengenakan pakaian pelajar yang
mewah. Wajahnya tampan dan ganteng, dengan
hidung besar mancung, bibir merah seperti diberi
pemerah bibir, matanya hitam sekali maniknya.
Dan kepalanya yang berambut hitam tebal itu
te rtutup sebuah caping le bar. Di pinggangnya
te rselip sebatang suling dan melihat 
penampilannya, Liu Hwa menduga bahwa pemuda
ini tentu seorang pemuda kaya yang te rpelajar.
Namun kemunculannya yang tiba-tiba itu mengejutkan hatinya dan ia memandang dengan
khawatir. Pemuda itu bukan lain adalah Can Hong San.
Setelah dia berpis ah dari Pangeran Cian Bu Ong
dan memperoleh sekantung emas, Hong San lalu
sengaja pergi ke dusun Ta-bun-cung. Dia masih
merasa penasaran, ingin melihat apa yang te rjadi
di dusun itu, terutama sekali dia ingin mencari Lie
Koan Tek, pendekar Siauw-lim-pai bekas rekannya
itu yang dia lihat melarikan seorang wanita cantik
ketika mereka menyerbu dusun itu. Kini, bertemu
dengan Liu Hwa dan seorang anak laki-laki, dia
segera mengenal wanita itu sebagai wanita yang
pernah dilarikan Lie Koan Tek, maka cepat dia
menghadang wanita itu dan dia tersenyum girang
ketika melihat bahwa wanita yang usianya sekita
tigapuluh tahun ini juga cukup cantik untuk
menggelitik wataknya yang memang mata keranjang.! Hong San tersenyum dan wajahnya nampak
tampan dan menarik sekali. Karena sikapnya
memang sopan dan halus Liu Hwa juga te rsenyum
malu-malu dan nyonya ini menggandeng tangan
Siong Ki untuk diajak melewati pemuda itu sambil
membungkukkan tubuh sebagai penghormatan.
Melihat ini, Hong San cepat melangkah dan
menghadang lagi. "Perlahan dulu, enci. Kalau aku
tidak salah sangka, enci tentu datang dari dusun

Ta-bun-cung, bukan?" Dia mengangkat kedua
tangan memberi hormat. Melihat sikap yang sopan dan ramah itu, Liu
Hwa membalas penghormatan pemuda itu dan
menjawab, "Benar, kongcu. Kami memang
penduduk Ta-bun-cung."
"Bukankah enci wanita yang dilarikan oleh Lie
Koan Tek malam itu?"
Bukan main kagetnya Liu Hwa mendengar
pertanyaan itu dan ia memandang Hong San
dengan pernuh perhatian. Malam terjadinya penyerbuan di dusun itu te rlalu gelap sehingga ia
tidak mengenal para penyerangnya.
"Bagaimana engkau bisa tahu, kongcu?" tanyanya penuh selidik. "Ha-ha-ha, aku tahu segalanya, enci. Beberapa
malam yang lalu, He k-houw-pang di dusun Tabun-cung diserbu oleh pembunuh-pembunuh
bayaran, bukan" Dan seorang di antara para
pembunuh itu adalah Lie Koan Tek. Kemudian,
setelah membunuhi banyak orang, mungkin yang
te rbanyak di antara rekan-rekannya, Lie Koan Tek
agaknya te rtarik kepadamu dan membawamu lari!
Apakah kini Lie Koan Tek sudah bosan denganmu
dan membiarkanmu pergi, enci yang baik?"
Wajah Liu Hwa menjadi merah sekali. Merah
karena marah dan merah karena malu. Juga ia
merasa dihina ole h pemuda halus ini.
"Tidak! Lie Koan Tek adalah seorang pendekar
Siauw-lim-pai yang gagah dan bukan pembunuh

bayaran. Dia telah tertipu. Juga dia melarikan aku
karena dia ingin menyelamatkan aku!"
"Ha-ha-ha-ha! Enci yang baik, agaknya engkau
telah tergila-gila kepada pembunuh itu! Aku yang
le bih tahu bahwa dialah yang membunuh banyak
tokoh Hek-houw-pang!"
"Paman yang baik, apakah Lie Koan Tek itu pula
yang te lah membunuh ayahku" Ayahku bernama
The Ci Kok, dia suheng dari mendiang ketua He khouw-pang...." "Siong Ki!" Liu Hwa menegur muridnya.
"The Ci Kok" Ha, siapa lagi yang membunuhnya
kalau bukan Lie Koan Tek" Aku melihatnya
sendiri..... " "Engkau bohong! Sudahlah, jangan mengganggu
kami. Kami akan melanjutkan perjalanan kami!"
Liu Hwa kini berkata dengan marah. "Mari, Siong
Ki, kita pergi!" Ia menggandeng tangan muridnya
dan menariknya pergi. "Nanti dulu, enci yang manis. Engkau cukup
manis untuk menemaniku. Jangan kau pergi dulu.
Kalau anak ini mau pergi, biarkan dia pergi, akan
tetapi engkau harus menemaniku bercakap-cakap.
Aku kesepian sekali, enci yang manis."
Kini tahulah Liu Hwa dengan orang macam apa
ia berhadapan. Biarpun pemuda ini amat tampan
dan dapat bersikap halus dan ramah, namun ia
dapat menduga bahwa pemuda ini adalah seorang
pria yang suka memandang rendah dan mempermainkan wanita. 
"Singg...!" Ia mencabut pedangnya dan matanya
mencorong marah. "Manusia rendah, jangan
ganggu kami atau te rpaksa aku akan menggunakan pedang ini!"
Akan te tapi tentu saja gerakan itu merupakan
sesuatu yang lucu bagi Hong San sehingga dia
te rtawa. "Ha-ha-ha, sungguh aneh dan lucu.
Seekor kelinci betina yang gemuk mengancam
seekor harimau! Ha-ha-ha !"
Liu Hwa tidak sabar lagi dan iapun menggerakkan pedangnya menusuk ke arah dada
pemuda yang kurang ajar itu. Akan tetapi, dengan
amat mudahnya Hong San mengelak dan sekali
tangannya bergerak, dia telah menyentuh dada Liu
Hwa secara kurang ajar sekali.
"I hhhh......!" Liu Hwa menjerit dan meloncat ke
belakang. Wajahnya menjadi merah karena malu
dan marah, akan tetapi iapun terkejut karena
tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang
lawan yang amat lihai. lapun menjadi nekat dan
dengan ganas wanita itu memutar pedangnya
melakukan penyerangan bertubi-tubi. Namun,
semua serangan itu dapat dihindarkan dengan
amat mudahnya oleh Hong San. Kalau pemuda ini
menghendaki, dalam satu dua jurus saja tentu ia
mampu merobohkan Liu Hwa. Akan tetapi watak
pemuda ini memang aneh. I a ingin menjadi seperti
seekor kucing mempermainkan tikus. Dia akan
membekuk wanita ini setelah mempermainkannya.
Ia hanya mengelak, menangkis sambil mencolek
dagu, dada, mengelus pipi sambil tertawa,

membuat Liu Hwa menjadi semakin marah dan
nekat. Siong Ki melihat ini dengan alis berkerut.
Hatinya kecewa. Wanita yang diangkatnya sebagai
guru itu te rnyata tidak berdaya sama sekali
melawan pemuda itu! Mempunyai guru se le mah itu
sungguh tidak ada untungnya baginya.
"Can Hong San, jangan kurang ajar kau!" tibatiba te rdengar bentakan dan muncullah Lie Koan
Tek yang langsung menyerang dengan rantai baja
yang selalu dipakai sebagai ikat pinggang. Pendekar ini menanti Liu Hwa di luar pintu
gerbang. Ketika pagi tadi dia tidak melihat Liu Hwa
keluar dia lalu mencari-cari, menyusul ke tanah
kuburan dan melihat bekas peralatan sembahyang.
Ketika dia tidak menemukan lagi wanita itu di
dusun, tahulah dia bahwa Liu Hwa tentu telah
pergi meninggalkan dusun, meninggalkan dia
melalui jalan lain. Dia cepat melakukan pengejaran
dengan hati merasa aneh dan heran. Mengapa Liu
Hwa meninggalkan dia" Andaikan tidak ingin
bersamanya, setidaknya wanita itu akan memberi
tahu kepadanya lebih dulu.
Akhirnya dia menemukan Liu Hwa yang sedang
dipermainkan oleh Hong San. Biarpun dia tahu
bahwa Hong San amat lihai, melihat wanita yang
telah menjatuhkan hatinya itu dipermainkan, dia
menjadi marah dan langsung menyerang dengan
rantai bajanya. Hong San meloncat ke belakang dan mencabut
sulingnya. "Ha-ha , Lie Koan Tek!. Engkau
pengkhianat besar. Engkau hendak melindungi

wanita yang kau larikan ini, ya" Bagus, aku
memang sedang mencarimu untuk memberi
hukuman atas nama Pangeran Cian Bu Ong!"
Lie Koan Tek yang sudah nekat itu tidak
menjawab melainkan segera menyerang dengan
dahsyatnya. Liu Hwa tidak mau tinggal diam dan
iapun membantu pendekar Siauw-lim-pai itu
dengan pedangnya. Melihat ini, kembali Hong San
te rtawa sambil memutar suling untuk menangkis
kedua senjata pengeroyoknya.
"Ha ha, si penculik dan yang diculik saling
bantu! Bagus, agaknya kalian sudah saling jatuh
hati. Ha-ha-ha!" Dan sulingnya diputar sedemikian
rupa sehingga amat merepotkan Lie Koan Tek. Apa
lagi Liu Hwa. Setiap kali pedangnya berte mu
suling, ia pasti terdorong dan te rhuyung. Untung
baginya bahwa Hong San tidak ingin membunuh
wanita ini, kalau demikian halnya, tentu ia sudah
roboh dan tewas. Hong San hendak membunuh Lie
Koan Tek akan tetapi ingin menangkap Poa Liu
Hwa hidup-hidup. Bagaimanapun juga, Lie Koan Tek adalah
seorang pendekar Siauw-lim-pai
yang sudah matang dalam pengalaman. Dia pernah diuji
kepandaiannya melawan Hong San dan dia tahu
betapa lihainya suling di tangan pemuda itu. Maka
pengalamannya ketika dia bertanding melawan
Hong San kini dia pergunakan untu k berjaga diri,
tidak menuruti kemarahan hatinya sehingga dia
dapat bertahan ketika Hong San mulai membalas
dengan desakan sulingnya. Sementara itu, biarpun
beberapa kali pedangnya hampir te rlepas dari

tangannya yang kadang seperti lumpuh kalau
pedang itu bertemu suling, Liu Hwa tidak pernah
mundur dan dengan nekat ia membantu Lie Koan
Tek tanpa memperdulikan lagi keselamatan dirinya
sendiri. Ia merasa yakin bahwa Lie Koan Tek
adalah seorang pendekar tulen, sedangkan pemuda
yang bernama Can Hong San ini seorang penjahat
yang berbahaya sekali. Kiranya Can Hong San ini
yang memimpin penyerbuan te rhadap He k-houwpang itu dan kini ia pun ingat. Can Hong San
inilah yang telah merobohkan dan membunuh
suaminya, Kam Seng Hin! Maka iapun menyerang
dengan mati-matian. Namun, kini Hong San juga sudah mencabut
pedangnya. Dia mempergunakan pedang di tangan
kanan dan suling di tangan kiri, dan desakandesakannya membuat Lie Koan Tek makin repot.
Pada saat itu te rdengar bentakan nyaring,
"Penjahat dari mana berani mengganggu paman Lie
Koan Tek?" Dan muncullah seorang wanita muda
yang usianya sekitar duapuluh empat tahun,
wajahnya bulat berkulit putih, hidungnya mancung
dan matanya tajam. Gerakannya ringan bukan
main dan begitu muncul, ia telah menggerakkan
sepasang pedangnya dan menyerang Hong San
dengan cepat dan kuat! Hong San terkejut sekali. Dia menangkis dengan
pedangnya sambil mengerahkan tenaga untuk
membuat pedang kiri gadis itu patah atau
te rpental. Akan tetapi, tangkisannya luput dan
tubuh gadis itu sudah meloncat ke atas, bagaikan

seekor burung rajawali ia sudah menyerang lagi
dengan tubuh menukik ke arah Hong San!
"Trang! Tranggg........!" Hong San menangkis dan
te rpaksa melangkah ke belakang. Diam-diam gadis
itupun terkejut karena tangkis an pemuda tampan
itu membuat kedua tangannya terasa panas dan
te rgetar hebat. Mengertilah ia mengapa pamannya,
Lie Koan Tek pendekar Siauw-lim pai itu tadi
te rdesak hebat, iapun turun dan menyerang lagi
dengan dahsyatnya, membantu Lie Koan Tek dan
Liu Hwa yang juga sudah menyerang lagi.
Lie Koan Tek terheran-heran, tidak mengenal
gadis yang menyebutnya paman itu. Akan te tapi
dia tidak sempat banyak berpikir, hanya mencurahkan seluruh perhatiannya untuk bersama gadis itu dan Liu Hwa mengeroyok Hong
San. Ternyata kepandaian gadis yang baru datang
itu hebat pula, bahkan tidak kalah dahsyatnya
dibandingkan kepandaian Lie Koan Tek sendiri.
Biarpun belum te ntu kalau dikeroyok tiga dia
akan kalah, Hong San merasa tidak ada gunanya
untuk berkelahi te rus. Gadis itu cukup lihai, dan
kalau mereka itu nekat, diapun mungkin akan
te rluka. Maka, setelah mendapatkan kesempatan,
diapun meloncat jauh ke belakang dan melarikan
diri dengan cepat. Gadis itu hendak mengejar
sambil berseru
"Jangan lari !" akan tetapi Lie Koan Tek cepat
mencegahnya. "Nona, jangan kejar dia. Dia berbahaya!"

Gadis itu tidak jadi mengejar. Iapun agaknya
tahu bahwa seorang diri saja, ia bukanlah lawan
pemuda tampan yang lihai tadi, maka iapun
berhenti dan kini menghadap Lie Koan Tek sambil
memberi hormat. "Paman, bertahun-tahun saya mencari paman
tanpa hasil. Sekarang, secara kebetulan kita dapat
berte mu di sini!" katanya dengan nada suara
girang. "Nanti dulu, maafkan aku, nona. Akan tetapi,
siapakah engkau?" Gadis itu memandang aneh. "Paman Lie Koan
Tek lupa kepada saya" Saya Bi Lan, paman, Kwa Bi
Lan." "Bi Lan......" Ah, Bi Lan, kiranya engkau ini?" Lie
Koan Tek memandang dengan wajah berseri dan
girang. "Tentu saja aku lupa. Engkau sudah begini
dewasa dan ilmu kepandaianrau hebat sekali."
"Aih, paman terlalu memujiku. Siapakah enci ini,
paman?" tanya Bi Lan sambil menunjuk kepada
Liu Hwa. "I a" Ah, ia ini adalah isteri mendiang ketua Hekhouw-pang di dusun Ta-bun-cung. Panjang ceritanya, Bi Lan, dan......eh, engkau mencari
siapakah, nyonya?" Koan Tek mengalihkan pembicaraannya kepada Liu Hwa yang nampak
kebingungan dan mencari-cari dengan pandang
matanya. "Saya mencari Siong Ki! Di mana dia" Siong
Ki......! Siong Ki, di mana engkau.......?"

"Siapa Siong Ki?" tanya Koan Tek heran.
"Dia muridku, anak laki-laki berusia enam
tahun, putera dari suheng suamiku yang juga
menjadi korban pembunuhan....." Liu Hwa mencari-cari dan kini dibantu oleh Koan Tek dan
diikuti pula oleh Bi Lan. Akan tetapi sia-sia saja
usaha pencarian mereka. Siong Ki lenyap dan tidak
meninggalkan je jak. Melihat Liu Hwa bingung dan
khawatir, Koan Tek juga ikut merasa khawatir.
"Can Hong San itu jahat dan licik bukan main.
Jangan-jangan dia yang menculik anak itu dan
membawanya lari." Liu Hwa mengerutkan alisnya mengingat-ingat,
lalu menggeleng kepalanya. "Kurasa tidak begitu.
Agaknya anak itu memang.......sengaja hendak
meninggalkan saya, tai hiap. Tadi, ketika pemuda
itu muncul, sebelum tai-hiap datang pemuda itu
menyebut-nyebut nama tai-hiap sebagai pembunuh ayah Siong Ki. Ole h karena itu,ketika
tai-hiap datang dan membantuku, a gaknya dia lalu
diam-diam pergi meninggalkan aku. Dia anak yang
cerdik sekali, tai-hiap. Aku berte mu dengan dia di
depan makam ayahnya dalam keadaan pingsan,
lalu kuajak dia sebagai muridku."
"Hemmm......." Lie Koan Tek menggumam marah
kepada Hong San. "Hong San memang dapat
melakukan kejahatan apa saja. Biar nanti aku
yang membantumu mencari anak itu, nyonya.
Sekarang perkenalkan, ini keponakanku bernama
Bi Lan, pute ri dari enciku. Bi Lan, ini adalah
nyonya......." 
"Namaku Poa Liu Hwa, adik Bi Lan. Terima kasih
atas pertolonganmu tadi sehingga pemuda yang
jahat sekali itu dapat diusir," kata Liu Hwa.
"Aih, enci jangan terlalu sungkan. Aku hanya
kebetulan lewat dan melihat enci dan paman
didesak, maka aku te ntu saja segera membantu.
Masih untung ada paman dan enci sendiri, kalau
aku seorang diri harus melawannya, kurasa aku
tidak akan mampu menang."
"Akan tetapi kulihat ilmu kepandaianmu sudah
maju pesat, Bi Lan, dan bukan sepenuhnya ilmu
silat Siauw-lim-pai. Oya,
bagaimana dengan ibumu" Sekarang di manakah ia tinggal?"
Ditanya tentang ibunya, Bi Lan menarik napas
panjang. "Aih. paman. Ibu sudah meninggal lima
tahun lebih yang lalu."
"Ah, kasihan! Engkau menjadi yatim piatu..... "
"Karena kematian ibu itulah aku lalu pergi
mencarimu, paman. Aku hidup sebatangkara
setelah ibu meninggal, dan satu-satunya keluarga
hanyalah paman. Akan te tapi, sia-sia aku mencari
paman........ " "Tentu saja. Aku ditangkap pemerintah dan
dipenjarakan, bagaimana engkau dapat menemukan aku" Lalu, bagaimana engkau sampai
le wat di s ini" Ceritakanlah pengalamanmu, Bi Lan.
Setelah itu, baru nanti kuceritakan semua pengalamanku dan tentang nyonya ini."
Mereka lalu memilih tempat yang te duh di
bawah sebatang pohon besar di dalam hutan itu.

Mereka duduk di atas batu dan Bi
Lan menceritakan pengalamannya.
Kwa Bi Lan adalah seorang gadis Siauw-lim-pai
pula, pute ri tunggal dari kakak perempuan Lie
Koan Tek. Ibunya seorang janda karena ayahnya
sejak ia kecil telah meninggal dunia. Ketika ibunya
meninggal dunia, Bi Lan menjadi sebatangkara. Ia
lalu meninggalkan rumahnya, bahkan menjual
semua miliknya dan mulai merantau mencari
pamannya, satu-satunya keluarga yang ada.
Namun, segala jerih payahnya sia-sia belaka
karena ia tidak pernah berhasil menemukan
pamannya yang menjadi buruan pemerintah karena Siauw-lim-pai dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah Kerajaan Sui yang
ketika itu belum jatuh. "Setelah hampir putus-asa mencarimu, paman,
pada suatu hari aku hampir celaka menghadapi
segerombolan perampok. Untung ada bintang
penolong, yang kemudian menjadi guruku. Dia
adalah Sin-tiauw Liu Bhok Ki."
"Ah, dia seorang pendekar besar!" kata Lie Koan
Tek. "Namanya terkenal sekali di dunia persilatan."
"Aku menjadi muridnya, bahkan kemudian aku
dijodohkan oleh suhu kepada seorang muridnya
yang ketika itu belum pernah kujumpai karena
murid itu sudah turun gunung. Karena suhu amat
baik kepadaku, seolah menjadi pengganti orang
tuaku, maka akupun menurut saja, yakin bahwa
suhu tentu telah mengatur sebaiknya untuk diriku.
Akan tetapi..... " 
"Bagaimana selanjutnya, Bi Lan?" tanya Koan
Tek yang melihat wajah gadis itu berubah muram.
"Ternyata kemudian bahwa suhengku yang
menjadi calon suamiku itu, yang ketika itu sudah
menyetujui, di luar tahu suhu te lah menikah
dengan seorang wanita lain. Mendengar berita itu
kemudian, suhu menjadi marah sekali, juga
menjadi sakit hati. Akan tetapi dia tidak mampu
berbuat sesuatu, karena dia maklum bahwa ketika
itu kepandaian murid pertama itu sudah jauh lebih
tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Agaknya,
kalau tidak ada aku, suhu te ntu telah membunuh
diri. Dia merasa dikhianati, merasa tidak dipandang dan hina oleh muridnya sendiri yang
amat disayang dan dibanggakan. Aku merasa
kasihan sekali, aku menangis dan menderita batin
bersama suhu. Sejak mudanya suhu sudah banyak
menderita karena ditinggal isterinya yang tercinta.!
Suhu tidak mempunyai anak, tidak mempunyai
siapa-siapa. Akhirnya......sudah kehendak Thian
agaknya, kami........maksudku, suhu dan aku.......
kami menikah dan menjadi suami isteri."
Gadis itu menghentikan ceritanya sambil menundukkan muka. Koan Tek memandang heran,
akan te tapi tidak sampai hati untuk memberi
komentar. Lima tahun yang lalu, pikirnya. Tentu
keponakannya ini baru berusia sembilanbelas
tahun, dan dia mendengar bahwa Liu Bhok Ki yang
berjuluk Sin-tiauw (Rajawali Sakti) itu jauh lebih
tua darinya, mungkin sekarang sudah mendekati
tujuhpuluh tahun, dan ketika bertemu dengan
keponakannya te ntu usianya sudah enampuluh
tahun lebih! 
Llu Hwa yang juga ikut mendengarkan, tidak
merasakan sesuatu yang ganjil karena ia hanya
pernah mendengar nama Sin-tiauw Liu Bhok Ki
sebagai seorang datuk persilatan yang lihai.
Ketika akhirnya Bi Lan mengangkat mukanya,
Koan Tek telah dapat menguasai hatinya dan
wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Legalah
hati Bi Lan dan iapun melanjutkan dengan suara
yang bernada sedih. "Setelah kami menikah, aku merasa hidupku
berbahagia sekali, paman. Dia amat baik kepadaku, dan dia kuanggap sebagai guru, orang
tua, dan suami yang amat kucinta. Akan te tapi,
agaknya luka yang dideritanya karena ulah
muridnya yang mengingkari janji itu tidak pernah
dapat diobati. Dia tetap saja menderita, dan
akhirnya, setelah menikah denganku selama dua
tahun le bih, guruku dan suamiku itu meninggal
dunia karena sakit dalam hatinya."
Bi Lan berhenti dan biarpun ia tidak menangis
namun kedua matanya basah dan punggung
tangannya mengusap beberapa butir air mata.
"Ah. Rajawali Sakti itu telah meninggal dunia?"
Lie Koan Tek berseru perlahan dan memandang
kepada keponakannya dengan penuh perasaan iba.
Tiba-tiba wajah yang menunduk itu terangkat
dan sepasang mata Bi Lan mengeluarkan sinar
mencorong, dan kedua tangannya dikepal. "I ni
semua gara-gara Si Han Beng! Aku akan pergi
mencari nya dan dia harus membayar kematian
suamiku, guruku dan orang tuaku itu dengan
nyawa!" 
"Bi Lan!" Koan Tek berseru kaget. "Apa
maksudmu" Si Han Beng" Kau maksudkan Huangho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning)" Ada apa
pula dengan dia"!"
"Dialah suhengku itu! Dialah murid suhu dan
suamiku itu!" "Akan tetapi.....Huang-ho Sin-liong adalah seorang pendekar sakti yang ilmu kepandaiannya
amat tinggi!"
"Aku tidak perduli, dan tidak takut. Aku rela
mati di tangannya untuk membela kematian
suamiku juga guruku!" kata Bi Lan dan kini
sikapnya amat keras. "Dan dia te rkenal sebagai seorang pendekar
budiman yang selalu membela kebenaran dan
keadilan. Bi Lan, ingatlah dan jangan menurutkan
perasaan!" kata pula pamannya.
"Hemm, paman mengira bahwa aku sakit hati
karena dia membatalkan ikatan perjodohan itu"
Sama sekali tidak, paman! Ketika ikatan perjodohan itu dilakukan oleh suhu, aku masih
belum mengenal Si Han Beng. Aku tidak atau
belum mempunyai perasaan cinta kepadanya.
Apalagi setelah aku menjadi isteri suhu. Cintaku
hanya untuk suamiku seorang! Dan suamiku yang
bertubuh sehat dan kuat itu te ntu belum mati
kalau hatinya tidak dirusak oleh kemurtadan Si
Han Beng!" "Bi Lan, bersabarlah, ingatlah bahwa engkau
hanya te rdorong oleh perasaan dendam yang
timbul dari kedukaan. Kematian setiap manusia

berada di tangan Thian, engkau tidak boleh
mencari Si Han Beng untuk membalas dendam
kematian gurumu.....eh, suamimu!"
"Tidak, paman. Aku harus pergi mencarinya dan
mengadu nyawa dengannya. Aku sudah bersumpah di depan makam suamiku!" Wanita
muda itu meloncat dan memandang kepada
pamannya dengan sinar mata mencorong. "Paman
atau siapapun juga tidak berhak melarangku.
Selamat tinggal, paman!" Dan iapun meloncat dan
berlari cepat meninggalkan tempat itu.
"Bi Lan.....!" Lie Koan Tek hendak mengejar.
"Tidak ada gunanya dikejar. Ia takkan mau
membatalkan niatnya," kata Liu Hwa dan Koan Tek
tahu akan hal ini maka diapun membatalkan
niatnya untuk mengejar, duduk kembali di atas
batu di depan Liu Hwa dan menghela napas
panjang menggele ng-gelengkan kepalanya.
"Bi Lan memiliki kekerasan hati yang luar biasa.
Aku dapat melihat pada pandang matanya," kata
pula Liu Hwa yang merasa kasihan kepada
penolongnya itu. Kembali Koan Tek menghela napas panjang.
"Seingatku, Bi Lan adalah seorang gadis yang
le mbut hati. Aku tahu, perubahan pada dirinya itu
pertama karena kedukaan yang mendalam, kedua
karena agaknya watak suaminya te lah menular
kepadanya. Aku mendengar bahwa Sin tiauw Liu
Bhok Ki adalah seorang pendekar yang berhati
baja, keras dan sukar diluluhkan. Aih, apa yang
akan terjadi nanti kalau sampai ia berte mu dengan
Huang-ho Sin-liong?"

"Tai-hiap, menurut apa yang kudengar, pendekar
sakti Si Han Beng adalah seorang pendekar yang
berhati budiman dan le mbut. Siapa tahu dia akan
bisa menundukkan kekerasan hati Bi Lan sehingga
tidak perlu terjadi perkelahian di antara mereka."
"Mudah-mudahan begitu. Sekarang kita bicara
te ntang dirimu sendiri, nyonya Kam......."
"Tay-hiap, harap jangan menyebutku nyonya
Kam. Suamiku meninggal dunia dan sebutan itu
hanya mengingatkan aku kepadanya. Namaku Poa
Liu Hwa dan tai-hiap boleh menyebut namaku
saja." Lie Koan Tek menahan senyumnya, senyum
gembira. "Baiklah, akan te tapi engkaupun jangan
menyebutku tai-hiap. Se but saja namaku, Lie Koan
Tek." Liu Hwa memandang wajah pendekar itu dengan
hati terharu. "Engkau penolongku yang budiman
dan di dekatmu aku merasa aman seolah berada di
dekat seorang kakak yang baik. Biarlah kusebut
engkau Lie-toako (kakak Lie)."
"Baik sekali, adik Liu Hwa. Nah, sekarang,
katakan. Kenapa engkau meninggalkan dusun Tabun-cung dengan mengambil jalan lain dan tidak
memberitahu kepadaku yang menantimu di luar
pintu gerbang?" Liu Hwa menundukkan mukanya yang berubah
merah. Ia merasa malu sekali. Ia menghindarkan
diri dari pendekar ini sehingga ia bertemu orang
jahat dan kembali pendekar ini yang menyelamatkannya, bahkan hampir berkorban

nyawa kalau tidak muncul keponakan pendekar
ini. "Tai-hiap......eh, toako. Sesungguhnya, aku sengaja mengambil jalan ini untuk menghindarkan
perte muan denganmu.......maafkan aku, toako."
Lie Koan Tek mengerutkan alisnya. "Ehh"
Kenapa, Hwa-moi (adik Hwa)?"
Makin merah wajah Liu Hwa mendengar sebutan
"adik Hwa" yang demikian le mbut. "Maaf, toako.
Aku merasa betapa aku telah banyak merepotkanmu, bagaimana mungkin aku berani
membuat toako menjadi semakin sibuk untuk
melindungiku te rus" Bagaimana aku akan mampu
membalas budimu yang bertumpuk-tumpuk" Siapa tahu, di sini aku berte mu dengan penjahat
keji itu dan kembali engkau yang telah menolongku. Toako, maafkan aku...... "
Lie Koan Tek menarik napas panjang. Dia dapat
mengerti dan sikap itu bahkan membuat nyonya
muda ini menjadi semakin te rpuji. 'Hwa-moi,
kenapa engkau mempunyai anggapan bahwa
engkau merepotkan aku" Dan mengapa pula tidak
mungkin aku menjadi pelindungmu selamanya"
Aku sanggup melindungimu se lamanya, Hwa-moi."
Pendekar itu menghentikan ucapannya dengan
kaget, karena tanpa disengaja dia telah membongkar rahasia hatinya sendiri. Wanita
itupun dapat merasakan apa yang tersirat dalam
kata-kata itu, jantungnya berdebar keras, dan ia
merasa berdosa terhadap suaminya. Baru saja
beberapa hari, belum sebulan, ia ditinggal mati
suaminya dan sekarang sudah ada pria yang

menyatakan perasaan tertarik kepadanya! Ia juga
te rkejut bukan main, sama sekali tidak pernah
menyangka bahwa pendekar perkasa yang dikagumi itu diam-diam te rnyata mengandung
perasaan cinta kepadanya.
"Taihiap......?" Ia berkata lirih sambil te rbelalak,
lupa lagi akan sebutan kakak.
"Aku......aku tidak bermaksud buruk, Hwa-moi.
Maafkan kata-kataku kalau mengejutkan hatimu.
Sudahlah, aku menerima alasanmu tadi. Akan
tetapi, bukankah engkau katakan bahwa engkau
hendak mencari anakmu" Tadinya kusangka Siong
Ki itu anak yang kaucari-cari."
Ucapan ini mengingatkan kembali Liu Hwa
kepada anaknya dan kepada Siong Ki sehingga
rasa kaget dan sungkannya te rusir. "Siong Ki
bukan ana kku, toako. Sudah kukatakan tadi, aku
berte mu dengannya di depan makam ayahnya.
Ayahnya adalah The Ci Kok, suheng dari mendiang
suamiku. Melihat dia sebatang kara, yatim piatu,
maka aku ingin mengajaknya pergi dan mengakui
sebagai murid. Adapun ana kku, Cin Cin, seorang
anak perempuan, telah diajak pergi oleh Lai Kun,
sute dari suamiku, atas pesan kakek Coa Song."
"Dibawa pergi" Ke mana, Hwa-moi?"
"Ke dusun Hong-cun di te pi Sungai Huang-ho
untuk diserahkan kepada Huang ho Sin-liong Si
Han Beng, disertai surat dari kakek Coa Song agar
Cin Cin dapat diterima sebagai murid pendekar
itu." 
"Ah, kalau begitu bagus sekali. Anakmu te ntu
akan menjadi seorang pendekar wanita yang hebat
kelak kalau ia dapat menjadi murid Huang-ho Sinliong!" seru Lie Koan Tek dengan girang. "Lalu, apa,
kehe ndakmu sekarang, Hwa-moi. Tadinya bersama
Siong Ki, engkau hendak pergi ke manakah?"
"Aku hendak menyusul Cin Cin."
"Apa" Engkau hendak minta anakmu agar tidak
menjadi murid pendekar sakti itu?" "Bukan begitu,
toako. Akupun senang sekali mendengar bahwa
Cin Cin diantar paman gurunya untuk menjadi
murid Si Tai-hiap. Akan te tapi.........sekarang aku
hanya mempunyai ia seorang, tai-hiap. Bagaimana
aku dapat berpisah darinya" Aku hanya akan
menjenguknya, dan aku sendiri yang akan
menyerahkan dan menitipkan anakku kepada
keluarga Si Tai-hiap, kemudian aku akan tinggal di
dusun itu, bekerja apa saja di sana, pokoknya aku
tidak jauh dari anakku dan setiap waktu dapat
menengoknya. " Lie Koan Tek mengangguk-angguk. "Me mang
kukira sebaiknya begitu, Hwa-moi. Nah, karena
te mpat tinggal Huang-ho Sin-liong amat jauh dari
sini, dan kini perjalanan amat tidak aman dan
banyak orang jabat, mari kuantar engkau sampai
dapat berte mu dengan puterimu."
Biarpun hatinya merasa sungkan sekali, akan
tetapi terpaksa Liu Hwa menyambut penawaran itu
dengan hati girang. Kalau ia melakukan perjalanan
menyusul puterinya bersama pendekar ini, ia akan
merasa aman, dan juga tidak akan sesat di jalan.

"Terima kasih. Lie-toako. Engkau begini baik
kepadaku, aku tidak mungkin dapat membalas
semua budi kebaikanmu. Biarlah Thian yang akan
membalasnya, toako. Biarlah kelak dalam penjelmaan yang lain aku akan menjadi pelayanmu," katanya terharu.
"Aih, Hwa-moi, lupakan saja semua itu. Aku
tidak mengharapkan balasan, juga tidak merasa
menolongmu. Memang akupun ingin sekali berte mu dengan pendekar sakti yang kukagumi
itu. Mari kita berangkat."
Setelah mereka berangkat, baru Liu Hwa teringat
bahwa sekantung uang yang tadinya ia terima dari
Siong Ki, ia titipkan kepada anak itu dan ketika
pergi, agaknya anak itu membawa pergi pula uang
yang dia berikan kepada subonya. Ia tidak
mempunyai apa-apa lagi, bahkan pakaianpun
hanya yang menempel pada tubuhnya.! Tentu saja
ia merasa canggung dan sungkan bukan main.
Apalagi setelah mereka melewati sebuah kota, Koan
Tek yang berpengalaman dan bijaksana itu, tanpa
bertanya sudah mengetahui keadaannya dan
pendekar itu mengajaknya ke toko dan membelikan
beberapa potong pakaian untuknya!.
Hampir Liu Hwa menangis saking girang dan
te rharunya mendapatkan bekal ganti pakaian yang
amat dibutuhkannya itu. Dan disepanjang perjalanan, seperti telah diduganya, Lie Koan Tek
selalu berlaku sopan dan lembut. Setiap kali
menginap di rumah penginapan, pendekar ini
selalu menyewa dua buah kamar yang berpisah,
walaupun berdekatan. Tak pernah sedikitpun

pendekar Siauw-lim-pai itu memperlihatkan sikap
kurang ajar. Kalaupun ada tanda-tanda bahwa
pendekar itu te rtarik kepadanya, maka hal itu
hanya nampak pada pandang matanya yang
kadang seperti orang terpesona, dan pada sikapnya
yang le mah lembut. Diam-diam, sebagai seorang
wanita yang berperasaan peka, Liu Hwa mengerti
bahwa pendekar itu jatuh hati kepadanya, atau
setidaknya menaruh perhatian besar sekali kepadanya. Hal ini membuat ia merasa te rharu
sekali, akan tetapi juga bingung dan selagi tidur
sendiri di waktu malam, ia suka menangis dan
meratap kepada mendiang suaminya. Ia seorang
wanita yang cantik dan sehat, usianya baru
tigapuluh tahun. Mungkinkah ia akan menyiksa
diri, menjanda selama hidupnya"
-ooo0dw0ooo- "Susiok, katanya susiok hendak membawaku
kepada ibu. Mana ibu" Kenapa kita belum juga tiba
di tempat ibu" Kita sudah melakukan perjalanan
selama berhari-hari! Paman, jangan bohongi aku!
Mana ib, susiok (paman guru)?"
Anak itu kini mulai merengek dan hampir
menangis. Ia seorang anak perempuan berusia lima
tahun yang manis. Akan te tapi pada saat itu ia
nampak marah, sedih dan juga kecewa. Ia adalah
Kam Cin yang diajak Lai Kun meninggalkan dusun
Ta-bun-cung, memenuhi pesan kakek Coa Song.
Amat sukar membujuk Kam Cin untuk ikut
bersamanya, akan tetapi Lai Kun mempunyai akal.
Setelah ia mengatakan bahwa dia mengajak anak
itu untuk mencari dan menyusul ibunya yang
menghilang pada malam te rjadinya penyerbuan
penjahat itu, tentu saja Kam Cin menjadi girang
sekali dan seketika ia menyatakan setuju.
Kini Lai Kun menghadapi anak yang mulai rewel
dengan alis berkerut. Sebagai sute dari ayah anak
itu, mendiang Kam Seng Hin, dia mengenal benar
watak Kam Cin. Seorang anak yang dapat menjadi
manis sekali, akan tetapi kalau sudah marah, juga
menjadi anak yang rewel dan sulit diatur! Mereka
sudah melakukan perjalanan selama sepuluh hari,
dan mulai pada hari kelima saja Kam Cin sudah
selalu merengek dan marah kepadanya.
"Sabarlah, Cin Cin. Tempat ibumu jauh sekali
dan kita belum sampai, terpaksa bermalam di
rumah penginapan ini. Mari kita makan. Lihat,
masakan yang kupesan ini enak sekali, bukan"
Mari kita makan, lalu tidur dan besok pagi-pagi
kita lanjutkan perjalanan!" Kata pria itu dengan
suara membujuk sambil menyodorkan mangkok
dan sumpit ke arah anak yang sedang marah itu.
Dia seorang pria berusia empatpuluh tahun, kurus
jangkung dengan hidung agak besar dan mata
kecil. Dia adalah Lai Kun, murid Hek-houw pang,
sute mendiang Kam Seng Hin. Karena diapun
masih membujang, dan tidak mempunyai keluarga
lagi, maka setelah terjadi penyerbuan para
penjahat yang membasmi Hek-houw-pang itu, Lai
Kun tentu saja tidak betah lagi tinggal di Ta-buncung. Maka, ketika menerima tugas dari kakek Coa
Song, untuk mengantar murid keponakan itu
kepada Huang-ho Sin-liong di dusun Hong-cun, dia
merasa gembira sekali. Pertama, dia akan 
meninggalkan dusun Ta-bun-cung yang kini
nampak menyedihkan itu, apa lagi Hek-houw-pang
sudah dibubarkan, dan kedua dia akan berte mu
dengan pendekar sakti Si Han Beng yang sudah
lama didengar nama besarnya dan dikaguminya
itu. Tak disangkanya, baru ju ga setengah perjalanan, Cin Cin sudah mulai rewel dan kini
malah mogok makan. "Tidak, aku tidak lapar! Susiok makan saja
sendiri!" kata Cin Cin sambi mendorong kembali
mangkok nasi itu. "Aku mau tidur!" Anak itu lalu
turun dari bangku dan lari ke pembaringan,
langsung saja ia meloncat ke atas pembaringan,
menghadap ke dinding. Lai Kun mengerutkan alisnya memandang ke
arah murid keponakan itu dan menghela napas
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sudah
beberapa hari ini dia selalu jengkel menghadapi
Cin Cin dan mulai dia menyesali tugasnya yang
te rnyata tidak menyenangkan ini. Beberapa kali
bahkan dia sudah membentak Cin Cin kalau
te rlalu rewel. Akan tetapi anak ini memang keras
dan sukar diatur. Dihadapi dengan sikap halus,
tetap marah. Kalau dikasari , bertambah marah!
Sulit memang! Dia mengangkat ke dua pundaknya
dan melanjutkan makan sendiri. Sejak siang tadi,
Cin Cin tidak mau makan. Hanya pagi tadi saja
makan bubur semangkuk. Anak itu memang
bandelnya bukan kepalang.
Tiba-tiba Cin Cin membalik sedikit dan menengok kepadanya. Lai Kun sudah merasa
girang karena mengira anak itu mulai kelaparan

dan mau mengubah sikapnya, mau makan. Akan
tetapi Cin Cin yang kedua matanya merah karena
tangis yang ditahan-tahan itu berkata ketus.
"Susiok, kalau besok kita belum tiba di tempat ibu.
Jelas bahwa engkau berbohong dan aku tidak mau
lagi melakukan perjalanan bersamamu!"
Makin mendalam kerut di antara alis Lai Kun.
Hatinya mulai panas oleh kejengkelan melihat
sikap menantang anak itu. "Hemm. lalu apa yang
akan kau lakukan kalau engkau tidak mau
melakukan perjalanan bersamaku?" tanyanya menahan marah. "Tidak perlu susiok tahu! Pendeknya, aku akan
mencari sendiri ibuku!"
Lai Kun menggebrak meja di depannya sehingga
mangkok piring berdentingan. "Anak bandel!
De ngar kau baik-baik. Kaukira aku kesenangan
mengantarmu" Aku hanya mentaati perintah
kakek Coa Song untuk membawamu kepada
Huang-ho Sin-liong Si Han Beng, kautahu" Kita
sedang melakukan perjalanan ke sana! Dan
engkau harus mentaati pesan kakek Coa Song!"
Cin Cin melompat turun dari pembaringan,
berdiri memandang wajah Lai Kun dengan marah.
"Nah, benar saja! Susiok te lah bohong kepadaku!
Aku tidak mau pergi ke manapun! Aku hendak
mencari ibuku. Bawa aku kembali ke Ta-bun-cung,
aku mau mencari ibuku!"
Melihat anak itu berteriak-te riak marah, hampir
saja Lai Kun menamparnya. Akan te tapi dia
te ringat dan menahan kemarahannya. Mukanya
merah sekali dan diapun mengangguk.

"Baiklah, besok pagi kita pulang!" katanya
singkat. Agaknya Cin Cin juga puas dengan
keputusan itu dan iapun kini mau duduk
menghadapi makanan di atas meja. Ia mengambil
nasi dan sayur, mulai makan. Agaknya timbul
semangat anak itu ketika akan diajak pulang!
Akan te tapi Lai Kun sudah marah sekali maka
diapun mendiamkan saja. Dia merasa bingung.
Bagaimana dia dapat mengajak anak itu pulang ke
Ta-bun-cung setelah melakukan perjalanan setengahnya menuju ke dusun Hong Cun" Dan dia
tidak ingin pulang ke dusun Ta-bun-cung!
Sehabis makan dan setelah pelayan menyingkirkan mangkok piring, dia hanya berkata
singkat kepada Cin Cin. "Kau tidurlah, aku hendak
jalan-jalan dulu. Besok pagi-pagi kita berangkat!"
"Pulang?" Cin Cin menegas.
"Ya, pulang!" jawab Lai Kun singkat, lalu dia
keluar dari kamar, menutupkan daun pintu kamar
itu dari luar. De ngan hati mengkal dia lalu
berjalan-jalan di sepanjang jalan raya kota itu.
Kota Ji-goan merupakan kota yang cukup besar,
te rletak di sebelah utara Sungai Huang-ho,
sedangkan Lok-yang, kota raja, te rletak tidak
te rlalu jauh dari pantai selatan Sungai Kuning itu.
Bahkan penyeberangan sungai dari utara ke
selatan dan sebaliknya berada di kota Ji-goan,
maka te ntu saja kota yang menjadi pusat lalulintas ke kota raja itu cukup besar, mempunyai
banyak los men dan rumah makan.
Sudah lazim bahwa jika sebuah kota dikunjungi
banyak tamu, maka selain perdagangan menjadi
ramai, juga usaha hiburan berkembang biak
dengan cepat sekali. Para tamu itu membutuhkan
hiburan dan mereka berani mengeluarkan banyak
uang untuk mendapatkan kesenangan. Apa lagi
mereka adalah pedagang-pedagang yang mempunyai uang. Sete lah memperoleh keuntungan, mereka tidak sayang menghamburkan sebagian kecil keuntungannya di
rumah-rumah judi dan rumah pelesir.
Karena dia tidak mengenal jalan, tanpa disadari
Lai Kun memasuki lorong yang terkenal di kota itu
sebagai lorong pusat te mpat hiburan. Dia melihat
rumah-rumah ju di akan te tapi tidak te rtarik. Dia
sedang mengkal, sedang marah karena kerewelan
Cin Cin. Ketika melihat sebuah rumah minum yang
dihias indah, dia te rtarik. Dipesannya arak dan
kueh kering, lalu diapun minum untuk menghilangkan rasa je ngkelnya.

Kehadirannya sejak tadi diikuti sepasang mata
yang je li, mata seorang wanita muda yang
wajahnya dirias cantik, sikapnya genit dan wanita
itu memang seorang pelacur yang sedang mengintai korban di rumah makan itu. Melihat Lal
Kun minum-minum seorang diri, dan nampak jelas
bahwa pria ini adalah orang luar kota, pelacur itu
melihat,seorang calon korban yang akan menguntungkan dirinya. Ia menanti sampai Lai
Kun menghabis kan seguci kecil arak dan kepalanya sudah agak bergoyang-goyang.
Ketika Lai Kun minta tambah arak, pelacur itu
menghadang pelayan yang datang membawakan
arak. 
"Biar aku yang mengantarkan kepadanya," bisik
pelacur yang dikenal dengan nama Sui Su itu.
Pelayan itu te rsenyum. Kalau pelacur itu berhasil,
dia pasti akan menerima imbalannya nanti.
Diberikannya guci arak itu kepada Sui Su yang
dengan langkah gontai, bibir tersenyum-senyum
dan sikap memikat membawa guci arak itu kepada
meja Lai Kun. "Silakan, tuan. Ini tambahan araknya," katanya
dengan suara merdu. Lai Kun memandang kepadanya dengan alis
berkerut. "Eh" Siapakah nona....?"
Sui Su te rsenyum sehingga nampak giginya
berkilat di balik sepasang bibir yang merah, akan
tetapi dengan luwes ia menutupi mulutnya dengan
saputangan sute ra. "Nama saya Sui Su, tuan dan
saya menjadi pelayan tuan untuk malam ini....."
Matanya mengerling tajam dan penuh daya pikat.
Lai Kun sudah setengah mabok. Akan te tapi dia
bukan ana k kecil. Dia seorang laki-laki berusia
empatpuluh tahun dan biarpun sudah setengah
mabok, namun dia mengerti bahwa dia berhadapan
dengan seorang pelacur yang memiliki wajah
cukup cantik dan bentuk tubuh yang menggiurkan. "Hem, maaf, nona. Aku tidak ingin melacur
malam ini......" katanya akan tetapi dia tidak
menolak ketika wanita itu menuangkan arak dari
guci ke dalam cawan araknya.
Sui Su pura-pura marah. "Aih, jangan menghina,
tuan. Saya bukan pelacur! Saya memang suka

menghibur tamu yang kesepian dan yang sedang
menderita sedih, akan tetapi saya bukan pelacur
murahan!" Lai Kun te rsenyum sedikit dan minum araknya.
Bukan pelacur murahan te ntu pelacur mahalan,
pikirnya. Akan te tapi dia memang sedang je ngkel,
membutuhkan hiburan dan agaknya wanita ini
amat ramah sikapnya, menyenangkan kalau diajak
bercakap-cakap. "Duduklah, nona. Mungkin aku
membutuhkan teman bercakap-cakap malam ini."
Wanita itu duduk di bangku, dekat dengannya
dan melayaninya makan kue kering dan minum
arak. Dan memang benar dugaan Lai Kun, wanita
itu amat pandai bicara, pandai bercerita dan
pengetahuan umumnya juga banyak. Pandai
bercerita tentang peristiwa-peristiwa penting yang
te rjadi di kota Ji-goan.
Karena terpikat oleh gaya bicara Sui Su yang
ramah, Lai Kun mempergunakan kesempatan itu
untuk berse nang-senang. Dari kakek Coa Song, dia
menerima sekantung emas yang kelak harus
diserahkan kepada pendekar sakti Si Han Beng,
sebagai biaya hidup Cin Cin kalau menjadi murid
pendekar itu agar jangan memberatkan penanggungan keluarga Si Naga Sakti Sungai
Kuning. Akan te tapi kemurungan dan kemarahannya te rhadap Cin Cin membuat murid
He k-houw-pang ini lupa diri, bahkan dia agaknya
seperti sengaja hendak menghamburkan uang itu
untuk menumpahkan kemarahannya te rhadap Cin
Cin. 
Dan Sui Su memang seorang wanita yang
berpengalaman dan cerdik. Dari cara Lai Kun yang
sudah setengah mabok itu membayar harga
makanan dan minuman secara royal, iapun
gembira sekali dan tahu bahwa dugaannya benar.
Korbannya ini memang golongan "kakap", maka
iapun memperhebat usahanya untuk menjatuhkan
hati Lai-kun dan akhirnya ia berhasil membujuk
Lai Kun untuk mengantarnya pulang!
De ngan senang hati Lai Kun mengantarnya, dan
te rnyata bahwa te mpat tinggal Sui Su adalah
sebuah rumah pelesir yang cukup te rkenal di kota
itu, yaitu rumah pelesir Ang-hwa (Bunga Merah).
Karena sudah mabok arak dan mabok kecantikan
dan rayuan maut Sui Su, Lai Kun tidak
memperdulikan banyaknya tamu dan para wanita
muda yang cantik yang memenuhi ruangan tamu
yang luas itu. Juga dia acuh saja ketika seorang
wanita berusia limapuluh tahun yang bertubuh
gendut menyambutnya dengan ramah sekali.
Samar-samar dia mendengar bahwa Sui Su
memperkenalkan wanita itu sebagai Cia Ma, yang
diperkenalkan sebagai ibu angkatnya!
Tentu saja Cia Ma ini adalah sang mucikari,
pemilik dan pengurus rumah pelesir itu yang
te rsenyum-senyum melihat Sui Su mendapatkan
seorang korban. Ini berarti reje ki baginya, tentu
saja! Lai Kun, biarpun usianya sudah empatpuluh
tahun, pengalamannya dalam pergaulan dengan
wanita tidaklah terlalu banyak, maka mudah saja
dia jatuh oleh Sui Su yang pandai dan 
berpengalaman itu. Untuk beberapa jam lamanya,
dia lupa diri dan dapat mereguk kesenangan,
merasa terhibur dan lupa akan segala kemurungan
hatinya tadi. Namun, setelah semua itu lewat, dia
te ringat lagi kepada Cin Cin yang ditinggalkannya
di rumah penginapan, teringat betapa besok pagipagi anak itu te ntu akan menagih janji dan akan
marah-marah lagi. Maka, teringat akan ini, Lai Kun
kembali menjadi murung, bangkit dan duduk di
te pi pembaringan, tidak lagi menengok kepada Sui
Su yang baru saja melayaninya dan membuat dia
merasa senang dan te rhibur. Melihat ini, Sui Su
memandang penuh perhatian, ikut bangkit dan
merangkul dengan sikap manja.
"Lai-toako (kakak Lai), engkau kenapakah"
Mengapa engkau tiba-tiba saja menjadi murung"
Sejak engkau minum seorang diri di rumah makan,
aku sudah melihat engkau murung dan kelihatan
marah. Tadi engkau dapat melupakan semua
kemurunganmu, akan te tapi sekarang kembali
engkau murung. Toako yang baik, apakah yang
menyebabkan engkau murung" Ceritakan kepada
Sui Su, pasti aku akan dapat menghiburmu!"
Lai Kun menghela napas panjang. Teringat akan
tugasnya, teringat akan kerewelan Cin Cin, dia
merasa penasaran dan je ngkel sekali dan dia
memang memerlukan seseorang untuk menumpahkan semua rasa penasaran di hatinya.
Maka, dia lalu menceritakan semua itu kepada Sui
Su. Dianggapnya bahwa Sui Su adalah seorang
wanita yang baik sekali, yang amat mencintanya!
De mikianlah bodohnya pria kalau sudah berhadapan dengan wanita yang pandai mengambil

hatinya. Betapapun gagahnya seorang pria, sekali
berhadapan dengan wanita yang mampu menjatuhkan hatinya, dia akan berte kuk lutut dan
menyerah! Lai Kun tidak menyembunyikan sesuatu, mengharapkan nasihat dari wanita itu. Diceritakannya tentang He k-houw-pang yang dibasmi penjahat-penjahat lihai; tentang kematian
para pimpinan He k-houw pang, kemudian te ntang
tugasnya mengajak Cin Cin pergi ke Hong-cun dan
te ntang kerewelan Cin Cin yang membuat dia
pusing sekali. Setelah Lai Kun mengakhiri ceritanya, Sui Su
merangkulnya dan te rsenyum, akan tetapi suaranya te rdengar sungguh-sungguh ketika ia
bertanya, "Lai-toako, apakah anak perempuan itu
cantik" Dan berapa usianya?"
"Usianya baru lima tahun, akan te tapi ia
memang seorang anak yang cantik mungil, akan
tetapi keras hati dan keras kepala seperti setan!"
Lai Kun menjawab. "Bagus kalau ia cantik, akan te tapi sayang
usianya baru lima tahun. Toako, engkau tadi
berkata bahwa engkau hidup sebatangkara dan
tidak ingin kembali lagi ke Ta-bun-cung, dan
bahwa He k-houw-pang sudah dibubarkan. Tentu
engkau sudah tidak ingin lagi kembali ke sana,
bukan?" Lai Kun menggelengkan kepalanya. "Untuk apa
aku kembali ke sana" Sudah tidak ada apa-apanya
yang menarik kecuali kenangan pahit."

"Nah, kalau begitu, mengapa susah-susah
engkau hendak mengantar Cin Cin ke tempat jauh,
sedangkan anak itu rewel dan membuatmu
pusing" Kenapa tidak mempergunakan kesempatan yang tadinya menjengkelkan ini
berubah menjadi menguntungkan dan menyenangkan" Engkau akan te rbebas dari pada
kejengkelan, dan akan mendapatkan keuntungkan
besar." "Eh" Apa maksudmu, Sui Su?"
"Dengar baik-baik, toako. Ibu angkatku, Cia Ma,
tidak mempunyai anak kandung dan ia ingin sekali
mengangkat anak perempuan yang mungil. Biarpun ia s udah mempunyai beberapa orang anak
angkat, akan te tapi mereka sudah dewasa dan Cia
Ma merasa tidak senang. Ia ingin merawat dan
mendidik seorang anak angkat yang masih kecil.
Nah, kau serahkan Cin Cin itu kepada Cia Ma,
anak itu akan berada di tangan yang penuh kasih
sayang, akan dididik menjadi seorang wanita yang
pandai dengan segala pekerjaan wanita, dan kelak
akan memperoleh jodoh seorang pria yang baikbaik, kalau tidak bangsawan tinggi tentu hartawan
besar. Dan sebagai pengganti uang le lah, kalau
benar anak itu cantik jelita, engkau akan
menerima im balan sedikitnya seratus tail perak.!
Kalau lebih cantik dari pada yang kuduga,
mungkin lebih dari itu!"
"Ahhh......?" Lai Kun terbelalak dan kalau bukan
Sui Su yang bicara, dia te ntu marah sekali
mendengar usul untuk "menjual" Cin Cin itu. Akan
tetapi, dia sudah te rpengaruh ole h Sui Su yang

dianggapnya amat baik, maka usul itu menjadi
bahan pertimbangannya. "Tapi.....hal itu tak dapat kulakukan," akhirnya
dia berkata. "Kenapa, toako" Apakah usulku itu tidak amat
baik?" "Kalau kelak hal ini diketahui orang, tentu aku
dipersalahkan." "Mana mungkin" Engkau tidak menyia-nyiakan
Cin Cin, bahkan menyerahkannya ke tangan orang
yang benar-benar dapat merawat dan mendidiknya.
Mereka bahkan akan berterima kasih kepadamu,
toako." "Akan te tapi, menurut kakek Coa Song, Cin Cin
akan diserahkan kepada seorang pendekar sakti
untuk menjadi muridnya."
"Aihh, toako. Cin Cin seorang anak perempuan,
dan cantik pula menurut ceritamu. Betapa
sayangnya seorang wanita cantik kelak menjadi
tukang pukul, galak, menjadi pembunuh dan
tukang berkelahi! Sayang kulitnya yang putih
halus menjadi kasar dan keras. Tidakkah seorang
wanita le bih baik dan menyenangkan kalau
menjadi wanita sepenuhnya, penuh kelembutan,
kehangatan, penuh dengan kemesraan dan pandai
dalam hal kesenian dan kebudayaan, bukan
menjadi tukang berkelahi yang mengerikan?"
Lai Kun te rsenyum. Percuma bicara dengan
seorang wanita yang sama sekali tidak mengerti
silat, tentang perlunya seorang wanita menjadi
pendekar. Akan tetapi kini hatinya tertarik. Kalau

Cin Cin diserahkan kepada tangan yang baik, yang
akan mendidiknya dan merawatnya baik-baik
sehingga kelak Cin Cin menjadi seorang wanita
yang pandai dan berguna, berarti dia telah
melakukan usaha yang baik untuk pute ri suhengnya itu! Dan dia tidak perlu pusing
menghadapi kerewelan Cin Cin yang berkeras
minta pulang karena ingin mencari ibunya, tidak
mau diajak menghadap Huang-ho
Sin-liong. Ditambah pula dia mendapat seratus tail perak
yang dapat dia pergunakan sebagai modal kerja
atau berdagang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN