NAGA BERACUN JILID 04
Coa hujin (Nyonya Coa)......! Dan engkau kongcu
(tuan muda)! Ah, kalian masih selamat"
Syukur kepada Thian kalian masih selamat..."
dan orang itupun mengusap air matanya yang
mengalir turun. "Paman, kenapa rumah ini sekarang kosong"
Ceritakan semua akibat dari penyerbuan para
penjahat itu! Cepat ceritakan!" Lan Ci tidak sabar
lagi. Rumah itu nampak kosong dan sepi, bahkan
perabot-perabot rumahpun banyak yang hilang.
Baru beberapa hari saja ia tinggal di situ dan
sekarang semua telah berubah.
"Hujin......suamimu telah.....gugur..."
"Aku sudah tahu. Ceritakan siapa lagi yang
gugur dan bagaimana akhirnya dengan serbuan
para penjahat itu?"
"Tigapuluh le bih anggota He k-houw-pang te was,
te rmasuk.....kongcu Coa Siang Lee dan juga
pangcu (ketua) Kam Seng Hin. Juga lo-cian-pwe
Coa Song....." "Alh! Kong-kong juga....?" Lan Ci berseru kaget
karena ia tidak melihat kakek itu ikut berkelahi
melawan penjahat. "Lo-cianpwe meninggal dunia karena duka."
"Ah, dimana isteri pangcu dan puteranya?"
"Sungguh menyedihkan sekali, hujin. Isteri
pangcu dilarikan penjahat...!"
"Dan bagaimana dengan Cin Cin?" Thian Ki yang
sejak tadi mendengarkan dengan sedih, bertanya.
"Di mana Cin Cin?"
"Sebelum meninggal dunia, lo-cianpwe Coa Song
memesan agar anak itu diajak ke dusun Hong-san,
diserahkan kepada Huang-ho Sin liong Si Han
Beng untuk dididik. Sekarang te lah berangkat dua
hari yang lalu. Dan lo-cian-pwe Coa Song juga
membubarkan Hek-houw-pang. Semua murid telah
meninggalkan dusun ini karena takut kalau-kalau
para penjahat yang lihai itu datang kembali.
Perabot rumah ini banyak dijual untuk biaya
pemakaman dan semua harta sesuai dengan pesan
lo-cian-pwe Coa Song, telah dibagi-bagi di antara
para anggota." "Ahhhh.....!" Lan Ci merasa jantungnya seperti
ditusuk. Perih sekali rasanya dan sungguh aneh, ia
te ringat pada pendekar tinggi besar yang te lah
menolongnya dan baru sekarang ia te ringat bahwa
ia belum mengenal penolongnya itu! Betapa sama
benar penderitaan antara ia dan penolongnya itu.
Penolongnya kehilangan isteri dan keluarganya,
hanya tinggal hidup berdua dengan pute rinya,
sedangkan ia juga kehilangan suami dan keluarga
suaminya, dan iapun hidup berdua dengan Thian
Ki "Thian Ki......!" Ia merangkul putranya, dan ia
te ringat akan keadaan puteranya. Susah payah ia
dan mendiang suaminya mendidik Thian Ki
menjadi seorang anak yang tidak mengenal ilmu
silat, tidak mengenal kekerasan. Akan te tapi
te rnyata putera mereka itu menjadi Tok-tong, dan
biarpun tidak disengaja, puteranya itu telah
membunuh tiga orang jagoan
lihai dengan tubuhnya yang beracun! "I bu, kenapa te rjadi hal ini" Kenapa ayah dan
para anggota He k-houw-pang dibunuhi orang"
Siapa pembunuh ayah" Dia jahat sekali dan
sepatutnya dia dihukum!"
Mendengar ucapan ini, Lan Ci mencium pipi
pute ranya tanpa menjawab, bahkan ia menoleh
kepada pelayan itu. "Paman, di mana suamiku
dimakamkan" Juga di mana kong-kong dimakamkan?" "Me reka semua dimakamkan di tanah kuburan
luar dusun ini, dan sudah diberi tanda papan
nama di depan makam-makam yang banyak itu.
Mudah untuk mencarinya. Mari kuantarkan..........."
"Tidak usah, paman. Katakan di sebelah mana
tanah kuburan itu berada?" Pelayan itu menunjuk
ke utara. "Di sebelah utara dusun, dekat pintu
gerbang utara." "Terima kasih, paman. Kami hendak bersembahyang di sana." Lan Ci lalu bangkit dan
bertanya lagi. "Apakah pakaian kami di kamar
sana itu masih ada paman?"
"Masih, nyonya. Kami tidak berani mengganggu
dan semua masih lengkap."
Lan Ci memasuki kamar di rumah itu, kamar
yang tadinya ia pakai dengan suaminya. Melihat
pembaringan itu, kursi- kursi itu, air matanya
bercucuran, rasanya suaminya masih berada di
situ, rebah di pembaringan itu, duduk di kursi itu.
Melihat ibunya menangis, Thian Ki yang baru
berusia lima tahun itu agaknya mengerti dan dia
mendekati ibunya, merangkul pinggang ibunya.
"I bu, ayah sudah tidak ada. Untuk apa ditangisi
lagi?" "Thian Ki.....!" Ibunya merangkul dan tangisnya
semakin keras, akan tetapi tak lama kemudian ia
mampu menekan perasaannya. Ia memilih pakaiannya lalu berganti pakaian, menggulung
jubah milik penolongnya dan menjadikan satu
dengan pakaiannya yang dibuntal kain kuning.
Pakaian Thian Ki juga dibuntal menjadi buntalan
lain untuk dibawa anak itu sendiri. Kemudian
merekapun keluar dan menuju ke tanah kuburan.
Dari pelayan itu, Lan Ci mendapatkan kelebihan
sisa hio (dupa biting) untuk keperluan sembahyang.
Tanah kuburan itu sunyi dan menyeramkan
walaupun hari telah menjelang siang. Betapa tidak
menyeramkan melihat tanah kuburan yang penuh
dengan kuburan baru sebanyak itu" Biarpun Lan
Ci seorang wanita yang gemblengan, bahkan ia
pute ri seorang datuk sesat yang keras hati, namun
sejak menjadi istri Siang Lee dan hidup sebagai
petani yang te nang dan te nteram, perasaannya
peka dan kini ia tidak dapat menahan air matanya
yang te rus bercucuran. Melihat deretan makam
yang amat banyak itu, hatinya terasa sedih bukan
main. Akhirnya ia dapat menemukan makam
suaminya yang mengapit makam kakek Coa Song,
sedangkan di sebelah lain adalah makam Kam
Seng Hin, ketua Hek-houw-pang. Melihat makam
suaminya, Lan Ci membayangkan segala kebaikan
suaminya dan kedua lututnya menjadi le mas. Ia
menjatuhkan diri berlutut di depan makam itu,
memeluk gundukan tanah sambil menangis menyedihkan sekali sampai sesenggukan. Katakata yang tidak je las keluar dari mulutnya,
bercampur isak tangisnya.
Thian Ki juga menjatuhkan diri berlutut di
samping ibunya. Kadang dia menoleh memandang
wajah ibunya yang ditutupi kedua tangan, lalu
menoleh memandang gundukan tanah yang masih
baru. Wajah ibunya yang basah air mata itu kini
menjadi kotor terkena tanah, membuat wajah itu
nampak menyedihkan sekali. Thian Ki mengerutkan alisnya dan tidak berani bicara. Dia
dapat merasakan betapa sedihnya hati ibunya, dan
dia merasa kasihan sekali kepada ibunya. Akan
tetapi tetap saja dia berpendapat bahwa tidak ada
gunanya menangisi kematian ayahnya. Ditangisi
bagaimanapun ju ga, ayahnya tidak akan dapat
bangun kembali. Setelah agak lama dia hanya
membiarkan saja ibunya menangis dan berkeluh
kesah, merintih-rintih dengan suara yang tidak
jelas apa maknanya, akhirnya Thian Ki menyentuh
le ngan ibunya. "I bu, apakah lilin dan hio ini tidak dinyalakan
dan dibakar?" Mendengar pertanyaan pute ranya itu, barulah
Lan Ci sadar bahwa ia te rseret kedukaan dan
iapun menoleh kepada pute ranya, menyusut air
matanya dan mencoba untuk te rse nyum, senyum
yang bahkan nampak amat mengharukan dan
sedih. "Kau nyalakan lilinnya dan pasang di depan
makam ayahmu dan kakek buyutmu, Thian Ki. Ibu
yang akan membakar hio-nya."
Ibu dan anak itu lalu bersembahyang di depan
makam Coa Siang Lee dan makam kakek Coa
Song, kemudian keduanya duduk di depan makam
Coa Siang Lee sambil termenung.
Hidup
dikuasai pikiran dan suka-duka merupakan permainan pikiran. Jarang sekali
pikiran dalam keadaan hening tidak te rpengaruh
suka ataupun duka. Pikiran selalu mengejar
kesukaan, menjauhi kedukaan. Namun, suka-duka
merupakan dua permukaan dari mata uang yang
sama, tak terpis ahkan. Dimana ada suka di sana
pasti ada duka, seperti terang dan gelap, siang dan
malam, merupakan pasangan yang membuat
kehidupan pikiran menjadi lengkap. Pikiran seperti
air samudra, tak pernah diam, selalu berubah.
Oleh karena itu, tidak ada keadaan pikiran yang
abadi. Sukapun hanya sementara, demikian pula
duka, walaupun biasanya, duka le bih panjang
usianya dibandingkan suka. Bahkan suka biasanya berekor duka, walaupun duka belum
te ntu disambung suka. Apa yang hari ini mendatangkan kesukaan, besok sudah berubah
mendatangkan kedukaan. Keadaannya tidaklah
berubah. Keadaan apa adanya merupakan kenyataan yang tidak berubah. Yang berubah
adalah keadaan pikiran kita sehingga karena dasar
pemikirannya berubah, maka penilaiannya juga
berubah-ubah. Yang hari ini menyenangkan pikiran, besok dapat berubah menjadi menyusahkan. Kalau nafsu yang memperdaya hati
akal pikiran sudah mencengkeram kita, maka kita
selalu tenggelam, baik dalam suka maupun dalam
duka. Dikala suka, kita dapat menjadi mabok
kesenangan dan lupa diri, sebaliknya, di waktu
duka kitapun menjadi mabok kedukaan dan
merana. Keduanya merupakan keadaan di mana
kita dipermainkan ole h nafsu melalui hati akal
pikiran kita. Bagaimana kita dapat mencari jalan keluar dari
lingkaran setan ini" Bagaimana kita dapat te rbebas
dari nafsu hati dan akal pikiran" Siapa yang
bertanya ini" Siapa yang ingin bebas dari nafsu
yang menguasai hati dan akal pikiran" Jelas
bahwa yang bertanya adalah pikiran juga, pikiran
yang sama yang bergelimang nafsu. Melihat bahwa
nafsu mendatangkan ketidakbahagiaan,
maka pikiran lalu ingin agar bebas dari nafsu.
Bagaimana mungkin nafsu dapat bebas dari
dirinya sendiri" Semua usaha yang dilakukan
nafsu tentu mengandung pamrih menyenangkan
diri sendiri, membebaskan diri dari susah. Dengan
usaha ini, berarti kita terjatuh ke dalam lingkaran
setan yang sama, atau bahkan lebih kuat!
Kiranya tidak ada jalan lain bagi kita kecuali
MENYERAH! Menyerah kepada Tuhan, kepada
Sang Maha Pencipta, Maha kuasa dan Maha Kasih!
Kita ini, berikut hati dan akal pikiran, berikut
nafsu-nafsu kita, kita ini seluruhnya diciptakan
oleh kekuasaan Tuhan! Maka, tidak ada yang lebih
benar dari pada menyerahkan segala-galanya
kepada yang mengadakan kita, yang menciptakan
kita. Di waktu mengalami suka, kita selalu ingat
dan bersyukur kepadaN ya sehingga tidak mabok.
Di waktu mengalami duka, kita selalu ingat dan
menyerah padaN ya sehingga tidak tenggelam.
Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang mampu
meluruskan yang bengkok dalam batin kita,
membersihkan yang kotor. Setiap kehendak Tuhan
jadilah! Bukan pikiran yang ingin menyerah karena
kalau demikian te ntu ada pamrih yang te rsembunyi di balik penyerahan itu. Nafsu selalu
berpamrih untuk memperole h keuntungan bagi diri
sendiri. Tidak ada si aku atau pikiran yang ingin
menyerah. Yang ada hanya penyerahan itu saja,
titik. Seolah-olah mati di depan Tuhan. Nah kalau
nafsu hati dan akal pikiran tidak bekerja lagi,
maka segalanya terserah kepada Tuhan. Tuhan
Maha Bijaksana, Tuhan Maha Kas ih, dan hanya
kekuasaa Nya sajalah yang akan mampu
mengadakan atau menjadikan yang tidak mungkin
bagi pikiran. "I bu, kita sekarang akan kemana?" tiba-tiba
Thian Ki berkata, suaranya yang lirih memecah
kesunyian dan menarik kembali semangat ibunya
yang melayang-layang. Lan Ci memandang anaknya. Thian Ki mendekati ibunya dan menggunakan tangannya
untuk membersihkan tanah dari wajah ibunya.
"Ke mana lagi kalau tidak pulang! Kita pulang ke
Mo-kim-cung, Thian Ki!"
Anak itu mengerutkan alisnya. "Akan tetapi,
rumah sudah tidak ada ayah.! Aku tidak suka
kembali ke sana, akan selalu te ringat kepada
ayah." Lan Ci menarik napas panjang. Ia juga merasa
ragu untuk tinggal di dusunnya itu, dekat dengan
ibunya! Bersusah-payah ia menjaga agar anak
tunggalnya tidak mengenal kekerasan, akan tetapi
setelah ibunya tiba dan menjadi nikouw di kuil
Thian-ho-tang, anaknya malah dijadikan Tok-tong
oleh ibunya! Kalau ia mengajak Thian Ki kembali
ke sana, tidak urung ibunya te ntu akan berusaha
keras agar Thian Ki mempelajari ilmu-ilmu yang
keji dan anaknya ini kelak akan menjadi seorang
manusia racun yang amat berbahaya bagi kehidupan orang lain. "Thian Ki, malapetaka yang menimpa kita ini
mengingatkan aku bahwa mungkin sekali aku
telah keliru mendidikmu. Sejak kecil, ayahmu dan
aku yang pandai ilmu silat selalu berusaha agar
engkau tidak mempelajari ilmu silat. Bahkan kami
bertahun-tahun hidup bagai petani yang penuh
damai. Siapa tahu, di sini kita bertemu malapetaka! Andaikata ayahmu dan aku lebih
te rlatih, belum te ntu ayahmu te was. Dan engkau
sendiri.....ah, engkau bahkan telah menewaskan
tiga orang tokoh persilatan yang lihai."
"I bu, sebetulnya apakah yang te lah te rjadi" Aku
tidak bermaksud membunuh orang. Aku hanya
ingin menolongmu, aku hanya menggigit, dan yang
lain itu hanya mencengkeram aku, kenapa mereka
semua roboh dan te was" Ibu pernah mengatakan
kepadaku bahwa aku sakit, tubuhku beracun dan
kalau aku mendekati wanita, ia akan mati. Apakah
itu sebabnya maka tiga orang itu tewas, ibu. Dan
kalau benar begitu, mengapa tubuhku beracun?"
Lan Ci merangkul puteranya. "Thian Ki, kelak
engkau akan mengerti sendiri. Aku harus mencarikan obat untukmu, untuk melenyapkan
racun itu dari tubuhmu."
"I bu, di dunia ini te rdapat begitu banyak orang
jahat. Mereka telah membunuh ayah, membunuh
para paman He k-houw-pang, bahkan hampir
membunuh ibu dan aku. Mereka tidak dapat
membunuhku karena tubuhku beracun. Kalau ibu
hendak melenyapkan racun dari tubuhku, bukankah kalau a da orang jahat, aku akan mudah
mereka bunuh?" "Ha, tepat sekali ucapanmu itu, Thian Ki!" Tibatiba Pangeran Cian Bu Ong muncul bersama
pute rinya.
"Thian Ki......!" Kui Eng berseru gembira dan
segera menghampiri Thian Ki dan memegang
tangan anak itu. Melihat munculnya penolongnya, Lan Ci cepat
memberi hormat. "Mengapa tai-hiap mengatakan
bahwa ucapan Thian Ki te pat" Tidak mungkin dia
dibiarkan begitu saja, menjadi Tok-tong dan
membahayakan nyawa setiap orang yang berdekatan dengannya. Bahkan sekarang juga,
nyawa puterimu dapat terancam bahaya, tai-hiap."
Mendengar ucapan ibunya, Thian Ki terkejut dan
cepat dia melepaskan tangannya yang saling
gandeng dengan tangan Kui Eng. Akan te tapi Kui
Eng memegang lagi tangan Thian Ki.
"Kui Eng, lepaskan tanganku. Tubuhku beracun
dan engkau dapat celaka keracunan!" kata Thian
Ki, kembali mele paskan tangannya.
"Aah, engkau te ntu tidak akan mencelakai aku,
te ntu aku tidak akan keracunan. Aku tidak takut
berdekatan denganmu, Thian Ki."
Pangeran Cian Bu Ong tersenyum, walaupun
senyumnya masih nampak pahit karena hatinya
masih tertekan kedukaan. "Anakku benar, Lan Ci.
Justru kekuatan dahsyat dalam diri Thian Ki harus
dipelihara, dirawat dan dipupuk. Kalau dia dapat
menguasainya, tentu dia tidak akan mencelakai
orang tanpa disengaja. Aku ingin mengajarkan dia
untuk menguasai kekuatan dahsyat itu dan
mengajarkan semua ilmuku, bersama Kui Eng."
Lan Ci cepat memberi hormat. "Harap Thai-hiap
memaafkan saya. Sesungguhnya, sejak kecil Thian
Ki tidak pernah kami ajari ilmu silat dan tidak
memperkenalkan dia dengan kehidupan dunia
persilatan." "Sungguh aneh sekali. Engkau dan suamimu
memiliki ilmu silat yang cukup baik. Kenapa tidak
diwaris kan kepada anak tunggal kalian?"
"Kami ingin agar anak kami hidup dalam
keadaan aman te nteram dan penuh damai, jauh
dari kekerasan dan permusuhan seperti yang
dialami para ahli silat," kata Lan Ci dengan tegas.
"Aih, nyonya muda. Alangkah lucunya omonganmu itu. Engkau tidak mengajarkan ilmu
silat kepada pute ramu, ingin agar dia hidup dalam
keadaan tenang tenteram. Akan tetapi apa yang
telah terjadi" Masih kecil saja dia tertimpa
malapetaka! Ayahnya tewas, ibunya hampir celaka,
dan dia sendiri, kalau tidak memiliki kekuatan
beracun itu tentu sudah tewas pula!"
"Kalau tidak ada tai-hiap yang menolong,
memang kami ibu dan anak tentu telah tewas,"
kata Lan Ci, ia bergidik membayangkan bahaya
mengerikan yang mengancam dirinya ketika itu.
"Sim Lan Ci, engkau seorang ahli silat, kenapa
pendirianmu seperti itu" Karena mungkin engkau
dahulu hidup penuh kekerasan dan permusuhan,
maka engkau hendak menjauhkan pute ramu dari
ilmu silat" Ingatlah, seorang ahli silat setidaknya
dapat membela diri, bahkan dapat mempergunakan ilmunya untuk membela yang
le mah, untuk melakukan perbuatan baik sesuai
dengan jiwa seorang pendekar dan pahlawan.
Kalaupun dia tewas dalam pertempuran, maka dia
mati seperti orang gagah. Sebaliknya, seorang
le mah akan selalu ditindas dan ditekan tanpa
mampu membela diri sehingga kalau sampai dia
mati, maka dia akan mati konyol! Matinya seorang
pendekar adalah matinya seekor harimau, sebaliknya matinya seorang yang le mah seperti
matinya seekor babi. Aku ingin mengambil Thian
Ki sebagai murid, kuharap engkau tidak menolak,
kalau engkau tidak ingin anakmu kelak membunuh lebih banyak orang lagi tanpa sengaja."
"Tapi.... tapi .... saya akan mencarikan obat
penawar racun dalam tubuhnya Lan Ci mencoba
untuk membantah dengan lemah.
"Nyonya muda, dari gerakanmu dan pukulanmu,
aku tahu bahwa engkau seorang ahli pukulan
beracun. Aku te lah memeriksa keadaan pute ramu
dan aku tahu bahwa tidak ada obat apapun di
dunia ini yang akan mampu membersihkan racun
dari tubuh pute ramu, kecuali kalau dia menularkan atau memindahkan racun itu kepada
banyak wanita yang akan menjadi korban. Seluruh
darahnya te lah mengandung racun, dari ujung
rambut sampai ke jari kakinya. Satu-satunya cara
untuk menghindarkan dia menjadi pembunuh
besar kepada semua orang yang dekat dengannya,
hanya dengan memberinya ilmu agar dia dapat
menguasai kekuatan itu dan hanya menggunakan
kekuatan itu kalau diperlukan saja."
Sejak tadi Thian Ki mendengarkan percakapan
antara ibunya dan laki-laki gagah itu. Dia masih
kecil, akan tetapi dia memang cerdas dan dapat
mempertimbangkan apa yang dibicarakan tadi.
"I bu, aku tidak mau menjadi pembunuh. Aku
harus dapat menguasai racun ini!" lalu dia maju
dan menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran
Cian Bu Ong sambil berkata,"Suhu, teecu (murid)
akan mentaati semua perintah suhu!"
Pangeran Cian Bu Ong tersenyum, "Bagus, Thian
Ki. Mulai sekarang engkau menjadi muridku,
menjadi suheng dari Kui Eng. Kalian berdua akan
kugembleng menjadi orang-orang yang berguna
kelak." Lalu pangeran itu menoleh kepada Lan Ci.
"Kuharap sekali engkau sekarang tidak akan
berkeberatan lagi, Lan Ci."
Sebetulnya, Lan Ci merasa berhutang budi
kepada penolongnya itu, yang bukan saja telah
menyelamatkannya dari bahaya maut, menyelamatkan kehormatannya, akan tetapi juga
yang selalu bersikap ramah dan baik, bahkan
akrab sekali dengan sebutan yang kadang-kadang
menyebut namanya begitu saja. Diapun tahu
bahwa penolongnya ini seorang sakti, dan bahwa
pute ranya te ntu akan menjadi seorang yang
berilmu tinggi kalau menjadi muridnya. Akan
tetapi iapun tidak ingin berpis ah dari puteranya.
"Tentu saja saya merasa senang dan berte rima
kasih kalau tai-hiap sudi mendidik Thian Ki. Akan
tetapi dia anak tunggal saya, dan saya hanya
mempunyai dia seorang. Bagaimana mungkin saya
dapat berpisah darinya, Tai-hiap?"
"Kenapa harus berpisah" Sim Lan Ci, kau tidak
perlu berpisah dengan anakmu. Engkau ikut
bersama kami, bahkan engkau dapat ikut membantu aku dan mendidik anakmu."
Mendengar penawaran ini, di dalam hatinya Lan
Ci merasa girang sekali. Kalau ia tidak berpisah
dengan pute ranya, maka tidak ada hal lain lagi
yang perlu dirisaukan. Hanya saja ia seorang
wanita, bahkan janda pula. Dan penolongnya
seorang pria, dan duda! Akan janggal sekali
nampaknya kalau ia mengikuti penolongnya itu,
walaupun penolongnya sudah menjadi
guru pute ranya. Dan ia tidak ingin berpisah dari
pute ranya. "Tapi .... tapi...." Ia meragu, menerima merasa
sungkan dan malu, menolak juga tidak berani.
"I bu," kata Thian Ki dengan suara Iantang.
"Kenapa ibu menolak" Suhu bermaksud baik
sekali. Aku dapat mempelajari ilmu tanpa harus
berpisah dari ibu." "Aih, engkau ini enak saja bicara. Kita hanya
akan menjadi beban dan akan memberatkan
gurumu saja!" kata Lan Ci sambil melirik
pute ranya dengan sikap menegur.
"Sama sekali tidak, bibi dan Thian Ki, eh ...
suheng! Ayahku seorang yang kaya raya, kalau
hanya ditambah dengan kalian berdua, sama sekali
tidak berat!" Tiba-tiba Kui Eng berkata.
"Nah, s umoi Kui Eng sudah berkata begitu, ibu,
walaupun aku tidak mengerti bagaimana suhu
dapat menjadi seorang yang kaya raya. Padahal
keluarga suhu telah dihancurkan orang, hartanya
dirampok, tidak banyak bedanya dengan kita."
"Suheng, engkau tahu apa" Ayahku adalah
seorang pangeran, di mana-mana mempunyai
rumah gedung!" kata pula Kui Eng.
"Hushh, Kui Eng. Jangan membual kau!"
ayahnya menegur. Akan te tapi ucapan anak perempuan itu amat
mengejutkan hati Lan Ci. Ia terbelalak melihat
wajah penolongnya, raut wajah yang tampan gagah
penuh wibawa, memang pantas menjadi wajah
seorang pangeran! "Paduka.....paduka seorang pangeran" Bolehkah
saya mengetahui siapa nama paduka?"
Pangeran Cian Bun Ong menghela napas
panjang. Mereka masih duduk di depan makam, di
atas batu-batu yang banyak terdapat di tempat itu.
Keadaan di keliling itu s unyi.
"Me mang sudah sepantasnya kalau kita saling
mengenal lebih dekat lagi, karena puteramu telah
menjadi muridku, akupun hanya tahu bahwa
engkau bernama Sim Lan Ci, keluarga dari
pimpinan He k-houw-pang. Akan te tapi melihat
gerakan ilmu silatmu, jelas engkau bukan murid
He k-houw-pang." "Yang keluarga Hek-houw-pang adalah mendiang
suami saya. Dia adalah keturunan para pemimpin
atau ketua He k-houw-pang, yaitu keluarga Coa."
"Oh, begitukah" Pantas ilmu silatmu berbeda."
Pangeran itu lalu memandang kepada Thian Ki dan
Kui Eng. "Thian Ki, kauajak sumoimu pergi
bermain-main ke ujung tanah kuburan di sana.
Jangan te rlalu jauh. Aku ingin bicara dengan
ibumu dan ana k-anak tidak boleh ikut mendengarkan." "Baik, suhu. Mari, sumoi!" kata Thian Ki sambil
menggandeng tangan Kui Eng. Mereka pergi
meninggalkan dua orang tua itu dan memetik
bunga liar yang bertumbuhan di sudut tanah
kuburan. "Nah, sekarang le bih leluasa kita bicara. Tidak
semua hal boleh didengar oleh anak-anak kita."
Lan Ci mengangguk, membenarkan.
"Ilmu silatmu selain berbeda, juga mengandung
hawa pukulan beracun. Siapakah
gurumu?" pangeran itu kembali bertanya. Demikian pandainya dia mengatur percakapan sehingga Lan
Ci tidak sadar bahwa pertanyaan tentang nama
pangeran itu sama sekali belum te rjawab, bahkan
kini orang itu yang menguras keterangan darinya.
"Guru saya adalah ibu kandung saya sendiri." Ia
te rpaksa mengaku. "Ah, kiranya begitu" Siapakah nama ibumu"
Tentu ia seorang tokoh dunia persilatan yang amat
te rkenal." Sungguh tidak enak rasanya memperkenalkan
ibunya, seorang datuk sesat yang namanya
te rsohor. Akan tetapi ia tidak dapat mengelak lagi.
Biarlah penolongnya ini tahu segala tentang
dirinya, te ntang Thian Ki yang sudah menjadi
muridnya. "Dahulu ibu bernama Phang Bi Cu,
berjuluk Ban-tok Mo-li akan tetapi sekarang telah
menjadi seorang Ni-kouw."
Benar seperti dugaannya, penolongnya itu
nampak te rkejut sekali. Nama ibunya te rlalu
te rsohor untuk tidak dikenal orang. "Ban-tok Moli" Ibumu Ban tok Mo-li" Aahh, sekarang aku
mengerti mengapa anakmu menjadi Tok-tong
Ibumu seorang wanita yang amat lihai dan nama
besarnya sudah lama sekali kudengar!" Pangeran
itu memandang kagum, lalu cepat menyambung
dengan pertanyaan, " Dan ayahmu?"
"Ayah telah tiada sejak saya kecil sekali. Saya
tidak ingat lagi. Paduka belum menceritakan siapa
sebenarnya paduka." "Me mang aku seorang bekas pangeran. N amaku
Cian Bu Ong Lan Ci melompat berdiri dan wajahnya berubah
pucat, matanya te rbelalak memandang kepada
laki-laki itu dan kedua tangannya dikepal.
"Paduka Pangeran Cian Bu Ong" Jadi.........paduka ini yang mengirim lima orang
penjahat yang telah membasmi Hek-houw-pang
dan membunuh suami saya?"
"Duduklah, nyonya, duduk dan te nanglah agar
anak-anak kita tidak menjadi kaget " katanya dan
sungguh aneh, suara le mbut dan berwibawa itu
membuat Lan Ci menjadi tenang kembali dan
iapun kini sudah duduk lagi, walaupun pandang
matanya penuh selidik dan mengandung kemarahan. "Siapakah yang melempar fitnah itu dan
mengatakan bahwa aku yang membasmi He khouw-pang?"
"Bukan fitnah! Lima orang penjahat itu sendiri
yang mengaku. Ketika mereka muncul di dusun
Ta-bun-cung, mereka mencari ketua atau pimpinan He k-houw-pang untuk dipanggil menghadap Pangeran Cian Bu Ong. Padahal
Pangeran Cian Bu Ong adalah seorang pemberontak yang menjadi buruan pemerintah,
maka te ntu saja Hek-houw-pang tidak mau,
bahkan hendak menangkap lima orang itu
sehingga te rjadi pertempuran. Jadi paduka ini
seorang pemberontak yang telah mengutus pembunuh-pembunuh itu untuk membasmi Hekhouw-pang?" Pangeran itu menghela napas panjang. "Nanti
dulu, nyonya. Beginilah nasib orang yang kalah.
De ngarkan dulu keteranganku, baru nanti engkau
boleh menilai. Tidak kusangkal bahwa aku te lah
melakukan perlawanan terhadap pemerintah baru.
Akan te tapi coba pertimbangkan, siapakah sesungguhnya yang memberontak" Aku adalah
seorang pangeran dari Kerajaan Sui, saudara dari
mendiang Kaisar Yang Ti. Pemberontakan yang
dipimpin Li Si Bin dan ayahnya berhasil menjatuhkan Kerajaan Sui.
Sebagai seorang pangeran, aku berjuang melawan pemberontak
yang mendirikan krrajaan baru. Nah, siapakah
yang pemberontak" Justeru aku menentang
pemberontak! Dan kami kalah. Aku menjadi
pelarian bersama keluargaku. Kalau orang sudah
kalah, selalu menjadi bulan-bulanan
fitnah, dijadikan keranjang sampah untuk menampung
semua kekotoran dan kesalahan pihak lain.
Tidaklah mengherankan kalau lima orang penjahat
itu mempergunakan namaku, agar
pasukan keamanan mencariku, bukan mereka. Engkau
melihat sendiri bagaimana sikapku ketika menolongmu. Aku membunuh anak buah penjahat. Bahkan keluargaku juga te rbasmi oleh
pasukan keamanan. Nyonya muda Lan Ci, apakah
engkau sekarang masih tega untuk menuduh aku
menjadi pembasmi keluarga Hek-houw-pang" Aku
sudah cukup menderita, maka kalau engkau
sekarang menuduhku jahat, maka penderitaanku
le ngkaplah, bahkan berlebihan, kalau engkau
menganggap a ku yang menyuruh bunuh suamimu,
nah, di depan makam suamimu ini, engkau boleh
membalas dendam, boleh membunuhku dan aku
tidak akan melawan. Aku hanya titip puteriku, Kui
Eng....... " Luluh semua kekerasan di hati Lan Ci mendengar keterangan itu. Semua keterangan itu
masuk akal. Pangeran ini bahkan seorang pahlawan yang gigih menentang pemberontak yang
menjatuhkan Kerajaan Sui. Kalau kini dia dicap
pemberontak, hal itu hanya karena
Kerajaan Sui telah jatuh. Dengan demikian
memang sukar mengatakan siapa yang memberontak kepada siapa! Apa lagi melihat wajah
yang gagah itu menjadi muram oleh kedukaan, Lan
Ci teringat akan nasibnya sendiri dan ia menunduk
lalu berkata lirih, "Maafkan saya, pangeran. Saya
percaya kepada paduka."
Wajah yang muram itu menjadi cerah kembali,
dan senyum kegembiraan te rsembul di wajah
Pangeran Cian Bu Ong. "Syukurlah, Lan Ci.
Syukurlah masih ada orang yang percaya kepadaku. Mari kita cepat pergi dari sini. Kalau
sampai ketahuan pasukan keamanan, te ntu kita
akan te rancam bahaya. Kita harus menyelamatkan
Kui Eng dan Thian Ki."
"Ke mana kita akan pergi, pangeran?"
"Di perbatasan utara, di sebuah lereng bukit ada
sebuah dusun besar orang-orong suku bangsa Hui.
Di sana aku mempunyai sebuah rumah. Dan di
sana kita akan aman dari jangkauan pengejaran
pasukan pemerintah Tang."
Mereka memanggil dua orang yang sedang
bermain-main itu dan berangkatlah mereka meninggalkan tanah kuburan, menuju ke utara.
Pangeran Cian Bu Ong menjadi penunjuk jalan dan
dia mengambil jalan melalui bukit dan le mbah,
melalui hutan-hutan yang sunyi. Dan di sepanjang
perjalanan Sim Lan Ci menjadi semakin kagum
dan te rtarik karena sikap pangeran itu sungguh
le mbut, halus dan sopan. Iapun diam-diam
menyerahkan nasibnya dan pute ranya ke tangan
pria yang berwibawa itu. o-ooo0dw0ooo-o "Lepaskan aku......atau bunuh saja aku. Biarkan
aku mati menyusul suamiku......!" Wanita itu
meronta-ronta dalam pondongan Lie Koan Tek
ketika pengaruh totokan membuatnya mampu
bergerak kembali. Mereka tiba di dalam sebuah
hutan. Lie Koan Tek melepaskan pondongannya dan
wanita itu menjatuhkan diri berlutut sambil
menangis. Wanita itu adalah Poa Liu Hwa, isteri
Kam Seng Hin ketua He k-houw-pang. Ketika lima
orang penjahat lihai menyerbu Hek-houw-pang, ia
membantu suaminya. Melihat suaminya roboh dan
te was, nyonya muda ini mengamuk dengan
pedangnya, nekat menyerang penjahat lihai. Akan
tetapi tiba-tiba ia te rkulai lemas, te rtotok dan
dibawa lari oleh seorang di antara lima penjahat
itu. Kini ia berada di tangan seorang penjahat lihai
dan melawanpun tidak ada gunanya. Teringat akan
kematian suaminya, te ringat pula akan nasib
pute ranya yang entah bagaimana, Poa Liu Hwa
hanya dapat menangis sedih.
"Tenanglah, nyonya, dan harap jangan salah
sangka. Aku sengaja melarikanmu dengan dua
maksud........" "Huh, penjahat keji macam engkau, maksudmu
te ntu keji dan jahat! Lebih baik bunuh saja aku!"
Liu Hwa berseru marah. "Diam dulu dan dengarkan keteranganku" Lie
Koan Tek membentak marah. Agaknya. Liu Hwa
dapat menangkap kekerasan dan ketegasan dalam
suara itu dan iapun menurunkan kedua tangan
yang tadi menutupi mukanya, memandang dengan
mata basah, akan tetapi dengan sinar kebencian
seolah hendak membakar. Melihat wanita itu
sudah agak te nang dan mau menghentikan
tangisnya, Lie Koan Tek menghela napas panjang.
"Tidak ada yang le bih menyakitkan hati dari
pada tuduhan orang bahwa aku keji, jahat dan
sudah menjadi seorang penjahat. Ketahuilah
bahwa aku bernama Lie Koan Tek, aku seorang
murid Siauw-lim-pai yang belum pernah melakukan kejahatan."
Liu Hwa te rkejut, juga heran. Tentu saja ia
pernah mendengar nama Lie Koan Tek, murid
Siauw-lim-pai yang gagah-perkasa, yang merupakan sis a para tokoh Siauw-lim-pai yang
berhasil lolos ketika kuil Siauw-lim-si dibakar oleh
pasukan pemerintah Kerajaan Sui, beberapa tahun
yang lalu. Semua orang gagah di dunia persilatan
memuji dan kagum kepada Lie Koan Tek dan lima
orang saudaranya. "Tapi........tapi kenapa engkau ikut menyerbu
He k-houw-pang dan menawanku?"
"Dengar saja dulu baik-baik. Engkau mungkin
tidak tahu. Aku adalah seorang yang dimusuhi
Kerajaan Sui, dan karena aku selalu menentang
kesewenang-wenangan para pembesar Sui, akhirnya aku te rkepung dan te rtawan, lalu
dihukum penjara. Ketika kerajaan itu jatuh oleh
pasukan Li Si Bin yang memberontak, aku masih
di dalam penjara. Lalu aku dibebaskan oleh
Pangeran Cian Bu Ong yang sebaliknya sebagai
balasannya minta kepadaku untuk membantunya
melawan pemberontak Li Si Bin yang sudah
berhasil mendirikan Kerajaan Tang. Mula-mula
aku menyetujuinya karena aku sendiri biarpun
dimusuhi Kerajaan Sui juga menentang pemberontakan. Akan tetapi, ketika kami diperintah oleh Pangeran Cian Bu Ong menyerbu
He k-houw pang yang membantu
pemerintah pemberontak, aku melihat kegagahan orang-orang
He k-houw-pang dan melihat kekejian para
rekanku. Timbullah kesadaranku bahwa orangorang yang membantu Pangeran Cian Bu Ong
adalah orang-orang
jahat. Apalagi melihat suamimu ketua He k-houw-pang te rbunuh, dan
engkau te rancam, aku lalu turun tangan melarikanmu, dengan hanya satu niat saja, yaitu
menyelamatkanmu." "Aku tidak butuh kauselamatkan! Aku tidak
takut mati, bahkan aku ingin mati bersama
suamiku!" Liu Hwa berseru lalu iapun bangkit dan
lari meninggalkan Koan Tek.
"Haiii, nyonya, engkau hendak pergi ke mana?"
Koan Tek meloncat dan mengejar.
"Perduli apa denganmu?" Wanita itu membalik
dan menegur, penuh kemarahan. Walaupun ia
percaya akan keterangan Lie Koan Tek tadi, tetap
saja kebenciannya tidak hilang karena ia menganggap bahwa pria ini menjadi satu di antara
sebab tewasnya suaminya. "Aku......aku memang tidak ada sangkutan
denganmu, tapi.........amat berbahaya untuk melakukan perjalanan sendiri kembali ke dusunmu. Bagaimana kalau sampai engkau berte mu dengan anak buah Pangeran Cian Bu
Ong?" "Aku tidak takut. Aku akan melawan sampai
napas terakhir!" nyonya muda itu menjawab tegas.
Koan Tek kagum. Wanita ini memang gagah,
pikirnya, walaupun ilmu silatnya tidak begitu
tangguh. "Engkau sudah nekat, nyonya. Engkau
bukan lawan mereka. Sebaiknya engkau menanti
satu dua hari sebelum kembali ke dusunmu."
"Tidak! Aku harus pergi sekarang juga. Aku
harus mencari anakku!"
"Anakmu" Ahh, jadi ada anakmu te rtinggal di
dusun?" Kini hati Lie Koan Tek merasa khawatir
bukan main. Kas ihan wanita ini. Suaminya te was
dan ia masih meninggalkan anak di dusun yang
dihancurkan anak buah Pangeran Cian Bu Ong
itu. Kini Liu Hwa mengangguk dan hampir ia
menangis lagi ketika te ringat akan pute ranya.
"Anak tunggalku, Kam Cin yang baru berusia lima
tahun, entah bagaimana nasibnya. Aku harus
mencarunya sekarang juga," katanya dan iapun
lari lagi. Sejenak Lie Koan Tek termangu. Hatinya
makin iba terhadap wanita itu dan setelah menarik
napas panjang dia pun lari membayangi. Pendekar
perkasa ini merasa heran sekali kepada dirinya
sendiri. Entah mengapa. Baru sekarang ini dia
merasa tertarik dan kasihan sekali kepada seorang
wanita.! Seorang janda yang mempunyai anak lagi!
Sungguh aneh. Akan te tapi dia hanya mengikuti
perasaan hatinya dan membayangi karena dia tahu
bahwa wanita itu melakukan perjalanan yang
penuh bahaya. Apa yang dikhawatirkan pendekar Siauw-lim-pai
itu memang tidak berlebihan. Ketika para penjahat
di sekitar dusun Ta-bun-cung mendengar bahwa
He k-houw-pang te rbasmi, ketuanya tewas, bahkan
kakek Coa juga tewas dan semua anggota Hekhouw-pang meninggalkan dusun karena
perkumpulan orang gagah itu dibubarkan, mereka
bagaikan gerombolan tikus yang ditinggalkan
kucing-kucing penjaga! Mereka seperti berpestapora dan menjadi berani. Matahari telah naik tinggi ketika Liu Hwa tiba di
bukit te rdekat dengan dusun Ta-bun-cung. Ia tahu
bahwa di balik bukit itulah terletak dusunnya.
Biarpun tubuhnya sudah le lah sekali, namun ia
memaksa diri untuk berjalan terus. Kekhawatiran
akan puteranya membuatnya dapat bertahan.
Akan te tapi, ketika ia tiba di lereng bukit itu, di
jalan tikungan yang tertutup te bing bukit, tiba-tiba
ia di kejutkan oleh munculnya banyak orang yang
segera mengepungnya. Tidak kurang lari duapuluh
orang laki-laki yang sikapnya kasar, mengepung
dan memandang kepadanya dengan mata seperti
binatang buas yang kelaparan, mulut mereka
menyeringai kurang ajar. Mereka semua memegang senjata golok, pedang
atau ruyung dan sikap mereka buas.
"Aha, bukankah ini nyonya ketua Hek-houwpang yang terhormat?"
"Dan cantik manis" Lihat kedua pipinya segar
kemerahan!" "Ha-ha-ha, nyonya muda yang segar dan mole k!
Di mana suamimu?" "Hei, nyonya ketua. Dimana sekarang Hek-houwpang?" Melihat orang-orang itu mulai mendekat dan
tangan mereka mulai jahil dan kurang ajar, ada
yang hendak mengelus dagunya, ada yang hendak
menyentuh tubuhnya, Liu Hwa menangkis sambil
berkata keras membentak, "Heii! Kalian mau apa"
Minggir atau terpaksa akan kubunuh kalian
semua!" Ternyata suara nyonya muda ini masih cukup
berwibawa sehingga beberapa orang yang kurang
kuat nyalinya, melangkah mundur sambil menyeringai. "Biar kuhadapi si manis ini!" tiba-tiba terdengar
suara parau dan seorang yang bertubuh tinggi
besar melangkah maju menghadapi Liu Hwa. Dia
seorang laki-laki yang usianya kurang le bih empat
puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, suaranya
parau dan ketika Liu Hwa mengangkat muka
memandang, diam-diam nyonya ini merasa ngeri.
Wajah laki-laki ini memang menyeramkan. Rambutnya awut-awutan, agaknya tidak pernah
dicuci apalagi disisir, sehingga nampak kotor dan
jorok sekali. Mukanya kasar, dengan bintik-bintik
hitam dan nampak keras seperti kulit buaya,
hidungnya besar dan mulutnya lebar. Yang lebih
menyeramkan adalah matanya. Mata itu tinggal
sebelah kanan saja karena yang kiri te rpejam dan
agaknya tidak ada biji matanya lagi. Liu Hwa
te ringat sekarang. Biarpun belum pernah melihat
orangnya, namun pernah suaminya dan para
anggota He k-houw-pang bercerita tentang seorang
perampok ganas yang berjuluk It-gan Tiat-gu
(Kerbau Besi Mata Satu). Perampok ini pernah
meraja-lela di luar daerah Ta-bun-cung, akan
tetapi setelah Hek-houw-pang membuat gerakan
pembersihan, dia tidak berani muncul. Agaknya
sekarang dia mengumpulkan penjahat-penjahat
lain untuk dipimpin menjadi gerombolan perampok. "Ha-ha-ha, manis. Ketua He k-houw-pang sudah
mampus, dan He k-houw-pang sendiri sudah
bubar. Daripada menjadi seorang janda kembang
yang te rlantar lebih baik engkau menjadi isteriku,
he heh-heh!" Berkata demikian, dia menjuIurkan
le ngan kanannya yang panjang dan besar, dan
tangannya hendak merangkul leher Liu Hwa. Akan
tetapi nyonya ini mengelak dan menepiskan tangan
tangan mata satu itu dengan pengerahan tenaga.
"Plakk!" Tangan penjahat itu terpental. "Aku
tidak sudi! Lebih baik aku mati dari pada menjadi
isterimu!" "Mati" Ha-ha, sayang kalau orang semanis
engkau mati. Engkau sudi atau tidak, mau atau
tidak, harus menjadi isteri It-gan Tiat-gu, he h-hehheh!" Dan tiba-tiba si mata satu itu menubruk
bagaikan seekor beruang menubruk kambing. Poa
Liu Hwa mengelak dengan loncatan ke kiri, lalu
kaki kanannya mencuat dalam sebuah te ndangan
ke arah perut raksasa mata satu itu. Akan tetapi,
Tiat-gu atau Si Kerbau Besi itu te rnyata cukup
lihai. Tangannya bergerak menangkis te ndangan
itu dan tangan kanan kembali mencengkeram ke
arah pundak Liu Hwa. Liu Hwa te rpaksa meloncat
lagi ke belakang dan diam-diam terkejut karena
kakinya yang te rtangkis terasa nyeri, tanda bahwa
raksasa mata satu itu memiliki tenaga seperti
seekor kerbau! Ketika ia meloncat ke belakang dua
orang anggota gerombolan menyergapnya. Liu Hwa
membalik dan kaki tangannya bergerak, menendang dan menampar. Dua orang anggota
gerombolan itu jatuh tersungkur. Akan te tapi lebih
banyak orang lagi mengeroyoknya, semua dengan
tangan kosong karena mereka ingin membantu
pemimpin mereka menangkap calon korban ini,
bukan hendak melukai atau membunuhnya.
"Tikus-tikus busuk!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan bagaikan seekor garuda
menyambar dari angkasa, Lie Koan Tek sudah
te rjun ke dalam perkelahian itu dan dia mengamuk. Sekali dia menerjang, dua orang
perampok te rpelanting keras. Melihat ini, para
perampok segera menggunakan senjata mereka
untuk mengepung dan mengeroyok. Pendekar
Siauw-lim-pai itupun melolos rantai bajanya yang
dipakai sebagai ikat pinggang, dan diapun memutar rantai baja itu, mengamuk di antara
pengeroyokan banyak orang.
Melihat munculnya seorang pria yang gagah
perkasa, It-gan Tiat-gu segera menubruk Liu Hwa
dari belakang dan karena pada saat itu Liu Hwa
sedang menghadapi pengeroyokan dua orang maka
ia tidak mampu mengelak. Kedua lengan Kerbau
Besi telah merangkulnya dan karena tenaga kepala
perampok itu memang besar, Liu Hwa sama sekali
tidak mampu berkutik. It-gan Tiat-gu sudah
menotoknya dan memanggul tubuh Liu Hwa yang
menjadi lemas, dan kepala perampok ini menyelinap pergi, menggunakan kesempatan selagi
Lie Koan Tek sibuk menghadapi pengeroyok yang
banyak jumlahnya.
Karena sibuk menghadapi pengeroyokan kurang
le bih duapuluh orang yang semuanya bersenjata
tajam, Lie Koan Tek sendiri tentu s aja tidak sempat
untuk memperhatikan Liu Hwa. Dia mengamuk
dan memutar rantai bajanya, merobohkan bayak
pengeroyok sehingga para perampok menjadi
gentar. Sisanya yang belum roboh lalu melarikan
diri cerai-berai ke segala jurusan. Baru setelah
para perampo k pergi, Lie Koan Tek mendapat
kenyataan bahwa Liu Hwa tidak berada di situ!
Dia menjadi bingung. He ndak mengejar ke
mana" Para perampok itu lari ke empat penjuru!
Apakah Liu Hwa telah berhasil melarikan diri
ketika dia datang menyerbu para penjahat itu"
Mengingat akan kemungkinan ini, dia lalu cepat
mendaki bukit dan pergi ke dusun Ta-bun-cung.
Sebagai seorang di antara para penyerbu dusun
itu malam tadi, tentu saja dia tidak berani
memasuki dusun secara terang-terangan. Dia
menanti sampai hari menjadi gelap, baru dia
melakukan penyelidikan. Diam-diam dia merasa
menyesal juga mendapat keterangan bahwa puluhan orang anggota Hek-houw-pang telah te was
dalam perte mpuran ketika anak buah Pangeran
Cian Bu Ong datang menyerbu. Biarpun dia tidak
bersungguh-sungguh membantu pangeran itu, dia
tetap merasa ikut berdosa. Dia tidak menyelidiki
te rlalu banyak mengenai He k-houw-pang. Yang
dicarinya hanya Liu Hwa. Kalau nyonya muda itu
sudah kembali ke dusun, hatinya akan merasa lega
dan diapun akan pergi tanpa mene muinya.
Akan te tapi, betapa bingung hatinya ketika dia
mendapat kenyataan bahwa Poa Liu Hwa tidak
pernah pulang! Nyonya muda itu telah lenyap.!
Masih baik kalau le nyapnya itu karena ia telah
pergi dan tidak ingin kembali ke dusun, akan
tetapi bagaimana kalau sampai ia tertawan
penjahat" Lie Koan Tek cepat meninggalkan dusun itu dan
kembali memasuki hutan di lereng bukit, di mana
siang tadi dia membantu Liu Hwa yang dikepung
penjahat. Akan tetapi hutan itu s unyi saja. Dia tidak tidur
semalam suntuk melainkan menjelajahi bukit itu,
namun tidak menemukan jejak, bahkan tidak
berte mu dengan seorangpun manusia.
Agaknya anggota gerombolan perampok yang dia
robohkan dalam keadaan terluka atau tewas sudah
diangkut pergi kawan-kawan mereka. Terpaksa
pada keesokan harinya, dia menuruni bukit dan
menuju ke dusun yang nampak paling dekat di
kaki bukit. Dia menjelajahi dusun-dusun dan
akhirnya, pada hari ke tiga ketika dia memasuki
sebuah dusun, dia melihat lima orang se dang ribut
dengan pemilik rumah yang cukup besar di dusun
itu. Ia melihat lima orang itu memukuli tuan
rumah, dan yang lain sedang mengangkut barangbarang berharga dari rumah itu. Seorang di antara
mereka yang menjadi pemimpin mempunyai luka
(tuan muda)! Ah, kalian masih selamat"
Syukur kepada Thian kalian masih selamat..."
dan orang itupun mengusap air matanya yang
mengalir turun. "Paman, kenapa rumah ini sekarang kosong"
Ceritakan semua akibat dari penyerbuan para
penjahat itu! Cepat ceritakan!" Lan Ci tidak sabar
lagi. Rumah itu nampak kosong dan sepi, bahkan
perabot-perabot rumahpun banyak yang hilang.
Baru beberapa hari saja ia tinggal di situ dan
sekarang semua telah berubah.
"Hujin......suamimu telah.....gugur..."
"Aku sudah tahu. Ceritakan siapa lagi yang
gugur dan bagaimana akhirnya dengan serbuan
para penjahat itu?"
"Tigapuluh le bih anggota He k-houw-pang te was,
te rmasuk.....kongcu Coa Siang Lee dan juga
pangcu (ketua) Kam Seng Hin. Juga lo-cian-pwe
Coa Song....." "Alh! Kong-kong juga....?" Lan Ci berseru kaget
karena ia tidak melihat kakek itu ikut berkelahi
melawan penjahat. "Lo-cianpwe meninggal dunia karena duka."
"Ah, dimana isteri pangcu dan puteranya?"
"Sungguh menyedihkan sekali, hujin. Isteri
pangcu dilarikan penjahat...!"
"Dan bagaimana dengan Cin Cin?" Thian Ki yang
sejak tadi mendengarkan dengan sedih, bertanya.
"Di mana Cin Cin?"
"Sebelum meninggal dunia, lo-cianpwe Coa Song
memesan agar anak itu diajak ke dusun Hong-san,
diserahkan kepada Huang-ho Sin liong Si Han
Beng untuk dididik. Sekarang te lah berangkat dua
hari yang lalu. Dan lo-cian-pwe Coa Song juga
membubarkan Hek-houw-pang. Semua murid telah
meninggalkan dusun ini karena takut kalau-kalau
para penjahat yang lihai itu datang kembali.
Perabot rumah ini banyak dijual untuk biaya
pemakaman dan semua harta sesuai dengan pesan
lo-cian-pwe Coa Song, telah dibagi-bagi di antara
para anggota." "Ahhhh.....!" Lan Ci merasa jantungnya seperti
ditusuk. Perih sekali rasanya dan sungguh aneh, ia
te ringat pada pendekar tinggi besar yang te lah
menolongnya dan baru sekarang ia te ringat bahwa
ia belum mengenal penolongnya itu! Betapa sama
benar penderitaan antara ia dan penolongnya itu.
Penolongnya kehilangan isteri dan keluarganya,
hanya tinggal hidup berdua dengan pute rinya,
sedangkan ia juga kehilangan suami dan keluarga
suaminya, dan iapun hidup berdua dengan Thian
Ki "Thian Ki......!" Ia merangkul putranya, dan ia
te ringat akan keadaan puteranya. Susah payah ia
dan mendiang suaminya mendidik Thian Ki
menjadi seorang anak yang tidak mengenal ilmu
silat, tidak mengenal kekerasan. Akan te tapi
te rnyata putera mereka itu menjadi Tok-tong, dan
biarpun tidak disengaja, puteranya itu telah
membunuh tiga orang jagoan
lihai dengan tubuhnya yang beracun! "I bu, kenapa te rjadi hal ini" Kenapa ayah dan
para anggota He k-houw-pang dibunuhi orang"
Siapa pembunuh ayah" Dia jahat sekali dan
sepatutnya dia dihukum!"
Mendengar ucapan ini, Lan Ci mencium pipi
pute ranya tanpa menjawab, bahkan ia menoleh
kepada pelayan itu. "Paman, di mana suamiku
dimakamkan" Juga di mana kong-kong dimakamkan?" "Me reka semua dimakamkan di tanah kuburan
luar dusun ini, dan sudah diberi tanda papan
nama di depan makam-makam yang banyak itu.
Mudah untuk mencarinya. Mari kuantarkan..........."
"Tidak usah, paman. Katakan di sebelah mana
tanah kuburan itu berada?" Pelayan itu menunjuk
ke utara. "Di sebelah utara dusun, dekat pintu
gerbang utara." "Terima kasih, paman. Kami hendak bersembahyang di sana." Lan Ci lalu bangkit dan
bertanya lagi. "Apakah pakaian kami di kamar
sana itu masih ada paman?"
"Masih, nyonya. Kami tidak berani mengganggu
dan semua masih lengkap."
Lan Ci memasuki kamar di rumah itu, kamar
yang tadinya ia pakai dengan suaminya. Melihat
pembaringan itu, kursi- kursi itu, air matanya
bercucuran, rasanya suaminya masih berada di
situ, rebah di pembaringan itu, duduk di kursi itu.
Melihat ibunya menangis, Thian Ki yang baru
berusia lima tahun itu agaknya mengerti dan dia
mendekati ibunya, merangkul pinggang ibunya.
"I bu, ayah sudah tidak ada. Untuk apa ditangisi
lagi?" "Thian Ki.....!" Ibunya merangkul dan tangisnya
semakin keras, akan tetapi tak lama kemudian ia
mampu menekan perasaannya. Ia memilih pakaiannya lalu berganti pakaian, menggulung
jubah milik penolongnya dan menjadikan satu
dengan pakaiannya yang dibuntal kain kuning.
Pakaian Thian Ki juga dibuntal menjadi buntalan
lain untuk dibawa anak itu sendiri. Kemudian
merekapun keluar dan menuju ke tanah kuburan.
Dari pelayan itu, Lan Ci mendapatkan kelebihan
sisa hio (dupa biting) untuk keperluan sembahyang.
Tanah kuburan itu sunyi dan menyeramkan
walaupun hari telah menjelang siang. Betapa tidak
menyeramkan melihat tanah kuburan yang penuh
dengan kuburan baru sebanyak itu" Biarpun Lan
Ci seorang wanita yang gemblengan, bahkan ia
pute ri seorang datuk sesat yang keras hati, namun
sejak menjadi istri Siang Lee dan hidup sebagai
petani yang te nang dan te nteram, perasaannya
peka dan kini ia tidak dapat menahan air matanya
yang te rus bercucuran. Melihat deretan makam
yang amat banyak itu, hatinya terasa sedih bukan
main. Akhirnya ia dapat menemukan makam
suaminya yang mengapit makam kakek Coa Song,
sedangkan di sebelah lain adalah makam Kam
Seng Hin, ketua Hek-houw-pang. Melihat makam
suaminya, Lan Ci membayangkan segala kebaikan
suaminya dan kedua lututnya menjadi le mas. Ia
menjatuhkan diri berlutut di depan makam itu,
memeluk gundukan tanah sambil menangis menyedihkan sekali sampai sesenggukan. Katakata yang tidak je las keluar dari mulutnya,
bercampur isak tangisnya.
Thian Ki juga menjatuhkan diri berlutut di
samping ibunya. Kadang dia menoleh memandang
wajah ibunya yang ditutupi kedua tangan, lalu
menoleh memandang gundukan tanah yang masih
baru. Wajah ibunya yang basah air mata itu kini
menjadi kotor terkena tanah, membuat wajah itu
nampak menyedihkan sekali. Thian Ki mengerutkan alisnya dan tidak berani bicara. Dia
dapat merasakan betapa sedihnya hati ibunya, dan
dia merasa kasihan sekali kepada ibunya. Akan
tetapi tetap saja dia berpendapat bahwa tidak ada
gunanya menangisi kematian ayahnya. Ditangisi
bagaimanapun ju ga, ayahnya tidak akan dapat
bangun kembali. Setelah agak lama dia hanya
membiarkan saja ibunya menangis dan berkeluh
kesah, merintih-rintih dengan suara yang tidak
jelas apa maknanya, akhirnya Thian Ki menyentuh
le ngan ibunya. "I bu, apakah lilin dan hio ini tidak dinyalakan
dan dibakar?" Mendengar pertanyaan pute ranya itu, barulah
Lan Ci sadar bahwa ia te rseret kedukaan dan
iapun menoleh kepada pute ranya, menyusut air
matanya dan mencoba untuk te rse nyum, senyum
yang bahkan nampak amat mengharukan dan
sedih. "Kau nyalakan lilinnya dan pasang di depan
makam ayahmu dan kakek buyutmu, Thian Ki. Ibu
yang akan membakar hio-nya."
Ibu dan anak itu lalu bersembahyang di depan
makam Coa Siang Lee dan makam kakek Coa
Song, kemudian keduanya duduk di depan makam
Coa Siang Lee sambil termenung.
Hidup
dikuasai pikiran dan suka-duka merupakan permainan pikiran. Jarang sekali
pikiran dalam keadaan hening tidak te rpengaruh
suka ataupun duka. Pikiran selalu mengejar
kesukaan, menjauhi kedukaan. Namun, suka-duka
merupakan dua permukaan dari mata uang yang
sama, tak terpis ahkan. Dimana ada suka di sana
pasti ada duka, seperti terang dan gelap, siang dan
malam, merupakan pasangan yang membuat
kehidupan pikiran menjadi lengkap. Pikiran seperti
air samudra, tak pernah diam, selalu berubah.
Oleh karena itu, tidak ada keadaan pikiran yang
abadi. Sukapun hanya sementara, demikian pula
duka, walaupun biasanya, duka le bih panjang
usianya dibandingkan suka. Bahkan suka biasanya berekor duka, walaupun duka belum
te ntu disambung suka. Apa yang hari ini mendatangkan kesukaan, besok sudah berubah
mendatangkan kedukaan. Keadaannya tidaklah
berubah. Keadaan apa adanya merupakan kenyataan yang tidak berubah. Yang berubah
adalah keadaan pikiran kita sehingga karena dasar
pemikirannya berubah, maka penilaiannya juga
berubah-ubah. Yang hari ini menyenangkan pikiran, besok dapat berubah menjadi menyusahkan. Kalau nafsu yang memperdaya hati
akal pikiran sudah mencengkeram kita, maka kita
selalu tenggelam, baik dalam suka maupun dalam
duka. Dikala suka, kita dapat menjadi mabok
kesenangan dan lupa diri, sebaliknya, di waktu
duka kitapun menjadi mabok kedukaan dan
merana. Keduanya merupakan keadaan di mana
kita dipermainkan ole h nafsu melalui hati akal
pikiran kita. Bagaimana kita dapat mencari jalan keluar dari
lingkaran setan ini" Bagaimana kita dapat te rbebas
dari nafsu hati dan akal pikiran" Siapa yang
bertanya ini" Siapa yang ingin bebas dari nafsu
yang menguasai hati dan akal pikiran" Jelas
bahwa yang bertanya adalah pikiran juga, pikiran
yang sama yang bergelimang nafsu. Melihat bahwa
nafsu mendatangkan ketidakbahagiaan,
maka pikiran lalu ingin agar bebas dari nafsu.
Bagaimana mungkin nafsu dapat bebas dari
dirinya sendiri" Semua usaha yang dilakukan
nafsu tentu mengandung pamrih menyenangkan
diri sendiri, membebaskan diri dari susah. Dengan
usaha ini, berarti kita terjatuh ke dalam lingkaran
setan yang sama, atau bahkan lebih kuat!
Kiranya tidak ada jalan lain bagi kita kecuali
MENYERAH! Menyerah kepada Tuhan, kepada
Sang Maha Pencipta, Maha kuasa dan Maha Kasih!
Kita ini, berikut hati dan akal pikiran, berikut
nafsu-nafsu kita, kita ini seluruhnya diciptakan
oleh kekuasaan Tuhan! Maka, tidak ada yang lebih
benar dari pada menyerahkan segala-galanya
kepada yang mengadakan kita, yang menciptakan
kita. Di waktu mengalami suka, kita selalu ingat
dan bersyukur kepadaN ya sehingga tidak mabok.
Di waktu mengalami duka, kita selalu ingat dan
menyerah padaN ya sehingga tidak tenggelam.
Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang mampu
meluruskan yang bengkok dalam batin kita,
membersihkan yang kotor. Setiap kehendak Tuhan
jadilah! Bukan pikiran yang ingin menyerah karena
kalau demikian te ntu ada pamrih yang te rsembunyi di balik penyerahan itu. Nafsu selalu
berpamrih untuk memperole h keuntungan bagi diri
sendiri. Tidak ada si aku atau pikiran yang ingin
menyerah. Yang ada hanya penyerahan itu saja,
titik. Seolah-olah mati di depan Tuhan. Nah kalau
nafsu hati dan akal pikiran tidak bekerja lagi,
maka segalanya terserah kepada Tuhan. Tuhan
Maha Bijaksana, Tuhan Maha Kas ih, dan hanya
kekuasaa Nya sajalah yang akan mampu
mengadakan atau menjadikan yang tidak mungkin
bagi pikiran. "I bu, kita sekarang akan kemana?" tiba-tiba
Thian Ki berkata, suaranya yang lirih memecah
kesunyian dan menarik kembali semangat ibunya
yang melayang-layang. Lan Ci memandang anaknya. Thian Ki mendekati ibunya dan menggunakan tangannya
untuk membersihkan tanah dari wajah ibunya.
"Ke mana lagi kalau tidak pulang! Kita pulang ke
Mo-kim-cung, Thian Ki!"
Anak itu mengerutkan alisnya. "Akan tetapi,
rumah sudah tidak ada ayah.! Aku tidak suka
kembali ke sana, akan selalu te ringat kepada
ayah." Lan Ci menarik napas panjang. Ia juga merasa
ragu untuk tinggal di dusunnya itu, dekat dengan
ibunya! Bersusah-payah ia menjaga agar anak
tunggalnya tidak mengenal kekerasan, akan tetapi
setelah ibunya tiba dan menjadi nikouw di kuil
Thian-ho-tang, anaknya malah dijadikan Tok-tong
oleh ibunya! Kalau ia mengajak Thian Ki kembali
ke sana, tidak urung ibunya te ntu akan berusaha
keras agar Thian Ki mempelajari ilmu-ilmu yang
keji dan anaknya ini kelak akan menjadi seorang
manusia racun yang amat berbahaya bagi kehidupan orang lain. "Thian Ki, malapetaka yang menimpa kita ini
mengingatkan aku bahwa mungkin sekali aku
telah keliru mendidikmu. Sejak kecil, ayahmu dan
aku yang pandai ilmu silat selalu berusaha agar
engkau tidak mempelajari ilmu silat. Bahkan kami
bertahun-tahun hidup bagai petani yang penuh
damai. Siapa tahu, di sini kita bertemu malapetaka! Andaikata ayahmu dan aku lebih
te rlatih, belum te ntu ayahmu te was. Dan engkau
sendiri.....ah, engkau bahkan telah menewaskan
tiga orang tokoh persilatan yang lihai."
"I bu, sebetulnya apakah yang te lah te rjadi" Aku
tidak bermaksud membunuh orang. Aku hanya
ingin menolongmu, aku hanya menggigit, dan yang
lain itu hanya mencengkeram aku, kenapa mereka
semua roboh dan te was" Ibu pernah mengatakan
kepadaku bahwa aku sakit, tubuhku beracun dan
kalau aku mendekati wanita, ia akan mati. Apakah
itu sebabnya maka tiga orang itu tewas, ibu. Dan
kalau benar begitu, mengapa tubuhku beracun?"
Lan Ci merangkul puteranya. "Thian Ki, kelak
engkau akan mengerti sendiri. Aku harus mencarikan obat untukmu, untuk melenyapkan
racun itu dari tubuhmu."
"I bu, di dunia ini te rdapat begitu banyak orang
jahat. Mereka telah membunuh ayah, membunuh
para paman He k-houw-pang, bahkan hampir
membunuh ibu dan aku. Mereka tidak dapat
membunuhku karena tubuhku beracun. Kalau ibu
hendak melenyapkan racun dari tubuhku, bukankah kalau a da orang jahat, aku akan mudah
mereka bunuh?" "Ha, tepat sekali ucapanmu itu, Thian Ki!" Tibatiba Pangeran Cian Bu Ong muncul bersama
pute rinya.
"Thian Ki......!" Kui Eng berseru gembira dan
segera menghampiri Thian Ki dan memegang
tangan anak itu. Melihat munculnya penolongnya, Lan Ci cepat
memberi hormat. "Mengapa tai-hiap mengatakan
bahwa ucapan Thian Ki te pat" Tidak mungkin dia
dibiarkan begitu saja, menjadi Tok-tong dan
membahayakan nyawa setiap orang yang berdekatan dengannya. Bahkan sekarang juga,
nyawa puterimu dapat terancam bahaya, tai-hiap."
Mendengar ucapan ibunya, Thian Ki terkejut dan
cepat dia melepaskan tangannya yang saling
gandeng dengan tangan Kui Eng. Akan te tapi Kui
Eng memegang lagi tangan Thian Ki.
"Kui Eng, lepaskan tanganku. Tubuhku beracun
dan engkau dapat celaka keracunan!" kata Thian
Ki, kembali mele paskan tangannya.
"Aah, engkau te ntu tidak akan mencelakai aku,
te ntu aku tidak akan keracunan. Aku tidak takut
berdekatan denganmu, Thian Ki."
Pangeran Cian Bu Ong tersenyum, walaupun
senyumnya masih nampak pahit karena hatinya
masih tertekan kedukaan. "Anakku benar, Lan Ci.
Justru kekuatan dahsyat dalam diri Thian Ki harus
dipelihara, dirawat dan dipupuk. Kalau dia dapat
menguasainya, tentu dia tidak akan mencelakai
orang tanpa disengaja. Aku ingin mengajarkan dia
untuk menguasai kekuatan dahsyat itu dan
mengajarkan semua ilmuku, bersama Kui Eng."
Lan Ci cepat memberi hormat. "Harap Thai-hiap
memaafkan saya. Sesungguhnya, sejak kecil Thian
Ki tidak pernah kami ajari ilmu silat dan tidak
memperkenalkan dia dengan kehidupan dunia
persilatan." "Sungguh aneh sekali. Engkau dan suamimu
memiliki ilmu silat yang cukup baik. Kenapa tidak
diwaris kan kepada anak tunggal kalian?"
"Kami ingin agar anak kami hidup dalam
keadaan aman te nteram dan penuh damai, jauh
dari kekerasan dan permusuhan seperti yang
dialami para ahli silat," kata Lan Ci dengan tegas.
"Aih, nyonya muda. Alangkah lucunya omonganmu itu. Engkau tidak mengajarkan ilmu
silat kepada pute ramu, ingin agar dia hidup dalam
keadaan tenang tenteram. Akan tetapi apa yang
telah terjadi" Masih kecil saja dia tertimpa
malapetaka! Ayahnya tewas, ibunya hampir celaka,
dan dia sendiri, kalau tidak memiliki kekuatan
beracun itu tentu sudah tewas pula!"
"Kalau tidak ada tai-hiap yang menolong,
memang kami ibu dan anak tentu telah tewas,"
kata Lan Ci, ia bergidik membayangkan bahaya
mengerikan yang mengancam dirinya ketika itu.
"Sim Lan Ci, engkau seorang ahli silat, kenapa
pendirianmu seperti itu" Karena mungkin engkau
dahulu hidup penuh kekerasan dan permusuhan,
maka engkau hendak menjauhkan pute ramu dari
ilmu silat" Ingatlah, seorang ahli silat setidaknya
dapat membela diri, bahkan dapat mempergunakan ilmunya untuk membela yang
le mah, untuk melakukan perbuatan baik sesuai
dengan jiwa seorang pendekar dan pahlawan.
Kalaupun dia tewas dalam pertempuran, maka dia
mati seperti orang gagah. Sebaliknya, seorang
le mah akan selalu ditindas dan ditekan tanpa
mampu membela diri sehingga kalau sampai dia
mati, maka dia akan mati konyol! Matinya seorang
pendekar adalah matinya seekor harimau, sebaliknya matinya seorang yang le mah seperti
matinya seekor babi. Aku ingin mengambil Thian
Ki sebagai murid, kuharap engkau tidak menolak,
kalau engkau tidak ingin anakmu kelak membunuh lebih banyak orang lagi tanpa sengaja."
"Tapi.... tapi .... saya akan mencarikan obat
penawar racun dalam tubuhnya Lan Ci mencoba
untuk membantah dengan lemah.
"Nyonya muda, dari gerakanmu dan pukulanmu,
aku tahu bahwa engkau seorang ahli pukulan
beracun. Aku te lah memeriksa keadaan pute ramu
dan aku tahu bahwa tidak ada obat apapun di
dunia ini yang akan mampu membersihkan racun
dari tubuh pute ramu, kecuali kalau dia menularkan atau memindahkan racun itu kepada
banyak wanita yang akan menjadi korban. Seluruh
darahnya te lah mengandung racun, dari ujung
rambut sampai ke jari kakinya. Satu-satunya cara
untuk menghindarkan dia menjadi pembunuh
besar kepada semua orang yang dekat dengannya,
hanya dengan memberinya ilmu agar dia dapat
menguasai kekuatan itu dan hanya menggunakan
kekuatan itu kalau diperlukan saja."
Sejak tadi Thian Ki mendengarkan percakapan
antara ibunya dan laki-laki gagah itu. Dia masih
kecil, akan tetapi dia memang cerdas dan dapat
mempertimbangkan apa yang dibicarakan tadi.
"I bu, aku tidak mau menjadi pembunuh. Aku
harus dapat menguasai racun ini!" lalu dia maju
dan menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran
Cian Bu Ong sambil berkata,"Suhu, teecu (murid)
akan mentaati semua perintah suhu!"
Pangeran Cian Bu Ong tersenyum, "Bagus, Thian
Ki. Mulai sekarang engkau menjadi muridku,
menjadi suheng dari Kui Eng. Kalian berdua akan
kugembleng menjadi orang-orang yang berguna
kelak." Lalu pangeran itu menoleh kepada Lan Ci.
"Kuharap sekali engkau sekarang tidak akan
berkeberatan lagi, Lan Ci."
Sebetulnya, Lan Ci merasa berhutang budi
kepada penolongnya itu, yang bukan saja telah
menyelamatkannya dari bahaya maut, menyelamatkan kehormatannya, akan tetapi juga
yang selalu bersikap ramah dan baik, bahkan
akrab sekali dengan sebutan yang kadang-kadang
menyebut namanya begitu saja. Diapun tahu
bahwa penolongnya ini seorang sakti, dan bahwa
pute ranya te ntu akan menjadi seorang yang
berilmu tinggi kalau menjadi muridnya. Akan
tetapi iapun tidak ingin berpis ah dari puteranya.
"Tentu saja saya merasa senang dan berte rima
kasih kalau tai-hiap sudi mendidik Thian Ki. Akan
tetapi dia anak tunggal saya, dan saya hanya
mempunyai dia seorang. Bagaimana mungkin saya
dapat berpisah darinya, Tai-hiap?"
"Kenapa harus berpisah" Sim Lan Ci, kau tidak
perlu berpisah dengan anakmu. Engkau ikut
bersama kami, bahkan engkau dapat ikut membantu aku dan mendidik anakmu."
Mendengar penawaran ini, di dalam hatinya Lan
Ci merasa girang sekali. Kalau ia tidak berpisah
dengan pute ranya, maka tidak ada hal lain lagi
yang perlu dirisaukan. Hanya saja ia seorang
wanita, bahkan janda pula. Dan penolongnya
seorang pria, dan duda! Akan janggal sekali
nampaknya kalau ia mengikuti penolongnya itu,
walaupun penolongnya sudah menjadi
guru pute ranya. Dan ia tidak ingin berpisah dari
pute ranya. "Tapi .... tapi...." Ia meragu, menerima merasa
sungkan dan malu, menolak juga tidak berani.
"I bu," kata Thian Ki dengan suara Iantang.
"Kenapa ibu menolak" Suhu bermaksud baik
sekali. Aku dapat mempelajari ilmu tanpa harus
berpisah dari ibu." "Aih, engkau ini enak saja bicara. Kita hanya
akan menjadi beban dan akan memberatkan
gurumu saja!" kata Lan Ci sambil melirik
pute ranya dengan sikap menegur.
"Sama sekali tidak, bibi dan Thian Ki, eh ...
suheng! Ayahku seorang yang kaya raya, kalau
hanya ditambah dengan kalian berdua, sama sekali
tidak berat!" Tiba-tiba Kui Eng berkata.
"Nah, s umoi Kui Eng sudah berkata begitu, ibu,
walaupun aku tidak mengerti bagaimana suhu
dapat menjadi seorang yang kaya raya. Padahal
keluarga suhu telah dihancurkan orang, hartanya
dirampok, tidak banyak bedanya dengan kita."
"Suheng, engkau tahu apa" Ayahku adalah
seorang pangeran, di mana-mana mempunyai
rumah gedung!" kata pula Kui Eng.
"Hushh, Kui Eng. Jangan membual kau!"
ayahnya menegur. Akan te tapi ucapan anak perempuan itu amat
mengejutkan hati Lan Ci. Ia terbelalak melihat
wajah penolongnya, raut wajah yang tampan gagah
penuh wibawa, memang pantas menjadi wajah
seorang pangeran! "Paduka.....paduka seorang pangeran" Bolehkah
saya mengetahui siapa nama paduka?"
Pangeran Cian Bun Ong menghela napas
panjang. Mereka masih duduk di depan makam, di
atas batu-batu yang banyak terdapat di tempat itu.
Keadaan di keliling itu s unyi.
"Me mang sudah sepantasnya kalau kita saling
mengenal lebih dekat lagi, karena puteramu telah
menjadi muridku, akupun hanya tahu bahwa
engkau bernama Sim Lan Ci, keluarga dari
pimpinan He k-houw-pang. Akan te tapi melihat
gerakan ilmu silatmu, jelas engkau bukan murid
He k-houw-pang." "Yang keluarga Hek-houw-pang adalah mendiang
suami saya. Dia adalah keturunan para pemimpin
atau ketua He k-houw-pang, yaitu keluarga Coa."
"Oh, begitukah" Pantas ilmu silatmu berbeda."
Pangeran itu lalu memandang kepada Thian Ki dan
Kui Eng. "Thian Ki, kauajak sumoimu pergi
bermain-main ke ujung tanah kuburan di sana.
Jangan te rlalu jauh. Aku ingin bicara dengan
ibumu dan ana k-anak tidak boleh ikut mendengarkan." "Baik, suhu. Mari, sumoi!" kata Thian Ki sambil
menggandeng tangan Kui Eng. Mereka pergi
meninggalkan dua orang tua itu dan memetik
bunga liar yang bertumbuhan di sudut tanah
kuburan. "Nah, sekarang le bih leluasa kita bicara. Tidak
semua hal boleh didengar oleh anak-anak kita."
Lan Ci mengangguk, membenarkan.
"Ilmu silatmu selain berbeda, juga mengandung
hawa pukulan beracun. Siapakah
gurumu?" pangeran itu kembali bertanya. Demikian pandainya dia mengatur percakapan sehingga Lan
Ci tidak sadar bahwa pertanyaan tentang nama
pangeran itu sama sekali belum te rjawab, bahkan
kini orang itu yang menguras keterangan darinya.
"Guru saya adalah ibu kandung saya sendiri." Ia
te rpaksa mengaku. "Ah, kiranya begitu" Siapakah nama ibumu"
Tentu ia seorang tokoh dunia persilatan yang amat
te rkenal." Sungguh tidak enak rasanya memperkenalkan
ibunya, seorang datuk sesat yang namanya
te rsohor. Akan tetapi ia tidak dapat mengelak lagi.
Biarlah penolongnya ini tahu segala tentang
dirinya, te ntang Thian Ki yang sudah menjadi
muridnya. "Dahulu ibu bernama Phang Bi Cu,
berjuluk Ban-tok Mo-li akan tetapi sekarang telah
menjadi seorang Ni-kouw."
Benar seperti dugaannya, penolongnya itu
nampak te rkejut sekali. Nama ibunya te rlalu
te rsohor untuk tidak dikenal orang. "Ban-tok Moli" Ibumu Ban tok Mo-li" Aahh, sekarang aku
mengerti mengapa anakmu menjadi Tok-tong
Ibumu seorang wanita yang amat lihai dan nama
besarnya sudah lama sekali kudengar!" Pangeran
itu memandang kagum, lalu cepat menyambung
dengan pertanyaan, " Dan ayahmu?"
"Ayah telah tiada sejak saya kecil sekali. Saya
tidak ingat lagi. Paduka belum menceritakan siapa
sebenarnya paduka." "Me mang aku seorang bekas pangeran. N amaku
Cian Bu Ong Lan Ci melompat berdiri dan wajahnya berubah
pucat, matanya te rbelalak memandang kepada
laki-laki itu dan kedua tangannya dikepal.
"Paduka Pangeran Cian Bu Ong" Jadi.........paduka ini yang mengirim lima orang
penjahat yang telah membasmi Hek-houw-pang
dan membunuh suami saya?"
"Duduklah, nyonya, duduk dan te nanglah agar
anak-anak kita tidak menjadi kaget " katanya dan
sungguh aneh, suara le mbut dan berwibawa itu
membuat Lan Ci menjadi tenang kembali dan
iapun kini sudah duduk lagi, walaupun pandang
matanya penuh selidik dan mengandung kemarahan. "Siapakah yang melempar fitnah itu dan
mengatakan bahwa aku yang membasmi He khouw-pang?"
"Bukan fitnah! Lima orang penjahat itu sendiri
yang mengaku. Ketika mereka muncul di dusun
Ta-bun-cung, mereka mencari ketua atau pimpinan He k-houw-pang untuk dipanggil menghadap Pangeran Cian Bu Ong. Padahal
Pangeran Cian Bu Ong adalah seorang pemberontak yang menjadi buruan pemerintah,
maka te ntu saja Hek-houw-pang tidak mau,
bahkan hendak menangkap lima orang itu
sehingga te rjadi pertempuran. Jadi paduka ini
seorang pemberontak yang telah mengutus pembunuh-pembunuh itu untuk membasmi Hekhouw-pang?" Pangeran itu menghela napas panjang. "Nanti
dulu, nyonya. Beginilah nasib orang yang kalah.
De ngarkan dulu keteranganku, baru nanti engkau
boleh menilai. Tidak kusangkal bahwa aku te lah
melakukan perlawanan terhadap pemerintah baru.
Akan te tapi coba pertimbangkan, siapakah sesungguhnya yang memberontak" Aku adalah
seorang pangeran dari Kerajaan Sui, saudara dari
mendiang Kaisar Yang Ti. Pemberontakan yang
dipimpin Li Si Bin dan ayahnya berhasil menjatuhkan Kerajaan Sui.
Sebagai seorang pangeran, aku berjuang melawan pemberontak
yang mendirikan krrajaan baru. Nah, siapakah
yang pemberontak" Justeru aku menentang
pemberontak! Dan kami kalah. Aku menjadi
pelarian bersama keluargaku. Kalau orang sudah
kalah, selalu menjadi bulan-bulanan
fitnah, dijadikan keranjang sampah untuk menampung
semua kekotoran dan kesalahan pihak lain.
Tidaklah mengherankan kalau lima orang penjahat
itu mempergunakan namaku, agar
pasukan keamanan mencariku, bukan mereka. Engkau
melihat sendiri bagaimana sikapku ketika menolongmu. Aku membunuh anak buah penjahat. Bahkan keluargaku juga te rbasmi oleh
pasukan keamanan. Nyonya muda Lan Ci, apakah
engkau sekarang masih tega untuk menuduh aku
menjadi pembasmi keluarga Hek-houw-pang" Aku
sudah cukup menderita, maka kalau engkau
sekarang menuduhku jahat, maka penderitaanku
le ngkaplah, bahkan berlebihan, kalau engkau
menganggap a ku yang menyuruh bunuh suamimu,
nah, di depan makam suamimu ini, engkau boleh
membalas dendam, boleh membunuhku dan aku
tidak akan melawan. Aku hanya titip puteriku, Kui
Eng....... " Luluh semua kekerasan di hati Lan Ci mendengar keterangan itu. Semua keterangan itu
masuk akal. Pangeran ini bahkan seorang pahlawan yang gigih menentang pemberontak yang
menjatuhkan Kerajaan Sui. Kalau kini dia dicap
pemberontak, hal itu hanya karena
Kerajaan Sui telah jatuh. Dengan demikian
memang sukar mengatakan siapa yang memberontak kepada siapa! Apa lagi melihat wajah
yang gagah itu menjadi muram oleh kedukaan, Lan
Ci teringat akan nasibnya sendiri dan ia menunduk
lalu berkata lirih, "Maafkan saya, pangeran. Saya
percaya kepada paduka."
Wajah yang muram itu menjadi cerah kembali,
dan senyum kegembiraan te rsembul di wajah
Pangeran Cian Bu Ong. "Syukurlah, Lan Ci.
Syukurlah masih ada orang yang percaya kepadaku. Mari kita cepat pergi dari sini. Kalau
sampai ketahuan pasukan keamanan, te ntu kita
akan te rancam bahaya. Kita harus menyelamatkan
Kui Eng dan Thian Ki."
"Ke mana kita akan pergi, pangeran?"
"Di perbatasan utara, di sebuah lereng bukit ada
sebuah dusun besar orang-orong suku bangsa Hui.
Di sana aku mempunyai sebuah rumah. Dan di
sana kita akan aman dari jangkauan pengejaran
pasukan pemerintah Tang."
Mereka memanggil dua orang yang sedang
bermain-main itu dan berangkatlah mereka meninggalkan tanah kuburan, menuju ke utara.
Pangeran Cian Bu Ong menjadi penunjuk jalan dan
dia mengambil jalan melalui bukit dan le mbah,
melalui hutan-hutan yang sunyi. Dan di sepanjang
perjalanan Sim Lan Ci menjadi semakin kagum
dan te rtarik karena sikap pangeran itu sungguh
le mbut, halus dan sopan. Iapun diam-diam
menyerahkan nasibnya dan pute ranya ke tangan
pria yang berwibawa itu. o-ooo0dw0ooo-o "Lepaskan aku......atau bunuh saja aku. Biarkan
aku mati menyusul suamiku......!" Wanita itu
meronta-ronta dalam pondongan Lie Koan Tek
ketika pengaruh totokan membuatnya mampu
bergerak kembali. Mereka tiba di dalam sebuah
hutan. Lie Koan Tek melepaskan pondongannya dan
wanita itu menjatuhkan diri berlutut sambil
menangis. Wanita itu adalah Poa Liu Hwa, isteri
Kam Seng Hin ketua He k-houw-pang. Ketika lima
orang penjahat lihai menyerbu Hek-houw-pang, ia
membantu suaminya. Melihat suaminya roboh dan
te was, nyonya muda ini mengamuk dengan
pedangnya, nekat menyerang penjahat lihai. Akan
tetapi tiba-tiba ia te rkulai lemas, te rtotok dan
dibawa lari oleh seorang di antara lima penjahat
itu. Kini ia berada di tangan seorang penjahat lihai
dan melawanpun tidak ada gunanya. Teringat akan
kematian suaminya, te ringat pula akan nasib
pute ranya yang entah bagaimana, Poa Liu Hwa
hanya dapat menangis sedih.
"Tenanglah, nyonya, dan harap jangan salah
sangka. Aku sengaja melarikanmu dengan dua
maksud........" "Huh, penjahat keji macam engkau, maksudmu
te ntu keji dan jahat! Lebih baik bunuh saja aku!"
Liu Hwa berseru marah. "Diam dulu dan dengarkan keteranganku" Lie
Koan Tek membentak marah. Agaknya. Liu Hwa
dapat menangkap kekerasan dan ketegasan dalam
suara itu dan iapun menurunkan kedua tangan
yang tadi menutupi mukanya, memandang dengan
mata basah, akan tetapi dengan sinar kebencian
seolah hendak membakar. Melihat wanita itu
sudah agak te nang dan mau menghentikan
tangisnya, Lie Koan Tek menghela napas panjang.
"Tidak ada yang le bih menyakitkan hati dari
pada tuduhan orang bahwa aku keji, jahat dan
sudah menjadi seorang penjahat. Ketahuilah
bahwa aku bernama Lie Koan Tek, aku seorang
murid Siauw-lim-pai yang belum pernah melakukan kejahatan."
Liu Hwa te rkejut, juga heran. Tentu saja ia
pernah mendengar nama Lie Koan Tek, murid
Siauw-lim-pai yang gagah-perkasa, yang merupakan sis a para tokoh Siauw-lim-pai yang
berhasil lolos ketika kuil Siauw-lim-si dibakar oleh
pasukan pemerintah Kerajaan Sui, beberapa tahun
yang lalu. Semua orang gagah di dunia persilatan
memuji dan kagum kepada Lie Koan Tek dan lima
orang saudaranya. "Tapi........tapi kenapa engkau ikut menyerbu
He k-houw-pang dan menawanku?"
"Dengar saja dulu baik-baik. Engkau mungkin
tidak tahu. Aku adalah seorang yang dimusuhi
Kerajaan Sui, dan karena aku selalu menentang
kesewenang-wenangan para pembesar Sui, akhirnya aku te rkepung dan te rtawan, lalu
dihukum penjara. Ketika kerajaan itu jatuh oleh
pasukan Li Si Bin yang memberontak, aku masih
di dalam penjara. Lalu aku dibebaskan oleh
Pangeran Cian Bu Ong yang sebaliknya sebagai
balasannya minta kepadaku untuk membantunya
melawan pemberontak Li Si Bin yang sudah
berhasil mendirikan Kerajaan Tang. Mula-mula
aku menyetujuinya karena aku sendiri biarpun
dimusuhi Kerajaan Sui juga menentang pemberontakan. Akan tetapi, ketika kami diperintah oleh Pangeran Cian Bu Ong menyerbu
He k-houw pang yang membantu
pemerintah pemberontak, aku melihat kegagahan orang-orang
He k-houw-pang dan melihat kekejian para
rekanku. Timbullah kesadaranku bahwa orangorang yang membantu Pangeran Cian Bu Ong
adalah orang-orang
jahat. Apalagi melihat suamimu ketua He k-houw-pang te rbunuh, dan
engkau te rancam, aku lalu turun tangan melarikanmu, dengan hanya satu niat saja, yaitu
menyelamatkanmu." "Aku tidak butuh kauselamatkan! Aku tidak
takut mati, bahkan aku ingin mati bersama
suamiku!" Liu Hwa berseru lalu iapun bangkit dan
lari meninggalkan Koan Tek.
"Haiii, nyonya, engkau hendak pergi ke mana?"
Koan Tek meloncat dan mengejar.
"Perduli apa denganmu?" Wanita itu membalik
dan menegur, penuh kemarahan. Walaupun ia
percaya akan keterangan Lie Koan Tek tadi, tetap
saja kebenciannya tidak hilang karena ia menganggap bahwa pria ini menjadi satu di antara
sebab tewasnya suaminya. "Aku......aku memang tidak ada sangkutan
denganmu, tapi.........amat berbahaya untuk melakukan perjalanan sendiri kembali ke dusunmu. Bagaimana kalau sampai engkau berte mu dengan anak buah Pangeran Cian Bu
Ong?" "Aku tidak takut. Aku akan melawan sampai
napas terakhir!" nyonya muda itu menjawab tegas.
Koan Tek kagum. Wanita ini memang gagah,
pikirnya, walaupun ilmu silatnya tidak begitu
tangguh. "Engkau sudah nekat, nyonya. Engkau
bukan lawan mereka. Sebaiknya engkau menanti
satu dua hari sebelum kembali ke dusunmu."
"Tidak! Aku harus pergi sekarang juga. Aku
harus mencari anakku!"
"Anakmu" Ahh, jadi ada anakmu te rtinggal di
dusun?" Kini hati Lie Koan Tek merasa khawatir
bukan main. Kas ihan wanita ini. Suaminya te was
dan ia masih meninggalkan anak di dusun yang
dihancurkan anak buah Pangeran Cian Bu Ong
itu. Kini Liu Hwa mengangguk dan hampir ia
menangis lagi ketika te ringat akan pute ranya.
"Anak tunggalku, Kam Cin yang baru berusia lima
tahun, entah bagaimana nasibnya. Aku harus
mencarunya sekarang juga," katanya dan iapun
lari lagi. Sejenak Lie Koan Tek termangu. Hatinya
makin iba terhadap wanita itu dan setelah menarik
napas panjang dia pun lari membayangi. Pendekar
perkasa ini merasa heran sekali kepada dirinya
sendiri. Entah mengapa. Baru sekarang ini dia
merasa tertarik dan kasihan sekali kepada seorang
wanita.! Seorang janda yang mempunyai anak lagi!
Sungguh aneh. Akan te tapi dia hanya mengikuti
perasaan hatinya dan membayangi karena dia tahu
bahwa wanita itu melakukan perjalanan yang
penuh bahaya. Apa yang dikhawatirkan pendekar Siauw-lim-pai
itu memang tidak berlebihan. Ketika para penjahat
di sekitar dusun Ta-bun-cung mendengar bahwa
He k-houw-pang te rbasmi, ketuanya tewas, bahkan
kakek Coa juga tewas dan semua anggota Hekhouw-pang meninggalkan dusun karena
perkumpulan orang gagah itu dibubarkan, mereka
bagaikan gerombolan tikus yang ditinggalkan
kucing-kucing penjaga! Mereka seperti berpestapora dan menjadi berani. Matahari telah naik tinggi ketika Liu Hwa tiba di
bukit te rdekat dengan dusun Ta-bun-cung. Ia tahu
bahwa di balik bukit itulah terletak dusunnya.
Biarpun tubuhnya sudah le lah sekali, namun ia
memaksa diri untuk berjalan terus. Kekhawatiran
akan puteranya membuatnya dapat bertahan.
Akan te tapi, ketika ia tiba di lereng bukit itu, di
jalan tikungan yang tertutup te bing bukit, tiba-tiba
ia di kejutkan oleh munculnya banyak orang yang
segera mengepungnya. Tidak kurang lari duapuluh
orang laki-laki yang sikapnya kasar, mengepung
dan memandang kepadanya dengan mata seperti
binatang buas yang kelaparan, mulut mereka
menyeringai kurang ajar. Mereka semua memegang senjata golok, pedang
atau ruyung dan sikap mereka buas.
"Aha, bukankah ini nyonya ketua Hek-houwpang yang terhormat?"
"Dan cantik manis" Lihat kedua pipinya segar
kemerahan!" "Ha-ha-ha, nyonya muda yang segar dan mole k!
Di mana suamimu?" "Hei, nyonya ketua. Dimana sekarang Hek-houwpang?" Melihat orang-orang itu mulai mendekat dan
tangan mereka mulai jahil dan kurang ajar, ada
yang hendak mengelus dagunya, ada yang hendak
menyentuh tubuhnya, Liu Hwa menangkis sambil
berkata keras membentak, "Heii! Kalian mau apa"
Minggir atau terpaksa akan kubunuh kalian
semua!" Ternyata suara nyonya muda ini masih cukup
berwibawa sehingga beberapa orang yang kurang
kuat nyalinya, melangkah mundur sambil menyeringai. "Biar kuhadapi si manis ini!" tiba-tiba terdengar
suara parau dan seorang yang bertubuh tinggi
besar melangkah maju menghadapi Liu Hwa. Dia
seorang laki-laki yang usianya kurang le bih empat
puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, suaranya
parau dan ketika Liu Hwa mengangkat muka
memandang, diam-diam nyonya ini merasa ngeri.
Wajah laki-laki ini memang menyeramkan. Rambutnya awut-awutan, agaknya tidak pernah
dicuci apalagi disisir, sehingga nampak kotor dan
jorok sekali. Mukanya kasar, dengan bintik-bintik
hitam dan nampak keras seperti kulit buaya,
hidungnya besar dan mulutnya lebar. Yang lebih
menyeramkan adalah matanya. Mata itu tinggal
sebelah kanan saja karena yang kiri te rpejam dan
agaknya tidak ada biji matanya lagi. Liu Hwa
te ringat sekarang. Biarpun belum pernah melihat
orangnya, namun pernah suaminya dan para
anggota He k-houw-pang bercerita tentang seorang
perampok ganas yang berjuluk It-gan Tiat-gu
(Kerbau Besi Mata Satu). Perampok ini pernah
meraja-lela di luar daerah Ta-bun-cung, akan
tetapi setelah Hek-houw-pang membuat gerakan
pembersihan, dia tidak berani muncul. Agaknya
sekarang dia mengumpulkan penjahat-penjahat
lain untuk dipimpin menjadi gerombolan perampok. "Ha-ha-ha, manis. Ketua He k-houw-pang sudah
mampus, dan He k-houw-pang sendiri sudah
bubar. Daripada menjadi seorang janda kembang
yang te rlantar lebih baik engkau menjadi isteriku,
he heh-heh!" Berkata demikian, dia menjuIurkan
le ngan kanannya yang panjang dan besar, dan
tangannya hendak merangkul leher Liu Hwa. Akan
tetapi nyonya ini mengelak dan menepiskan tangan
tangan mata satu itu dengan pengerahan tenaga.
"Plakk!" Tangan penjahat itu terpental. "Aku
tidak sudi! Lebih baik aku mati dari pada menjadi
isterimu!" "Mati" Ha-ha, sayang kalau orang semanis
engkau mati. Engkau sudi atau tidak, mau atau
tidak, harus menjadi isteri It-gan Tiat-gu, he h-hehheh!" Dan tiba-tiba si mata satu itu menubruk
bagaikan seekor beruang menubruk kambing. Poa
Liu Hwa mengelak dengan loncatan ke kiri, lalu
kaki kanannya mencuat dalam sebuah te ndangan
ke arah perut raksasa mata satu itu. Akan tetapi,
Tiat-gu atau Si Kerbau Besi itu te rnyata cukup
lihai. Tangannya bergerak menangkis te ndangan
itu dan tangan kanan kembali mencengkeram ke
arah pundak Liu Hwa. Liu Hwa te rpaksa meloncat
lagi ke belakang dan diam-diam terkejut karena
kakinya yang te rtangkis terasa nyeri, tanda bahwa
raksasa mata satu itu memiliki tenaga seperti
seekor kerbau! Ketika ia meloncat ke belakang dua
orang anggota gerombolan menyergapnya. Liu Hwa
membalik dan kaki tangannya bergerak, menendang dan menampar. Dua orang anggota
gerombolan itu jatuh tersungkur. Akan te tapi lebih
banyak orang lagi mengeroyoknya, semua dengan
tangan kosong karena mereka ingin membantu
pemimpin mereka menangkap calon korban ini,
bukan hendak melukai atau membunuhnya.
"Tikus-tikus busuk!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan bagaikan seekor garuda
menyambar dari angkasa, Lie Koan Tek sudah
te rjun ke dalam perkelahian itu dan dia mengamuk. Sekali dia menerjang, dua orang
perampok te rpelanting keras. Melihat ini, para
perampok segera menggunakan senjata mereka
untuk mengepung dan mengeroyok. Pendekar
Siauw-lim-pai itupun melolos rantai bajanya yang
dipakai sebagai ikat pinggang, dan diapun memutar rantai baja itu, mengamuk di antara
pengeroyokan banyak orang.
Melihat munculnya seorang pria yang gagah
perkasa, It-gan Tiat-gu segera menubruk Liu Hwa
dari belakang dan karena pada saat itu Liu Hwa
sedang menghadapi pengeroyokan dua orang maka
ia tidak mampu mengelak. Kedua lengan Kerbau
Besi telah merangkulnya dan karena tenaga kepala
perampok itu memang besar, Liu Hwa sama sekali
tidak mampu berkutik. It-gan Tiat-gu sudah
menotoknya dan memanggul tubuh Liu Hwa yang
menjadi lemas, dan kepala perampok ini menyelinap pergi, menggunakan kesempatan selagi
Lie Koan Tek sibuk menghadapi pengeroyok yang
banyak jumlahnya.
Karena sibuk menghadapi pengeroyokan kurang
le bih duapuluh orang yang semuanya bersenjata
tajam, Lie Koan Tek sendiri tentu s aja tidak sempat
untuk memperhatikan Liu Hwa. Dia mengamuk
dan memutar rantai bajanya, merobohkan bayak
pengeroyok sehingga para perampok menjadi
gentar. Sisanya yang belum roboh lalu melarikan
diri cerai-berai ke segala jurusan. Baru setelah
para perampo k pergi, Lie Koan Tek mendapat
kenyataan bahwa Liu Hwa tidak berada di situ!
Dia menjadi bingung. He ndak mengejar ke
mana" Para perampok itu lari ke empat penjuru!
Apakah Liu Hwa telah berhasil melarikan diri
ketika dia datang menyerbu para penjahat itu"
Mengingat akan kemungkinan ini, dia lalu cepat
mendaki bukit dan pergi ke dusun Ta-bun-cung.
Sebagai seorang di antara para penyerbu dusun
itu malam tadi, tentu saja dia tidak berani
memasuki dusun secara terang-terangan. Dia
menanti sampai hari menjadi gelap, baru dia
melakukan penyelidikan. Diam-diam dia merasa
menyesal juga mendapat keterangan bahwa puluhan orang anggota Hek-houw-pang telah te was
dalam perte mpuran ketika anak buah Pangeran
Cian Bu Ong datang menyerbu. Biarpun dia tidak
bersungguh-sungguh membantu pangeran itu, dia
tetap merasa ikut berdosa. Dia tidak menyelidiki
te rlalu banyak mengenai He k-houw-pang. Yang
dicarinya hanya Liu Hwa. Kalau nyonya muda itu
sudah kembali ke dusun, hatinya akan merasa lega
dan diapun akan pergi tanpa mene muinya.
Akan te tapi, betapa bingung hatinya ketika dia
mendapat kenyataan bahwa Poa Liu Hwa tidak
pernah pulang! Nyonya muda itu telah lenyap.!
Masih baik kalau le nyapnya itu karena ia telah
pergi dan tidak ingin kembali ke dusun, akan
tetapi bagaimana kalau sampai ia tertawan
penjahat" Lie Koan Tek cepat meninggalkan dusun itu dan
kembali memasuki hutan di lereng bukit, di mana
siang tadi dia membantu Liu Hwa yang dikepung
penjahat. Akan tetapi hutan itu s unyi saja. Dia tidak tidur
semalam suntuk melainkan menjelajahi bukit itu,
namun tidak menemukan jejak, bahkan tidak
berte mu dengan seorangpun manusia.
Agaknya anggota gerombolan perampok yang dia
robohkan dalam keadaan terluka atau tewas sudah
diangkut pergi kawan-kawan mereka. Terpaksa
pada keesokan harinya, dia menuruni bukit dan
menuju ke dusun yang nampak paling dekat di
kaki bukit. Dia menjelajahi dusun-dusun dan
akhirnya, pada hari ke tiga ketika dia memasuki
sebuah dusun, dia melihat lima orang se dang ribut
dengan pemilik rumah yang cukup besar di dusun
itu. Ia melihat lima orang itu memukuli tuan
rumah, dan yang lain sedang mengangkut barangbarang berharga dari rumah itu. Seorang di antara
mereka yang menjadi pemimpin mempunyai luka
melintang di mukanya dan te ringatlah Lie Koan
Tek bahwa orang itu pernah dilihatnya di antara
para pengeroyoknya ketika ia menolong Liu Hwa
malam itu.
Cepat ia lari menghampiri dan tanpa banyak
cakap lagi dia menerjang si codet yang sedang
memukuli tuan rumah. "Plakk!" Dipukul pundaknya, si codet te rpelanting. Tentu saja dia marah sekali dan
mencabut golok, lalu meloncat bangun dan hendak
menyerang pemukulnya. Akan te tapi, begitu dia
mengenal Koan Tek, mukanya yang codet menjadi
pucat. Dia mengenal pendekar ini yang membuat
dia dan belasan orang kawannya lari tungganglanggang tiga hari yang lalu.
Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat lari lagi,
maka te rpaksa dia memberanikan diri dan
menyerang dengan bacokan goloknya ke arah
kepala Koan Tek. Pendekar ini menggeser kaki sehingga tubuhnya
miring dan ketika golok lawan meluncur le wat di
samping tubuhnya, dia cepat menggerakkan tangan memukul pundak kanan lawan.
"Krekkkl" Tulang pundak itu hancur. Golok
te rlepas dan si codet yang berteriak kesakitan
hendak melarikan diri. Akan te tapi sebuah
te ndangan membuat sambungan lutut kanannya
te rlepas dan diapun roboh tak mampu bangkit lagi,
hanya duduk dan mengaduh-a duh dengan muka
pucat ketakutan. Lie Koan Tek tidak berhenti sampai disitu saja.
Dia berkelebat ke sana-sini dan terdengar teriakante riakan ketika empat orang penjahat yang lain
roboh terpukul olehnya. Ada yang remuk tulang
le ngan atau kakinya, ada yang benjol-benjol
kepalanya atau matang biru mukanya. Akan tetapi
mereka semua tidak mampu melarikan diri lagi
dan hanya mengaduh-aduh, ada pula yang
pingsan. Lie Koan Tek tidak memperdulikan
penduduk yang datang berlarian ke te mpat itu,
juga tidak memperdulikan anggota perampok yang
lain. Dia menyeret tubuh si codet dan membawanya lari keluar dari dusun. Si codet
merintih-rintih ketakutan dan minta-minta ampun,
Namun Koan Tek tidak perduli dan te rus
menyeretnya keluar dusun sampai tiba di te mpat
sepi, baru dia melepaskan cengkeramannya sehingga tubuh si codet terhempas ke atas tanah.
"Ampun......ampunkan hamba......,tai-hiap......."
kata si codet sambil berlutut menyembah- nyembah. "Mudah saja mengampuni dan membunuhmu,
akan te tapi cepat katakan di mana adanya nyonya
yang kalian rampok tiga hari yang lalu itu. Katakan
dengan sejujurnya kalau engkau tak ingin kusiksa
sampai mati!" "Ampun, tai-hiap. Bukan saya yang mengganggunya, akan te tapi nyonya itu dibawa
pergi oleh toako........, ampunkan saya......."
"Siapa itu toako?" "It-gan Tiat-gu....... "
"Di mana dia sekarang" Nyonya itu dibawa ke
mana" Hayo katakan sejujurnya."
"Mungkin ke sarangnya yang baru......Saya.....saya hanya menjadi pembantunya
sementara saja, dan malam itu... dia pergi
melarikan nyonya itu......"
"Hemm, cepat antarkan aku ke sarangnya!"
"Jauh sekali, tai-hiap, perjalanan sehari penuh....."
"Cerewet! Kau ingin mampus!" Koan Tek menendang dan tubuh orang itu te rle mpar sampai
beberapa meter jauhnya. Dia mengerang dan merangkak bangun.
"Ampun, saya..... saya mau mengantarkan taihiap, tapi........... saya takut, tentu dia akan marah
kepada saya dan membunuh saya."
"Huh, ada aku di sini, tidak perlu takut. Kalau
engkau mengantar aku sampai berhasil menemukan nyonya itu, aku akan mencegah dia
membunuhmu. Sebaliknya, kalau engkau tidak
memenuhi permintaanku, engkau akan kusiksa
sampai mati. Hayo cepat!"
Si codet itu takut sekali dan diapun cepat
bangkit lalu menjadi penunjuk jalan. Lie Koan Tek
berjalan di belakangnya dan mendorong-dorongnya
sehingga si codet, walaupun menderita nyeri di
pundaknya, terpaksa berlari-lari.
Untung bahwa karena gelisah memikirkan
keselamatan Poa Liu Hwa, Koan Tek memaksa si
codet berlari-lari sehingga dia tidak datang
te rlambat. Karena kepala perampok yang berjuluk
It-Gan Tiat-gu (Kerbau Besi Mata Satu) itu, setelah
berhasil melarikan Liu Hwa dan meninggalkan
Koan Tek dikeroyok anak buahnya, melakukan
perjalanan yang santai menuju ke sarangnya,
puncak sebuah bukit yang sunyi. Dia telah
menotok wanita tawanannya itu hingga Liu Hwa
tidak mampu meronta, tidak mampu pula
berte riak. Dengan hati bangga dan girang, si mata
satu itu memondong tubuh Liu Hwa, dibawa ke
sarangnya dengan jalan kaki biasa saja tidak
berlari-lari. Dia bangga karena telah berhasil
menawan isteri ketua Hek-houw-pang dan akan
memaksa wanita itu menjadi isterinya.
Masih ada belasan orang anak buahnya di
sarang itu. Mereka menyambut kedatangan It-gan
Tiat-gu dengan gembira apa lagi ketika melihat
bahwa wanita yang ditawan pemimpin mereka
adalah isteri ketua Hek-houw-pang!
"Siapkan pesta. Malam ini aku akan menikah
dengan isteri ketua He k-houw-pang. Ha ha-ha!" Itgan Tiat-gu berkata lantang kepada anak buahnya
dengan bangga, dan anak buahn ya yang belasan
orang itupun tertawa gembira.
Karena It-gan Tiat-gu hanya berjalan, sedangkan
si codet yang didorong oleh Koan Tek itu berlarilari, maka tidak jauh selisih waktu antara
kedatangan It-gan Tiat-gu dan mereka berdua di
puncak bukit itu. Mereka tiba di puncak itu pada
sore hari dan segera belas an orang anak buah
Kerbau Besi Mata Satu yang tentu saja mengenal si
codet sebagai rekan mereka. Melihat si codet
datang sambil meringis kesakitan dan memegangi
pundaknya, mereka segera merubungnya dan
bertanya-tanya. Si codet maklum bahwa sedikit
saja ia mengkhianati pendekar yang menawannya,
pendekar itu tentu akan membunuhnya. Maka
ketika kawan-kawannya membanjirinya dengan
pertanyaan, dia menggerakkan tangan dengan
tidak sabar "Sudahlah, jangan banyak bertanya
dulu. Aku ingin menghadap toako, di mana dia"
Aku akan melaporkan sesuatu yang amat penting."
"Aihhh, toako sedang bersenang-senang dengan
calon isterinya, jangan diganggu,!" kata seorang di
antara mereka sambil menunjuk ke arah sebuah
pondok tak jauh dari situ.
"Malam nanti kita pesta untuk pernikahan
toako, ha-ha-ha!" kata yang lain. Mendengar ini,
tanpa menanti lagi Lie Koan Tek meloncat ke depan
pondok dan sekali tendang, daun pintu pondok itu
roboh dan diapun menyerbu ke dalam.
Apa yang dilihatnya di dalam kamar pondok itu
membuat wajah Koan Tek jadi merah saking
marahnya. Dia melihat Liu Hwa rebah telentang
dalam kedaan te rtotok dan pakaiannya tidak
karuan, karena It-gan Tiat-gu sedang te rkekehkekeh sambil mulai membukai pakaian wanita itu.
"Ehh?" It-gan Tiat-gu terkejut bukan main ketika
tiba-tiba pintu pondok jebol. Dia meloncat sambil
menyambar senjatanya, sebatang golok yang tadi
ditaruh di atas meja. Dia terkejut ketika mengenal
pria yang tadi mengamuk dan dikeroyok oleh anak
buahnya. "Jahanam busuk!" Koan Tek membentak dan
biarpun lawan memegang golok dia tidak takut dan
bahkan Koan Tek yang menyerang dengan
dahsyatnya. Mata Satu menyambutnya dengan
bacokan golok ke arah kepalanya. Koan Tek
miringkan tubuh menghindar, dan tangannya terus
melanjutkan serangannya dengan pukulan tangan
te rbuka ke arah dada It-gan Tiat-gu. Kepala
perampok itu mengelak dengan loncatan ke
samping dan goloknya berkelebat, kini membabat
ke arah pinggang tokoh Siauw-lim-pai itu. Koan
Tek yang sudah marah bukan main melihat
penjahat ini tadi nyaris memperkosa wanita yang
selalu berada dalam ingatannya itu, menyambut
serangan golok dengan te ndangan kaki dari
samping. "Trangggg....!" Golok terlepas dan membentur
dinding. It-gan Tiat-gu terkejut bukan main dan
merasa jerih, hendak melarikan diri. Akan tetapi
Koan Tek mendahuluinya dengan tendangan yang
mengenai belakang lututnya, kepala perampok
itupun terpelanting. Sebelum dia sempat bangun, kaki Koan Tek
menyusulkan tendangan yang diarahkan ke te ngkuknya. "Krekkkk!" Patahlah tulang leher It-gan Tiat-gu
dan diapun te was seketika. Pada saat itu, anak
buah perampok sudah menyerbu dari luar pondok.
Koan Tek cepat meloncat ke dekat pembaringan
dan sekali tangannya bergerak, bebaslah totokan
pada diri Liu Hwa. Sebelum wanita ini sempat
berkata sesuatu, Koan Tek sudah meloncat keluar
lagi dan mengamuklah dia dikeroyok belasan orang
anak buah perampok itu. Dia melihat bahwa si
codet yang tadi dipaksanya mengantar telah tewas,
te ntu dibunuh oleh rekan-rekannya sendiri setelah
dia lari menjebol daun pintu tadi.
Lie Koan Tek mengamuk dan biarpun ia
bertangan kosong, belas an orang anak buah
perampok itu bukan tandingannya. Mereka kocarkacir dan le bih-lebih ketika Liu Hwa muncul dari
dalam pondok memegang sebatang golok milik Itgan Tiat-gu. Kini pakaian Liu Hwa telah rapi
kembali dan dengan golok di tangan, wanita ini
mengamuk membantu Koan Tek. Tentu saja para
perampok menjadi gentar dan merekapun lari
cerai-berai meninggalkan yang terluka.
Mereka saling pandang, berhadapan dalam jarak
tiga meter. Lalu tiba-tiba Liu Hwa melepaskan
goloknya, lari menghampiri Koan Tek dan
menjatuhkan diri sambil menangis. Koan Tek cepat
menyambutnya, memegang kedua pundaknya dan
menariknya berdiri, melarangnya berlutut. Liu Hwa
kini menangis di atas dada pendekar Siauw-lim-pai
itu. Hampir saja kepala perampok mata satu itu
memperkosanya. Ia sudah tidak berdaya sama
sekali. Dalam saat te rakhir, muncul pula pendekar
Siauw-lim-pai ini menyelamatkannya. Ia begitu
bersyukur, te rharu dan juga bersedih karena ia
te ringat lagi akan keadaannya yang kehilangan
seluruh keluarganya, maka ia lupa diri dan
menangis di atas dada yang bidang itu. Koan Tek
juga seperti lupa, dengan sendirinya mendekap dan
mengelus rambutnya dengan perasaan penuh
kasih sayang! Setelah menumpahkan perasaan haru dan
dukanya, Liu Hwa sadar akan dirinya dan iapun
melepaskan diri, melangkah
dua tindak ke belakang dan mukanya berubah merah sekali.
"Ahhh.......apa yang kulakukan......aih, tai-hiap,
maafkan aku........aku te lah membuat bajumu
basah....." katanya memandang kepada baju
pendekar itu yang basah di bagian dada oleh air
matanya. Koan Tek te rsenyum. "Tidak apa, engkau
memang perlu dapat menangis sepuas hatimu,
nyonya. Nah, marilah kita melanjutkan perjalanan.
Kuantar engkau sampai ke dusunmu."
Liu Hwa mengangguk dan merekapun kini
meninggalkan bukit itu, menuju dusun Ta-buncung. Malam telah tiba ketika mereka tiba di luar
dusun, dan di luar pintu gerbang yang nampak
sunyi, Koan Tek berhenti. "Nyonya, pergilah
engkau ke dalam. Aku le bih baik menanti saja di
sini. Mereka tentu mengenaliku sebagai seorang di
antara para penyerbu, dan mereka akan menyerangku." "Tidak, tai-hiap. Mari masuk saja, biar aku yang
akan memberi penjelasan kepada mereka nanti, "
kata Liu Hwa, akan tetapi Koan Tek merasa tidak
enak. Memang kalau dia ingat akan peristiwa yang
te rjadi di dusun itu, betapa dia membantu para
penjahat untuk membasmi Hek-houw-pang, dia
merasa menyesal bukan main dan merasa malu
kepada dirinya sendiri. "Aku menanti saja di sini. Kalau engkau perlu
berte mu dengan aku besok, aku akan berada di
sini." Terpaksa Liu Hwa meninggalkan pendekar
Siauw-lim-pai itu dan memasuki dusun Ta-buncung yang nampak sunyi. Akan te tapi begitu ada
orang melihatnya, orang itu segera berseru akan
munculnya nyonya ketua He k-houw-pang dan
semua orangpun berlarian keluar menyambut. Dan
hujan tangispun te rjadi. Liu Hwa menangis lagi
mendengar betapa banyaknya korban
jatuh. Bahkan Coa Siang Lee yang menjadi tamu, juga
yang menjadi ahliwaris keluarga Coa yang selalu
menjadi ketua perkumpulan itu, ikut tewas.
De mikian pula Coa Song, kakek yang dihormatinya
itu. Malam hari itu juga, Liu Hwa membawa
perle ngkapan sembahyang dan ia bersembahyang
di depan makam suaminya. Ia tdak mau dite mani
orang lain, bahkan ia menyuruh semua orang yang
mengantarnya untuk meninggalkannya agar ia
dapat meratapi nasibnya di depan kuburan
suaminya. Ia hanya mempunyai satu saja hiburan,
yaitu bahwa pute ranya, Cin Cin, selamat dan kini
menurut pesan terakhir kakek Coa Song, Cin Cin
diantar oleh Lai Kun, sute suaminya, untuk
menjadi murid pendekar sakti Si Han Beng yang
berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai
Kuning). la bersembahyang bukan saja di depan makam
suaminya, juga ia bersembahyang di depan makam
kakek Coa Song dan di depan makam Coa Siang
Lee, bahkan ia menyembahyangi makam para
murid atau anggota Hek-houw-pang yang te was
dalam serbuan itu. Ketika ia menghampiri makam
yang paling ujung sambil membawa hioswa (dupa
biting) dan sekeranjang kembang, ia melihat
sesosok tubuh kecil melingkar di depan makam itu.
Ternyata ada seorang anak laki-laki yang usianya
paling banyak enam tahun rebah miring dan
melingkar di atas tanah, agaknya tertidur!
Liu Hwa memandang ke arah makam itu. Sinar
bulan cukup te rang dan tulisan huruf-huruf di
atas kayu yang sementara dipasang sebagai nisan
itu cukup besar. Ia membaca nama korban itu. Ah,
kiranya itu makam The Ci Kok, seorang anggota
He k-houw-pang tingkat atas . The Ci Kok bahkan
menjadi suheng dari suaminya yang memiliki
kepandaian seimbang dengan suaminya. Kalau
Kam Seng Hin yang dipilih menjadi ketua adalah
karena The Ci Kok ini orangnya pendiam dan agak
bodoh. Kiranya dia juga tewas!
Kini Liu Hwa dapat menduga siapa anak kecil itu
dan hatinya seperti ditusuk. Anak itu te ntu The
Siong Ki pute ra suheng suaminya itu. Iapun tahu
bahwa ibu anak itu te lah tiada sejak anak itu
masih kecil sekali. Berarti bahwa anak itu kini
menjadi seorang anak yatim piatu.
"Siong Ki......Siong Ki.......! Bangunlah, jangan
tidur di sini, nak!" katanya lembut sambil
mengguncang pundak ana k itu. Akan te tapi, anak
itu tidak terbangun. Betapa kuatpun dia mengguncang, te tap saja anak itu tidak te rjaga. la
mulai curiga, lalu memeriksanya. Anak itu seperti
dalam keadaan tidur, akan te tapi kini ia tahu
bahwa anak itu sebenarnya jatuh pingsan!
Makin te rtusuk rasa hati Liu Hwa. Diletakkannya bunga dan dupa di atas makam dan
ia lalu mengangkat dan memangku anak itu,
mengurut te ngkuk dan dadanya. Akhirnya, anak
itu menggeliat lalu menggumam.
"Ayah......ayah.....jangan tinggalkan Siong Ki
sendirian, ayah......! Jahanam, aku akan membunuh kalian semua.!" Anak itu meronta
bangkit dan dengan kedua tangan te rkepal dia
menyerang Liu Hwa! De ngan hati te rharu sekali Liu Hwa menangkap
pukulan-pukulan itu dengan lembut sambil berkata, "Siong Ki, lihatlah siapa aku ini......"
"Tidak perduli engkau siapa, setan atau iblis.
Aku tidak takut! Biar kau membunuhku, a ku tidak
takut. Aku ingin mati dan bersama ayah dan
ibuku!" Dan dia menyerang terus.
Setelah Liu Hwa menangkap kedua lengannya
dan merangkulnya, baru anak itu mengamati Liu
Hwa dan diapun merangkul dan menangis,
"Bibi.......ah. bibi.......! Aku.......aku ingin mati saja,
bibi..!" Biarpun hatinya sendiri seperti diremas-remas,
penuh kedukaan dan keharuan yang membuat ia
ingin menjerit-jerit dan menangis seperti anak
kecil, akan tetapi Liu Hwa menahan perasaannya,
menggigit gigi sendiri dan merapatkan bibir dengan
kuat-kuat sambil merangkul anak itu. Kemudian ia
bicara
Komentar
Posting Komentar