NAGA BERACUN JILID 01
Thian ho-tang (Kuil Pardamaian Langit) di lorong
Coa-san (Bukit Ular) merupakan sebuah kuil yangdihuni belasan orang nikouw (pendeta Buddhis
wanita) dan kuil ini dikunjungi banyak tamu yang
berdatangan dari dusun-dusun di sekitar daerah
pegunungan itu. Mereka datang untuk bersembahyang, mohon bermacam-macam berkah.
Ada yang minta kesembuhan bagi orang sakit,
minta ringan jodoh, minta bertambahnya rejeki ,
naik pangkat dan segala macam keinginan lagi.
Bahkan diam-diam banyak pula yang minta
kutukan bagi orang lain yang dibencinya.
Kuil Thian ho tang berada di luar dusun Mo-kim
cung, sebuah dusun yang makmur karena tanah di
pegununagn itu s ubur. Pe nduduknya semua petani
dan mungkin kuil Thian ho-tang merupakan satu
di antara sebab yang mendatangkan ketenteraman
pada penduduk dusun itu. Selain tiga belas orang nikouw yang bekerja di
kuil itu, melayani para pengunjung, terdapat pula
seorang nikouw tua yang pekerjaannya hanya
membaca kitab, berdoa dan bersamadhi saja. Para
nikouw di kuil itu menyebutnya Lo Nikouw (Nikouw
Tua) dan tidak pernah mengusiknya. Lo Nikouw
berada di situ sejak dua tahun yang lalu dan ia
tinggal di kuil itu sebagai tempat peristirahatan
atau pertapaan, dan kehadirannya ini dibiayai oleh
pute rinya yang tinggal di dusun Mo kim-cung.
Puterinya bernama Sim Lan Ci, berusia tigapuluh dua tahun yang tinggal di dusun itu
bersama suaminya bernama Coa Siang Lee, dan
anak tunggal mereka bernama Coa Thian Ki yang
berusia lima tahun. Mantu dan pute rinya itulah
yang membawanya ke kuil, dan minta kepada para
nikouw di situ untuk menerima nenek itu menjadi
seorang nikouw dan bertapa di kuil itu. Mereka
membiayai keperluan hidup nenek itu dengan
sumbangan yang memadai sehingga biarpun Lo
Nikouw tidak bekerja, namun para nikouw yang
lain menghormatinya. Hal ini bukan saja karena Coa Siang Lee dan
isterinya membiayai kebutuhan hidup Lo Nikouw,
akan tetapi juga karena suami isteri itu terkenal di
dusunnya dan di daerah sekitarnya sebagai suami
isteri yang budiman. Mereka juga hidup sebagai
petani sederhana, namun suami isteri itu te rkenal
pandai ilmu pengobatan dan selalu meno long
penduduk dusun itu yang menderita sakit, bahkan
ada yang mengabarkan bahwa suami is teri itu
selain budiman dan pandai mengobati, juga
memiliki ilmu untuk menolak segala ancaman
bahaya. Pernah dusun itu diganggu beberapa ekor
harimau yang suka menerkam kambing milik para
penghuni dusun. Setelah pada suatu malam suami
isteri itu pergi menyelidik sedangkan para
penghuni lain bersembunyi di dalam rumah karena
takut, binatang-binatang buas itupun menghilang
dan tidak pernah datang lagi. Tidak ada seorangpun penghuni yang tahu bahwa suami
isteri itu sebetulnya memiliki ilmu kepandaian s ilat
tinggi yang amat kuat! Andaikata para nikouw mengetahui, siapa
sebetulnya Lo Nikouw yang tampak alim itu, tentu
mereka akan merasa ngeri. Ibu dari Nyonya Coa
Siang Lee yang mereka kenal sebagai Lo Nlkouw
yang nampaknya le mah ini, pada dua tahun yang
lalu masih merupakan seorang datuk sesat yang
ditakuti orang dan berjuluk Ban tok Mo li (I blis
wanita Selaksa Racun). Dari nama julukannya
sudah dapat diketahui bahwa ia adalah Iblis Betina
yang amat kejam. Para pembaca kisah Naga Sakti
Sungai Kuning te ntu mengenal siapa Ban-tok Moli, siapa pula puterinya dan mantunya itu. Ban-tok
Mo li bernama Phang Bi Cu, seorang wanita yang
berwajah cantik jelita namun berhati kejam.
Bahkan setelah menjadi nlkouw di Thian ho-tong
masih nampak bekas kecantikannya walaupun
usianya sudah hampir enam puluh tahun. Dua
tahun yang lalu, ia masih meraja lela, bersekongkol
dengan orang-orang lihai lainnya di dunia sesat.
Putrinya, Sim Lan Ci, walaupun putri seorang
datuk sesat, namun tidak menjadi penjahat.
Apalagi setelah Sim Lan Ci bertemu dan jatuh cinta
dengan Coa Siang Lee. Ban tok Mo li menentang
perjodohan putrinya dengan Coa Siang lee. Mereka
nekat dan minggat meninggalkan Ban tok Mo li,
kemudian hidup sebagai suami istri petani di
dusun Mo kim cung, tidak lagi mencampuri urusan
dunia persilatan. Kini mereka telah mempunyai
seorang anak laki-laki yang diberi nama Coa Thian
Ki, sudah berusia lima tahun.
Karena suami isteri ini pernah menderita
sengsara akibat kekerasan yang selalu terjadi
dalam kehidupan para ahli silat, maka setelah
mereka mempunyai seorang anak, mereka berdua
bersepakat untuk tidak mengajarkan ilmu silat
kepada Thian Ki, pute ra mereka. Mereka menganggap bahwa kehidupan seorang ahli silat
penuh dengan perte ntangan, permusuhan dan
perkelahian, balas membalas dan dendam mendendam. Mereka hendak menjauhkan anak mereka dari
semua kekerasan itu, maka sejak kecil Thian Ki
hanya belajar membaca menulis dan kebudayaan
lain, akan tetapi sama sekali tidak pernah
diperkenalkan dengan ilmu silat.
Dalam ilmu silat, Coa Siang lee cukup lihai
karena dia te lah mewarisi ilmu-ilmu dari He khouw-pang (Perkumpulan Harimau Hitam) dari
kakeknya sendiri, Cou Song yang menjadi ketua
Hok-houw-pang yang berada di dusun Ta-buncung dekat kota Po-yang sebelah utara sungai
Huang ho di Propinsi Ho-nan. Adapun is terinya,
Sim Lan Ci, bahkan lebih lihai lagi karena wanita
ini adalah puteri dan murid Ban tok Mo li Phang Bi
Cu, memiliki ilmu silat dari golongan sesat yang
penuh tipu daya, bahkan juga menguasai pukulanpukulan yang mengandung hawa beracun.
De mikianlah keadaan suami isteri ahli silat yang
hidup te nte ram sebagai petani di dusun Mo-kimcung itu. Tak seorangpun penduduk dusun tahu
bahwa suami isteri ini sesungguhnya merupakan
orang-orang yang amat lihai sehingga tidak
mengherankan kalau mereka dengan mudahnya
dapat mengusir harimau-harimau yang mengusik
dusun itu. Akan te tapi dua tahun yang lalu, ketika itu
Thian Ki berusia tiga tahun muncullah pada suatu
malam tanpa diketahui orang lain, Ban-tok Mo-li di
dalam rumah keluarga itu. Dapat dibayangkan
betapa kaget dan herannya suami isteri itu melihat
munculnya orang yang tidak pernah mereka
sangka akan datang berkunjung itu.
Bagaimanapun juga, Ban tok Mo-li Phang Bi Cu
adalah ibu kandung Sim Lan Ci, maka nyonya ini
segera menghampiri ibunya dan mereka berangkulan. "I bu......!" dan Sim Lan Ci menangis dalam
rangkulan ibunya yang pernah
mengusirnya karena ia hendak berjodoh dengan Coa Siang Lee.
Sejak itu ia tidak pernah bertemu dengan
Ibunya. Dan ia merasa heran akan tetapi juga
te rharu ketika melihat bahwa ibunya juga
menangis! Hampir ia tidak percaya ibunya menangis! Bahkan sejak ia kecilpun belum pernah ia
melihat ibunya menangis. Akan tetapi kini ibunya
menangis seperti anak kecil.
Melihat ini Siang Lee yang berhati le mbut juga
menjadi terharu, I bu mertuanya itu adalah seorang
datuk sesat yang amat kejam seperti iblis. Kini
menangis seperti anak kecil dan hal ini membuktikan bahwa ibu mertuanya itu te rnyata
juga seorang wanita biasa yang berhati le mah dan
cengeng. "I bu, selamat datang di rumah kami." Diapun
memberi hormat, tidak mau mengingat lagi betapa
dahulu Ban-tok Mo-li ingin membunuhnya karena
dia meminang Lan Ci. Hanya karena Lan Ci
melindunginya maka dia tidak sampai terbunuh
oleh wanita iblis itu.
Mendengar suara Siang Lee, nenek itu menghentikan tangisnya, melepaskan rangkulannya dan memandang kepada mantunya.
"Coa Siang Lee, kau maafkanlah sikapku dahulu
kepadamu." Kembali Siang Lee dan isterinya merasa terkejut
dan heran. Sungguh te rjadi perubahan sikap yang
luar biasa pada wanita itu! Dahulu, jangan harap
Ban-tok Mo-li akan sudi minta maaf, apalagi
kepada seorang muda yang menjadi mantunya!
Siang Lee memberi hormat. "Ibu, harap jangan
ingat lagi urusan yang lalu. Mari silakan duduk,
ibu." "Duduklah, ibu, dan ceritakan apa yang ibu
kehe ndaki maka datang mengunjungi kami," kata
pula Lan Ci yang masih merasa heran, bahkan
diam-diam ia rasa curiga. I a sudah mengenal benar
bagaimana watak ibunya ini yang penuh kelicikan
dan kekejaman! Ban-tok Mo-li duduk dan menghela napas
panjang. Terbayanglah semua pengalaman yang pahit.
Semenjak ditinggal pute rinya, ia berulang kali
mengalami kegagalan. Bahkan yang te rakhir sekali
ia nyaris tewas di tangan para pendekar ketika
perkumpulan di mana ia menjadi ketuanya, yaitu
Thian-te-pang, dibasmi oleh para pendekar. Ia
menjadi putus asa, lalu melarikan diri ke rumah
pute rinya yang selama ini tidak di akuinya lagi.
Semua cita-citanya kandas dan ia hampir putus
asa.
"Lan Ci, aku datang minta tolong kepada engkau
dan suamimu." Suami isteri itu s aling pandang. Hampir mereka
tak dapat mempercayai pendengaran mereka. Bantok Mo-li minta tolong kepada mereka"
"Tentu saja, ibu. Kalau kami dapat membantumu, te ntu akan kami lakukan, ada
apakah, ibu?" "Aku sudah bosan dengan kehidupan lama. Hanya kegagalan, kehancuran
dan kekecewaan saja yang kurasakan. Aku sudah
muak, Lan Ci. Aku ingin beris tirahat, aku ingin
hidup te nteram. Aku ingin........menebus dosadosaku dan menjadi nlkouw. Aku minta tolong agar
kalian dapat mencarikan te mpat yang baik
untukku. Aku ingin bertapa, aku ingin menjadi
nikouw untuk mene bus dosa."
Nenek yang masih cantik itu menutupi mukanya
dengan kedua tangan. Ia tidak berpura-pura dan
jelas sekali bahwa ia memang sedang berduka dan
te rtekan perasaannya. Suami isteri itu kembali
saling pandang. "Di luar dusun ini, tak jauh dari sini terdapat
sebuah kuil yang dihuni beberapa orang nikouw,
ibu. Kalau ibu suka............"
"Bagus!" Ban-tok Mo-li berseru. "Usahakan agar
aku dapat dite rima menjadi nikouw di sana dan
dapat bertapa mengasingkan diri di sana."
De mikianlah, Siang Lee dan Lan Ci akhirnya
berhasil membujuk para nikou w di Kuil Thian hotang untuk menerima Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu
sebagai seorang nikouw dan bertapa di sebuah
kamar belakang kuil itu. Mereka menerima dengan
senang hati ketika mendengar bahwa yang akan
menjadi nikouw adalah ibu dari Sim Lan Ci yang
mereka kenal sangat dermawan dan baik hati, apa
lagi karena suami isteri itu memberi biaya
secukupnya untuk keperluan nikouw tua yang kini
disebut Lo Nikouw (Pendeta Wanita Tua) itu. Lo
Nikouw digunduli kepalanya dan mengenakan
jubah pendeta. Kerjanya setiap hari hanyalah
mempelajari agama, berdoa dan bersamadhi.
Dan menurut pengamatan Siang Lee dan Lan Ci,
agaknya ibu mereka itu benar-benar sudah
bertobat, sehingga diam-diam mereka bersyukur
kepada Tuhan dan mengharapkan agar nenek itu
akan te rus menjadi orang beribadat sampai akhir
hayatnya. Mereka seringkali datang berkunjung ke
kuil bersama Coa Thian Ki sehingga Lo Nikouw
merasa te rhibur. Setelah lewat dua tahun, Thian Ki begitu akrab
dengan neneknya dan seringkali Lo Nikouw minta
agar cucuny itu diperbolehkan bermalam di kuil
bersamanya. Karena merasa kasihan kepada
ibunya yang hidup te rasing, Lan Ci dan suaminya
menyetujuinya, namun diam-diam mereka minta
ibu mereka berjanji agar tidak mengajarkan ilmu
silat kepada Thian Ki. "I bu sendiri sudah mengalami, juga kami
berdua, betapa ilmu silat hanya mendatangkan
malapetaka bagi kita. Setelah kami berdua meninggalkan dunia kangouw, tidak lagi berkecimpung dalam dunia persilatan, kami merasa tenteram dan damai. Karena itu, ibu, kami
sudah mengambil keputusan untuk tidak memperkenalkan ilmu silat kepada Thian Ki, agar
dia kelak hidup dalam suasana yang tente ram dan
damai." "Omitohud.....!" Lo Nikouw merangkap kedua
tangan di depan dada. "Sungguh pikiran kalian, itu
baik sekali. Pin-ni (aku) setuju sekail dengan
pendapat kalian." Setelah Lo Nikouw berkata
seperti itu, le galah hati Siang Lee dan Lan Ci dan
mereka dapat meninggalkan pute ra mereka di kuil
itu dengan le ga. Ada kebaikan dapat diperoleh
kedua pihak. Bagi Lo Nikouw, kehadiran Thian Ki
merupakan penghibur yang akan membuatnya
tidak kesepian dan gembira. Sebaliknya, sering
bermain di kuil juga amat baik bagi Thian Ki,
karena anak ini mulai didekatkan kepada aranajaran yang baik. Dan agaknya, setelah dua tahun tinggal di kuil,
Lo Nikouw mulai nampak sehat dan segar,
wajahnya nampak le mbut dan alim dan tidak lagi
kelihatan ia berduka atau tenggelam dalam
kekecewaan. Juga Thian Ki amat akrab dengan
neneknya sehingga sedikitnya seminggu sekali
anak ini tidur di kamar neneknya, di bagian
belakang kuil. oo0000oo Suatu malam yang sunyi dan menyeramkan.
Hujan turun sejak sore. Udara te ramat dinginnya
dan menjelang te ngah malam, tidak ada suara
liam-keng (membaca doa) lagi di dalam Kuil Thianho-tang, tanda bahwa semua nikouw sudah tidur.
Semua daun pintu sudah tertutup sejak tadi
karena udara yong dingin menyerang ke dalam.
Pula, di malam sedingin itu, tidak akan ada tamu
datang berkunjung yang perlu mereka layani.
Akan te tapi, di malam dingin dan sunyi itu,
ketika semua nikouw sudah tidur pulas , di dalam
kamar bagian belakang kuil itu, kamar yang
menyendiri terjadi kesibukan luar biasa tanpa
mengeluarkan suara. Kesibukan yang te rjadi di
kamar Lo N ikouw itu kalau te rlihat orang lain akan
menimbulkan perasaan ngeri dan seram.
Kamar itu memang besar. Di sudut terdapat
sebuah dipan kayu yang cukup besar untuk
ditiduri berdua. Di sudut yang lain te rdapat sebuah
almari pakaian dari kayu pula. Sebuah meja dan
dua buah kursi te rdapat di dekat pembaringan.
Selain itu, tidak terdapat perabot lain lagi sehingga
kamar itu nampak kosong dan luas.
Akan te tapi di atas perapian yang biasanya
dinyalakan untuk mendatangkan hawa hangat di
kamar itu, kini terdapat sebuah panci besar yang
te risi air setengahnya dan sedang digodok. Belum
mendidih. Agaknya udara yang dingin dan menembus ke dalam kamar itu membuat air yang
dimasak lebih lama mendidih dari pada biasanya.
Lo Nikouw duduk bersila, di atas pembaringan.
Wajahnya yang kini nampak lembut itu tersenyum.
Matanya tak pernah berkedip memandang kepada
anak yang rebah terlentang di atas pembaringan, di
depannya. Anak itu te lanjang bulat, pulas dan
tidak akan bangun sebelum dikehe ndaki nenek itu,
karena Thian Ki, anak itu, memang pulas secara
tidak wajar. Bahkan le bih tepat dikatakan pingsan
dari pada tidur. Tangan kanan nenek itu memegang sebuah mangkok yang te risi cairan
merah seperti darah. Kemudian, ia menggunakan
tangan kiri untuk membaluri seluruh tubuh anak
itu dengan cairan merah. Seluruh tubuh dibaluri,
sampai ke mukanya, kepalanya, ujung kakinya dan
telapak kakinya. Dibalikkan tubuh Thian Ki dan
bagian belakang juga dilumuri cairan merah itu
sampai habis dan seluruh permukaan tubuh anak
itu menjadi merah seperti dicat!
Ia membiarkan sampai cairan merah itu mengering di tubuh Thian Ki, kemudian ia
memeriksa air di panci yang di godok. Air itu mulai
mendidih dan ia menuangkan cairan hitam ke
dalam air itu. Nampak uap hitam mengepul tebal
dari dalam panci dan tercium bau yang harum tapi
aneh. Lo Nikouw lalu menghampiri pembaringan,
memondong tubuh Thian Ki yang telanjang bulat
dan berwarna merah itu, kemudian ia.........
memasukkan tubuh anak itu ke dalam panci air
mendidih! Mula-mula tubuh bagian atas, dari kepala ke
pinggang yang dimasukkan panci, tidak lama, lalu
dibalikkan dari pinggang ke kaki. Juga hanya
sebentar, kemudian tubuh itu direndam sampai ke
le her dan Lo Nikouw menggunakan tangan untuk
memercikkan air yang kehitaman dan panas itu ke
muka dan kepala Thian Ki!
Warna merah itu terhapus dan setelah seluruh
tubuh bersih dari warna merah, Lo Nikouw
menurunkan panci dan membawa tubuh yang kini
mengepulkan uap panas itu ke pembaringan
kembali. Tubuh anak itu te lentang. Anehnya, kulitnya
tidak melepuh dan anak itu masih pingsan dan
pulas , dadanya turun naik dengan halus, dan kulit
tubuhnya yang te rkena air mendidih itu hanya
nampak kemerahan dan segar. Hanya di bagian
bawah pusar dan sekitarnya, nampak ada warna
hitam kemerahan yang membayang di bawah kulit!
Kini Lo Nikouw dengan penuh perhatian, dan
dengan mata tak pernah berkedip duduk bersila di
dekat anak itu, tangan kanannya memegang
sebatang jarum yang berwarna kehijauan. Jarum
yang mengandung racun berbahaya sekali.
Sekali tusuk saja dengan jarum itu, orang biasa
akan te was seketika! Akan tetapi kini ia menggunakan jarum beracun itu untuk menusuki
bagian-bagian tertentu dari tubuh cucunya!
Apa yang se dang dilakukan Lo Ni-kouw" Apakah
nenek ini hendak mencelakai cucunya sendiri"
Sama sekali tidak! Peristiwa seperti terjadi pada
malam ini sudah dilakukannya sejak ia pertama
kali mengajak Thian Ki tidur di situ. Diam-diam
nenek ini merasa penasaran sekali mendengar
bahwa pute rinya, Lan Ci dan mantunya Siang Lee,
mengambil keputusan untuk tidak mengajarkan
silat kepada Thian Ki Ia merasa penasaran.
Padahal ia sudah siap untuk mewariskan seluruh
ilmu kepandaiannya kepada cucunya. Untuk
berte rus membantah keputusan anak dan mantunya, la tidak berani. Ia sedang bersembunyi
dan mencari ketenangan di situ, tidak boleh ia
memulai dengan memusuhi anak dan mantunya.
Maka, diam-diam timbul gagasannya yang ia
anggap amat baik dan menguntungkan bagi
cucunya yang amat disayanginya itu. Ia ingin
membuat cucunya menjadi seorang Tok-tong (Anak
Beracun)! Biarpun oleh ayah ibunya tidak diberi
pelajaran ilmu silat, kalau cucunya itu memiliki
tubuh yang kebal kuat dan beracun,maka dia akan
menjad seorang yang mampu menjaga diri dari
serangan orang lain! De mikianlah, semenjak dua tahun yang lalu,
diajaknya cucunya
kadang-kadang tidur bersamanya di kuil dan kesempatan ini ia
pergunakan untuk menggemble ng cucunya itu agar
menjadi Tok-tong! Mula-mula, ia membuat cucunya pingsan dengan totokan sehingga apapun
yang ia lakukan kepada cucunya, anak itu tidak
mengetahui atau menyadarinya. Ia mulai memasukkan racun, hawa beracun ke dalam
tubuh cucunya melalui obat, melalui penggodokan
dan juga penyaluran hawa sakti dari tubuhnya.
Dan pada malam hari ini merupakan proses
te rakhir bagi cucunya. Perut di bawah pusar sudah
memperlihatkan tanda merah kehitaman, hal itu
berarti bahwa kekuatan atau tenaga dalam di
pusar sudah bangkit, dan warna hitam itu
menunjukkan bahwa te naga itu sudah mengandung hawa beracun! Setelah selesai menusuki jalan darah te rte ntu di
tubuh cucunya dengan jarum beracun sehingga
racun itu mulai beredar di seluruh tubuhnya, Lo Nikouw memandang dengan puas, lalu mengenakan kembali pakaian pada tubuh cucunya, membebaskan totokan sehingga kini
Thian Ki tidur pulas dengan wajar. Akan te tapi,
anak ini mulai mengigau dan mengeluh karena dia
merasa tubuhnya panas. Pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi anak itu
te rbangun, kemudian disuruh mandi oleh Lo
Nikouw, dan rambutnya disis iri oleh neneknya,
banyak rambut kepalanya yang rontok te rlepas. Lo
Nikouw tidak merasa heran, bahkan gembira
karena maklum bahwa hal itu menandakan bahwa
hawa beracun sudah mengalir sampai ke kepala.
Iapun menyembunyikan rontokan rambut itu
sehingga Thian Ki tidak mengetahuinya. Anak ini
tidak menderita lagi, tubuhnya bias a saja tidak lagi
te rasa panas. Wajahnya nampak kemerahan dan
segar, matanya bersinar tajam. Sepintas lalu anak
ini nampak sehat dan takkan ada orang
menyangka bahwa sejak malam tadi, dia sudah
menjadi Tok-tong yang memiliki kelainan pada
tubuhnya! "Cucuku, engkau akan menjadi orang yang
kokoh kuat, seorang yang gagah perkasa kelak,"
katanya setelah selesai menyisiri rambut Thian Ki.
Anak itu memandang neneknya dengan sinar
mata yang je rnih akan te tapi juga mengandung
kehe ranan. "Untuk apa Nek" Bukankah dalam
kitab, agama disebutkan bahwa jalan utama
adalah tanpa kekerasan dan tidak melakukan
perlawanan?"
"Omitohud......engkau benar sekali, cucuku.
Akan te tapi lihatlah contoh di luar kamar. Mari,
mari kita melihat keluar." Nenek itu membimbing
cucunya dan mereka keluar dari kamar, melihat ke
kebun di mana te rdapat sis a akibat hujan
semalam. Air hujan membuat selokan kecil di situ
penuh air yang menghanyutkan daun-daun kering
dan lumpur. "Lihat itu, cucuku. Batu-batu itu, sepertl juga
daun-daun itu, tidak melakukan kekerasan, tidak
melawan. Akan tetapi, alangkah gagahnya batubatu itu, diterjang air masih tetap te guh dan kokoh
kuat, sebaliknya lumpur dan daun-daun itu
hanyut dan dipermainkan air. N ah, bukankah jauh
le bih baik menjadi seperti batu itu daripada seperti
tanah lumpur dan segala kotoran yang dihanyutkan air" Engkau tidak perlu melakukan
perlawanan, tidak perlu menggunakan kekerasan,
namun apabila dirimu kokoh kuat, engkau tidak
akan mudah dipermainkan orang lain."
Thian Ki mendengarkan dengan alis berkerut,
tidak mengerti mengapa neneknya bicara seperti
itu. Sejak kecil, ayah ibunya selalu menekankan
bahwa hidup haruslah lemah lembut dan menjauhi
kekerasan dan baginya, orang gagah perkasa yang
mempergunakan kekerasan adalah orang-orang
yang menyimpang dari kebenaran dan karenanya
jahat. Kenapa kini neneknya mengatakan bahwa
dia akan menjadi seorang yang kokoh kuat dan
gagah perkasa" "Lihat pula pohon-pohon itu, cucuku." Lo
Nikouw menuding ke arah pohon-pohon yang tumbuh di kebun. Angin pagi itu masih bertiup
kuat membuat pohon-pohon itu bergoyang-goyang
dnn banyak daun rontok. "Nah, biarpun sama-sama tidak melakukan
perlawanan, namun daun-daun yang kokoh kuat
tidak gugur, sebaliknya daun yang ringkih akan
rontok te rtiup angin. Apakah engkau tidak le bih
suka menjadi batu karang yang kokoh daripada
menjadi lumpur, tidak lebih senang menjadi daun
yang kokoh daripada daun yang lemah" Hujan dan
angin badai itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan angin dan badai kehidupan
yang akan menerjangmu, cucuku."
Tentu saja anak berusia lima tahun itu belum
dapat membayangkan makna dari ucapan nenek
itu. "Aku akan mentaati nasehat ayah dan ibu,
nek, yaitu aku akan menentang setiap terjangan
angin dan badai, namun bukan dengan kekerasan." Percakapan terhenti karena terdengar suara Lan
Ci memanggil-manggil putranya. "Thian Ki......!
Sudah bangunkah engkau......?"
"I buuuu......!" Thian Ki berseru dan berlari
keluar. Kiranya ayah dan ibunya sudah datang
menjemputnya seperti biasa kalau dia bermalam di
kuil. Lo Nikouw juga menanggalkan sikap yang tadi
bersungguh-sungguh dan ia melangkah keluar
perlahan-lahan dengan wajah tersenyum lembut.
Siang Lee dan Lan Ci memberi hormat kepada Lo
Nikouw yang mempersilakan mereka duduk di
dalam.
"I bu." kata Lan Ci. "kami ingin pamit dari ibu
karena kami akan berkunjung ke Ta-bun-cung."
Lo Nikouw memandang kepada puterinya, lalu
kepada mantunya, dengan sinar mata tak mengerti. "Sudah bertahun-tahun saya tidak berkunjung
ke Hek-houw-pang di Ta-bun cung, ibu. Saya ingin
menengok keadaan kakek saya dan para paman."
Lo Nikouw mengangguk-angguk. Teringatlah ia
bahwa mantunya adalah cucu ketua He k-houwpang. "Hemmm, bukankah kalian pernah bercerita
bahwa ketua He k-houw-pang yang menjadi kakek
Siang Lee tidak merestui perjodohan kalian?"
"Benar, ibu itu dahulu. Sekarang setelah kami
mempunyai seorang pute ra saya yakin bahwa
kong-kong (kakek) akan menerima kami dengan
baik. Saya te lah rindu sekali kepada kampung
halaman, dan saya juga ingin bersembahyang di
makam ayah." kata Siang Lee.
Kembali nikouw itu termenung. Ia tahu benar
siapa mendiang ayah mantunya ini. Nama ayah
Coa Siang Lee adalah Coa Kun Tian, putera ketua
He k-hou-pang, seorang pria yang tampan dan
ganteng dan berwatak mata keranjang. Adik
kandungnya yang bernama Phang Hui Cu telah
menikah dengan Sin-tiauw (Rajawali Sakti) Liu
Bhok Ki, akan te tapi adiknya itu te rgoda oleh Coa
Kun Tian sehingga terjadi hubungan gelap di
antara mereka. Ketika penyelewengan Phang Hui
Cu itu diketahui ole h Sin-tiauw Liu Bhok Ki, maka
pendekar itu menjadi marah dan membunuh isterinya sendiri dan Coa Kun Tian, kekasih
isterinya. Ia boleh merasa tidak suka kepada Coa Kun
Tian. Akan tetapi orang itu sudah meninggal dunia,
dan bagaimanapun juga, mantunya adalah pute ra
kandung Coa Kun Tian. Sudah sewajarnya kalau
sekarang mantunya ingin bersembahyang di makam ayahnya. "Apakah kalian hendak mengajak Thian Ki"
Lebih baik tinggalkan saja dia di sini bersamaku,
perjalanan itu jauh dan te ntu akan melelahkan
dia." "Akan te tapi, ibu. Justru kami pergi ke sana
untuk memperkenalkan Thian Ki kepada keluarga
nenek-moyangnya, keluarga Coa dan ju ga kepada
He k-houw-pang," kata Siang Lee. lsterinya mengangguk membenarkan. Melihat sikap pute ri dan mantunya itu, Lo
Nikouw hanya menghela napas panjang.
"Omitohud..........kalau begitu terserah kepada
kalian. Akan tetapi berhat-hatilah menjaga Thian
Ki. Cucuku itu kelak akan menjadi orang yang
hebat I" Suami isteri itu tidak dapat menangkap makna
yang te rsembunyi di balik kata-kata itu, akan
tetapi mereka girang mendengar pujian Lo N ikouw.
Mereka berpamit lalu mengajak Thian Ki pulang ke
dusun. Dan pada keesokan harinya, mereka bertiga
meninggalkan dusun Mo-kim-cung melakukan perjalanan jauh menuju ke Ta bun-cung, yang
menjadi kampung halaman Siang Lee.
oo0dw0oo Tiga tahun yang lalu terjadi peristiwa hebat
dalam Kerajaan Sui. Kaisar dinasti Sui, yaitu
Kaisar Yang Ti, terlalu suka berperang dan
mendirikan is tana yang indah-indah. Semua ini
makan biaya yang amat besar dan tentu saja
sumber biaya itu didapat dari
penghis apan te rhadap rakyat jelata. Ditambah lagi dengan
pembangunan Terusan Besar yang menghubungkan Sungai Huang-ho dan Yang-ce,
maka kehidupan rakyat je lata semakin tertindas.
Hal ini menimbulkan ketidaksenangan, dan te rjadilah pemberontakan-pemberontakan
di mana-mana. Pemberontakan yang paling hebat dan yang
akhirnya menghancurkan dinasti Kerajaan Sui
adalah pemberontakan yang dilakukan ole h Li Si
Bin, pute ra Li Goan, kepala daerah Shan-s i.
Sebagal seorang perwira tinggi, Li Si Bin pernah
berjas a besar terhadap Kais ar Yang Ti. Yaitu ketika
dalam petualangannya memimpin pasukan untuk
memerangi semua negara te tangga dan menundukkan suku-suku bangsa, pernah Kaisar
Yang Ti te rjebak dalam perangkap musuh di
daerah Shan-si utara. Dalam keadaan te rancam
bahaya inilah muncul Li Si Bin bersama pasukannya yang menyelamatkan Kaisar Yang Ti.
Akan tetapi, di samping kegagahannya. L i Si Bin
juga te rkenal sebagai seorang yang keras dan dia berani menentang kebijaksanaan kaisar dengan
menegur peraturan yang mencekik le her rakyat.
Sikap ini membuat Kaisar Yang Ti tidak suka
kepadanya, bahkan mencurigainya. Apa lagi kalau
diingat bahwa biarpun ayahnya seorang Han,
namun ibu dari Li Si Bin adalah keturunan Bangsa
Turki di utara. Pada tahun 617, Li Si Bin mengadakan
persekutuan dengan Bangsa Turki dan dia melakukan penyerbuan ke Tiang-an (Tiongkok).
Pemberontakan ini berhasil. Kaisar Yang Ti
melarikan diri ke selatan, ke Yang-couw akan
tetapi di te mpat ini, Kaisar Yang Ti disambut oleh
para pemberontak sehingga dia te rbunuh dalam
perte mpuran. Adapun kotaraja diduduki oleh Si
Bin. Untuk menarik dukungan para pembesar yang
masih setia kepada dinasti Sui, Li Si Bin
mengangkat seorang cucu dari Yang Ti untuk
dijadikan kaisar. Akan tetapi sesungguhnya, dialah
yang berkuasa dan kaisar itupun hanya menjadi
kaisar boneka. Dan kedudukan inipun hanya beberapa bulan
saja. Setelah suasana mereda dan semua kekuasaan mutlak berada di tangannya, semua
pejabat tinggi diganti dengan orang yang mendukungnya, Li Si Bin membujuk ayahnya
sendiri untuk menjadi kaisar dan menurunkan
kaisar boneka cucu Yang Ti itu.
Ayah Li Si Bin itu menjadi kaisar dan berjuluk
Tang Kao Cu sebagai kaisar pertama dari dinasti
Tang (Kais ar Tang Kao Cu 618-627). Akan te tapi
karena dia menjadi kaisar karena pengaruh pute ranya, maka biarpun dia menjadi kaisar
selama sembilan tahun, tetap saja yang berdiri di
belakang layar sebagai pengaturnya dan pemegang
kekuasaan adalah pute ranya sendiri yang menjadi
pute ra mahkota! Cerita ini dimulai dalam tahun 620 dan sudah
dua tahun Kaisar Tang Kao Cu menduduki tahta
Kerajaan Tang. Adapun Li Si Bin sendiri selain
menjadi pangeran atau putera mahkota, juga
masih melanjutkan kedudukannya yang semula,
yaitu mengepalai seluruh angkatan perang dinasti
Tang. Di bagian manapun di dunia ini, peperangan
menimbulkan kekacauan. Bukan saja kekacauan
karena pertempuran antara kedua pihak, dan
dilandanya kota-kota dan dusun-dusun oleh
perte mpuran, akan tetapi terutama sekali munculnya para penjahat dari dunia sesat yang
melihat kesempatan baik sekali untuk merajalela.
Dalam perang, pemerintah tidak dapat lagi
mengendalikan keamanan. Apalagi tempat-tempat
yang jauh dari pasukan pemerintah, menjadi
medan pesta pora bagi para penjahat, seolah-olah
semua tikus keluar karena tidak ada kucing.
Celakanya, dalam waktu perang, agaknya setan
dan iblis merajalela menguasai benak kebanyakan
manusia sehingga pasukan kedua pihak yang
berperangpun tiba-tiba saja berubah ganas dan
kejam, membunuhi penduduk tanpa alas an yang
kuat. Sedikit saja sebuah pasukan mencurigai
sebuah desa yang dianggap berpihak kepada
lawan, te ntu disikat habis. Banyak pula yang
mempergunakan kesempatan selagi keadaan kacau
seperti itu untuk bertindak sendiri-sendiri membalas dendam. Hanya mereka yang te guh imannya kepada
Tuhan sajalah yang masih selalu s adar untuk tetap
berdiri di jalan yang benar. Bahkan para pendekar
bermunculan seolah menjadi imbangan dari munculnya para tokoh sesat. Para pendekar ini
yang menentang kejahatan yang terjadi di manamana. Ada pula para pendekar yang membentuk
perkumpulan di te mpat masing-masing untuk
menjaga keamanan penduduk, menggantikan tugas pasukan keamanan pemerintah yang tidak
ada pada waktu perang itu.
Perkumpulan orang gagah He k-houw-pang (Perkumpulan Harimau Hitam) merupakan satu di
antara perkumpulan-perkumpulan orang gagah
yang mengerahkan anggotanya untuk menjaga
keamanan penduduk di dusun mereka, bahkan
siap pula membantu penduduk dusun-dusun di
sekitarnya. Kakek Coa Song yang selama puluhan tahun
menjadi ketua Hek-houw-pang, kini
berusia tujuhpuluh sembilan tahun, sudah te rlalu tua
untuk aktif dalam perkumpulan. Karena kakek ini
hanya mempunyai seorang pute ra yang sudah
lama tewas, yaitu Coa Kun Tian, dan tidak
mempunyai anak laki-laki lainnya kecuali tiga
orang anak perempuan, maka dia lalu menunjuk
Kam Seng Hin untuk menggantikannya, semenjak
kerajaan Sui jatuh dan diganti Kerajaan Tang tiga
tahun yang lalu.
Kam Seng Hin berusia empatpuluh tahun, tinggi
besar dan gagah. Dia juga murid He k-houw pang
yang menikah dengan seorang cucu perempuan
dari Coa Song, maka biarpun dia bukan keturunan
Coa, diapun bukan orang luar. Pertama masih
murid He k-houw-pang. Kedua masih cucu mantu
dari kakek Coa Song. Karena hanya pendekar
inilah yang dianggap mampu, diapun diangkat oleh
Coa Song untuk memimpin Hek-houw-pang.
Dan memang pilihan kakek Coa Song ini tidak
keliru. Kam Seng Hin yang dibantu isterinya, Poa
Liu Hwa, cucu-luar kakek Coa Song, te rnyata
mampu mengangkat nama He k-houw pang sebagai
sebuah perkumpulan orang gagah. Ketika terjadi
kekacauan akibat perang, Kam Seng Hin dan Poa
Liu Hwa memimpin semua anggota Hek houw pang
yang jumlahnya kurang le bih limapuluh orung itu
untuk menjadi pasukan keamanan yang mempertahankan keamanan penduduk dusun Tabun-cung dan dusun-dusun di sekitarnya. Mereka
menentang dan mengusir setiap penjahat atau
gerombolan perampok yang hendak mengacau di
daerah itu. Karena sepak terjang orang-orang Hek-houwpang ini, maka nama perkumpulan itu menjadi
harum, dipuji semua penghuni dusun-dusun di
sekitarnya, dan mengalirlah sumbangan- sumbangan dari para penduduk yang berte rima
kasih. Kam Seng Hin dan Poa Liu Hwa hanya
mempunyai seorang anak yang pada waktu itu
usianya sudah lima tahun. Seorang anak yang
mungil, berwajah tampan dan berotak cerdas
sekali. Dan sejak kecil oleh orang tuanya, juga oleh
kakek Coa Song sendiri, anak yang diberi nama
Kam Cin ini digemble ng ilmu silat keluarga Coa
yang menjadi ilmu dari He k houw-pang. Baik
kakek Coa Song maupun ketua He k-houw-pang
dan isterinya, menanamkan jiwa kependekaran ke
dalam hati dan pikiran Kam Cin, sehingga sejak
kecil anak ini memiliki watak yang gagah,
pemberani, dan lincah. Semua anak buah atau
murid He k-houw-pang menyayangi Kam Cin yang
amat tampan dan gagah ini. Ketampanan dan
kemungilannya membuat dia disebut dengan nama
kesayangan Cin Cin. Biarpun dia disayang dan
dimanja oleh semua orang, namun Cin Cin atau
Kam Cin tidak menjadi manja, tidak pernah
merengek dan kemanjaannya hanya nampak pada
wataknya yang lincah gembira saja.
Segala kekacauan yang te rjadi
dunia ini sesungguhnya hanya merupakan akibat belaka
dari ulah manusia sendiri. Yang merasakan
kekacauan adalah manusia sendiri pula. Perang
te rjadi karena ulah manusia. Setiap perbuatan
manusia hampir selalu didorong ole h nafsu daya
rendah sehingga dengan sendirinya mendatangkan
akibat yang menyengsarakan manusia sendiri.
Perang merupakan konflik antara manusia
karena didorong nafsu daya rendah masingmasing, hingga timbul bentrokan kepentingan diri
sendiri dan te ntu saja terjadi perang untuk
mempertahankan kebenaran masing-masing. Kebenaran masing-masing adalah kebenaran yang
dilandasi kepentingan diri sendiri. Kesadaran akan
kelemahan dan kesalahan diri sendiri hanya
te rdapat kalau kita mau mawas diri tanpa
penilaian, melihat keadaan diri sendiri, mengamati
pikiran sendiri, karena pikiran yang menimbulkan
perbuatan dan ucapan. Kalau kita mau melakukan
pengamatan diri sendiri setiap saat, akan nampaklah betapa suara setan menguasai pikiran
dan hati kita, membujuk merayu dan menipu,
menyeret kita
ke dalam kesesatan melalui kesenangan-kesenangan panca-indra kita yang
le mah karena bergelimang nafsu. Demikian lemah
dan kotornya hati dan akal pikiran kita sehingga
biarpun kita sudah sadar akan kesalahan dan
kesesatan diri sendiri, namun kita tetap tidak
kuasa, tidak mampu untuk menghentikan penyelewengan kita yang sudah kita sadari itu!
Satu-satunya jalan hanyalah menyerah kepada
Tuhan Yang Maha Kasih, menyerah dengnn penuh
keikhlasan dan ketawakalan, memohon kemuruhan Tuhan karena hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan
kita dan mampu membebaskan jiwa kita dari
cengkeraman nafsu daya rendah.
Setelah dinasti Sui jatuh dua tahun yang lalu,
dan atas desakan Li Si Bin yang usianya baru
tujuhbelas tahun itu, ayahnya mengangkat diri
menjadi kaisar baru, yaitu Kaisar Tang Kao Cu
sebagai kaisar pertama dari dinasti Tang, perang
tidak juga berhenti. Kerajaan Sui memang sudah
roboh, diganti Kerajaan Tang. Akan tetapi banyak
gubernur dan raja muda yang bangkit dan tidak
mau mengakui dinasti Tang yang baru itu. Maka
selama beberapa tahun, Si Bin memimpin pasukan
mengadakan pembersihan di mana-mana, te rutama memadamkan pemberontakan para pembesar daerah Lok-yang.
De mikianlah, He k-houw-pang juga harus melakukan keamanan selama pemerintah yang
baru masih sibuk mengadakan operasi pembersihan di mana-mana sehingga roda pemerintahan belum dapat berjaIan lancar. Banyak
dusun, te rmasuk Ta bun cung yang tidak
mempunyai kepala dusun angkatan pemerintah.
Maka penduduk Ta bun-cung dan juga penduduk
dusun-dusun sekitarnya, sepakat untuk mengangkat pangcu dari He k-houw-pang untuk
sementara menjadi kepala dari semua dusun itu.
De mi menjaga ketertiban dusun-dusun itu, Kam
Song Hin, ketua He k-houw-pang, terpaksa menerima pengangkatan yang amat penting dan
juga berat itu sebagai kepala dari semua dusun,
te ntu saja kini tanggung-jawabnya menjadi mutlak!
Biarpun pada waktu itu Li Si Bin haru berusia
sekitar duapuluh tahun, namun ternyata dia
sudah menunjukkan bakat besar untuk menjadi
seorang pemimpin besar pula. Memang, baru dua
tahun dinasti Tang didirikan, dan pemerintah
belum dapat mengatur seluruh daerah kerajaan
yang amat luas itu, keamanan dan ketertiban
belum terlaksana dengan baik, apalagi karena dia
sendiri masih sibuk melakukan pembersihan
menumpas mereka yang tidak mau tunduk kepada
Kerajaan Tang yang baru. Namun dia mendengar
laporan para penyelidik yang disebarnya, dan
memperhatikan keadaan yang sekecil-kecilnya. Dia
mendengar pula akan sepak te rjang Hek-houw
pang, dan dia amat menghargai usaha Hek-houwpang yang membantu pemerintah secara tidak
langsung dengan menjamin keamanan daerah
dekat kota Po-yang itu. Pada suatu hari, tampak kesibukan di dusun Tabun-cung, te rutama sekali di rumah perkumpulan
He k houw-pang yang cukup besar. Perumahan
He k-houw pang terdiri dari
beberapa buah bangunan yang bagian induknya dijadikan te mpat
tinggal keluarga pang-cu (ketua) Kam Seng Hin.
Keluarga ini terdiri dari Kam Seng Hin, isterinya
Poa Liu Hwa, pute ra mereka Kam Cin dan kakek
Coa Song. Dan di bangunan-bangunan samping
tinggal para murid atau anggota Hek-houw-pang
yang belum berkeluarga, tidak kurang dari
limabelas orang jumlahnya.
Mengapa nampak kesibukan di dusun itu"
Ternyata pada pagi hari itu seorang perwira
diiringkan dua losin prajurit yang merupakan
pasukan dari pemerintah, datang berkunjung.
Sikap perwira ini dan pasukannya baik, sehingga
menghilangkan kecurigaan dan kekhawatiran penduduk, apa lagi ketika perwira itu mengatakan
bahwa dia diutus oleh panglima di kota raja untuk
berte mu dengan Hek-houw-pang. Perwira itu lalu
dite rima oleh Kam Seng Hin dan istrinya, diajak
bicara di dalam sedangkan pasukannya menanti
dan beristirahat di luar, di pekarangan yang cukup
luas dan dilayani oleh para anak buah He k houwpang. "Sribaginda Kaisar sendiri yang mengutus
Panglima untuk menghubungi He k-houw pang,
pangcu. Sribaginda Kaisar sangat berkenan mendengar akan perjuangan Hek-houw pang
mengamankan daerah ini. Jasa He k-houw-pang
sudah dicatat di kota raja."
Tentu saja pangcu Kam Seng Hin dan isterinya
merasa bergembira sekali mendengar pujian ini.
Hati siapa tak merasa gembira mendengar bahwa
Kaisar sendiri menaruh perhatian kepada mereka
yang berada di dusun"
"Aih, ciangkun. Sebetulnya yang kami lakukan
ini hanyalah untuk memenuhi tugas kami sebagal
perkumpulan orang gagah yang selalu menentang
kejahatan. Saya kira ini merupakan tugas setiap
warga negara." Perwira itu tersenyum. "Pangcu memang seorang
pendekar yang gagah, maka dapat memimpin
anak-buahnya menjadi orang-orang yang gagah
dan baik pula. Karena itu, kami dari pasukan
pemerintah, atas nama Kaisar, ingin minta
bantuan pangcu." Kam Seng Hin dan is terinya saling pandang, lalu
ketua itu memandang kepada perwira itu dengan
sikap heran. "Pemerintah hendak minta bantuan
kami" Ciangkun (perwira), bantuan apakah yang
dapat kami berikan" Kami hanya perkumpulan
kecil di dusun yang sepi."
"Justru itulah He k-houw-pang dapat membantu
pemerintah, pangcu. Ketahuilah bahwa pasukan
pemerintah yang baru saja menghancurkan kekuatan pemberontak yang dipimpin oleh seorang
raja muda dari Po-yang, keluarga kerajaan Sui
yang sudah jatuh. Akan tetapi, raja muda itu dapat
meloloskan diri bersama para pengikutnya dan
selama dia belum tertangkap, akan selalu ada
bahaya pemberontakannya. Dia seorang yang
berbahaya, amat pandai, bahkan Panglima sendiri
memberi peringatan kepada para perwira agar
berhati-hati dan sedapat mungkin menangkapnya,
hidup atau mati." "Apa hubungannya semua itu dengan Hek-houwpang, ciangkun" Apa yang dapat kami lakukan
untuk membantu Sribaginda Kaisar?"
"Pangcu, seperti kukatakan tadi, raja muda itu
melarikan diri dari Po-yang dan menurut penyelidikan, dia dan para pengikutnya melarikan
diri ke sepanjang lembah Sungai Huang-ho dan
mungkin sekali berada di sekitar daerah ini, maka
pangcu dapat membantu pemerintah untuk ikut
mencari dan menangkap raja muda itu, hidup
ataupun mati." Barulah Kam Seng Hin mengerti. "Siapakah
nama raja muda itu, ciangkun. Biarpun kami
tinggal di dusun ini, tidak jauh dari Po-yang, akan
tetapi kami tidak mengenal para pembesar dan
bangsawan." "Namanya Pangeran Cian Bu Ong. Dia masih
saudara dari Kaisar Yang Ti dari dinasti Sui ynng
dijatuhkan. Usianya sekitar limapuluh tahun dan
te ntu jarang ada yang mengenalnya karena tadinya
dia berada di kota raja. Setela dinasti Sui jatuh,
dari kota raja dia melarikan diri ke Po-yang dan di
sana dia menyusun pemberontakan. Bukan hanya
dia yang lihai sekali, dia mengajak beberapa orang
jagoan yang sedang menjalani hukuman selama
hidup di penjara Po-yang."
Lalu perwira itu menggambarkan bentuk muka
dan keadaan pangeran pelarian itu kepada Kam
Seng Hin. Setelah perwira itu bersama pasukannya meninggalkan dusun Ta-bun-cung, Kam pangcu
lalu mengajak istrinya untuk menghadap kakek
Coa Song di dalam kamarnya yang juga menjadi
te mpat pertapaannya. Mereka menceritakan semua
yang baru saja terjadi berkenaan dengan kunjungan pasukan pemerintah dan minta nasehat
dari kakek yang sudah lama le bih banyak bertapa
di dalam kamarnya itu. "Pangeran Cian Bu Ong" He mmm. Aku pernah
mendengar nama itu, belas an tahun yang lalu.
Memang kabarnya mendiang Kaisar Yang Ti
mempunyai banyak jagoan istana dan di antaranya
te rdapat pangeran yang memiliki tubuh kebal dan
ilmu silat yang lihai. Mungkin itulah orangnya.
Kalian harus berhati-hati dan mulai sekarang,
sebaiknya kalau kalian mengerahkan semua
te naga orang muda di dusun-dusun agar mereka
melakukan penjagaan di dusun masing-masing.
Ada baiknya memberi latihan ilmu silat kepada
mereka untuk menambah semangat mereka. Hek
houw-pang tidak pernah mencampuri urusan
pemerintah, akan tetapi kalau ada ancaman bagi
rakyat, kita harus bertindak untuk mengamankan
kehidupan rakyat " Mendengar nasihat kakek mereka itu, Kam Seng
Hin dan isterinya lalu mengumpulkan semua
murid atau anak buah Hek houw-pang, membagi
bagi tugas kepada mereka untuk mengumpulkan
para pemuda di dusun-dusun sekitarnya, membentuk pasukan penjaga keamanan dan
melatih silat kepada mereka. Dusun Ta-bun-cung
sendiri dijaga ketat siang malam.
Sebetulnya, apakah yang terjadi di Po-yang" Dan
kenapa Panglima Besar, juga Putera Mahkota
seperti Li Si Bin sampai memerintahkan panglimanya melakukan pengejaran bahkan minta
bantuan He k-houw-pang untuk melakukan pencarian dan penangkapan"
Seperti telah diceritakan ole h perwira yang
mengunjungi He k-houw-pang di Po-yang, seperti
juga di banyak daerah lain, te rdapat pemberontakan dari mereka yang masih setia
kepada Kerajaan Sui atau mereka yang tidak mau
mengakui kekuasaan kerajaan baru dan hendak
berdiri sendiri. Pemberontakan itu dipimpin oleh
Pangeran Cian Bu Ong yang melarikan diri dari
kota raja setelah kotaraja terjatuh ke tangan
pasukan Li Si Bin. Akan te tapi, pemberontakan
itupun dapat dilumpuhkan oleh pasukan kerajaan
Tang karena jumlahnya yang jauh kalah besar.
Pangeran Cian Bu Ong sendiri adalah seorang yang
sakti, akan tetapi apa artinya kesaktian seseorang
menghadapi pasukan yang puluhan ribu orang
jumlahnya" Dia melibat betapa pasukannya hancur dan
sebentar lagi pasukan musuh tentu akan menyerbu Po-yang, maka dia segera mengumpulkan para pengikutnya yang masih setia
kepadanya untu k lari mengungsi dari Po-yang
membawa semua harta yang dimilikinya, juga dia
cepat memasuki penjara besar di Po-yang. Pada
masa itu, penjara di Po-yang merupakan penjara
te rbesar di seluruh negeri. Para penjahat terbesar
dihukum dalam penjara ini, dan hampir semua
penjahat yang dihukum seumur hidup berada di
situ. Pangeran Cian Bu Ong memerintahkan kepala
penjara untuk menghadapkan lima orang penjahat
yang paling lihai dengan kaki tangan diborgol.
Setelah lima orang penjahat itu berdiri di
depannya, dia menyuruh semua penjaga keluar,
membiarkan dia sendiri berhadapan dengan mereka. De ngan teliti dia mengamati lima orang
laki-laki yang berdiri di depannya itu, lalu dia
melihat catatan nama-nama mereka di sehelai
kertas. Sebelum menyuruh mereka menghadap,
te ntu saja lebih dahulu dia telah mempelajari
te ntang mereka dengan teliti.
"Siapa yang bernama Gan Lui?" tanya bangsawan itu dengan sikap berwibawa dan suara
keren. Seorang di antara lima orang hukuman itu
melangkah maju. "Saya yang bernama Gan Lui,"
katanya. Cian Bu Ong mengamati orang itu dan
alisnya berkerut. Gan Lui seorang laki-laki yang
usianya sekitar tigapuluh lima tahun, bermuka
kuning dan matanya sipit, kumisnya jarang seperti
kumis tikus, dan mulutnya selalu cemberut.
Menurut catatan, Gan Lui dihukun seumur hidup
karena telah membunuh belasan orang prajurit
Kerajaan Sui ketika dia mencoba untuk
menyelundup ke istana. Gan Lui ini adalah putera
mendiang Kiu-bwe-houw Gan Lok (Harimau Ekor
Sembilan) yang te was oleh pasukan pemerintah.
Maka Gan Lui mendendam kepada kaisar Kerajaan
Sui, dan berusaha menyelundup ke is tana untuk
membunuh kaisar! Akan te tapi, dia dikeroyok dan
biarpun belasan orang prajurit pengawal te was di
tangannya, namun dia sendiri tertangkap dan
dihukum se umur hidup! "Kalau engkau suka membantuku, sekarang
juga aku akan dapat membebaskanmu," kata Cian
Bu Ong sambil mengamati wajah itu dengan sinar
mata penuh selidik. Gan Lui yang tadinya hanya
cemberut saja, ketika mendengar ucapan ini,
seketika sepasang mata yang sipit itu bersinarsinar dan wajahnya berseri penuh harapan.
"Benarkah itu" Dan siapakah paduka?" tanyanya
penuh gairah. "Belum tiba saatnya engkau mengetahui siapa
aku. Jawab dulu, apakah engkau suka membantuku kalau kubebaskan?"
"Tentu saja saya akan senang sekali!"
"Hemm, hendak kulihat dulu apakah engkau
cukup memiliki kemampuan untuk menjadi
pembantuku. Rantai bele nggu kaki dan tanganmu
itu tidak berapa kuat kulihat. Nah, engkau boleh
mematahkannya." Gan Lui membelalakkan matanya, demikian pula
empat orang hukuman yang lain. Andaikata
mereka mampu mematahkan belenggu sekalipun,
mereka tidak berani melakukan hal itu karena ini
dianggap pemberontakan dan mereka akan te rtangkap kembali dan mengalami siksaan hebat.
"Saya tidak berani melakukannya........ "
"Aku yang menyuruh, takut apa" Tak kan ada
yang berani melarangku!" kata Pangeran Cian Bu
Ong. Mendengar ini Gan Lui lalu mengumpulkan
napas dan mengerahkan sin-kangnya.
"Krekk.! Krekk!" Rantai belenggu pada kaki dan
tangannya itu patah! Biarpun pergelangan kaki
dan tangannya masih dibelenggu, namun kaki
tangan itu sudah dapat bergerak bebas karena
rantainya patah. "Nah, sekarang coba engkau menyerangku!
Keluarkan semua kepandaianmu, dan kerahkan
semua te nagamu!" kata pula pangeran itu sambil
bangkit dan menuju ke te ngah ruangan yang
cukup lebar itu. Kembali lima orang hukuman itu te rbelalak.
Akan te tapi Gan Lui sudah maklum betapa orang
tinggi besar dan gagah perkasa itu hendak
mengujinya. Maka diapun tldak meragukan lagi.
Dia harus memperlihatkan kepandaiannya kalau
ingin dibebaskan dan dapat membantu orang yang
tidak dikenalnya ini. "Baiklah, harap paduka berhati-hati! Lihat
serangan!" Gan Lui sudah melompat dan menyerang dengan kedua tangannya membentuk
cakar harimau. Ternyata dia sudah menggunakan
kepandaian simpanannya, yaitu Houw- jiauw kun
(Silat Cakar Harimau). Ketika memainkan ilmu
silat ini, kedua tangan membentuk cakar harimau
dan gerakan kedua le ngan itu mirip gerakan
sepasang kaki depan harimau, mencakar dan
memukul. Juga dia mengerahkan te naga sin
kangnya sehingga ketika dua tangan itu bergerak,
te rdengar suara angin berciutan.
Pangeran Cian Bu Ong mengikuti gerakan Gan
Lui ini dengan pandang mata penuh selidik. Tidak
buruk, pikirnya girang dan diapun menggerakkan
kedua le ngannya. Gan Lui te rkejut bukan main,
juga te rheran-heran ketika merasa betapa kedua
tangannya itu selalu membalik sebelum mengenai
tubuh lawan, seolah ada tenaga tidak nampak yang
menjadi perisai melindungi tubuh lawan yang
tinggi besar itu. Dan tubuh itupun bergerak
mengelak dengan sedikit gerakan saja, namun
membuat semua serangannya menyeleweng dan
tidak pernah dapat menyentuhnya. Pangeran Cian
Bu Ong te rus mengelak dan melindungi tubuhnya
dengan sin-kang yang amat kuat sampai belasan
jurus lamanya untuk menilai kepandaian Gan Lui.
Kemudian, tiba-tiba dia membalas serangan lawan
dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.
Serangan balasan ini demikian cepat dan tidak
te rduga datangnya sehingga Gan Lui te rkejut dan
cepat diapun melindungi dirinya dengan kedua
le ngan yang menangkis ke sana-sini, juga kakinya
bergeser dengan gesit untuk menghindarkan diri
dari hujan serangan lawan. Barulah dia tahu
bahwa orang yang seperti bangsawan dan yang
mengujiny ini ternyata lihai bukan main!
"Terima ini!" Pangeran Cian Bu Ong berseru dan
tangannya menghantam dengan tamparan dari
atas. Gan Lui terkejut, karena datangnya tamparan
demikian cepatnya, maka dia lalu mengangkat
kedua le ngannya untuk menangkis sambil mengerahkan sin-kang sekuatnya.
"Plakkk!" Kedua tangan Gan Lui bertemu dengan
tangan kanan Pangeran Cian Bu Ong dan
akibatnya tubuh Gan Lui te rjengkang dan
te rguling-guling seperti dilanda angin badai yang
amat kuat. Gan Lui terkejut bukan main. Untung lawannya
tidak ingin mencelakainya sehingga dia tidak
te rluka. Dia melompat bangun dan cepat memberi
hormat dengan hati tulus.
"Saya mengaku kalah!"
Pangeran Cian Bu Ong hanya te rsenyum dan
memberi isyarat kepada Gan Lui untuk duduk di
atas bangku. Kemudian ia kembali ke mejanya,
memeriksa kertas catatan. "Siapa yang bernama
Lie Koan Tek?" Orang ke dua maju dan memberi hormat dengan
merangkap kedua tangan depan dada.
"Saya yang bernama Lie Koan Tek, Pangeran."
kata orang ini dengan lantang.
Cian Bu Ong mengamati penuh perhatian. Dari
catatannya dia mengetahui bahwa laki-laki berusia
empatpuluh lima tahun yang tinggi besar dan
gagah perkasa ini adalah seorang pendekar gagah
murid Siauw-lim-pai. Dia dihukum
karena bersikap memberontak terhadap Kerajaan Sui, dan
hal ini mudah dimengerti kalau diingat betapa kuil
Siauw lim-pai pernah dibakar oleh pasukan
pemerintah dan banyak se kali murid Siauw lim-pai
yang tewas.
"Lie Koan Tek, bagaimana engkau tahu bahwa
aku seorang pangeran?"
"Nama besar paduka sudah te rkenal di seluruh
penjuru," kata Lie Koan Tek yang berwatak keras
dan jujur itu. "Kalau engkau mau kubebaskan dan membantuku, perlihatkan kemampuanmu Lie
Koan Tek," kata Pangeran Cian Bu Ong.
Lie Koan Tek mengerahkan te naga dan rantai
pada belenggu kaki tangannya juga patah-patah
seperti yang terjaadi pada Gan Lui tadi.
"Bagus.! Sekarang, kau boleh menyerangku dan
keluarkan semua kepandaian dan tenagamu!"
Tanpa sungkan lagi Lie Koan Tek lalu menggerakkan kaki tangannya menyerang, mengeluarkan jurus-jurus Siauw lim-pai yang
paling tangguh yang dikuasainya.
Pangeran Cian Bu Ong gembira sekali. Pendekar
ini lebih unggul dibandingkan Gan Lui. Walau
selisihnya hanya sedikit. Diapun melayani sampai
belasan jurus, kemudian sapuan kakinya membuat
Lie Koan Tek te rpelanting.
Pendekar ini kagum bukan main. Jarang dia
berte mu dengan orang selihai pangeran ini, dan dia
mengakui kebesaran nama Pangeran Cian Bu Ong.
Dia menjura dan mengaku kalah. Pangeran Cian
Bu Ong persilakan dia duduk di samping Gan Lui.
Orang ke tiga adalah Thio Ki Lok, berusia
limapuluh tahun, dihukum karena dia perampok
tunggal yang sadis dan lihai., Tubuhnya pendek
dengan perut gendut, wajahnya kekanak-kanakan,
akan te tapi pandang matanya licik dan kejam.
Selain ilmu silat, dia pandai ilmu gulat Mongol, dan
senjata andalannya adalah golok gergaji. Karena
tingkat kepandaiannya masih sedikit di bawah Gan
Lui, maka dalam belasan jurus diapun dikalahkan
Pangeran Cian Bu Ong. Orang ke empat adalah seorang peranakan
Turki, bernama Gulana. Kulitnya hitam seperti
arang, tubuhnya tinggi besar dan rambutnya yang
hitam panjang digelung, ditutup sorban putih. Dia
menguasal ilmu silat yang aneh, lengannya yang
panjang itu berbahaya sekali, karena dia pandai
menangkap dan membanting lawan. Juga kakinya
yang panjang pandai mengirim tendangan kilat.
Senjata yang biasa dia mainkan adalah tongkat
baja. Diapun memiliki kepandaian yang setingkat
dengan Gan Lui, dan dirobohkan oleh Pangeran
Cian Bu Ong dalam belasan jurus. Sikapnya yang
angkuh berubah setelah dia merasakan sendiri
kehe batan pangeran itu dan diapun mengaku
kalah. Kini Pangeran Cian Bu Ong menghadapi orang
ke lima. Dari catatannya dia tahu bahwa orang ini
yang paling tangguh di antara mereka semua,
maka sengaja dia menghadapinya sebagai orang
te rakhir. Sebelum bicara, dia mengamati dengan
penuh perhatian dan memandang kagum. Orang
itu masih muda sekali, tidak akan le bih dari
duapuluh tujuh tahun usianya. Wajahnya tampan
sekali dan sikapnya juga lembut, sama sekali tidak
pantas menjadi orang hukuman. Matanya mencorong seperti mata naga. Hidungnya agak
besar dan mancung, bibirnya merah penuh gairah.
Melihat tubuhnya yang sedang dan sikapnya yang
le mbut, orang takkan menyangka dia pandai ilmu
silat. Lebih pantas menjadi seorang siu-cay
(pelajar) yang pandai menulis sajak.
"Namamu Can Hong San?" tanya Pangeran Cian
Bu Ong. Pemuda itu mengangguk, sikapnya angkuh.
Pemuda ini memang bukan orang sembarangan.
Dia adalah putera tunggal mendiang Cui-beng Saikong, seorang datuk besar dunia sesat, pendiri dari
agama sesat Thian te-kauw. Pemuda yang tampan
dan nampak halus lembut ini adalah seorang yang
memiliki watak aneh, hampir tidak normal, bahkan
dia telah membunuh ayahnya sendiri. Kemudian,
dia pernah menjadi pemimpin besar perkumpulan
sesat dari agama Thian-te-kauw yang didirikan
ayahnya. Ketika perkumpulan sesat ini diserbu
oleh pasukan pemerintah yang dibantu para
pendekar, diapun te rtawan, perkumpulannya hancur dan dia dijatuhi hukuman seumur hidup.
"Bagaimana, Can Hong San. maukah engkau
membantu kami seperti empat orang gagah lainnya
ini?" tanya Pangeran Cian Bu Ong.
"Nanti dulu, Pangeran. Sebelum aku memberi
jawaban, aku harus mengetahui dulu, bantuan apa
yang harus kuberikan kepadamu?" Biarpun ucapannya le mbut dan sopan, namun katakatanya menunjukkan bahwa dia tidak mau
merendahkan diri kepada pangeran ini. Dia tahu
bahwa Kerajaan Sui sudah jatuh, sehingga
pangeran ini sekarang sudah bukan pangeran lagi
namanya! Dan bukan watak Coa Hong San untuk
merendahkan diri kepada siapapun juga.
Melihat sikap pemuda ini yang tidak menghormatinya, Pangeran Cian Bu Ong tidak
menjadi marah, bahkan te rsenyum. Lebih baik
menghadapi orang yang te rang-terangan tidak
menghormatinya dari pada orang yang bersikap
menjilat namun tidak diketahuinya benar bagaimana keadaan is i hatinya! Akan tetapi ia
masih memancing dan pura-pura kurang senang,
dan mengerutkan alisnya. "Can Hong San. tahukan engkau bahwa kalau
tidak kami tolong, engkau te ntu akan dihukum
mati, atau bahkan dibunuh oleh penguasa baru
yang tidak mau memelihara orang hukuman
seumur hidup?" "Pangeran tentu tahu bahwa orang seperti aku
tidak takut mati. Katakan dulu, bantuan apa yang
harus kuberikan padamu, baru aku akan memutuskan mau atau tidak!"
Makin kagumlah hati Pangeran Cian Bu Ong.
Seorang seperti pemuda inilah yang dapat diharapkan menjadi seorang pembantunya yang
setia dan baik! "Baiklah, Hong San. Ketahuilah bahwa Kerajaan
Sui telah jatuh oleh Li Si Bin yang memberontak
sehingga kini ayahnya yang menjadi kaisar dan
mendirikan dinasti Tang. Usahaku untuk memberontak di Po-yang juga gagal. Terpaksa aku
harus melarikan diri dan menjadi buruan pemerintah yang baru. Akan te tapi, aku tidak
putus asa dan akan berusaha untuk menghimpun
kekuatan. Nah, kalau engkau suka, mari bekerja
sama denganku. Kalau kita berhasil kelak, kita
sama-sama menikmati hasilnya. Setidaknya engkau akan bebas dan mempunyai harapan, dari
pada sampai mati menjadi orang hukuman,
bukan?" "Hemm, baiklah kalau begitu, Pangeran. Aku
menerima uluran tanganmu," jawab Can Hong San
yang sebenarnya sejak tadi sudah merasa girang
sekali bahwa dia akan dibebaskan dan mendapatkan harapan baru
Komentar
Posting Komentar