NAGA BERACUN JILID 02

Kalau begitu, mari kita main-main sebentar,
karena aku harus melihat dulu kemampuanmu,
apakah pantas menjadi pembantuku atau tidak,"
kata Pangeran Cian Bu Ong sambil bangkit dari
te mpat duduknya. Akan tetapi Hong San cepat berkata , "Pangeran,
sungguh tidak baik kalau aku yang akan menjadi
pembantu utamamu ini bertanding denganmu,
walaupun hanya untuk menguji kepandaian. Aku
akan merasa tidak enak kalau sampai kesalahan
tangan melukaimu. Sebaiknya, biarkan empat
orang calon pembantu yang lain ini maju bersama
mengeroyokku, sehingga selain pangeran dapat
menilai kepandaianku, juga mereka itu dapat
menerima bahwa aku lebih unggul dari mereka dan
kelak aku yang menjadi pembantu utama dan
mereka itu harus tunduk dan taat kepadaku."

Pangeran Cian Bu Ong tersenyum dan makin
kagum. Apakah ucapan itu hanya merupakan bual
kosong belaka" Atau benarkah pemuda itu ma mpu
menandingi pengeroyokan empat orang calon
pembantunya yang cukup lihai itu" Dia sendiripun
harus berhati-hati kalau dikeroyok empat orang
itu! Inilah kesempatan baik untuk benar-benar
menguji Can Hong San. "Baik. Nah, kalian berempat sudah mendengar
sendiri. Wakililah aku untuk bersama maju
menandingi dan menguji ke pandaian Can Hong
San!" Perintahnya kepada empat orang itu.
Gan Lui, Gulana, dan Thio Ki Lok segera
bangkit. Ini merupakan perintah pertama, maka
mereka segera bangkit dengan penuh semangat,
bukan saja untuk mentaati perintah pangeran Cian
Bu Ong, akan te tapi juga untuk menundukkan
pemuda yang mereka anggap te rlalu sombong itu.
Akan tetapi, Lie Koan Tek tidak bangkit berdiri.
"Lie Koan Tek, kenapa engkau tidak bangkit"
Majulah dan ikutlah mengeroyok untuk menguji
kepandaian Can Hong San," kata sang pangeran.
"Maaf, Pangeran. Saya bukanlah seorang pengecut. Kalau diperintahkan menguji pemuda
ini, biarlah saya lakukan sendiri saja. Kalah atau

menang merupakan hal yang biasa dalam pertandingan silat. Akan tetapi untuk mengeroyok,
saya merasa malu dan enggan. Maaf !"
Pangeran Cian Bu Ong maklum akan sikap
seorang pendekar sejati seperti murid Siauw-limpai ini. "Kalau begitu biarlah nanti saja kalau perlu
engkau menguji sendiri. Kini yang tiga orang

kuperintahkan untuk mengeroyok dan menguji
kepandaian Can Hong San!"
Tiga orang itu tidak memiliki pendapat yang
sama dengan Lie Koan Tek. Mereka tadi sudah
membuktikan sendiri betapa saktinya pangeran itu
dan mereka sudah merasa tunduk benar. Di dalam
hati mereka te lah menjadi pembantu yang setia,
karena mereka melihat harapan baik sekali bagi
keuntungan mereka sendiri kalau mereka mengabdi kepada pangeran itu. Maka, begitu
menerima peritah ini, mereka bertiga berloncatan
dan berhadapan dengan Can Hong San. Disamping
ketaatan mereka te rhadap pangera Cian Bu Ong,
mereka juga ingin menghajar pemuda yang amat
sombong itu, yang berani memandang rendah
kepada mereka dengan menantang agar mereka
mengeroyoknya! "Orang muda," kata Thio Ki Lok yang pendek
gendut. "Kami bertiga sebagai orang-orang yang
le bih tua darimu, sebetulnya juga merasa tidak
enak kalau harus mengeroyokmu. Akan te tapi
kami mentaati perintah Pangeran yang kami
hormati. Sekarang, apakah engkau masih tetap
menantang kami bertiga untuk maju bersama"
Hati-hati, orang muda, jangan sampai tulangtulangmu yang masih muda akan menjadi patahpatah menghadapi serangan kami."
"Lebih baik engkau menghadapi kami satu demi
satu, orang muda," kata pula Gan Lui.
"Akupun setuju satu lawan satu!" sambung
Gulana. Bagaimanapun juga, tiga orang ini sudah
menganggap diri sendiri terlalu pandai sehingga

kalau mereka harus mengeroyok seorang lawan
muda, mereka merasa malu dan hal ini akan
menurunkan derajat mereka sebagai ahli-ahli silat
tingkat atas. "Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi. Aku
menantang kalian semua maju berbareng untuk
mempersingkat waktu, juga untuk memudahkan
Pangeran dalam menilai kepandaianku. Kalau aku
kalah, anggap saja aku tidak pantas membantu
Pangeran!" Sungguh ucapan ini amat sombong te rdengarnya
oleh tiga orang jagoan itu. Akan te tapi sesungguhnya Can Hong San bukan seorang
pemuda yang sebodoh itu. Dia bukan sekedar
menyombongkan diri, melainkan ingin menimbulkan kesan dalam hati sang pangeran dan
kalau dia sudah berani bicara seperti itu adalah
karena dia s udah yakin akan mampu mengalahkan
tiga orang pengeroyok itu, atau bahkan empat
orang bersama Lie Koan Tek. Dia sudah dapat
mengukur sampai di mana tingkat kepandaian
mereka itu ketika tadi mereka satu demi satu diuji
oleh Pangeran Cian Bu Ong.
Tiga orang itu merasa penas aran mendengar
tantangan Hong San dan merekapun serentak
mengambil sikap menyerang, memasang kudakuda, mengurung Hong San dengan kedudukan
tiga sudut. "Mulailah!" kata Hong San, masih berdiri biasa
saja tanpa memasang kuda-kuda, a kan tetapi pada
saat itu, seluruh otot dan syaraf di tubuhnya
menggetar dan dalam keadaan siap siaga.

"Heiillittttt..........!" Thio Kie Lok menyerang lebih
dulu dengan pukulan tangan kirinya dengan
le ngan yang pendek. Kalau Hong San menangkis,
tangan yang memukul itu tentu akan berubah
menjadi mencengkeram. Pada saat yang hanya
sedetik selisihnya, Gan Lui juga sudah menyerang
dari samping kiri, menampar dengan telapak
tangan ke arah kepala pemuda itu.
"Hemmmn.....!" Tiba-tiba saja tubuh Hong San
bergerak, kedua kakinya bergeser dan dua
serangan itu dapat hindarkannya dengan amat
mudahnya, dengan meliuk dan miringkan tubuh.
"Haahhhh......!" Gulana
menyambut dengan te ndangan kakinya yang panjang.
"Wuuuut......!"
Tendangan itupun dapat dielakkan ole h Hong San sehingga melayang
dengan cepat mengeluarkan angin keras. Thio Ki
Lok dan Gan Lui sudah menerjang lagi, demikian
pula Gulana. Tiga orang yang merasa penasaran
karena serangan pertama mereka dapat dielakkan
dengan mudah oleh Hong San, kini menyerang
le bih dahsyat dari tiga jurusan. Dan kini Pangeran
Cian Bu Ong kagum. Tubuh pemuda itu demikian
lincahnya sehingga bagaikan seekor burung walet
saja, berkelebatan di antara sambaran pukulan
dan tendangan. Sampai belasan jurus tiga orang itu menghujamkan serangan mereka, namun selalu
dapat dielakkan oleh Hong San.
"Hyeeeehhh........!" Gan Lui yang merasa semakin
penas aran, menubruk dari samping kiri dan kedua

tangan yang membentuk cakar harimau itu sudah
menerkam ke arah leher dan dada.
"Pergilah!" Hong San membentak dan kini le ngan
kirinya diputar menangkis , pergelangan tangannya
berputar dan tangan dengan jari-jari terbuka
mendorong ke arah Gan Lui. Orang tinggi kurus ini
berseru kaget karena lengannya terasa sakit bukan
main ketika ditangkis Hong San dan sebelum dia
dapat mencegahnya, tubuhnya terdorong keras dan
diapun terjengkang! Saat itu, sebatang kaki yang panjang dan besar
menyambar ke arah perut Hong San. Itulah
te ndangan kaki Gulana. Hong San hanya miringkan tubuh sedikit sehingga kaki itu menyerempet bajunya. Secepat kilat dia menangkap tumit dan mendorongnya ke atas dan Gulana terlempar
sampai beberapa meter. Thio Ki Lok hendak mempergunakan kesempatan selagi Hong San diserang Gulana tadi
untuk menerkam dari samping dan dia sudah
berhasil merangkul leher Hong San, menggunakan
ilmu gulatnya, kedua tangan memasuki bawah
ketiak dan mencengkeram di belakang te ngkuk
Hong San. Agaknya dia hendak membuat pemuda
itu tidak berdaya dengan kuncian gulat Mongol itu.
Akan te tapi, tiba-tiba dia berteriak kesakitan
ketika kaki Hong San menendang ke belakang,
mengenai kedua lututnya sehingga otomatis
kakinya kehilangan tenaga dan kembali dia
berte riak karena tangan Hong San sudah menangkap ibu jari kedua tangan yang 
mencengkram te ngkuk pemuda itu, sehingga tentu
saja cengkeramannya mengendur karena kekuatan
setiap tangan terletak pada ibu jarinya. Dalam
keadaan kaki kehilangan tenaga dan cengkeraman
mengendur itu, begitu Hong San membuat gerakan
membungkuk dan melempar dengan pundak,
tubuh pendek gendut itupun te rlempar melalui
atas punggung Hong San dan jatuh te rbanting ke
depan pemuda itu! Ketika tiga orang pengeroyok itu bangkit dengan
muka menyeringai kesakitan. Pangeran Cian Bu
Ong berte puk tangan memuji. "Bagus, bagus!
Engkau memang te lah membuktikan kemampuanmu, Hong San! Kami girang sekali
mendapat bantuanmu dan mulai saat ini, engkau
kami angkat menjadi pembantu utama! Akan tetapi
jangan mengira bahwa dengan ilmumu itu, engkau
akan dapat mengalahkan aku, ha ha ha!"
Can Hong San adalah seorang cerdik. Dari cara
pangeran itu tadi mengalahkan empat orang calon
pembantu itu, diapun tahu bahwa pangeran itu
lihai dan memiliki sin-kang yang kuat sekali,
sehingga dia sendiri tidak berani yakin akan
mampu mengalahkannya. Pula setelah dia diangkat menjadi pembantu utama, te ntu saja dia
harus bersikap tunduk. "Aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang
berilmu tinggi, Pangeran. Kalau tidak begitu,
bagaimana mungkin kusuka untuk membantumu"
Akan te tap kuharap engkau suka berhati-hati
te rhadap murid Siauw-lim-pai ini." Hong San
menunjuk kepada Lie Koan Tek. Pendekar ini

menentang pandang mata Hong San dengan penuh
keberanian. Walapun dia tahu bahwa dia tidak
akan menang kalau bertanding dengan pemuda
yang lihai luar biasa itu, akan tetapi bukan watak
pendekar Siauw-lim-pai ini untuk memperlihatkan
perasaan takut. "Hemm, aku adalah seorang laki-laki sejati yang
sekali berjanji akan menepatinya sampai mati.
Kurasa Pangeran harus berhati-hati te rhadapmu,Can Hong San."
"Keparat! Majulah kalau engkau berani melawan
aku dan kalau engkau sudah bosan hidup!" Hong
San menantang dengan muka merah.




"Hemm, biarpun engkau lihai sekali jangan
dikira aku akan takut menghadapi maut di
tanganmu!" Lie Koan Tek bangkit berdiri dan
membusungkan dadanya. Pangeran Cian Bu Ong cepat melangkah maju
menengahi. "Ah, apa yang kalian lakukan ini"
Kalian akan kubebaskan untuk membantuku,
bukan untuk berkelahi dan saling bermusuhan
sendiri! Apa gunanya aku membebaskan kalian,
kalau hanya untuk melihat kalian saling bunuh?"
"Maafkan saya, Pangeran," kata Lie Koan Tek
yang segera melihat betapa tidak baiknya sikapnya
tadi terhadap sang pangeran.
"Maaf," kata pula Hong San yang tentu saja tidak
ingin kalau Pangeran itu menjadi tidak suka
kepadanya. "Ketahuilah, aku sekeluarga dan para pengikut
sedang hendak menyelamatkan diri keluar dari Po yang dan kalian kuminta membantu untuk
melindungi. Kemudian kelak kalian membantuku
menegakkan kembali kerajaan baru sebagai pengganti Kerajaan Sui yang telah jatuh. Dan
selama kalian membantuku, kalian tidak boleh
mementingkan perasaan dan urusan pribadi,
harus mentaati semua perintahku. Sekarang tiba
saatnya kalian berjanji. Kalau kalian mau taat, aku
akan membebaskan kalian, kalau tidak mau,
akupun akan meninggalkan kalian di s ini."
Lima orang itu serempak menyatakan janji
mereka untuk menaati Pangeran Cian Bu Ong.
Mereka maklum bahwa, jika mereka tidak dibebaskan oleh pangeran itu, tidak mungkin
mereka melarikan diri atas usaha sendiri, karena
mereka akan menghadapi ribuan orang prajurit
penjaga, dan kalau mereka ditinggalkan di situ,
mereka hanya akan menghadapi ancaman mati
konyol. Tidak ada pilihan kecuali membantu
pangeran ini. Lie Koan Tek sendiri menaruh harapan besar
pada diri pangeran itu. Pemerintahan kaisar
Kerajaan Sui yang lalu telah mendatangkan banyak
kesengsaraan terhadap rakyat, bahkan Siauw-limsi juga diserbu dan dibakar karena Siauw-lim-si
membela rakyat jelata. Dia mengharapkan kalau
Pangeran Cian Bu Ong berhasll merebut tahta
kerajaan, dia akan menjadi seorang kaisar yang
baik budi dan memakmurkan kehidupan rakyat
jelata. De mikianlah, lima orang hukuman yang lihai itu
dibebaskan dengan mudah oleh Pangeran Cian Bu

Ong dan mereka menjadi pengawal-pengawal
keluarga pangeran itu yang melarikan diri dari Po
yang. -ooo0dw0ooo- "Kongcu datang......!" Teriakan-teriakan gembira
te rdengar dari para anggota Hek-houw-pang di
gardu penjagaan pintu gerbang dusun Mo-kimcung. Biarpun sudah belasan tahun meninggalkan
He k-houw-pang, namun para anggota He k-houwpang masih ingat kepada Siang Lee dan begitu
Siang Lee muncul di depan pintu gerbang dusun,
mereka menyambut dengan gembira sekali. Pemuda cucu ketua lama Hek houw-pang itu yang
merupakan keturunan langsung dari keluarga Coa,
meninggalkan He k-houw-pang karena
urusan pribadi, karena kakeknya melarang dia menikah
dengan pute ri Ban-tok Mo-li. Terhadap He k-houw
pang Siang Lee tidak mempunyai kesalahan
apapun, maka para anggota He k houw-pang masih
memandangnya sebagal keluarga pimpinan mereka. Segera para murid He k-houw-pang merubung
Siang Lee yang datang bersama isterinya, Sim Lan
Ci dan pute ra mereka, Coa Thian Ki. Akan tetapi
mendengar bahwa kakeknya, Coa Song, yang
sudah tua sekali masih hidup, Siang Lee tidak mau
berlama-lama bicara dengan para suheng dan
sutenya, melainkan langsung saja mengajak anak
isterinya berkunjung ke rumah induk perkumpulan itu, yang menjadi tempat tinggal
ketua Hek-houw-pang. 
Karena pada waktu itu keadaan sedang tegang,
para murid He k-houw-pang yang melakukan
penjagaan ketat sehubngan dengan pesan dari
komandan pasukan yang datang berkunjung,
maka berita tentang kedatangan Coa Kongcu
segera tersiar dengan cepat.
Mendengar bahwa Coa Siang Lee pulang, ketua
He k-houw-pang, Kam Seng Hin dan isterinya, Poa
Liu Hwa segera keluar menyambut.
Ketika Coa Siang Lee dengan isteri dan anaknya
tiba di ruangan depan rumah keluarga Coa itu, dia
disambut oleh Kam Seng Hin dan isterinya, juga
anak mereka, Kam Cin. Beberapa orang murid
He k-houw-pang yang tadi mengikuti tamu itu
sudah membisikkan kepada Siang Lee bahwa
ketua He k-houw-pang sekarang adalah murid Hekhouw-pang yang bernama Kam Seng Hin dan yang
menikah dengan Poa Liu Hwa, cucu luar Coa Song
atau adik misannya. Tentu saja dia mengenal
keduanya dan dia merasa bergembira. Dia
mengenal Kam Seng Hin sebagai sutenya (adik
seperguruannya) yang gagah perkasa.
"Coa suheng (kakak seperguruan Coa)!" Kam
Seng Hin dan isterinya menyambut dengan
gembira sambil member hormat.
"Kam sute, engkau menjadi pangcu dari He khouw-pang sekarang" Dan engkau menjadi suami
dari adikku Liu Hwa ini" Ah, aku girang sekali,
sute. Perkenalkan, ini isteriku, dan ini anakku Coa
Thian Ki." Kam Seng Hin memberi hormat kepada Lan Ci
dan menyebut "toa-so" (kakak ipar). Liu Hwa juga

menyambut Lan Ci dengan sikap ramah dan
manis, lalu ia memperkenalkan pute ranya, Kam
Cin. Ketika Kam Cin diperkenalkan dengan Thian
Ki, dengan sikap ramah dan lincah Cin Cin,
demikian panggilan akrabnya lalu memegang
tangan Thian Ki. Mereka sebaya, sama-sama lima tahun usianya.
"Thian Ki, mari kita bermain di taman belakang.
Kami mempunyai kolam ikan di sana dan kemarin
seorang paman memberi sepasang ikan emas yang
lucu bermata besar. Mari......!"
"Kam Cin...." panggil Siang Lee melihat betapa
keponakannya itu sudah menarik Thian Ki diajak
bermain-main. Cin-Cin berhenti dan memandang
kepada Siang Lee dengan sikap tidak malu-malu.
"Supek (uwa guru), semua orang memanggilku Cin
Cin, harap supek , pek-bo dan ju ga Thian Ki
menyebut aku Cin Cin saja."
Siang Lee dan isterinya te rtawa. Kam Cin atau
Cin Cin itu seorang anak yang mungil, tampan,
tabah dan kelihatan cerdik sekali. "Baiklah, Cin
Cin, kuminta engkau jangan mengajak Thian Ki
pergi bermain-main dulu. Dia harus lebih dulu
kuperkenalkan kepada kakek buyutnya."
"Ah, jangan khawatir, supek. Sekarang juga
akan kuajak Thian Ki menghadap kakek buyut!"
Setelah berkata demikian, Cin Cin sudah
menarik tangan Thian Ki, berlari keluar dari
ruangan itu. Melihat ini Siang Lee dan Lan Ci
te rtawa, demikian pula ayah dan ibu Cin Cin.

"Cin Cin memang bandel dan manja sekali," kata
Liu Hwa. "Baiknya dia tidak nakal," sambung suaminya.
"Kulihat anak kalian itu cerdik dan lincah. Mari
kita menghadap kongkon g (kakek) lebih dulu," kata
Siang Lee dan mereka berempat lalu pergi ke
kamar kakek Coa Song yang berada di bagian
belakang. Ketika mereka memasuki kamar yang besar itu,
te rnyata dua orang anak itu sudah berada di situ,
duduk di atas lantai dekat kedua kaki kakek Coa
Song yang nampak gembira bukan main.
Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci segera
menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek itu,
diiringkan ole h Kam Seng Hin dan Poa Liu Hwa.
"Kong-kong......" kata Siang Lee dengan suara
penuh keharuan. Dia tadi sudah mendengar
sepintas dari Kam Sen Hin bahwa kakeknya
seringkali menanyakan dirinya, dan nampaknya
kakeknya sudah melupakan perte ntangan yang
telah lampau. Melihat betapa kakeknya menarik
Thian Ki dengan wajah gembira itu sudah
membuktikan kebenaran keterangan Kam Seng
Hin itu. "Kong-kong......" Lan Ci juga memanggil dengan
sikap hormat. Sejak tadi kakek Coa Song yang usianya sudah
mendekati delapanpuluh tahun itu telah menyambut kemunculan cucunya itu dengan
wajah cerah dan mata berseri.

"Siang Lee, engkau baru datang" Dan itu
isterimu yang dulu" Aku sudah berkenalan dengan
pute ra kalian, Thian Ki. Aku girang sekali kalian
sehat-sehat saja dan masih ingat untuk pulang ke
sini.........." Mendengar suara kakeknya yang agaknya
menyesali sikapnya yang dahulu itu. Siang Lee
segera mengalihkan percakapan. "Kong-kong, saya
merasa girang sekali melihat kong-kong masih
sehat. Semoga Tuhan selalu memberkahi kongkong dengan panjang usia dan sehat selalu."
"Sudah lama sekali aku merindukanmu, Siang
Lee. Dan sekarang engkau datang bersama
isterimu dan puteramu yang tampan gagah ini. Ah,
betapa gembira hatiku. Seng Hin, suruh buatkan
masakan dan minuman, kita adakan pesta
keluarga untuk menyambut Siang Lee!"
Kakek itu kelihatan gembira bukan main. Tak
lama kemudian, Kam Seng Hin dan isterinya
meninggalkan Siang Lee dan Lan Ci bertiga saja
dengan kakek mereka, sedangkan Thian Ki sudah
diajak pergi ke taman oleh Cin Cin.
Kakek Coa Song menghujani Siang Lee dengan
pertanyaan dan suami isteri itu menceritakan
semua pengalaman mereka semenjak berpis ah dari
kakek itu. Ketika mendengar pengakuan Siang Lee
dan Lan Ci bahwa mereka tidak mengajarkan ilmu
silat sama sekali kepada Thian Ki, kakek Coa Song
mengerutkan alisnya tanda tidak setuju.
"Eh, kenapa begitu" Aku tahu bahwa ilmu
silatmu sudah maju pesat, tentu sekarang tingkat
kepandaianmu tidak ada yang dapat 
menandinginya di Hek-houw-pang ini. Juga isterimu memiliki kepandaian yang tinggi. Kenapa
kalian tidak mengajarkan ilmu silat kepada putra
kalian?" "Kong-kong, kami berdua sudah mengalami
cukup banyak kesengsaraan yang disebabkan oleh
kehidupan sebagai ahli Silat. Betapa di dunia ini
penuh degan permusuhan dendam mendendam
yang menjadi bunga kehidupan di dunia persilatan.




Tidak, kong-kong, kami tidak ingin melihat pute ra
kami te rlibat dalam dunia yang penuh kekerasan
itu. Kami tidak sanggup membayangkan dia kelak
menjadi orang yang hidupnya selalu te rancam
bahaya, hidupnya dikelilingi oleh permusuhan,
kekerasan, darah dan maut!"
Kakek itu mengangguk-angguk. Sebagai seorang
yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia
kangouw, te ntu saja dia dapat merasakan kebenaran yang te rkandung dalam ucapan cucunya itu. "Akan te tapi, cucuku yang baik.
Justru karena dunia ini penuh kekerasan, penuh
orang-orang jahat yang menggunakan kekerasan
te rhadap orang lain untuk memaksakan kehendak
mereka, maka kita perlu membekali diri dengan
ilmu silat untuk membela diri sendiri dan untuk
membela orang-orang le mah tertindas, untuk
menentang kejahatan."
Kakek itu berhenti sebentar, lalu melanjutkan,
"Apakah kalian ingin melihat putra kalian kelak
menjadi seorang yang le mah dan menjadi korban
penindasan orang-orang jahat?"

"Tidak, kong-kong. Justru karena tidak bis a silat
maka dia akan hidup aman dan te nteram. Kami
sudah mengalaminya sendiri. Semenjak kami
berdua hidup sebagai petani di dusun kecil, kami
tidak pernah mengalami kekerasan lagi. Orangorang yang hidup di dusun dan tidak mengenal
ilmu silat, tidak pernah berkelahi, tidak pernah
bermusuhan. Kami ingin anak kami kelak hidup
berbahagia, tenteram dan aman."
Kakek itu menghela napas panjang, "Dia adalah
anak kalian, tentu saja kalian yang paling berhak
untuk menentukan. Akan te tapi, Siang Lee,
ingatlah, Thian Ki satu-satunya pene rus keluarga
Coa. Bagaimana kelak jadinya dengan He k-houwpang kalau tidak ada seorang she Coa yang
melanjutkan" Bahkan engkau sendiri sepantasnya
sekarang menggantikan sutemu untuk menjadi
ketua Hek-houw-pang. Itu sudah menjadi hakmu,
dan dalam hal ilmu silat, engkau le bih unggul
darinya." "Aih, terima kasih, kong-kong. Akan tetapi, kami
sudah mengambil keputusan untuk tidak lagi
memasuki dunia persilatan. Kami hendak melupakan kehidupan yang lam pau, memulai
dengan kehidupan baru yang bebas dari kekerasan
dan ilmu silat." Diam-diam kakek Coa Song merasa kecewa,
akan tetapi dia tidak menyatakan hal ini.
Sementara itu, selagi orang tuanya bercakapcakap dengan kakek buyutnya, Thian Ki diajak Cin
Cin bermain-main di dalam taman yang cukup luas
itu. Di tengah taman itu terdapat sebuah kolam

ikan dan Cin Cin dengan bangga memperlihatkan
ikan-ikannya yang beraneka warna di kolam itu.
Setelah bosan melihat ikan, Cin-Cin lalu
mengajak Thian Ki duduk di atas bangku yang
dilindungi payon seperti payung bentuknya. Mereka segera jadi akrab sekali karena Cin Cin
adalah seorang anak yang lincah je naka dan
pandai bicara, pandai bergaul, beda dengan Thian
Ki, yang biarpun juga cerdik sekali, namun Thian
Ki lebih pendiam dibandingkan Cin Cin yang kalau
bicara seperti air terjun yang tak kunjung putus.
"Thian Ki, mari kita latihan," tiba-tiba Cin Cin
berkata. Thian Ki memandang kawan barunya itu dengan
heran. "Latihan" Latihan apa?"
Cin Cin tertawa. "Aih, pakai tanya segala!
Latihan apa lagi kalau bukan latihan silat" Kita
adalah anak ahli silat, tentu saja aku mengajak
latihan silat. Tentu engkau jauh le bih pandai
daripadaku, karena aku dengar bahwa supek Coa
Siang Lee dan supek-bo memiliki ilmu silat yang
tinggi." Thian Ki tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Aku tidak pernah belajar silat, Cin Cin."
Cin Cin memandang dengan sepasang matanya
yang je rnih itu terbelalak le bar. "Aih, tidak
mungkin!" serunya heran.
Thian Ki te rtawa. "Apanya yang tidak mungkin"
Ayah dan ibu tidak pernah mengajarkan ilmu silat
kepadaku, dan akupun tidak suka mempelajarinya.

Maka, sedikitpun aku tidak bisa bermain silat Cin
Cin." "Tapi.....tapi.....mengapa?"
Cin Cin tertegun heran, memandang kepada Thian Ki dengan sikap
masih belum dapat percaya.
Thian Ki tersenyum. "Cin Cin, andaikata aku
bisa silat, tentu kita sekarang sudah saling serang
yang kaukatakan latihan tadi. Dalam latihan silat
te ntu ada yang kena pukul dan hal ini bisa
mendatangkan perasaan tidak senang dan dendam. Akan te tapi sebaliknya, karena aku tidak
bisa silat, tentu engkau tidak bisa memaksa aku
untuk berlatih. Kita tidak saling serang, tidak
saling pukul, tidak saling tendang dan kita tidak
mungkin merasa marah dan dendam, dan tetap
bergaul dengan akrab. Nah, itulah sebabnya
mengapa aku tidak diajar ilmu silat oleh ayah
ibuku." Cin Cin mengangguk-angguk, akan te tapi tetap
saja masih merasa penasaran sekali. Dia akan
menanyakan hal yang dianggapnya aneh ini
kepada ayah ibunya. Ketika mereka semua menghadapi meja dan
makan minum bersama, suasananya sungguh
menggembirakan. Sudah lama kakek Coa Song
tidak memperlihatkan diri dan kini dia nampak
gembira sekali, bukan hanya kakek Coa Song, Kam
Seng Hin dan anak is terinya yang menyambut
kedatangan Siang Lee dan anak isterinyapun hadir
dalam pesta keluarga itu. Juga para murid tingkat
tinggi sebanyak enam orang ikut pula hadir. Dalam
kesempatan ini Siang Lee memberi kete rangan

te rhadap segala macam pertanyaan yang ditujukan
kepadanya. Kemudian diapun bertanya akan
perubahan s uasana di dusun itu kepada Kam Seng
Hin. "Kam-sute, ketika aku memasuki dusun Ta-buncung, aku melihat betapa para anak buah Hekhouw-pang melakukan penjagaan dengan ketat.
Apakah yang telah terjadi" Seolah-olah ada bahaya
mengancam dusun kita ini."
Mendengar pertanyaan ini, Kam Seng Hin
memandang kepada kakeknya dan kakek Coa Song
yang menjawab. " Benar, memang ada bahaya
mengancam kita, Siang Lee.
Bukan hanya mengancam kita, akan tetapi mengancam seluruh
penduduk dusun ini dan dusun-dusun di sekitarnya. Ketahuilah bahwa beberapa hari yang lalu, kami
kedatangan pasukan Kerajaan Tang yang minta
bantuan kami untuk ikut mencari seorang buronan
pemerintah yang amat berbahaya. Buronan itu
adalah seorang pangeran, masih keluarga dengan
kaisar Kerajaan Sui yang sudah jatuh."
"Akan te tapi, kong-kong. Bukankah selama ini
He k-houw-pang tidak mencampuri urusan pemerintah?" "Me mang benar, akan tetapi sekali ini kita tidak
boleh tinggal diam saja, Engkau tahu betapa
buruknya pemerintah Kerajaan Sui dan kita
mendengar pula te ntang kegagahan Panglima Li Si
Bin yang te lah menjatuhkan kaisar yan lalim itu.
Kini, seluruh harapan rakyat digantungkan kepada
kebijaksanaan dinasti Tang. Karena itu, kalau ada

sisa keluarga Kerajaan Sui yang membuat kekacauan, sudah sepatutnya kalau kita membantu pemerintah baru yang hendak membasminya." "Kalau buronan itu hanya seorang pangeran
saja, kenapa He k-houw-pang harus mengerahkan
semua tenaga untuk melakukan penjagaan ketat?"
"Aih, engkau tidak tahu siapa buronan itu, Siang
Lee. Bukan saja dia mempunyai anak buah dan
pengikut, juga dia adalah seorang yang amat lihai,
dulu merupakan seorang di antara jagoan istana
Kerajaan Sui yang sakti."
"Hemm, begitukah" Siapa dia, kongkong?"
"Dia adalah Pangeran Cian Bu Ong. Dia sendiri
seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan kita
belum tahu berapa banyak pengikutnya dan orang
macam apa adanya mereka. Kebetulan sekali
engkau dan is terimu datang, Siang Lee., maka
kuharap kalian akan dapat membantu sutemu
untuk menangkap buronan yang berbahaya itu."
Siang Lee dan isterinya saling pandang, merasa
aneh. Bertahun-tahun mereka hidup rukun dan
damai di dusun mereka, dan kini, dalam
perjalanan menengok kakek mereka, begitu tiba di
situ mereka dihadapkan dengan kekerasan lagi.
Diam-diam mereka merasa khawatir, bukan untuk
diri sendiri, melainkan untuk Thian Ki yang
te rpaksa akan dihadapkan dengan kekerasan.
"Tentu saja kami akan membantu semampu
kami, kong-kong. Hanya sudah bertahun-tahun

kami tidak pernah berkelahi, tidak pernah berlatih," kata Siang Lee.
Mereka mengharapkan bahwa selama mereka
berada di situ, yang mereka rencanakan beberapa
hari lamanya, tidak akan terjadi sesuatu, dan
mereka mengambil keputusan untuk tidak tinggal
te rlalu lama di dusun itu.
"Mari ke sini, Thian Ki. Di si banyak kataknya
dan besar-besar!" kata Cin Cin sambil menggerakgerakkan obor di tangannya. Thian Ki menghampiri, dengan obor di tangan kiri dan
sebatang kayu pemukul di tangan kanan. Malam
itu Cin Cin mengajaknya untuk menangkap katak
hijau. Dalam bulan itu memang banyak katak
hijau yang gemuk-gemuk dan Cin Cin suka sekali
makan daging katak hijau yang le zat. Setelah
mendapat perkenan ayah ibu mereka, dua orang
anak ini pergi menangkap katak hijau di tepi




sungai. Cin Cin sudah hafal te mpat di mana
te rdapat katak gemuk dalam jumlah bes ar, yaitu di
te pi sungai yang merupakan rawa.
Sebuah kantung kain yang mereka bawa sudah
hampir penuh katak hijau. Ketika Cin Cin ingin
mengajak Thian Ki pulang, tiba-tiba dia mendengar
saudara misannya itu berteriak kesakitan. Dia
cepat meloncat ke dekat Thian Ki.
"Ada apa, Thian Ki?" tanyanya sambil mengangkat obornya tinggi-tinggi agar dapat
melihat lebih jelas. "Ah, kakiku.......agaknya digigit sesuatu..... "
kata Thian Ki yang tadi melepaskan obornya.

Dia mengambil obornya yang masih menyala,
lalu mereka berdua melihat ke arah kaki Thian Ki.
"I hhhhh! Ular.......!"
teriak Cin Cin yang melihatnya lebih dulu. Thian Ki juga melihat seekor
ular melilit betisnya dan menggigit betis bagian
bawah. Dia menggerakkan tangan hendak menangkap ular itu. "Jangan sentuh!" Cin Cin berseru. "Itu ular
belang hitam, beracun sekali!"
De ngan mendekatkan obor, Cin Cin hendak
menggunakan kayu pemukul katak untuk melepaskan ular itu dari kaki Thian Ki . Akan
tetapi, dia merasa heran karena ular itu agaknya
sudah menempel di kaki Thian Ki dan sama sekali
tidak bergerak-gerak biarpun sudah ia congkelcongkel dengan kayu. "Ehhhhhh......" Ular ini sudah mati!" teriaknya
heran. "Tapi jangan pegang, Thian Ki. Lebih baik
mari le kas pulang, lapor kepada orang tua kita.
Engkau dapat berlari?"
"Dapat.......!"
Dan keduanya berlari-larian pulang, meninggalkan kantong te risi katak yang
sejak tadi mereka kumpulkan. Dan ular itupun
masih menempel di kaki kiri Thian Ki.
Tentu saja keluarga itu terkejut ketika dua orang
anak itu datang berlari-larian, apalagi ketika Cin
Cin berteriak "ular, ular!" setelah memasuki
perkampungan mereka. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka
ketika melihat ular yang membelit betis kiri Thian
Ki. 
"Jangan sentuh! Itu ular belang hitam yang amat
berbahaya!" teriak kakek Coa Song ketika melihat
ular sebesar ibu jari kaki dan yang panjangnya
hanya satu setengah kaki itu. Wajah kakek ini
pucat ketika melihat betapa kepala ular itu masih
menempel di betis cucu buyutnya, masih menggigit! Dia tahu bahwa gigitan ular itu boleh
dibilang tidak ada obatnya!
Dia cepat mengambil kain, menggunakan kain
untuk melindungi tangan dan menangkap ular itu
pada le hernya lalu dia menarik. Ular itu terlepas
dan kakek itu terbelalak.
"Ular ini sudah mati!"
Lan Ci sudah merangkul pute ranya dan Siang
Lee juga memegang pergelangan tangan puteranya.
Dia juga pucat dan khawatir sekali karena sebagai
penduduk dusun itu diapun tahu bahwa gigitan
ular belang hitam ini berarti maut. Kakek Coa
Song, Kam Seng Hin dan Poa Liu Hwa juga merasa
gelisah sekali. Mereka cepat mengambilkan air
panas dan obat anti racun. Akan tetapi tiba-tiba
Lan Ci berseru. "Harap mundur dan biarkan aku
memeriksa anakku. Minta lampu yang te rang, air
panas dan pis au tajam!"
Siang Lee maklum bahwa iste rinya adalah puteri
Ban-tok Mo-li, karenanya isterinya te ntu ahli
te ntang racun. Kakek Coa Song ingat akan hal itu, demikian
pula Kam Seng Hin dan is te rinya yang sudah
mendengar tentang toa-so mereka. Cepat mereka
mundur dan memper siapkan semua yang diminta
Lan Ci. 
De ngan tenang namun sigap Lan Ci mengangkat
tubuh anaknya dan merebahkannya di atas meja.
Lampu-lampu di dekatnya sehingga semua orang
dapat melihat ular itu dengan jelas. Lan Ci cepat
membalurkan obat bubuk kuning pada tangannya,
lalu dengan berani ia memegang ular yang tadi
sudah ditarik lepas dari kaki pute ranya. Ia harus
memeriksa dulu racun macam apa yang ada pada
ular itu agar dapat menentukan obat penawarnya.
Akan tetapi ia terbelalak ketika memandang ular
mati di tangannya itu. Tubuh ular itu seperti
te rbakar hangus! Ia memandang kepada Cin Cin.
"Apakah engkau tadi membakar ular itu, Cin Cin"
Membakar dengan obormu?" tanyanya sambil
menoleh kepada Cin Cin. "Tidak, supek-bo!"
Siang Lee juga mendekat untuk memeriksa. Ular
itu benar sudah mati, mati te rbakar!
Karena sukar memeriksa racun dari ular yang
sudah gosong itu, Lan Ci lalu memeriksa luka di
betis Thian Ki. Dan kembali ia terbelalak! Tidak
nampak keracunan pada luka itu. Hanya luka kecil
yang mengeluarkan sedikit darah. Bekas gigitan itu
tidak ada tanda keracunan, seperti tertusuk duri
saja! Ia memandang kepada Thian Ki yang juga
memandangnya. Siang Lee kembali memeriksa
te kanan nadi anaknya. N ormal!
"Thian Ki..... " Lan Ci memanggil anaknya.
"Kenapa, ibu" Tidak apa-apa, bukan?"
Lan Ci menggeleng kepalanya, "Bagaimana
rasanya" Apakah panas" Atau ada perasaan nyeri

yang luar biasa, apakah kepalamu pening dan
jantungmu berdenyut keras?"
Thian Ki tersenyum, menggelengkan kepala dan
bangkit duduk. "Sama sekali tidak, ibu. Aku tadi
hanya te rkejut dan rasa gigitan itu hanya perih
sedikit, akan tetapi sekarang sudah sembuh lagi.
Ular apakah itu, ibu?"
Tentu saja semua orang menjadi terheran-heran,
akan tetapi juga gembira bukan main. Kakek Coa
Song seperti tidak percaya dan dia bahkan kini
memeriksa sendiri. Akhirnya dia tersenyum le bar
penuh kelegaaan hati. Cucu buyutnya itu memang
sama sekali tidak keracunan, betapapun tidak
mungkinnya hal itu. "Apakah ular itu sudah kehilangan racunnya
ketika menggigit anakmu?" tanyanya kepada Lan
Ci. Nyonya muda itu mengambil ular itu, lalu
sebatang tusuk sanggul perak dicabutnya dari
sanggulnya. Di bawah pandang mata semua orang,
nyonya muda itu menggosok-gosok ujung tusuk
sanggul perak itu ke mulut ular, di antara taringtaringnya. Dan semua orang mengeluarkan seruan
ngeri karena segera tusuk sanggul yang tadinya
putih bersih itu tiba-tiba menjadi kehijauan lalu
menghitam! Lan Ci juga terbelalak menoleh kepada
pute ranya yang hanya ikut memandang tidak
mengerti. "Racun di mulut ular ini cukup kuat untuk
membunuh sepuluh orang dewasa!" kata Lan Ci.
"Aku akan memeriksa apa yang membuat binatang
ini mati terbakar." 
Lan Ci menggunakan pis au menyayat tubuh ular
itu, memeriksa di bawah sinar lampu yang te rang.
Dan iapun memandang kepada suaminya dengan
mata terbuka le bar, penuh keheranan dan kekagetan. "Ada apa?" Siang Lee bertanya khawatlr.
"Ular ini....... terserang racun yang amat hebat!"
Tentu saja ucapan ini membuat semua orang
te rkejut dan terheran-heran dan bertanya-tanya.
Lan Ci diam saja, hanya mengerling sejenak
kepada suaminya lalu kepada puteranya.
"Bangkai ular ini harus dikubur yang dalam.
Kalau ada anjing makan dagingnya, anjing itu akan
mati." Kam Seng Hin lalu menyuruh seorang anggota
He k-houw-pang untuk melakukan penguburan itu
di kebun belakang. Peristiwa ini membuat semua
orang bertanya-tanya. Akan tetapi mereka semua
memaklumi ketika Lan Ci mengajak pute ranya itu
memasuki kamar. Siang Lee yang masih berkhawatir mengikuti dari belakang. Kini Cin Cin
yang dirubung semua orang dan anak ini
menceritakan te rjadinya peristiwa yang mengejutkan dan menggelisahkan tadi.
Setelah semua orang memasuki kamar masingmasing, Kam Seng Hin memberi nasehat kepada
Cin Cin, "Anakku, engkau lihat tadi sikap Thian Ki.
Biarpun nyawanya te rancam maut, dia begitu
te nang, begitu tabah. Engkau harus mencontoh
sikapnya itu. Menjadi seorang gagah haruslah
te nang dan tabah, biar menghadapi maut 
sekalipun. Jangan cengeng seperti seorang perempuan lemah." "Benar kata ayahmu, Cin Cin. Engkau harus
menjadi orang yang gagah perkasa dan sikap Thian
Ki tadi memang mengagumkan sekali. Sungguh
heran kalau anak seperti itu tidak diajar ilmu
silat," kata Poa Liu Hwa.
Sementara itu, setelah Thian Ki tidur pulas , Lan
Ci memberi is yarat kepada suaminya. Mereka
turun dari pembaringan dan bercakap-cakap
dengan suara berbis ik di sudut kamar, menjauhi
pembaringan itu. Tadi mereka berdua melakukan
pemeriksaan lagi dengan teliti kepada tubuh putera
mereka, sampai mereka merasa yakin benar bahwa
Thian Ki tidak keracunan.
"Aku khawatir sekali," kata Sim Lan Ci dengan
suara berbisik. "Hemm, kenapa" Bukankah dia sama sekali
tidak keracunan" Kita sepantasnya bersyukur,
kenapa engkau malah khawatir?" tanya Siang Lee,
juga berbisik. Lan Ci mengerutkan alisnya. "Tadinya aku
sendiri merasa heran melihat gigitan ular yang
amat berbisa itu tidak membuat dia keracunan.
Akan tetapi setelah aku memeriksa keadaan ular
itu, mengertilah aku dan akupun merasa khawatir
bukan main." "Apa yang kaukhawatirkan?" Siang Lee yang
melihat wajah isterinya berubah



pucat, merangkulnya dengan penuh sayang. "Jangan

membikin aku bingung, katakan apa yang mengkhawatirkan hatimu."
Dan begitu dirangkul suaminya, Lan Ci menangis di dada suaminya! Tentu saja Siang Lee
menjadi semakin kaget dan heran. Didekapnya
isterinya dan diusapnya air matanya. "Aih, e ngkau
membikin aku menjadi semakin bingung. Kenapakah, sayang?" Lan Ci mengeraskan hatinya dan membiarkan
suaminya mengusap air matanya. Kemudian ia
berhasil menenangkan hatinya dan beberapa kali
ia menghela napas panjang.
"Dahulu, sebelum aku ikut denganmu, ibuku
pernah bercerita bahwa ibu senang mempelajari
cara membuat seorang anak menjadi Tok-tong
(Anak Beracun). Aku tidak begitu memperhatikannya dan sudah melupakan hal itu
lagi ketika ibu menjadi nikouw. Akan tetapi melihat
keadaan Thian Ki, aku tahu bahwa anak kita telah
menjadi Tok-tong!" "Ahh.....!!!" Siang Lee te rbelalak memandang
kepada is terinya, lalu ke arah Thian Ki yang tidur
pulas di pembaringan. "Tok-tong....." Apa artinya
itu.....?" "Artinya, anak kita yang kita ingin didik menjadi
orang yang tidak mengenal ilmu silat itu kini telah
memiliki tubuh yang membuat dia menjadi orang
yang amat berbahaya! Engkau lihat saja tadi
buktinya. Seekor ular berbisa yang amat berbahaya, setelah menggigit dia, tidak membuat
Thian Ki keracunan, bahkan ular itu sendiri yang

keracunan dan mati seperti terbakar. .Apalagi
kalau ada manusia yang menyerangnya!"
"Aduhh.......! Ba.....Bagaimana ini......?" Siang
Lee menjadi pucat dan dia memandang ke arah
pute ranya. "Dia harus disembuhkan. Racun itu
harus dibuang dari tubuhnya!"
De ngan sedih Lan Ci menggeleng kepalanya.
"Tidak mungkin. Aku te ringat sekarang semua
keterangan ibu. Anak yang akan dijadikan Toktong itu bukan saja diberi minum racun, juga
tubuh digodok dengan air beracun, kemudian
ditusuki jarum beracun dan dimasuki hawa
beracun yang hanya dapat dilakukan oleh ibu.
Otomatis badan anak itu menjadi beracun, seperti
binatang beracun lainnya dan tidak ada yang dapat
menghilangkan racun itu dari tubuhnya."
"Celaka! Ya Tuhan, kenapa ia melakukan itu
kepada anak kita?" Siang Lee mengepal tinju dan
mukanya berubah merah karena marah. "I bumu
jahat sekali! Sudah menjadi nikouw masih
mencelakai anak kita!"
Kini Lan Ci yang merangkul suaminya. "Tenanglah, koko. Dalam keadaan seperti ini kita
harus tetap tenang agar dapat mencari jalan keluar
yang tepat untuk anak kita."
Sejenak mereka berangkulan dan akhirnya Siang
Lee dapat menenangkan hatinya.
"Ceritakan semua, apa akibatnya setelah anak
kita menjadi Tok-tong," kata Siang Lee dan
suaranya mengandung kepahitan yang hebat. Anak
satu-satunya, yang disayangnya dan yang 
diharapkan akan menjadi seorang anak yang jauh
dari kekerasan dan ilmu silat, kini bahkan telah
menjadi anak beracun yang berbahaya!
"Thian Ki telah menjadi Tok-tong dan tidak ada
obat yang dapat memulihkannya. Dia akan
tumbuh dewasa secara normal. Akan tetapi
tubuhnya te lah mengandung racun. Kalau dia
tidak diberi tahu, tanpa disengaja dia bisa
mengeluarkan hawa beracun, ludah beracun,
bahkan pukulan tangannya dapat mengandung
racun. Kita hanya dapat melatihnya agar dia dapat
mengendalikan diri, mengendalikan hawa beracun
di tubuhnya itu." "Apa tidak ada akibat lain" Benarkah tidak ada
cara untuk menghilangkan racun itu?"
"Akibat yang amat menakutkan, kalau dia tahu
akan kemampuan hebat dalam dirinya untuk
merobohkan orang lain, kalau dia berambisi untuk
menjadi jagoan, tentu dia akan mencelakai banyak
orang. Dan ada satu cara untuk menghilangkan
racun itu, akan tetapi.."
"Tidak ada tapi! Apa cara itu" Akan kute mpuh
lautan api sekalipun untuk mencarikan obatnya."
"Racun itu akan dapat berkurang sedikit demi
sedikit kalau dia.......berhubungan badan dengan
wanita. Akan tetapi, setiap orang wanita yang
berhubungan dengan dia akan mati keracunan.
Entah berapa banyak wanita yang akan mati
sebelum dia bersih dari racun itu."
"Ya Tuhan.......!!! Siang Lee seketika menjadi
le mas. Kalau obatnya macam itu, sampai matipun

dia tidak akan mengijinkan pute ranya membunuh
banyak wanita. "Tidak ada lain jalan, suamiku. Kita harus
memberitahu anak kita sekarang juga, agar jangan
sampai te rlambat. Bayangkan saja kalau dia tidak
tahu dan besok pagi bermain-main dengan Cin
Cin, kesalahan tangan memukulnya, dapat saja
tanpa disengaja hawa beracun itu bekerja dan Cin
Cin tewas di tangannya!"
Siang Lee nampak te rkejut sekali. "Celaka,
engkau benar! Dia harus diberitahu agar menyadari keadaan dirinya dan tidak sembarangan
membunuh orang. Akan te tapi baru saja mereka mendekati tempat
tidur, di luar kamar mereka te rdengar suara
gaduh, disusul ketukan pintu kamar mereka dari
luar. "Suheng! Coa-suheng dan toa-so, harap buka
pintu, cepat! Ada hal yang penting sekali!"
te rdengar suara Seng Hin, ketua Hek-houw-pang.
Tentu saja Siang Lee dan Lan Ci te rkejut, mereka
menduga bahwa ini te ntu ada hubungannya
dengan keadaan anak mereka yang mengejutkan
itu. Siang Lee cepat membuka daun pintu dan
te rnyata Seng Hin sudah berdiri di situ bersama
Poa Liu Hwa yang memondong tubuh Cin Cin.
Mereka kelihatan panik. "Ada apakah, s ute?" tanya Siang Lee.
"Coa-suheng, mereka telah menyerbu dusun
kita!" kata Kam Seng Hin. "Mereka siapa?" tanya
Siang Lee. 
"Mungkin anak buah orang buruan itu. Mereka
lihai sekali dan beberapa orang anak buah kita
telah roboh. Karena suheng dan toaso tidak mau
berkelahi, maka kami hendak menitipkan Cin Cin
di sini. Mohon suheng suka menjaga dan
melindungi anak kami ini."
Poa Liu Hwa menurunkan Cin Cin dan mereka
berdua lalu berloncatan keluar dari dalam kamar
itu. "Ayah! Ibu! Aku ikut......!" Cin Cin berseru dan
lari mengejar. Akan tetapi Siang Lee telah
menangkap le ngannya, lalu mengangkat dan
memondong anak itu "Tidak boleh, Cin Cin. Ayah ibumu akan
berte mpur, berbahaya sekali kalau kau ikut
dengan mereka. " "Aku tidak takut, supek! Aku akan membantu
ayah dan ibu menyerang musuh!" Cin Cin meronta.
"Tidak boleh, Cin Cin. Ayah ibumu telah
menitipkan engkau kepada kami, kami harus
menjaga dan melindungimu. Mereka akan marah
kalau engkau menyusul ke sana. Di sinilah
bersama kami dan Thian Ki."
"Ayah, apakah yang terjadi" Apa ribut-ribut itu?"
Thian Ki yang te rbangun oleh suara gaduh di luar
itu sudah turun dari pembaringan dan menghampiri ayah ibunya. "Eh, Cin Cin disini?"
"Cin Cin, berjanjilah bahwa engkau akan berada
di sini bersama Thian Ki dan tidak akan mencari
ayah ibumu," kata Siang Lee sambil menurunkan

Cin Cin yang sudah tidak meronta lagi setelah
anak itu melihat Thian Ki.
"Baik, supek. Aku akan berada di sini bersama
Thian Ki." Dari situ te rdengar suara orang berte mpur di
luar. Siang Lee dan istrinya saling pandang.
"Kita harus menengok keadaan kong-kong, dan
melihat apa yang terjadi," kata Siang Lee kepada
isterinya. Lan Ci mengangguk dan Siang Lee kini
menghadapi dua orang anak yang sudah saling
berpegang tangan dengan wajah te gang itu. "Thian
Ki dan Cin Cin, kalian dengar baik-baik. Dusun ini
diserbu orang-orang jahat, kami orang-orang tua
harus melawan mereka, akan te tapi kalian berdua
tidak boleh keluar. Kalian harus bersembunyi di
sini sampai kami kembali dan jangan sekali-kali
keluar. Mengerti?" "Baik, ayah." "Baik, supek." Suami isteri itu hendak melangkah ke luar, akan
tetapi di ambang di ambang pintu, Lan Ci kembali
memasuki kamar itu dan memegang tangan Thian
Ki lalu menariknya dan berkata, "Thian Ki, engkau
ke sini sebentar, ibu mau bicara penting!"
Thian Ki menurut saja diajak ibunya ke sudut
kamar dan ibunya berbisik-bisik di telinganya.
"Thian Ki, di tubuhmu te rdapat hawa beracun.
Ingat ular tadi mati ketika menggigit kakimu. Kelak
engkau harus mencari obat penawarnya, dan
jangan sekali-kali engkau menikah sebelum sembuh. Setiap wanita akan mati kalau berdekatan

denganmu. Ingat baik-baik ini," kata Lan Ci dengan
suara berbisik dan sebelum Thian Ki yang menjadi
bengong itu sempat bertanya, ia sudah meninggalkannya dan bersama suaminya ia lalu
keluar dari dalam kamar itu setelah menutupkan
daun pintunya. Cin Cin menghampiri Thian Ki yang masih
te rtegun bingung. "Thian Ki, apa yang dipesankan
ibumu tadi?" tanya Cin Cin sambil memegang




tangan Thian Ki. Thian Ki menggeleng kepala. "Tidak apa-apa Cin
Cin. Ibu hanya pesan agar kita tidak keluar dari
sini karena di luar amat berbahaya, dan bahwa
aku harus melindungimu."
"Thian Ki, engkau tidak pandai silat, bagaimana
akan dapat melindungiku" Akan te tapi jangan
khawatir, aku dapat melindungi diriku sendiri,
bahkan aku yang akan melindungimu, kalau ada
orang jahat berani masuk ke sini akan kuhajar!"
Cin Cin mengepal kedua tinjunya.
Akan tetapi Thian Ki tidak te rsenyum melihat
kelucuan Cin Cin itu. Dia sedang bingung. Ucapan
ibunya masih te rngiang di telinganya dan dia tidak
mengerti artinya. Dia keracunan. Ular itu tadi mati
sendiri begitu menggigit kakinya. Akan tetapi, apa
artinya setiap wanita akan mati kalau berdekatan
dengannya" Ibunya juga seorang wanita dan
selama ini dekat dengannya, akan tetapi ibunya
tidak mati!. Dia sungguh tidak mengerti. Akan tapi
dia berjanji kepada diri s endiri untuk mencari obat
kalau benar di tubuhnya terdapat hawa beracun.

Sebetulnya, apakah yang te rjadi di dusun itu"
Benar seperti dugaan He k-houw-pang-cu yang
mendengar laporan para anggotanya, malam itu
rombongan Pangeran Cian Bu Ong tiba di dusun
itu!. Mula-mula, pada malam hari yang gelap itu,
menjelang tengah malam, lima orang menghampiri
gardu penjagaan di pintu gerbang dusun Ta buncung. Mereka itu bukan lain adalah lima orang
pembantu Utama Pangeran Cian Bu Ong, lima
orang bekas narapidana yang dia bebaskan, yaitu
Gan Lui, Lie Koan Tek, Thio Ki Lok, Gulana dan
Can Hong San. Mereka diutus Pangeran Cian Bu
Ong untuk melakukan penyelidikan sebagai pembuka Jalan di dusun itu. Dari mata-matanya,
pangeran itu sudah mendengar bahwa daerah itu
dilindungi oleh He k-houw-pang dan bahwa perkumpulan orang gagah ini sudah didatangi
pasukan Kerajaan Tang dan dimintai bantuan
untuk menghadang dan menangkapnya.
Maka dia bersikap hati-hati dan lebih dulu
mengirim orang-orang kepercayaan sebelum mengajak rombongannya masuk ke dusun itu.
Tentu saja para anggota He k-houw pang yang
melakukan penjagaan di pintu gerbang itu menjadi
te rkejut dan curiga ketika melihat munculnya lima
orang asing secara tiba-tiba di tengah malam itu.
"Heii, berhenti! Siapa kalian dan hendak ke
mana?" kepala jaga berseru dan bersama duabelas
orang anggota He k-houw-pang lainnya dia meloncat menghadang lima orang itu sambil
mengamati dengan penuh s elidik. Seorang penjaga

menyalakan sebuah lampu lain yang le bih besar
sehingga tempat itu tidak segelap tadi.
Biarpun dia yang paling muda, namun Can Hong
San secara resmi telah diangkat sebagai pembantu
utama oleh pangeran Cian Bu Ong, dan empat
orang yang lain diwajibkan untuk membantunya.
Karena ini merupakan perintah pangeran itu, maka
Lie Koan Tek mentaati perintah itu dan dia
menganggap orang muda itu sebagai atasannya.
Tiga orang jagoan yang lain te ntu saja tunduk
kepada Hong San karena mereka bertiga sudah
pernah dikalahkan oleh pemuda perkasa ini. Kini
Hong San melangkah maju dan dengan sikap
angkuh dia menghadapi kepala jaga yang berkepala botak itu. "Apakah kalian ini anak buah perkumpulan yang
dinamakan He k-houw-pang?" tanya Hong San,
suaranya dingin mengandung ejekan yang memandang rendah. Sudah lazim bagi orang-orang muda. DaI am
keadaan melakukan penjagaan keamanan itu,
timbul sikap gagah-gagahan karena bangga dan
merasa kuat. Demikian pula dengan orang-orang
He k-houw-pang itu. Mereka mengangkat dada dan
tangan mereka siap meraba gagang senjata yang
te rgantung di pinggang seperti pedang dan golok,
atau tombak yang berada di rak senjata di gardu
itu. "Benar sekali. Kami adalah murid-murid He khouw-pang yang melakukan penjagaan untuk
keamanan dusun kami!" jawab si botak. "Siapakah
kalian?" 
"Hemm, bagus kalau kalian ini orang-orang Hekhouw-pang. Nah, sekarang cepat beritahukan
kepada ketua kalian bahwa kami ingin bertemu
karena urusan yang amat penting," kata Hong San,
sikapnya masih dingin. Para murid He k-houw-pang itu saling pandang
dan si botak bersikap hati-hati. Siapa tahu, lima 

orang ini adalah sahabat-s ahabat ketua mereka
yang datang berkunjung sebagai tamu. Orangorang kang-ouw memang banyak yang aneh.
Berkunjung di te ngah malam seperti itu bukan
suatu pantangan bagi mereka.
"Jadi cu-wi (anda sekalian) ingin bertemu
dengan pang-cu kami?" tanya si botak, kini
sikapnya agak menghormati dan ragu-ragu. "Akan
tetapi, kami harus melaporkan dulu siapa cu-wi
dan apa keperluan cu-wi hendak menghadap pangcu kami." "Katakan saja kepada pang-cu kalian bahwa
kami berlima diutus oleh pangeran Cian Bu Ong.....
" Baru bicara sampai di situ, para murid He khouw-pang sudah terkejut sekali.
"Pemberontak!" "Tangkap!" "Kepung......!"
Tigabelas orang itu serentak mencabut senjata
dan mengepung lima orang yang bersikap te nang
itu. Si botak yang memegang sebatang pedang,
menudingkan te lunjuk kirinya ke muka Can Hong
San dan dia berseru dengan nyaring. "Lebih baik
kalian lima orang pemberontak menyerah kepada
kami daripada harus kami tangkap dengan
kekerasan!" Hong San mengerutkan alisnya. Pangeran Cian
Bu Ong sudah marah ketika mendengar bahwa
He k-houw-pang mengambil sikap bermusuhan
dengan dia dan a kan membantu pasukan Ke rajaan
Tang untuk menangkapnya. Dia sudah berpesan
kepada Hong San bahwa kalau ketua Hek-houwpang mau diajak kerja sama, hal itu baik sekali.
Akan te tapi kalau mereka berkeras menentangnya,
maka lebih baik perkumpulan itu dibasmi saja!
"Hemm, orang He k-houw-pang. Sekali lagi,
panggil ketuamu ke sini agar kami dapat bicara.
Atau kami akan mengambil jalan berdarah untuk
menangkap ketua kalian!"
"Serbuuuu! Hancurkan pemberontak!" teriak si
botak dan dia sendiri sudah menyerang Hong San
dengan pedangnya, karena pemuda itu berdiri
paling depan. Juga para murid lain sudah
menggunakan senjata mereka untuk menyerang
empat orang rekan Hong San.
Hong San adalah seorang muda yang amat lihai.
Ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat
tinggi, maka te ntu saja serangan murid tingkat ke
dua dari He k-houw-pang itu tidak ada artinya bagi
dirinya. Bahkan kalau dia mau melindungi
tubuhnya dengan sin-kang, pedang itu tidak akan
mampu menyentuhnya, akan tetapi, Hong San
sama sekali tidak mengelak, bahkan menangkap
pedang si botak yang menyerang dengan bacokan.

Tangan kirinya menangkap pedang itu seolah
pedang itu bukan benda baja tajam yang
digerakkan dengan te naga besar, melainkan
sebatang pedang kayu tumpul yang digerakkan
tangan seorang anak kecil saja. Dan tangan
kanannya dibarengi dengan tamparan ke arah
kepala botak itu. "Prakkkk!" Si botak te rjengkang dan ro boh tewas
seketika karena kepalanya retak-retak dan pedangnya te rampas berada dalam cengkeraman
tangan kiri Hong San. Pemuda ini tidak berhenti
sampai di situ saja. Sekali dia melemparkan
pedang rampasan itu ke kiri, seorang pengeroyok
roboh dan pedang itu menancap di dadanya
sampai menembus punggung!
Empat orang rekannya juga sudah di keroyok
banyak murid Hek-houw-pang.
Gan Lui merobohkan seorang pengeroyok yang
te was seketika oleh senjata cambuknya, Thio Ki
Lok juga menewaskan seorang pengeroyok dengan
golok gergaji. De mikian pula Gulana meremukkan
kepala seorang pengeroyok dengan tongkat bajanya. Hanya Lie Koan Tek yang tampak raguragu. Melihat betapa sudah ada lima orang roboh
te was, dia melompat ke depan.
"Tahan semua senjata!" teriaknya dengan suara
lantang sekali karena tokoh Siauw-lim-pai ini
mengerahkan khi-kang sehingga suaranya keluar
dari perut dan amat nyaring. "Kami utusan
pangeran Cian Bu Ong datang untuk mengajak
bekerja sama, bukan bermusuhan. Kerajaan telah
dirampas pemberontak, apakah kalian hendak

membantu pemberontak Tang" Mari kita bicara
dengan baik dan kami persilakan ketua Hek-houwpang untuk keluar bicara dengan kami!"
"Akulah ketua Hek-houw-pang!" Tiba-tiba te rdengar suara keren dan Kam Seng Hin telah
berdiri di situ, didampingi oleh isterinya, Poa Liu
Hwa. Ketua yang berusia empatpuluh tahun ini,
yang bertubuh tinggi besar dan gagah, nampak
marah sekali melihat betapa lima orang murid Hekhouw-pang telah roboh tewas. "Kailan anjing-anjing
penjilat Pangeran Cian Bu Ong yang memberontak!
Kami adalah rakyat yang tunduk dan taat kepada
pemerintah yang sah!"
Lie Koan Tek merasa khawatir sekali melihat
sikap ketua Hek-houw-pang itu. Dia tahu benar
betapa lihainya empat orang rekannya, te rutama
sekali Can Hong San yang masih muda itu, dan
betapa kejamnya hati mereka. Kalau dibiarkan saja
perkelahian berlangsung lagi, tentu semua orang
He k-houw-pang akan terbunuh mati. Maka diapun
cepat mendahului dengan suaranya yang lantang.
"Ketua Hek-houw-pang te rnyata masih muda
dan gagah. Pangcu, ketahuilah bahwa pendirianmu
itu keliru. Pemerintah yang sah adalah kerajaan
Sui yang jatuh ke tangan pemberontak yang kini
mendirikan Kerajaan Tang. Kalau engkau ingin
menjadi seorang pahlawan, seharusnya engkau
membela Kerajaan Sui, bukan Kerajaan Tang yang
didirikan para pemberontak!"
"Tidak perlu memutar-balikkan kenyataan!"
bentak pula Kam Seng Hin marah. "Setiap orang
te ntu tahu betapa lalimnya kaisar te rakhir

kerajaan Sui, menindas dan mencekik rakyat.
Panglima Li Si Bin adalah seorang pejuang rakyat,
seorang pahlawan yang mengenyahkan kaisar lalim
dan sekarang membangun pemerintahan baru
yang bersih dan adil. Kemudian Pangeran Cian Bu
Ong memberontak di Pohai, lalu sekarang menjadi
pelarian. Siapa tidak tahu akan hal itu" Sebaiknya
kalau kalian menyerah agar kami tangkap dan
kami hadapkan kepada pemerintah."
"Jahanam sombong!" bentak Can Hong San
marah dan diapun sudah menerjang dengan
tangan kirinya, menampar ke arah kepala Kam
Seng Hin. Ketua Hek-houw-pang ini merupakan
seorang murid kepala dan te ntu saja sudah
memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Namun,
kini dia berhadapan dengan seorang pemuda yang
kepandaiannya jauh le bih tinggi dari dia, maka
melihat tamparan itu, Kam Seng Hin cepat
menangkis sambil mengeluarkan seluruh tenaga.
"Plukkkk!" Begitu tangkis annya bertemu dengan
tangan Hong San, tubuh tinggi besar ketua itu
te rpelanting dan terbanting keras! Tentu saja
semua anggota Hek-houw-pang terkejut.
Poa-Liu Hwa menolong suaminya dan beberapa
orang anggota He k-houw-pang menyerang Hong
San dengan senjata mereka. Juga para anggota
He k-houw-pang lainnya yang sudah berkumpul
telah mengepung dan mengeroyok empat orang
yang lain dengan senjata mereka. Biarpun dengan
hati yang berat, karena dikepung dan dikeroyok,
Lie Koan Tek terpaksa membela diri. Akan tetapi,
kalau dia hanya mengelak dan menangkis saja dan

merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh
atau melukai dengan berat, empat orang lainnya
sebaliknya seperti berpesta-pora menyebar maut di
antara para anggota Hek-houw-pang.
Poa Liu Hwa yang menolong suaminya mendapat
kenyataan bahwa suaminya tidak terluka, maka
mereka berdua lalu menghunus senjata dan ikut
pula mengeroyok. Terjadilah perte mpuran yang
seru dan mati-matian. Can Hong San tidak menggunakan pedangnya.
Pihak lawan dianggap te rlalu lemah sehingga
cukup dengan suling di tangan kiri dan tangan
kanan yang kosong saja, dia sudah menyebar
maut. Sudah enam orang roboh dan tewas oleh totokan
suling di tangan kiri atau hantaman tangan
kanannya. Dia mengamuk sambil te rsenyum
gembira seperti orang yang sedang membunuhi
tikus saja. Melihat ini, Kam Seng Hin yang bersama
isterinya tadi mengeroyok Gulana, menjadi marah
sekali. Sambil berteriak nyaring dia membalik dan
menerjang Can Hong San, membantu anak
buahnya mengeroyok pemuda tampan ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN