NAGA BERACUN JILID 25
Thian Ki memasuki sebuah hutan kecil di tepi
sungai dan kota Sin-yang sudah dekat. Tembokkota sudah nampak dari hutan itu. Tiba-tiba dia
dikejutkan oleh isak tangis wanita. Bulu te ngkuk
meremang. Bagaimana mungkin ada seorang
wanita menangis dalam hutan yang biarpun kecil
akan te tapi liar dan agaknya jarang didatangi
manusia" Jangan-jangan suara siluman yang
didengarnya, karena menurut dongeng, di hutanhutan yang le bat seringkali te rdapat banyak
siluman yang suka menyamar menjadi wanita!
Biarpun demikian, dia tetap saja membelokkan
langkahnya menghampir arah suara tangis itu.
Dari balik semak-semak, Thian Ki mengintai
dengan heran. Yang menangis itu adalah seorang
wanita muda. Usianya sekitar tigapuluh tiga tahun,
akan te tapi ia masih nampak cantik jelita
walaupun agak kurus dan mukanya pucat.
Diantara isak tangisnya, wanita itu mengeluh,
"Ayah......ibu.....anakmu sudah tidak tahan lagi
hidup le bih lama di dunia.......tolonglah, ibu dan
ayah, aku hendak menyusul kalian......"
Setelah menangis te rsedu-sedu, wanita itu
mencabut sebatang pisau yang mengkilap karena
tajam dan runcing, dan sekuat tenaga menggerakkan pisau itu untuk ditusukkan ke
dadanya sendiri. Akan tetapi ia menjerit karena
tiba-tiba tangan yang memegang pisau itu seperti
lumpuh dan pisau itu te rlepas dari pegangan
tangannya! Ia mendengar langkah kaki dan
menoleh dengan wajah pucat dan matanya
te rbelalak ketika melihat Thian Ki melangkah
menghampirinya.
"Ahhhh..........!" Wanita itu nampak te rkejut dan
takut sekali, sehingga Thian Ki cepat menghiburnya. "Nyonya, harap jangan takut. Aku datang untuk
menolongmu, bukan mengganggumu," katanya dan
diapun duduk di atas akar pohon yang menonjol
keluar dari dalam tanah, berhadapan dengan
wanita itu yang masih duduk bersimpuh.
"Kau......kau bukan suruhan.......suamiku......?"
tanya wanita itu dengan lirih.
Thian Ki menggeleng kepalanya dan memandangnya. Dari pertanyaan itu s aja dia dapat
mengambil kesimpulan, bahwa wanita ini takut
kepada suaminya dan mungkin sekali ia hendak
membunuh diri karena ulah suaminya, dan bahwa
wanita ini sudah ditinggal mati ayah dan ibunya.
"Nyonya, aku tidak mengenalmu dan tidak
mengenal siapa suamimu. Aku hanya kebetulan
saja lewat dan melihat engkau melakukan
perbuatan nekat, terpaksa aku mencegahnya.
Maafkan kelancanganku."
"Kalau begitu, aku mohon kepadamu, tinggalkan
aku sendiri, biarkan aku mati menyusul orang
tuaku, aku tidak ingin hidup lagi, tidak ingin
perpanjang penderitaan yang sudah tak dapat
kutahankan lagi...... " wanita itu menangis dan
hendak meraih pisaunya yang tadi te rlepas dan
kini berada di dekatnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja
pisau itu lenyap dan te lah berada di tangan Thian
Ki.
"Orang muda, bunuhlah aku dengan pisau
itu.........aku ingin mati......!"
"Tidak, nyonya, engkau tidak bole h mati..."
"Orang muda, apa kaukira akan dapat mencegah
aku mengakhiri hidupku" Sekarang engkau dapat
saja memaksaku untuk tidak membunuh diri,
akan tetapi setelah kita berpisah, mudah saja
bagiku untuk membunuh diri. Menggantung diri,
te rjun ke jurang, minum racun, membenturkan
kepalaku ke batu, banyak jalan untuk membunuh
diri!" Wanita itu kini merasa marah dan penasaran
melihat pemuda yang tidak dikenalnya berkeras
hendak menghalanginya mengakhiri penderitaan
hidupnya. "Maafkan aku, nyonya. Akan te tapi, niatmu itu
sungguh salah sekali. Selain engkau akan berdosa
kepada Pemberi Hidup, juga usahamu mengakhiri
penderitaan itu akan sia-sia belaka. Apakah
kaukira bahwa kematian itu mengakhiri penderitaan. Kematian merupakan kelanjutan
daripada kehidupan ini, nyonya, dan penderitaan
tidak akan hapus begitu saja setelah kita mati.
Bahkan mungkin di sana menanti penderitaan
yang jauh le bih hebat daripada penderitaan
sewaktu hidup?" Wanita itu menyusut air matanya dan kini ia
mengangkat muka, menatap wajah Thian Ki.
Ketika pandang matanya bertemu dengan sepasang
mata yang mencorong penuh wibawa, ia te rkejut
dan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang
pemuda yang bukan orang biasa.
"Orang muda, kau kira aku tidak tahu akan
semua itu" Aku juga pernah membaca kitab. Akan
tetapi, aku yakin tidak ada penderitaan yang le bih
berat daripada yang kualami selagi hidup ini. Aku
ingin mengakhiri semua ini."
"Nyonya yang baik, hidup memang merupakan
medan perjuangan yang beris i suka dan duka,
kemudahan atau kesukaran. Kalau sewaktu kita
menghadapi kesukaran, tidak semestinya kalau
kita pergi menghindarinya, melarikan diri dari
kesulitan. Kita harus berdaya upaya untuk
menghadapinya, menanggulanginya dan mengatasinya. Karena itu, kesukaran apapun yang
kauhadapi, sepatutnya kalau engkau melawannya,
nyonya, bukan melarikan diri dengan jalan
membunuh diri. Dan aku berjanji, aku akan
membantumu menanggulangi kesukaranmu. Katakanlah, mengapa engkau menjadi berduka dan
putus harapan?" Wanita itu menggeleng kepala dan menghela
napas panjang. "Tidak ada gunanya, orang muda.
Aku tidak ingin engkau, seorang yang tidak
kukenal sama sekali, terseret dan celaka pula
karena hendak menolongku. Tidak a da seorangpun
di dunia ini yang akan dapat menolongku, orang
muda." Thian Ki tersenyum. Dia tidak menyalahkan
wanita ini kalau tidak percaya padanya. Dan
ketidak-percayaan ini pasti ada hubungannya
dengan keadaan wanita itu. Wanita itu tentu
mengira bahwa tidak ada orang yang akan mampu
menolongnya dan ini berarti bahwa yang membuat
dia berduka itu tentulah keadaan yang amat gawat,
orang-orang yang agaknya sukar dikalahkan atau
ditundukkan. "Nyonya, harap jangan memandang rendah
kepadaku. Kalau aku menawarkan bantuan, te ntu
sudah kuperhitungkan dan aku yakin akan
kesanggupanku. Aku mampu melawan orang yang
bagaimana jahat dan lihaipun!" Dia sengaja bicara
sombong untuk menggugah kepercayaan wanita itu
kepadanya, atau setidaknya untuk menarik perhatiannya. Usahanya berhasil. Wanita itu kini mengamatinya penuh perhatian, matanya yang
merah dan masih basah itu, bagaikan matahari
yang baru mulai te rlepas dari selimut awan tebal,
kini nampak agak bercahaya dengan harapan.
"Kau........ kau...... seorang pendekar?" tanyanya,
penuh harapan. Kalau dalam keadaan biasa, tidak mungkin dia
mau mengaku bahwa dia seorang pendekar yang
berkepandaian tinggi. Akan te tapi dalam keadaan
seperti itu, dia harus mengaku untuk membesarkan hati wanita yang putus asa itu.
"Nyonya, aku Coa Thian Ki selalu menjunjung
tinggi kegagahan, membela kebenaran dan keadilan dan menentang kejahatan, mengandalkan
ilmu kepandaian yang kupelajari sejak kecil. Nah,
percayalah kepadaku bahwa aku akan sanggup
menolongmu dari tangan orang jahat, dan ceritakan apa yang menjadi penderitaanmu sampai
membuatmu putus asa nyonya."
Agaknya kini timbul kepercayaan di hati wanita
itu. Setelah beberapa kali menghela napas panjang,
iapun memperkenalkan dirinya. "Namaku Li Ai Yin,
mendiang ayahku adalah Pangeran Li Siu Ti.........."
"Ahhh....!" Thian Ki berseru, terkejut.
"Kalau begitu........nyonya adalah seorang putri
bangsawan is tana dan......apakah mendiang ayah
nyonya adalah Pangeran Tua yang kabarnya..."
Thian Ki meragu untuk melanjutkan.
Li Ai Yin mengangguk. "Benar, ayahku sekeluarga telah dijatuhi hukuman mati karena
memberontak terhadap Kaisar, enambelas tahun
yang lalu. Hanya aku seorang yang berhasil lolos
dari hukuman mati karena aku dilarikan oleh........suamiku......dan
tinggal di Sin-yang sampai sekarang." "Kalau begitu, nyonya te rmasuk beruntung,
dapat meloloskan diri bersama suami nyonya. Lalu
kenapa sekarang........ "
"Mula-mula memang aku berbahagia dengan
suamiku yang tadinya bekerja sebagai pengawal
ayah. Kami saling mencinta dan aku menganggap
dia orang yang paling gagah perkasa dan paling
baik di dunia ini. Walaupun kami belum mempunyai anak, namun aku te tap berbahagia
dan setia kepadanya, membantu semua usahanya
yang dimulai dari bawah kembali. Kemudian, dia
berhasil mendirikan perkumpulan Koai-liong-pang
(Perkumpulan Naga Setan) di Sin-yang. Perkumpulan itu menjadi besar dan berpengaruh,
dan membuat kami hidup serba cukup, bahkan
kaya. Akan te tapi, barulah nampak belangnya dan
baru kuketahui siapa sebenarnya suamiku yang
tadinya kuanggap sebagai seorang pendekar yang
gagah perkasa itu. Ternyata dia seorang yang
berhati palsu, kejam dan juga mata keranjang.
Betapa sakitnya hatiku melihat dia bertindak keji,
merampas anak gadis atau is teri orang, memperkosanya di depan mataku, dan dia
memperlakukan aku sebagai bujang saja, bahkan
seringkali aku dia pukuli dan siksa, demi
menyenangkan selir-selirnya. Ahh, untuk apa aku
hidup te rus seperti itu" Hari ini aku mendapat
kesempatan lolos keluar dan menuju ke hutan ini
untuk membunuh diri, karena kalau di rumah,
aku tidak akan mendapat kesempatan. Engkau.........., bagaimana mungkin dapat menolongku orang muda" Engkau hanya seorang
diri, selain suamiku itu amat sakti, juga dia
mempunyai anak buah yang banyak, tidak kurang
dari limapuluh orang dan kesemuanya jahat dan
kejam. Aku tidak ingin engkau celaka kalau
menolongku dan mene ntang mereka."
Thian Ki merasa iba sekali. Seorang pute ri
pangeran, bahkan masih adik sepupu kaisar yang
sekarang, yang ketika kecil tentu hidup serba
mewah dan dimuliakan orang, sekarang merasa
sengsara karena keliru memilih suami dan ingin
membunuh diri. Mendengar bahwa suami wanita
itu sakti, pendiri Koai-liong-pang, hati Thian Ki
te rtarik sekali. "Nyonya, siapakah suami nyonya itu?"
"Pertanyaanmu membuktikan bahwa engkau
bukan orang dari daerah Sin-yang. Karena kalau
demikian halnya, pasti engkau tahu siapa ketua
Koai-liong-pang. Namanya Can Hong San."
Thian Ki merasa terkejut bukan main, akan
tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu.
Tentu saja dia tahu siapa Can Hong San itu!
Ibunya telah menceritakan nama tokoh besar dan
datuk persilatan, dan menurut ibunya, Can Hong
San adalah pute ra mendiang Cui-beng Sai-kong
pendiri perkumpulan penyembah Thian-te Kwi-ong
(Raja Setan Langit Bumi). Can Hong San, menurut
ibunya, amat lihai akan tetapi juga amat jahat.
Bahkan orang itu merupakan seorang di antara
para penyerbu He k-houw-pang dan dia pula yang
membunuh ayah kandungnya, Coa Siang Lee,
dalam penyerbuan itu. Can Hong San adalah
pembunuh ayahnya dan dia suami nyonya ini!
"Jangan khawatir, nyonya. Aku siap untuk
menolongmu. Nah, katakan saja, apa yang harus
kulakukan untuk menolong nyonya?"
Wanita itu termenung, dan sebelum ia menjawab, tiba-tiba te rdengar suara gaduh dan
Thian Ki berkata, "Duduk sajalah, nyonya. Ada
beberapa orang datang ke sini, biarkan aku yang
menghadapi mereka." "Aih, celaka........mereka pastilah orang-orang
yang disuruh suamiku untuk mencariku. Mereka
itu lihai dan kejam sekali. Larilah, orang muda,
tinggalkan aku sendiri!" Ai Yin yang sudah putus
asa itu tidak ingin melihat orang lain dibunuh
karena membelanya. "Tenanglah, nyonya. Aku akan menghajar mereka kalau mereka berani mengganggumu."
Muncullah empat orang laki-laki yang bertubuh
kokoh kuat dan bersikap bengis. Mereka berteriakte riak ketika melihat Li Ai Yin.
"Itu ia di sana!"
"Bersama seorang pemuda lagi! Tentu pemuda
itu biangkeladinya sehingga ia melarikan diri!"
De ngan tenang sekali Thian Ki berdiri menghadang ke depan Ai Yin, akan tetapi sebelum
dia bicara, dia didahului Ai Yin yang berkata
dengan lantang. "Mau apa kalian mencariku" Pergi
dan jangan ganggu aku!" Suaranya te rdengar
memerintah dan hal ini wajar karena empat orang
itu adalah para pembantu suaminya.
Akan tetapi, Ai Yin melihat perubahan besar dari
sikap mereka. Bias anya, mereka menghormatinya
sebagai isteri ketua mereka, akan tetapi sekarang
mereka tertawa ha-ha-hi-hi mendengar bentakan
wanita itu. "Kami diutus pang-cu (ketua) untuk mencari,
nyonya," kata seorang di antara mereka yang
berkumis tebal. "Pergilah kalian, aku tidak mau pulang. Katakan
kepada ketua kalian bahwa aku tidak sudi pulang,
dan lebih baik aku mati daripada harus kembali ke
sana!" Suaranya penuh kemarahan dan kebencian.
Akan te tapi, empat orang itu tetap tertawa-tawa,
menyeringai dengan sikap kurang ajar, sama sekali
tidak menghormati nyonya ketua mereka. Si kumis
te bal yang agaknya menjadi pembicara dan
pemimpin mereka, melangkah maju dan matanya
melotot seperti hendak menelan nyonya itu bulat
bulat. "Heh-heh, nyonya manis, kami tidak dis uruh
menjemputmu, melainkan disuruh membunuhmu,
ha-ha-ha!" Akan te tapi ancaman yang disusul tawa empat
orang itu, sama sekali tidak membuat s ang nyonya
menjadi ketakutan seperti yang mereka duga. Ai
Yin bahkan bangkit berdiri dan menegakkan le her
menatap mereka dengan pandang mata menantang. "Bunuhlah, lebih baik aku mati daripada harus
kembali ke sana!" Empat orang itu te rtegun, dan untuk melenyapkan rasa kecelik itu, si kumis tebal
te rtawa lagi. "Ha-ha-ha, kami tidak akan membunuh begitu saja, manis. Kami akan
bersenang senang dulu denganmu, nyonya manis!"
"Jahanam busuk, berani kau........!!"
Ai Yin membentak dan mukanya berubah merah
saking marahnya. Empat orang itu te rtawa. "Sayang kalau dibunuh
begitu saja. Sudah lama engkau membuat kami
seringkali mengilar. Marilah, manis, mari bersenang-senang dengan kami!"
Ketika empat orang itu melangkah maju untuk
menangkap Ai Yin, Thian Ki sudah maju menghadang. "Empat orang laki-laki pengecut dan
rendahbudi, beraninya hanya mengganggu wanita
le mah!" kata Thian Ki, suaranya dingin akan tetapi
pandang matanya bernyala.
"Eh, eh.........! Siapa kau, anak kecil berani
mencampuri urusan orang" Apa engkau sudah
bosan hidup?" "Kalian ini manusia-manusia yang sudah dikuasai iblis yang sudah bosan hidup kalau kalian
tidak cepat pergi dan jangan mengganggu nyonya
ini," kata Thian Ki.
Mata si kumis tebal melotot dan hampir dia
tidak percaya ada seorang pemuda berani bersikap
dan berkata seperti itu kepadanya! Seluruh
penduduk kota Sin-yang dan sekitarnya, tak
seorangpun berani bersikap kasar kepadanya!
"Bocah gila, apa engkau tidak tahu bahwa
engkau berhadapan dengan aku, Harimau Kumis
Tebal?" bentaknya dan mengamangkan tinju
kanannya yang sebesar kepala anak-anak itu ke
arah Thian Ki. "Hemm, manusia sombong. Aku akan membuat
engkau menjadi anjing tanpa kumis!"
Kemarahan si kumis te bal tak dapat ditahan
lagi. "Jahanam!" bentaknya dan dengan gerengan
seperti beruang marah, diapun menyerang Thian Ki
sedangkan tiga orang lainnya hanya menonton
sambil menyeringai, karena mereka semua yakin
bahwa dalam segebrakan saja rekan mereka akan
dapat melumatkan tubuh pemuda itu dan mereka
ingin menikmati tontonan itu.
"Wuuuut.......!"
Kepalan tinju besar itu menyambar ke arah muka Thian Ki. Akan tetapi
dengan gerakan otomatis dan mudah sekali Thian
Ki menarik mukanya ke belakang pada saat tinju
itu hampir menyentuh pipinya, dan pada saat tinju
itu lewat di depan mukanya, tangannya yang kiri
menyambar ke arah pipi lawan.
"Plakk.....!! Aduhh.........!" Si kumis tebal hampir
te rsungkur, dan dia meludahkan beberapa buah
gigi bercampur darah keluar dari mulutnya,
meringis dan kemarahannya meluap.
"Jahanam...........!"
bentaknya pelo karena mulutnya membengkak, dan begitu tangan kanannya bergerak, dia sudah mencabut sebatang
golok dan mengamuk seperti orang gila, menghujankan bacokan golok ke arah Thian Ki.
Akan tetapi, yang nampak ole hnya hanya bayangan
berkelebatan ke kanan kiri. Dia menyerang dengan
ngawur saja, mengejar bayangan itu dengan
sabetan goloknya. Tiba-tiba, le ngan kanannya
te rpukul dari samping membuat lengan itu terasa
lumpuh dan nyeri, dan goloknya te rlepas. Tangan
kanan Thian Ki sudah menyambar ke arah muka
lawan dan sekali renggut terdengar suara "brett......" disusul jerit kesakitan dan kini si kumis
te bal sudah kehilangan kumisnya dan di te mpat
itu kini nampak kulit di bawah hidung itu te robek
dan berdarah! Si pemilik kumis mendesis-desis
saking nyerinya, juga nyeri hatinya karena dia
kehilangan kumis yang dia banggakan. Tiga orang
kawannya te rkejut bukan main, juga marah
melihat betapa kawan mereka dihina, dan mereka
bertiga sudah mencabut golok dan mengepung
Thian Ki. Sebaliknya, Ai Yin berdiri te rbelalak
kagum. Tak disangkanya bahwa pemuda itu dapat
membuat Harimau Kumis Tebal yang merupakan
pembantu suaminya yang paling lihai, paling galak
dan paling kejam, sama sekali tidak berdaya dan
dikalahkan dalam beberapa gebrakan saja. Timbul
harapan dan kepercayaan dalam hatinya bahwa
pemuda ini akan dapat menolongnya. Akan tetapi
tetap saja dia merasa khawatir karena kini tiga
orang itu sudah berteriak-teriak sambil menyerang
Thian Ki yang bertangan kosong dengan golok
mereka. Kalau saja Thian Ki belum digembleng mendiang
neneknya selama dua tahun dan belum menguasai
te naga saktinya yang beracun, tentu sekali tampar
saja dia dapat membuat lawan tewas dengai tubuh
keracunan. Akan te tapi kini dia telah dapat
menguasai tenaga itu sehingga dia mampu
"menyimpan" hawa beracun itu dan hawa itu tidak
akan bergerak keluar kalau tidak dikehendakinya.
Hanya te ntu saja, darahnya masih mengandung
racun mengerikan sehingga siapa yang menyerangnya dengan pukulan berte naga sinkang, atau mencengkeramnya, orang itu akan
keracunan, seperti halnya Cin Cin. Untuk melenyapkan ini, tidak ada jalan lain kecuali
membersihkan darahnya dan yang dapat melakukan hal ini hanyalah orang yang benarbenar sakti. Kini, menghadapi pengeroyokan tiga orang itu,
te ntu saja tidak membuat Thian Ki repot. Tingkat
ilmu silatnya yang dia dapatkan dari ajaran ayah
tirinya, jauh le bih tinggi daripada tingkat kepandaian tiga orang itu, maka begitu dia
menggerakkan tubuhnya, maka bayangannya berkelebatan di antara gulungan sinar tiga batang
golok para pengeroyok. Ge rakan kedua tangannya
jauh le bih cepat ketimbang gerakan tiga batang
golok lawan. Thian Ki tidak ingin berkelahi te rlalu
lama menghadapi orang-orang kasar itu, maka
begitu Harimau Kumis Tebal yang kini tidak
berkumis itu terjun pula ke dalam medan
perkelahian, menahan nyeri pada mukanya dan
membacokkan goloknya dengan nekat, Thian Ki
sudah mengeluarkan bentakan melengking empat
kali dan akibatnya, empat orang itu te rpelanting ke
kanan kiri, golok mereka te rpental entah ke mana
dan tulang le ngan kanan mereka semua patahpatah! Barulah empat orang itu te rkejut dan je rih,
dan tanpa diperintah lagi mereka lari tunggang
langgang meninggalkan te mpat itu, tidak berani
menoleh lagi.! Ketika Thian Ki menoleh ke arah wanita itu,
dengan kaget dia melihat wanita sudah berlutut di
depannya. "Taihiap.........terima kasih, taihiap.
Sekarang aku percaya......taihiap kiranya yang
akan dapat menolongku......" katanya terharu.
"Aih, nyonya. Jangan begitu, bangkitlah dan
jangan menghormatiku secara berlebihan. Engkau
seorang pute ri bangsawan, bangkitlah...." Terpaksa
Thian Ki menyentuh kedua pundak wanita itu dan
Ai Yin merasakan getaran hebat yang membuat ia
te rpaksa bangkit duduk. Kemudian iapun kembali
duduk berhadapan dengan Thian Ki di bawah
pohon besar itu. "Nah, sekarang katakanlah, pertolongan apa
yang harus kuberikan kepadamu, nyonya" Apakah
engkau menghendaki aku menemui suamimu dan
memaksanya agar dia bersikap baik kepadamu?"
"Tidak, tidak! Dan jangan sebut aku nyonya,
taihiap. Namaku Li Ai Yin, dan aku bukan lagi
pute ri bangsawan, juga bukan lagi is teri ketua
Koai-liong-pang. Aku tidak sudi lagi kembali
kepadanya, le bih baik aku mati daripada harus
kembali kepadanya........"
"Akan te tapi, kalau dia berjanji akan bersikap
baik kepadamu?" "Tidak, tidak mungkin! Dia seorang perayu yang
palsu, andaikata engkau dapat memaksanya untuk
bersikap baik kepadaku, te ntu itu hanya tipuan
belaka, dan kalau engkau sudah tidak ada, dia
pasti akan melampiaskan dendamnya kepadaku.
Dia perayu dan kejam seperti iblis, taihiap."
"Nyonya, kalau engkau tidak ingin kusebut
nyonya, jangan sebut aku tai-hiap. Namaku Coa
Thian Ki, rasanya kikuk kalau engkau menyebut
aku taihiap." "Baiklah, siauw-te (adik).... padahal engkau
memang pantas disebut pendekar besar. Aku
berte rima kasih sekali, dan agaknya engkaulah
harapanku satu-satunya. Hanya engkau yang
kiranya akan dapat membebaskan aku dari derita
ini." "Akan te tapi, bagaimana caranya, enci Ai Yin?"
tanya Thian Ki yang kini tanpa ragu menyebut enci
kepada wanita itu. "Kalau engkau tidak ingin
kembali kepada suamimu, lalu apa yang dapat
kulakukan untuk membantumu?"
"Terserah kepadamu, Coa-siauwte. Terserah apa
yang akan kaulakukan. Aku hanya ingin hidup
te rbebas dari Can Hong San. Aku ingin hidup
sendiri tanpa terancam oleh dia dan anak
buahnya. Mereka itu kejam sekali, bukan hanya
kepadaku, akan te tapi kepada rakyat daerah Sinyang. Ah, engkau tidak tahu apa saja yang mereka
lakukan siauwte." Ai Yin lalu menceritakan tentang
semua sepak te rjang suaminya. Setelah terjadi
penyerbuan pasukan istana kepada Pangeran Tua
Li Siu Ti yang diketahui hendak memberontak, Ai
Yin diajak pergi melarikan diri oleh Can Hong San.
Wanita ini menurut saja, karena ia telah dikuasai
oleh bekas pembantu ayahnya itu, telah menyerahkan diri di luar kesadarannya. Dalam
pelarian ini, Can Hong San bersikap baik dan
mencinta padanya, maka agak terhiburlah hatinya.
Setelah merantau berpindah-pindah tempat karena takut akan pengejaran dan pencarian dari
kota raja, akhirnya beberapa tahun kemudian
mereka menetap di Sin-yang. Keadaan sudah aman
dan tidak ada pencarian, maka Can Hong San
mulai menata hidupnya. Mengandalkan kepandaiannya yang tinggi, dia menaklukkan para
tokoh kangouw dan para jagoan di daerah Sinyang, dan ketika dia mendirikan perkumpulan
yang diberi nama Koai-liong-pang, banyak jagoan
yang suka menjadi anak buahnya. Dan perkumpulan ini dalam waktu singkat menundukkan para jagoan, menguasai semua
te mpat pelesir dan kemaksiatan dengan memungut
semacam "pajak" yang besar. Sebentar saja, nama
Koai-liong-pang ditakuti orang dan pemilik segala
macam perusahaan, terutama sekali yang bersangkutan dengan hiburan tidak berani
membantah dan membayar uang pajak atau
sumbangan yang dikatakan sebagai biaya penjagaan keamanan. Siapa yang tidak mau membayar, te ntu akan
menjadi tidak aman lagi. Sebentar saja Can Hong
San menjadi kaya raya dan setelah memperoleh
kekayaan dan kedudukan atau kuasa, mulailah
nampak belangnya terhadap Li Ai Yin yang menjadi
isterinya. "Dia mengambil banyak gadis , bahkan is teri
orang, sebagai selir paksaan, bahkan sering dia
memaksa seorang wanita di dalam kamar kami, di
depan mataku sendiri. Kalau aku mencela, dia
memukul dan menyiksaku. Pernah dia dengan
te rus te rang mengatakan bahwa dahulu dia
mempersuntingku bukan karena cinta, melainkan
karena ingin menjadi mantu pangeran. Sekarang,
setelah keluarga ayah hancur, dan aku bukan lagi
pute ri pangeran, diapun tidak membutuhkan aku
lagi. Ahh, siaute, bertahun-tahun aku harus
menahan diri te rhadap siksaan lahir bathin itu.
Penderitaan itu sampai dipuncaknya ketika malam
tadi dia memberikan aku kepada para pembantunya! Aku tidak sudi dan karena para
anak buahn ya masih segan kepadaku, maka aku
masih mampu mempertahankan kehormatanku
dan pagi ini aku melarikan diri ke sini."
"Betapa kejam dan jahatnya!" Thian Ki berseru
sambil mengepal tinju. "Untung bahwa dalam pernikahanku dengannya,
kami belum mempunyai keturunan, Coa-siauwte.
Nah, sekarang engkau te ntu mengerti bahwa satu
satunya keinginanku hanya agar aku dapat
te rbebas darinya. Aku han ya mau melanjutkan
hidup ini kalau te rbebas dari cengkeraman
manusia iblis itu." Thian Ki mengangguk-angguk. Dia mengerti. Li
Ai Yin ini bukan seorang isteri yang tidak setia
kepada suami. "Baiklah, enci Ai Yin. Gerombolan
Koai-liong-pang itu tidak boleh dibiarkan saja
merajalela dan mencelakai penduduk. Hal ini
harus dilaporkan kepada yang berwajib. Mari kau
ikut denganku, enci."
Thian Ki lalu mengajak Ai Yin memasuki kota
Sin-yang. Wanita itu tentu saja ketakutan,
khawatir kalau sampai diganggu ana k buah
suaminya, akan tetapi agaknya pihak Koai-liongpang te rlalu kaget mendengar akan nasib tiga
orang pembantu utama ketua mereka yang
berte mu seorang pemuda yang amat lihai, sehingga
Thian Ki dan Ai Yin tidak sempat diganggu sampai
mereka tiba di gedung pembesar setempat, yaitu
rumah dan kantor kepala daerah Sin-yang yang
bernama Gan Hok. Gan-taijin adalah seorang yang
berusia limapuluh tahun, dan dialah pejabat
pemerintah yang paling tinggi kedudukannya di
Sin-yang. Seperti kebanyakan pejabat pemerintah
di masa itu, Gan-taijin juga seorang pejabat yang
kurang memperhatikan keadaan atau kehidupan
rakyatnya, hanya memikirkan kesejahteraan keluarganya sendiri saja. Maka, dia tidak begitu
tahu akan sepak te rjang Koai-liong-pang, bahkan
andaikata tahupun, asalkan para anggota Koailiong-pang tidak mengganggu pemerintah, dan
le bih-lebih kalau perkumpulan itu membayar pajak
dan sumbangan yang besar, diapun akan purapura tidak tahu saja. Karena dia tidak mengenal Thian Ki dan Ai Yin,
maka diapun menyambut kedatangan mereka
dengan sikap dingin dan acuh saja. "Hemm,
siapakah kalian dan ada urusan apakah sepagi ini
sudah mengganggu kesibukanku?" te gurnya dengan sikap ketus. Thian Ki mengerutkan alis nya. Sudah terlampau
sering dia melihat pembesar yang seperti ini
sikapnya, memandang rendah orang lain, akan
tetapi bersikap manis kepada orang yang datang
membawa hadiah yang bes ar.
"Maafkan kalau kami mengganggu, Taijin," kata
Thian Ki dengan sikap te nang. "Saya bernama Coa
Thian Ki dan ini adalah kakak perempuan saya
yang bernama........Coa Ai Yin. Kami sedang
melakukan perjalanan dan kebetulan lewat di Sinyang. Dan di kota Taijin ini, kami melihat seorang
buronan kota raja, bahkan dia te lah menyusun
kekuatan di kota ini. Kalau hal ini sampai
diketahui Sri baginda, tentu nama baik Taijin akan
te rcemar." Seketika wajah pembesar itu menjadi pucat.
Kalau ada yang ditakuti, maka satu satunya
adalah kota raja, di mana terdapat kaisar dan para
atasannya! Sekali gerakan telunjuk para atasan,
akan hancurlah kedudukann ya dan kehidupannya.
"Apa kau bilang" Seorang buronan di kota inil"
Siapa dia" Hayo ceritakan dengan jelas dan jangan
melempar fitnah kepada orang!" bentak pembesar
itu dan para pembantunya yang hadir juga
te rbelalak heran dan terkejut.
Thian Ki tetap tenang. "Ingatkah Taijin akan
peristiwa yang terjadi di kota raja enambelas tahun
yang lalu ketika Pangeran Tua Li Siu Ti sekeluarga
dihukum karena dia melakukan pemberontakan?"
"Tentu saja! Akan tetapi apa hubungannya
dengan kota ini?" "Begini, Taijin. Diantara para pembantu utama
mendiang Pangeran Tua yang memberontak,
pembantu yang paling lihai, telah berhasil meloloskan diri dan sampai sekarang belum
te rtangkap. Dan kami melihat buronan itu sekarang menjadi penduduk Sin-yang, bahkan
memiliki pengaruh dan kekuasaan besar. Kalau hal
ini diketahui kota raja, bukankah Taijin akan
dituduh bersekongkol dengan buronan itu dan
melindunginya?" Thian Ki lalu memberi isyarat
kepada Ai Yin dan mereka bangkit. "Akan te tapi
kalau Taijin tidak percaya kepada kami, sudahlah,
kami akan melanjutkan perjalanan dan semua
akibat silakan Taijin tanggung sendiri!."
"Hei...., eh, nanti dulu.......orang muda, jangan
te rgesa-gesa dan silakan duduk." Pembesar itu
te rgopoh-gopoh mencegah Thian Ki dan Ai Yin
pergi. Kedua "Kakak beradik" itupun duduk
kembali dan kini sikap pembesar itu menjadi lain.
Dia memerintahkan pembantunya untuk memanggil komandan pasukan keamanan yang
segera muncul, seorang laki-laki tinggi besar dan
gagah berusia empatpuluh tahun lebih. Mereka
semua duduk mendengarkan laporan Thian Ki.
"Taijin, orang itu bernama Can Hong San, ketika
menjadi pembantu mendiang Pangeran Tua dia
memakai nama Siauw Can. Dan dia sekarang
berhasil menghimpun para tokoh kangouw, para
penjahat keji mendirikan perkumpulan Koai-liongpang di kota ini!" Gan-taijin terbelalak. "Koai-liong-pang" Akan
tetapi......sikap mereka selama ini baik-baik saja,
tidak pernah mengganggu petugas pemerintah,
bahkan amat baik......" tiba-tiba pejabat itu diam
karena ingat bahwa tidak semestinya dia menceritakan kebaikan Koai-1iong-pang yang suka
memberi sumbangan dan hadiah yang cukup
banyak! "Maksudku........koai-liong-pang
tidak pernah memusuhi kami."
"Mungkin saja begitu, Taijin, karena Can Hong
San itu memang licik sekali. Akan tetapi tidak
tahukah Taijin akan sepak terjang para anggota
Koai-liong-pang te rmasuk pimpinannya" Mereka
seringkali mengganggu penduduk, melakukan
pemerasan, bahkan tidak segan merampas barang
orang, juga sudah sering mereka memaksa gadis
bahkan is te ri orang, menjadi selir mereka. Mereka
melakukan perkosaan dan penindasan."
Wajah pembesar itu berubah. Berita ini sungguh
amat mengejutkan hatinya. Dia menoleh kepada
komandan pasukan keamanan. "Benarkan itu, Lui
ciangkun?" tanyanya.
Komandan itu menghela napas panjang. "Me mang Koai-1iong-pang tidak pernah memusuhi
kita, Taijin, akan tetapi mereka memang menguasai semua tempat hiburan, dan memungut
pajak dari toko-toko besar. Semua ini pernah s aya
laporkan kepada Taijin, akan tetapi karena mereka
tidak memusuhi kita, Taijin tidak memerintahkan
menindak mereka." "Brakk!" Pembesar itu memukul meja dengan
telapak tangannya. "Lui-ciangkun, kalau kami tahu
dia itu buronan kota raja, te ntu kami sudah sejak
dulu menyuruh engkau menangkapnya. Kenapa
kau tidak tahu bahwa dia itu bekas pemberontak"
Hayo kerahkan pasukanmu dan tangkapi mereka
semua, kalau melawan, gempur dan bunuh mereka
agar kita tidak dianggap bersekongkol dengan
pemberontak. Kau tahu hukumannya kalau kita
dianggap membantu pemberontak" Tolol kau!"
Komandan itu memberi hormat. "Siap melaksanakan perintah, Taijin!"
"Taijin, Can Hong San itu lihai bukan main. Saya
khawatir kalau-kalau dia akan dapat lolos lagi
seperti ketika terjadi pembasmian pemberontak di
kota raja. Karena itu biar saya yang menghadapinya dan menangkapnya, akan te tapi
saya menitipkan kakak perempuan saya ini agar ia
aman dari balas dendam Can Hong San yang kami
laporkan kepada Tai-jin."
"Baik, baik, silakan masuk, nona." Pembesar itu
memberi isyarat kepada seorang pembantu yang
segera mengantar Ai Yin masuk ke dalam gedung
itu. Pembesar itu tentu saja senang dititipi Ai Yin
karena wanita itu bahkan seolah menjadi jaminan
akan kebenaran laporan yang disampaikan adiknya!
Thian Ki mendampingi Lui-ciangkun yang
memimpin hampir tiga ratus orang perajuritnya
dan gegerlah kota Sin-yang ketika melihat pasukan
keamanan mengepung rumah besar yang menjadi
pusat Koai-liong-pang. Yang lebih kaget lagi adalah
Can Hong San dan para pembantunya. De ngan
membawa pedang pusakanya, dan diiringkan para
pembantunya, dan para anggota Koai-liong-pang
yang ketika itu berada di situ kurang le bih tiga
puluh orang, sedangkan yang lainnya berada di
luar melaksanakan tugas mengumpulkan sumbangan, dia keluar dengan tabah. Can Hong
San menganggap bahwa selama ini sudah banyak
dia memberi sogokan hadiah kepada semua
petugas pemerintah di Sin-yang, maka tidak
mungkin dia akan diganggu. Setelah tiba di luar
pintu depan, Can Hong San diam-diam terkejut
melihat banyaknya perajurit yang mengepung
rumahnya. Dan seorang pembantunya, yaitu
seorang di antara mereka yang pagi tadi hendak
menangkap Ai Yin di dalam hutan menyentuh
le ngannya. "Pangcu, itu dia pemuda yang tadi menolong
nyonya." Can Hong San mengerutkan alisnya, memandang kepada Thian Ki yang berdiri di antara
para perwira yang berada di depan pasukan. Dia
tidak mengenal pemuda itu dan tiba-tiba saja
jantungnya berdebar te gang. Isterinya, Li Ai Yin
telah diselamatkan pemuda itu dan diajak pergi,
dan sekarang pasukan keamanan Sin-yang mengepung rumahnya. Apakah Ai Yin telah
mengkhianatinya" Akan tetapi, melihat bahwa
komandan itu adalah Lui-ciangkun yang tentu saja
sudah dikenalnya, diapun menenangkan hatinya
dan segera melangkah maju menghadapi komandan itu dan tersenyum ramah.
"Aih, kiranya Lui-ciangkun yang datang. Apakah
yang te rjadi, ciangkun" Kenapa ciangkun memimpin pasukan keamanan" Apakah te rjadi
kerusuhan" Kalau begitu, biar kami akan membantumu!" Thian Ki memperhatikan orang itu. Seorang lakilaki yang gagah perkasa dan tampan menarik
pikirnya. Usianya te ntu sudah empatpuluh tahun
le bih, namun masih nampak perkasa dan tampan.
Hidungnya mancung dan besar, dan bibirnya
merah bergairah seperti bibir wanita. Akan te tapi
matanya mengandung kecerdikan yang luar biasa.
Biji mata itu bergerak-gerak ke kanan kiri, dan
sinarnya tajam, bahkan mencorong ketika mengerling kepadanya. Seorang yang amat berbahaya, pikirnya. Sikapnya ketika menyambut
Lui-ciangkun itu saja sudah menunjukkan kelicikannya. Sikap itu membuat Lui-ciangkun nampak agak
te rsipu. Bagaimanapun juga, dia sendiri adalah
seorang di antara sekian banyaknya petugas
penting memiliki kedudukan yang pernah menikmati hadiah dari ketua Koai-liong-pang ini!
Biarpun dia sendiri tidak pernah membantu
perkumpulan itu berbuat kejahatan, namun selama ini dia memang, seperti para pembesar lain,
agak memejamkan mata pura-pura tidak tahu apa
yang telah mereka perbuat. Akan tetapi, mengingat
akan kemarahan dan perintah atasannya, apalagi
di situ terdapat Thian-Ki sebagai saksi, dan
mengingat pula bahwa orang yang nampak ramah
dan baik ini adalah seorang kaki tangan pemberontak dan menjadi buronan kota raja,
diapun memandang dengan bengis dan suaranyapun lantang dan tegas.
"Can Hong San, kami datang sebagai utusan
pemerintah untuk menangkap engkau dan anak
buahmu. Koai-liong-pang harus dibubarkan dan
ditutup!" Tentu saja Can Hong San menjadi te rkejut
bukan main mendengar ucapan lantang itu.
Seketika dia dapat menduga apa yang mungkin
te rjadi dan jantungnya berdebar keras. Tak salah
lagi, pikirnya, setelah ditolong pemuda itu, tentu
isterinya telah menceritakan segalanya tentang
dirinya kepada pemuda itu, dan pemuda itu yang
melapor kepada kepala daerah, maka kini pemerintah daerah mengirim pasukan untuk
menangkapnya dan membubarkan perkumpulannya. Dia marah sekali, akan tetapi
masih berusaha untuk membela diri dan berpurapura kaget. "Ahh, Lui-ciangkun. Apa alasannya" Bukankah
selama ini perkumpulan kami bersahabat dengan
pemerintah" Bukankah kami juga membantu
mengamankan daerah ini dari gangguan penjahat"
Kenapa tiba-tiba ciangkun hendak membubarkan
Koai-liong-pang dan menangkap kami?"
Mendengar pertanyaan itu, Lui-ciangkun menjadi semakin tidak enak hati. Maka, dia
menoleh kepada Thian Ki yang berdiri di sampingnya, lalu berkata lirih, "Coa-sicu, engkau
saja yang menjelaskan kepadanya."
Thian Ki merasa khawatir kalau-kalau perwira
atau komandan pasukan keamanan ini akan
te rdesak oleh ucapan ketua Koai-liong-pang itu,
karena jelas kalah wibawa, maka dia melangkah
maju dan berkata dengan suara lantang. "Can
Hong San, pasukan pemerintah ini ditugaskan
untuk menangkap kalian semua dan membubarkan Koai-1iong-pang karena engkau
adalah bekas pemberontak yang menjadi orang
buronan pemerintah. Lebih baik kalian menyerah
dari pada harus dipergunakan kekerasan.
Can Hong San melotot, "Orang muda, siapa
engkau yang begini lancang" Dan berani engkau
melempar fitnah kepada kami" Lui-ciangkun,
pemuda ini melontarkan fitnah keji! Kami berbaik
dengan pemerintah dan membantu pemerintah,
bagaimana dikatakan memberontak" Jahanam ini
memfitnah! Jangan percaya kepadanya, Luiciangkun. Dialah pengacau yang seharusnya
ditangkap, karena dia te lah melarikan isteri saya!
Nah, dengarlah baik-baik, Lui-ciangkun. Pemuda
ini telah berjinah dengan isteri saya dan ketika
kami hendak menangkapnya, dia melawan, melukai beberapa orang anggota kami, kemudian
melarikan isteri saya!"
Tentu saja Lui-ciangkun terbelalak kaget dan
kini memandang kepada Thian Ki penuh keraguan.
Kalau benar apa yang dikatakan ketua Koai-liongpang itu, berarti mereka semua telah dipermainkan
pemuda asing ini! Dan pemuda ini memang datang
menghadap kepala daerah bersama seorang wanita
cantik, dan baru sekarang dia te ringat bahwa
wanita itu adalah isteri sang ketua ini. Pernah satu
kali dia melihat wanita itu, ketika dia dan para
pejabat lain di Sin-yang menghadiri sebuah pesta
yang diselenggarakan ole h Koai-liong-pang.
"Ciangkun, saya akan menjawab semua itu.
Penjahat yang satu ini memang licik sekali," kata
Thian Ki melihat keraguan di mata komandan itu,
lalu diapun berkata dengan lantang sehingga
te rdengar oleh semua anak buah Koai-liong-pang
dan para perajurit yang mengepung tempat itu.
"Can Hong San, tidak perlu engkau bersilat lidah
dan memutar-balikkan kenyataan.! Ingatlah kami
telah mengetahui semua rahasiamu. Belasan
tahun yang lalu engkau sudah ditangkap dan
dihukum oleh Kerajaan Sui sebagai seorang
penjahat dan pemberontak. Setelah Kerajaan Tang
berdiri engkau lolos dari penjara dan membantu
Pangeran Cian Bu Ong melakukan pemberontakan,
bahkan engkau dan kawan-kawanmu yang menyerbu dan membunuh para pendekar He khouw-pang yang membantu pemerintah. Setelah
pemberontakan Pangeran Cian Bu Ong gagal,
engkau berhasil menjadi pengawal pribadi Pangeran Tua Li Siu Ti yang memberontak pula
dan yang dihancurkan oleh pemerintah. Akan
tetapi engkau dapat lolos dan membentuk Koailiong-pang di te mpat ini. Dan engkau semakin
jahat! Engkau dan ana k buahmu menguasai
semua te mpat hiburan, memeras para pedagang,
bahkan tidak segan menculik dan meraperkosa
wanita, baik isteri orang maupun gadis . Dan
isterimu sendiri bukan saja kau sia-siakan, kau
siksa dan hina, bahkan engkau memberikannya
kepada anak buahmu untuk dipermainkan. Ia
melarikan diri dan di dalam hutan, ia mencoba
untuk menggantung diri! Aku datang menyelamatkannya, lalu datang empat orang
pembantumu yang kausuruh untuk mengejar dan
menangkapnya, dan kauberikan is terimu itu
kepada mereka. Aku melindungi nyonya itu dan
mengalahkan orang-orangmu. Nah,
masihkah engkau hendak menyangkal" Kalau engkau benar
merasa difitnah dan tidak berdosa, menyerah
sajalah agar Gan-taijin dapat mengirimmu ke kota
raja dan di sana engkau akan diadili."
Mendengar tuduhan panjang dari pemuda itu
wajah Can Hong San sebentar pucat sebentar
merah. Bagaimana pemuda ini dapat mengetahui
semua itu" Bahkan is terinya sendiri tidak tahu
bahwa dia pernah membantu Pangeran Cian Bu
Ong yang memberontak! Kalau tentang sepak
te rjang Koai-liong-pang, te ntu isterinya yang telah
membocorkannya. "Bagaimana engkau dapat mengetahui semua
itu" Siapa engkau?" bentaknya marah.
"Namaku Coa Thian Ki dan ayahku menjadi
seorang di antara korban di tanganmu ketika
engkau dan kawan-kawanmu membantu Pangeran
Cian Bu Ong dan menyerbu He k-houw-pang di
dusun Ta-bun-cung!" "Kau.......tentu isteriku yang te lah mengkhianatiku. Aku harus membunuhnya, dan
sebelum itu, aku akan membunuhmu le bih dulu!"
Karena sudah tidak melihat kemungkinan untuk
menyangkal lagi. Can Hong San menjadi nekat dan
diapun menerjang ke depan, mengirim serangan
kilat. Karena sudah mendengar dari para pembantunya bahwa pemuda ini lihai sekali, maka
begitu menyerang dia sudah menggunakan ilmu
andalannya yang dipakai untuk nama perkumpulannya, yaitu Koai-liong-kun (Silat Naga
Setan). Tangan kirinya yang membentuk cakar
naga itu menyambar dari atas ke arah ubun-ubun
kepala lawan, sedangkan tangan kanannya menyusul cepat mencengkeram ke arah dada
dengan tenaga yang dikerahkan sepenuhnya.
Thian Ki mengenal jurus ampuh dan berbahaya,
maka diapun cepat menarik kepala ke belakang
dan menggeser kaki ke kiri, lalu tangan kanannya
sendiri dengan jari terbuka dihantamkan menyambut cengkeraman tangan kanan lawan ke
arah dadanya itu. Melihat pemuda itu berani
menyambut tangan kanannya, Can Hong San
khawatir kalau jari-jari tangannya tidak kuat
menahan telapak tangan lawan, maka dia sudah
mengepal jari-jarinya sehingga kini yang berte mu
dengan telapak tangan Thian Ki adalah kepalan
tangan kanannya. "Wuuuuuuuutttt......desss.......!!" Kepalan tangan
kanan Can Hong San yang didorong te naga
sinkang amat kuat itu, yang dapat menjebolkan
te mbok, merobohkan pohon bahkan menghancurkan batu, kini bertumbuk pada telapak tangan Thian Ki yang tetap tidak mau
mempergunakan kelebihannya, yaitu hawa
beracun di tubuhnya. Akibat benturan dua te naga
dahsyat itu, tubuh Can Hong San te rdorong ke
belakang sampai tiga langkah, sedangkan tubuh
Thian Ki hanya bergoyang-goyang saja. Tentu saja
hal ini membuat Can Hong San te rkejut setengah
mati. Bagaimana mungkin ada seorang pemuda
mampu menahan cengkeramannya, bahkan tangkis an itu dapat membuat dia sampai melangkah mundur sedangkan pemuda itu kuat
te gak berdiri dan hanya bergoyang-goyang" Ini
tidak mungkin! Selama hidupnya, hanya beberapa
orang saja yang mampu menandingi kekuatannya,
yaitu para pendekar yang te rkenal di dunia
persilatan seperti Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti
Sungai Kuning) Si Han Beng atau isterinya yang
bernama Giok Cu, dan Pangeran Cian Bu Ong.
De ngan perasaan penasaran dan marah, juga
nekat karena dia telah tersudut dan akan
ditangkap pasukan, dia mencabut pedangnya,
pedang Koai-liong-kiam, dan tangan kiri mencabut
sebatang suling dari ikat pinggangnya. Itulah
senjatanya yang ampuh, pedang dan suling.
"Jahanam busuk, kau harus mampus di
tanganku!" bentaknya sambil memasang kudakuda, kedua kakinya te rpentang lebar dengan
kedua lutut dite kuk, dan sepasang senjata itu
bersilang di atas kepalanya, matanya mencorong
menatap lawan. Karena tahu bahwa lawannya lihai dan berbahaya. Thian Ki juga mengeluarkan pedangnya
dan begitu pedang dicabut, nampak sinar hitam
yang menyeramkan seolah pedang itu mengandung
hawa dingin yang dahsyat. Itulah pedang Cui-mo
He k-kiam (Pedang Hitam Pengejar Iblis), pedang
berwarna Hitam milik ibunya yang diberikan
kepadanya sebagai bekal ketika dia berangkat
melaksanakan dua tugasnya. Pertama, dia harus
mencari orang-orang pandai untuk membersihkan
darahnya agar dia dapat menikah tanpa membahayakan nyawa is te rinya, dan kedua, dia
harus mencari dan mendapatkan pedang pusaka
Liong-cu-kiam seperti yang dikehendaki ayah
tirinya atau gurunya. Kini Thian Ki juga memasang kuda-kuda
berhadapan dengan Can Hong San, dan ingatannya
mulai bekerja, perlahan-lahan terbayanglah semua
peristiwa yang lalu, ketika dia masih kecil. Lamatlamat saja ia teringat betapa ketika dia masih kecil
sekali, mungkin baru berusia empat tahun, dalam
kamar mereka, yaitu kamar dia, ibu dan ayahnya,
masuk seorang Jai-hwa-cat (penjahat pemetik
bunga) yang amat lihai. Penjahat cabul itu
menyanderanya, dan dengan mengancam akan
membunuhnya, memaksa ibunya menotok ayahnya sehingga tidak mampu bergerak, kemudian memaksa ibunya untuk melayaninya
dan mau digaulinya! Dalam keadaan yang amat
gawat itu muncul Si Naga Sakti Sungai Kuning Si
Han Beng menyelamatkan ibunya dari aib dan
ayahnya dari maut. Dan orang jahat cabul itu
bukan lain adalah Can Hong San ini! Kemudian,
ketika dia berusia lima enam tahun, dua tahun
sesudah itu, ketika dia diajak ayah ibunya
berkunjung ke He k-houw-pang di Ta-bun-cung,
dan perkumpulan itu diserbu oleh para pembantu
Pangeran Cian Bu Ong, ayahnya tewas dan ibunya
ditangkap pula oleh Can Hong San ini! Semua itu
kini membayang di benaknya, membuat sepasang
mata Thian Ki mencorong. Biarpun kini ibunya
menjadi isteri Cian Bu Ong yang te rnyata
merupakan seorang gagah perkasa dan yang selain
menjadi ayah tirinya juga menjadi gurunya, namun
te ntu dia akan memilih kehidupan dahulu,
bersama ayah kandungnya. Melihat pedang hitam di tangan pemuda itu,
Hong San mengerutkan alisnya.
"Heii, bukankah itu pedang Ban-tok He k-kiam"
Pedang itu milik seorang wanita, pute ri mendiang
Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun). Apa
hubunganmu dengan Sim Lan Ci?"
"Can Hong San, kejahatanmu
bertumpuk sehingga engkau lupakan semua perbuatanmu
yang te rkutuk. Engkau membunuh ayahku ketika
menyerbu He k-houw-pang dan engkau menawan
ibu kandungku dan aku. Sekarang, engkau harus
menebus semua dosamu itu!"
Hong San terbelalak dan suaranya agak gemetar
ketika dia bertanya, "Kau........kau... tok-tong (anak
beracun) itu?" Thian Ki te rsenyum. "Biarpun dengan mudah
aku dapat menggunakan hawa beracun untuk
membunuhmu, akan te tapi aku tidak akan
mempergunakannya. Aku akan menaklukkanmu
dengan ilmu silat, bukan dengan racun. Majulah,
manusia berhati iblis!"
Diam-diam Can Hong San gentar bukan main.
Anak ini, dalam usia lima atau enam tahun,
pernah membuat dia bergidik ngeri karena bocah
yang belum mengenal ilmu silat itu telah menewaskan beberapa orang rekannya yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan menjadi
tokoh-tokoh kang-ouw te rkenal seperti Thio Ki Lok
dan Gulana, dua orang di antara para pembantu
Cian Bu Ong yang te was oleh anak beracun ini,
hanya karena Gulana digigit tengkuknya, dan Thio
Ki Lok mencengkeram punggung anak itu. Anak
Beracun! Dalam usia lima enam tahun saja sudah
mampu membunuh orang-orang yang tangguh,
apalagi sekarang.! Dan diapun teringat ketika
mereka mengadu tangan tadi, betapa dia terdorong
ke belakang oleh kekuatan yang amat dahsyat. Can
Hong San gentar dan diapun memberi perintah
kepada anak buahnya. "Serbu.........!"
Anak buah Koai-liong-pang mencabut senjata
dan dengan nekat mereka menerjang maju,
disambut oleh Lui-ciangkun yang menggerakkan
pasukannya. Terjadilah perte mpuran berat sebelah
karena pihak pasukan sepuluh kali lebih banyak
dibandingkan ana k buah Koai-liong-pang. Biarpun
para anggota itu merupakan jagoan-jagoan pilihan,
namun tiap orang dikeroyok sepuluh, bagaimana
mungkin mereka akan mampu bertahan.
Sementara itu, Can Hong San sudah bertanding
melawan Thian Ki. Pedang dan suling di tangan
Hong San mengamuk, suara pedangnya bercuitan,
suara sulingnya berdengung-dengung.
Memang hebat sekali ilmu pedang Koai-liongkiam dan Hong San telah memiliki ilmu yang
matang. Namun, sekali ini dia terkejut bukan
main. Tubuh lawannya tidak nampak, yang
nampak hanya gulungan sinar hitam
yang berdesing-desing, seolah-olah ribuan lebah yang
menyerangnya. Ketika Hong San melihat betapa para anak
buahnya mulai berjatuhan, dia merasa gentar
sekali. Baru belasan jurus saja dia bertanding
melawan Thian Ki, dia maklum bahwa pemuda ini
memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Tanpa
mempergunakan hawa beracun di tubuhnya
sekalipun, pemuda itu merupakan lawan yang
amat berbahaya dan amat s ukarlah baginya untuk
mendapatkan kemenangan. Kalau sampai para
perajurit mengepung ketat dan dia harus menandingi pemuda ini, dia akan celaka dan tidak
mempunyai kesempatan lagi untuk meloloskan
diri. "Hyaattttt.........!!"
Dia menyerang dengan pedangnya , membabat ke arah kedua kaki Thian
Ki sambil menggulingkan diri di atas tanah. Thian
Ki meloncat ke belakang, dan sebatang suling
dengan kecepatan seperti anak panah, meluncur
ke arah dadanya dari jarak dekat. Itulah suling di
tangan kiri Hong San yang dilontarkan dengan
pengerahan tenaga. "Trakkkk !!" Suling itu patah-patah bertemu
dengan pedang hitam di tangan Thian Ki.
Kesempatan itu dipergunakan ole h Hong San
untuk melompat dari medan pertempuran yang
sedang berlangsung. Thian Ki mengejar, akan
tetapi lawannya itu menyelinap dan hilang di
dalam keadaan yang sedang kacau itu. Hong San
te rus berlari sambil membabat siapa saja yang
menghalanginya. Banyak perajurit berjatuhan ketika Can Hong San membuka jalan darah
mencari kebebasan, dan akhirnya dia dapat
melarikan diri dari tempat itu, terus berlari ke luar
kota Sin-yang. Hal ini mudah dia lakukan karena
penduduk kota sedang ketakutan dan kacau
karena adanya penyerbuan pasukan ke pusat Koailiong-pang. Melihat Can Hong San melarikan diri,
Thian Ki tidak mau membiarkan begitu saja,
diapun melakukan pengejaran. Biarpun agak
te rlambat, namun dapat memperoleh kete rangan
dan mene mukan jejak lawan yang melarikan diri ke
luar kota melalui pintu gerbang selatan. Thian Ki
segera melakukan pengejaran. Sebelah selatan Sinyang merupakan daerah tandus yang jarang
dite mpati orang, maka jalan menuju ke selatan
selain buruk dan tidak te rpelihara, juga sunyi dan
berbukit-bukit, namun tanahnya agak tandus
mengandung kapur. Akan te tapi, setelah keluar kota, tidak nampak
seorangpun dan sudah setengah jam dia mengejar,
tidak nampak ada orang le wat. Akan tetapi tibatiba dia melihat tiga orang laki-laki
yang berpakaian seperti petani, berlari-lari dari depan.
Mereka kelihatan ketakutan.
"Paman, ada apakah" Kalian kelihatan ketakutan!" kata Thian Ki.
"Di sana ada orang berkelahi. Seorang laki-laki
melawan seorang wanita. Kami takut terbawabawa, maka kami melarikan diri."
Mendengar keterangan itu, Thian Ki meloncat
dan le nyap dari depan mereka. Tentu saja tiga
orang petani sederhana itu menjadi semakin
ketakutan dan mereka berlari tunggang langgang
menuju kota Sin-yang. Belum jauh Thian Ki berlari cepat, di sebuah
tikungan dia melihat dua orang yang sedang
berkelahi dengan serunya. Yang seorang jelas
adalah Can Hong San, yang kini hanya menggunakan pedangnya, karena sulingnya tadi
telah dia pergunakan untuk menyerang Thian Ki
dengan sambitan. Akan tetapi ketika Thian Ki
melihat siapa yang menjadi lawan Hong San, dia
te rbelalak dan jantungnya berdebar te gang. Lawan
itu seorang wanita, seorang gadis yang mempergunakan sebatang pedang bersinar hijau
dan yang gerakannya tangkas dan dahsyat, akan
tetapi lengan kirinya buntung sebatas pergelangan.
"Cin Cin........!" Thian Ki menahan teriakan
hatinya ketika mengenal gadis itu. Dia termangu,
tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Pertandingan antara kedua orang itu seru dan
yang membuat dia te rtegun dan heran adalah
ketika melihat betapa gerakan kedua orang itu
sama! Mereka jelas memainkan satu macam ilmu
pedang yang sama, bahkan gulungan sinar pedang
sama, yaitu sama-sama hijau.
Bagaimana Cin Cin dapat berkelahi dengan Hong
San di tempat itu" Ketika tadi Can Hong San
berhasil keluar dari pintu gerbang kota Sin-yang,
dia merasa le ga karena tidak te rkejar Thian Ki.
Akan te tapi di samping kelegaan hati bahwa dia
dapat meloloskan diri, tentu saja te rdapat kemarahan, penasaran dan kesedihan. Dia telah
mendapatkan kedudukan yang lumayan, hidupnya
sudah enak dan mewah, biarpun tidak se perti dulu
ketika menjadi pembantu Pangeran Tua, akan
tetapi sekarang dia kehilangan segala-galanya,
isterinya yang sudah membosankannya, selir-selir
yang banyak, harta bendanya, perkumpulannya,
kehilangan teman dan penghibur hidupnya,
kehilangan harta bendanya, kehilangan kedudukann ya. Semua itu gara-gara si anak
beracun! Dan teringat betapa munculnya pemuda
itu karena ulah Li Ai Yin, dia merasa menyesal
mengapa tidak dulu-dulu dia melenyapkan wanita
yang sudah tidak ada gunanya baginya itu.
Hatinya lega ketika tiba di luar kota, di tempat
sunyi, dan tiba-tiba saja wajahnya berseri-seri
ketika dia melihat seorang wanita berjalan dari
depan. Makin dekat, semakin berseri wajahnya dan
lupalah dia akan semua kehilangannya, karena
gadis itu ternyata cantik jelita, manis bukan
kepalang! Ah, agaknya para dewa te lah menolongnya, mengantarkan seorang penghibur
kepadanya. Wanita itu akan menjadi penghiburnya, menggantikan semua kehilangannya. Wanita itu seorang gadis muda,
usianya kurang le bih duapuluh satu tahun,
berjalan seperti melamun dan tangan kirinya
dimasukkan ke dalam baju, tangan kanan melenggang perlahan dan seolah ia tidak melihat
Can Hong San. "Aih, nona manis, kenapa berjalan seorang diri
di te mpat yang sunyi ini, dan kenapa pula
melamun" Engkau masih muda dan cantik je lita,
masa depanmu cerah, kenapa membiarkan diri
te nggelam ke dalam lamunan duka?" Hong San
berkata dengan gayanya yang memang menarik.
Gadis itu adalah Cin Cin! Mendengar ucapan
yang merayu itu akan te tapi tidak kasar, dengan
kata-kata lembut, ia mengangkat muka memandang dan hatinya semakin tertarik melihat
bahwa yang bicara adalah seorang laki-laki yang
jantan gagah dan tampan, dan usianya empatpuluh tahun lebih, akan tetapi masih
nampak muda dan menarik. Hanya saja, pandang
matanya itu mengandung cahaya yang aneh dan
sekali pandang saja Cin Cin tahu bahwa ia
berhadapan dengan orang yang mempunyai wibawa dan kekuatan. "Paman, kenapa engkau usil menegur seorang
gadis yang berjalan seorang diri di te ngah jalan"
Apakah engkau hendak kurang ajar?"
Can Hong San tertawa. "Ha-ha, jangan khawatir,
nona. Aku Can Hong San bukan laki-laki yang
kurang ajar kepada wanita! Aku bahkan selalu
ingin menyenangkan seorang wanita cantik sepertimu ini dan......." Hong San tidak melanjutkan rayuannya karena melihat betapa
gadis itu tiba-tiba saja memandang dengan sinar
mata mencorong, bahkan begitu tangan kanannya
bergerak, gadis itu telah mencabut sebatang
pedang dan nampak sinar hijau berkelebat. Melihat
pedang itu, mata Can Hong San semakin terbelalak
le bar.
"Engkau bernama Can Hong San. pute ra
mendiang Cui-beng Sai-kong?" tanya Cin Cin
dengan suara lantang. Hong San te rtegun. Jarang ada orang yang
mengetahui bahwa mendiang ayahnya bernama
atau berjuluk Cui Beng Sai-kong, a kan tetapi gadis
ini anehnya mengetahui hal itu! Dan ketika gadis
itu bergerak tadi, tangan kirinya juga keluar dari
dalam baju dan te rnyata bahwa tangan itu
buntung sebatas pergelangan! Melihat tangan kiri
buntung itu, makin yakin hati Hong San bahwa dia
belum pernah berte mu dengan gadis ini dan sama
sekali tak mengenalnya. Akan te tapi, menghadapi
seorang gadis yang buntung tangan kirinya, tentu
saja dia tidak takut sama sekali. Bahkan hatinya
makin te rtarik, karena biarpun tangan kiri gadis
itu buntung, hal itu tidak te rlalu mengurangi daya
tariknya, bahkan menambah titik menyentuh
perasaan mendatangkan iba dan memperdalam
kasih sayang. Apalagi gadis itu memegang pedang
yang membuat dia te rkejut dan terheran-heran.
"Benar sekali, nona. Siapakah nona
dan bagaimana dapat mengetahui julukan ayahku?"
"Bagus! Can Hong San, bersiaplah e ngkau untuk
mampus di tanganku. Aku Kam Cin, sengaja
mencarimu untuk membunuhmu!"
"Eh, nanti dulu, nona manis. Boleh saja engkau
membunuhku, akan te tapi katakan dulu apakah
alas annya, agar kalau aku mati di tanganmu, aku
tidak akan menjadi setan penasaran."
"Ada dua hal yang membuat a ku bertekad untuk
membunuhmu. Pertama, karena engkau
merupakan seorang penjahat keji yang pernah
membantu Cian Bu Ong menyerbu Hek-houw-pang
di Ta-bun-cung. Aku adalah pute ri ketua Hekhouw-pang yang te rbunuh dalam penyerbuan
kejam itu. Dan ke dua, aku mentaati perintah
guruku untuk membunuhmu karena engkau telah
membunuh suhengnya, yaitu ayahmu sendiri."
"Gurumu adik seperguruan mendiang ayahku"
Ahhh......., jadi engkau ini agaknya murid Tung-hai
Mo-li Bhok Sui Lan" Pantas engkau memegang
sebatang Koai-1iong-kiam! Ha-ha-ha, mari kita
bertaruh. Kalau aku kalah olehmu, tentu saja
engkau akan membunuhku. Akan te tapi kalau
engkau yang kalah, engkau harus menemani aku
sebagai kekasihku, sampai aku merasa bosan
kepadamu!" Kedua pipi Cin Cin menjadi merah sekali dan
matanya mencorong. "Jahanam busuk, engkau
layak mati seribu kali!" dan iapun sudah
menyerang dengan pedangnya sehingga nampak
sinar hijau meluncur cepat. Hong San meloncat ke
belakang dan di lain saat, dia sudah mencabut
pedangnya yang berbentuk persis sama dengan
pedang di tangan Cin Cin, juga ketika dia
gerakkan, mengeluarkan sinar kehijauan. Memang
pedang itu sama. Mendiang Cui-beng Sai-kong Can
Siok, selain lihai ilmu silatnya dan pendiri Thian-te
Kwi-ong yang disembah-sembah, juga seorang ahli
pembuat pedang. Dialah yang membuat pedang
Koai-liong-kiam untuk sumoinya dan sebatang lagi
untuk pute ranya. Maka, setelah Cin Cin dan Hong
San bertemu dan bertanding, keduanya menggunakan pedang yang sama segala-galanya,
karena memang merupakan pedang kembar
buatan mendiang Cui-beng Sai-kong.
Ketika Hong San menggerakkan pedangnya,
maka ilmu pedang merekapun sama. Tentu saja
perkelahian mati-matian itu
nampak seperti latihan saja, karena keduanya mempergunakan
ilmu pedang yang sama. Hanya, Hong San le bih
matang karena le bih berpengalaman, juga dia
memiliki tenaga sin-kang yang agak le bih unggul,
sehingga setelah mereka bertanding mati-matian
selama limapuluh jurus, Cin Cin mulai terdesak.
Pada saat itulah Thian Ki tiba dan pemuda ini
menyelinap dan mendekati kedua orang yang
bertanding itu, mengintai dari belakang semaksemak yang te rdekat. Dia melihat betapa Cin Cin
te rdesak, akan te tapi dia masih ragu-ragu. Kalau
dia keluar membantu, apakah gadis itu tidak akan
bertambah marah dan benci kepadanya" Akan
tetapi, tiba-tiba Hong San memperkuat serangannya dan hampir saja le her gadis itu
te rtusuk pedang. Cin Cin masih dapat mengelak ke samping, akan
tetapi karena sanggul rambutnya te rle pas, sebagian ujung rambutnya te rbabat pedang dan
berhamburan! Hong San te rtawa dan mendesak, bermaksud
menawan gadis itu hidup-hidup. Akan te tapi pada
saat itu, nampak bayangan berkelebat dan Thian
Ki telah menyerangnya dari samping sambil
berseru, "Can Hong San iblis jahat!"
Hong San kaget setengah mati. Tak disangkanya
pemuda beracun yang ditakutinya itu dapat
muncul begitu tiba-tiba. Sinar hitam Cui-mo Hekkiam menyambar dahsyat dan Hong San terpaksa
menjatuhkan diri ke samping untuk menghindarkan diri. Akan te tapi pedang di tangan
Cin Cin sudah menyambutnya dengan cepat sekali.
"Wuuuttt......crakkk!"
Hong San berte riak kesakitan dan tangan kirinya buntung sebatas
siku! Karena rasa nyeri yang luar biasa, Hong San
menjadi marah. Terdengar suara tangis dari
kerongkongannya dan diapun menubruk dengan
pedangnya, menyerang Cin Cin seperti orang gila.
"Trangg........!!" Cin Cin menangkis dan gadis ini
te rhuyung ke belakang. Dalam keadaan marah dan
nekat itu, agaknya te naga Hong San bertambah
kuat. Kini Hong San te rtawa bergelak. Dia sudah
menjadi gila, hal yang memang agaknya sejak
dahulu telah mencengkeram batinnya. Sejak muda,
Hong San memang memiliki kelainan, wataknya
berubah-ubah, kadang seperti pendekar, kadang
te ramat kejam, kadang mudah menangis dan
te rtawa. Kalau dia seorang yang berbatin normal,
kiranya tidak mungkin dia membunuh ayah
kandungnya se ndiri! Kini, setelah te rtawa bergelak. Hong San kembali
menyerang Cin Cin. Dia tidak memperdulikan
le ngan kiri yang buntung sebatas siku dan yang
masih bercucuran darah. Ge rakan tubuhnya
membuat darah itu berceceran dan menyambar ke
mana-mana, membuat Cin Cin merasa ngeri dan
meloncat terus ke belakang, te rdesak.
Kembali Thian Ki maju membantu. Sebuah
dorongan tangan kirinya membuat Hong San
te rhuyung ke samping dan kesempatan ini
dipergunakan Cin Cin untuk menggerakkan lagi
pedangnya. "Singggg.......cappp!"
Pedangnya sekali ini te rbenam ke dalam lambung Hong San, akan tetapi
cepat gadis itu mencabut pedangnya kembali dan
meloncat ke belakang karena Hong San dengan
nekat, seolah tidak merasakan bahwa lambungnya
sudah ditembus pedang gadis itu, dia menubruk
dan mengayunkan pedangnya ke arah Cin Cin.
Melihat Cin Cin mundur, Hong San hendak
mengejar, akan tetapi mendadak dia te rkulai.
Darah bercucuran dari lambung dan siku kiri yang
buntung. Dia menggelepar seperti ayam disembelih
dan tak lama kemudian diapun tewas dengan mata
te rbelalak. Thian Ki menghampiri mayat itu, menggunakan
jari tangan untuk menutupkan kedua mata yang
te rbelalak dan diapun bangkit berdiri lagi,
memandang kepada Cin Cin, lalu memandang
kepada mayat itu dan menghela napas panjang.
"Cin Cin......" katanya lirih karena dia masih
gelisah sekali kalau-kalau gadis itu masih marah
dan semakin marah kepadanya.
Cin Cin menatap wajah Thian Ki, sinar mata itu
mencorong dan mengandung kemarahan. "Kau...."
Kenapa engkau membantuku" Aku tidak butuh
bantuanmu dan tidak minta kaubantu!" suaranya
te rdengar ketus.
"Maaf, Cin Cin, aku tidak membantumu,
hanya........" "Cukup! Sudah je las bahwa engkau tadi
menyerangnya dan karena seranganmu maka aku
berhasil membunuhnya. Kalau engkau tidak
membantu, mungkin aku yang menggeletak mati.
bukan dia. Akan te tapi, aku le bih senang mati di
tangannya daripada menang karena bantuanmu.
Engkau membuntungi tanganku, sekarang bahkan
datang untuk menghinaku dengan bantuanmu!"
Gadis itu marah sekali dan suaranya menggetar,
mengandungi tangis. Thian Ki memandang dengan
penuh iba, diapun menundukkan muka dengan sedih .
Selanjutnya
Komentar
Posting Komentar