NAGA BERACUN JILID 03

 Kam Seng Hin terlampau marah dan hal ini
membuatnya kehilangan kewaspadaan. Seharusnya dia tahu bahwa dia sama sekali bukan
lawan pemuda lihai ini. Tadipun dalam segebrakan
saja, dia telah roboh walaupun tidak terluka. Kini,
dengan kemarahan meluap, Kam Seng Hin
menggunakan pedangnya untuk menyerang Hong
San. Padahal, para anak buah Hek-houw-pang
sudah mulai gentar untuk mendekati pemuda itu,
karena tadi mereka melihat betapa setiap lawan
yang berani mendekat atau menyerang, tentu
roboh dan tewas! "Haiiitttt ....!" Kam Seng Hin menerjang dengan
ganas, pedangnya menyambar ke arah dada Hong
San dengan tusukan maut. "Hemm, kau sudah bosan hidup!" kata Hong San
sambil tersenyum mengejek. Tubuhnya mendoyong
ke kiri dan ketika pedang meluncur dekat
tubuhnya, dia menggerakkan tangan kanannya ke
arah kepala Kam Seng Hin. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga tidak nampak oleh
ketua Hek-houw-pang yang tingkat kepandaiannya
kalah jauh itu. "Prakkk!" Kam Seng Hin mengeluh dan terkulai
roboh, tewas seketika dengan kepala retak!
Melibat suaminya roboh, Poa Liu Hwa menje rit
dan dengan nekat ia menggerakkan pedangnya,
menyerang Hong San. Namun sambil te rsenyum
pemuda ini menggerakkan kakinya menendang dan
tubuh wanita itu te rje ngkang jauh ke belakang. Ia
bangkit lagi, hendak mengadu nyawa membela
kematian suaminya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya
le mas karena ditotok orang dari belakang. Se belum
ia roboh, sebuah lengan yang kuat menyambutnya
dan di lain saat ia telah berada di dalam
pondongan dua le ngan yang kuat, kemudian orang itu melarikan diri dengan loncatan jauh dan
menghilang dalam kegelapan malam.
Hong San melihat bahwa orang yang menotok
dan melarikan wanita itu adalah seorang rekannya,
yaitu Lie Koan Tek. Dia hanya te rsenyum
mengejek, mengira bahwa tentu rekannya itu
te rtarik pada wanita cantik isteri Hek-houw-pangcu dan menculiknya untuk dipermainkan sebelum
dibunuh. Dia tidak perduli dan pada saat itu
nampak dua bayangan berkele bat dan tahu-tahu di

depannya berdiri seorang laki-laki tampan dan
seorang wanita cantik. Dia memandang heran
karena merasa pernah mengenal mereka, akan
tetapi lupa lagi entah di mana dan kapan.
Mereka itu adalah suami isteri Coa Siang Lee
dan Sim Lan Ci. Suami is teri ini tadi ikut keluar
dan sejenak mereka bingung melihat lima orang
yang amat lihai itu dikeroyok oleh puluhan anggota
He k-houw-pang. Mereka memang sudah lama tidak
mau mencampuri urusan dunia kangouw, bahkan
tidak pernah mau mempergunakan ilmu silat
untuk berkelahi. Kini mereka ragu-ragu, akan
tetapi ketika melihat Kam Seng Hin roboh te was
dan Poa Liu Hwa dilarikan orang, Siang Lee tidak
dapat menahan dirinya lagi dan diapun maju
mendekati tempat pertempuran.
"Aih, dia adalah jahanam itu ..." Tiba-tiba
isterinya, Sim Lan Ci berseru kaget. Siang Lee
memandang dan kini diapun mengenal Can Hong
San. Peristiwa itu terjadi dua tahun yang lalu
ketika Thian Ki berusia tiga tahun. Pada suatu
malam, seorang Jai-hoa-cat (penjahat cabul) muncul dalam kamar mereka, dan penjahat itu
lihai bukan main.! Mereka berdua mengeroyoknya
dan tiba-tiba penjahat itu menangkap Thian Ki
sebagai sandera, memaksa Sim Lan Ci untuk
menotok roboh Coa Siang Lee, kemudian dengan
mengancam nyawa Thian Ki penjahat itu memaksa
Lan Ci untuk menyerah digaulinya! Pada saat yang
amat berbahaya bagi kehormatan wanita itu
muncul seorang pendekar sakti, yaitu Huang-ho
Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng
sehingga perbuatan terkutuk itu dapat digagalkan
dan penjahat itu melarikan diri, tidak kuat
melawan Si Naga Sakti Sungai Kuning.
Penjahat itu bukan lain adalah Can Hong San
yang kini mereka hadapi! "Keparat, kiranya engkau jai-hoa-cat hina!"
Siang Lee memaki dan diapun cepat maju
menyerang bersama isterinya.
Semenjak mereka mengambil keputusan untuk
hidup sebagai petani dan tidak pernah mau
melibatkan diri dalam perkelahian atau permusuhan, suami isteri ini tidak pernah
membawa senjata, Sekarangpun mereka tidak
bersenjata lagi. Padahal Lan Ci memiliki sebatang
pedang pusaka yang bernama Cui-mo Hok-kiam
(Pedang Hitam Pengejar I blis) dan biasanya dahulu
ia membawa sekantung Toat-beng Tok-piauw
(Piauw Beracun Pencabut Nyawa). Akan tetapi
sekarang, wanita itupun seperti suaminya hanya
menyerang dengan tangan kosong. Biarpun demikian, ia memiliki Ban-tok Hwa-kun ( Silat
Tangan Kosong Selaksa Racun) yang dipelajarinya
dari ibunya, yaitu Ban-tok Mo-li, maka tentu saja
serangannya hebat dan hawa pukulan tangannya
mengandung racun. Juga Siang Lee menyerang
dengan pukulan-pukulan ampuh. Pria ini, selain
mewarisi ilmu-ilmu dari keluarganya, yaitu para
pimpinan He k-houw-pang, juga pernah mempelajari banyak macam ilmu silat dari tokohtokoh kangouw, maka serangannya juga berbahaya
sekali. Diam-diam Can Hong San terkejut melihat
gerakan suami isteri itu. Dia mengingat-ingat, akan
tetapi tidak mengenal mereka. Dan serangan
mereka itu membuat dia tidak sempat untuk
banyak mengingat lagi. Serangan mereka te rlalu
berbahaya, maka diapun cepat mencabut pedangnya, diputar pedangnya itu untuk membela
diri dan balas menyerang. Pedang dan sulingnya
menyambar nyambar dan kini suami isteri itu yang
te rdesak, walaupun tidak begitu mudah bagi Hong
San untuk merobohkan mereka dalam waktu
singkat seperti yang tadi dilakukan te rhadap
lawannya. Gulana, jagoan peranakan Turki yang tinggi
besar hitam, juga sejak tadi mengamuk dan sudah
membunuh banyak lawan, ketika melihat betapa
Can Hong San dikeroyok dua orang laki-laki dan
perempuan yang lihai, segera membantu. Jagoan
ini wataknya sombong, maka melihat bahwa
biarpun lihai sekali, pria dan wanita yang
mengeroyok rekannya itu bertangan kosong, dia
lalu te rtawa dan menancapkan tongkat bajanya di
atas tanah. Dia sudah melihat kecantikan Sim Lan
Ci dan timbul niatnya untuk menangkap wanita
cantik itu. Tadipun ia melihat bahwa seorang
rekannya, Lie Koan Tek, telah menangkap dan
melarikan seorang wanita cantik, maka timbul
keinginannya untuk menangkap wanita yang kini
mengeroyok Can Hong San itu.
Sambil tertawa, bagaikan seekor binatang, dia
menubruk dari belakang. Sim Lan Ci adalah puteri
Ban-tok Mo-li, tingkat kepandaiannya bahkan lebih
tinggi dibandingkan suaminya. Biarpun sudah
bertahun-tahun ia tidak pernah berkelahi, namun
gerakannya masih sigap dan pendengarannya
masih tajam, mendengar gerakan dari belakang itu,
padahal saat itu, suling di tangan Hong San sedang
meluncur dan menotok ke arah dadanya. Ia cepat
membalik, mengelak dari totokan suling sambil
memutar tubuh dan lengan untuk menyambut
serangan yang datang dari arah belakang itu. Akan
tetapi, betapa kagetnya ketika kedua pergelangan
tangannya ditangkap oleh dua buah tangan yang
berjari panjang dan besar, kuat bukan main
sehingga kedua pergelangan tangannya itu seolah
dicengkeram je pitan besi! Dan Gulana menyeringai
le bar karena kini dia mendapat kenyataan bahwa
wanita yang ditangkapnya itu luar bias a cantiknya!
"Heh-heh-heh, manis, marilah padaku.........hehheh!" Dan sambil masih mencengkeram kedua
pergelangan tangan Lan Ci, dia membungkuk
dengan maksud untuk mencium muka wanita itu.
Kalau saja dahulu Lan Ci mempelajari ilmu-ilmu
yang amat jahat dari ibunya sehingga bukan saja
tangannya mengandung pukulan beracun, juga
kuku, gigi dan ludahnya dapat menjadi senjata
beracun, te ntu dalam keadaan te rtangkap kedua lengannya itu ia masih dapat menyerang dengan
ludah beracun. Akan te tapi Sim Lan Ci memang
berbeda dengan ibunya. Biarpun ia mewarisi ilmuilmu ibunya, namun ia tidak pernah mau
mempelajari ilmu yang keji itu. Kini, dicengkram
kedua pergelangan tangannya, ia meronta-ronta
dan mencoba untuk melepaskan diri dengan
te ndangan. Akan tetapi raksasa hitam itu menariknya dekat sehingga tidak mungkin menendang, dan yang lebih mengerikan lagi karena
raksasa itu mendekatkan mukanya dan mulut
yang le bar itu seolah moncong harimau yang
hendak menggigitnya! Lan Ci merasa ngeri sekali.
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang anak kecil.
"Lepaskan ibuku!" Anak itu adalah Coa Thian Ki!
Tadi dia dan Kam Cin dipesan oleh orang tua
mereka untuk berdiam saja di kamar dan tidak
boleh keluar. Akan tetapi ketika mendengar suara
perte mpuran semakin gaduh di luar, te rdengar
te riakan-te riakan kesakitan, dua orang anak itu
tak mampu lagi menahan diri untuk tidak luar.
Mereka mengkhawatirkan orang tua masingmasing dan akhirnya, seperti dikomando saja,
mereka bergandeng tangan untuk membesarkan
hati dan berlari keluar dari rumah itu. Dan mereka
melihat pemandangan yang mengerikan. Mayat
berserakan, darah bergelimang di mana-mana dan
mereka melihat empat orang yang mengamuk,
membunuhi para anggota He k-houw-pang seperti
empat ekor kucing mengamuk dan membunuh
tikus-tikus yang mengeroyok mereka.
Ketika Thian Ki melihat ibunya tak berdaya
ditangkap oleh seorang raksasa hitam, dan ibunya meronta-ronta lemah, dia menjadi marah bukan
main. Melupakan segala, kecuali hanya ingin
menolong ibunya, Thian Ki lalu berlari dan
berte riak, "Lepaskan ibuku!" dan diapun sudah
meloncat ke arah punggung raksasa itu. Dia
sendiri tidak tahu betapa gerakannya meloncat itu
sungguh luar bias a sekali, cepat dan ringan.
Hal ini merupakan suatu keanehan yang
seringkali terjadi pada orang yang sedang takut
atau sedang diancam bahaya. Dalam keadaan
biasa, kiranya tidak mungkin sekali Ioncat anak itu
dapat tiba di atas punggung Gulana yang tinggi itu.
Dan karena dia tidak tahu apa yang harus
dilakukan untuk menolong ibunya, begitu tiba di
punggung, Thian Ki menggunakan kedua le ngannya merangkul leher Gulana kemudian
membuka mulutnya dan dia menggigit te ngkuk
raksasa itu! Tiba-tiba saja sepasang mata yang besar dari
raksasa Turki itu te rbelalak melotot le bar,
cengkeraman kedua tangannya pada pergelangan
tangan Sim Lan Ci te rlepas dan kini kedua
tangannya yang membentuk cakar itu bergerak ke
arah punggungnya sendiri, tentu saja dengan
maksud untuk menyingkirkan mahluk
yang menggigit tengkuknya dan yang membuat seluruh
tubuhnya te rasa seperti dibakar itu. Akan tetapi,
dia hanya mampu mengangkat kedua tangan ke
atas dan sebelum cakar kedua tangan itu sempat
menyentuh tubuh Thian Ki, Gulana sudah roboh
te rsungkur ke depan. 
Biarpun tu buhnya kini sudah menjadi kaku,
mukanya menjadi hangus seperti dibakar, dan
tubuhnya rebah miring, namun Thian Ki masih
berada di punggungnya, merangkul dan menggigit
te ngkuk, seperti lintah yang menempel di tubuh
yang gemuk dan banyak darahnya.
Melihat betapa rekannya roboh dengan muka
hangus, dan seorang anak laki-laki kecil masih
melekat di punggung mayat Gulana dan menggigit
te ngkuk raksasa itu, Thio Ki Lok terbelalak. Bekas
kepala rampok ini selain ahli silat, juga ahli gulat
Mongol. Dia lalu maju dan mencengkeram ke arah
punggung Thian Ki. De mikian kuat cengkeramannya sehingga baju di punggung anak
itu robek dan jari tangan si pendek gendut itu
mencengkeram kulit punggung Thian Ki, lalu
melemparkan anak itu sampai melayang sejauh
enam meter! Akan tetapi, Thio Ki Lok mengeluarkan te riakan seperti


seekor babi disembelih, matanya terbelalak memandang tangan
kiri yang mencengkeram tadi. Tangan itu kini te lah
hangus dan rasa nyeri menjalar dari tangan itu ke
atas! Dia adalah seorang yang berpengalaman,
maka tahulah dia bahwa entah bagaimana,
tangannya itu te lah kena racun yang amat hebat
seperti racun ular berbisa yang paling berbahaya,
tanpa ragu-ragu lagi, tangan kanan yang memegang golok bergerak dan.........."crokkk!" dia
telah membuntungi tangan kirinya sendiri sebatas
pergelangan tangan! Akan tetapi, kembali dia
meraung karena rasa nyeri itu telah menjalar ke
le ngannya. Kembali goloknya bergerak dan kini dia
membuntungi le ngan kirinya sampai sebatas siku!
Darah muncrat dan darah ini menghitam. Namun
usaha yang nekat ini terlambat. Thio Ki Lok
melempar goloknya, jatuh terpelanting, bergulingan
sambil meraung-raung dan tubuhnya berubah
menghitam, diapun tewas seperti Gulana!.
"Thian Ki.....!" Sim Lan Ci menghampiri pute ranya yang kini terlempar dan terbanting.
Pada saat itu, terdengar suara riuh rendah dan
te mpat itu diserbu oleh pasukan pemerintah!
Kiranya tadi ada seorang anggota He k-houw-pang
yang lari melapor kepada pasukan keamanan yang
kebetulan berada tidak jauh dari dusun Ta-buncung. Melihat ini, Can Hong San terkejut dan maklum
bahwa sudah tiba saatnya ia dan teman-te mannya
harus pergi, Lie Koan Tek sudah pergi melarikan
seorang wanita. Thio Ki Lok dan Gulana telah
te was secara aneh oleh seorang anak kecil. Kini
hanya tinggal dia dan Gan Lui saja, dan dia harus
mempertanggung-jawabkan kegagalan ini kepada
Pangeran Cian Bu Ong! Maka, secepat kilat dia
menggerakkan suling dan pedangnya, mengirim
serangan dahsyat sekali kepada Coa Siang Lee.
Serangan ini terlalu hebat bagi Siang Lee. Biarpun
dia berusaha mengelak dengan loncatan ke
belakang, namun te rlambat dan ujung pedang
menusuk lehernya. Robohlah Siang Lee dan dia
hanya sempat mengeluarkan keluhan menyebut
nama Thian Ki. Sim Lan Ci yang masih merangkul pute ranya,
te rkejut mendengar suara suaminya. Ia menoleh
dan te rbelalak melihat suaminya roboh mandi

darah. Sim Lan Ci menje rit sambil memondong
putranya, meloncat ke dekat tubuh Siang Lee yang
sudah te was, menubruk tubuh itu dan menje rit.
Akan te tapi pada saat itu, ujung sulingnya
bergerak cepat dua kali dan ibu dengan pute ranya
lalu roboh pingsan. Can Hong San adalah seorang
yang amat cerdik. Melihat betapa anak itu mampu
membunuh Gulana dan Thio Ki Lok, dia dapat
menduga bahwa anak itu te ntu memiliki suatu
keane han dan mungkin menggunakan racun,
maka dia merobohkannya dengan suling. Andaikata dia tidak berhati-hati dan mencoba
untuk menotok Thian Ki dengan tangan, mungkin
diapun akan menjadi korban dan keracunan. Di
lain saat, Hong San sudah memondong tubuh ibu
dan anak itu dan meloncat ke dalam gelap sambil
berte riak kepada Gan Lui. "Mari kita pergi!"
Kiu-bwe-houw Gan Lui juga khawatir karena
munculnya pasukan, maka mendengar ajakan ini
diapun cepat meloncat dan mereka berdua
menghilang di dalam kegelapan malam, meninggalkan mayat dua orang rekan mereka yang
tak dapat ditolong lagi. Andaikata dua rekan itu
matinya wajar, mungkin mereka masih dapat
membawa je nazah mereka. Akan tetapi mereka
te was dalam keadaan keracunan yang aneh. Amat
berbahaya untuk menyentuh tubuh yang keracunan seperti itu. Setelah pasukan keamanan datang menyerbu
dan dua orang itu melarikan diri, pertempuran
te rhenti dengan sendirinya. Dan mulailah hujan
tangis. Lebih dari tigapuluh orang anggota Hekhouw-pang te was dalam perkelahian itu, dan

saking marahnya, sis a anak buah He k houw-pang
menghujani mayat Thio Ki Lok dan Gulana dengan
senjata tajam sehingga dua buah mayat itu yang
sudah hangus menjadi hancur lebur!
Sungguh kasihan sekali melihat Kam Cin atau
Cin Cin. Anak ini juga keluar dari kamar bersama
Thian Ki. Kalau Thian Ki segera lari menyerang
Gulana untuk menolong ibunya, Cin Cin lari ke
arah mayat ayahnya, menubruk dan menangisi
mayat itu tanpa mempedulikan keadaan di
sekitarnya. Setelah pertempuran berhenti dan dia
ditolong, kembali anak ini menangis karena ibunya
le nyap, apa lagi dia mendengar bahwa ibunya
ditangkap penjahat dan dibawa lari.
Dusun Ta-bun-cung berkabung. Tiga puluh
enam orang anak buah He k-houw pang dimakamkan, diiringi tangis sanak keluarga
mereka. Lebih dari setengah jumlah anak buah
He k-houw-pang tewas, bahkan ketuanya juga
te was dan istri ketua le nyap. Lebih dari itu, Coa
Siang Lee juga tewas, isteri dan pute ranya juga
dilarikan penjahat. Pukulan ini terlalu hebat bagi kakek Coa Song
yang usianya sudah tujuh puluh sembilan tahun.
Berkali-kali kakek ini jatuh pingsan dan setelah
siuman, dia tidak mampu lagi bangkit dari te mpat
tidurnya. Ketika dia minta Cin Cin dibawa
kepadanya, dia merangkul cucu buyutnya itu dan
mereka bertangisan. Kakek itu jatuh sakit payah. Sebelum dia
meninggal dunia, dia mengumpulkan sisa anak
buah He k-houw-pang. Cin Cin duduk di te pi

pembaringan dengan mata merah dan bengkak.
Kakek itu lalu meninggalkan pesan. Dia menugaskan seorang cucu murid bernama Lai
Kun, yaitu seorang sute (adik seperguruan)
mendiang Kam Seng Hin, untuk mengantar Cin Cin
pergi mencari Si Han Beng, Si Pendekar N aga Sakti
Sungai Huang-ho di dusun Hong-cun di tepi sungai
Huang-ho dan menyerahkan Cin Cin untuk
menjadi murid pendekar sakti itu.
De ngan tangan gemetar, untuk terakhir kalinya
kakek itu menulis surat singkat kepada Si Han
Beng. Dia sendiri tidak mengenal Si Han Beng
secara langsung, akan te tapi cucunya, Coa Siang
Lee telah menceritakan kepadanya bahwa pendekar sakti Si Han Beng adalah adik angkat
cucunya itu. Maka, dia mengambil keputusan
untuk mengirim cucu buyutnya, Kam Cin kepada
pendekar sakti itu agar menjadi muridnya dan
kelak dapat membalaskan kematian ayahnya dan
mencari ibunya yang dilarikan penjahat. Juga di
dalam suratnya dia menceritakan bahwa Coa Siang
Lee tewas di tangan penjahat yang sama, dan istri
Siang Lee juga dilarikan penjahat. Setelah
membuat surat itu, kakek Coa Song lalu berpesan
kepada semua anak buah Hek-houw-pang bahwa
mulai hari itu, He k-houw-pang dibubarkan dan
semua murid boleh mengambil jalan hidup masingmasing. Semua harta milik Hek-houw-pang dibagibagikan kepada para murid. Sete lah meninggalkan
semua itu, kakek Coa Song menghembuskan
napas terakhir, ditangisi Kam Cin yang seolah telah
kehabis an air mata, sehingga anak ini hanya
merintih dan mengeluh dengan bingung.

Semua murid Hek-houw-pang patuh pada pesan
te rakhir kakek Coa Song. Setelah mengurus
je nasah kakek Coa Song, Lai Kun yang menerima
tugas mengantar Kam Cin ke dusun Hong-cun,
segera mengajak anak itu berangkat. Cin Cin
meninggalkan dusun Ta-bun-cung dengan menangis memilukan. Dia menangisi kematian
ayahnya, kehilangan ibunya, dan kematian kakek
buyutnya. Keberangkatan anak ini diantar sampai
ke luar dusun oleh semua bekas anggota He khouw-pang, dan tak seorangpun yang tidak ikut
menangis saking terharu dan kasihan melihat
nasib Kam Cin, anak yang baru berusia lima tahun
dan yang bias anya lincah jenaka dan periang itu.
oo000oo Can Hong San dan Gan Lui, dengan tubuh le su
karena lelah, menghadap Pangeran Cian Bu Ong di
te mpat persembunyian pangeran itu sambil membawa Sim Lan Ci dan Thian Ki yang masih
pingsan, karena setiap kali mereka siuman, Hong
San menotok mereka dengan seruling membuat
mereka pingsan kembali. Dia menyuruh Gan Lui
untuk memanggul tu buh Thian Ki, sedang dia
sendiri memanggul tubuh Lan Ci. Rekannya itu
mengomel panjang pendek. Pemuda itu memanggul
tubuh wanita yang hangat dan cantik sedangkan
dia harus memanggul tubuh seorang laki-laki,
tubuh yang amat berbahaya karena beracun!
Tadinya dia ingin membunuh saja anak itu yang
hanya menjadi beban, akan tetapi Hong San
melarangnya. 
"Jangan tolol," demikian Hong San menegur
rekan yang menjadi pembantu atau bawahannya
itu. "Tugas yang kita lakukan biarpun berhasil
membasmi Hek houw-pang, akan te tapi juga
mengalami kegagalan besar dengan te wasnya Thio
Ki Lok dan Gulana. Bagaimana kita harus membela
diri di depan pangeran kalau kita tidak membawa
anak ini hidup- hidup" Biar pangeran melihat
sendiri bahwa dua rekan kita itu te was oleh anak
setan ini. Kalau engkau membunuhnya dan
meninggalkannya, apa yang kaujadikan alas an
kepada pangeran?" Mendengar ucapan itu, Gan Lui hanya cemberut,
akan te tapi dia tahu bahwa memang alas an yang
dlkemukakan Hong San itu masuk akal. Dia dapat
membayangkan betapa Pangeran Cian Bu Ong
akan kecewa mendengar betapa dua orang
pembantunya te was, dan seorang lagi yaitu Lie
Koan Tek bahkan melarikan diri membawa seorang
wanita keluarga Hek houw-pang.
Setelah mereka membawa ibu dan anak itu ke
depan Pangeran Cian Bu Ong dan menceritakan
hasil pelaksanaan tugas mereka, pangeran itu
menjadi marah dan menggebrak meja di depannya.
''Bodoh, sungguh bodoh sekali! Menghadapi
perkumpulan kecil seperti Hek-houw-pang saja
kalian sampai kewalahan dan dua orang tewas"
Dan ke mana perginya Lie Koan Tek?"
Hong San dan Gan Lui saling pandang, lalu
Hong San berkata, "Tadinya kami mengira bahwa
dia telah pulang lebih dulu membawa tawanannya,
seorang wanita cantik. Kalau tidak salah istri ketua

He k-houw-pang. Kalau dia tidak kembali ke sini,
berarti dia te ntu melarikan diri dan membawa
wanita itu. Memang sejak semula aku tidak
percaya kepada murid Siauw-lim-pai itu, pangeran!" Pangeran Cian Bu Ong mengerutkan alisnya.
"Hem, kalau benar dia melarikan diri dan
mengkhianatiku, masih ada waktu untuk mencarinya dan dia akan menyesali perbuatannya!
Akan te tapi, bagaimana Thio Ki Lok dan Gulana
sampai tewas, dan mengapa pula kalian tidak
membawa mayat mereka, sebaliknya membawa
wanita dan anak ini?"
Karena takutnya, Kiuw-bwe-houw Gan Lui diam
saja hanya menundukkan kepala, membiarkan
Hong San yang menghadapi pangeran yang sedang
kecewa dan marah itu. Hong San bersikap tenang
saja. Tidak seperti para pembantu lainnya, dia
tidak pernah merasa gentar terhadap pangeran itu.
Kalau dia merendahkan diri menjadi pembantu,
hal itu dilakukannya karena pangeran itu telah
menolongnya keluar dari penjara. Juga karena dia
mengharapkan kelak akan mendapat jas a kalau
pangeran itu berhasil dalam perjuangannya.
"Hendaknya paduka ketahui bahwa dua orang
rekan kami itu te was keracunan sehingga amat
berbahaya untuk membawa mayat mereka ke sini,
bahkan menyentuhnyapun berbahaya. Mereka
te was secara tidak wajar dan yang membunuh
mereka adalah anak ini. Maka aku menangkap dia
dan juga ibunya, kemudian terserah keputusan
paduka, pangeran." 
Pangeran itu te rbelalak. "Anak ini" Membunuh
Thio Ki Lok dan Gulana" Hong San, siapa dapat
percaya laporanmu" Jangan bohong?"
Akan te tapi Hong San menentang pandang mata
pangeran itu dengan berani. "Aku tidak pernah
berbohong, pangeran. Ketika Gulana berhasil
menangkap tangan wanita ini yang memiliki ilmu
silat lumayan, anak ini muncul dan meloncat ke
punggung Gulana, menggigit tengkuknya dan
Gulana roboh dan tewas dengan tubuh menghitam.
Thio Ki Lok mencengkeram anak ini dan tangannya
sendiri yang keracunan, dibuntunginya tangan itu
namun racunnya sudah menjalar ke seluruh tubuh
dan diapun te was keracunan. Karena kami ingin
membawa bukti, kami menangkap ibu dan anak ini
untuk dihadapkan paduka."
"Ehhhh......?" Pangeran Cian Bu Ong turun dari
kursinya dan menghampiri ibu dan anak yang
masih pingsan itu. Dia mula-mula memeriksa
tubuh Thian-Ki, meraba dadanya, nadinya, membuka mulutnya dan memeriksa kuku tangannya, lalu meletakkan telapak tangan di
pusar anak itu. Hanya sebentar karena dia sudah
melepaskan tangannya dan meloncat ke belakang,
matanya te rbuka lebar. "Anak ini.......dia.....dia Tok-tong (Anak Beracun)!" serunya. "Tok-tong" Apa artinya itu, pangeran?" Biarpun
dia sendiri berpengalaman luas, namun selama
hidupnya belum pernah Hong San mendengar
te ntang Anak Beracun. 
Akan tetapi pangeran itu tidak menjawab karena
dia sedang memeriksa keadaan Sim Lan Ci yang
masih rebah pingsan. Wanita berusia tigapuluh
dua tahun ini memang memiliki kecantikan yang
khas, manis dan je lita. Pangeran Cian Bu Ong
bukan seorang mata keranjang yang mudah
te rtarik kecantikan wanita. Di waktu mudanya,
sebagai seorang pangeran, adik tiri mendiang
Kaisar Yang Ti, wanita manapun yang dikehendakinya tentu dapat diperoleh. Maka kini,
dalam usia limapuluh satu tahun dia tidak lagi
haus akan wanita cantik. Akan te tapi, sekali ini dia mengerutkan alis nya
yang te bal, memutar otaknya dan diapun mengangguk-angguk sambil menatap wajah Sim
Lan Ci. "Hong San, bagaimanapun ju ga, aku merasa
girang bahwa engkau memutuskan membawa
wanita dan anak ini kepadaku. Engkau benar dan
jas amu ini cukup besar. Akan tetapi, hubungan
antara kita sampai di sini dan kau terimalah ini
sebagai imbalan jasamu!"
Pangeran itu mengeluarkan sebuah kantung
kecil dan melemparkan benda itu ke arah Hong
San. Pemuda ini memandang heran, menyambar
bungkusan atau kantung kain itu dengan tangan
kiri dan membukanya. Isinya potongan-potongan
emas murni! "Pangeran, apakah artinya ini" Mengapa paduka
memutuskan hubungan?" tanyanya, akan tetapi di
dalam hatinya ia merasa gembira karena 
keputusan ini berarti kebebasannya dan dia masih
menerima hadiah yang demikian berharga pula.
Pangeran itu menarik napas panjang. "Perjuanganku tidak akan berhasil selama aku
tidak dapat mengumpulkan orang yang cukup
banyak untuk membentuk pasukan. Tidak enak
kalau hidup sebagai pelarian yang te rus diburu,
dikejar-kejar. Maka kubebaskan engkau, boleh
engkau pergi ke manapun engkau suka."
Can Hong San adalah seorang yang amat cerdik.
Dia hanya mempunyai satu saja pertimbangan,
yaitu asal baik dan menguntungkan untuk dirinya
sendiri yang lain dia tidak perduli lagi. Maka dia
lalu memberi hormat kepada pangeran itu.
"Terima kasih, Pangeran. Kalau begitu, sekarang
juga aku hendak pergi."
"Pergilah, Can Hong San. Engkau seorang
pembantu yang baik. Mudah-mudahan kelak,
kalau keadaanku mengijinkan, engkau dapat pula
membantuku. Kalau aku sudah kuat, engkau
carilah aku, engkau akan kuberi tugas dan
kedudukan yang baik."
Hong San mengangguk dan diapun pergi
meninggalkan pondok darurat di dalam hutan itu.
Gan Lui kini mengangkat muka memandang
kepada Pengeran Cian Bu Ong. Dia pun mengharapkan untuk dibebaskan seperti Hong San
dan diberi hadiah. Diapun selalu merasa khawatir
kalau harus mengikuti pangeran yang menjadi
pelarian dan dikejar-kejar pasukan pemerintah itu.
Apalagi kini dari lima orang pembantu utama,

hanya tinggal dia seorang. Hal ini amat mengecilkan hati. "Apakah hamba juga harus
pergi, pangeran?" Dia memberanikan diri bertanya.
Gan Lui ini sejak mudanya memang selalu menjadi
penjahat dan pemberontak. Dia tidak suka kepada
Kerajaan Sui yang kini te lah jatuh itu karena
dahulu ayahnya yang bernama Gan Lok dan
berjuluk Kiu-bwe-houw, tewas ole h pasukan
pemerintah Kerajaan Sui. Dia sendiri juga mempergunakan julukan ayahnya dan ketika dia
bersama kawan-kawannya melakukan pemberontakan, dia akhirnya te rtangkap dan
dihukum sampai akhirnya dia dibebaskan oleh
Pangeran Cian Bu Ong. "Nanti dulu, Gan Lui. Sebelum engkau kubebaskan, aku mempunyai tugas untukmu.
Kaulihat ibu dan anak ini. Mereka adalah orangorang Hek-houw-pang yang kubenci karena mereka
membantu pemerintah Tang. Juga anak ini telah
membunuh Thio Ki Lok dan Gulana. Karena itu,
ibu dan anak ini harus dihukum dan engkau yang
harus melakukannya." kata sang pangeran sambil
te rsenyum kejam. Sepasang mata Gan Lui mengeluarkan sinar
bengis. "Ah, serahkan saja kepada hamba,
pangeran! Akan hamba cincang tubuh ibu dan
anak ini. Hamba juga dendam kepada mereka atas
kematian dua orang rekan hamba!"
Akan tetapi pangeran itu menggelengkan kepala.
"Tidak begitu caranya Gan Lui. Terlampau enak
untuk mereka kalau dibunuh begitu saja. Mereka
harus disiksa dulu lahir batin sebelum dibunuh.

Engkau tahu caranya menghukum dan menyiksa
seorang wanita, bukan" Dia cantik, tidak sukar
bagimu untuk mempermainkan sesuka hatimu dan
semua harus kaulakukan di depan anaknya."
"Anak setan itu harus melihat ibunya dipermainkan orang! Engkau tidak boleh membunuh anak itu, juga tidak boleh membunuh
ibunya sebelum kuber ijin. Mengerti apa yang
kumaksudkan?" Gan Lui adalah seorang penjahat besar. Sampai
usia tigapuluh lima tahun itu, entah kejahatan
macam apa yang belum pernah dia lakukan. Dia
sudah biasa merampok, membunuh, memperkosa,
menyiksa dan dia te rkenal sebagai seorang datuk
atau tokoh besar dunia kang ouw. Mendengar
ucapan pangeran itu, ia menyeringai dan otomatis
tangannya meraba kumisnya yang jarang seperti
kumis tikus, dan matanya yang sipit menjadi
semakin sipit seperti terpejam. "Hamba mengerti,
Pangeran. Harap jangan khawatir, ia
akan mengalami penghinaan yang takkan dapat ia
lupakan selama hidupnya! Dan terima kasih,
paduka te lah menyerahkan si cantik manis ini
kepada hamba." "Nah, aku hendak pergi, kaulakukanlah perintahku baik-baik. Akan tetapi ingat, jangan
sentuh wanita ini sebelum ia sadar, agar ia
merasakan siksa batin yang paling hebat. Dan
jangan lupa, engkau tidak boleh membunuhnya,
juga tidak boleh membunuh anak ini. Aku sendiri
yang a kan membunuh mereka. Awas kalau engkau

melanggar perintahku, engkau akan kuhukum
berat!" Gan Lui menyeringai. Apa sukarnya tugas
memperkosa wanita cantik" "Jangan khawatir,
pangeran. Hamba akan melaksanakan perintah
sebaiknya, ha-ha-ha!"
Pangeran Cian Bu Ong meninggalkan pondok itu
dan dengan kecepatan luar biasa dia mengunjungi
orang-orang yang berkumpul tak jauh dari pondok
bersembunyi di te ngah hutan. Setelah memberi
perintah kepada belasan orang pembantunya, dia
lalu kembali ke pondok. Ge rakannya demikian
ringan sehingga tidak terdengar oleh Gan Lui yang
mulai beraksi di dalam pondok itu untuk
melaksanakan perintah yang baginya amat menyenangkan itu. Gan Lui mengamati wajah wanita yang rebah
miring di atas lantai itu sambil te rsenyum-senyum,
kemudian dia membungkuk dan memondong
tubuh itu. "Manisku, mari kita pindah ke
pembaringan, heh-heh-heh!" Ingin dia mencium
mulut itu, akan tetapi dia ingat akan ancaman
Pangeran Cian Bu Ong dan ia bergidik. Tidak, dia
tidak akan berani melanggar. Dia harus menanti
sampai wanita ini siuman, baru dia akan
memperlakukannya sesuka hatinya. Dia harus
bersabar. Direbahkannya wanita itu di atas
pembaringan tunggal yang te rdapat di sudut
ruangan. Anak itu ia biarkan rebah di lantai.
Kemudian ia duduk di atas kursi dan melihat ada
seguci arak di atas meja, dia menyambarnya dan
mulai dia minum arak sambil menoleh ke arah

pembaringan, menanti sampai Sim Lan Ci siuman
dari pingsannya. Sudah agak lama sejak Hong San
menotoknya pingsan dan Gan Lui tidak lama
menunggu. Kini terdengar wanita itu mengeluh
lirih. "... Siang Lee... Thian Ki......ah, Siang Lee......."
wanita itu mengeluh dan menggerakkan tubuhnya.
Gan Lui sudah meloncat dan duduk di te pi
pembaringan. "Heh heh heh, manis, engkau sudah bangun"
Engkau cantik sekali!" katanya dan diapun
merangkul. Lan Ci membuka matanya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika melihat
dirinya didekap seorang laki-laki yang tinggi kurus
bermuka kuning dan berkumis tikus dan bermata
sipit. Orang itu mendekap dengan kurang ajar,
tangannya meraba dadanya dan mukanya begitu
dekat, siap untuk menciumnya!
"Lepaskan aku, keparat!" bentaknya dan ia
menggerakkan kedua tangan untuk memukul.
Namun sambil te rkekeh Gan Lui yang sudah siap
itu menangkap kedua le ngan Lan Ci dengan
cengkeraman cakar harimau, satu di antara
kepandaiannya yang dia andalkan. Namun, Lan Ci
meronta dengan mengerahkan seluruh tenaganya
bahkan mengerahkan te naga Ban-tok Sin kang.
Ilmu dari ibunya yang membuat hawa yang
mendorong te naganya itu mengandung racun.
Walaupun tidak te rlalu kuat karena Lan Ci tidak
melatihnya selama bertahun-tahun, namun cukup
membuat Gan Lui terkejut ketika merasa betapa

telapak tangannya seperti memegang le ngan yang
te rbuat dari baja panas.
Kesempatan selagi cengkeraman Gan Lui mengendur dipergunakan oleh Lan Ci untuk
meronta lepas dan ia meloncat turun dari atas
pembaringan. Melihat Thian Ki roboh pingsan di
atas lantai, hatinya khawatir bukan main. Ia dan
pute ranya telah terjatuh ke tangan seorang
penjahat keji yang hendak memperkosanya! Demi
keselamatan pute ranya, demi kehormatannya, ia
harus membela dirinya mati-matian.
"Thian Ki... .!" Ia berseru akan tetapi tidak dapat
mendekati anaknya karena ia maklum bahwa
lawannya amat berbahaya. "Ha-ha-ha, sungguh seperti seekor kuda betina
liar! Ha, makin liar makin menyenangkan. Engkau
memang harus merasakan kelihaianku, harus
menderita siksaan lahir batin." Tar-tar-tar....... !
Cambuk yang ujungnya berekor sembilan itu
meledak-ledak di udara. Cambuk itu memang
sengaja diberi ekor sembilan yang dahulu merupakan senjata andalan ayah Gan Lui, sesuai
pula dengan julukan mereka Kiu-bwe-houw (Harimau Ekor Sembilan). Kini, cambuk itu
meledak-ledak, kemudian meluncur turun menyerang ke arah tubuh Lan Ci.
"Tar-tarrr......!"
Lan Ci bertangan kosong dan biarpun ia
memiliki gerakan lincah, namun tingkat kepandaian penyerangnya berimbang dengan tingkatnya, bahkan le bih tinggi sedikit dan kini

lawan itu menggunakan cambuk yang panjang,
sedangkan ia bertangan kosong. Lan Ci berloncatan mengelak, akan tetapi sembilan ekor
cambuk itu seperti ular-ular hidup te rus mengejarnya dan melecut-lecut.
"Tar-tar-tarr.....I"
De ngan kelincahannya, Lan Ci berhasil meloncat
ke sana sini, menyusup di antara sinar ujung
cambuk dan bahkan ia meloncat mendekat dan
kakinya melakukan te ndangan kilat ke arah pusar
lawan! "Ehh.......?" Gan Lui te rkejut juga.
Tak disangkanya bahwa calon korbannya itu
sedemikian lincahnya. Terpaksa ia mengelak ke
kiri, akan tetapi, kembali tangan kiri wanita itu
menyambar dengan pukulan yang mendatangkan
hawa panas. Hawa beracun! Demikian berbahayanya pukulan yang mengandung hawa
beracun itu sehingga te rpaksa Gan Lui melempar
tubuh ke atas lantai, bergulingan dan cambuknya
menyambar-nyambar ke atas.
Tanpa setahu dua orang yang sedang berkelahi
mati-matian itu, sepasang mata
sejak tadi mengikuti semua gerakan mereka dan ketika Lan
Ci menyerang dengan te ndangan dan disusul
pukulan yang mengandung hawa beracun, pemilik
sepasang mata itu memandang kagum. Pengintai
itu bukan lain adalah Pangeran Cian Bu Ong!
Pangeran itu sejak mendengar cerita Hong San,
merasa tertarik sekali kepada Thian Ki. Apa lagi
setelah dia memeriksa sendiri keadaan tubuh anak
itu. Seorang Tok-tong (Anak Beracun)! Dia sendiri

hanya mempunyai seorang anak perempuan yang
usianya juga masih kecil, kurang dari lima tahun.
Kalau saja dia dapat mengambil Tok-tong ini
sebagai anak, atau setidaknya sebagai murid. Akan
digemble ngnya anak itu dan kelak pasti akan
menjadi jagoan nomor satu di dunia. Jagoan yang
akan le bih hebat dari pada dia sendiri, dan dalam
waktu belasan tahun saja, mungkin anak ini yang
akan dapat membuat cita-citanya te rwujud! Dan
diapun sudah melihat ibu anak itu. Seorang wanita
yang masih muda, berwajah cantik manis, bertubuh berisi dan indah. Kini ditambah lagi
dengan kenyataan bahwa wanita itu memiliki
tingkat kepandaian silat yang hebat, sebanding
dengan para pembantu utamanya kecuali Can
Hong San. Ah, dia melihat keuntungan besar
baginya. Dia sejak tadi mengikuti gerak-gerik
kedua orang itu dan setiap saat siap untuk
melindungi Lan Ci.! Kini Lan Ci kembali terdesak oleh serangan
bertubi-tubi dari cambuk itu. Gan Lui yang
maklum bahwa wanita ini sungguh tidak boleh
dipandang ringan hanya ingat bahwa Pangeran
Cian Bu Ong tak menghendaki dia membunuh
wanita Itu. Dia mempercepat gerakan cambuknya
dan kini ujung sembilan ekor cambuknya itu
mematuk-matuk ke arah pakaian Lan Ci.!
"Bret-bret-bret.... tar-tarr.... !" Mulailah pakaian
wanita itu cabik-cabik tergigit ujung cambuk.
Lan Ci berte riak marah, akan te tapi ia tidak
berdaya menghadapi hujan le cutan sembilan ekor
ujung cambuk itu. Ia seolah-olah ditelanjangi

sedikit demi sedikit oleh cambuk itu dan mulai
nampak pakaian dalamnya yang tipis berwarna
merah muda. Bahkan bagian atas dadanya sudah
nampak, dan ada bagian kulit tubuhnya yang
babak belur! Tiba-tiba ada sebuah batu kerikil melayang dan
mengenai tengkuk Thian Ki yang sedang rebah
pingsan. Anak itu nampak te rkejut, bergerak dan
bangkit duduk. Dia te rbelalak melihat ibunya
dihajar cambuk oleh seorang laki-laki tinggi kurus
muka kuning. Ibunya sudah hampir te lanjang.
"I buuu.....!" Dia meloncat bangun.
Tentu saja Lan Ci te rkejut bukan main
mendengar teriakan anaknya. Tanpa menoleh
karena ia harus mengelak dan mencoba untuk
menangkap ujung cambuk iapun berse ru.
"Thian Ki! Larilah....! Selamatkan dirimu. Lari......!" Akan tetapi Thian Ki sama sekali tidak lari
keluar, bahkan lari menghampiri!
"Engkau jahat! Engkau mencambuki ibuku.!
Engkau jahat sekali! He ntikan serangan itu!"
"Tar-tarrr!" Ujung cambuk menyambar ke arah
tubuh Thian Ki. Leher dan dada anak itu terkena
cambuk, akan te tapi anak itu seperti tidak
merasakan biarpun kulit lehernya berdarah. la
menerjang te rus, berusaha untuk menangkap kaki
Gan Lui. "Anak Setan! Minggatlah!" Gan Lui berseru
marah. Kalau dia menghendaki, tentu sekali pukul

atau tendang dia akan dapat membunuh anak itu.
Akan te tapi dia tidak berani melakukannya karena
ingat akan ancaman Pangeran Cian Bu Ong.
Kembali cambuknya meledak-Iedak, akan te tapi
anak itu di bawah hujan cambuk, te tap saja
menerjangnya. Dan ketika cambuknya menyambar
ke arah anak itu, Lan Ci yang terbebas dari
desakan cambuk, sudah mengirim pukulan- pukulan beracun! Gan Lui menjadi sibuk sekali. Dia mengelak dari
hantaman Lan Ci, kemudian dengan cambuknya
dia menahan serangan Lan Ci dan tangan kirinya
menyambar dan menangkap kedua le ngan Thian
Ki. Dia pikir bahwa anak itu agaknya memiliki
pukulan beracun seperti ibunya. Kalau sudah
ditangkap kedua le ngannya te ntu tidak akan
mampu bergerak. Mudah menotoknya agar anak
itu pingsan. Akan te tapi, begitu kedua le ngannya
dicengkeram, Thian Ki yang hendak menolong
ibunya itu menggigit tangan yang mencengkeramnya. Dengan sekuat tenaga, giginya
menghunjam ke tangan yang amat kuat itu.
"Aughhh......!"
Teriakan yang keluar dari kerongkongan Gan Lui seperti suara seekor
binatang buas yang ketakutan. Dia memandang ke
arah tangan yang te rgigit dan yang kini menjadi
hitam hangus dan nyerinya sampai menusuk
jantung. Dia terhuyung ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lan Ci untuk
mengirim serangan kilat, pukulan maut ke arah
dada lawan. 
"Plakk.....!" Dan tubuh Gan Lui terjengkang,
matanya mendelik dan dia te was seketika pada
saat tubuhnya te rbanting ke atas lantai ruangan
itu. Ulu hatinya terkena hantaman pukulan yang
mengandung hawa beracun. Tanpa pukulan itupun
dia akan mati dalam waktu cepat karena dari
tangan yang te rgigit itu menjalar racun yang amat
kuat, yang membuat seluruh jalan darahnya
keracunan dan menghitam seperti hangus te rbakar. "Thian Ki.....!"
"I bu......!" Mereka berangkulan dan Lan Ci menangis,
te ringat akan suaminya yang tewas, juga menangis
karena lega bahwa ia dan pute ranya terlepas dari
ancaman bahaya yang mengerikan di tangan si
tinggi kurus muka kuning itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara gaduh
dan agaknya banyak orang mengepung pondok itu.
Lan Ci merangkul anaknya, dan melihat cambuk
milik Gan Lui menggeletak di lantai, memungutnya, kemudian ia berbisik, "Thian Ki,
agaknya masih banyak musuh di luar. Mari naik
ke punggungku, kita harus lari dari tempat ini."
Thian Ki tidak membantah dan digendong di
punggung ibunya. Kakinya menje pit pinggang,
kedua le ngannya merangkul pundak dengan kuat.
Lan Ci membawa cambuk itu dan melompat
keluar. Benar saja, di luar terdapat belasan orang
yang memegang bermacam senjata. Begitu ia tiba
di luar, orang-orang itu berte riak-te riak dan
mengepung lalu menyerang dengan ganas. Dan

te rnyata bahwa mereka semua rata-rata memiIiki
ilmu silat yang cukup kuat sehingga kepungan itu
ketat dan tangguh, membuat ibu dan anak itu
kembali terancam. Lan Ci mengamuk dengan cambuknya. Ia
merasa canggung dan kaku karena keadaan
pakaiannya yang sete ngah telanjang, padahal
belasan orang pengeroyoknya itu semua adalah
laki-laki. Juga senjata yang dipegangnya itu
merupakan senjata yang asing baginya. Maka, ia
hanya menggunakan cambuk itu untuk menangkis i hujan senjata. Diputarnya cambuk itu
melindungi dirinya dan pute ranya, namun karena
ia kurang mahir memainkan cambuk, dalam waktu
sebentar saja pundak kirinya sudah te rcium ujung
golok sehingga terluka. Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat.
Bagaikan seekor burung rajawaIi, bayangan ini
menyambar-nyambar dan Lan Ci te rbelalak. De mikian hebat gerakan bayangan itu dan
kemanapun dia menyambar, te ntu ada pengeroyok
yang roboh dan dalam waktu singkat saja, belasan
orang pengeroyok itu roboh semua dan te was
seketika! Ketika bayangan itu berhenti bergerak, baru
nampak je las oleh Lan Ci bahwa dia seorang pria
yang bertubuh tinggi besar, bermuka merah,
berje nggot panjang dan nampak gagah perkasa,
juga penuh wibawa. Usianya sekitar limapuluh
tahun dan pria itu berdiri memandang kepadanya
sambil tersenyum. 
Dari gerakan tadi saja dan melihat akibatnya,
Lan Ci maklum sepenuhnya bahwa ia berhadapan
dengan seorang sakti. Orang ini dengan kedua
tangan kosong te lah membunuh belasan orang
bersenjata yang kuat. Dan iapun tahu bahwa tanpa
pertolongan orang sakti ini, ia dan pute ranya tentu
akan tewas dikeroyok. Maka, tanpa ragu lagi iapun
melepaskan Thian Ki dari atas punggungnya dan
mengajak pute ranya menjatuhkan diri berlutut di
depan pria itu. "Tai-hiap (pendekar besar) yang budiman. Saya
Sim Lan Ci dan anak saya Coa Thian Ki
menghaturkan te rima kasih atas pertolongan taihiap kepada kami......"
Pada saat itu, terdengar suara gaduh yang
datangnya dari arah barat, seperti suara banyak
orang bersorak dan berte riak-teriak. Mendengar
ini, orang gagah itu menanggalkan jubahnya yang
le bar dan mempergunakan jubah itu untuk
menyelimuti tubuh Lan Ci yang setengah telanjang,
kemudian dia memegang tangan Lan Ci dan
ditariknya bangkit berdiri.
"Sudah, tidak perlu banyak bicara, kita harus
cepat pergi dari sini. Mari ikuti aku!" Dan pria
tinggi besar yang gagah perkasa itu sudah
meloncat ke arah barat darimana suara gaduh itu
te rdengar. Lan Ci berterima kasih sekali karena
kini tubuhnya te rtutup. Ia mengikatkan sabuk di
luar jubah yang kebesaran itu, kemudian sambil
menggandeng tangan Thian Ki dengan tangan kiri
dan memegang cambuk di tangan kanan, iapun

mengikuti orang tinggi besar itu dengan penuh
kepercayaan. Siapakah pendekar yang gagah perkasa ini"
Tentu saja Lan Ci sama sekali tidak pernah
menduga bahwa orang itu bukan lain adalah
Pangeran Cian Bu Ong sendiri! Ketika pangeran
yang amat cerdik ini mendengar laporan Can Hong
San te ntang ibu dan anak itu, hatinya te rtarik
sekali dan setelah dia memeriksa tubuh Thian Ki
dan melihat kecantikan Lan Ci, timbul suatu
keinginan di hatinya untuk memiliki anak dan
ibunya itu. Maka, melihat betapa gerakannya ini sudah
gagal sehingga dia sekeluarga menjadi orang-orang
buruan, diapun ingin mengubah keadaan itu dan
memulai hidup baru yang lain sama sekali. Dia
membebaskan Hong San, lalu menyuruh Gan Lui
memperkosa Lan Ci yang sesungguhnya hanyalah
merupakan ujian bagi ibu dan anak itu untuk
meyakinkan hatinya. Juga diam-diam dialah yang menyuruh belasan
orang pengikutnya untuk mengeroyok Lan Ci. Dia
mengintai dan melihat betapa dugaannya memang
benar. Wanita itu selain cantik menarik juga
memiliki ilmu silat yang cukup timggi dan boleh
diandalkan, dan te rutama sekali Thian Ki sungguh
membuat dia kagum dan girang. Anak itu benarbenar seorang Tok-tong, seorang anak beracun,
yang sekali gigit saja membuat Gan Lui keracunan
hebat! Ketika belasan orang-orangnya sendiri
melakukan pengeroyokan te rhadap Lan Ci, dia lalu
muncul dan membunuh mereka semua, sesuai

dengan siasat yang sudah direncanakan sebelumnya. Menurut rencananya, setelah dia menolong ibu
dan anak itu, tentu besar kemungkinan Lan Ci
yang berhutang budi padanya akan menerima
pinangannya untuk menjadi isteri ke dua. Isterinya
sendiri bersama kurang le bih belasan orang sanak
keluarganya, dia kumpulkan di dalam hutan itu,
bersama pute rinya yang masih kecil, tadinya
dikawal oleh belasan orang yang dia perintahkan
untuk mengeroyok Lan Ci itu.
Akan te tapi, tidak seluruh rencananya berjalan
baik. Tanpa diduga sama kali, ketika belasan orang
pengikutnya menyerbu pondo k untuk melaksanakan perintahnya, yaitu mengeroyok Lan
Ci, tempat persembunyian keluarganya itu diketahui pasukan pemerintah dan suara gaduh
itu adalah suara pasukan yang jumlahnya kurang
le bih seratus orang menyerbu hutan di mana
keluarganya berse mbunyi!
Ketika Pangeran Cian Bu Ong tiba di tempat itu,
diikuti oleh Lan Ci dan Thian Ki, mereka melihat
betapa keluarga pangeran itu te lah dikepung dan dikeroyok oleh banyak sekali perajurit kerajaan.
Keluarga pangeran yang te rdiri dari wanita, kanakkanak dan beberapa orang laki-laki itu melakukan
perlawanan dengan gigih karena mereka maklum
bahwa sebagai keluarga pemberontak, menyerah
berarti penyiksaan dan kematian pula. Maka dari
pada menyerah mereka lebih baik melawan sampai
mati. 
Pangeran Cian Bu Ong datang setelah terlambat.
Dia melihat isterinya, seorang wanita berusia
hampir limapuluh tahun, dengan pedang di
tangan, melawan pengeroyokan empat orang
perwira. Isterinya pernah belajar ilmu silat, akan
tetapi tidaklah terlalu pandai, maka dikeroyok
empat orang perwira yang lihai itu, ia telah
menderita luka-luka parah
walaupun masih melakukan perlawanan dengan gigih. Sambil
mengeluarkan suara melengking nyaring, Pangeran
Cian Bu Ong menyerbu dan begitu bayangannya
berkelebat dan kaki tangannya bergerak, empat
orang perwira yang mengeroyok isterinya itu
te rlempar ke sana-sini dengan kepala remuk atau
dada pecah dan tewas seketika.
Isteri pangeran itu mengeluh dan te rhuyung.
Pangeran Cian Bu Ong cepat merangkulnya. Dada,
perut dan punggung is te rinya sudah berlumuran
darah. "Aku.....aku.....melawan sampai akhir... tolong....
tolong......anak kita.... ia di.....sana...." kata wanita
itu dan iapun te rkulai pingsan dalam rangkulan
suaminya. Pangeran Cian Bu Ong memondong
tubuh is terinya dan menole h ke kiri, ke arah yang
ditunjuk isterinya tadi dan dia melihat Cian Kui
Eng, pute rinya yang baru berusia empat tahun,
dipondong oleh seorang prajurit bermuka hitam
yang te rtawa-tawa merangkul anak yang merontaronta mencakar dan menggigit itu. Sebelum
pangeran ini turun tangan, tiba-tiba te rdengar
suara bentakan Thian Ki yang sudah tiba di situ
bersama ibunya. 
"Orang jahat! Lepaskan anak perempuan itu!"
Dan Thian Ki sudah meloncat ke dekat perajurit
yang memondong Kui Eng, pute ri atau anak
tunggal pangeran Cian Bu Ong.
Melihat anak kecil itu berada di depannya sambil
mengepal tinju dan menegurnya, prajurit itu
te rtawa, "Ha-ha-ha. engkau anjing kecil pergilah!"
Dan kakinya menendang ke arah dada Thian Ki.
Anak ini memang tidak pernah mempelajari ilmu
silat, tidak pernah berkelahi, akan tetapi semangatnya untuk menolong Kui Eng besar
sekali, maka biarpun dia terkena te ndangan
sampai te rguling-guling, dia bangkit lagi dan
meloncat dekat lagi. Prajurit itu marah, tangan kiri
tetap memondong tubuh Kui Eng dan tangan
kanan kini menjambak rambut kepala Thian Ki,
dijambak keras untuk dijebol. Akan tetapi tiba-tiba
dia meraung, melepaskan jambakannya, bahkan
Kui Eng juga te rlepas dari pondongannya. Orang
itu te rhuyung, memegangi tangan yang tadi
menjambak rambut. Tangan itu sudah menghitam
dan diapun te rpelanting roboh dan bergulingan
dalam sekarat! Thian Ki sudah menggandeng
tangan Kui Eng dan diajaknya pergi menjauh.
Sementara itu, dengan cambuk di tangan, Lan Ci
juga mengamuk untuk menolong keluarga yang
dikeroyok pasukan itu. N amun agaknya te rlambat,
karena semua anggota keluarga itu telah roboh.
Melihat keadaan ini, sekali loncat pangeran Cian
Bu Ong sudah mendekati puterinya dan menyambar tubuh pute rinya, dipondong bersama

tubuh is terinya yang pingsan, lalu berkata kepada
Lan Ci. "Sim Lan Ci, cepat pondong anakmu dan kita
pergi dari sini!" Lan Ci maklum bahwa melawan hampir seratus
orang itu sama dengan mencari penyakit, maka
mendengar seruan penolongnya, iapun cepat
menghampiri Thian Ki, memondongnya dan sambil
memutar cambuknya, ia mengikuti Pangeran Cian
Bu Ong yang mencari jalan keluar sambil
menendang-nendang, merobohkan banyak prajurit
yang berani menghadang. Karena te ndangante ndangan itu dahsyat sekali, ditambah gerakan
cambuk di tangan Lan Ci, akhirnya dua orang ini
berhasil keluar dari kepungan dan melarikan diri.
Pangeran Cian Bu Ong memasuki sebuah gua di
le reng bukit sambil memondong tubuh is terinya
dan juga pute rinya, diikuti oleh Lan Ci yang masih
memondong Thian Ki. Setelah menurunkan Thian
Ki, Lan Ci tanpa diminta lalu membuat api unggun,
dibantu oleh Thian Ki. Sementara itu, Pangeran
Cian Bu Ong merebahkan tubuh is terinya. Wanita
itu mengeluh lirih ketika suaminya memeriksa
luka-lukanya, dilihat oleh Lan Ci dan Thian Ki. Lan
Ci memandang dengan perasaan haru bercampur
iba, karena sekali pandang saja iapun tahu bahwa
wanita itu tidak mempunyai harapan untuk hidup
lagi. Luka-lukanya terlampau parah dan terlampau
banyak darah keluar. Yang mengagumkan hatinya,
anak perempuan itu tidak menangis hanya
bersimpuh di dekat ibunya sambil memegangi
tangan ibunya. 
Pangeran Cian Bu Ong hanya dapat menotok
jalan darah isterinya untuk menghentikan mengucurnya darah yang hampir habis dan untuk
menghilang rasa nyeri. "Tenanglah, bagaimanapun
juga, anak kita dapat diselamatkan," kata pangeran
itu dengan suaranya yang lembut berwibawa.
"Aku.....aku rela.....harap kau didik baik- baik.....Kui Eng....." wanita itu te rkulai dan
menghembuskan napas te rakhir.
"I buuu.....I" Hanya sekali itu Kui Eng menje rit
lirih dan merangkul je nazah ibunya. Tangis nya
hampir tidak te rdengar, hanya kedua pundaknya
yang bergerak-gerak itu menunjukkan bahwa ia
te risak. Thian Ki juga sejak tadi memandang dengan hati
penuh perasaan iba te rhadap Kui Eng. Kini,
melihat Kui Eng mendekap je nasah ibunya sambil
menangis tanpa bersuara, Thian Ki mendekat dan
menyentuh pundak anak perempuan itu.
"Sudahlah, ditangisipun tidak ada gunanya.
Engkau tidak sendirian, baru saja akupun ditinggal
mati ayahku yang dibunuh orang jahat." Anak
perempuan itu mengangkat mukanya, menoleh dan
memandang kepada Thian Ki, lalu memandang
kepada Lan Ci dan bertanya, "I a itu ibumu?" Thian
Ki mengangguk. "Enak saja engkau bicara, engkau sih mempunyai ibu dan aku ditinggal mati ibuku."
"Akan tetapi engkaupun masih mempunyai ayah
yang gagah perkasa, dan aku te lah kehilangan
ayahku," bantah Thian Ki. Anak itu te rdiam dan

melirik kepada ayahnya, lalu kepada Lan Ci,
seperti juga yang dilakukan Thian Ki.
Lan Ci memandang kepada laki-laki perkasa itu,
merasa kasihan sekali karena ia merasa betapa
karena menolong ia dan Thian Ki, maka pria ini
kehilangan keluarganya. Andaikata dia tidak
menolongnya, te ntu berada bersama keluarganya
dan tidak akan te rjadi keluarganya te rbasmi oleh
pasukan, karena te ntu dia akan mampu melindungi mereka. "Tai-hiap, maafkan kami. Kami penyebab malapetaka menimpa keluarga tai-hiap," katanya
lirih. Pria itu menghela napas panjang. Sejak tadi dia
hanya duduk bersila dekat jenazah istrinya,
matanya dipejamkan dan wajahnya dibayangi
kedukaan. Setelah menghela napas, dia membuka
matanya dan memandang kepada Lan Ci.
"Benar seperti dikatakan pute ramu tadi. Ditangisipun tidak ada gunan ya. Kita harus dapat
melihat kenyataan, bagaimanapun macam dan
keadaannya. Aku harus cepat mengubur je nazah
ibu Kui Eng sekarang juga. Mungkin pasukan itu
akan dapat mengejar sampai di sini."
Malam itu juga Pangeran Cian Bu Ong menggali
lubang, menggunakan sebatang pedang pendek, di
dalam gua yang cukup besar itu, dibantu oleh Lan
Ci. Malam telah hampir terganti pagi
ketika pemakaman yang sederhana itu selesai. Pangeran
Cian Bu Ong dan pute rinya,Cian Kui Eng

bersembahyang di depan gundukan tanah itu
tanpa hio. Juga Lan Ci mengajak pute ranya untuk
memberi hormat. "Kita harus cepat meninggalkan te mpat ini.
Kalau sampai pasukan dapat mengejar, kita tentu
akan mengalami banyak kesukaran," kata pria itu.
"Kuharap engkau dan anakmu akan suka ikut
dengan aku sehingga aku akan dapat meI indungi
kalian." Lan Ci memandang heran. Penolongnya adalah
seorang yang sakti, dan baru saja kehilangan
semua keluarganya, hanya tinggal pute rinya yang
masih selamat. Bagaimana sekarang penolongnya
itu akan mengajak ia dan Thian Ki" Mengajak
kemana" Tentu saja ia ingin pulang saja ke
dusunnya, yaitu di Mo-kim-cung, akan tetapi ia
harus menengok dulu keadaan He k-houw-pang
yang telah diserbu penjahat-penjahat lihai itu.
"Thai-hiap, saya harus melihat dulu apa yang
te rjadi di dusun Ta-bun-cung, bagaimana dengan
keadaan keluarga suamiku di He k-houw-pang,"
katanya, merasa tidak enak kalau harus menolak
begitu saja ajakan pendekar sakti yang berniat baik
itu. Pangeran Cian Bu Ong kembali menarik napas
panjang. "Hem, perjalanan ke dusun itu mengandung banyak bahaya berte mu dengan
pasukan pemerintah. Mari kuantar sampai luar
dusun itu. Aku mengenal jalan yang aman, dan
aku menanti di luar dusun."
Lan Ci mengangguk dan merekapun berangkat.
Thian Ki menggandeng tangan Kui Eng. Dia merasa

kasihan kepada anak perempuan itu, dan agaknya
anak itupun suka kepadanya. Cian Bu Ong
berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Di
belakangnya kedua anak itu berjalan bergandeng
tangan dan Lan Ci berjalan di belakang melindungi
mereka. Pria tinggi besar itu mengambil jalan
melalui hutan dan lereng yang sunyi dan akhirnya,
setelah matahari naik tinggi tibalah mereka di
dusun Ta-bun-cung. Suasana di dusun itu sunyi,
tak nampak seorangpun berada di luar dusun.
"Kami menanti di sini," kata Cian Bu Ong.
"Mas uklah ke dusun dan setelah selesai urusanmu, harap suka kembali ke sini untuk
mengambil keputusan."
Lan Ci memandang ragu. Dianggapnya bahwa
urusan antara mereka sudah selesai, dan ia akan
mengambil jalan sendiri. Akan te tapi ia merasa
tidak enak. Pria ini baru saja kehilangan seluruh
keluarganya, maka kalau mereka harus saling
berpisahpun sepatutnya kalau dalam keadaan
yang baik. la akan kembali menemuinya untuk
berpamit kalau saatnya berpisah sudah tiba. Yang
penting, ia harus menengok bagaimana keadaan
suaminya dan keluarga He k-houw-pang. la lalu
mengangguk, kemudian menggandeng tangan
pute ranya dan diajaknya anak itu berlari memasuki dusun. Dusun Ta-bun-cung itu kini sunyi bukan main,
seperti mati. Akan tetapi ketika ada beberapa orang
kebetulan keluar dan melihat Lan Ci, mereka
berlari-larian menghampiri dan beberapa orang
wanita yang mengenal Lan Ci sebagai isteri Coa

Siang Lee, sudah menangis dengan sedih. Lan Ci
tidak mempedulikan mereka dan langsung ia lari
menuju ke rumah keluarga Coa. Ternyata pintu
gerbang rumah besar itu te rtutup dan papan nama
besar yang biasanya te rgantung di depan pintu,
bertuliskan Hek-houw-pang, juga tidak ada lagi.
Sepi sekali di situ. Lan Ci mengetuk pintu. Daun
pintu terbuka dari dalam dan seorang laki-laki tua,
berusia limapuluhan tahun yang dahulu menjadi
pelayan keluarga Coa, memandang dengan mata

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN