NAGA BERACUN JILID 28

 

Hong Lan berlutut menghadap Kaisar Tang Tai
Cung. Gadis ini menangis dan berulang-ulang
kaisar menghela napas panjang. "Hong Lan,
engkau te ntu dapat merasakan bahwa sejak
dahulu aku selalu menyayangmu seperti pute riku
sendiri. Bahkan seluruh penghuni istana, seluruh
keluargaku menyayangimu, bukan?"
"Hamba tidak menyangkal, Yang Mulia, dan
hamba berterima kasih se kali."
Kaisar Tang Tai Cung mengelus je nggotnya,
menghela napas lagi mendengar ucapan gadis itu,
karena dia melihat perubahan pada sikap Hong
Lan yang biasanya menyebut dia ayah, kini
menyebut Yang Mulia. "Hong Lan, ibumu telah berjas a besar dan
banyak sekali kepadaku, dan biarpun ia sudah
meninggal dunia, kami telah menganugerahkan
sebutan pahlawan kepadanya. Engkaupun berjas a
ketika ada pembunuh menyerang, akan tetapi
kenapa engkau menolak pemberian pahala?"

"Mohon seribu ampun, Yang Mulia. Sejak kecil,
hamba te lah menerima limpahan budi kebaikan
dan kasih sayang dari paduka, sudah sepantasnya
kalau hamba membela paduka dan tidak ada
pahala lebih besar daripada kasih sayang yang
selama ini hamba rasakan di sini. Hamba
menghadap paduka untuk mohon diri, dan ada
pula permohonan yang hamba amat harapkan
akan paduka kabulkan Yang Mulia."
"Katakanlah, apa yang kauminta, Hong Lan. Aku
pasti akan memenuhi semua permintaanmu."
"Hamba mohon agar paduka suka memberitahu
kepada hamba, siapakah orang tua hamba. Seperti
dipesankan mendiang ibu, paduka mengetahuinya
dan hamba disuruh bertanya kepada paduka. Dan
permohonan ke dua, hamba mohon paduka ijinkan
meninggalkan istana untuk pergi mencari orang
tua hamba." Kaisar mengangguk-angguk. "Permintaanmu itu
memang sudah sepantasnya. Selama belasan
tahun ibumu merahasiakan keadaan dirimu hanya
karena ia te ramat sayang padamu, juga aku amat
sayang padamu, Hong Lan. Sekarang, setelah
engkau mengetahui akan rahasia itu, baiklah akan
kuje laskan sesuai seperti yang pernah diceritakan
ibumu kepadaku. Ketika engkau berusia dua
tahun, kau diculik oleh Kwa Bi Lan dari orang
tuamu, dibawa merantau dan akhirnya ketika
ibumu menjadi pengawal pribadiku, engkau te rbawa pula masuk ke istana, dan ketika ibumu
menjadi selirku, dengan sendirinya engkau menjadi
anakku. Nah, dengarlah baik-baik, ayahmu bukan

orang sembarangan, Hong Lan. Dia adalah seorang
pendekar sakti yang te rkenal di dunia persilatan,
berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai
Kuning) bernama Si Han Beng dan dia bersama
isterinya tinggal di dusun Hong-cun yang te rletak
di Lembah Sungai Kuning."
Hong Lan merasa betapa jantungnya berdebardebar. Ayahnya adalah seorang pendekar sakti!
Akan tetapi mengapa ibunya......ibu angkatnya
itu, menculiknya dari orang tuanya" Dan kalau
ayahnya seorang pendekar sakti, kenapa tidak
mengejar penculik itu dan mencarinya sampai
dapat dite mukan" Melihat gadis itu mengerutkan
alisnya dan nampak meragu, kaisar berkata, "Hong
Lan, apakah ada yang hendak kau tanyakan
kepadaku?" "Ampun, Yang Mulia. Akan tetapi.....kenapa ibu
menculik hamba" Dan kenapa pula kalau orang
tua hamba itu sakti, tidak merebut kembali anak
mereka yang diculik?"
Kaisar Tang Tai Cung te rsenyum. "Itu merupakan rahasia Kwa Bi Lan dan akupun tidak
tahu. Sebaiknya engkau tanyakan saja kepada
orang tuamu itu, Hong Lan."
"Yang Mulia, hamba mohon diri untuk pergi
mencari orang tua hamba itu!"
Melihat gadis itu penuh semangat, Kaisar Tang
Tai Cung mengangguk-angguk.
Memang ada sesuatu pada diri gadis ini yang mengagumkan.
Biarpun sejak kecil ia hidup sebagai pute ri kaisar,
hidup di is tana yang serba mewah dan dimuliakan

orang, namun ia tidak menjadi seorang puteri yang
manja. Masih jelas nampak darah pendekar di
tubuhnya, dari sikapnya, dari pandang matanya.
Kaisar ini teringat akan anak-anaknya sendiri dan
diapun diam-diam mengeluh. Pute ra-putera kandungnya hanya pandai saling bersaing dan
memperebutkan kekuasaan, pute ri-puterinya hanya pandai bersolek dan bermanja. Justeru
Hong Lan, bukan darah dagingnya, menjadi
seorang gadis yang berjiwa pendekar. Dia sendiri,
andaikata tidak menjadi kaisar, tentu menjadi
seorang pendekar pula dan mungkin keturunannya
tidak seperti sekarang ini.
"Baiklah, anakku. Aku akan te tap menganggapmu sebagai anakku, Hong Lan. Engkau boleh pergi dan bawalah semua barangbarangmu yang berharga. Ketahuilah bahwa dalam
perjalanan jauh, engkau membutuhkan biaya, dan
berhati hatilah karena di luar istana te rdapat
banyak orang jahat yang mungkin akan mengganggumu." Di dalam hatinya, Hong Lan hendak membantah
dan mengatakan bahwa di dalam is tanapun
te rdapat banyak orang jahat, akan tetapi ia
menahan diri. Sekarang ia tidak boleh bersikap
seperti biasanya terhadap kaisar. "Terima kasih,
Yang Mulia. Hamba sudah bersiap-siap dan hamba
akan menyamar sebagai seorang pria agar perjalanan hamba lancar dan tidak mengalami
banyak gangguan." Kaisar tertawa bergelak dan mengelus je nggotnya, nampak gembira sekali. "Ha-ha-ha,

bagus sekali! Engkau memang berjiwa petualang!
Ha-ha, membayangkan engkau menjadi pria dan
mengembara seorang diri. Alangkah senangnya dan
gembiranya kalau aku dapat menyertaimu, bertualang di dunia bebas! Akan te tapi, tidak
mungkin. Aku te lah terikat oleh singgasana
ini.........! Berangkatlah, anakku, berangkatlah dan
jagalah dirimu baik-baik."
"Harap Yang Mulia suka menjaga diri baik-baik
pula......." kata Hong Lan terharu. "Hamba mohon
diri ...... " Hong Lan bangkit dan hendak pergi, akan tetapi
baru beberapa langkah, Kaisar Tang Tai Cung
memanggilnya. "Hong Lan, berhenti duju!"
Gadis itu menahan langkahnya, lalu memutar
tubuh memandang kepada kais ar. "Kesinilah!"
Hong Lan melangkah ragu, mendekati. "Lan Lan,




aku ingin sebelum engkau pergi, engkau sebutlah
aku seperti dahulu. Sebutlah aku ayah, karena
sesungguhnya, di dalam batinku aku mengakui
bahwa engkau anakku. Sebutlah, mungkin untuk
te rakhir kali, Hong Lan."
Sepasang mata gadis itu menjadi kemerahan dan
menahan-nahan diri agar tidak menangis, lalu
memaksa diri untuk berkata lirih, "Ayahanda......"
"Lan Lan.....!" Kaisar itu meraih dan Hong Lan
dan sudah dirangkulnya dan diciumnya dahi
pute rinya itu, seperti yang biasa dia lakukan. Dan
kini Hong Lan tidak dapat menahan tangisnya lagi,
iapun merasa amat sayang kepada kais ar dan tahu
betapa kais ar memiliki banyak sekali musuh dalam

selimut, banyak yang iri, banyak yang menginginkan kedudukannya, dan kini te rpaksa ia
meninggalkan kais ar, setelah ibunya meninggal.
Tiba-tiba Kaisar Tang Tai Cung melepaskan
rangkulannya dan mendorong le mbut
tubuh pute rinya, lalu tertawa bergelak. "Haii! Apa-apaan
ini" Kita bertangisan seperti dua orang yang lemah
dan cengeng! Memalukan! Engkau seorang pendekar wanita, Lan Lan, tidak boleh menangis.
Pula setelah e ngkau menyamar pria, engkau sama
sekali tidak boleh menangis, akan ketahuan
orang!" Biarpun kedua matanya basah, kaisar itu
te rtawa bergelak dan Hong Lan juga tertawa.
"Selamat tinggal.........ayah......."
"Selamat jalan, anakku. Sampaikan salam
kepada orang tuamu dan katakan bahwa a ku, Li Si
Bin, sangat mengagumi mereka dan telah mendengar akan nama besar mereka."
Pergilah Hong Lan dengan langkah tegap
meninggalkan ruangan itu, untuk berkemas dan
mulai melakukan perjalanannya mencari orang tua
kandungnya. Pangeran Li Seng Cun dihukum buang bersama
semua keluarganya, dan kaki tangannya dihukum
mati. Diam-diam hal ini tidak disetujui oleh Bu Mei
Ling, dayang yang berjas a itu, yang semenjak hari
itu diangkat menjadi selir resmi Kaisar. Tentu saja
ia tidak berani berkata sesuatu, hanya di dalam
hatinya ia khawatir bahwa orang-orang yang sudah
berkhianat itu, para pemberontak itu, kalau hanya
dihukum buang, te ntu masih mempunyai ◇
kesempatan untuk menyusun kekuatan dan kelak
memberontak lagi! -ooo0dw0ooo- Tidak sukar bagi Thian Ki dan Cin Cin untuk
menemukan rumah orang yang mereka cari. Setiap
orang di dusun Hong-cun, bahkan di dusun-dusun
lain di wilayah itu, tahu belaka di mana te mpat
tinggal Huang-ho Sin-liong Si Han Beng dan
isterinya. Suami isteri pendekar sakti ini tinggal di
dusun yang sunyi, bahkan mereka hidup sebagai
petani dan tidak pernah mencampuri urusan
ramai, walaupun mereka berdua tidak pernah lalai
berlatih silat. Latihan ini amat penting bagi
mereka, bukan hanya untuk menjaga kondis i
tubuh agar tidak hilang te rbuang saja ilmu-ilmu
yang telah mereka pelajari selama bertahun-tahun.
Bahkan suami is teri ini, bersama-sama mulai
mengkombinasikan ilmu-ilmu mereka untuk merangkai ilmu silat baru yang khas milik keluarga
mereka! Diam-diam Thian Ki dan Cin Cin kagum sekali
melihat keadaan rumah pendekar itu. Tidak jauh
bedanya dengan rumah-rumah di dusun Hongcun, sederhana saja namun amat bersih dan sedap
dipandang karena terpelihara baik-baik. Rumah itu
memiliki pekarangan yang luas, yang ditanami
berbagai macam tanaman obat dengan hiasan
tanaman bunga di sana-sini. Burung-burung
berte rbangan dan berkicau di pohon-pohon sekeliling rumah mendatangkan suasana yang
te nang, tenteram dan damai, sedikitpun tidak

membayangkan kekerasan seperti yang biasa
menghiasai kehidupan seorang pendekar.
Sejam yang lalu sebelum Thian Ki dan Cin Cin
tiba di luar pekarangan rumah itu, Si Han Beng
dan is terinya, Bu Giok Cu, baru saja pulang dari
ladang dimana mereka bekerja sejak pagi sampai
siang dan kini mereka berdua baru saja selesai
makan siang. Ketika A-kiu, satu-satunya pelayan
mereka yang bekerja sebagai pembantu untuk
memelihara taman dan kebun, melapor bahwa di
luar ada dua orang muda yang ingin berte mu, Si
Han Beng dan istrinya saling pandang.
"Siapakah mereka" Apakah penduduk dusun ini
atau dusun tetangga?" tanya Bu Giok Cu kepada
pembantunya. "Bukan, li-hiap, mereka sama sekali bukan
penduduk dusun, bukan petani karena keduanya
membawa pedang di punggung. Mereka masih
muda, dan yang wanita buntung tangan kirinya."
Pembantu itu sudah biasa menyebut tai-hiap
kepada Si Han Beng dan menyebut li-hiap kepada
Bu Giok Cu. Kembali suami isteri itu saling pandang,
kemudian mereka berdua berjalan keluar untuk
menemui tamu mereka. Ketika mereka tiba di luar
pintu depan, mereka melihat seorang pemuda dan
seorang gadis yang buntung tangan kirinya.
Mereka memandang penuh perhatian, akan tetapi
tidak merasa kenal kepada dua orang muda itu.
Pemuda itu berpakaian sederhana dan ringkas,
sikapnya tenang sekali dan mukanya tidak te rlalu
tampan namun ganteng dan jantan, gerak-geriknya

le mbut dan tidak nampak seperti seorang ahli silat
tangguh. Adapun gadis yang berdiri di sebelahnya
itu lebih menarik perhatian, cantik dan pakaiannya
juga sederhana ringkas, namun setiap gerakgeriknya membayangkan kegagahan dan keberanian, matanya mencorong menatap suami
isteri pendekar itu tanpa sungkan-sungkan, dan
biarpun tangan kirinya buntung sebatas pergelangan, namun ia masih nampak gagah
berwibawa. Dilihat sepintas lalu saja dapat diduga
bahwa gadis ini telah menguasai ilmu silat secara
mendalam dan memiliki ketangguhan.
Sementara itu, Thian Ki memandang kepada
suami isteri itu dengan kagum. Biarpun ketika
berte mu dengan pendekar sakti itu, dia baru
berusia empat lima tahun, akan te tapi dia masih
mengenal pamannya itu. Pendekar Si Han Beng
adalah adik angkat mendiang ayahnya, Coa Siang
Lee. Bahkan dia masih ingat baik-baik kepada Bu
Giok Cu, isteri pendekar sakti itu. Dahulu, ayah
dan ibunya yang menjadi wali, menikahkan
pasangan suami isteri ini! Maka, kini berhadapan
dengan suami isteri yang dikaguminya itu, yang
berpakaian sebagai petani-petani biasa, Thian Ki
te rtegun penuh kagum dan seperti te rpukau dan
tidak dapat mengeluarkan suara. Adapun Cin Cin
yang melihat suami isteri yang oleh Thian Ki
dikabarkan sebagai suami isteri pendekar, bahkan
dahulu seluruh orang He k-houw-pang memujimujinya, bahkan ia sendiri oleh mendiang kakeknya dikirim kepada suami is teri ini untuk
menjadi murid, kini tertegun karena kecewa.
Kiranya suami isteri pendekar sakti itu s ama sekali

tidak meyakinkan penampilan mereka, hanya
petani biasa! Melihat sepasang orang muda itu tertegun. Bu
Giok Cu yang berwatak lincah te rsenyum ramah.
"Aih, aih......! Kalian ini datang hendak menemui
kami, mempunyai keperluan ataukah sekedar
hanya ingin menjadi penonton" Kami berdua
bukan tontonan aneh, kenapa kalian bengong
seperti itu?" Suara ini ramah dan nadanya
bergurau. Thian Ki segera memberi hormat. "Paman Si Han
Beng, bibi Bu Giok Cu, kuharap selama ini paman
dan bibi mendapat berkah Tuhan dan dalam
keadaan sehat dan selamat."
Melihat pemuda yang demikian sopan dan katakatanya demikian enak didengar, Si Han Beng
menoleh kepada is terinya sambil mengangkat alis,
seolah bertanya siapa pemuda yang ramah itu.
Akan tetapi isterinya menggeleng kepala, dan
mereka kembali memandang kepada pemuda dan
gadis itu. Kini Thian Ki yang te rsenyum. "Agaknya paman
dan bibi yang mulia te lah lupa kepadaku" Aku
adalah Coa Thian Ki ........ "
"Aihhh........!!" Si Han Beng berseru. "Putera
mendiang kakak Coa Siang Lee.......?"
"Ah, benar dia! Anak yang dulu tidak suka
belajar silat itu!" kata pula Bu Giok Cu yang kini
te ringat. "Akan tetapi lihat, dia sekarang membawa-bawa pedang!"

Suami is teri itu gembira sekali. Si Han Beng
memegang tangan kanan Thian Ki dan Bu Giok Cu
memegang tangan kirinya. Pemuda itu merasa
te rharu bukan main. Biarpun tanpa banyak cakap,
dan melalui pegangan tangan kedua orang suami
isteri itu, dia merasakan getaran kasih sayang yang
membuat dia ingin menangis . Pantas saja kalau
ayah ibunya pernah te rkagum-kagum dan amat
menghormati suami isteri pendekar ini. Kiranya
dari hati mereka terpancar kasih sayang yang
murni. "Thian Ki, engkau telah menjadi seorang pemuda
yang jantan!" kata Bu Giok Cu gembira. "Dan ini,
siapakah nona ini?" Kini suami isteri itu
melepaskan kedua tangan Thian Ki dan mereka
menghadapi gadis yang buntung tangan kirinya.
"Paman, bibi, adik ini bukan orang lain. Ia
adalah Kam Cin, puteri paman Kam Seng Hin
ketua Hek-houw-pang yang dahulu pernah dikirim
ke sini untuk menjadi murid paman dan bibi."
"Aihhhh......! Engkaukah anak itu?" Bu Giok Cu
mendekat dan memegang pundak gadis itu dengan
akrab. "Kami di sini sudah mendengar semua yang
te rjadi di Ta-bun-cung, apa yang menimpa keluarga He k-houw-pang. Kami mendengar pula
dari murid kami The Siong Ki te ntang dirimu, Cin
Cin. Katanya engkau



diajak oleh seorang susiokmu, diantar ke sini, akan tetapi kenapa
engkau tidak sampai di sini?"
"Bibi, panjang ceritanya," kata Cin Cin.
"Ah, mari kita masuk, kita bicara di dalam!" kata
Si Han Beng. Isterinyapun baru ingat akan hal itu

dan mereka semua memasuki rumah dan tak lama
kemudian mereka sudah bercakap-cakap di ruangan tamu yang berada di depan sebelah kiri
rumah. Dari jendela yang terbuka dapat nampak
taman bunga yang te rawat baik. Tanah di le mbah
Huang-ho itu memang subur.
Di ruangan itu, suami isteri pendekar sungai
Huang-ho mendengarkan cerita Cin Cin tentang
dirinya yang tidak jadi menjadi murid mereka
karena kecurangan Lai Kun yang kemudian
menjadi ketua Hek-houw-pang dan sekarang te lah
membunuh diri. Akan tetapi Cin Cin tidak menceritakan bahwa ia
telah menjadi murid Tung-hai Mo-li Bhok Sui Cin.
Mendengar cerita itu, Si Han Beng menghela
napas panjang. "Ahh, sungguh tidak kusangka
He k-houw-pang bernasib begitu buruk sehingga
ayah kalian berdua te was ketika Hek-houw-pang
diserbu musuh. Aku tidak merasa heran mendengar bahwa di antara para penyerbu itu
te rdapat Can Hong San, seorang yang memang
sejak dahulu berwatak jahat bukan main seperti
setan. Akan tetapi yang membuat aku merasa
bingung adalah ketika mendengar bahwa di antara
mereka terdapat pula Lie Koan Tek, padahal dia
adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang gagah
perkasa. Bagaimana mungkin dia bekerja sama
dengan para tokoh sesat, melakukan penyerbuan
kepada Hek-houw-pang?"
"Paman, Can Hong San telah te was di tangan Cin
Cin ini," kata Thian Ki.

Suami isteri itu terbelalak. "Engkau" Engkau
mampu membunuh Can Hong San" Bukan
main...!" kata Bu Giok Cu, te rkejut, heran dan
hampir tidak dapat percaya. Tingkat kepandaian
Can Hong San sudah amat tinggi, bahkan ia
sendiripun hanya dapat mengimbangi dan sukar
untuk dapat mengalahkannya. Mungkin hanya
suaminya saja yang akan mampu mengalahkan
Can Hong San, dan gadis muda yang buntung
tangan kirinya ini dapat membunuhnya!
"Ah, kalau tidak dibantu oleh Thian Ki, belum
te ntu aku akan mampu menewaskannya. Dia
memang tangguh luar biasa," kata Cin Cin
merendah. "Dan Lie Koan Tek yang paman sebutsebut tadi kini telah menjadi ayah tiriku."
"Ehhh" Apa pula ini?" Bu Giok Cu berse ru kaget
dan heran. "Kau maksudkan, ibumu ..yang telah
menjadi janda itu kini menikah dengan Lie Koan
Tek, seorang di antara mereka yang menyerbu He khouw-pang?" "Dan ayahmu tewas dalam penyerbuan itu!" kata
pula Si Han Beng heran. Cin Cin menghela napas panjang. "Paman dan
bibi, tadinya akupun merasa penas aran sekali
kepada ibu, dan aku pernah amat marah dan
membencinya ketika mendengar ia
menikah dengan seorang di antara para penyerbu Hekhouw-pang, seorang di antara mereka yang
menyebabkan kematian ayahku. Akan te tapi
setelah aku bertemu dengan mereka, dengan ibuku
dan dengan Lie Koan Tek, baru aku tahu akan

duduknya perkara dan aku tidak menyalahkan
ayah tiriku." De ngan singkat Cin Cin lalu menceritakan
te ntang Lie Koan Tek yang dibebaskan dari penjara
oleh Cian Bu Ong bersama Can Hong San dan yang
lain-lain dengan syarat mereka itu akan membantunya merebut kembali tahta Kerajaan Sui
yang dijatuhkan oleh Kerajaan Tang. Kemudian,
ketika Cian Bu Ong menyuruh para pembantunya
menyerbu He k-houw-pang yang dianggap membantu pemerintah baru, Lie Koan Tek terpaksa
ikut menyerbu. Akan te tapi, dia tidak ingin
melakukan pembunuhan, dan ketika melihat
ibunya te rancam, dia menolongnya dan membawanya pergi dari dusun yang sedang
diserbu itu. "Lie Koan Tek bukan penjahat, dia hanya
te rpaksa ikut dalam penyerbuan. Akan te tapi
semenjak itu, dia tidak kembali kepada Cian Bu
Ong dan melarikan diri bersama ibu. Akhirnya, ibu
juga menyadari keadaan pendekar Siauw-lim-pai
itu dan menerima pinangannya." Cin Cin menundukkan mukanya dan kedua pipinya agak
kemerahan. Melihat ini, Bu Giok Cu segera menghiburnya.
"Kalau begitu, ibumu tidak bersalah, dan memang
kamipun mengenal siapa Lie Koan Tek itu. Dia
seorang pendekar Siauw-lim-pai dan memang dia
pernah ditangkap pemerintah karena Siauw-limpai ketika itu dituduh memberontak. Yang menjadi
biang keladi penyerbuan dan penghancuran Hek◇
houw-pang adalah bekas Pangeran Cian Bu Ong
itulah! Dialah yang jahat!"
Cin Cin mengerling kepada Thian Ki dan pemuda
itu segera berkata, "Bibi dan paman harap
mengetahui bahwa Pangeran Cian Bu Ong itu
sekarang telah menjadi ayah tiriku pula.. "
Kini suami isteri itu benar-benar melonjak
saking kaget dan herannya. Mereka menatap wajah
Thian Ki dan pandang mata mereka tajam
menembus penuh selidik. "Bagaimana mungkin
ini?" teriak Si Han Beng penasaran. "Kakak iparku
Sim Lan Ci setelah ditinggal mati kakakku Coa
Siang Lee malah menikah dengan bekas pangeran
yang te lah membasmi He k-houw-pang dan menyebabkan kematian suaminya" Tidak mungkin!
Aku mengenalnya sebagai seorang yang mencinta
suaminya dan....." Tiba-tiba dia terdiam ketika
berte mu pandang mata dengan isterinya.
Dalam pandang mata itu, is terinya seperti
mengingatkan dia. Memang benar, betapapun juga,
Sim Lan Ci adalah pute ri mendiang Ban-tok Mo-li
Phang Bi Cu yang pernah menjadi iblis betina yang
amat kejam dan jahat! Biarpun nampak baik, akan
tetapi siapa tahu ia menuruni watak ibunya"
Thian Ki menghela napas panjang dan melihat
pandang mata Si Han Beng kepadanya, diapun
berkata, "Aki tidak menyalahkan paman dan bibi
kalau menjadi heran dan menyalahkan ibu. Akan
tetapi, sungguhnya ibu tidaklah seperti yang dikira
orang. Ia tetap seorang ibu yang baik dan ia amat
mencinta mendiang ayah. Dan kalau ia kini
menjadi isteri ayah tiriku Cian Bu Ong, hal itupun

tidak mengherankan. Ayah tiriku itupun seorang
gagah perkasa yang amat baik, sama sekali bukan
orang jahat, dan agaknya ia memang patut
mendapat kekaguman dan kesayangan ibuku."
Lalu Thian Ki menceritakan te ntang diri Cian Bu
Ong. "Dia seorang pahlawan sejati, te ntu saja
pahlawan Kerajaan Sui yang dirobohkan Kerajaan
Tang. Dia te ntu saja menganggap Kerajaan Tang
sebagai pemberontak dan sebagai seorang pahlawan Sui, dia berusaha sekuat tenaga untuk
merebut kembali tahta Kerajaan Sui yang te lah
jatuh. Namun dia gagal. Peristiwa di Hek-houwpang itu terjadi bukan karena dia mempunyai
permusuhan pribadi dengan He k-houw-pang melainkan melihat Hek-houw-pang memihak Kerajaan baru dan membantu kerajaan baru untuk
menangkap dia yang dianggap pemberontak oleh
Kerajaan Tang, maka te rjadilah penyerbuan itu.
Saya kira paman dan bibi yang bijaksana akan
dapat mempertimbangkan dengan adil te ntang
kesediaan ibuku menjadi isteri bekas Pangeran
Cian Bu Ong." Si Han Beng saling pandang dengan Bu Giok Cu
dan pendekar ini mengangguk-angguk. "Yaaah,
begitulah perang! Perang merupakan peristiwa keji
yang menimbulkan banyak hal yang keji pula.
Kalau ada dua pihak berperang, maka te rjadilah
pandangan-pandangan yang saling berte ntangan.
Apa yang dianggap baik oleh satu pihak, tentu
dianggap buruk oleh pihak lain, te rgantung dari
penilaian, pihak mana yang diuntungkan dan
pihak mana yang dirugikan. Kiranya yang menghancurkan Hek-houw-pang adalah perang. Ini

nasib namanya dan kalau kita ingin mencari biang
keladinya dan menyalahkannya,
maka yang bersalah adalah perang. Sek arang aku mengerti
dan tidak heran lagi mengapa ibumu menjadi isteri
bekas pangeran itu, Thian Ki."
"Perang memang kotor dan keji, Thian Ki," kata
Bu Giok Cu, "dan tidak mungkin kita bicara
te ntang dendam kalau ada yang jatuh te was
sebagai korban perang. Perang melibatkan sebuah
kerajaan, melibatkan rakyat. Tidak mungkin kita
mendendam kepada sebuah kerajaan berikut
semua rakyatnya, dan kalau te rjadi bunuh
membunuh, maka semua itu dilakukan karena
dorongan perang, bukan karena dendam pribadi."
"Maaf, paman dan bibi. Bukankah The Siong Ki
itu murid paman dan bibi?"
"Benar, te ntu kalian telah mengenalnya karena
orang tuanya juga menjadi korban ketika Hekhouw-pang diserbu," jawab Si Han Beng.
"Apakah dia tidak berada di sini?" tanya pula Cin
Cin dan wajahnya mulai menjadi merah, matanya
bersinar marah. Melihat ini, Bu Giok Cu segera
bertanya. "Engkau mencari dia" Kenapakah" Dia belum
kembali." "Aku mencarinya untuk menantangnya! Dia
telah berbuat jahat, menyerang dan melukai ibuku
dan ayah tiriku!" Kembali suami isteri pendekar itu te rkejut
Kedatangan dua orang muda ini merupakan
kejutan yang membawa banyak kejutan pula "Ehh!





Apa yang te lah dia perbuat"' tanya Si Han Beng.
"Kenapa dia menyerang ibumu dan ayah tirimu?"
"Dia menuduh ayah tiriku yang membunuh
ayahnya dalam penyerbuan di Hek-houw-pang dan
dia menghina karena ibu menjadi isteri Lie Koan
Tek, dan kalau aku tidak muncul, mungkin ibuku
dan ayah tiriku celaka di tangannya. Aku datang
dan melawannya, akan tetapi dia melarikan diri!"
"Ah, lancang sekali anak itu!" kata Bu Giok Cu
mengerutkan alis nya, "Hemmm, kalau dia pulang,
aku akan menegurnya dengan keras dan akan
menyuruh dia minta maaf kepada ibumu dan ayah
tirimu, Cin Cin," kata Si Han Beng, diam-diam
merasa heran mengapa muridnya
bertindak selancang itu, padahal dia sudah memesan agar
muridnya itu tidak mendendam kepada siapapun.
Pada saat itu, tiba-tiba nampak bayangan
berkelebat dan seorang wanita cantik muncul di
luar je ndela ruangan itu, pakaiannya dari sutera
serba putih sehingga ia nampak cantik dan an ggun
seperti seorang dewi. Namun sepasang matanya
mencorong dingin dan menyeramkan ketika ia
memandang ke arah Cin Cin.
"Subo.......!" Gadis itu berseru kaget bukan main
ketika melihat gurunya tiba-tiba berdiri di luar
je ndela ruangan itu. "Keluarlah, aku mau bicara!" kata wanita itu dan
sekali berkele bat ia sudah lenyap dari luar je ndela
itu. "Maaf, aku mau menemui subo dulu!" kata Cin
Cin dan iapun melangkah keluar meninggalkan

ruangan itu. Thian Ki juga bangkit dan mengikutinya keluar karena kebetulan sekali,
diapun ingin menemui guru Cin Cin untuk
membujuknya agar tidak melibatkan Cin Cin
dalam urusan pribadinya dengan Cian Bu Ong.
Suami isteri itu mengerutkan alis, saling pandang,
lalu keduanya bangkit dan perlahan-lahan mereka
melangkah keluar. Di pekarangan luar yang luas, Tung-hai Mo-li
Bhok Sui Lan berdiri tegak dan Cin Cin berlutut di
depannya. Wanita cantik itu kelihatan mengerutkan alisnya dan pandangannya menyapu
keadaan muridnya, berhenti sebentar pada tangan
kiri yang buntung. Ia sama sekali tidak perduli
ketika melihat seorang pemuda keluar dari pintu
rumah itu, kemudian sepasang suami isteri
berpakaian petani keluar pula, seolah mereka
bertiga itu hanya bayangan baginya, tiga orang
yang tidak masuk hitungan.!
"Cin Cin, bagaimana dengan tugas-tugas yang
kuberikan kepadamu" Sudahkah engkau melaksanakannya?" terdengar ia berkata, s uaranya
dingin. Diam-diam Thian Ki memakinya dalam
hati. Sungguh wanita iblis, melihat keadaan
muridnya yang kehilangan tangan kiri, tidak
menanyakan te ntang tangan itu akan tetapi yang
ditanyakan adalah pelaksanaan tugas!
"Teecu sudah berhasil membunuh Can Hong San
dengan pedang ini, subo......"
"Berikan pedang itu kepadaku!"
Cin Cin mele paskan tali pedangnya dan menyerahkan pedang berikut sarungnya kepada

gurunya. Tung-hai Mo-li mencabut Koai-liong-kiam
dan nampak sinar kehijauan. Ia memeriksa pedang
dan melihat adanya bekas darah, maka ia
mengangguk-angguk sambil te rsenyum dan memandang langit. "Suheng, tenanglah engkau di
sana, anakmu yang durjana dan murtad itu telah
mampus!" katanya dan iapun menyimpan kembali
pedangnya, lalu mengikatkan di punggung.
"Dan bagaimana dengan Cian Bu Ong" Sudahkah engkau membunuhnya?"
Cin Cin menundukkan mukanya. "Teecu menemukannya dan menantangnya, akan tetapi
teecu telah gagal, subo."
"Gagal" Engkau te lah gagal dan berani melapor
kepadaku" Sudah kukatakan bahwa sebelum
engkau berhasil melaksanakan tugas-tugas itu,
engkau tidak boleh berte mu dan melaporkan
kepadaku." "Maaf, subo. Teecu.....akan mencarinya dan
mencoba lagi, dengan taruhan nyawa teecu....."
"Hemm, kau kehilangan tangan kirimu dalam
usaha membunuhnya itu?"
"Benar, s ubo."
"Huh! Kau tidak ada gunanya! Pergilah dan cari
dia, bunuh dia, kalau perlu dengan taruhan
tanganmu yang kanan atau nyawamu!"
"Nanti dulu........!" Bu Giok Cu tidak tahan lagi
mendengar dan ia sudah menghampiri Tung-hai
Mo-li. "Sikapmu ini sungguh keterlaluan!"

Tung-hai Mo-li menole h dan memandang kepada
Bu Giok Cu dengan alis berkerut. "Huh, engkau
perempuan tani tidak usah mencampuri urusan
pribadi antara aku dan muri dku, atau kubuntungi
le hermu." Selama ini Bu Giok Cu hidup tente ram dan ia
telah memupuk kesabaran, akan tetapi sikap dan
ucapan Tung-hai Mo-li itu seperti api yang amat
panas membakarnya. Mukanya menjadi kemerahan dan matanya mengeluarkan sinar
berapi. "Aku tidak mencampuri urusan siapa-siapa.
Akan tetapi Kam Cin ini adalah tamu kami, bahkan
masih ada hubungan keluarga dengan kami.
Engkau tidak pantas menekannya seperti itu.
Kalau benar engkau ini gurunya, kenapa sikapmu
seperti iblis betina terhadap musuhnya, bukan
seperti guru te rhadap murid" Ia te lah kehilangan
tangan kirinya karena hendak melaksanakan
perintahmu, dan engkau bukan bersukur, bahkan
menekan dan menghinanya. Engkau ini bukan
manusia." "Perempuan dusun busuk! Mampuslah!" Tangan
Tung-hai Mo-li bergerak menyambar. Tamparan itu
dahsyat sekali, dapat menghancurkan batu karang,
apalagi rahang seorang wanita dusun, tentu akan
hancur lebur terkena tamparan itu.
"Wuuuuttt!" Tung-hai Mo-li te rte gun karena
tamparan itu luput! Kemarahannya memuncak dan
kini tubuhnya berkelebat. N ampak bayangan putih
dan ia sudah menyerang dengan pukulan-pukulan
maut secara bertubi-tubi. Akan tetapi, ia kecele

kalau mengira akan mampu merobohkan perempuan dusun itu dengan mudah! Tubuh Bu
Giok Cu berubah menjadi bayangan hitam karena
pakaiannya serba hitam dan semua pukulan Tunghai Mo-li luput! Ketika wanita iblis itu mengerahkan seluruh tenaga ke dalam kedua
tangannya dan mengirim pukulan
beruntun dengan dorongan telapak tangan, Bu Giok Cu
menyambut dengan gerakan serupa.
"Plak! Plakk!" Dua pasang tangan berte mu dan akibatnya,
kedua orang wanita itu terdorong ke belakang
sampai tiga langkah! Tung-hai Mo-li te rbelalak
memandang perempuan dusun itu dan Bu Giok Cu
juga memandang sambil te rsenyum mengejek. Ia
telah membuktikan bahwa wanita galak itu tidak
mampu mengalahkannya, jangankan membunuhnya! Berubah pandangan Tung-hai Mo-li terhadap
perempuan dusun itu. "Siapa engkau...........?"
bentaknya marah. "Jangan mati tanpa nama!" Ia
menghunus pedang yang tadi diterimanya dari Cin
Cin dan nampak sinar hijau.
"Mo-li, tenanglah dan harap sabar. Kami tidak
ingin bermusuhan denganmu atau siapapun juga."
kata Si Han Beng sambil melangkah maju melerai.
Mendengar laki-laki dusun itu menyebutnya Moli, Tung-hai Mo-li menghadapinya dan memandang
tajam. "Engkau mengenalku?"
Si Han Beng tersenyum. "Tadinya memang tidak,
akan tetapi setelah engkau tadi mencabut pedang

dan menyerang isteriku, aku dapat menduga
bahwa engkau te ntulah Tung-hai Mo-li Bhok Sui
Lan, datuk dari pantai timur, bukan?"
Tung-hai Mo-li makin kaget. Laki-laki dusun ini
mengenalnya, mengenal pedangnya dan mengenal
imu silatnya! "Siapakah engkau?"
"Tung-hai Mo-li, kami suami isteri hanyalah
orang-orang dusun seperti katamu tadi, bukan
tokoh terkenal seperti engkau. Namaku Si Han
Beng dan ini adalah is teriku dan seperti yang
dikatakan tadi, nona Kam Cin adalah tamu kami
dan te ntu saja kami melarang siapapun mengganggu te rmasuk engkau sebagai gurunya
yang tidak adil." "Kau......kau......Huang-ho Sing-liong!" Tung-hai
Mo-li berseru kaget. Si Han Beng te rsenyum. "Hanya orang-orang
bodoh saja yang memberi julukan semuluk itu.
Aku hanya petani dusun biasa."
Tentu saja Tung-hai Mo-li merasa malu bukan
main. Ia tadi telah menganggap suami isteri
pendekar besar ini sebagai petani dusun! Akan
tetapi ia seorang datuk besar, maka tentu saja ia
merasa malu kalau harus mengakui kesombongannya. Ia melintangkan pedangnya di
depan dada. "Huang-ho Sin-liong! Engkau sendiri
seorang tokoh dunia persilatan, tentu engkau dan
isterimu tahu akan peraturan dan kesopanan
dunia kang-ouw, yaitu bahwa seseorang tidak
dibenarkan mencampuri urusan antara guru dan
muridnya, karena hal itu merupakan urusan
pribadi!" ◇
"Nanti dulu, Mo-li!" Bu Giok Cu berseru, tak
kalah pedasnya. "Engkau seperti kata peribahasa
dapat melihat kuman di rambut orang lain, akan
tetapi tidak dapat melihat kutu busuk di kepala
sendiri! Engkau tadi memasuki pekarangan orang,




mengintai dari jendela ruangan orang tanpa
permisi. Apakah itu juga sikap yang dibenarkan
antara orang gagah" Dan ketahuilah bahwa kami
memiliki hubungan dekat dengan keluarga He khouw-pang, maka Cin Cin, puteri ketua Hek-houwpang ini dapat kami anggap sebagai keponakan
sendiri. Tentu kami tidak mau sembarangan orang
menghinanya!" Tung-hai Mo-li merasa kalah bicara dengan
nyonya cantik yang lincah itu, maka untuk
menutupi kekalahannya, ia menantang, "Kalau
begitu, mari kita selesaikan dengan pedang! Kita
lihat siapa yang salah pasti kalah!"
"Engkau menantangku!" Bu Giok Cu tersenyum
mengejek. "Jangan mengira bahwa aku perempuan
dusun takut kepada pedangmu dan julukanmu itu,
julukan kosong melompong dan pedang itu hanya
untuk menakut-nakuti ular di sawah saja! Majulah!" Akan te tapi, Si Han Beng segera melangkah
maju menengahi, "Isteriku, mundurlah. Kalau dua
ekor singa betina berkelahi, pasti ada salah satu
yang akan te was, dan aku tidak ingin melihat
engkau melakukan pembunuhan! Biarlah aku yang
menyambut tantangannya."
Bu Giok Cu te rtawa. "Hi-hik, engkau tahu saja
bahwa aku yang akan keluar sebagai pemenang

dan ia yang akan te was. Akan tetapi, kalau kau
yang maju, te ntu ia tidak akan berani. Aku
mendengar bahwa yang julukannya Tung-hai Mo-li
orangnya penakut dan pengecut!"
Hampir Thian Ki tak dapat menahan tawanya.
Nyonya rumah ini sungguh hebat. Lidahnya lebih
tajam daripada pedang pusaka dan dengan
ucapannya itu, te ntu saja ia telah menyudutkan
Tung-hai Mo-li. Dan memang benar. Tung-hai Mo-li
menjadi pucat saking marahnya.
"Huang-ho Sin-liong, siapa takut padamu" Biar
kubunuh dulu engkau, baru is te rimu yang
bermulut busuk itu!" Setelah berkata demikian
wanita ini menggerakkan pedangnya. Ge rakan itu
amat cepatnya, pedang diputar menjadi sinar hijau
yang bergulung-gulung dan sinar ini menyambar
ke arah Si Han Beng! Pendekar ini mengenal serangan yang amat
ganas dan dahsyat, maka diapun menggerakkan
tubuhnya dan memainkan Hui-tiauw Sin-kun (Silat
Sakti Rajawali Terbang). Akan tetapi, kalau
dibandingkan dengan ilmu silat itu ketika dimainkan mendiang Rajawali Sakti Liu Bhok Ki,
gurunya yang pertama, jauh berbeda. Si Han Beng
telah memiliki te naga sin-kang yang amat kuat
sehingga dia jauh lebih cepat dan kuat dalam ilmu
itu dibandingkan gurunya dahulu. Tubuhnya
bagaikan seekor burung rajawali, mencelat ke
udara dan semua serangan pedang bersinar hijau
itu tidak mengenai sasaran, bahkan kini tubuhnya
dari atas meluncur ke bawah dengan gerakan yang
aneh dan cepat. ◇
Tung-hai Mo-li yang selama ini memandang
rendah semua lawannya, terkejut bukan main dan
cepat ia menggerakkan pedang menyambut bayangan yang meluncur dari atas itu. Akan tetapi,
sambaran angin dari atas membuat ia te rhuyung
dan te rpaksa ia mele mpar tubuhnya ke atas tanah
dan bergulingan. Ketika ia meloncat bangun, ia
mengebut-ngebutkan pakaiannya yang menjadi
kotor. Ia luput dari sambaran Si Naga Sungai
Kuning, akan tetapi pakaiannya menjadi kotor dan
ia tahu bahwa menghadapi suami isteri yang amat
lihai itu, ia dapat membahayakan dirinya sendiri.
Ia melihat pendekar itu sudah berdiri lagi dengan
sikap amat tenang, terlalu tenang sehingga ia tahu
bahwa orang ini memang benar-benar berbahaya
sekali. "Mo-li, kenapa berhenti?" Bu Giok Cu mengeje k.
"Belum lecet kulitmu, belum terluka dagingnya,
dan engkau sudah menghentikan pertandingan!"
Tung-hai Mo-li bole h jadi angkuh, akan tetapi ia
bukan seorang tolol. Ia tahu bahwa kalau ia
melayani, ia akan celaka di tangan suami isteri
yang kelihatan seperti sepasang petani dusun itu.
"Aku datang untuk berurusan dengan muridku,
bukan dengan kalian!" katanya ketus. "Lain kali
kalau aku ada urusan dengan kalian, aku akan
sengaja mendatangi kalian. Nah, Cin Cin, engkau
sudah gagal melaksanakan tugas. Engkau sudah
kehilangan tangan kiri, dibuntungi jahanam Cian
Bu Ong. Apakah engkau akan tinggal diam saja"
De ndam kita kepada Cian Bu Ong kini menjadi
semakin mendalam dengan buntungnya tanganmu.

Mari ikut aku pergi menemuinya dan membunuhnya!" "Nanti dulu, lo-cianpwe. Yang membuntungi
tangan kiri adik Kam Cin bukan Cian Bu Ong,
melainkan aku!" Si Han Beng dan Bu Giok Cu sendiri te rkejut
bukan main mendengar pengakuan itu, dan
mereka berdua hanya menonton dengan heran.
Tung-hai Mo-li yang mendengar pengakuan itu,
menjadi merah mukanya, dan semua kemarahan
kini ditujukan kepada pemuda itu.
"Siapa engkau?" bentaknya marah.
"Namaku Coa Thian Ki, masih saudara misan
adik Kam Cin." "Kenapa engkau membuntungi tangan muridku?" "Maaf, lo-cianpwe, hal itu kulakukan untuk
menyelamatkan nyawanya karena tangannya te lah
keracunan hebat." Tung-hai Mo-li menoleh kepada muridnya dan
menyerahkan pedang telanjang di tangannya
kepada Cin Cin. "Cin Cin, cepat kau balas
perbuatannya, kau buntungi kedua tangannya! Dia
harus membayar hutang berikut bunganya. Ce pat!"
Akan tetapi Cin Cin tidak mau mene rima pedang
Koai-liong-kiam itu dan ia berkata, "Subo apa yang
dikatakannya benar. Thian Ki membuntungi tangan kiri teecu untuk menyelamatkan teecu.
Kalau dia tidak melakukan itu, sekarang teecu
te ntu s udah mati."

"Huh, apapun alas annya, dia te lah membuntungi tanganmu. Katakan, kenapa tanganmu sampai terkena racun?"
Cin Cin te rpaksa berte rus terang. "Ketika teecu
menyerang Cian Bu Ong untuk membunuhnya
seperti yang subo kehendaki, Thian Ki mencegahku, sehingga aku berbalik menyerangnya. Aku mencengkeram pundaknya
dan keracunan he bat."
"Keparat, engkau bukan saja membuntungi
tangan muridku, bahkan engkau membela jahanam Cian Bu Ong, ya?" bentak Tung-hai Mo-li
sambil menghadapi Thian Ki dengan marah sekali.
"Tentu saja, lo-cianpwe karena Cian Bu Ong
adalah ayahku, juga guruku. Kuharap lo-cianpwe
dapat bersikap adil. Kalau lo-cianpwe mendendam
kepada bekas pangeran itu, bukankah hal itu
merupakan urusan pribadi" Urusan percintaan
antara lo-cianpwe dan Pangeran Cian Bu Ong
merupakan urusan yang sangat pribadi dan
rahasia, dan kalau lo-cianpwe hendak membalas
dendam, sudah sepatutnya kalau lo-cianpwe
melakukannya sendiri. Kenapa lo-cianpwe menyuruh Cin Cin membunuhnya" Cin Cin bukan
lawannya, tidak akan berhasil. Apakah lo-cianpwe
sengaja membiarkan Cin Cin tewas di tangan
musuh yang le bih tangguh" Atau .......barangkali
lo-cianpwe sendiri takut menghadapi ayahku"
Harap lo-cianpwe tidak melibatkan Cin Cin dalam
urusan pribadi itu, agar lo-cianpwe tidak menjadi
bahan te rtawaan dunia kangouw!"

Wajah wanita itu menjadi pucat saking marahnya. "Kau.....kau......kau anak dan murid
Cian Bu Ong" Dan engkau membuntungi tangan
muridku" Bagus! Aku pasti akan membunuh Cian
Bu Ong, akan te tapi aku akan le bih dulu
membunuh muridnya!" Thian Ki te rsenyum. "Hemm, sekarang aku
mengerti kenapa ayahku dahulu tidak mau
menikah dengan lo-cianpwe, walaupun lo-cianpwe
seorang wanita yang cantik dan lihai. Watak locianpwe itulah!" "Jahanam busuk, anak setan! Aku tantang
engkau, hayo cabut pedangmu dan kuantar
engkau ke neraka!" "Lo-cianpwe menantangku" Aku tidak akan
mundur atau lari," kata Thian Ki sambil meraba
pedangnya. "Cin Cin, maafkan aku kalau aku
melawan gurumu." "Nanti dulu!" Bu Giok Cu berseru. Ia khawatir
sekali melihat Thian Ki hendak menyambut
tantangan datuk wanita itu. Ia tahu bahwa tingkat
kepandaian Tung-hai Mo-li tidak jauh selisihnya
dengan tingkatnya sendiri. Bagaimana mungkin
Thian Ki sanggup menandinginya" Pemuda itu
sama saja dengan membunuh diri.
"Tung-hai Mo-li, tidak malukah engkau" Lawanmu adalah aku atau suamiku, bukan
seorang bocah! Hayo kau tantang aku atau
suamiku, bukan menantang seorang yang pantasnya menjadi anakmu atau muridmu!"

"Hem, kiranya pendekar besar Huang-ho Sinliong dan isterinya hanyalah dua orang dusun yang
usil, yang suka mencampuri urusan orang lain
secara tidak tahu malu! Aku menantang murid
Cian Bu Ong, musuh besarku, aku hendak
membunuhnya karena dia pute ra dan murid Cian




Bu Ong, dan dia sudah membuntung tangan
muridku. Apakah kalian begitu tidak tahu malu
untuk mencampuri urusanku ini?"
Si Han Beng melangkah maju. "lsteriku, mundurlah " Dia lalu memandang wajah Tung-hai
Mo-li, dengan sinar mata mencorong yang demikian tajam sehingga datuk wanita itu sendiri
menjadi gentar. Mata pendekar itu seperti sepasang mata seekor naga sakti, berapi!
"Tung-hai Mo-li, engkau berhak menantang
siapapun juga di dunia ini dan kalau yang kau
tantang sudah menyambut untuk bertanding
denganmu, kami te ntu saja tidak akan mencampuri. Akan te tapi kalau yang kau tantang
menolak lalu engkau memaksa dan hendak
membunuhnya, demi Tuhan, aku Si Han Beng
yang akan mencegahmu, mengerti" Thian Ki,
sebaiknya jangan kau sambut tantangannya. Ia
bukan lawanmu." "Paman dan bibi, harap tidak khawatir. Aku
akan menyambut tantangannya, demi ayah dan
guruku, juga demi Cin Cin karena ia sejak kecil
diperalat oleh wanita iblis ini, dibesarkan dan
dilatih ilmu silat hanya untuk disuruh membunuh
bekas kekasihnya, karena ia sendiri tidak berani
maju. Juga demi paman dan bibi yang dipandang

rendah dan demi aku sendiri yang ditantangnya.
Akan percuma saja kalau selama ini belajar ilmu,
kini ditantang oleh seorang wanita jahat aku tidak
berani menandinginya. Tung-hai Mo-li, aku sudah
siap, majulah!" berkata demikian, Thian Ki
mencabut pedangnya, pedang yang berwarna
hitam. Nampak sinar hitam yang mengerikan
ketika pedang itu dicabut, dan suami is teri
pendekar itu mengenal Cui-mo Hek-kiam (Pedang
Hitam Pengejar Iblis] yang dahulu merupakan
pedang milik Sim Lan Ci, ibu pemuda itu. Sebatang
pedang yang ampuh dan mengandung racun hebat
karena pedang itu telah ditangani oleh mendiang
Ban-tok Mo-li, nenek dari Thian Ki!
Diam-diam Tung-hai Mo-li juga terkejut melihat
pedang hitam di tangan pemuda itu. Akan tetapi,
sesuai dengan wataknya, tentu saja ia memandang
rendah kepada seorang pemuda.
Betapapun lihainya, kalau hanya seorang pemuda seperti itu,
biar maju sepuluh orangpun ia tidak akan gentar!
"Bocah setan, sambut ini dan mampuslah!"
bentaknya dan wanita itu s udah menerjang dengan
dahsyatnya. Sinar pedang kehijauan bergulunggulung menyambar ke arah Thian Ki.
Pemuda ini dengan tenang menggerakkan
pedangnya dan nampak gulungan sinar hitam yang
mengeluarkan suara mengaung-ngaung, dan ketika
kedua pedang berte mu di udara, te rdengar suara
nyaring dan nampak bunga api berpijar. Tung-hai
Mo-li merasa telapak tangan yang memegang
pedang te rgetar hebat dan iapun te rkejut, tidak
berani memandang rendah lagi dan ia ◇
mengerahkan seluruh te naganya, mengeluarkan
jurus-jurus terampuh untuk mendesak. Namun,
Thian Ki mampu mengimbanginya dengan baik.
Pemuda ini sudah menguasai semua ilmu yang
diajarkan Cian Bu Ong kepadanya, sehingga
melawan dia tidak ada bedanya dengan melawan
bekas pangeran itu sendiri. Bahkan pemuda ini
le bih hebat lagi karena tubuhnya beracun!
Si Han Beng dan Bu Giok Cu yang menonton
pertandingan itu, diam-diam merasa kagum bukan
main. Tak pernah mereka dapat membayangkan
betapa anak yang dahulu oleh orang tuanya
sengaja dijauhkan dari ilmu silat, kini telah
menjadi seorang pemuda yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi.! Jelas pemuda itu tidak akan
kalah menandingi Tung-hai Mo-li, bahkan perlahan-lahan, setelah lewat tigapuluh jurus yang
penuh dengan penyerangan silih berganti dengan
serunya, Thian Ki mulai dapat mendesak lawannya. Gulungan sinar hijau pedang Koai-liongkiam mulai menyempit, sedangkan gulungan sinar
hitam pedang Cui-mo He k-kiam menjadi semakin
melebar. Tung-hai Mo-li menjadi panik juga. Seujung
rambutpun ia tidak pernah mengira bahwa ia
menemukan lawan yang amat tangguh dalam diri
pemuda itu! Demikian tangguhnya sehingga kini ia
malah terdesak hebat. Ternyata, baik dalam hal
kecepatan dan keringanan tubuh, maupun dalam
te naga, pemuda itu lebih unggul darinya. Ia
semakin penasaran melihat Cin Cin diam saja,
tidak berusaha untuk membantunya. Akan tetapi,
hal itupun akan sia-sia karena di sana te rdapat

suami isteri pendekar yang tentu tidak akan tinggal
diam kalau Cin Cin bergerak membantunya.
Karena penasaran, tiba-tiba ia mengeluarkan
le ngkingan panjang, tubuhnya membuat gerakan
memutar dan pedangnya menyambar dari samping
dengan pengerahan seluruh tenaganya. Itulah
jurus Loai-liong-tiauw-wi (Naga Siluman Menyabetkan Ekornya) dari Koai-liong-kiam-sut
dan jurus ini menang berbahaya sekali. Putaran
tubuh itu menambah dahsyatnya te naga dari
tangan yang menggerakkan pedang. Melihat ini,
Thian Ki menyambut dengan tangkis an pedangnya,
bukan menangkis langsung dari depan, melainkan
le bih condong menghantam dari atas ke bawah
sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
"Trakk......!" Pedang Koai-liong-kiam yang menjadi pedang pusaka andalan Tung-hai Mo-li itu
patah menjadi dua potong! Tentu saja wanita ini
te rkejut bukan main, mukanya pucat memandang
kepada pedang sepotong yang masih berada di
tangannya. Pedang itu tinggal sepertiga lagi, yang
duapertiga sudah jatuh dan menancap ke atas
tanah. "Setan.....!" Ia memaki dan ia membuang sisa
pedang itu ke atas tanah pula. Thian Ki juga
menyarungkan pedangnya. Dia merasa menyesal
telah merusak pedang lawan.
"Tung-hai Mo-li, maafkan aku telah mematahkan
pedangmu," katanya dengan suara yang jujur,
bukan untuk mengejek. ◇
"Huh!" Tung-hai Mo-li membuang muka dan
menoleh kepada muridnya yang masih berdiri di
pinggir. "Cin Cin, hayo ikut denganku. Kita pergi!"
Cin Cin memandang kepada Thian Ki, meragu
dan merasa serba salah. "Subo...." Ia berkata lirih,
bimbang. "Cin Cin, ingat! Kalau tidak ada subomu ini, apa
akan jadinya dengan dirimu belasan tahun yang
lalu" Aku menyelamatkanmu, merawatmu, mendidikmu! Aku gurumu, pengganti orang tuamu, dan sekarang aku perintahkan engkau
untuk ikut denganku!"
Cin Cin kembali menoleh kepada Thian Ki, akan
tetapi kakinya sudah melangkah ke arah subonya.
"Cin Cin, ingat, gurumu amat jahat, hanya ingin
mempergunakanmu demi kepentingannya sendiri,
tanpa memperdulikan keselamatanmu!" kata Thian
Ki garang. "Ia tidak perduli engkau akan mati atau
hidup. Ia seorang yang amat keji, dahulu merawat
dan mendidikmu hanya dengan tujuan keuntungan dirinya sendiri. Cin Cin, engkau sudah
menemukan kembali ibumu, tinggalkan iblis betina
itu dan kembali kepada ibumu!"
"Coa Thian Ki, engkau tidak berhak mencampuri
urusan kami!" Tung-hai Mo-li membentak marah,
akan tetapi tidak berani bersikap galak lagi.
"Aku le bih berhak atas dirinya daripada engkau,
Tung-hai Mo-li. Engkau tidak menyayangnya,
melainkan hanya mempergunakannya. Akan te tapi
di sini terdapat ibunya yang menyayangnya, ayah
tirinya yang juga mengasihinya, dan di sini ada

aku, saudara misannya, akan tetapi juga laki-laki
yang mencintanya. Aku tidak akan membiarkan
engkau membawanya pergi, kalau perlu akan
kupertahankan dengan nyawaku!"
Wajah Cin Cin berubah pucat, matanya te rbelalak, lalu wajah itu menjadi merah sekali.
Thian Ki telah mengaku mencintanya di depan
subonya, di depan Huang-ho Sin-liong dan
isterinya secara terbuka!
"Cin Cin! Hayo ikut bersamaku!" bentak Tunghai Mo-li, wajahnya merah sekali seperti udang
direbus saking marahnya. "Jangan pergi, Cin Cin. Aku yang bertanggung
jawab!" kata Thian Ki.
"Subo......, teecu akan pergi.....bersama Thian
Ki......" kata Cin Cin, suaranya lirih dan mukanya
kemerahan. Tung-hai Mo-li melangkah maju menghampiri
muridnya, akan te tapi bayangan Thian Ki berkelebat dan dia sudah menghadang di depan
gadis itu. "Tung-hai Mo-li, mulai sekarang, akulah yang
akan melindungi Cin Cin dari te kanan siapapun
juga!" katanya gagah.
"Kau.......kau .....!" Tiba-tiba Tung-hai Mo-li
menggerakkan tangannya menyerang, mencengkeram dengan tangan kiri ke arah muka
Thian Ki dan tangan kanannya menghantam dada.
Namun, dengan tangkasnya Thian Ki melompat ke
samping sambil menangkis sehingga serangan
kedua tangan itu gagal. ◇
"Subo, jangan........!!" Cin Cin berteriak. Sebetulnya teriakan itu keluar dari hatinya yang
mengkhawatirkan subonya yang berani menyerang
dengan tangan kosong. Thian Ki adalah seorang




Tok-tong (anak beracun) dan tubuhnya penuh
hawa beracun. Ia sendiri kehilangan tangan kirinya
karena berani mencengkeram pundak Thian Ki.
Tung-hai Mo-li menyerang lagi, kedua tangannya
mencengkeram dengan gerakan cepat sekali. Ilmu
Liong-jiau-kun (silat cakar naga) memang merupakan ilmu sillat tangan kosong yang khas
dari iblis betina itu, disamping ilmu pedang Koailiong-kiam. Ketika menyerang dan mencengkeram
pundak Thian Ki, Cin Cin juga menggunakan ilmu
cengkeraman ini. Ilmu cengkeram dari Tung-hai
Mo-li memang hebat, gerakannya aneh dan
cepatnya luar biasa, membuat lawan tidak sempat
lagi untuk mengikuti perkembangan gerakan itu
tanpa membalas . Kalau Thian Ki masih tidak mau membunuh
atau merobohkan Tung-hai Mo-li, hal itu karena
dia menjaga perasaan Cin Cin, yang dia tahu
merasa berhutang budi kepada gurunya itu. Tadi,
ketika bertanding pedang, diapun hanya mematahkan pedang lawan tanpa melukainya.
Kini, melihat serangan yang bertubi-tubi, diapun
hanya mengelak dan menangkis, dan inilah
kesalahannya. Dia tidak tahu betapa hebatnya
ilmu cengkeraman Liong-jiau-kun itu, maka tibatiba saja lengannya, di bawah siku, te lah kena
dicengkeram tangan kanan Tung-hai Mo-li.

"Brett........!" Lengan baju kiri Thian Ki robek dan
kuku tangan wanita itu sudah mencengkeram
le ngan Thian Ki. Akan tetapi, bukan Thian Ki yang
berte riak, melainkan wanita itu sendiri. I a menjerit
dan te rjengkang, lalu melompat bangun memegang
tangan kanannya yang te lah berubah menghitam
pada ke lima jari tangannya!
"Kau......kau......beracun .. .."
"Subo, dia memang seorang tok-tong! Subo,
cepat buntungi tangan subo, racun itu akan
menjalar naik!" teriak Cin Cin. Akan tetapi Tunghai Mo-li melotot kepadanya, lalu mendengus dan
sekali berkelebat iapun sudah meninggalkan
te mpat itu. "Subo......!!" Cin Cin berte riak memanggil dan
suaranya mengandung is ak karena duka dan
penyesalan. Thian Ki menghampirinya.
"Cin Cin, maafkan aku. Aku tidak bermaksud...."
"Bukan salahmu, Thian Ki. Subo menjadi korban
karena kesalahannya sendiri, seperti juga aku."
Si Han Beng dan Bu Giok Cu juga te rkejut
bukan main melihat betapa tangan Tung-hai Mo-li
menjadi keracunan hebat begitu mencengkeram
le ngan Thian Ki. Apalagi mendengar te riakan Cin
Cin bahwa Thian Ki seorang tok-tong!
"Thian Ki! Benarkah engkau seorang tok-tong
dan tubuhmu mengandung racun?" tanya Si Han
Beng dengan alis berkerut. Mendengar pertanyaan
itu tiba-tiba Thian Ki menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki Si Han Beng. ◇
"Me mang benar, paman, dan karena itulah maka
aku datang menghadap paman dan bibi."
"Tapi, bagaimana mungkin itu" Ayah ibumu
dahulu bahkan menjauhkan dirimu dari ilmu
silat!" kata pula pendekar Naga Sakti Sungai
Kuning itu. "Mari kita bicara di dalam agar Thian Ki dapat
menceritakan te ntang dirinya. Engkau juga masuklah, Cin Cin. Kami sungguh gembira sekali
melihat engkau tidak mengikut gurumu."
"Bibi saya......saya seorang murid murtad......"
kata gadis itu dengan sedih dan menundukkan
mukanya. "Sama sekali tidak, Cin Cin!" kata Si Han Beng
dan suaranya te gas. "Justru karena engkau
menyadari keadaan gurumu yang jahat dan engkau
tidak mau mengikuti je jaknya, merupakan suatu
kebijaksanaan darimu. Jangankan seorang guru,
biar orang tua sendiri sekalipun, kalau melakukan
kejahatan, tidak pantas untuk dijadikan contoh.
Gurumu itu s eorang datuk sesat, tentu saja semua
tindakannya hanya didasari kepentingan diri
pribadi, dan kalau engkau secara membuta
mentaatinya, berarti engkau bodoh dan ikut
te rseret ke dalam kesesatan. Sungguh tidak sesuai
dengan watak ayah dan ibu kandungmu yang
menjadi pendekar!t" "Terima kasih, paman," kata Cin Cin, agak le ga
mendengar ucapan itu. Sebetulnya, kalau ia
berte rus terang, yang membuat ia nekat membelakangi gurunya adalah Thian Ki! Begitu
mendengar pengakuan cinta dari Thian Ki tadi, ia

sudah mengambil keputusan untuk menentang
siapa saja agar dapat hidup bersama Thian Ki
untuk selamanya! Mereka memasuki rumah kembali, ke dalam
ruangan yang tadi. "Jadi kalau begitu, buntungnya
tangan kiri Cin Cin juga karena tubuhmu yang
beracun?" tanya Bu Giok Cu.
"Benar, bibi," kata Cin Cin, mendahului Thian Ki
karena ia tidak ingin pemuda itu dipersalahkan.
"Akan te tapi dia tidak bersalah, aku sendiri yang
bersalah, bibi. Ketika memenuhi perintah subo aku
menyerang Pangeran Cian Bu Ong. Thian Ki
membela pangeran itu dan aku menjadi marah.
Kami bertanding dan aku te rdesak, lalu aku
mempergunakan cengkeraman tangan kiriku melukai pundaknya, dan akibatnya tanganku
keracunan. Melihat tanganku menghitam, Thian Ki
cepat menggunakan pedang membuntungi tangan
kiriku, untuk menyelamatkan nyawaku."
"Perbuatan itu membuat aku merasa menyesal
untuk selamanya, paman dan bibi. Sebetulnya,
Pangeran Cian Bu Ong tidak kalah melawan Cin
Cin, tetapi dia mengalah dan aku tidak ingin
melihat Cin Cin membunuh suhu yang tidak
bersalah dan yang mengalah. Ketika mudanya,
memang suhu dan Bhok Sui Lan itu saling
mencinta. Akan tetapi, ketika mendapat kenyataan
bahwa Bhok Sui Lan seorang tokoh sesat, suhu
yang ketika itu seorang pangeran, menjaga nama
baik keluarga kerajaan dan memutuskan hubungan. Ternyata perbuatan itu membuat Bhok
Sui Lan mendendam dan memperdalam ilmu◇
ilmunya sampai menjadi Tung-hai Mo-li, kemudian
ia mendidik Cin Cin untuk disuruh membunuh
Pangeran Cian Bu Ong yang te lah menjadi suami
ibuku." Suami isterl itu saling pandang dan Si Han Beng
menghela napas panjang. "Hemm,
begitulah perputaran nasib kehidupan manusia. Sekarang,
ceritakan bagaimana engkau sampai menjadi
seorang tok-tong, Thian Ki. Keadaan yang sungguh
berlawanan dengan cita-cita ayah dan ibu
kandungmu yang akan menjauhkan dirimu dari
ilmu silat dan kekerasan."
"Me ndiang nenek yang membuat saya menjadi
tok-tong, paman dan bibi."
"Maksudmu, nenekmu Ban-tok Mo-li Phang Bi
Cu yang telah menjadi Lo-nikouw di kuil Thian-hotong itu?" "Benar, paman." Thian Ki lalu menceritakan
betapa dia dititipkan kepada neneknya dan
neneknyalah yang mengolah dirinya sehingga
menjadi tok tong. Tubuhnya menjadi beracunan,
sehingga ketika dia berusia lima tahunpun dia
sudah membuat orang-orang tangguh tewas karena
memukulnya. Kemudian diceritakannya semua
pengalamannya sebagai murid ayah tirinya dan
diapun akhirnya minta bantuan neneknya agar
diberi pelajaran ilmu yang dapat mengendalikan
hawa beracun dari tubuhnya.
"Akan tetapi mendiang nenek tidak mampu
membersihkan hawa beracun dari
tubuhku, paman. Menurut nenek, aku tidak boleh menikah
selama hidupku, karena kalau aku menikah,

isteriku akan tewas keracunan, padahal aku....."
Dia menoleh dan saling pandang dengan Cin-Cin.
Suami isteri itupun saling pandang dan merasa
te rharu. Si Han Beng menghela napas panjang.
"Kami dapat menyelami perasaan nenekmu, Thian
Ki. Memang ia dahulu te rkenal dengan julukan
Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), seorang
ahli racun yang tiada duanya di dunia persilatan.
Dan dia menjadikan engkau seorang tok-tong itu
bukan bermaksud membuatmu te rsiksa, melainkan ia ingin agar engkau menjadi orang yang
paling lihai dan tak terkalahkan."
Thian Ki menghela napas panjang. "Akupun
tidak menyalahkan mendiang nenek, paman.
Bagaimanapun juga, nenek telah berusaha menebus semua dosanya dengan nyawanya."
Dia lalu menceritakan te ntang pengeroyokan
yang dilakukan orang-orang kang-ouw te rhadap
Lo-nikouw karena orang-orang kangouw itu mengetahui bahwa nikouw itu adalah Ban-tok Moli yang dianggap sebagai iblis betina.
"Nenek sama sekali tidak melakukan perlawanan
sehingga ia tewas dibawah hujan senjata orangorang kang-ouw." Kembali suami isteri itu saling pandang dan
menghela napas panjang. "Hemm, siapa bermain
air akan basah dan bermain api akan kepanasan,
sudah wajar sekali. Mendiang nenekmu sejak
mudanya berkecimpung di dunia kangouw dan
melakukan banyak sekali perbuatan yang menimbulkan permusuhan. Karena itulah, maka
kami berduapun lebih suka tinggal di tempat sunyi

ini, sedapat mungkin menjauhkan diri dari
kekerasan dan permusuhan."
"Dan dahulu, ketika engkau masih kecil, kedua
orang tuamu yang sudah menyadari betapa
kehidupan orang-orang yang menguasai ilmu silat
adalah kehidupan penuh kekerasan dan permusuhan, mereka sengaja tidak mau mengajarkan ilmu silat kepadamu dan kamipun
sebenarnya menyetujui pendapat mereka. Akan




tetapi, siapa kira, engkau bukan menjadi seorang
yang le mah, bahkan kini menguasai ilmu silat
tinggi dan memiliki tubuh beracun yang amat
berbahaya bagi lawan." kata pula Bu Giok Cu.
Thian Ki menarik napas panjang dengan muka
muram. "Karena itulah, paman dan bibi, aku
menghadap paman berdua untuk mohon pertolongan, karena mendiang nenek pernah
berpesan kepadaku, bahwa di dunia ini, hanya ada
dua orang yang kira-kira akan mampu melenyapkan pengaruh hawa beracun dari tubuhku dan membebaskan aku dari keadaan
menjadi manusia beracun, dan mereka itu adalah
yang te rhormat lo-cianpwe Pek I Tojin guru paman
dan Lo-cianpwe Hek Bin Hwesio guru bibi. Dan
ibuku mengatakan bahwa kalau aku tidak dapat
menemukan kedua orang lo-cianpwe itu, mungkin
paman dan bibi akan dapat menolongku. Karena
itu, paman dan bibi yang budiman, tolonglah
karena seperti telah kukatakan kepada Tung-hai
Mo-li tadi, aku mencinta Cin Cin dan mengharapkan ia menjadi iste riku."

Kembali Cin Cin menundukkan mukanya yang
menjadi merah sekali. Jantungnya berdebar keras.
Sejak pertemuan yang pertama kali, walaupun
perte muan itu dalam suasana yang aneh dan
mereka tidak saling mengenal, namun ia sudah
amat te rtarik kepada Thian Ki dan dalam
perte muan selanjutnya, walaupun pertemuan yang
le bih tidak menyenangkan karena ternyata Thian
Ki murid Cian Bu Ong dan memihak gurunya, ia
sudah jatuh cinta. Kemudian, terjadi pembuntungan tangan kirinya itu oleh Thian Ki,
peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. I a tidak
akan pernah melupakan pemuda itu, dan kini,
dalam waktu singkat, Thian Ki secara terbuka, di
depan orang-orang lain, bukan saja telah mengaku
cinta kepadanya, bahkan juga menyatakan harapannya untuk memperiste rinya! Walaupun
tidak langsung kepadanya, namun baginya sama
saja, berarti pemuda itu telah menyatakan
cintanya dan telah meminangnya sebagai isteri.!
Dan tanpa menjawabpun ia dapat mendengar
sendiri jawaban hatinya, yaitu bahwa iapun
mencinta Thian Ki dan menerima pinangan itu
dengan hati penuh kebahagiaan.
Sementara itu, Si Han Beng dan Bu Giok saling
pandang. Mereka maklum bahwa memang tidak
mudah menghalau pergi hawa beracun yang telah
membuat Thian Ki menjadi seorang manusia
beracun. Akan tetapi, mengingat hubungan mereka
dengan mendiang Coa Siang Lee, ayah pemuda itu,
mereka merasa berkewajiban untuk mencobanya,
dengan penuh kesungguhan hati.

"Baiklah, Thian Ki. Kami akan mencobanya,
akan tetapi jangan mengharapkan te rlalu banyak
karena benar seperti apa yang dikatakan mendiang
nenekmu, agaknya hanya orang-orang yang memiliki kesaktian seperti kedua orang guru kami
itu saja yang akan cukup kuat untuk mengusir
hawa beracun dari tubuhmu yang sudah ditanamkan ke dalam tubuhmu sejak engkau
masih kanak-kanak." Tiba-tiba Thian Ki bangkit dari tempat duduknya, lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap suami is teri itu. "Paman dan bibi
te rnyata benar seperti dikatakan ibuku, paman
dan bibi adalah suami is teri pendekar yang
budiman, dan aku Coa Thian Ki merasa kagum
dan berterima kasih sekali."
"Hushh. bangkitlah, Thian Ki," kata Bu Giok Cu
sambil tersenyum. "Kita seperti orang lain saja!
Bukankah mendiang ayahmu adalah kakak angkat
pamanmu Si Han Beng" Di antara keluarga sendiri,
kenapa mesti banyak sungkan."
"Benar bibimu, Thian Ki. Bangkit dan duduklah,"
kata Si Han Beng. Thian Ki duduk kembali, hatinya merasa amat
gembira dan penuh harapan. Akan te tapi dia ingat
akan sesuatu dan cepat berkata, "Maaf, paman dan
bibi. Betapa aku te rlalu memikirkan diri sendiri
sehingga aku lupa akan sesuatu. Aku pernah
mendengar bahwa paman dan bibi mempunyai
seorang pute ri, dimanakah pute ri paman dan bibi
itu" Ingin sekali kami bertemu dan berkenalan."


Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING

NAGA BERACUN